BAB VII
KESIMPULAN
Kesimpulan
Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama
sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama
dan etnis, juga pastinya memiliki simbol integrasi tersebut. Cita-cita itu sejatinya
termaktub dalam konstitusi kita.
Pertama, berbeda halnya dengan konsep agama sipil yang telah terformulasikan secara sistematis, gagasan tentang religiositas sipil masih
merupakan bahasan baru yang belum pernah dikaji secara komprehensif. Kajian
tentang religiositas sipil dalam karya ini diturunkan dari ide agama sipil. Bellah
menuturkan bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan yang bersifat
publik (public religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu
dapat kita cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati
apa yang oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka tuturan tentang ekspresi agama sipil tersebut sesungguhnya koheren dengan
dimensi religiositas. Tentu, menggambarkan tentang apa yang disebut
religiositas itu sendiri tidaklah mudah. Religiositas merupakan konsep yang
kompleks. Religiositas sinonim dengan kata religiousness, orthodoxy, faith, belief,
piousness, devotion, dan holiness. Religiositas dengan demikian bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami
sebagai religious consciousness. Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan keseharian yang itu bisa dilihat dari pola,
tindakan, tingkah laku yang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Jadi,
mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya
identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab
yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.
Kedua, simbol-simbol kenegaraan dalam perspektif agama sipil biasanya dilakukan dengan menelaah terhadap formasi negara itu. Hal tersebut dimulai
dengan menyisir dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera
kebangsaan, hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi sumber integrasi bagi seluruh komponen warga negara.
Perspektif religiositas sipil tidak hanya melihat dinamika simbolik dalam
formasi negara. Religiositas sipil berusaha untuk memotret model
keberagamaan seperti apa yang yang memungkinkan segala perbedaan di
masyarakat bisa dirawat dan dihargai.
Oleh karena itu, penulis menggunakan tiga perspektif dalam melihat
religiositas sipil, yakni sekularisme, privatisasi dan model pasar. Dengan
menggunakan tiga perspektif tersebut, sekularisme dalam pengertian
pemisahan yang ketat antara agama dan negara di Indonesia ini tidak
mendapatkan presedennya. Maklum, sejak awal Indonesia tidak mengenal
pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Selalu ada warna agama dalam
setiap kebijakan. Meski dasar negara Indonesia adalah Pancasila (bukan agama),
tetapi sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan Pancasila ini tidak sepenuhnya
sebagai simbol yang bersifat sekuler. Ini artinya, teori sekularisasi dalam
pengertian seperti itu, tidak relevan.
Sementara teori privatisasi, merupakan gambaran seperti yang oleh Bellah
ditulis sebagai one man, one faith. Di Indonesia, watak komunalistik masih sangat terjaga. Institutionalized religión juga masih memainkan perannya dengan baik. Agama-agama yang terinstitusionalisasi ini cukup kuat, terutama
Kendati demikian, yang paling mungkin bisa diterapkan adalah pendekatan
market models of religión. Jika Indonesia ini diibaratkan supermarket, maka agama-agama di Indonesia bisa mempercantik dirinya agar memiliki daya tarik. Daya tahan agama pada akhirnya akan sangat tergantung dari cara agama
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sosial. Kendala yang dihadapi
melalui model ini adalah pragmatisme kelompok-kelompok agama. Orientasi
mereka akhirnya haruslah menyesuaikan dengan selera pasar. Tapi justru
disitulah memunculkan arena kontestasinya. Meski agak dekat dengan model
ini, tetapi Indonesia tidak bisa disebut sepenuhnya bisa didekati dengan cara
tersebut. Sebab, peran negara dalam mengatur kehidupan keberagamaan masih
sangat kuat.
Maka dari itu, yang harus dibincangkan adalah peran negara dalam
kaitannya dengan pengaturan soal kehidupan agama. Asumsi utamanya adalah
bahwa di Indonesia negara ada dan hadir dalam kehidupan keagamaan. Dalam konstitusi ia memiliki fungsi untuk menjamin kemerdekaan penduduk dalam meyakini dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Negara tidak bisa memberikan jawaban yang komprehensif seperti halnya
agama. Kalaupun terlilbat dalam pengaturan kehidupan keagamaan, maka
negara hanya mengatur lalu lintas hak warga negaranya saja. Negara harus
dalam posisi netral dari klaim-klaim formal dari keyakinan keagamaan tertentu.
Lalu, dengan model keberagamaan seperti apa yang bisa menjamin
keberlangsungan kehidupan yang pluralistik tersebut?
Penulis mengajukan teorema seperti yang disinggung Cobb, yakni
transformasi, atau tepatnya transformasi religiositas sipil. Prinsip dasar dari
transformasi adalah dalam komitmennya yang kuat terhadap keberimanannya,
seseorang haruslah terbuka kepada yang lain. Orientasi keberagamaan tidak
hanya sekadar beromantisme pada sejarah kejayaan sebuah agama di masa
realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri tetapi mengakui
bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan penting untuk diderivasi dari
tradisi keagamaan yang lain. Religiositas sipil yang transformatif inilah yang
harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai milestone. Prinsip dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agama-agama dalam kontes keindonesiaan.
Ketiga, untuk dapat menjamin keberlangsungan kehidupan yang plural, baik dari sisi agama maupun budaya, maka Pancasila harus dipahami dalam
kerangka kesadaran bersama tentang keharusan menjaga pluralitas,
kemajemukan.
Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno telah berikhtiar agar bangsa
yang Bhineka ini bisa menjadi Eka, dan yang Eka ini tetap menghargai yang
Bhineka. Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah
pasti akan mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang
mendamaikan, tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan
memudarkan tali persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat
menyampaikan pidato tentang Pancasila.
Maka, Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang
satu harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu
sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi
satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang meniadakan egoisme agama itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika
Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian.
Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi
kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan
timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya
bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila
pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu
berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan
sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan
selalu ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia.
Masalah disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti
disiratkan dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan
selalu akan menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan
mengiringi proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat
mengindikasikan hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir,
menyiratkan persoalan pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya
kecemburuan, terutama dalam relasi pusat dan daerah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila
agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga
kemajemukan tersebut?
Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai milestone bangsa Indonesia. Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan
bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik inilah yang merupakan kisah bersama saat mereka yang berbeda itu menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini
yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang hendak keluar dari milestone atau kisah bersama tersebut. Pancasila menjadi semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk
Rekomendasi
Di Indonesia, harus diakui bahwa perkembangan disiplin ilmu sosiologi
agama masih terus mencari bentuk. Tetapi setidaknya penulis melihat ada tiga
isu dominan dalam kajian ini yakni relasi agama-negara, agama dan struktur
dasar masyarakat serta agama dan konflik. Kajian ini merupakan penjabaran
kombinasi dari isu pertama dan kedua.
Dalam tradisi sosiologi agama itu, wacana agama sipil masuk dan
berkembang sekitar tahun 1960-an yang diintrodusir oleh Robert Bellah yang
melanjutkan ide Rousseau. Di Indonesia, ide ini dikenal pada sekitar tahun 2000.
Sehingga boleh dikatakan bahwa ini ide masih sangat baru. Tak heran jika
diskursus agama sipil masih terus diperdebatkan meski akhir-akhir ini
gaungnya tidak terlalu besar.
Berangkat dari wacana agama sipil ini, penulis mengembangkannya
dengan membangun satu perspektif baru, religiositas sipil. Maksud religiositas
sipil tidak sekadar memahami simbol-simbol, realitas transenden, identitas Yang
Maha Kuasa dan lainnya seperti yang ada dalam kajian agama sipil. Wacana ini
hendak mencari ide yang mendasar dari sebuah masyarakat yang plural agar
tetap terjaga kemajemukannya itu. Dalam diskursus Pancasila, penulis hendak
menunjukan cara menempatkan Pancasila dalam usahanya untuk menjaga
pluralitas itu. Jika selama ini perspektif ideologi lebih dominan dalam memotret
Pancasila, penulis memotretnya dengan optik yang berbeda. Penulis
menempatkan Pancasila sebagai milestone , tonggak tentang komitmen bangsa ini dalam menjaga pluralisme agama.
Tentu saja, diskusi ini akan membuka ruang perdebatan baru tentang tiga
perdebatan itu, misalnya, akan muncul dalam pertanyaan apakah relevan
mengkaji Pancasila dari perspektif religiositas sipil atau apakah ide religiositas
sipil itu harus diawal dari gagasan agama sipil.
Penutup
Karya ini tentu saja hanya pemantik bagi diskusi lebih lanjut. Karena
sifatnya sebagai pembuka ruang, maka kajian lain yang lebih kritis akan
dimungkinkan hadir. Dengan menyampaikan rasa syukur ke hadlirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, karya ini akhirnya bisa dihadirkan. Penulis sadari bahwa