RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Rahmat Arif B07211059
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana Resiliensi Pada Penderita Stroke. Subjek penelitian ini adalah penderita stroke yang sudah 12 tahun, usia subjek 51 tahun berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif metode study kasus. Penelitian menemukan aspek resiliensi pada subjek H yaitu di tandai adanya a) regulasi emosi ; memiliki kemampuan tetap tenang walau kondisi menenkan, b) pengendalian impuls ; mempunyai kemampuan untuk mengendalikan tekanan dalam hidup, keterampilan komunikasi serta jarang mengeluh, c) optimisme ; bahwa suatu saat nanti akan ada waktu yang bisa membuat dirinya bahagia, d) efikasi diri ; meyakini bahwa memiliki cara untuk memecahkan masalah, e) causal analysis ; memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, f) empati ; berempati dengan orang lain serta ingin membantu orang lain walau kondisi yang terbatas, dan g) reaching out ; tidak hanya mengatasi kemalangan tetapi dapat meraih aspek positif meskipun hal itu sangat sederhana. Hal ini dipengaruhi oleh prinsip H yang sederhana sehingga H dapat mencapai resiliensi yang disebabkan oleh faktor I Have (aku punya), I Am (aku ini), dan I Can (aku dapat).
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vii
Daftar Gambar ... ix
Daftar Lampiran ... x
Intisari ... xi
Abstrak ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN ... 1
B.FOKUS PENELITIAN ... 8
C.TUJUAN PENELITIAN ... 8
D.MANFAAT PENELITIAN ... 8
E.KEASLIAN PENELITIAN ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI ... 13
a. Pengertian Resiliensi ... 13
b. Faktor-Faktor Resiliensi ... 22
c. Pengertian Stroke ... 35
B. RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE ... 43
C. KERANGKA TEORITIK ... 47
BAB III METODE PENELITIAN A.JENIS PENELITIAN ... 48
B.LOKASI PENELITIAN ... 49
C.SUMBER DATA ... 49
D.CARA PENGUMPULAN DATA ... 52
E.PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 55
F. KEABSAHAN DATA ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.DESKRIPSI SUBJEK ... 57
B.DESKRIPSI TEMUAN PENELITIAN ... 60
C.ANALISIS TEMUAN PENELITIAN ... 84
D. PEMBAHASAN ... 88
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 100
[image:7.595.133.481.227.558.2]
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
A. PanduanWawancara Subjek ... 107
B. Panduan Wawancara Informan (tetangga dan istri) ... 109
C. Transkrip Wawancara ... 111
D. Transkrip Observasi ... 167
Lembar Pernyataan Persetujuan Subjek Kartu Konsultasi Skripsi
Berita Acara Ujian Skripsi Data Rekam Medis
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Zaman sudah beralih menjadi serba modern, Semua fasilitas seakan mudah
didapati. Semakin canggihnya teknologi juga semakin membuat semua
aktifitas manusia menjadi lebih mudah. Hal ini juga sangat berpengaruh pada
gaya hidup. Gaya hidup manusia kini tentu sudah sangat berbeda jauh dengan
masa orang tua kita dulu, dimana semua serba sehat dan alami sedangkan yang
ada saat ini adalah semua menuntut segalanya menjadi mudah, cepat dan
praktis. Hal tersebut selain dampak positif, juga tak terlepas dari dampak
negatif.
Termasuk diantaranya yang kini menjadi masalah dalam gaya hidup sehat
tersebut adalah kurang kontrol terhadap makanan dan nutrisi yang masuk ke
dalam tubuh manusia, berbagai macam penyakit mulai bermunculan. Mulai
dengan penyakit yang bisa sembuh hanya dengan vitamin dan istrirahat,
penyakit yang memerlukan perawatan khusus, penyakit yang melumpuhkan
anggota badan, sampai pada penyakit yang menyebabkan kematian. Beberapa
contoh penyakit mematikan yang saat ini sering terdengar contohnya HIV
AIDS, kanker, stroke, dan berbagai penyakit lainnya
Bila dahulu penyakit-penyakit tersebut hanya menyerang orang-orang
tertentu, mungkin terkait dengan pergaulan atau usia lanjut, sekarang tak dapat
2
produktif dimana seharusnya pada usia tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan kreatifitas. Salah satu contohnya adalah penyakit stroke,
stroke dapat membunuh atau menyebabkan kecacatan, tetapi salah satu aspek
yang paling menakutkan adalah serangan yang tiba-tiba.
Kebanyakan stroke terjadi didahului oleh hanya sedikit atau tanpa
tanda-tanda sama sekali karena para penderita dan keluarganya seringkali mengalami
kepanikan (Henderson, 2002). Stroke terkadang bisa terjadi pada penderita
dengan kondsisi yang parah. Ini umumnya terjadi pada penderita yang kurang
dapat mengontrol kesehatannnya dengan baik, cepat puas menjadi salah satu
contoh faktor pada penderita stroke, merasa sudah sehat dan tidak perlu lagi
memeriksakan diri dan pada akhirnya jika stroke berulang berarti pendarahan
di otak jadi lebih luas.
Banyak gejala stroke, tergantung dimana lokasi pecahnya pembuluh darah
pada otak. Antara lain gangguan gerak yang ringan misalkan tidak bisa
mengambil gelas, menggosok gigi, dan memakai baju dengan baik. stroke yang
berat disebut juga lumpuh total, yang bisa menimpa tiap organ gerak termasuk
bibir, wajah, dan mata. Rasa pada sebelah anggota badan yang akan dibarengi
lumpuh akan dirasakan pada sisi ini. tingkat rasa dari yang ringan sepeti
semutan sampai yang berat kalaupun bisa berdiri namun jika menginjak lantai
terkadang seperti berada di awang-awang.
Terkadang pihak keluarga cepat mengvonis penderita akan segera
meninggal sehingga mereka kurang semangat lagi merawat atau mengatasinya
3
tidak diucapkan dengan terus terang secara verbal baik karena organ bicara
yang rusak maupun daya ingat yang turun, beberapa contohnya dalam bentuk
tidak bisa mengeluarkan kata dan menatap arti benar-benar akan menimbulkan
depresi bagi penderita dengan latar belakang karir seperti guru, hakim dan
hakim singkatnya yang mengandalkan mulut sebagai sarana karir.
Di indonesia stroke menyerang 35,8% pasien usia lanjut dan 12,0% pada
usia yang lebih muda jumlah total penderita stroke di indonesia diperkirakan
500.000 setiap tahun dari jumlah itu sekitar 2,5 % atau 125.000 orang
meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat
(newspaper.pikiran-rakyat.com). penderita stroke sekarang tidak hanya di alami oleh usia 50 atau
lebih bahkan ada juga yang penderita stroke berusia di bawah umur 50 tahun
ini mengartikan bahwa dampak stroke menimpa usia produktif lebih berat efek
psikologisnya baik untuk penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Hal
tersebut dikarenakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah pencari nafkah
untuk keluarga dan berakibat terhadap menurunnya tingkat produktifitas dan
terganggunya soisal ekonomi keluarga (Astrid, 2010).
Menurut Agus (dalam Lydia, 2011) stroke merupakan kegawatan
neurologi yang serius, menduduki peringkat tinggi sebagai penyebab kematian.
Tahun 2002 di amerika serikat, stroke menduduki peringkat ke 3 sebagai
penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker (Adam Rd, dalam
Agus 2011). Sumber terbaru tahun 2006 menyatakan penderita stroke
mencapai lebih dari 700.000 orang per tahun dengan 550.000 diantaranya
4
memperkirakan terdapat 750.000 kasus stroke setiap tahun, dengan angka
kematian mencapai 150.000 orang pertahun (Agus, 2011).
Pada tahun 2020 diperikarakan 7,6 juta orang akan meninggal karena
stroke. Peningkatan tertinggi akan terjadi di negara berkembang, terutama di
wilayah asia pasifik. Di indonesia, terjadi sekitar 800-1.000 kasus stroke setipa
tahun. (Wadda, 2010). Sedangkan di belahan dunia, setiap tahun sekitar 0,2 %
dari penduduk mengalami stroke, dengan sepertiganya meninggal dalam waktu
12 bulan, sepertiga lainnya mengalami cacat menetap tidak bisa melakukan
aktifitas tanpa bantuan orang lain, dan sepertiganya bisa bekerja. (Wadda,
2010)
Pada umumnya penderita stroke di sertai dengan dampak negatif secara
psikologis. Seperti penderita stroke yang mengalami depresi, tidak bisa
menyesuaikan diri baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima
diri sendiri dan bergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan
kebutuhan fisiologis dan psikologis sebagai akibat dari lemahnya sebagaian
anggota tubuh mereka. Tambah lagi penderita stroke yang tinggal di kota-kota
besar yang notabenenya bergaya hidup secara individual. Kondisi masyarakat
yang individualis tersebut sehingga menyebabkan para penderita stroke dengan
keterbatasannya terpaksa harus hidup sendiri, mengurus diri sendiri, dengan
susah payah.
Menurut Thomas (1993), penderita stroke sering mengalami depresi
setelah serangan stroke. Disamping rasa rendah diri yang bias dipahami
5
mereka (depresi reaktif), banyak penderita juga mengalami depresi fisik
ataupun depresi kimiawi. Depresi merupakan akibat dari penderita tidak
mampu bereaksi dengan normal terhadap setiap upaya remobilisasi.
Obat-oabatn sering digunakan untuk membantu dalam menangani masalah depresi
pada penderita stroke, selain depresi penderita mungkin marah-marah dan
memperlihatkan sikap mengingkar. Tak jarang penderita stroke yang
memperlihatkan sikap mudah tersinggung, mengingkari, dan sangat sukar
didekati
Dalam psikologi di kenal dengan istilah Resiliensi yaitu suatu keadaan
dimana individu dapat bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif
sedangkan kebanyakan lainnya gagal. Ada individu yang mampu bertahan dan
pulih sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari
situasi yang menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah
ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah
sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan
tertentu pada individu. Resiliensi secara psikologis dapat diartikan kapasitas
mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus
melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera (Vailant & Mills
dalam Yuniardi, 2009) kemudian menurut Reivich & Shatte (2002) dan
Norman (dalam Helton & Smith, 2004), Resiliensi merupakan kemampuan
seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang
sulit. Menurut Connor (2006) resiliensi juga disebut sebagai ketrampilan
6
sehat dan terus memperbaiki diri. Reivich dan Chatte (2002) menambahkan
bahwa resiliensi merupakan proses merespon sesuatu dengan cara yang sehat
dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan. Berdasarkan penjelasan
tersebut diketahui bahwa resiliensi memiliki makna penting dalam hidup
manusia perkembangan resliensi dalam kehidupan akan membuat individu
mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan.
Resiliensi pada penderita stroke dapat dikatakan sebagai salah satu faktor
penting dalam proses pemulihan secara psikologis. Adanya keinganan untuk
bangkit dari kondisi negatif psikologis dan mengatasi perasaan-perasaan yang
menghambat proses penyembuhan akan sangat membantu bagi proses
penyembuhan penderita stroke, bila hal tersebut disertai dengan semangat
hidup yang tinggi dan optimistis dalam menjalani hidup. Assosiasi pemulihan
stroke new south wales (dalam Henderson, 2002) memberikan saran-saran
untuk membantu seseorang yang telah dipengaruhi oleh stroke. Salah satunya
resiliensi adalah sebagai faktor I HAVE dimana keluraga memperlakukan
penderita stroke layaknya sebelum subjek sakit, ini akan membuatnya tetap
berhubungan dengan aktivitas keluarga dan membuat merasa penting, karena
resiliensi menjadi penting bukan hanya menjadi faktor yang mempercepat
pemulihan pasca stroke tapi juga mencegah kembalinya terserang stroke.
Dalam penelitian ini terdapat seorang laki-laki penderita stroke, dimana
subjek tersebut mengalami kelumpuhan hampir setengah bagian tubuhnya.
Sebelum subjek menderita stroke, subjek sehari-hari berprofesi sebagai
7
tidak bisa beraktifitas seperti sehari-harinya sebelum sakit, subjek sudah lama
menderita stroke kurang lebih sudah 12 tahun sejak tahun 2003 hingga
sekarang. Saat ini meskipun tenaga badannya masih terasa sakit, subjek telah
melakukan berbagai aktifitas dengan mandiri, subjek juga berusaha untuk
mengatasi masalah psikologis yang dialaminya, mencoba berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya, bersungguh-sungguh untuk hidup mandiri dan jarang
mengeluh tentang keadaannya.
Tetapi dengan keadaan subjek seperti itu selalu ada saja permasalahan
yang menerpa hidup subjek seperti istrinya semakin lama tidak mau mengurus
suaminya dengan baik, pergi pagi dan pulang sangat malam, sehingga subjek
melakukan sesuatu dirumah sendirian, dari mandi, makan, ganti baju, sampai
berjalan kedepan rumah sendiri padahal subjek belum terlalu normal dalam
berjalan ataupun melakukan hal biasa dilakukan orang normal lainnya.,
tidurpun sekarang tidak satu kamar bersama istrinya, subjek tidur di ruang
tamu dengan tempat tidurnya di atas sofa yang ukuranya panjangnya 2,5 meter
lebarnya 1 meter, sedangkan istri dikamar tidur. Istri subjek berjualan nasi
pecel di PKL Mesjid Agung kemudian subjek juga memiliki anak tunggal
seorang anak laki-laki tetapi allah berkehendak lain anak subjek di panggil oleh
Allah swt terlebih dahulu karena sakit tumor di dalam perutnya tetapi subjek
sudah punya cucu dua (laki-laki dan perempuan). Keadaan subjek juga cukup
bersih dalam merawat dirinya bahkan subjek juga menanam polly back
dirumahnya apapun yang bisa dilakukan subjek dilakukannya tanpa bantuan
8
Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas bahwa umunya resiliensi itu
adalah coping individu untuk dapat bertahan dalam kondisi yang terpuruk.
Ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi menurut sarafino (1994) adalah (a)
memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga dapat menciptakan
hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan lingkungannya ; (b) individu
yang memiliki resiliensi juga memiliki kemammpuan untuk dapat bangkit dari
tekanan, stres, dan depresi. Untuk mengatasi tekanan, stres, dan depresi
dibutuhkan ketiga komponen resiliensi. Pertama ‘I have’ berkaitan dengan
sumber daya yang dimiliki, kedua ‘I am’ berkaitan dengan konsep diri dan
integritas pribadi, ketiga ‘I can’ berkaitan dengan kapabilitas, kemampuan, dan
self efficacy. Untuk itu peneliti mengkaji resiliensi pada penderita stroke
dimana keadaan yang tidak menguntungkan tersebut subjek masih bisa
bertahan hidup dengan baik dan mandiri.
B.Fokus penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana resiliensi pada
penderita stroke ?
C.Tujuan Penelitian
Adapun dari pemaparan diatas maka Penelitian ini dilakukan bertujuan
untuk mengetahui resiliensi pada penderita stroke
D.Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat selain sebagai
9
ilmiah, pada psikologi klinis khusunya terkait psikologi kesehatan dalam
menjelaskan faktor penyebab resiliensi pada penderita stroke
2. Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pada
penderita stroke lainnya agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik
dan lebih optimis menatap masa depan. Penelitian ini juga bermanfaat bagi
keluarga penderitab stroke, agar keluarga dapat memahami aspke psikologis
dari penderita stroke dan membantu para penderita stroke untuk dapat lebih
optimis.
E.Keaslian Penelitian
Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian
riset terdahulu mengenai variabel resiliensi yang dijadikan sebagai pedoman
dalam penelitian ini. Penelitian mengenai resiliensi pada penderita stroke
memang belum banyak dilakukan.
Penelitian tentang resiliensi misalnya yang telah di teliti, di antaranya :
Penelitian yang dilakukan Clarissa Rizky Rosyani (2012) tentang
hubungan antara resiliensi coping pada pasien kanker dewasa menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dan coping pada
pasien kanker dewasa, jadi semakin tinggi resiliensi maka semakin tinggi pula
copingnya.
Penelitian yang di lakukan Fransisca I.R. Dewi, Vonny Djoenaina, Melisa
(2004) tentang hubungan antara resiliensi dengan depresi pada perempuan
10
hubungan negatif yang signifikan antara resiliensi dan depresi, r = -772 (p =
0,000 < 0,01). Semakin tinggi resiliensi maka semakin rendah depresi wanita
pasca mastektomi. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini
adalah sama–sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaanya
adalah lokalisasi penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya
menggunakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis
datanya berbeda
Penelitian yang dilakukan Stefani dipayanti dan Lisa Chairani tentang
locus of control dan resiliensi pada remaja yang orang tuanya bercerai Juga
menyatakan terdapat hubungan yang positif antara locus of control dengan
resiliensi pada remaja yang orang tuanya bercerai di desa perawang kabubaten
siak. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian ini adalah sama –
sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaanya adalah lokalisasi
penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian
kuantitatif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga
proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya berbeda.
Penelitian yang di lakukan Ana Steyiwati, Sri Hartati, Dian Ratna Sawitri
(2010) tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada
siswa penghui rumah damai menyatakan bahwa terdapat hubungan positif
antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa penghuni rumah
damai, sehingga semakin tinggi kecerdasan maka semakin tinggi resiliensi,
11
adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan
perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk penelitian dimana
sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan
teknik analisis datanya tidak sama.
Penelitian yang dilakukan cangging karina tentang resiliensi remaja yang
memiliki orang tua bercerai menyatakan bahwa pada remaja yang berada pada
kondisi orang tuanya bercerai, memiliki tingkat resiliensi yang cenderung
rendah sebanyak (30,56%) dari jumlah total subjek sebanyak 72 orang. Tingkat
resiliensi seorang remaja adalah bersifat fluktuatif, artinya tingkat resiliensi
seseorang dapat di kategorikan tinggi maupun di kategorikan rendah
tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni anatar lain faktor
protektif dan faktor resiko. Kesamaan yang dimiliki sebelumnya dan penelitian
ini adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan
perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk penelitian dimana
sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan
teknik analisis datanya berbeda.
Penelitian Erlina Listyanti Widuri (2012) tentang regulasi emosi dan
resiliensi pada mahasiswa tahun pertama menyatakan bahwa ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara regulasi emosi dan resiliensi dengan
subjek dalam penelitian berjumlah 75 mahasiswa dan menggunakan analisis
12
tinggi resiliensi, demikian sebaliknya, semakin rendah regulasi emosi semakin
rendah juga resiliensinya. Kesamaan yang dimiliki penelitian ini adalah adalah
sama-sama membahas tentang Resiliensi sedangkan perbedaannya adalah
lokalisasi penelitian, bentuk penelitian dimana sebelumnya menggunakan
penelitian kuantitaif sedangkan penelitian ini menggunakan penelitian
kualitatif sehingga proses pengumpulan data dan teknik analisis datanya
berbeda.
Kemudian penelitian Rachmat Taufiq dkk (2014) tentang gambaran
resiliensi anak pasca bencana banjir di desa dayeuhkolot, kabupaten bandung
jawa barat menyatakan kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh anak-anak
pasca bencana banjir didesa dayeuhkolot, kabupaten bandung jawa barat
menunjukkan kemampuan yang baik atau tinggi dalam impulse control,
optimism, dan causla analysis, sedangkan kemampuan yang tergolong rendah
adalah regulasi emosi, empati, self efficacy dan reaching out. Kesamaan yang
dimiliki sebelumnya adalah adalah sama-sama membahas tentang Resiliensi
sedangkan perbedaannya adalah lokalisasi penelitian penelitian, bentuk
penelitian dimana sebelumnya menggunakan penelitian kuantitaif sedangkan
penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sehingga proses pengumpulan
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI a. Pengertian Resiliensi
Menurut Janas (dalam Fransisca, 2004). Mendefinisikan resiliensi
sebagai suatu kemampua untuk mengatasi rasa frustasi dan
permasalahan yang dialami oleh individu. Individu yang resilien akan
berusaha untuk mengatasi permasalahan dalam hidup, sehingga dapat
terbebas dari masalah dan mampu beradaptasi terhadap permasalahan
tersebut. Kemudian menurut conner (dalam Fransisca, 2004) juga
menyatakan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan yang
dimiliki oleh individu untuk segera membebaskan diri dari kondisi yang
kurang menyenangkan.
Resiliensi adalah kemapuan untuk bangkit kembali dan
keberhasilan beradaptasi dari hal yang tidak menyenangkan, suatu
badan penelitian bidang psikologi, psikiater, dan sosial menunjukkan
bahwa hampir semua individu dapat bangkit kembali dari sesuatu yang
berisiko, stress, krisis, dan trauma dengan kata lain resiliensi adalah
“bangkit kembali dari masalah dan hala-hal lain dengan lebih kuat dan
lebih pandai” (dalam Hidayat, 2006).
Resiliensi juga berarti kemampuan untuk sembuh dengan tepat dari
14
setelah menyerah, tertekan atau penegangan bentuk, kemampuan
manusia untuk sembuh dengan cepat dari perubahan yang merusak,
sakit, atau ketidakberuntungan tanpa meliputi bertingkah disfungsional
(Siebert, 1996, dalam Hidayat, 2006).
Menurut Reivich & Shatte (dalam Desmita, 2012) Resiliensi
adalah “The ability to persevere and adapt when thing go awry” artinya
bahwa individu mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam
kehidupan dan beradaptasi, saat individu tersebut mengalami hal-hal
yang dilakukannya serba salah individu tersebut tetap mampu bertahan
dalam kondisi apapun. Kenyataannya setiap individu pasti akan
mengalami kesulitan dan tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan
dalam kehidupannya. Sebab Kesulitan terjadi pada waktu dan tempat
yang kadang sulit untuk diprediksikan.
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai
kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif,
dan positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan
menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi
resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan
aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan reivich dan shatte
tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya
dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga
15
Benard (dalam Hidayat, 2006) mendefinisikan resiliensi sebagai
penguraian perilaku seseorang yang mampu melewati suatu dengan
sukses dan resiko kegagalan yang dihadapi kekeuatan yang dimiliki
dapat membantu seseorang untuk melepaskan diri dan resiko-resiko
tersebut sehingga terlepas dari kesan-kesan negatif seperti menjadi
jahat, masalah psikologis, patalogis, komplikasi fisik dan kesulitan
akademik, atau adaptasi naik yang tidak bisa untuk stress berat atau
kronis atau kemampuan untuk memantulkan kembali ke level pre-stres
(Andrews et al, 2002, dalam Hidayat, 2006).
Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga menemukan
bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu
kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam
menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpa. Di
tambahkan Wagnild (2010) hampir semua manusia mengalami
kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki
ketahanan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup. Dalam penelitian
Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor
protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak
berdaya dan berbagai emsoi negatif lainnya sehingga memiliki potensi
untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Selanjutnya,
individu yang resilien disebut sebagai individu yang beriorentasi pada
tujuan, dimana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit
16
Menurut (Connor & Davidson, 2003) Resiliensi mewujudkan
kualitas pribadi yang memungkinkan satu untuk berkembang dalam
menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah
menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik multidimensi yang
bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin, dan asal budaya,
serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang berbeda. Satu
teori untuk variabilitas ini dikembangkan oleh Richardson dan rekan,
yang mengusulkan resiliensi berikut Model (dalam Richardson 2002).
Dimulai pada titik keseimbangan biopsychospiritual (''Homeostasis''),
satu menyesuaikan tubuh, pikiran, dan semangat untuk keadaan hidup
saat ini. Internal dan eksternal stres yang selalu hadir dan kemampuan
seseorang untuk mengatasi dengan peristiwa ini dipengaruhi oleh
sukses dan adaptasi yang gagal untuk gangguan sebelumnya.
Dibeberapa situasi, adaptasi tersebut, atau pelindung
Resiliensi memiliki beberapa bentuk kata dasar, antara lain
“resilient”, “resilience”, dan “resiliency” sendiri. Resilient berarti
kemampuan untuk mengembalikan ke bentuk semula setelah
mengalami benturan, peregangan, atau penekanan, elastis (Erianthe,
dalam Nida, 2010). Resilience berarti kemampuan untuk merekah
kembali, mengambil kembali, beradaptasi terhadap perubahan dengan
sukses, serta mengembangkan kompetensi sosial untuk menghadapi
berbagai tekanan (Erianthe, dalam Nida, 2010). Sedangkan resiliency
17
memperbaharui, serta menciptakan kembali suatu diri dalam
menghadapi perubahan, tantangan, peluang dan atau kondisi yang tidak
menguntungkan tetap dapat bekerja, bermain, berbagi kasih sayang dan
berekspresi dengan baik. Dyer dan McGuinness (dalam Lokitasari,
2001, dalam Erianthe, 2007) menjelaskan resiliensi sebagai sebuah
proses dimana orang bangkit kembali dari kesengsaraan dan
melanjutkan hidup Mastern, Best, dan Garmezy (Erienthe, dalam Nida,
2010) mendefinisikan resiliensi sebagai proses, kapasitisas atau
keberhasilan adaptasi terhadap situasi yang penuh tantangan atau
mengancam. (Erianthe, dalam Nida, 2010) mengatakan bahwa resiliensi
adalah kapasitas umum yang dapat membuat seseorang, kelompok atau
masyarakat dari suatu kemalangan yang terjadi pada dirinya.
Ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi
membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka
panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk
memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian
ego yang biasa mereka lakukan. Menurut Richardson (2002), resiliensi
adalah proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun
tantangan yang di pengaruhi oleh faktor protektif. Resiliensi psikologis
ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan sisi kepribadian dalam ego
untuk tangguh yang ada dalam diri seseorang.
Issacson (dalam Cantika, 2012) menyatakan beberapa karakteristik
18
untuk bangkit kembali, good-natural personality,tanggung jawab,
kesabaran, optimisme, kemampuan memecahkan masalah, tujuan di
hidup, kreativitas, moral, rasa ingin tahu, coping skill, empati dan
religiusitas.
Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan
dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy
(dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan
dalam situasi penuh tekanan. Menurut (George, 2005) resiliensi
terkadang dicapai dengan cara yang tidak sepenuhnya adaptif dalam
keadan normal karena seseorang sering kali bias diri dalam kewajiban
sosial tetapi hasil ulet ketika dihadapkan dengan kesulitan. Dua peneliti
tersebut menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang
mereka gunakan untuk mengambarkan anak-anak yang mampu
berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk
dan penuh tekanan.
Wolf (dalam Banaag, 2002) memandang resiliensi sebagai trait.
Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul
untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari
segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai integensi yang
baik, mudah berdaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang
menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada
penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung.
19
Grobtherg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi
merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas
tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah.
Meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat
mereka mengalami musibah atau kemalangan. Sedangkan Beka (2014)
menyatakan bahwa resiliensi tidak hanya datang dari orang tetapi juga
mengacu pada biologi (temperamen) dan psikologis (internal locus of
control) karakteristik orang
Resiliensi disebut juga kapasitas untuk mempertahankan
kemampuan, untuk berfungsi secara kompeten dalam menghadapi
berbagai stresor kehidupan (Kaplan dkk, dalam Wiwin 2012). Secara
umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik yaitu adanya
kemampuan dalam menghadapi kesulitan, ketangguhan dalam
menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami. (Masten
dan Coatsworth, dalam Wiwin, 2012 )
Wagnild (dalam, Heidi dkk, 2013) menyatakan bahwa resiliensi
didefinisikan sebagai kemampuan untuk pulih dari keterpurukan. dan
sebagai kepribadian positif karakteristik yang adaptif individu dan
moderat efek negatif dari stres, orang resiliensi cenderung untuk
mewujudkan perilaku adaptif, terutama di bidang fungsi sosial, moral,
dan kesehatan somatik (Wagnild & Young, dalam Heidi dkk, 2013).
Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan
20
banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah
(tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikir karbon
sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien).
Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang
memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan
psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.
Banaag (dalam Winda, 2013), menyatakan bahwa resiliensi adalah
suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor
lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri
sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor
lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan”
kesulitas hidup individu.
Mastern & Coastswerth (dalam Winda, 2013) mengatakan bahwa
untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang
pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman
berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang
kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan
individu tergolong baik (individu berperilaku dalam competent
manner).
Resiliensi dungkapkan sebagai sebuah kemampuan adaptasi oleh
beberapa ahli joseph (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa
resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan
21
muncul dalam kehidupan. Rhoders dan Brown (dalam Isaacson, 2002)
juga menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang
mampu memanipulasi dan membentuk lingkungannya, menghadapi
tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada situasi baru,
mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel dalam
berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan,
serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Sementara itu,
Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi
sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa
kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya
penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga). Demikian pula
Hetherington dan Blechman (dalam Isaacson, 2002) menyatakan bahwa
orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari
cukup ketika menghadapi kesulitan.
Resiliensi juga dikenal sebagai kemampuan bangkit kembali dari
tekanan masalah. Duggal dan Coles (dalam Isaacson, 2002)
menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk
melambung kemblai atau pulih dari kekecewaan, hambatan, atau
tantangan. Rutter (dalam Isaacson, 2002) melihat individu yang resilien
sebagai mereka yang berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres
atau tekanan, dan bangkit dari kekurangan. Resilensi didefinisikan oleh
Wolin dan Wolin (dalam anggun,2014) sebagai ketrampilan coping saat
22
untuk tetap sehat (wellnes) dan terus memperbaiki diri (self repair).
proses tetap berjuang saat berhadapan dengan kesulitan, masalah, atau
penderitaan. Menurut Gallagher dan Ramey (dalam Isaacson, 2002),
resiliensi adalah kemampuan untuk pulih secara spontan dari hambatan
dan mengkopensasi kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya.
Resiliensi terlihat dalam suatu keadaan dimana pada hakekatnya
seseorang memiliki resiko besar unutk gagal, namun ternyata ia tidak
gagal. Zimmerman dan Arunkumar (dalam Morisson dan Cosden,
1997) menjelaskan resiliensi sebagai faktor dan proses yang mengubah
hubungan antara adanya resiko dengan masalah perilaku atau
psikopatologi hasil yang adaptif.
Dari pengertian para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit kembali, sembuh
dengan cepat dari perubahan yang kurang menguntungkan, sakit, atau
merusak dan keberhasilan beradaptasi dari hal tidak menyenangkan
seperti seseuatu yang berisiko, stres, krisis, trauma, dan hal lain dengan
lebih kuat dan pandai.
b. Faktor-Faktor Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasi faktor
yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut
meliputi dukungan ekternal dan sumber-sumber yang ada pada diri
seseorang (msalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini
23
alam diri seseorang (seperti self-esteem, a capasity for self monitoring,
spiritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi
konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (1995) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang
diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk
kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I Am”, untuk
dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah “I
Have”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I
Can”.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang
dapat menggambarkan resilliensi pada individu I Am, I Have, I Can
merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the
principal investigator of the Internasioanl Resilience Projekt (Grotberg,
1995).
a. Faktor I AM
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti
perasan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri
seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain ; bangga
pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu
dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan
altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertangggung jawab.
Berikut ini aka dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari
24
a1. Bangga pada diri sendiri ; individu tahu bahwa mereka adalah seseorang
yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun
yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan
membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika
individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self
esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah
tersebut.
a2. Perasaan dicintai dan sikap menarik ; individu pasti mempunyai orang
yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap
orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat
mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang
berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah
dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan
bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dpat dipercaya. Individu
merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di
dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral
dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayan
terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih
tinggi.
a3. Mencintai, empati, altruistic ; yaitu ketika seseorang mencintai
oranglain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara.
Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan
25
merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin
melakukan atau memberikan kenyamanan.
a4. Mandiri dan bertanggung jawab ; Individu dapat melakukan berbagai
macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai
konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa
mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti
batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat
orang lain bertanggung jawab.
b. Faktor I HAVE
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan
resiliensi. Sumber-sumbernya adalah memberi semangat agar mandiri,
dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung
dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti
rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis.
b1. Struktur dan atuiran rumah : setiap keluarga mempunyai aturan-aturan
yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi
aturan tersebut maka akan diberikan penjelasan atau hukuman.
Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan
diberikan pujian.
b2. Role Models : juga merupakan sumber dari faktor I Have yaitu
orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti
informasi terhadap seseuatu dan memberi semangat agar individu
26
b3. Mempunyai hubungan : Orang-orang terdekat dari individu seperti istri,
anak, Orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima
individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan
dukungan dari orang lain yang kadangkal dapat memenuhi kebutuhan
kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
c. Faktor I CAN
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang.
Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan
rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka,
mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannnya dalam
kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap
perasaan dan hal orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat
mengatur rangsangan untuk memukul, „kabur‟, merusak barang, atau
melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
c1. Mencari hubungan yang dapat dipercayai ; dimana individu dapat
menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya
untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna
mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
c2. Keterampilan berkomunikasi ; dimana individu mampu
mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaa kepada kepada
orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta
27
c3. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain ; dimana individu memahami temperamne mereka sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhato-hati)
dan juga terhadap temperamen orang lain. hal ini menolong individu
untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan
untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam
berbagai situasi.
d. Sifat-sifat otonomi seperti bebas (independent), jati diri dan
kemampuan diri.
e. Sense of purpose (berwawasan, cekatan, dan memiliki motivasi
terhadap tujuan).
Menurut Santrock (dalam Erinthe, 2007) sumber resiliensi berasal dari
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan sumber
resiliensi yang berasal dari individu itu sendiri. Adapun karakteristik
dari faktor internal, yaiut
1. Mempunyai intelektual yang baik, namun intelektual tinggi bukan
berarti memiliki resiliensi.
2. Sociable kemampuan untuk bersosialisasi dengan baik menunjukkan
bahwa individu tersebut mempunyai resiliensi yang baik.
3. Self confidence kepercayan diri yang baim mengindektifikasikan
resiliensi yang baik pada diri individu.
4. High self esteem individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi
28
5. Memiliki talent (bakat) kemampuan untuk mempelajari suatu
ketrampilan tertentu atau hal-hal yang dapat dicapainya sesudah diberi
pelatihan.
6. Tangguh : inidvidu yang yang tangguh akan memiliki resiliensi yang
labih baik daripada remaja yang tidak tangguh.
Sedangkan faktor eksternal adalah sumber yang berasal dari luar
individu dan merupakan sistem pendukung yang berada di lingkungan
individu tersebut. Faktor eksternal oleh Santrock (dalam Erianthe,
2007) dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Keluarga, dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Hubungan dekat orang tua yang memiliki kepedulian dan perhatian
untuk membangun hubungan yang dekat dengan anak.
2. Pola asuh yang hangat, teratur, dan kondusif bagi perkembangan
seorang individu.
3. Sosial ekonomi yang berkecukupan.
4. Memiliki hubungan harmonis dengan keluarga-keluarga lain.
b. Masyarakat di sekitarnya :
1. Mendapat perhatian dari lingkungan sekolah (teman, guru).
2. Aktif dalam kegiatan.
3. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat
tinggal.
Tidak samua faktor diatas harus muncul dalam diri seseorang, beberapa
29
dapat mengembangkan resiliensinya dengan baik apabila dalam diri
individu tersebut terdapat karakteristik-karakteristik positif. Individu
dengan kualitas karakteristik resiliensi yang baik bisa jadi mudah untuk
menumbuh-kembangkan resiliensi yang baik pula. Sedangkan untuk
faktor-faktor eksternal pembentuk resiliensi dari sumber eksternal
mempengaruhi sebagian kecil dari proses tersebut.
Dalam resiliency Attitudes Scale (RAS) yang disusun oleh Client Race
di Amerika (1993, dalam Erianthe, 2007) resiliensi diukur berdasarkan
aspek-aspek berikut :
1. Insight : proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan
mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih
tepat atau lebih lazim.
a. Sensing : kesadaran individu, kemampuan menerima hal-hal yang
dihadapinya.
b. Knowing : bagaimana individu menunjukkan kesadaran baik,
pengetahuan pribadi yang baik, menunjukkan penguasaan individu
mengenai informasi dan pengetahuan.
c. Understanding : kemampuan individu untuk memahami hal-hal
disekitarnya, termasuk didalamnya kecerdasan individu, simpati,
memahami perilaku-perilaku yang sesuai dalam berbagai situasi.
2. Independence : kemampuan untuk terlepas dari perilaku-perilaku
sebelumnya dengan menjauhkan diri sendiri dari lingkungan dan situasi
30
a. Separating : Memisahkan diri dari lingkungan dan situasi yang
mengganggu.
b. Distancing : Menjauhkan diri dari lingkungan mengganggu yang
menyebabkan perilaku-perilaku yang tidak tepat.
3. Relationships : individu mampu mengembangkan identitas yang sah
atau logis, dan terkait dengan orang-orang lain (keluarga, teman) yang
memberikan lingkungan atau suasana yang stabil dan memelihara.
a. Recruiting : kemampuan individu untuk memperoleh orang-orang
baru yang akan masuk dalam lingkungannya, yang memiliki
kontribusi baik atau positif bagi dirinya.
b. Attaching : bagaimana individu meletakkan dirinya dengan orang
lain yang memberikan dukungan positif bagi perkembangannya.
4. Initiative : determinasi untuk menegaskan atau menyetakan diri sendiri
dan menguasai lingkungan melalui pembangunan kompetensi dan
pengembangan locus of control internal yang kuat.
a. Problem solving : kemampuan untuk mencetuskan solusi yang
tepat bagi masalah yang dihadapi, memilih atau mencetuskan cara
terbaik untuk menyelesaikan
b. Generating : kekuatan individu untuk menghasilkan suatu
penyelesaian masalah melalui pemikiran yang matang.
5. Creativity : kekuatan untuk membalikkan kenyataan pahit yang
31
sakit yang dirasakan akibta perilaku-perilaku yang digunakan
sebelumnya melalui kreatifitas atau sense of humor.
a. Creative thinking : kemampuan untuk menemukansisi positif dari
masalah yang ada, melihat masalah yang muncul dengan sudut
pandang yang berbeda (pandangan positif)
b. Creating to express fellings :bagaimana individu mengekspresikan
atau menyampaikan perasaan dan maksudnya denga tepat pada
orang lain, yaitu dengan perilaku yang sesuai
c. Humor : kemampuan individu untuk merasakan humor atau asa
lucu dan menyenangkan dari berbagai hal yang ditemuinya,
menanggapi masalah yang muncul dengan humor.
6. Morality : pengembangan dari hati nurani, yang mengilhami sebuah
imej diri akan kegunaan serta sebuah imej sebagai anggota masyarakat
yang memberikan kontribusi.
a. Valuing : kemampuan untuk menghargai orang lain, berempati
terhadap orang lain.
b. Helping others : bagaimana individu berperan dalam masyarakat
atau lingkungannya, memberikan bantuan dan menyumbangkan
kontribusinya.
7. General resiliency
a. Persistence : ketekunan pada suatu pekerjaan, kestabilan dalam
32
b. Flexibility : bertindak sesuai dengan situasi, berperilaku secara
tepat dalam sebuah situasi,bagaimana remaja menanggapi atau
reaksi secara tepat terhadap berbagai situasi yang dialaminya.
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan kemampuan yang membentuk
resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati,
analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hampir tidak
ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan
tersebut dengan baik.
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi
mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan
orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di
antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau
menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas,
khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang
cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi
dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang
pemarah (Reivich & Shatte, 2002).
b. Pengendalian impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
33
diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan
pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi
yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.
Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran,
impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini
akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga
berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.
c. Optimis
Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte,
2002). Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara
tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami
individu. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita
cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Peterson dan Chang (dalam
Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan
karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan,
prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi
yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik.
d. Self-efficacy
Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Self-Efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu
memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan
(Reivich & Shatte, 2002). Sementara Bandura (dalam Atwater & Duffy,
34
mengatur dan melaksanakan suatu tindakan untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
e. Causal Analysis
Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan
terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Seligman (dalam Reivich
& Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang
erat kaitannya dengan kemampuan Causal Analysis yang dimiliki
individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi:
personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan
pervasive (semua-tidak semua).
f. Empati
Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005)
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain
(Reivich & Shatte, 2005). Beberapa individu memiliki kemampuan
yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal
yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara,
bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan
35
kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif tetapi ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan
kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).
g. Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari
sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk
mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari
itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif
dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte,
2002)
c. Pengertian Stroke
Stroke adalah bencana atau gangguan darah di otak. Dalam bahasa
inggris dinamai juga sebagai cerebto-bascular accident. Gangguan
peredaraan darah ini dapat berupa :
a. Iskemia : yaitu gangguan yang terjadi karena aliran darah berkurang
atau terhenti pada sebagaian daerah di otak.
b. Perdarahan : biasanya peradarahan teradi karena dinding pembuluh
darah robek.
Gangguan darah ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan bila
berat dapat mengakibatkan kematian sebagaian sel-sel otak
(Lumbantobing, 1998:1)
Penyakit stroke bisa digolongkan dalam penyakit kronis karena
36
hingga terjadinya serangan stroke mungkin sudah terjadi beberap tahun,
bisa jadi sudah puluhan tahun sebelumnya, bahkan sejak bayi, sebelum
strokenya sendiri muncul. Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi
ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam
jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkain reaksi
biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak.
kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ
yang dikendalikan oleh jaringan itu (junaidi, dalam meylani, 2008).
Jenis Stroke Stroke secara umum di bagi dalam 2 jenis, yaitu stroke
istemik dan stroke berdarah. Pada stroke inkemik yang di sebabkan oleh
melambatnya atau terhentinya aliran darah ke sebagian otak
penderitanya biasanya tetap dalam keadaan sadar. Sedangkan pada
stroke berdarah, penderitanya mengalami pendarahan di otak. banyak
dari penderita stroke berdarah menurun kesadarannya ketika serangan
terjadi.
Bentuk-bentuk stroke beragam, ada yang ringan, sedang sampai.
Stroke ada yang berdarah (hemoragik) dan ada pula yang iskemik
(non-hemoragik). Pada stroke ringan, ada yang pulih sempurna gejalanya
dalam 24 jam. Stroke ini sering disebut TIA, singkatan dari Transident
Ischemic Attack, yang berarti serangan iskemik sepintas.
Adapula stroke ringan yang sembuh sempurna gejalanya dalam
waktu lebih dari 24 jam dan di sebut RIND, singkatan dari Rservisible
37
1. Gambaran klinis Stroke
a. Gejala stroke
Otak merupakan organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua
anggota bagian tubuh. Kegiatan ini dapat berupa bergerak, merasa,
berpikir, berbicara, emosi dan lain sebagainya. Pada semua
kegiatan, di lakukan oleh anggota otak yang berbeda-berbeda. Ada
bagian otak yang terutama berperan dalam menggerak-gerakkan
jari, tangan, kaki, lidah. Ada pula yang mengerakkan anggota tubuh
yang lainnya. Bila bagian-bagain otak ini terganggu, maka
tugasnya pun terganggu. Demikian juga halnya bila bagian-bagian
lain yang terganggu dan dapat mengakibatkan penderitanya
menjadi lumpuh separo badan, tidak merasa separo badan,
kesulitan bicara, pelupa, dan sebagainya. Pada stroke ini gangguan
muncul secara mendadak.
b. Ragam gejala stroke
Dari keterangan terdahulu, dapatlah di pahami bahwa gejala stroke
dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah :
Lumpuh separuh badan, bisa yang kanan atau yang kiri
Separuh badan kurang merasa, terasa semutan
Mulut mencong atau miring
Lidah mencong atau miring ketika di julurkan
Kesulitan biacara
38
Bila minum atau makan suka keselek
Sulit berbahasa
Berbicara tidak lancar
Tidak dapat membaca, menulis, memahami tulisan
Kesulitan berjalan
Penglihatan pendengaran terganggu
Vertigo
Mudah menangis, tertawa, dan emosi yang sering berganti
Kelopak mata sulit di buka
Banyak tidur
Gerakan tidak terkordinasi
Pingsan / koma
Masih banyak lagi kemungkinan gejala, kombinasi gejala yang
dapat terjadi sebagian tanda awal dari penderita stroke
(Lumbantobing, 1998 : 4)
2. Masalah psikologis pasca stroke
Gangguan emosional pada penderita stroke, terutama
adalah gangguan anxietas atau kecemasan, frustasi dan depresi,
merupakan masalah yang umum terjadi pada penderita stroke.
Tidak jarang pula dijumpai masalah yang lain, tidak sabar, mudah
terrsinggung, impulsif, kurang memahami masalah, tidak sensitif
terhadap perasaan atau pendapat orang lain, dan persepsi sosial
39
Menurut Lumbantobing (2002) mengatakan bahwa depresi sering
dijumpai pada penderita stroke, baik pada masa akut, maupun pada
masa kronik. Menghadapi mundurnya mobilitas, kekuatan fisik,
kesulitan kerja, hobbi, kemampuan kognitif akan mencetuskan
munculnya depresi. Banyak penderita yang menilai harga dirinya
dan sudut pandang kemampuan aktifitasnya. Ditaksir sekitar 26-60
% penderita stroke menunjukkan gejlasa klinis depresi Robinson
dkk (dalam Lumbantobing) mendapatkan pada 103 penderita pasca
stroke lamanya depresi ini akan mempengaruhi kualitas hidup.
Rushkin (dalam Lumbantobing, 2002) berpendapat bahwa
penderita stroke yang depresi tidak menunjukkan gejala klasik
insomnia dan hilangnya nafsu. Ia tidak berespon terhadap
psikoterapi biasa dan obat anti-depresan standar yang biasanya
tidak memberikan perbaikan yang bermakna. Berdasarkan
perbedaan gambarnya dengan reaksi biasa, Rushkin mengusulkan
kata”pseudo-depresi organik”. Pengobatan yang berhasil dapat
dicapai melalui pendekatan rehabilitas menyeluruh dalam satu tim
dimana didalam terdapat dokter, perawat, psikolog, dan keluarga.
Ganggaun peredaran darah otak atau stroke merupakan penyebab
utama kecacatan (disabilitas) jangka panjang di dunia. Sekitar
60-85% penderita stroke yang bertahan hidup yang mengalami
himeparasis, (yavuzer dkk dalam Lydia 2011). Dan di antaranya
40
mendapatkan kembali sebagian fungsi tangan kanan (some
dexterity) setelah 6 bulan (Wittenberg dkk dalam Lydia, 2011) hal
ini menyebabkan gangguan fungsi dalam aktifitas sehari-hari.
Kunjungan penderita baru pasca stroke yang datang ke poli
rehabilitasasi medis RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun
2009 sebanyak 240 orang, di antaranya 114 orang mendapat terapi
okupasi karena kelemahan anggota gerak atas (Lydia, 2011).
Ada banyak gejala yang timbul bila terjadi serangan stroke,
seperti lumpuh badan, separuh badan kurang merasa atau terasa
kesemutan, mulut mencong, bicara pelo, sulit menelan, sulit
berbahasa (apa yang ingin diucapkan tidak ketemu kata-katanya
atau tidak mengenali lagi arti kata tertentu), tidak dapat membaca
dan menulis, kepandaian mundur, mudah lupa, penglihatan
terganggu, pendengaran mundur, mudah menangis attau tertawa,
gangguan seksual, bahkan sampai ngompol atau tidak dapat buang
air besar (Hartanti, 2002)
Gejala psikiatris pada kelainan otak ini tergantung pada
lokasi dan luasnya kerusakan. Luasnya lesi (kerusakan) kurang
memegang peran pada timbulnya depresi, tetapi lokasi lesi
memegang peranan. Robinson dan price (dalam Hartanti, 2002)
membuktikan bahwa penderita stroke dengan lesi di hemisfer kiri,
lebih banyak dijumpai depresi dari pada lesi di hemisfer kanan.
41
merasakan atau mengeluh adanya gangguan psikologis. Dari
gangguan psikologis yang timbul, keadaan depresi paling sering
ditemui setelah serangan otak akut, dan sangat mengganggu
penderita, keluarga, dan masyarakat.
Berdasarkan penelitian pada penderita stroke, Rose dkk
(dalam Lumbantobing, 2002) mengemukakan kemungkinan
perbedaan antara depresi pada gangguan di hemisfer kanan dengan
himsfer kiri. Depersi yang disebabkan gangguan di hemisfer kanan
lebih banyak disertai dengan “endogenous” atau gejala biologik,
yang berespon terhadap farmakoterapi, sedangkan depresi pada
ganguan di hemisfer kiri ditandai oleh pikiran dan ide yang depresi
negatif, yang walaupun kurang berespon terhadap farmakoterapi,
dapat berespon terhadap psikoterapi. Beberapa literatur
memberikan perhatian yang luas mengenai perubahan emosioanl
pada penderita stroke. Depresi pasca stroke terjadi hampir pada
30-60% dari penderita stroke (Robinson et al 1983, dalam Antonio
1992) dengan penambahan derajat keparahan seta frekuensi 6 bulan
sampai dengan 2 tahun pasca stroke (Robinsonn et al 1982).
Banyak dari literatur telah berusaha untuk mentukan hubungan
antara luka pada vascular dan tipe emosi yang dihasilkan. Namun
pencarian tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
Beberapa kesimpulan umum lebih memperhatikan pengaruh dari
42
penderita. Hal ini masih menjadi penelitian dan diskusi diantara
para ahli neurologi (e. g, Benson & Geschwind, 1975, Gainotti,
1972: Heilman & Satz , 1983; Kinsbourne, 1988).
Pada intinya, penemuan dari hasil investigasi betul-betul
memberi kesan bahwa bagian belakang hemisphere penderita
menghasilkan banyak reaksi emosional pada penderita. Secara
umum, bagian belakang hemisphere stroke banyak berhubungan
dengan terjadinya perbedaan reaksi emosional akhir dari reaksi
catastropic kemudian diserahkan yang mengakibatkan ledakan
emosi dumulai dengan kecemasan dan baru setelah itu
menimbulkan depresi. Adanya keterlibatan hemisphere dengan
persepsi dan ekspresi emosi, dan hal ini melibatkan kurangnya
respek dari kesadaran. Satu hal yang dilihat sebagai dalil yang
selama ini menjadi bukti atau tanda dari depresi tidak banyak yang
terlihat nyata. Hal tersebut di karenakan para penderita tidak paham
dan tidak menyadari efek langsung dari baik atau buruknya efek
psikologis yang dirasakannya.
Resiliensi adalah merupakan faktor penting dalam proses
penyembuhan pasca stroke. Penyesuaian diri secara mandiri, fungsi
penuh dari potensi yang ada tidak bisa dicapai depresi pasca stroke
adalah masalah yang sangat signifikan dan bisa mengakibatkan
efek yang negatif terkait dengan kapasitas fungsional. Penyesuian
43
salah satu dari faktor penting dalam penyembuhan. Selain keluarga,
adanya psikoterapi dan dilibatkannya kelompok-kelompok diskusi
terarah mengenai perasaan para penderita stroke akan sangat
membantu proses pemulihan depresi pada penderita stroke.
B. RESILIENSI PADA PENDERITA STROKE
Mengenai resiliensi pada penderita stroke, dari penjelasan sebelumnya
resilensi adalah kemampuan seseorang untuk tetap hidup atau bangkit dalam
hal ketidakberuntungan atau kesengsaraan. Dapat dipahami bahwa resiliensi
adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok
atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan
dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi
kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat artinya resiliensi akan
membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, keterpurukan, bahkan dengan
tekanan hebat yang inheren dalam dunia sekarang sekalipun Resiliensi bukan
hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi
resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek
kehidupannya menjadi lebih positif (Reivich dan Shatte, 2002). sehingga
individu itu tidak sekedar berhasil beradaptasi terhadap resiko atau k