• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYUSUNAN MODEL ANALISA PEMETAAN URUSAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENYUSUNAN MODEL ANALISA PEMETAAN URUSAN"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

PENYUSUNAN MODEL ANALISA

PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN

BERSAMA PEMERINTAH DAN

PEMERINTAH DAERAH DALAM

RANGKA MENDORONG

TERWUJUDNYA SINERGI PUSAT DAN

DAERAH

Direktorat Perencanaan Pembangunan

Daerah

Ditjen Bina Pembangunan Daerah

Kementerian Dalam Negeri

2013

(2)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Esa atas

terselesaikannya laporan Kajian Penyusunan Model Analisis Pembagian Urusan

Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Guna Mendorong

Terwujudnya Sinergi Pusat Dan Daerah.

Pembagian kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan

otonomi daerah. Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan

pemerintah daerah dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari

proses perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya.

Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian

kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran

antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan

pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih

menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima

pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.

Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan

(TP) sebagian besar Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan

pembangunan daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas

pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.

Kami berharap kajian ini dapat menjadi masukan bagi seluruh stakeholder terkait

dalam melakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan implementasi otonomi daerah.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR BAGAN ... vi

DAFTAR GRAFIK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Sasaran ... 2

1.3. Hasil yang diharapkan... 2

1.4. Sistematika Laporan ... 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 4

2.1. Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 ... 4

2.2. Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan ... 11

2.3. Review Kajian Sebelumnya ... 19

2.3.1. Implementasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan ... 19

2.3.2. Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 27

2.3.3. Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK ... 31

2.3.3.1. Asumsi/Pra-anggapan... 31

(4)

2.3.3.3. Pendekatan Analisa Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ... 33

2.3.3.4. Rekomendasi Kebijakan ... 34

BAB III PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN KONKUREN BERDASARKAN HASIL RAPAT KOORDINASI DI KEMENTERIAN/LEMBAGA ... 36

3.1. Rapat Koordinasi Pusat ... 36

3.1.1. Dasar Hukum Penyelenggaraan ... 36

3.1.2. Tujuan Rapat ... 36

3.1.3. Konsep Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 .. 37

3.1.4. Permasalahan Penyelenggaraan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah ... 38

3.1.5. Model Analisa Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Sinergi Pusat Dan Daerah ... 38

3.2. Rapat koordinasi pusat dan daerah ... 39

3.2.1. Dasar hukum penyelenggaraan:... 39

3.2.2. Tujuan Rapat ... 39

3.2.3. Konsep Pemetaan Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 40

3.2.4. Hasil Uji Petik Penyusunan Model Analisis Pemetaan Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah ... 41

(5)

BAB IV PEMETAAN URUSAN KEWENANGAN KONKUREN BERDASARKAN

HASIL KUNJUNGAN KE TIGA PROPINSI ... 43

4.1. Provinsi Jawa Timur ... 43

4.1.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Jatim ... 43

4.1.2. Pengolahan dan Analisis Data Kuesioner Provinsi Jatim ... 44

4.1.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Jatim ... 46

4.1.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Jatim ... 57

4.2. Provinsi Kalimantan Tengah ... 71

4.2.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Kalteng ... 71

4.2.2. Hasil Pengolahan Kuesioner Provinsi Kalteng ... 73

4.2.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Kalteng ... 75

4.2.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Kalteng ... 86

4.3. Provinsi Sulawesi Tengah ... 98

4.3.1. Hasil Pelaksanaan FGD Provinsi Sulteng ... 98

4.3.2. Hasil Pengolahan dan Analisis Data Kuesioner Provinsi Sulteng ... 101

4.3.3. Pengolahan dan Analisis Data Dana Dekonsentrasi Provinsi Sulteng ... 102

4.3.4. Pengolahan dan Analisis Data Dana TP Provinsi Sulteng ... 112

BAB V MODEL SINERGITAS ANTARA PUSAT DAN DAERAH ... 126

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

6.1. Kesimpulan ... 128

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

DAFTAR BAGAN

(8)

DAFTAR GRAFIK

(9)
(10)
(11)

Grafik 44. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Kalteng ... 85 Grafik 45. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi (Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Kalteng ... 86 Grafik 46. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di Prov. Kalteng ... 86 Grafik 47. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD

Prov. Kalteng

87

(12)
(13)

Grafik 71. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Prov. Sulteng ... 108 Grafik 72. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang Satu Dengan Wilayah Yang Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi Sulteng .... 109 Grafik 73. Penilaian terhadap program melalui anggaran Dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan antara tahun anggaran terdahulu dengan tahun anggaran berikutnya (integrasi antar waktu) Prov. Sulteng 110 Grafik 74. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Sulteng.. 111 Grafik 75. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi (Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Sulteng ... 111 Grafik 76. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di Prov. Sulteng ... 112 Grafik 77. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD

Prov. Sulteng

113

(14)
(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kesatuan dalam sistem pemerintahannya menerapkan

konsep otonomi daerah dalam melaksanakan sistem pemerintahannya. Pembagian

kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan otonomi daerah.

Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah

dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari proses

perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil kunjungan lapang

dan diskusi dengan stkaholder terkait di daerah, didapat banyak masukan terkait

permasalahan serta upaya penyempurnaan pembagian kewenangan bersama

pemerintah dan pemerintah daerah.

Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian

kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran

antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan

pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih

menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima

pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.

Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan TP sebagian besar

Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan pembangunan

daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan

prioritas pembangunan daerah.

Dalam mendukung langkah-langkah tersebut, maka perlu dilakukan penyusunan

model analisis pembagian urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah

daerah guna mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah serta dibantu oleh

Tenaga Ahli dalam bidang penyusunan model analisis pemetaan urusan kewenangan

(16)

1.2. Tujuan dan Sasaran

1) Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyusun model analisa pemetaan urusan

kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka

mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah

2) Sasaran

a. Teridentifikasinya bentuk/model pemetaaan urusan kewenangan

bersama pemerintah dan pemerintah daerah di beberapa provinsi dan

kabupaten terpilih.

b. Terciptanya model pemetaaan urusan kewenangan bersama pemerintah

dan pemerintah daerah;

c. Mendorong terwujudnya terwujudnya sinergi pusat dan daerah.

1.3. Hasil yang diharapkan

Tersusunnya 1 (satu) dokumen model analisa pemetaan urusan kewenangan

bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka mendorong terwujudnya

sinergi pusat dan daerah.

1.4. Sistematika Laporan

Bab I Pendahuluan membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran serta

sistematika penulisan laporan.

Bab II Kajian Pustaka membahas tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah,

Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan.

Bab III Hasil Kunjungan Lapang membahas tentang hasil FGD di 3 (tiga) provinsi yaitu

Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.

Bab IV Pengolahan dan Analisis data membahas tentang hasil pengolahan data

berdasarkan kuesioner dan masukan pada rapat koordinasi di Jakarta.

Bab V Review Kajian Sebelumnya yaitu membahas tentang beberapa hasil kajian yang

(17)

Bab VI Kesimpulan dan Saran membahas tentang kesimpulan hasil kajian dan saran

serta rekomendasi kebijakan pemetaan urusan bersama Pemerintah dan

(18)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun

2004

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

ditegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan

pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom.

Pada dasarnya kewenangan pemerintahan dalam negara kesatuan adalah milik

pemerintah pusat. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan

kewenangan pemerintahan tersebut kepada daerah. Penyerahan wewenang terdiri dari:  Materi wewenang (semua urusan pemerintahan yang terdiri atas urusan

pemerintahan umum dan urusan pemerintahan lainnya)

Manusia yang diserahi wewenang (masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan sebagai kesatuan masyarakat hukum)

Wilayah yang diserahi wewenang (daerah otonom, bukan wilayah administrasi)

Secara umum pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah adalah digambarakan sebagai bagan 1 di bawah ini.

(19)

Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa

selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi

kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya

kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, yakni urusan

pemerintahan yang terdiri dari:

1. Politik Luar Negeri, dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk

warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan

kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan

kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya;

2. Pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,

menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara

dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan

negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara

bagi setiap warga negara dan sebagainya;

3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menindak

kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan

sebagainya;

4. Moneter, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan

kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;

5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa,

mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman

keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,

peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan

peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya;

6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,

memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan

dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian

tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan

(20)

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent,

yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu

dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan

demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang

menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada

provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional

antar pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, maka kriteria yang dapat digunakan

antara lain meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan

mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar

tingkat pemerintahan. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian

urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan

dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang

ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan

kabupaten/kota. Apabila bersifat regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila

bersifat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini

mengenai anatomi urusan pemerintahan pusat dan daerah seperti bagan 2 di bawah

ini.

(21)

Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian

urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat

dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan

bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil,dana, dan peralatan)

untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai

dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam

penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan

oleh provinsi dan /atau kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah

pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada provinsi dan/atau

kabupaten/kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna dan

berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut tetap

ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus

disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan

pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya

manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya risiko yang harus dihadapi.

Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan

yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling

berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling

mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan

kemanfaatan. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, ditempuh

melalui mekanisme penyerahan dan/atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian

urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan

tersebut, pemerintah akan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan

pengaturan atas bagian urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.

Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan yang

bersifat dasar (basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan

(22)

yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan kabupaten/kota, yang bersifat lintas

kabupaten/kota menjadi urusan provinsi dan yang bersifat lintas provinsi menjadi

kewenangan pusat. Untuk mencegah suatu daerah menghindari sesuatu urusan yang

sebenarnya esensial untuk daerah tersebut, maka perlu adanya penentuan standar

urusan dasar atau pokok yang harus dilakukan oleh suatu daerah sesuai dengan

kebutuhan masyarakat setempat seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Dalam Bab III Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

tentang pemerintahan daerah ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (politik luar

negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama). Dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas

pembantuan.

Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara

langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh

pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari

pemerintah kabupaten/kota ke desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dalam

kaitan ini adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan

pelayanan dasar warga negara, antara lain perlindungan hak konstitusional;

perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan

ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan negara kesatuan republik

Indonesia; pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan

konvensi internasional.

Sedangkan urusan pilihan dalam kaitan ini adalah urusan yang secara nyata ada

di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan

(23)

bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Urusan pemerintahan yang diserahkan

kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana

serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi,usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

kabupaten/kota; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

(24)

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

q. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan.

r. Dengan demikian, hubungan pusat-daerah dalam bidang kewenangan akan

terlihat dalam pelaksanaan berbagai urusan yang bersifat concurrent dan urusan

(25)

Bagan 3. Urusan Pemerintahan Yang Diotonomikan

2.2. Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya

menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi

dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas

pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu,

sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang

pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.1

Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam

kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan

pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah

1

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

2

Ibid.

3

(26)

provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil

Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek

rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan

dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten

dan kota.

Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:

a. terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar

daerah;

c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan

antarpemerintahan di daerah;

d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya

daerah;

e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta

pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum

masyarakat; dan

f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system

administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.2

Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan

prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah

provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota

kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang

disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan

mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan

diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat

dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian

tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum.

2

(27)

Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan

penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan

pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.

Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau

desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah

dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh

pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa

meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang

bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang

tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum

dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh

pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas

kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.

Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas

memberikan konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan

pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus

didanai dari APBD, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah harus didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga.

Pengaturan pendanaan kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup pendanaan

sebagian urusan pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan

asas dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada

daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa

perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu

sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan3

3

(28)

Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah yang dalam system

pengaturannya tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga aspek

pengelolaan dan pertanggungjawaban. Sejalan dengan hal itu, maka penyerahan

wewenang pemerintahan, pelimpahan wewenang pemerintahan, dan penugasan dari

Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan

tugas pembantuan juga harus diikuti dengan pengaturan pendanaan dan pemanfaatan

sumber daya nasional secara efisien dan efektif.

Bagan 4. Struktur Belanja Pemerintah Berdasarkan Pembagian Kewenangan

Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka

penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan

(29)

komprehensif. Berikut akan dijabarkan lebih lanjut berkenaan dengan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan.

Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek

penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan

dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi4. Penyelenggaraan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:

a. pelimpahan urusan pemerintahan;

b. tata cara pelimpahan;

c. tata cara penyelenggaraan; dan

d. tata cara penarikan pelimpahan.

Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:

a. prinsip pendanaan;

b. perencanaan dan penganggaran;

c. penyaluran dan pelaksanaan; dan

d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi.

Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008

meliputi:

a. penyelenggaraan dekonsentrasi; dan

b. pengelolaan dana dekonsentrasi.

Penyelenggaraan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:

a. penugasan urusan pemerintahan;

b. tata cara penugasan;

c. tata cara penyelenggaraan; dan

d. penghentian tugas pembantuan.

Pengelolaan dana tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:

a. prinsip pendanaan;

b. perencanaan dan penganggaran;

4

(30)

c. penyaluran dan pelaksanaan; dan

d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan tugas pembantuan.

Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008

meliputi:

a. penyelenggaraan tugas pembantuan; dan

b. pengelolaan dana tugas pembantuan.

Pelimpahan Urusan Pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi

berdasarkan Pasal 11 PP 7/2008 meliputi: (1) Pelimpahan sebagian urusan

pemerintahan dapat dilakukan kepada gubernur. (2) Selain dilimpahkan kepada

gubernur, sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada: (a) instansi

vertikal; (b) pejabat Pemerintah di daerah. Jangkauan pelayanan atas penyelenggaraan

sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan dapat melampaui satu wilayah

administrasi pemerintahan provinsi.

Untuk urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam

Pasal 13 ayat (3) PP 7/2008, didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga

melalui dana dekonsentrasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk

kegiatan yang bersifat non-fisik. Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh

Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.

Penerimaan sebagai akibat pelaksanaan dekonsentrasi merupakan penerimaan negara

dan wajib disetor oleh Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran ke Rekening Kas Umum

Negara sesuai dengan peraturan perundangundangan. Semua barang yang dibeli atau

diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara. Barang

milik negara tersebut dapat dihibahkan kepada daerah.

Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial

dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi

penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak

lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas

laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas

(31)

Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana

dekonsentrasi.

Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas

pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah

desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga

dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau

pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta,

Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah

desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah

provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan

pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan

perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan

yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota

dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut

peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan

pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada

pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan

perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah

provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBN bagian

anggaran kementerian/lembaga melalui dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan

yang ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau

pemerintah desa didanai dari APBD provinsi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari

pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa didanai dari APBD

kabupaten/kota.

Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang

bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas

pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapaT dihibahkan

(32)

dalam Pasal 57 ayat (2) PP 7/2008, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pengelolaan barang milik negara/daerah.

Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek

manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan

realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan

saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca,

catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi atau

kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang tugas pembantuan

bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK atas pengelolaan dan

pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi pemeriksaan

keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan

keuangan berupa pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja berupa

pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pemeriksaan atas

aspek ekonomi dan efisiensi serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan

tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan

investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern Pemerintah.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek

penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan,

pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.

2. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan

mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas.

3. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK

dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan

(33)

2.3. Review Kajian Sebelumnya

Dari hasil review terhadap kajian dana dekonsentrasi dan dana tugas

pembantuan yang sudah dilakukan sebelumnya, diantaranya Beny Trias Oktora 5

menunjukkan gambaran sebagai berikut:

2.3.1. Implementasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas

Pembantuan

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak

tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan

nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan

revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

dengan ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua

undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah

dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan

pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas

daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi

regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan

Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus.

Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum

(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana

Transfer ke Daerah.

Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk

membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah,

yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan

5

(34)

program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak

masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata

dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik.

Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi.

Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Dana Dekonsentrasi

merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai

wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka

pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi

vertikal pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari

Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi

vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari

APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan

pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan

adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah

provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten,

atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban

melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana

dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut:

1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah.

3) PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

4) PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga.

5) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

(35)

6) PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan

pada salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan

dekonsentrasi yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas

pembantuan pada kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perorangan.

Alokasi dana APBN dari pemerintah pusat untuk Dinas Kesehatan Propinsi Maluku

Utara khusunya dekonsentrasi pada tiap tahunnya mengalami peningkatan sedangkan

dana tugas pembantuan yang turun dalam bentuk bantuan Inpres 6 untuk Daerah

Pasca Konfik yang terdiri atas 2 kegiatan yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perorangan pada tiap tahunnya mengalami penurunan bila dibandingkan

dengan kebutuhan rill yang dituangkan dalam draft usulan anggaran pada tiap

tahunnya. Sejak tahun 2005-2007, alokasi anggaran yang turun hanya berkisar antara

45% - 50%.

Mekanisme turunnya anggaran yang terjadi selama ini tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan. Tahun 2005 sampai 2007 rata-rata turunnya anggaran pada

bulan Juni hingga Juli. Pada tahun 2007 kondisi anggaran dekonsentrasi dan tugas

pembantuan mengalami devisit secara nasional sehingga berimbas pada pemanfaatan

anggaran tersebut didaerah dimana daerah mengalami pemotongan anggaran

sebanyak 15%. Kemudian di tahun 2008 ini, kepastian tentang pengalokasian dana

dekonsentrasi dan tugas pembantuan sendiri juga belum jelas.

Mekanisme proses perencanaan dan penganggaran baik dana dekonsentrasi dan

tugas pembantuan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005- 2007

selama ini telah melibatkan seluruh komponen di tingkat kabupaten/kota maupun intern

Dinas Kesehatan itu sendiri. Perencanaan penganggaran kegiatan dana dekonsentrasi

untuk masing-masing program khususnya program malaria maupun gizi, dilakukan pada

saat rapat evaluasi program. Hasil yang diperoleh dari evaluasi program ini kemudian

ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke dalam sebuah Rapat Kerja Kesehatan

Daerah (RAKERKESDA) guna membahas lebih lanjut rencana kerja tahunan kesehatan

(36)

Pada proses perencanaan dan penganggaran kegiatan dana tugas pembantuan

untuk masing-masing program sama dengan proses perencanaan dan penggaran dana

dekonsentrasi. Propinsi Maluku Utara selama ini dalam proses perencanaan dan

pengaanggran hanya melakukan lobby untuk dana tugas pembantuan sampai di tingkat

Departemen Kesehatan. Lobby tidak dilakukan sampai di tingkat DPR. Lobby di tingkat

DPR hanya dilakukan olen oleh departemen kesehatan sehingga Propinsi Maluku Utara

dapat dikatakan tidak pernah melakukan proses lobby penentuan jumlah besaran dana

yang akan disetujui kepada DPR.

Realisasi dilapangan selama ini juga menunjukkan bahwa selalu muncul gap

antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah setiap

tahunnya. Munculnya gap ini penulis asumsikan disebabkan oleh sistem perencanaan

dan penganggaran yang terjadi selama ini di propinsi belum sejalan dengan apa yang

ditentukan di dalam PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas

pembantuan seharusnya. Sehingga transfer dana yang sampai di daerah berbeda

antara DIPA yang disetujui dan dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan

draft usulan yang ajukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara. Selalu muncul

gap antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah pada

setiap tahunnya.

Hal ini sejalan dengan PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas

pembantuan, dimana proses perencanaan dana dekonsentrasi maupun tugas

pembantuan ini harus melibatkan seluruh jajaran di tingkat daerah bahkan sampai di

tingkat desa. Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan telah

melibatkan seluruh pemegang program propinsi, Dinas Kesehatan kabupaten/kota serta

puskesmas sebagai instansi kesehatan di tingkat desa. Pemerintah Daerah diwajibkan

membuat rencana indikatif kebutuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang

diperlukan oleh setiap sektor di daerahnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya, interaksi yang terjadi antara

komponen-komponen terkait dalam proses perencanaan anggaran ini, mengakibatkan

terjadinya lobby dan negosiasi. Lobby dan negosiasi yang dilakukan oleh Dinas

(37)

melibatkan komponen yang ada diluar Dinas Kesehatan. Lobby dan negosiasi yang

dilakukan adalah baru pada sebatas dengan unit esalon I vertikal. Lobby dan negosiasi

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara selama ini belum

menunjukan hasil yang sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya.

Pada saat ini, lobby dan negosiasi yang dilakukan dengan memanfaatkan

kekuatan politis ternyata memiliki dampak dan hasil yang lebih baik. Lobby dan

negoisasi sangat penting dalam proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan di daerah Lebih lanjut dikatakan bahwa lobby dan pendekatan serta

advokasi kepada partai politik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan dana dekonsentrasi

dan tugas pembantuan, metode pendekatan ini bisa diterapkan dalam upaya untuk

melancarkan draft perencanaan anggaran dan kegiatan yang sesuai dengan

permasalahan dan kebutuhan daerah. Penyusunan rancangan kebijakan harus

memperhitungkan juga aspek nilai-nilai politik misalnya partai politik yang dalam

sistematika pemerintahan dan demokrasi memegang peranan yang paling penting

dalam sebuah birokrasi

Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa advokasi di dalam penganggaran

sangat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara input dengan

ouput yang diharapkan atau dengan kata lain harapan akan realisasi dana

dekonsentrasi yang sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah melalui usulan daerah

tersebut dapat terpenuhi. Untuk melakukan advokasi bukan sekedar melakukan

lobby-lobby politik, tetapi mencakup kegiatan persuasif, memberikan semangat dan bahkan

sampai memberikan tekanan kepada para pemimpin institusi. Oleh karena itu

prinsip-prinsip advocacy ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan dan

argumentasi-argumentasi. Adapun tujuan utama yang diharapkan dari advokasi adalah untuk

memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan dari para penentu kebijakan atau

pembuat keputusan di segala tingkat. Besar kecilnya realisasi dana dekonsentrasi dan

dana tugas pembantuan bagi masing-masing daerah sangat tergantung dari variabel

yang diduga dominan yaitu adanya political approach seperti negosiasi dan lobby.

Relalisasi dana untuk kegiatan dalam DIPA dengan kebutuhan dana yang

(38)

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Keuangan negara yang memang minim

untuk mengeluarkan anggaran yang besar di bidang kesehatan dan kesehatan tidak

termasuk dalam prioritas pembangunan. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan

rendahnya biaya kesehatan di Indonesia yaitu keuangan negara yang memang minim

untuk membiayai pelayanan kesehatan serta sektor kesehatan yang tidak termasuk

dalam prioritas pembangunan, rendahnya alokasi anggaran yang diperoleh Dinas

Kesehatan dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam

anggaran tetapi tidak mendapat persetujuan dari pusat.

Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:

1) Kebijakan dalam mengalokasikan anggaran APBN tidak didasarkan pada

kebutuhan dinas kesehatan propinsi,

2) ketidakmampuan SDM perencana dinas kesehatan dalam meyakinkan pusat

tentang pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut

Selama ini daerah mungkin terlalu besar membuat perencanaan dana untuk

pelaksanaan kegiatan/program dan daerah cenderung mengurangi besarnya jumlah

anggaran dari daerah sendiri di bidang kesehatan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh

Rienke dan Taylor (1996) yang mengatakan bahwa menyusun bahan perencanaan

kesehatan bukan hal yang sederhana sehingga output yang dihasilkan juga belum

sesuai dengan yang diharapkan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai

salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain

untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (ii)

meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan

pelayanan publik antar daerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya

nasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan

pengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil;

(v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping

itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah

(39)

Dengan model pendekatan top down ini, mengakibatkan adanya ketidaksesuaian

dalam isian DIPA dengan kegiatan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini dikarenakan oleh

karena daerah tidak diberikan sebuah keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis

kegiatan yang sesuai dengan perasalahan dan kebutuhan nyata yang ada didaeranya.

Fenomena ini sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Herawati yang menjelaskan

bahwa permasalahan ketidaksesuaian realisasi dana dekonsentrasi maupun dana

pembantuan dengan perencanaan yang diusulkan oleh daerah karena daerah mungkin

belum memiliki decision space yang luas

Selama ini aturan keuangan pusat dan daerah dalam satu sisi hanya untuk

mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, sedang di sisi lain adalah untuk

memfasilitasi proses pembangunan di daerah yang dijalankan di bawah skema otonomi

daerah. Proses pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan

sentralisme otoriter, dimana konsep perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan

dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah.

Di era desentralisasi ini idealnya daerah harus mempunyai kewenangan dan

decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan

menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Hal ini sebagaimana dengan konsep

decision space yang dikemukakan oleh Bossert bahwa decision space digunakan untuk

mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di berbagai negara Decision space

adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan bagi daerah tersebut untuk mempunyai

kewenangan yang dapat meningkatkan pilihan mereka. Kenyataannya Propinsi Maluku

Utara sejauh ini belum memiliki decision space. Selain itu, kemungkinan

ketidaksesuaian realisasi dana dengan usulan juga dapat dipengaruhi oleh faktor

Departemen Kesehatan RI sendiri belum memiliki formulasi anggaran untuk alokasi

secara khusus sehingga kemungkinan timbulnya ketidakadilan dalam alokasi anggaran

dari pemerintah pusat sangat mungkin terjadi. Secara ideal Departemen Kesehatan RI

dalam mengalokasikan anggaran harus memenuhi kriteria equity dan equality

ketidaksesuaian realisasi dengan dana yang diusulkan karena meningkatnya dana

(40)

Di dalam konsep desentralisasi pemerintah pusat masih mempunyai peran

sebagai pemberi anggaran melalui anggaran dekonsentrasi yang akan sampai ke

propinsi. Logikanya dana dekonsentrasi akan semakin menurun seiring dengan semakin

meningkatnya dana desentralisasi. Secara praktis hal ini diwujudkan dalam fenomena

merger-nya kantor-kantor wilayah departemen teknis ke pemerintah daerah.

Penghilangan pola vertikal dekonsentrasi ini diwujudkan dalam pola dekonsentrasi di

pemerintahan provinsi yang masih didanai oleh pusat. Berdasarkan kenyataan ini maka

kriteria transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi penting. Secara teoritis

ada berbagai kriteria dalam transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang

mengkategorikan kriteria

Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan

malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005-2007 masih

tergantung dari hasil lobby dan negosiasi antara Dinas Kesehatan Propinsi dengan

Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara belum melakukan

lobby dan negoisasi langsung dengan DPR dan hanya mengklarifiasikan dana yang

keluar dengan DJA.

Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan

ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yang

terealisasi dalam DIPA belum memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya di Dinas

Kesehatan Maluku Utara tahun sejak 2005-2007. Dampak yang ditimbulkan akibat

keterlambatan turunnya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap

pelaksanan kegiatan malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan

upaya kesehatan perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak tahun

2005-2007 adalah tingkat capaian masing-masing program belum sesuai dengan target.

Kebijakan tentang formulasi dan teknik alokasi dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan tahun 2005- 2007 selama ini di Propinsi Maluku Utara masih bersifat top

down dan belum menyesuaikan dengan anggaran dari pemerintah daerah, artinya

(41)

2.3.2. Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus

(DAK)

Prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas

otonomi daerah sesungguhnya ada yang terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas

benar adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi

urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Penuntasan

atas mana yang menjadi urusan pusat dan urusan daerah yang belum benar-benar

rampung menyisakan kendala dan menjadi persoalan serius terutama dalam

pelaksanaan urusan baik di pusat maupun di daerah pasca pelaksanaan

desentralisasi/otonomi daerah. Kemudian pembagian urusan yang belum tuntas tadi

merambat dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sejatinya

adalah untuk menunaikan urusan pusat yang ada di daerah menjadi media dari

kementerian/lembaga untuk ikut melaksanakan dan mendanai urusan daerah dengan

alasan yang bisa dibenarkan dengan argumentasi serta intepretasi dari sudut pandang

masing-masing kementerian/lembaga.

Pengalihan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang

merupakan urusan daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat Pasal 108

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Permintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Disamping itu, dengan adanya temuan BPK

RI bahwa masih ada dana pemerintah pusat yang membiayai urusan daerah melalui

dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sehingga BPK RI merekomendasi untuk

mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan

daerah ke mekanisme DAK.

Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi

desentralisasi/otonomi daerah mengungkapkan data dan fakta yang cukup

mengejutkan semua pemangku kepentingan. Keterkejutan bukan hanya dari sisi

keuangan negara semata juga memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah

(42)

daerah (daerah enggan melaksanakan) justru dilaksanakan oleh pusat serta yang lebih

ironis adalah adanya urusan daerah tersebut dikembalikan ke pusat. Dari sisi keuangan

negara jelas berakibat inefisiensi jika ada urusan daerah yang dilaksanakan oleh pusat

(dibiayai APBN) dan daerah juga menganggarkan melalui APBD. Dari hasil screening

Kementerian Keuangan (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran) atas

RKA-KL tertentu juga terungkap bukan hanya dengan skema pendanaan melalui

dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk membiayai urusan daerah tapi juga melalui

skema pembiayaan melalui kantor pusat kementerian/lembaga.

Proses identifikasi internal Kemenkeu (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen

Anggaran) dan dilanjutkan dengan Kemenneg PPN/Bappenas dan kementerian/lembaga

dilakukan atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan menggunakan data RAK-KL TA 2012 juga

menyimpan kelemahan dan mungkin moral hazzard dari kementerian/lembaga.

Kemungkinan bisa terjadi hasil identifikasi atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang merupakan urusan daerah pada TA 2012 tidak direncanakan dan

tidak dianggarkan kembali oleh kementerian/lembaga. Yang dimaksud dengan indikasi

moral hazzard adalah untuk menghindari kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang merupakan urusan daerah hasil identifikasi kementerian/lembaga

menghilangkan kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan mengganti kegiatan lain.

Sejak dari hulu yaitu dalam proses perencanaan dan penganggaran

program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berpotensi untuk menjadikan

program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah.

Sebagai akibat minimnya sosialisasi atas pembagian urusan di legislatif dan eksekutif

(dalam hal ini adalah kementerian/lembaga) berimplikasi pada tumbuh suburnya

pemikiran yang sifatnya sektoral tanpa mengindahkan pembagian urusan yang diatur

dalam PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap bahwa walaupun penanggungjawab

semua urusan pada akhirnya adalah pemerintah pusat, kementerian/lembaga terikat

dengan kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan urusan yang merupakan

urusan daerah.

Sesuai prinsip money follows function (kewenangan mengikuti fungsi)

(43)

merupakan urusan daerah dari kementerian/lembaga. Secara eksplisit bisa diartikan

kementerian/lembaga akan kehilangan jumlah dana untuk program/kegiatan yang

melaksanakan urusan daerah. Dengan kondisi seperti ini yang terjadi adalah sebaliknya

dimana pemerintah berkomitmen untuk menjaga pelaksanakan desentralisasi

mengalami situasi yang serba sulit karena alokasi anggaran untuk pendanaan

desentralisasi menjadi terbatas karena walaupun dengan prinsip kewenangan mengikuti

fungsi kementerian/lembaga memandang pendanaan atas program/kegiatan yang

merlaksanakan urusan daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi besaran pagu

anggaran.

Capaian desentralisasi/otonomi daerah, yang sudah menginjak usia 10 tahun,

memang masih jauh dari yang diharapkan. Tesis yang paling mahsyur tentang adanya

pemerintah lokal (dibentuk dengan prinsip demokrasi) yang menciptakan kedekatan

untuk menyediakan barang publik yang sesuai preferensi publik lokal (baca rakyat di

daerah) sehingga menciptakan efisiensi penyediaan barang publik dan pada akhirnya

adalah kesejahteraan menjadi antitesis untuk beberapa contoh kasus di Indonesia.

Sebagai contoh yang cukup menguncang adalah adanya kasus gizi buruk di daerah

yang dengan tesis tersebut di atas bisa langsung diatasi langsung oleh pemerintah

daerah hasil dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta itu, menjadi kekhawatiran jika

terjadi pengalihan besar-besaran atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya,

kementerian/lembaga mempunyai kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan

suatu misi (baca urusan) yang menjadi urusan daerah dengan ukuran kinerja tertentu.

Jika urusan ini dikembalikan ke daerah menimbulkan sejumlah kekhawatiran yaitu:

1) Kemampuan SDM di daerah dalam melaksanakan urusan tertentu dengan indikator

kinerja yang spesifik.

2) Dengan koordinasi yang masih belum sungguh benar terintegrasi dan faktor politis

maka kontrol atas urusan yang menjadi kontrak kinerja akan sulit dilakukan. Yang

pada akhirnya kontrak kinerja tidak dapat tercapai.

3) Skema pendanaan dengan DAK atas urusan daerah dinilai oleh

(44)

tidak memungkinkan pihak kementerian melakukan intervensi dalam

pelaksanaanya.

Beranjak ke faktor teknis yang terkandung dalam kegiatan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan dan DAK memunculkan dikotomi ataupun kontrakdiksi satu sama

lain antara keduanya. Dikotomi yang pertama adalah dari sifat kegiatan dekonsentrasi

yang bersifat non fisik yang berupa kegiatan koordinasi, bimbingan teknis dan

sejenisnya yang ditujukan kepada sesama aparatur di daerah sedangkan kegiatan DAK

bersifat fisik. Kemudian adalah adanya ketentuan dana pendamping yang harus

dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan DAK bisa memberatkan daerah. Dengan

terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa menampung kegiatan tugas pembantuan yang

tidak sesuai dengan bidang DAK yang ada saat ini menambah daftar dikotomi

selanjutnya.

Jangka waktu pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang

merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu dimulai 2

tahun sejak tahun 2008 sudah dilakukan oleh beberapa kementerian, sebagai contoh

adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional dan

Kebudayaan sudah melakukan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam

pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara optimal sehingga

ada indikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta kembali pengelolaan

Dana BOS.

Kendala dan fakta proses pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sudah diuraikan dapat

dikategorikan kedalam 4 (empat) kelompok utama kendala dan fakta pengalihan yaitu:

1) Kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam mengklasifikasikan

pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama).

2) Dengan masih dominannya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan semua

urusan pasca implementasi desentraslisasi/otonomi daerah mengaburkan posisi

(45)

3) Dengan usia desentraslisasi/otonomi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan

daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi

yang mematahkan tesis desentralisasi/otonomi daerah.

4) Kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup signifikan menjadi ganjalan

untuk merampungkan pengalihan secara tuntas.

2.3.3. Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan

Daerah ke DAK

2.3.3.1. Asumsi/Pra-anggapan

Sebelum menuju pada analisa pokok dari kendala dan fakta pengalihan ada

beberapa asumsi yang menyelimuti kendala dan fakta selama proses pengalihan dan

layak diuraikan disini. Berikut asumsi atau pra-anggapan dimaksud:

1) Untuk urusan daerah yang menjadi prioritas nasional dan menjadi kontrak kinerja

antara menteri dengan presiden akan sulit untuk dialihkan. Karena kementerian

berpendapat bahwa itu menjadi urusan yang sangat penting.

2) Dalam pembahasan kegiatan antara komisi teknis dan kementerian/lembaga yang

menjadi landasan pemikiran adalah pemikiran sektoral dan kurang mengindahkan

penggunaan landasan pemikiran dalam era desentraslisasi/otonomi daerah dimana

pemerintah pusat secara umum adalah yang bertanggungjawab untuk penyusunan

NSPK sedangkan daerah yang mengimplementasikan.

3) Besaran anggaran dari kementerian/lembaga setiap tahunnya tidak mungkin turun

atau setidaknya akan sama dengan tahun sebelumnya.

4) Daerah tidak siap dalam melaksanakan pengalihan yang akan berakibat buruknya

kinerja urusan.

Asumsi-asumsi tersebut berpengaruh atas pencarian solusi yang diharapkan

dapat diformulasikan. Dengan analisa yang kuat asumsi-asumsi atau pra-anggapan

Gambar

Tabel 1. Jumlah Program yang Dibiayai dari Anggaran Dana Dekonsentrasi Provinsi Jatim Tahun 2012
Grafik 3. Penentu Besarnya anggaran setiap program melalui anggaran Dekonsentrasi Prov
Grafik 13. Penilaian terhadap program melalui anggaran Dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan antara tahun anggaran terdahulu
Grafik 28. Penilaian Terhadap  Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Tahun Anggaran Terdahulu Dengan Tahun Anggaran Berikutnya (Integrasi Antar Waktu)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, masyarakat akan dapat semakin mengenal, mencintai, dan ikut melestarikan salah satu karya seni budaya Madura khususnya tentang keunikan proses pembuatan dari

Entah itu karena hal yang kecil atau karena hal yang besar, tetapi ini sudah warna warni kehidupan dalam rumah tangga, oleh karena itu sering timbul dalam keluarga,

konsumen dan menyediakan kecepatan dan ketepatan pelayanan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah yang kecenderungannya naik dari

Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan teknik observasi oleh guru mata pelajaran (selama proses pembelajaran pada jam pelajaran), guru bimbingan konseling (BK), dan wali

Sebanyak 3.03 gram tris ditambah 14.4 gram glisin dan 200 mL metanol lalu ditera sampai 1 L dengan akuades. Dari larutan tersebut diambil 100 mL lalu ditera sampai 500 mL

Busur Listrik Las SMAW  Gambar 2.1.. Peralatan Las Listrik 

[r]

Bentuk klinis psoriasis antara lain psoriasis vulgaris, psoriasis gutata, psoriasis pustulosa, psoriasis inversa (psoriasis fleksural), psoriasis eksudativa, psoriasis