PENYUSUNAN MODEL ANALISA
PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN
BERSAMA PEMERINTAH DAN
PEMERINTAH DAERAH DALAM
RANGKA MENDORONG
TERWUJUDNYA SINERGI PUSAT DAN
DAERAH
Direktorat Perencanaan Pembangunan
Daerah
Ditjen Bina Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri
2013
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Esa atas
terselesaikannya laporan Kajian Penyusunan Model Analisis Pembagian Urusan
Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Guna Mendorong
Terwujudnya Sinergi Pusat Dan Daerah.
Pembagian kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan
otonomi daerah. Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari
proses perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya.
Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian
kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran
antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan
pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih
menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima
pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.
Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan
(TP) sebagian besar Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan
pembangunan daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas
pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
Kami berharap kajian ini dapat menjadi masukan bagi seluruh stakeholder terkait
dalam melakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan implementasi otonomi daerah.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR BAGAN ... vi
DAFTAR GRAFIK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan dan Sasaran ... 2
1.3. Hasil yang diharapkan... 2
1.4. Sistematika Laporan ... 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 4
2.1. Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 ... 4
2.2. Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan ... 11
2.3. Review Kajian Sebelumnya ... 19
2.3.1. Implementasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan ... 19
2.3.2. Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 27
2.3.3. Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK ... 31
2.3.3.1. Asumsi/Pra-anggapan... 31
2.3.3.3. Pendekatan Analisa Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ... 33
2.3.3.4. Rekomendasi Kebijakan ... 34
BAB III PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN KONKUREN BERDASARKAN HASIL RAPAT KOORDINASI DI KEMENTERIAN/LEMBAGA ... 36
3.1. Rapat Koordinasi Pusat ... 36
3.1.1. Dasar Hukum Penyelenggaraan ... 36
3.1.2. Tujuan Rapat ... 36
3.1.3. Konsep Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 .. 37
3.1.4. Permasalahan Penyelenggaraan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah ... 38
3.1.5. Model Analisa Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Sinergi Pusat Dan Daerah ... 38
3.2. Rapat koordinasi pusat dan daerah ... 39
3.2.1. Dasar hukum penyelenggaraan:... 39
3.2.2. Tujuan Rapat ... 39
3.2.3. Konsep Pemetaan Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 40
3.2.4. Hasil Uji Petik Penyusunan Model Analisis Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah ... 41
BAB IV PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN KONKUREN BERDASARKAN
HASIL KUNJUNGAN KE TIGA PROPINSI ... 43
4.1. Provinsi Jawa Timur ... 43
4.1.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Jatim ... 43
4.1.2. Pengolahan dan Analisis Data Kuesioner Provinsi Jatim ... 44
4.1.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Jatim ... 46
4.1.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Jatim ... 57
4.2. Provinsi Kalimantan Tengah ... 71
4.2.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Kalteng ... 71
4.2.2. Hasil Pengolahan Kuesioner Provinsi Kalteng ... 73
4.2.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Kalteng ... 75
4.2.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Kalteng ... 86
4.3. Provinsi Sulawesi Tengah ... 98
4.3.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Sulteng ... 98
4.3.2. Hasil Pengolahan dan Analisis Data Kuesioner Provinsi Sulteng ... 101
4.3.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Sulteng ... 102
4.3.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Sulteng ... 112
BAB V MODEL SINERGITAS ANTARA PUSAT DAN DAERAH ... 126
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 128
6.1. Kesimpulan ... 128
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
DAFTAR GRAFIK
Grafik 44. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Kalteng ... 85 Grafik 45. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi (Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Kalteng ... 86 Grafik 46. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di Prov. Kalteng ... 86 Grafik 47. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD
Prov. Kalteng
87
Grafik 71. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Prov. Sulteng ... 108 Grafik 72. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang Satu Dengan Wilayah Yang Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi Sulteng .... 109 Grafik 73. Penilaian terhadap program melalui anggaran Dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan antara tahun anggaran terdahulu dengan tahun anggaran berikutnya (integrasi antar waktu) Prov. Sulteng 110 Grafik 74. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Sulteng.. 111 Grafik 75. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi (Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Sulteng ... 111 Grafik 76. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di Prov. Sulteng ... 112 Grafik 77. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD
Prov. Sulteng
113
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kesatuan dalam sistem pemerintahannya menerapkan
konsep otonomi daerah dalam melaksanakan sistem pemerintahannya. Pembagian
kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan otonomi daerah.
Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah
dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari proses
perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil kunjungan lapang
dan diskusi dengan stkaholder terkait di daerah, didapat banyak masukan terkait
permasalahan serta upaya penyempurnaan pembagian kewenangan bersama
pemerintah dan pemerintah daerah.
Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian
kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran
antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan
pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih
menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima
pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.
Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan TP sebagian besar
Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan pembangunan
daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan
prioritas pembangunan daerah.
Dalam mendukung langkah-langkah tersebut, maka perlu dilakukan penyusunan
model analisis pembagian urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah
daerah guna mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah serta dibantu oleh
Tenaga Ahli dalam bidang penyusunan model analisis pemetaan urusan kewenangan
1.2. Tujuan dan Sasaran
1) Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyusun model analisa pemetaan urusan
kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka
mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah
2) Sasaran
a. Teridentifikasinya bentuk/model pemetaaan urusan kewenangan
bersama pemerintah dan pemerintah daerah di beberapa provinsi dan
kabupaten terpilih.
b. Terciptanya model pemetaaan urusan kewenangan bersama pemerintah
dan pemerintah daerah;
c. Mendorong terwujudnya terwujudnya sinergi pusat dan daerah.
1.3. Hasil yang diharapkan
Tersusunnya 1 (satu) dokumen model analisa pemetaan urusan kewenangan
bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka mendorong terwujudnya
sinergi pusat dan daerah.
1.4. Sistematika Laporan
Bab I Pendahuluan membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran serta
sistematika penulisan laporan.
Bab II Kajian Pustaka membahas tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah,
Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan.
Bab III Hasil Kunjungan Lapang membahas tentang hasil FGD di 3 (tiga) provinsi yaitu
Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.
Bab IV Pengolahan dan Analisis data membahas tentang hasil pengolahan data
berdasarkan kuesioner dan masukan pada rapat koordinasi di Jakarta.
Bab V Review Kajian Sebelumnya yaitu membahas tentang beberapa hasil kajian yang
Bab VI Kesimpulan dan Saran membahas tentang kesimpulan hasil kajian dan saran
serta rekomendasi kebijakan pemetaan urusan bersama Pemerintah dan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun
2004
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom.
Pada dasarnya kewenangan pemerintahan dalam negara kesatuan adalah milik
pemerintah pusat. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan
kewenangan pemerintahan tersebut kepada daerah. Penyerahan wewenang terdiri dari: Materi wewenang (semua urusan pemerintahan yang terdiri atas urusan
pemerintahan umum dan urusan pemerintahan lainnya)
Manusia yang diserahi wewenang (masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan sebagai kesatuan masyarakat hukum)
Wilayah yang diserahi wewenang (daerah otonom, bukan wilayah administrasi)
Secara umum pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah adalah digambarakan sebagai bagan 1 di bawah ini.
Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya
kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, yakni urusan
pemerintahan yang terdiri dari:
1. Politik Luar Negeri, dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk
warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan
kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan
kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya;
2. Pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,
menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara
dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan
negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara
bagi setiap warga negara dan sebagainya;
3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menindak
kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan
sebagainya;
4. Moneter, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan
kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa,
mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman
keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya;
6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,
memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan
dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian
tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent,
yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan
demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada
provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional
antar pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, maka kriteria yang dapat digunakan
antara lain meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar
tingkat pemerintahan. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang
ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/kota. Apabila bersifat regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila
bersifat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini
mengenai anatomi urusan pemerintahan pusat dan daerah seperti bagan 2 di bawah
ini.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian
urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat
dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan
bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil,dana, dan peralatan)
untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai
dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam
penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan
oleh provinsi dan /atau kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah
pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada provinsi dan/atau
kabupaten/kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut tetap
ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus
disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan
pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya risiko yang harus dihadapi.
Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan
yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling
mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, ditempuh
melalui mekanisme penyerahan dan/atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian
urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan
tersebut, pemerintah akan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan
pengaturan atas bagian urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.
Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan yang
bersifat dasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan
yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan kabupaten/kota, yang bersifat lintas
kabupaten/kota menjadi urusan provinsi dan yang bersifat lintas provinsi menjadi
kewenangan pusat. Untuk mencegah suatu daerah menghindari sesuatu urusan yang
sebenarnya esensial untuk daerah tersebut, maka perlu adanya penentuan standar
urusan dasar atau pokok yang harus dilakukan oleh suatu daerah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Dalam Bab III Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
tentang pemerintahan daerah ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama). Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara
langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh
pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari
pemerintah kabupaten/kota ke desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dalam
kaitan ini adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan
pelayanan dasar warga negara, antara lain perlindungan hak konstitusional;
perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan
ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia; pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan
konvensi internasional.
Sedangkan urusan pilihan dalam kaitan ini adalah urusan yang secara nyata ada
di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana
serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi,usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
q. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
r. Dengan demikian, hubungan pusat-daerah dalam bidang kewenangan akan
terlihat dalam pelaksanaan berbagai urusan yang bersifat concurrent dan urusan
Bagan 3. Urusan Pemerintahan Yang Diotonomikan
2.2. Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi
dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu,
sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang
pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.1
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah
1
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
2
Ibid.
3
provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil
Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek
rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten
dan kota.
Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a. terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar
daerah;
c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan
antarpemerintahan di daerah;
d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya
daerah;
e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta
pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum
masyarakat; dan
f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system
administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.2
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan
prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang
disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan
diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat
dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian
tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum.
2
Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan
penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan
pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.
Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah
dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang
tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas
kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas
memberikan konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan
pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus
didanai dari APBD, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah harus didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga.
Pengaturan pendanaan kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup pendanaan
sebagian urusan pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan
asas dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada
daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu
sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan3
3
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah yang dalam system
pengaturannya tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga aspek
pengelolaan dan pertanggungjawaban. Sejalan dengan hal itu, maka penyerahan
wewenang pemerintahan, pelimpahan wewenang pemerintahan, dan penugasan dari
Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan juga harus diikuti dengan pengaturan pendanaan dan pemanfaatan
sumber daya nasional secara efisien dan efektif.
Bagan 4. Struktur Belanja Pemerintah Berdasarkan Pembagian Kewenangan
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka
penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
komprehensif. Berikut akan dijabarkan lebih lanjut berkenaan dengan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan
dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi4. Penyelenggaraan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:
a. pelimpahan urusan pemerintahan;
b. tata cara pelimpahan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. tata cara penarikan pelimpahan.
Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsip pendanaan;
b. perencanaan dan penganggaran;
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008
meliputi:
a. penyelenggaraan dekonsentrasi; dan
b. pengelolaan dana dekonsentrasi.
Penyelenggaraan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penugasan urusan pemerintahan;
b. tata cara penugasan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. penghentian tugas pembantuan.
Pengelolaan dana tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsip pendanaan;
b. perencanaan dan penganggaran;
4
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan tugas pembantuan.
Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008
meliputi:
a. penyelenggaraan tugas pembantuan; dan
b. pengelolaan dana tugas pembantuan.
Pelimpahan Urusan Pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
berdasarkan Pasal 11 PP 7/2008 meliputi: (1) Pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan dapat dilakukan kepada gubernur. (2) Selain dilimpahkan kepada
gubernur, sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada: (a) instansi
vertikal; (b) pejabat Pemerintah di daerah. Jangkauan pelayanan atas penyelenggaraan
sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan dapat melampaui satu wilayah
administrasi pemerintahan provinsi.
Untuk urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam
Pasal 13 ayat (3) PP 7/2008, didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga
melalui dana dekonsentrasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk
kegiatan yang bersifat non-fisik. Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh
Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
Penerimaan sebagai akibat pelaksanaan dekonsentrasi merupakan penerimaan negara
dan wajib disetor oleh Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran ke Rekening Kas Umum
Negara sesuai dengan peraturan perundangundangan. Semua barang yang dibeli atau
diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara. Barang
milik negara tersebut dapat dihibahkan kepada daerah.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial
dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi
penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak
lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas
laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas
Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana
dekonsentrasi.
Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas
pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah
desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga
dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau
pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta,
Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah
desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan
pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan
yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota
dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut
peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan
pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada
pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBN bagian
anggaran kementerian/lembaga melalui dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan
yang ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau
pemerintah desa didanai dari APBD provinsi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari
pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa didanai dari APBD
kabupaten/kota.
Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang
bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas
pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapaT dihibahkan
dalam Pasal 57 ayat (2) PP 7/2008, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengelolaan barang milik negara/daerah.
Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan
realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan
saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca,
catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi atau
kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang tugas pembantuan
bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK atas pengelolaan dan
pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan
keuangan berupa pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja berupa
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pemeriksaan atas
aspek ekonomi dan efisiensi serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan
investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern Pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan,
pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.
2. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas.
3. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK
dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
2.3. Review Kajian Sebelumnya
Dari hasil review terhadap kajian dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan yang sudah dilakukan sebelumnya, diantaranya Beny Trias Oktora 5
menunjukkan gambaran sebagai berikut:
2.3.1. Implementasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak
tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan
nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan
revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
dengan ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua
undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah
dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan
pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas
daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi
regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan
Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus.
Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana
Transfer ke Daerah.
Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk
membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah,
yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan
5
program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak
masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata
dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik.
Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi.
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Dana Dekonsentrasi
merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari
Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari
APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan
adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten,
atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut:
1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah.
3) PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
4) PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga.
5) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
6) PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan
pada salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan
dekonsentrasi yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas
pembantuan pada kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan.
Alokasi dana APBN dari pemerintah pusat untuk Dinas Kesehatan Propinsi Maluku
Utara khusunya dekonsentrasi pada tiap tahunnya mengalami peningkatan sedangkan
dana tugas pembantuan yang turun dalam bentuk bantuan Inpres 6 untuk Daerah
Pasca Konfik yang terdiri atas 2 kegiatan yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan pada tiap tahunnya mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan kebutuhan rill yang dituangkan dalam draft usulan anggaran pada tiap
tahunnya. Sejak tahun 2005-2007, alokasi anggaran yang turun hanya berkisar antara
45% - 50%.
Mekanisme turunnya anggaran yang terjadi selama ini tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Tahun 2005 sampai 2007 rata-rata turunnya anggaran pada
bulan Juni hingga Juli. Pada tahun 2007 kondisi anggaran dekonsentrasi dan tugas
pembantuan mengalami devisit secara nasional sehingga berimbas pada pemanfaatan
anggaran tersebut didaerah dimana daerah mengalami pemotongan anggaran
sebanyak 15%. Kemudian di tahun 2008 ini, kepastian tentang pengalokasian dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sendiri juga belum jelas.
Mekanisme proses perencanaan dan penganggaran baik dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005- 2007
selama ini telah melibatkan seluruh komponen di tingkat kabupaten/kota maupun intern
Dinas Kesehatan itu sendiri. Perencanaan penganggaran kegiatan dana dekonsentrasi
untuk masing-masing program khususnya program malaria maupun gizi, dilakukan pada
saat rapat evaluasi program. Hasil yang diperoleh dari evaluasi program ini kemudian
ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke dalam sebuah Rapat Kerja Kesehatan
Daerah (RAKERKESDA) guna membahas lebih lanjut rencana kerja tahunan kesehatan
Pada proses perencanaan dan penganggaran kegiatan dana tugas pembantuan
untuk masing-masing program sama dengan proses perencanaan dan penggaran dana
dekonsentrasi. Propinsi Maluku Utara selama ini dalam proses perencanaan dan
pengaanggran hanya melakukan lobby untuk dana tugas pembantuan sampai di tingkat
Departemen Kesehatan. Lobby tidak dilakukan sampai di tingkat DPR. Lobby di tingkat
DPR hanya dilakukan olen oleh departemen kesehatan sehingga Propinsi Maluku Utara
dapat dikatakan tidak pernah melakukan proses lobby penentuan jumlah besaran dana
yang akan disetujui kepada DPR.
Realisasi dilapangan selama ini juga menunjukkan bahwa selalu muncul gap
antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah setiap
tahunnya. Munculnya gap ini penulis asumsikan disebabkan oleh sistem perencanaan
dan penganggaran yang terjadi selama ini di propinsi belum sejalan dengan apa yang
ditentukan di dalam PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan seharusnya. Sehingga transfer dana yang sampai di daerah berbeda
antara DIPA yang disetujui dan dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan
draft usulan yang ajukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara. Selalu muncul
gap antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah pada
setiap tahunnya.
Hal ini sejalan dengan PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, dimana proses perencanaan dana dekonsentrasi maupun tugas
pembantuan ini harus melibatkan seluruh jajaran di tingkat daerah bahkan sampai di
tingkat desa. Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan telah
melibatkan seluruh pemegang program propinsi, Dinas Kesehatan kabupaten/kota serta
puskesmas sebagai instansi kesehatan di tingkat desa. Pemerintah Daerah diwajibkan
membuat rencana indikatif kebutuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
diperlukan oleh setiap sektor di daerahnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya, interaksi yang terjadi antara
komponen-komponen terkait dalam proses perencanaan anggaran ini, mengakibatkan
terjadinya lobby dan negosiasi. Lobby dan negosiasi yang dilakukan oleh Dinas
melibatkan komponen yang ada diluar Dinas Kesehatan. Lobby dan negosiasi yang
dilakukan adalah baru pada sebatas dengan unit esalon I vertikal. Lobby dan negosiasi
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara selama ini belum
menunjukan hasil yang sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya.
Pada saat ini, lobby dan negosiasi yang dilakukan dengan memanfaatkan
kekuatan politis ternyata memiliki dampak dan hasil yang lebih baik. Lobby dan
negoisasi sangat penting dalam proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan di daerah Lebih lanjut dikatakan bahwa lobby dan pendekatan serta
advokasi kepada partai politik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan, metode pendekatan ini bisa diterapkan dalam upaya untuk
melancarkan draft perencanaan anggaran dan kegiatan yang sesuai dengan
permasalahan dan kebutuhan daerah. Penyusunan rancangan kebijakan harus
memperhitungkan juga aspek nilai-nilai politik misalnya partai politik yang dalam
sistematika pemerintahan dan demokrasi memegang peranan yang paling penting
dalam sebuah birokrasi
Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa advokasi di dalam penganggaran
sangat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara input dengan
ouput yang diharapkan atau dengan kata lain harapan akan realisasi dana
dekonsentrasi yang sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah melalui usulan daerah
tersebut dapat terpenuhi. Untuk melakukan advokasi bukan sekedar melakukan
lobby-lobby politik, tetapi mencakup kegiatan persuasif, memberikan semangat dan bahkan
sampai memberikan tekanan kepada para pemimpin institusi. Oleh karena itu
prinsip-prinsip advocacy ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan dan
argumentasi-argumentasi. Adapun tujuan utama yang diharapkan dari advokasi adalah untuk
memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan dari para penentu kebijakan atau
pembuat keputusan di segala tingkat. Besar kecilnya realisasi dana dekonsentrasi dan
dana tugas pembantuan bagi masing-masing daerah sangat tergantung dari variabel
yang diduga dominan yaitu adanya political approach seperti negosiasi dan lobby.
Relalisasi dana untuk kegiatan dalam DIPA dengan kebutuhan dana yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Keuangan negara yang memang minim
untuk mengeluarkan anggaran yang besar di bidang kesehatan dan kesehatan tidak
termasuk dalam prioritas pembangunan. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan
rendahnya biaya kesehatan di Indonesia yaitu keuangan negara yang memang minim
untuk membiayai pelayanan kesehatan serta sektor kesehatan yang tidak termasuk
dalam prioritas pembangunan, rendahnya alokasi anggaran yang diperoleh Dinas
Kesehatan dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam
anggaran tetapi tidak mendapat persetujuan dari pusat.
Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:
1) Kebijakan dalam mengalokasikan anggaran APBN tidak didasarkan pada
kebutuhan dinas kesehatan propinsi,
2) ketidakmampuan SDM perencana dinas kesehatan dalam meyakinkan pusat
tentang pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut
Selama ini daerah mungkin terlalu besar membuat perencanaan dana untuk
pelaksanaan kegiatan/program dan daerah cenderung mengurangi besarnya jumlah
anggaran dari daerah sendiri di bidang kesehatan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Rienke dan Taylor (1996) yang mengatakan bahwa menyusun bahan perencanaan
kesehatan bukan hal yang sederhana sehingga output yang dihasilkan juga belum
sesuai dengan yang diharapkan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai
salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain
untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (ii)
meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan
pelayanan publik antar daerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya
nasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan
pengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil;
(v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping
itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah
Dengan model pendekatan top down ini, mengakibatkan adanya ketidaksesuaian
dalam isian DIPA dengan kegiatan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini dikarenakan oleh
karena daerah tidak diberikan sebuah keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis
kegiatan yang sesuai dengan perasalahan dan kebutuhan nyata yang ada didaeranya.
Fenomena ini sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Herawati yang menjelaskan
bahwa permasalahan ketidaksesuaian realisasi dana dekonsentrasi maupun dana
pembantuan dengan perencanaan yang diusulkan oleh daerah karena daerah mungkin
belum memiliki decision space yang luas
Selama ini aturan keuangan pusat dan daerah dalam satu sisi hanya untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, sedang di sisi lain adalah untuk
memfasilitasi proses pembangunan di daerah yang dijalankan di bawah skema otonomi
daerah. Proses pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan
sentralisme otoriter, dimana konsep perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan
dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah.
Di era desentralisasi ini idealnya daerah harus mempunyai kewenangan dan
decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan
menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Hal ini sebagaimana dengan konsep
decision space yang dikemukakan oleh Bossert bahwa decision space digunakan untuk
mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di berbagai negara Decision space
adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan bagi daerah tersebut untuk mempunyai
kewenangan yang dapat meningkatkan pilihan mereka. Kenyataannya Propinsi Maluku
Utara sejauh ini belum memiliki decision space. Selain itu, kemungkinan
ketidaksesuaian realisasi dana dengan usulan juga dapat dipengaruhi oleh faktor
Departemen Kesehatan RI sendiri belum memiliki formulasi anggaran untuk alokasi
secara khusus sehingga kemungkinan timbulnya ketidakadilan dalam alokasi anggaran
dari pemerintah pusat sangat mungkin terjadi. Secara ideal Departemen Kesehatan RI
dalam mengalokasikan anggaran harus memenuhi kriteria equity dan equality
ketidaksesuaian realisasi dengan dana yang diusulkan karena meningkatnya dana
Di dalam konsep desentralisasi pemerintah pusat masih mempunyai peran
sebagai pemberi anggaran melalui anggaran dekonsentrasi yang akan sampai ke
propinsi. Logikanya dana dekonsentrasi akan semakin menurun seiring dengan semakin
meningkatnya dana desentralisasi. Secara praktis hal ini diwujudkan dalam fenomena
merger-nya kantor-kantor wilayah departemen teknis ke pemerintah daerah.
Penghilangan pola vertikal dekonsentrasi ini diwujudkan dalam pola dekonsentrasi di
pemerintahan provinsi yang masih didanai oleh pusat. Berdasarkan kenyataan ini maka
kriteria transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi penting. Secara teoritis
ada berbagai kriteria dalam transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang
mengkategorikan kriteria
Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan
malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005-2007 masih
tergantung dari hasil lobby dan negosiasi antara Dinas Kesehatan Propinsi dengan
Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara belum melakukan
lobby dan negoisasi langsung dengan DPR dan hanya mengklarifiasikan dana yang
keluar dengan DJA.
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan
ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yang
terealisasi dalam DIPA belum memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya di Dinas
Kesehatan Maluku Utara tahun sejak 2005-2007. Dampak yang ditimbulkan akibat
keterlambatan turunnya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap
pelaksanan kegiatan malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak tahun
2005-2007 adalah tingkat capaian masing-masing program belum sesuai dengan target.
Kebijakan tentang formulasi dan teknik alokasi dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tahun 2005- 2007 selama ini di Propinsi Maluku Utara masih bersifat top
down dan belum menyesuaikan dengan anggaran dari pemerintah daerah, artinya
2.3.2. Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus
(DAK)
Prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas
otonomi daerah sesungguhnya ada yang terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas
benar adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi
urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Penuntasan
atas mana yang menjadi urusan pusat dan urusan daerah yang belum benar-benar
rampung menyisakan kendala dan menjadi persoalan serius terutama dalam
pelaksanaan urusan baik di pusat maupun di daerah pasca pelaksanaan
desentralisasi/otonomi daerah. Kemudian pembagian urusan yang belum tuntas tadi
merambat dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sejatinya
adalah untuk menunaikan urusan pusat yang ada di daerah menjadi media dari
kementerian/lembaga untuk ikut melaksanakan dan mendanai urusan daerah dengan
alasan yang bisa dibenarkan dengan argumentasi serta intepretasi dari sudut pandang
masing-masing kementerian/lembaga.
Pengalihan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
merupakan urusan daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat Pasal 108
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Permintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Disamping itu, dengan adanya temuan BPK
RI bahwa masih ada dana pemerintah pusat yang membiayai urusan daerah melalui
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sehingga BPK RI merekomendasi untuk
mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan
daerah ke mekanisme DAK.
Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi
desentralisasi/otonomi daerah mengungkapkan data dan fakta yang cukup
mengejutkan semua pemangku kepentingan. Keterkejutan bukan hanya dari sisi
keuangan negara semata juga memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah
daerah (daerah enggan melaksanakan) justru dilaksanakan oleh pusat serta yang lebih
ironis adalah adanya urusan daerah tersebut dikembalikan ke pusat. Dari sisi keuangan
negara jelas berakibat inefisiensi jika ada urusan daerah yang dilaksanakan oleh pusat
(dibiayai APBN) dan daerah juga menganggarkan melalui APBD. Dari hasil screening
Kementerian Keuangan (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran) atas
RKA-KL tertentu juga terungkap bukan hanya dengan skema pendanaan melalui
dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk membiayai urusan daerah tapi juga melalui
skema pembiayaan melalui kantor pusat kementerian/lembaga.
Proses identifikasi internal Kemenkeu (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen
Anggaran) dan dilanjutkan dengan Kemenneg PPN/Bappenas dan kementerian/lembaga
dilakukan atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan menggunakan data RAK-KL TA 2012 juga
menyimpan kelemahan dan mungkin moral hazzard dari kementerian/lembaga.
Kemungkinan bisa terjadi hasil identifikasi atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang merupakan urusan daerah pada TA 2012 tidak direncanakan dan
tidak dianggarkan kembali oleh kementerian/lembaga. Yang dimaksud dengan indikasi
moral hazzard adalah untuk menghindari kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang merupakan urusan daerah hasil identifikasi kementerian/lembaga
menghilangkan kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan mengganti kegiatan lain.
Sejak dari hulu yaitu dalam proses perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berpotensi untuk menjadikan
program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah.
Sebagai akibat minimnya sosialisasi atas pembagian urusan di legislatif dan eksekutif
(dalam hal ini adalah kementerian/lembaga) berimplikasi pada tumbuh suburnya
pemikiran yang sifatnya sektoral tanpa mengindahkan pembagian urusan yang diatur
dalam PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap bahwa walaupun penanggungjawab
semua urusan pada akhirnya adalah pemerintah pusat, kementerian/lembaga terikat
dengan kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan urusan yang merupakan
urusan daerah.
Sesuai prinsip money follows function (kewenangan mengikuti fungsi)
merupakan urusan daerah dari kementerian/lembaga. Secara eksplisit bisa diartikan
kementerian/lembaga akan kehilangan jumlah dana untuk program/kegiatan yang
melaksanakan urusan daerah. Dengan kondisi seperti ini yang terjadi adalah sebaliknya
dimana pemerintah berkomitmen untuk menjaga pelaksanakan desentralisasi
mengalami situasi yang serba sulit karena alokasi anggaran untuk pendanaan
desentralisasi menjadi terbatas karena walaupun dengan prinsip kewenangan mengikuti
fungsi kementerian/lembaga memandang pendanaan atas program/kegiatan yang
merlaksanakan urusan daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi besaran pagu
anggaran.
Capaian desentralisasi/otonomi daerah, yang sudah menginjak usia 10 tahun,
memang masih jauh dari yang diharapkan. Tesis yang paling mahsyur tentang adanya
pemerintah lokal (dibentuk dengan prinsip demokrasi) yang menciptakan kedekatan
untuk menyediakan barang publik yang sesuai preferensi publik lokal (baca rakyat di
daerah) sehingga menciptakan efisiensi penyediaan barang publik dan pada akhirnya
adalah kesejahteraan menjadi antitesis untuk beberapa contoh kasus di Indonesia.
Sebagai contoh yang cukup menguncang adalah adanya kasus gizi buruk di daerah
yang dengan tesis tersebut di atas bisa langsung diatasi langsung oleh pemerintah
daerah hasil dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta itu, menjadi kekhawatiran jika
terjadi pengalihan besar-besaran atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya,
kementerian/lembaga mempunyai kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan
suatu misi (baca urusan) yang menjadi urusan daerah dengan ukuran kinerja tertentu.
Jika urusan ini dikembalikan ke daerah menimbulkan sejumlah kekhawatiran yaitu:
1) Kemampuan SDM di daerah dalam melaksanakan urusan tertentu dengan indikator
kinerja yang spesifik.
2) Dengan koordinasi yang masih belum sungguh benar terintegrasi dan faktor politis
maka kontrol atas urusan yang menjadi kontrak kinerja akan sulit dilakukan. Yang
pada akhirnya kontrak kinerja tidak dapat tercapai.
3) Skema pendanaan dengan DAK atas urusan daerah dinilai oleh
tidak memungkinkan pihak kementerian melakukan intervensi dalam
pelaksanaanya.
Beranjak ke faktor teknis yang terkandung dalam kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dan DAK memunculkan dikotomi ataupun kontrakdiksi satu sama
lain antara keduanya. Dikotomi yang pertama adalah dari sifat kegiatan dekonsentrasi
yang bersifat non fisik yang berupa kegiatan koordinasi, bimbingan teknis dan
sejenisnya yang ditujukan kepada sesama aparatur di daerah sedangkan kegiatan DAK
bersifat fisik. Kemudian adalah adanya ketentuan dana pendamping yang harus
dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan DAK bisa memberatkan daerah. Dengan
terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa menampung kegiatan tugas pembantuan yang
tidak sesuai dengan bidang DAK yang ada saat ini menambah daftar dikotomi
selanjutnya.
Jangka waktu pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu dimulai 2
tahun sejak tahun 2008 sudah dilakukan oleh beberapa kementerian, sebagai contoh
adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan sudah melakukan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara optimal sehingga
ada indikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta kembali pengelolaan
Dana BOS.
Kendala dan fakta proses pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sudah diuraikan dapat
dikategorikan kedalam 4 (empat) kelompok utama kendala dan fakta pengalihan yaitu:
1) Kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam mengklasifikasikan
pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama).
2) Dengan masih dominannya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan semua
urusan pasca implementasi desentraslisasi/otonomi daerah mengaburkan posisi
3) Dengan usia desentraslisasi/otonomi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan
daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi
yang mematahkan tesis desentralisasi/otonomi daerah.
4) Kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup signifikan menjadi ganjalan
untuk merampungkan pengalihan secara tuntas.
2.3.3. Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan
Daerah ke DAK
2.3.3.1. Asumsi/Pra-anggapan
Sebelum menuju pada analisa pokok dari kendala dan fakta pengalihan ada
beberapa asumsi yang menyelimuti kendala dan fakta selama proses pengalihan dan
layak diuraikan disini. Berikut asumsi atau pra-anggapan dimaksud:
1) Untuk urusan daerah yang menjadi prioritas nasional dan menjadi kontrak kinerja
antara menteri dengan presiden akan sulit untuk dialihkan. Karena kementerian
berpendapat bahwa itu menjadi urusan yang sangat penting.
2) Dalam pembahasan kegiatan antara komisi teknis dan kementerian/lembaga yang
menjadi landasan pemikiran adalah pemikiran sektoral dan kurang mengindahkan
penggunaan landasan pemikiran dalam era desentraslisasi/otonomi daerah dimana
pemerintah pusat secara umum adalah yang bertanggungjawab untuk penyusunan
NSPK sedangkan daerah yang mengimplementasikan.
3) Besaran anggaran dari kementerian/lembaga setiap tahunnya tidak mungkin turun
atau setidaknya akan sama dengan tahun sebelumnya.
4) Daerah tidak siap dalam melaksanakan pengalihan yang akan berakibat buruknya
kinerja urusan.
Asumsi-asumsi tersebut berpengaruh atas pencarian solusi yang diharapkan
dapat diformulasikan. Dengan analisa yang kuat asumsi-asumsi atau pra-anggapan