8
BAB II
LANDASAN TEORI
1.1. Film Sebagai Media Penyampai Pesan
Film adalah media bertutur manusia dan merupakan alat komunikasi. Film mengekalkan apa yang telah dilakukan manusia selama beribu-ribu tahun, yakni menyampaikan kisah perihal kehidupan. Film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari atau bisa dikatakan bahwa film merupakan representasi dunia nyata (Irwansyah, 2009).
Film terdiri dari rangkaian gambar atau imaji yang bergerak dan sangat menyerupai kenyataan atau realitas. Hal itu kemudian menimbulkan ilusi pada aktivitas penonton dalam mengandaikan pikiran-pikiran dan motivasi dalam film karena gambar dan imaji dalam film tersebut dapat memproyeksikan kehidupan batiniah penonton dan membuat penonton menyerap kejadian di layar dalam dirinya atau disebut juga dengan proses proyeksi dan identifikasi. Realitas yang ada pada film ialah realitas virtual seperti kenyataan yang ditampilkan di dalam cermin. Virtualitas ini bisa terjadi karena film memiliki dua struktur, yaitu struktur batiniah atau plot dan stuktur lahiriah yang dibentuk oleh shot, scene dan sequence (Peransi, 2005). Pesan yang disampaikan dalam film terbagi menjadi dua jenis, yaitu pesan menggunakan bahasa verbal dan pesan dengan bahasa nonverbal (Sobur, 2009). Bahasa verbal adalah bahasa lisan yang diucapkan. Sedangkan
9
bahasa nonverbal adalah bahasa yang melingkupi bahasa tubuh (raut wajah dan gerak tubuh), tanda, tindakan dan objek (Hardjana, 2003). Kode-kode nonverbal dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis (Tahrun dkk, 2016), yaitu:
a. Gerakan Badan (Kinesics)
Gerakan-gerakan badan ini dibagi menjadi lima macam, yaitu emblems yang merupakan isyarat yang mempunyai arti langsung pada simbol yang dibuat oleh gerakan tubuh, illustrators adalah isyarat tubuh untuk menjelaskan sesuatu, affect display atau isyarat yang timbul akibat dorongan emosional dan mempengaruhi mimik wajah, regulator ialah gerakan tubuh pada daerah kepala dan adaptor yang berarti gerakan badan yang muncul sebagai tanda kekesalan.
b. Gerakan Mata (Eye Gaze)
Menurut Mark Knap (dalam Tahrun dkk, 2006: 31) mata merupakan alat indra yang mampu memberikan isyarat tanpa kata. Dalam risetnya, Mark menemukan empat fungsi dari gerakan mata, yakni untuk memperoleh
feedback dari lawan bicara, untuk menyatakan terbukanya saluran
komunikasi, sebagai tanda untuk menyalurkan hubungan dan pengganti jarak fisik.
c. Sentuhan (Touching)
Ada tiga jenis sentuhan badan, yaitu kinesthestic atau isyarat yang menunjukkan keakraban atau kemesraan, sociofugal yakni isyarat dalam menunjukkan relasi sosial, dan thermal ialah isyarat sentuhan badan untuk menyatakan emosional.
10 d. Paralanguage
Isyarat yang muncul dari tekanan atau irama suara untuk mengomunikasikan emosi dan pikiran komunikator sehingga komunikan sapat memahami sesuatu di balik apa yang dikatakan oleh komunikator. e. Diam
Keheningan dalam komunikasi juga mempunyai arti. Maz Picard mengatakan bahwa diam tak selalu berarti negatif seperti marah, sedang sakit ataupun cemas, namun diam juga bisa berarti positif seperti memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara ataupun bentuk dari rasa bahagia.
f. Postur Tubuh
Well dan Siegel (dalam Tahrun dkk, 2006: 31) menggambarkan tiga tipe bentuk tubuh, yaitu ectomorphy adalah postur tubuh kurus dan tinggi,
mesoporphy yakni tubuh yang tegap, tinggi dan atletis, dan endomorphy
ialah bentuk tubuh yang pendek dan gemuk. g. Kedekatan dan Ruang (Proximity and Spatial)
Proximity adalah isyarat yng menunjukkan kedekatan dari obyek-obyek
yang mempunyai arti. Proximity dibedakan menjadi territory atau zone.
Proximity juga dilihat dari ruang dan posisi obyek.
h. Artefak
Selain sebagai hasil kesenian dan peninggalan sejarah, artefak juga bisa menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau bangsa.
11 i. Warna
Warna memberikan arti pada suatu obyek. Warna juga merupakan gambaran suasana hati, cita rasa, afiliasi politik dan sebagainya, termasuk memberikan gambaran maskulinitas dan feminin.
j. Waktu
Waktu dapat memberikan nilai bagi manusia. Waktu dapat menunjukkan kapan seseorang akan melakukan pekerjaan atau tidak.
k. Bunyi
Bunyi-bunyian dapat memberikan isyarat yang bermakna dalam komunikasi. Bunyi dapat dihasilkan oleh manusia, seperti bersiul dan bertepuk tangan, dan dapat pula dihasilkan oleh obyek-obyek sekitar. l. Bau
Bau juga merupakan kode nonverbal yang melambangkan status seperti kosmetika dan juga dijadikan sebagai petunjuk arah.
1.2. Teori Peran dan Kedudukan
Secara psikologi, laki-laki yang dinilai lebih rasional, aktif, berani dan agresif, berbeda dengan perempuan yang lebih emosional, pasif, tunduk dan mengalah. Itulah yang membuat perempuan secara alami ditempatkan pada lingkungan domestik dengan tugas yakni melahirkan dan membesarkan anak, memasak, memberikan perhatian pada suami, menciptakan suasana keluarga yang baik, tentram dan nyaman. Sedangkan laki-laki mempunyai tugas di luar rumah yaitu bekerja untuk menghidupi keluarganya. Hal ini
12
menyebabkan perempuan hanya berkutat dalam dunia domestik dan menggambarkan seolah-olah perempuan diciptakan untuk menikah, berkeluarga dan menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk membangun rumah tangganya, serta membuat perempuan dalam segi ekonomi bergantung pada laki-laki. Pembagian tugas tersebut dibentuk secara kodrati berdasarkan perbedaan seks atau faktor-faktor biologis yang melekat. Dalam dunia psikologi, pembagian ini termasuk ke dalam teori nature (Budiman, 1981:1-3).
Pembagian kerja secara seksual ini juga berlaku dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang memposisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peran laki-laki adalah sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah (Walby, 2014). Sejalan dengan itu, sistem rumah tangga tradisional juga menempatkan laki-laki menjadi sosok yang dominan dan istimewa dalam keluarga. Laki-laki cenderung memiliki kekuasaan absolut dan menempati posisi sebagai pemegang otoritas (superioritas) hingga membuat laki-laki memiliki peran sebagai suami dan kepala keluarga, pencari nafkah utama keluarga dan pengambil keputusan (Surbakti, 2008: 76-79).
Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, menjelaskan bahwa pembagian peran dapat
dipengaruhi oleh gender. Kata gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah pembagian dua jenis kelamin yang secara biologis melekat pada tubuh seseorang berupa alat reproduksi. Dalam artian, secara
13
biologis alat-alat reproduksi tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan dan tidak bisa dipertukarkan dan merupakan kodrat seorang manusia. Sedangkan gender adalah suatu sifat atau karakter yang ada pada diri perempuan dan laki-laki yang dibentuk, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural. Perempuan bersifat lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sedangkan laki-laki disebut sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat inilah yang menimbulkan perbedaan dan ketidakadilan gender baik bagi perempuan maupun laki-laki. Marginalisasi ekonomi, diskriminasi, kekerasan bahkan hingga perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan aktivitas dalam rumah tangga, adalah merupakan bentuk dari ketidakadilan gender. Perempuan yang dinilai mempunyai fisik yang tidak sekuat laki-laki dan mempunyai sifat lemah lembut dan halus, membuat perempuan selalu diberikan pekerjaan ringan seperti melayani dan merawat dalam ranah private, ranah domestik. Sedangkan laki-laki, mereka mempunyai kuasa untuk melangkah ke ranah publik (Fakih, 1996).
Melihat peran seseorang tidak bisa dilepaskan dari kedudukannya. Kedudukan adalah status atau posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat atau kelompok sosial yang berhubungan dengan orang lain, sedangkan peran adalah perilaku yang meliputi hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan kedudukannya (Waluya, 2007: 23-24). Kedudukan perempuan dan laki-laki dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor sosio-budaya masyarakat dan kuasa ekonomi (Lahade, 2011: 52). Dalam segi ekonomi misalnya, perempuan atau istri akan diberikan tugas untuk mengelola keuangan keluarga dalam pemenuhan belanja rumah tangga tetapi
14
semua yang menjadi alat-alat produksi dan perabotan rumah tangga tetap menjadi milik suami. Namun, jika istri memperoleh penghasilan lebih tinggi dari suami, maka sang istri dapat mempengaruhi keputusan dalam rumah tangga (Lahade, 2011: 42-46).
1.3. Dekonstruksi Derrida
Jacques Derrida adalah salah satu tokoh dekonstruksionalisme yang merupakan seorang filsuf Yahudi Aljazair di Perancis. Pada tahun 1967, Derrida menerbitkan ketiga bukunya, yaitu Of Grammatology, Speech and
Phenomena, dan Writing and Difference (Sarup, 2004: 51). Menurut Derrida,
dekonstruksi adalah proses untuk membaca dan menulis baru dengan cara membongkar teks dan menyibak sesuatu yang tidak dikatakan oleh teks itu. Titik berat dari dekonstruksi Derrida adalah bahasa karena bahasa dianggap sebagai representasi dari realitas dan alat mengungkapkan ide dan gagasan yang memuat berbagai macam kepentingan. Dekonstruksi Derrida memandang bahwa tulisan adalah bentuk permainan bahasa dan mengalami perubahan makna terus-menerus hingga tidak dapat menyentuh kebenaran yang mutlak (Sobur, 2009: 96-100).
Berbeda dengan Ferdinand de Saussure yang berpendapat bahwa bahasa lisan jauh lebih superior dibandingkan dengan bahasa tulisan karena kehadiran pembicara yang menyampaikan pesan secara langsung ke pendengarnya (Saussure, 1959: 65), Derrida justru berpendapat sebaliknya. Derrida membantah Saussure dengan memberikan bukti melalui dua kata, yaitu différance yang berarti menunda atau menangguhkan dan difference
15
yang berarti perbedaan. Kedua kata tersebut memiliki pelafalan yang sama namun memiliki arti yang berbeda sehingga tidak bisa hanya dibedakan berdasarkan apa yang didengar tetapi juga harus memperhatikan apa yang tertulis. Derrida juga menggunakan konsep dekonstruksi untuk menunjukkan ketidaksesuaian logika yang disebutkan secara eksplisit dan implisit yang tersembunyi di dalam teks serta membongkar pemikiran yang sudah dianggap normal dan sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menganalisis unsur teks menurut Derrida, dilakukan tanpa memerlukan makna dari pengarang karena pengarang dianggap tidak hadir di dalam teks (Budianta, 2002: 44-46).
Haryatmoko menyebutkan setidaknya ada tiga konsep dalam dekonstruksi Derrida (Haryatmoko, 2017: 213-250).
1. Prinsip Intern Teks Mengusik Sistem Kebenaran
Dekonstruksi bisa terjadi jika pembaca tidak percaya dan merasa curiga terhadap pemaknaan teks dan hubungan hierarki penanda-petanda. Dalam dekonstruksi, pembacaan dilakukan dengan melihat di mana teks meletakkan pusat dirinya, bagaimana mengonstruksi kebenaran dan pemaknaan, dan melihat bagaimana mereka saling bertentangan (Klages dalam Haryatmoko, 2017: 216). Hal ini untuk mengungkapkan pusat teks dan melihat yang terjadi pada struktur teks jika ada suatu konsep dihilangkan.
2. Undécidable: Membongkar Hierarki Metafisik
Dekonstruksi berbeda dengan dialektika yang berambisi mencapai pengetahuan mutlak dan menguasai makna secara penuh. Dialektika
16
bekerja dengan menjamin penguasaan pikiran dengan praandaian bahwa yang negatif bisa diangkat dan memiliki makna dengan cara dibersihkan, diinteriorisasi, dan dihilangkan sehingga dapat diterima sejarah sebagai unsur dialektika. Dekonsrtuksi mau meruntuhkan bentuk-bentuk tradisi idealis yang menjadi bentuk metafisika yang melekat pada bahasa ini. Dekonstruksi melihat curiga semua bentuk oposisi dan negasi yang menyembunyikan hubungan dominasi atau hierarki. Caranya adalah dengan menetralisir oposisi setelah membalikkan hubungan hierarkisnya (Goldschmit dalam Haryatmoko, 2017: 219).
Menggunakan undécidabilitas teks berarti bahwa teks mempunyai makna yang tak menentu, tidak bisa langsung diputuskan, plural, dan bisa saling bertentangan. Ada empat langkah dalam mengenali undécidable. Pertama, mencatat semua tafsiran tentang sifat, kejadian, gambar yang terdapat dalam teks. Kedua, menunjukkan bagaimana tafsiran itu saling bertentangan. Ketiga, mengungkapkan konflik-konflik tersebut menghasilkan lebih banyak tafsir. Keempat, dengan menggunakan ketiga langkah sebelumnya untuk menentukan undécidabilitas teks. Cara ini digunakan agar pembaca dan teks saling terkait dalam penyaluran makna-makna bahasa (Tyson dalam Haryatmoko, 2017: 221).
3. Masalah Penyebaran Makna (Diseminasi)
Derrida mengatakan bahwa tekstualitas teks terletak pada gramatika atau sintaksis yang membentuk teks dan mengurainya. Teks erat kaitannya dengan organisasi retorika dan sintaksis adalah penghubung ke makna, acuran kebenaran, penataan prosedur-prosedur dan semua analitis di
17
dalamnya yang berupa pilihan kata, gaya bahasa, penataan urutan logika (Derrida dalam Haryatmoko, 2017: 222). Dengan memperhatikan aspek sintaksis, Derrida mau menyasar pada diseminasi atau penyebaran makna yang dipahami sebagai ‘mempunyai efek’, ‘menyebar makna di antara tak terhitung alternatif’, atau ‘menegasi makna tetap tertentu’.
Derrida juga membalikkan hubungan hierarki ucapan-tulisan dengan memprioritaskan pada tulisan dalam bentuk teks. Dengan begitu, teks dapat secara bebas lepas dari makna yang diberikan oleh pengarang dan konteks produksi awal. Berbeda dengan ucapan yang merupakan wacana yang tidak terpaku dan bisa melarikan diri dan bisa ingkar janji, tulisan justru membuat wacana terpaku dan tak dapat menghindar dari tuntutan. Pemahaman teks tak bisa hanya tergantung pada subjek karena semantik tidak terlepas dari ikatan makna yang diberikan oleh sintaksis.
1.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan penelitian. Dari penelitian terdahulu, peneliti tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian peneliti. Namun, peneliti mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian peneliti. Berikut merupakan penelitian yang terkait dengan penelitian yang dilakukan peneliti.
1. Skripsi Olivia Karunianti Putri yang dibuat tahun 2017 yang berjudul Dekonstruksi Nilai Perempuan India dalam Film Bollywood (Analisis Semiotika dalam Film Ki and Ka Karya R. Balki). Hasil penelitan ini
18
menampilkan perempuan dalam Film Ki and Ka sebagai sosok yang mempunyai kebebasan penuh atas dirinya sendiri dan telah menjadi pemimpin yang dominan terhadap laki-laki. Hal ini memberikan mitos baru dalam perfilman Bollywood dengan tidak lagi pertumpu pada tradisi India dari dharma, sastra Hindu yang menggambarkan perempuan ideal. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Putri adalah Putri melakukan penelitian dengan mengambil perempuan sebagai obyek kajian penelitian, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang menggunakan laki-laki sebagai obyek kajian penelitian (Putri, 2017).
2. Skripsi Jauharotul Ulumiyah yang dibuat tahun 2017 yang berjudul Narasi Peran Domestik dalam Film Ki & Ka (Analisis Naratif dalam Film Bollywood Ki & Ka). Hasil penelitiannya adalah film Ki & Ka menceritakan pembagian peran domestik masyarakat perkotaan di India melalui tiga hal, yaitu pertama, latar tempat apartemen yang menggambarkan perubahan sosiologis budaya India dengan memperbolehkan perempuan India tinggal di apartemen yang dulunya diharuskan tinggal di rumah, dan latar waktu yang menggambarkan suasana India zaman sekarang yang modern dan maju dengan jalanan yang beraspal, mobil-mobil mewah yang berlalu lalang, hotel dan apartemen, tempat-tempat hiburan, supermarket serta bandara. Kedua penggambaran karakter Kia yang sudah sangat modern dengan tidak lagi mengenakan sari dan pakaian tradisional India. Ketiga, point of
19
subyektif yang menceritakan pembagian peran domestik dalam kalangan menengah di India, di mana Kia bekerja dalam ranah publik sebagai pencari nafkah dan Kabir sebagai pengurus rumah tangga. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Ulumiyah ialah terletak pada teori yang digunakan oleh Ulumiyah merupakan teori analisis naratif Helen Fulton yang tidak digunakan oleh peneliti (Ulumiyah, 2017).
3. Skripsi Abdul Wazib tahun 2017 dengan judul Tafsir Sosial Atas Kode Protagogis (Analisis Dekonstruksi Derrida terhadap Tokoh Margio dalam Novel “Lelaki Harimau”). Hasil penelitiannya menunjukkan tokoh Margio dalam novel tersebut sebagai sosok protagonis dan ditempatkan pada titik ordinat dalam penceritaan dengan tindakan pembunuhannya terhadap Anwar menggambarkan sikap heroisme dan patriotisme. Kemudian penelitian ini menjelaskan terdapat kode-kode yang melekat pada tokoh Margio, yaitu Margio adalah sebuah fenomena “rasio instrumental”, Margio juga diasumsikan sebagai sebuah keadaan situasional mengenai “pembentukan subjek”, dan parodi mengenai citra-citra kebinatangan sebagai kode yang melekat pada Margio. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Wazib ialah Wazib meneliti dekonstruksi pada novel sedangkan peneliti meneliti dekonstruksi pada film (Wazib, 2017).
20 1.5. Kerangka Pikir
Gender adalah perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki. Gender dikonstruksikan dalam masyarakat menjadi dua bagian, yaitu maskulin dan feminin. Konstruksi ini berpengaruh pada aktivitas manusia, termasuk pembagian kerja domestik dalam kehidupan rumah tangga. Laki-laki yang memiliki sifat dan sikap maskulin dikontruksikan sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan sebagai sosok feminin dituntut untuk mengerjakan aktivitas domestik. Hal itu lumrah digambarkan di dalam film, termasuk pada film-film industri Bollywood. Namun, film Bollywood Ki & Ka menceritakan sosok laki-laki yang mengambil pekerjaan domestik dan sosok perempuan yang menjadi pencari nafkah. Dengan menggunakan perspektif gender, dapat diperhatikan peran yang dilakukan oleh sosok laki-laki di dalam film Bollywood Ki & Ka. Lalu teori dekonstruksi Derrida memberikan dekonstruksi dari peran laki-laki dalam film Bollywood Ki & Ka. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
21
Bagan 2.1. Kerangka Pikir
Gender
Pembagian kerja domestik
Maskulin Feminin
Dekonstruksi Peran Laki-laki dalam Film Bollywood Ki & Ka
Peran Laki-laki dalam Film
Bollywood Ki & Ka
Teori Dekonstruksi Derrida
Gender Perspective