• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 17 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1411-8920

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 17 NO. 2 HLM. 43 – 104 JAKARTA, DESEMBER 2016 ISSN 1411-8920

(2)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 17 NO. 2 DESEMBER 2016 ISSN 1411-8920

 PROTOTYPE PENGEMBANGAN SISTEM BASIS DATA ANTARIKSA BERBASIS DATA TERPUSAT ...

Elyyani, Siti Maryam, Ahmad Zulfiana Utama

43 – 52

 PENGEMBANGAN SERVER JARINGAN LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN KOMPUTASI AWAN BERBASIS INFRASTRUKTUR AS A SERVICE (IaaS) ...

Rizal Suryana

53 – 62

 PRECIPITABLE WATER VAPOR DAN CARA PENENTUAN NILAINYA Saipul Hamdi

63 – 72

 INTERAKSI SUHU PERMUKAAN LAUT DIURNAL DAN MADDEN JULIAN OSCILLATION DI SAMUDERA HINDIA ...

Erma Yulihastin

73 – 82

KINERJA RADIOSPEKTOGRAF MATAHARI SN-4000 BPAA SUMEDANG TAHUN 2014 ...

Farahhati Mumtahana, Muhammad Zamzam Nurzaman

INDONESIA MASIH KETINGGALAN DALAM PENGEMBANGAN E- GOVERNMENT ...

Igif G. Prihanto

83 – 92

93 – 104

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 17 NO. 2 HLM. 43 - 104 JAKARTA, DESEMBER 2016 ISSN 1411-8920

(3)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA DIRGANTARA

Penyunting:

 Ketua

Dra. Sinta Berliana S., M.Sc

 Anggota

Dra. Nanik Suryo Harjani, M.Si Drs. Mamat Ruhimat, M.Si

Ir. Widodo Slamet, M.T Ir. Setiadi, MT Drs. Agus Harno N., M.Sc Fajar Iman Nugraha, ST, MTi

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI BERITA DIRGANTARA

Pemimpin Umum:

Ir. Christianus Ratrias Dewanto, M.Eng Pemimpin Redaksi:

Ir. Jasyanto, MM Redaksi Pelaksana:

Mega Mardita, S.Sos.,M.Si Suryadi, S.Sos Aprian Rizki Fauzi, S.IK

Aulia Pradipta, S.S

Tata Letak M. Luthfi

Gambar cover, (atas) Spektrum sinar matahari yang tiba di permukaan bumi (sumber: http://

sustainablebalance.ca/solar-irradiance-and-earths- atmosphere/, diunduh 18 Mei 2016);

(bawah) Pola curah hujan di tiga lokasi stasiun (Gan, Revelle, Mirai) selama aktivitas MJO di Samudera Hindia November-Desember 2011 (Xu et

al., 2015)

VOL.17 NO.2 DESEMBER 2016 ISSN 1411-8920 DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 17, No. 2, Desember 2016 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.

Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 6 (enam) artikel yaitu,

“Prototype Pengembangan Sistem Basis Data Antariksa Berbasis Data Terpusat” ditulis oleh Elyyani, Siti Maryam, Ahmad Zulfiana Utama. Dalam pengembangan sistem pengelolaan data dibutuhkan model (prototype) dari sistem yang akan dibangun. Model tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi antara pengguna dan pengembang sistem;

“Pengembangan Server Jaringan LAPAN Bandung Menggunakan Komputasi Awan Berbasis Infrastruktur as a Service (IaaS)” ditulis oleh Rizal Suryana. Pengelolaan server dengan teknik konvensional tidak efisien, memerlukan biaya investasi yang mahal, waktu pengembangan lama, fleksibilitas rendah dan pemeliharaannya menjadi lebih berat;

“Precipitable Water Vapor dan Cara Penentuan Nilainya” ditulis oleh Saipul Hamdi. Precipitable water vapor merupakan sebuah besaran fisika yang menunjukkan ekivalensi uap air yang terkandung di kolom udara (atmosfer) jika uap air tersebut berubah menjadi embun;

“Interaksi Suhu Permukaan Laut Diurnal dan Madden Julian Oscillation di Samudera Hindia” ditulis oleh Erma Yulihastin. Interaksi laut- atmosfer yang berkaitan dengan MJO diteliti menggunakan pendekatan model kopel laut-atmosfer resolusi tinggi, data satelit dan reanalisis, serta data observasi dari berbagai instrumen di Samudera Hindia

“Kinerja Radiospektograf Matahari SN-4000 BPAA Sumedang Tahun 2014” ditulis oleh Farahhati Mumtahana, Muhammad Zamzam Nurzaman.

Penelitian ini bertujuan untuk meninjau kinerja SN-4000 melalui studi perbandingan kuantitas data dan analisis kualitas data terdeteksi pada beberapa kejadian tertentu.

Artikel terakhir dengan judul “Indonesia Masih Ketinggalan Dalam Pengembangan E-Government”, ditulis oleh Igif G. Prihanto. E-Government telah diimplementasikan oleh seluruh anggota PBB, baik negara maju maupun berkembang (termasuk Indonesia). Dengan pengukuran EDGI, terlihat peringkat e-Goverment masing-masing negara dari hasil survei PBB.

Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi : LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802, ext. 142, 146 Fax : (021) 47882726

Email : [email protected] [email protected] Milis : [email protected]

 Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi populer di bidang kedirgantaraan.

 Terbit setiap enam bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.

 Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.

(4)

PROTOTYPE PENGEMBANGAN SISTEM BASIS DATA ANTARIKSA BERBASIS DATA TERPUSAT

Elyyani, Siti Maryam, Ahmad Zulfiana Utama Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected] RINGKASAN

Layanan data pengamatan membutuhkan dukungan sistem pengelolaan data antariksa sebagai pusat data yang dapat diakses secara online. Melalui sistem pengelolaan data terpusat maka ketersediaan data menjadi lebih terkontrol dan terhindar dari adanya duplikasi data. Dalam pengembangan sistem pengelolaan data dibutuhkan model (prototype) dari sistem yang akan dibangun. Model tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi antara pengguna dan pengembang sistem. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kebutuhan pengguna, alat-alat untuk membangun sistem aplikasi, diagram kontek, diagram alir data, perancangan basis data dan tampilan antar muka yang digunakan untuk implementasi sistem basis data antariksa.

Pengembangan sistem pengelolaan data tersebut menggunakan model bottom-up development, pengembangan sistem dimulai dengan menganalisis sistem yang ada saat ini dan kebutuhan pengguna terhadap sistem yang baru. Model relational database digunakan untuk memodelkan basis data pada sistem tersebut. Melalui pendekatan tersebut berbagai kebutuhan pengguna dapat dianalisis dan dituangkan kedalam sebuah prototype. Prototype sistem basis data antariksa dilakukan uji coba pada alamat http://192.168.120.46/simbada/. Proses uji coba prototype tersebut diterapkan pada kasus Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN. Hasil dari uji coba tersebut dapat menjadi acuan dalam pengembangan sistem pengelolaan data hasil pengamatan untuk seluruh stasiun pengamatan.

1 PENDAHULUAN

Data pengamatan antariksa tersebar di seluruh stasiun pengamatan yang berada di beberapa wilayah Indonesia, kondisi tersebut tentunya sangat menyulitkan dalam hal pengelolaan datanya. Saat ini hasil dari proses distribusi data dari setiap stasiun tersebut disimpan pada repository data sebagai pusat data di Pusat Sains Antariksa LAPAN. Sistem yang ada sekarang masih memiliki keterbatasan seperti masih terdapatnya data ganda (redudansi), karena pengelolaan masih berbentuk sharing folder. Dengan adanya data pengamatan yang disimpan secara berulang tersebut mengakibatkan sulitnya integrasi data dan perubahan/update data pengamatan. Melalui pendekatan

database maka masalah redundansi dapat berkurang (Whitten, 2004).

Sebelum sistem tersebut diterap- kan diperlukan pembangunan prototype sistem basis data antariksa, karena dengan menggunakan prototype berbagai kebutuhan user dan spesifikasi fungsional dari sistem yang akan dikembangkan dapat segera dibenahi.

Metode ini sangat baik digunakan untuk menyelesaikan masalah kekeliruan antara pengguna sistem (user) dan pengembang sistem yang timbul akibat user tidak mampu mendefinisikan secara jelas kebutuh-annya (Mulyanto, 2009). Penelitian ini membahas mengenai kebutuhan peng-guna, alat- alat yang digunakan untuk membangun perancangan basis data, fitur halaman muka sistem basis data antariksa

(5)

termasuk perancangan diagram konteks dan diagram alir data.

Basis data merupakan salah satu komponen utama dalam sistem informasi, karena merupakan basis dalam penye- diaan informasi bagi para pemakai (Fathansyah, 1999). Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan perancangan basis data (Abdillah, 2003) yaitu untuk memenuhi informasi yang berisikan kebutuhan-kebutuhan pengguna secara khusus dan aplikasi-aplikasinya. Melalui sistem data terpusat maka pengiriman data antariksa dari setiap stasiun pengamatan dapat dilakukan secara online dan mudah dikontrol karena data terpusat pada satu titik sehingga terhindar dari duplikasi data. Basis data terpusat memiliki banyak keuntungan (Whitten et al, 2004) yaitu kinerja sistem lebih terjamin, efisiensi terhadap lalu lintas jaringan, kemudahan dalam penerapan, dan perawatan serta penghematan biaya.

2 LANDASAN TEORI

Untuk mengurangi kekeliruan antara user sebagai pengguna sistem dan pengembang sistem maka dalam mengembangkan suatu sistem dibutuh-

kan prototype sebagai bentuk awal dari sebuah sistem yang akan dibuat.

Prototyping disebut juga desain aplikasi cepat (rapid application design/RAD) karena menyederhanakan dan mem- percepat desain sistem (O'Brien, 2005).

Pembuatan prototype pada umum- nya menggunakan Data Flow Diagram (DFD), yaitu alat pengembangan sistem yang menggunakan berbagai simbol untuk menunjukkan aliran data melalui sistem informasi tetapi tidak menunjukan logika program (Gary B, 2010). DFD merupakan alat perancangan sistem yang berorientasi pada alur data dengan konsep dekomposisi dan dapat digunakan untuk penggambaran analisis sistem.

Pengertian lain tentang diagram alir data adalah alat yang dapat meng- ungkapkan hubungan antar komponen dalam sistem (Donald and Le Vie, 2000).

Untuk aliran kegiatan atau proses bisnis digunakan diagram konteks, diagram tersebut menunjukkan proses bisnis secara keseluruhan sebagai satu proses dan aliran data ke dan dari entitas eksternal (Dennis et al, 2006). Simbol mengenai Data Flow Diagram dapat dilihat pada Tabel 2-1 (DeMarco, 1979).

Tabel 2-1: SIMBOL DATA FLOW DIAGRAM (DeMarco,1979)

(6)

Perkembangan teknologi jaringan komputer semakin mempermudah sistem transfer data. Data hasil transfer data tersebut disimpan pada sistem basis data untuk mempercepat proses pencarian dan perubahan data. Aplikasi basis data adalah koleksi dari data yang terkait secara logis dan deskriptif dari data- data yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi dari suatu organisasi (Connolly, 2010). Database Manajemen Sistem adalah kumpulan data yang saling berhubungan dan juga mengandung kumpulan program untuk mengakses data tersebut (Silberschatz et al, 2002).

Untuk mempermudah pengon- trolan keamanan basis data maka sistem basis data terpusat bisa menjadi solusi. Sistem basis data terpusat yang digunakan merupakan suatu konsep client/server dengan model two-tier (dua tingkatan). Dua tingkatan tersebut terdiri atas sebuah server dan banyak client yang dihubungkan melalui jaringan.

Konsep dua tingkatan (two tier) tersebut dipraktekkan pada Local Area Network (LAN).

3 DATA DAN METODOLOGI

Pengembangan database ini menggunakan pendekatan model Bottom-up development. Pengembangan sistem dimulai dengan menganalisis sistem yang ada saat ini. Tahap selanjut- nya dilakukan wawancara dengan peng- guna/peneliti dalam rangka memenuhi kebutuhan sistem yang baru yang berkenaan dengan laporan maupun sistem pencarian (query).

Pembangunan prototype sistem basis data antariksa dimulai dengan menerjemahkan kebutuhan pengguna (user) kedalam bentuk contex diagram atau data flow diagram sebagai data yang akan dianalisis. Setiap fungsi pada sistem tersebut akan digambarkan dalam bentuk data flow diagram atau diagram aliran data. Pada model tersebut setiap komponen sistem diuraikan agar memudahkan untuk identifikasi dan evaluasi sistem. Tahap ke dua adalah

desain konfigurasi perangkat lunak yang digunakan dalam pembangunan sistem aplikasi ini. Tahap ke tiga adalah perancangan data dengan menggunakan model relational database dan tahap ke empat adalah perancangan antar muka sebagai penerapan dari prototype.

Model relasional database diguna- kan untuk memodelkan basis data.

Model ini menggunakan sekumpulan tabel berdimensi dua (yang disebut relasi atau tabel), dengan masing- masing relasi tersusun atas tupel atau baris dan atribut. Model relasional merupakan model data yang paling banyak digunakan saat ini. Hal ini disebabkan oleh bentuknya yang sederhana dibandingkan dengan model jaringan/network atau model hirarki.

Bentuk yang sederhana ini membuat pekerjaan seorang programmer menjadi lebih mudah, yaitu dalam melakukan berbagai operasi data (query, insert, update, delete, dan lainnya).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan sistem basis data antariksa dirancang menggunakan database terpusat, seluruh bagian luar (entitas ekternal) seperti pengguna/user, stasiun pengamatan dan admin pengelola sistem merupakan pendukung pada sistem tersebut. Konsep database terpusat menunjukkan bahwa semua hasil data pengamatan yang berasal dari setiap stasiun pengamatan bermuara pada satu database tunggal. Data matahari, data geomagnet dan data ionosfer merupakan hasil layanan data peng- amatan yang dikelola untuk menjaga ketersediaan terhadap updating layanan datanya. Kebutuhan user pada pengem- bangan sistem basis data antariksa ini diterjemahkan sebagai proses sistem secara keseluruhan ke dalam bentuk contex diagram. Gambar 4-1 menunjukkan berbagai entitas eksternal (luar) yang terdiri dari pengguna data/peneliti, admin serta stasiun pengamatan yang berkontribusi dalam mengakses proses Sistem Basis Data Antariksa.

(7)

Pada setiap entitas tersebut memiliki alur data yang masuk dan keluar dari sistem dengan membawa data store yang berupa file atau dokumen.

Sistem basis data antariksa ini dibuat dengan menempatkan data dan aplikasi pada satu server/lokasi tertentu.

Sistem basis data antariksa disimpan pada server utama sebagai pusat layanan data bagi semua peneliti/user.

Sistem basis data antariksa ini menam-

pung data pengamatan yang berasal dari setiap balai/loka pengamatan.

Tahap kedua adalah perancangan perangkat lunak yang digunakan pada sistem basis data antariksa ini, yang terdiri dari Apache versi 2 sebagai web server-nya, MySql versi. 2 sebagai database manajemen sistem untuk mengembangkan pembuatan basis data.

Aplikasi-aplikasi tersebut akan dijalankan pada sistem operasi Ubuntu Server 12.04.

Gambar 4-1: Diagram kontex

Gambar 4-2: Diagram aliran data (data flow diagram)

(8)

Bahasa pemrograman dari sisi server menggunakan PHP versi 5 dan shell programming sedangkan dari sisi client menggunakan bahasa pemograman Javascript, SVG, HTML dan CSS. Bahasa pemrograman lain dari sisi server yang mungkin digunakan adalah Shell, C, atau python untuk pembuatan/ modifikasi algoritma pencarian file.

Tahap ke tiga adalah perancangan basis data. Pada Tabel 4-1, dijelaskan mengenai atribut, dan primary key dari setiap tabel. Server basis data aplikasi terdiri dari tabel user, detail_user, role, satker, bidang, alat_pengamatan, lpd,

lpd_alat, format_path, search, hasil pencarian, log, dan type activity. Hasil dari pencarian data akan tersimpan di tabel hasil_pencarian, tujuannya me- mudahkan sistem dalam menampilkan dan pengunduhan data. Untuk meng- hemat ukuran basis data apabila pengguna melakukan pencarian data kembali maka data sebelumnya akan dihapus dan digantikan dengan data pencarian yang baru. Setiap kegiatan pencarian data akan direkam kedalam tabel search, untuk mengidentifikasi data yang sering diunduh.

Tabel 4-1: RINCIAN DARI ENTITIAS PADA SISTEM BASIS DATA ANTARIKSA

Nama Tabel Atribut Kunci utama

User user_id, user_name, user_password,

user_saltpassword, user_email, user_isactive, user_create_time, user_update_time, role_id

user_id

Detail_user user_id, detuser_name, detuser_alamat, detuser_dob, detuser_pob, detuser_phone, detuser_mobile, detuser_kelamin, bidang_id

user_id

Role role_id, role_name, role_desc, role_isactive role_id

Satker satker_id, satker_name satker_id

Bidang bidang_id, bidang_name, satker_id bidang_id Alat_pengamatan alat_id, alat_name, alat_child_id, alat_kategori,

alat_img_url, alat_deskripsi, alat_detail_img, alat_isactive, alat_kode, isYear, isMonth, isDate

alat_id

Lpd lpd_id, lpd_name, lpd_src_img, lpd_provinsi, lpd_kode, lpd_detail_img, lpd_isactive

lpd_id Lpd_alat lpd_id, alat_id, lpd_alat_id lpd_alat_id Format_path format_path_id, m_lpd_alat_id, path_format,

path_length, path_date, file_month

format_path_id Search search_id, user_id, lpd_id,alat_id, searc_tgl_from,

search_tgl_to

search_id

Hasil Pencarian user_id, hasil_path, hasil_name, hasil_date, search_id

-

Log log_last_activity, typeactivity_id, user_id -

Type_activity Typeactivity_id, typeactivity_name, type_desc typeactivity_id

(9)

Hasil rincian dari entitias pada tabel tersebut kemudian diterapkan pada database relational yang terdiri dari koleksi dari tabel-tabel yang memiliki 14 tabel dengan nama yang unik. Model basis data relasional ini merupakan model basis data yang telah melalui proses normalisasi dan diimplementasikan dalam Database Management System (DBMS). Setiap tabel akan berhubungan melalui entitas dalam bentuk primary key. Tipe hubungan antar tabel ditunjukkan dalam skema

pada Gambar 4-3, yang merupakan hasil rancangan basis data pada sistem basis data antariksa menggunakan aplikasi MySQL Workbench. Untuk proses integrasi skema database yang lebih kompleks dapat menggunakan teori pendekatan Integrated Information Systems*Case, R.6.0) (IIS*Case) yang dapat mendukung pemodelan konseptual skema database dan integrasinya dalam skema relational database (Luković, Ivan, et al., 2006).

Gambar 4-3: Perancangan basis data

(10)

Tahap ke empat adalah perancangan prototype antar muka pada sistem aplikasi basis data antariksa yang berupa halaman user/pengguna.

Halaman ini (Gambar 4-4) diperuntukan bagi user yang akan mengakses data pengamatan melalui web browser.

Aplikasi sistem basis data antariksa selanjutnya dilakukan uji coba pada server dengan alamat http://192.168.

120.46/simbada/. Gambar 4-4 menun- jukkan tampilan halaman muka pada saat user membuka aplikasi tersebut.

Gambar 4-4: Tampilan halaman muka sistem aplikasi basis data antariksa

Gambar 4-5: Form Pencarian Data Beacon pada Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang

Pada halaman utama disediakan login untuk dua fasilitas yaitu:

- Login admin: digunakan untuk mengelola user dan manajemen hak akses,

- Login user: digunakan untuk user yang akan melakukan pencarian data pengamatan

Pencarian data dilakukan meng- gunakan query terhadap basis data

antariksa yang dibentuk berdasarkan input user pada form pencarian data.

Gambar 4-5 menunjukkan form pencarian data Beacon di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN untuk 1 Januari sampai 31 Januari 2015. Hasil dari proses pencarian tersebut bisa dilihat pada Gambar 4-6.

(11)

Gambar 4-6: Hasil pencarian Data Beacon 1 Januari sampai 31 Januari 2015 pada Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN

5 PENUTUP

Sebelum membangun pengelolaan data secara online maka pembangunan prototype menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan sistem basis data antariksa ini. Pembangunan sistem aplikasi basis data antariksa dilakukan menggunakan basis data terpusat.

Sistem basis data terpusat memberi manfaat antara lain adanya kontrol keamanan terhadap penggunaan database. Sistem basis data terpusat ditempatkan pada satu server di Pusat Sains Antariksa. Pembuatan prototype sistem aplikasi Basis Data ini lebih difokuskan pada Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN sebagai model (prototype) terhadap sistem yang akan dibuat sehingga model tersebut bisa diterapkan juga untuk lokasi pengamatan lainnya yang tergabung dalam sistem ini. Uji coba sistem dengan menggunakan alamat http://192.168.120.46/simbada/ untuk

data pengamatan Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN.

Manajemen data antariksa berupa proses tambah data, edit data dan update data sudah dapat dilakukan pada aplikasi tersebut. Sistem ini masih dalam bentuk prototype, ada pun sebagian masih terlihat ada kekosongan data hal tersebut disebabkan data belum dientri secara keseluruhan.

Dengan telah terbangunnya prototype sistem aplikasi basis data antariksa untuk Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN maka pengembangan untuk stasiun pengamatan lainnya dapat dengan mudah dilakukan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Teguh Harjana yang telah banyak membimbing dan mengarahkan untuk terlaksananya makalah ini serta bantuan semua rekan-rekan Bidang

(12)

DAFTAR RUJUKAN

Abdillah, Leon, Andertti, 2003. Sistem Basis Data Lanjut 1: Membangun sistem basis data, Universitas Bina Darma, Palembang.

Connolly, Thomas and Carolyn Begg., 2010.

Database Systems: a Practical Approach to Design, Implementation and Management, Fifth edition. Addison Wesley: America.

Connolly, Thomas and Carolyn Begg., 2002.

Database Systems: a Practical Approach to Design, Implementation and Management, Third edition. Reading, Massachusetts.

DeMarco, Tom, 1979. Struktur Analysis and System Spesification, Foreword by: P.J.

PLAUGER, Yourdon Press Prentice Hall PTR, ISBN: 0-13-854380-1.

Donald, S. and Le Vie, Jr., 2000. Understanding Data Flow Diagram. Proceedings of the 47th annual conference on Society for Technical Communication. Texas:

Integrated Concepts, Inc.

Dennis, A., Wixom, B.H. and Roth, R.M., 2006.

Systems Analysis and Design, 3rd ed.

Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Fathansyah, 1999. Basis Data, Informatika Bandung, Bandung.

Gary B. Shelly and Harry J. Rosenblatt, 2010.

Systems Analysis and Design, 8th ed.

Published by Course Technology, Cengage learning.

Luković, Ivan, et al. 2006. Database Schema Integration Process–A Methodology and Aspects of Its Applying, Sad Journal of Mathematics (Formerly Review of Research, Faculty of Science, Mathematic Series), Novi Sad, 2006, Accepted for publishing.

Mulyanto, A., 2009. Sistem Informasi Konsep &

Aplikasi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

O’Brien, J., 2005. Management Infromation System: Managing Information Technology in the Internetworked Enterprise, Fifth Edition, McGraw-Hill.

Silberschatz, Abraham, Hendry F. Korth, and S. Sudarshan, 2002. Database System Concept, Fourth Edition. McGraw_Hill.

Singapore.

Whitten, Jeffery L., Bentley, Lonnie D., Dittman, Kevin C., 2004. Systems Analysis and Design Methods, Sixth Edition. McGraw-Hill, Network.

(13)
(14)

PENGEMBANGAN SERVER JARINGAN LAPAN BANDUNG MENGGUNAKAN KOMPUTASI AWAN BERBASIS INFRASTRUKTUR

AS A SERVICE (IaaS)

Rizal Suryana Pusat Sains Antariksa

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected] RINGKASAN

Selama ini pengelolaan server LAPAN Bandung menggunakan teknik konvensional. Setiap aplikasi menggunakan satu server fisik sendiri, sehingga sumber daya server tidak dimanfaatkan secara maksimal. Pengelolaan server dengan teknik konvensional tidak efisien, memerlukan biaya investasi yang mahal, waktu pengembangan lama, fleksibilitas rendah dan pemeliharaannya menjadi lebih berat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak perubahan yang sangat besar terhadap pengelolaan server. Komputasi awan merupakan sebuah teknologi komputer yang berjalan pada jaringan internet yang menitik beratkan pada layanan dengan menggunakan sebuah konsep mesin virtual. Masing-masing server yang terpisah secara fisik disatukan dalam satu fisik komputer secara virtual dengan konsep membagi sumber daya. Komputasi awan memberikan sebuah kemudahan dalam melakukan backup dan restore data, menekan biaya dan mudah dalam pengelolaan maupun pengembangan yang akan datang.

1 LATAR BELAKANG

Pada era sebelum 2013 kebutuhan akan sistem informasi LAPAN Bandung didukung oleh layanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan mengguna- kan teknologi server konvensional. Satu aplikasi sistem TIK menggunakan satu server secara fisik. Layanan TIK dengan menggunakan teknologi server konven- sional dibatasi oleh jumlah core processor, hard disk dan memory (Purbo, 2011).

Pengembangan sistem TIK tidak terlepas dari kebutuhan sebuah perangkat keras maupun perangkat lunak. Kebutuhan perangkat keras meliputi komputer server, hard disk dan jaringan komputer.

Sedangkan kebutuhan perangkat lunak meliputi sistem operasi dan sistem aplikasi yang dibutuhkan.

Permasalahan pada pengembangan sistem TIK LAPAN Bandung secara konvensional membutuhkan biaya investasi yang relatif lebih mahal untuk pengadaan server, sistem operasi, aplikasi, dan sumber daya listrik. Proses instalasi dan konfigurasi pada pengembangan sistem TIK konvensional membutuhkan waktu yang lama. Aplikasi yang berjalan pada server umumnya hanya membutuh- kan CPU kurang dari 5% dan memori

80%. Sumber daya CPU yang dimiliki belum digunakan secara maksimal, sehingga apabila server tersebut di tambahkan memory yang lebih besar, server tersebut dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lain agar penggunaanya maksimal harus ada investasi server baru. Penambahan perangkat baru akan menambah beban pekerjaan administrator jaringan, karena harus menjaga keber- langsungan operasional, pemeliharaan dan sistem backup. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memilih dan menerapkan teknologi yang tepat dengan kondisi dan infrastruktur jaringan komputer LAPAN Bandung. Cloud computing (Komputasi Awan) dapat menjadi pilihan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut karena efisien, fleksibel dan mudah dalam proses pengembangan, pemeliharaan dan sistem backup data.

Komputasi awan adalah sebuah model komputasi yang berjalan dalam sebuah jaringan komputer dan sumber daya seperti prosessor, memory, hard disk dan jaringan menjadi sebuah layanan. Komputasi awan berbeda dengan sistem komputasi konvensional, pada sistem komputasi konvensional

(15)

sebuah server hanya digunakan untuk satu aplikasi dan sistem operasi. Sistem komputasi awan tidak dibatasi oleh jumlah core processor, hard disk dan memory. Pada model komputasi awan sebuah server terdiri dari berbagai macam perangkat lunak dan sistem operasi. Jika sumber daya sudah habis, dapat ditambahkan seperti memory, hard disk bahkan dapat ditambahkan satu server baru. Penambahan sumber daya ini akan menambah kapasitas/

kemampuan software aplikasi atau sistem operasi yang sedang berjalan, karena model komputasi awan meng- gunakan kosep berbagi sumber daya.

Pengembangan server pada jaringan LAPAN Bandung dilakukan dengan mengimplementasikan sistem komputasi awan dengan jenis layanan Infrastruktur As A Service (IaaS). Tujuan penggunaan komputasi awan pada lingkungan server LAPAN Bandung adalah untuk memanfaatkan setiap server yang memiliki sumber daya yang masih belum terpakai secara maksimal dan untuk mengefisiensikan biaya operasional dan investasi. Dipilihnya komputasi awan dengan jenis layanan IaaS karena disesuaikan dengan kebutuhan pengem- bangan yang selama ini terjadi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan teknologi internet yang pesat mendorong perkembangan arsitektur komputer menjadi sebuah layanan atau disebut komputasi awan.

Komputasi awan merupakan pengem- bangan dari client server yang terhubung dengan ratusan bahkan ribuan

komputer lainnya dan dapat diakses via internet (Wahana, 2011). Teknologi tersebut dapat menjadi sebuah solusi untuk pengembangan server dari konvensional menjadi berbasis komputasi awan yang lebih ekonomis, efisien, fleksibel dan mudah dalam instalasi dan konfigurasi. Komputasi awan merupakan sebuah teknologi yang menyediakan layanan terhadap sumber daya komputasi melalui sebuah jaringan, dalam hal ini, kata awan atau “Cloud”

melambangkan suatu fisik sistem dari sebuah infrastruktur atau layanan yang tidak dapat terlihat oleh pengguna (end user) (Nasrudin, 2014). Komputasi awan pada dasarnya adalah menggunakan internet-based service untuk mendukung proses bisnis dan cloud service biasanya memiliki beberapa karakteristik, diantara- nya adalah sangat cepat dibangun (deploy), sehingga dapat dengan cepat diterapkan (Fauziah, 2013).

Gambar 2-1 menunjukkan konsep virtualisasi komputer yang mana pada dasarnya komputasi awan merupakan sebuah virtualisasi yang menjadikan sebuah perangkat lunak menjadi abstrak, seolah-olah sistem operasi mengabaikan perangkat keras. Virtualisasi membuat kemampuan sebuah komputer direpre- sentasikan dalam sebuah entitas logikal, sehingga komputer virtual dapat berupa sebuah mesin, beberapa mesin yang terhubung dengan jaringan, atau bagian dari mesin yang memiliki kemampuan yang cukup untuk dibagi dengan beberapa pengguna yang membutuhkan kemampuan komputer (Armanda, 2010).

(16)

Teknologi virtualisasi menawarkan ekspansi infrastruktur teknologi informasi ke level yang lebih tinggi tanpa harus dihadapkan kepada ongkos investasi yang berlipat (Nurhaida, 2009). Teknologi virtualisasi ini yang menjadi dasar pengembangan komputasi awan, yang dijalankan oleh sebuah perangkat lunak atau firmware yang disebut dengan Hypervisor, sedangkan komputasi merupakan gabungan antara teknologi virtualisasi dengan grid computing sehingga seluruh beban proses komputasi yang berjalan akan didistribusikan ke berbagai server yang saling berhubungan.

Proses yang terjadi pada komputasi awan menjadi lebih ringan.

Komputasi awan memiliki tiga jenis model layanan yaitu Software As a Services (SaaS), Platform As a Services (PaaS) dan Iaas seperti ditunjukan pada Gambar 2-2. SaaS adalah layanan yang diberikan kepada konsumen dengan menggunakan aplikasi penyedia yang berjalan pada infrastruktur cloud.

Aplikasi dapat diakses dari berbagai perangkat pengguna melalui antarmuka seperti web browser (misalnya, email berbasis web). Konsumen tidak mengelola atau mengendalikan infrastruktur cloud yang digunakan termasuk jaringan, server, sistem operasi, penyimpanan, atau bahkan kemampuan aplikasi individu, dengan kemungkinan pengecualian ter-

batas terhadap pengaturan konfigurasi aplikasi pengguna tertentu (Wahyudi, 2013). PaaS adalah sebuah layanan yang menyediakan sistem perangkat lunak dan perangkat keras pendukung yang diperlukan untuk membangun aplikasi yang akan dipasang pada server tersebut sesuai kebutuhan organisasi/

instansi (Fajrin, 2012).

Layanan Iaas merupakan sebuah layanan yang diberikan kepada pengguna yang meliputi Central Processing Unit (CPU), memori, storage, koneksi jaringan, dan hal dasar yang terkait dengan resource computing termasuk sistem operasi (Fauziah, 2014). Layanan IaaS akan menghemat waktu pengadaan server, proses instalasi sistem operasi dan pengguna hanya fokus pada sistem aplikasi yang akan dibangun.

Komputasi awan tidak hanya melibatkan sisi aplikasi atau perangkat lunak, tetapi melibatkan perangkat keras dan sumber daya penunjang (Mulyani, 2011). Semua aspek yang meliputi perangkat lunak, perangkat keras, jaringan dan sumber daya penunjang lain dikemas menjadi sebuah bentuk layanan komputasi yang berjalan dalam sebuah jaringan. Sumber daya penunjangan pada sistem komputasi meliputi sumber listrik, hak akses pengguna, sistem jaringan lokal dan internet.

Gambar 2-2: Jenis layanan komputasi awan (Wahyudi, 2013)

(17)

Gambar 2-3: Virtualisasi Server (Meruvian, 2012)

Pada komputasi awan, server fisik akan menjalankan hypervisor yang memvirtualisasikan server yang lain (Ujudeda, 2011). Pada Gambar 2-3 menunjukkan cara kerja komputasi yang menjalankan hypervisor mengakses CPU, memory, hard disk dan networking untuk memberikan kebutuhan sebuah sistem komputer pada semua instances/

containers.

Komputasi awan bersifat elastic/

scalable, yang artinya jika suatu saat membutuhkan sebuah server untuk keperluan suatu aplikasi, maka dengan menerapkan komputasi awan tidak diperlukan server secara fisik, terkecuali jika server fisik komputasi awan semua sumber daya sudah terpakai secara maksimal. Kebutuhan akan sebuah server aplikasi dalam komputasi awan dilakukan dengan membuat sebuah mesin virtual dan server aplikasi tersebut dapat tersedia dalam hitungan menit. Komputasi awan merupakan bentuk online dari grid computing dan merupakan penerapan konsep komputasi terdistribusi yang lebih diarahkan pada jaringan internet (Darmadji, 2011).

3 DATA DAN METODE

Kebutuhan TIK LAPAN Bandung didukung oleh berbagai sistem aplikasi

diantaranya Domain Name Server (DNS), Email Server, Web Server, on-line storage dan Database Server. Setiap aplikasi tersebut ditempatkan pada satu komputer server fisik dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Tabel 3-1 menunjukkan spesifikasi server dan kapasitas penggunaan yang selama ini digunakan untuk mendukung kebutuhan TIK di LAPAN Bandung.

Tabel 3-1 menunjukkan bahwa penggunaan prosesor pada server fisik di bawah 5% dari total kemampuan prosessor sebesar 3.0 GHz untuk masing-masing server. Melihat kondisi tersebut penggunaan server fisik untuk setiap aplikasi menjadi tidak efisien dan memakan biaya operasional yang mahal.

Hal ini disebabkan karena penerapan TIK di lingkungan LAPAN Bandung masih menggunakan sistem konvensional.

Penggunaan server dan aplikasi tidak memperhitungkan kebutuhan CPU, Memory, Hard Disk dan Networking yang dibutuhkan aplikasi pada saat beroperasi.

Komputasi awan dengan jenis layanan IaaS dapat diterapkan pada sistem TIK LAPAN Bandung untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas tanpa mengurangi kemampuan kinerja dari setiap aplikasi yang ada.

(18)

Tabel 3-1: SPESIFIKASI SERVER DAN PRESENTASE PENGGUNAAN PADA SISTEM SERVER KONVENSIONAL

Aplikasi Spesifikasi Server Penggunaan (%) DNS Server Mini Tower HP, Prosessor Pentium 4,

Memory 2 GB, HDD 40 GB,NIC 100 MB

CPU (s) = 0.5% Memory = 1.917.348 KB, Free Memory = 124.616 KB Email Server HP ML150, Prosessor Intel Xeon 3.0

GHZ, Memory 4 GB, HDD 160 GB, NIC 1 GB

CPU (s) = 4.1 %

Memory = 2945808KB, Free = 1.054.288 KB

Web Server HP ML350 G5, Prosessor Intel Xeon 3.0 GHz, Memory 2 GB, HDD 146 GB, NIC 1 GB

CPU (s) = 4.0% Memory = 1527348 KB, Free Memory

= 154616 KB Database

Server

HP ML350 G5, Prosessor Intel Xeon 3.0 GHz, Memory 2 GB, HDD 146 GB, NIC 1 GB

CPU (s) = 2% Memory = 1.937.348 KB, Free Memory = 122.616 KB

Tabel 3-2: SPESIFIKASI PERANGKAT KERAS

Komponen Server 1 Server 2

CPU 2 x Intel Xeon X5560 2.80GHz 8 core

2 x Intel Xeon X5560 2.80GHz 8 core

Memory 12 GB 12 GB

Disk 2 HDD @1 TB SAS 2 HDD @ TB SAS

NIC 2 x 1GB 2 x 1 GB

Merk Supermicro Supermicro

Perangkat keras yang digunakan pada pengembangan komputasi awan berbasis layanan IaaS terdiri dari dua buah komputer server supermicro.

Sistem operasi yang digunakan yaitu Proxmox versi 3.0, spesfikasi perangkat keras ditunjukan pada Tabel 3-2.

Penggunaan dua buah server dalam komputasi awan bertujuan untuk sistem cluster dan High Availability (HA).

Server komputasi awan akan meng- gantikan semua server fisik yang selama ini digunakan. Server fisik yang selama ini digunakan untuk web, DNS, email dan sistem informasi yang lain akan digantikan secara virtual dengan meng- gunakan komputasi awan dengan jenis layanan IaaS. Komputasi awan digunakan

sebagai model penggunaan resource bersama secara mudah, dimanapun, dapat dikonfigurasi, dan on demand (Esyudha, 2013). Kedua server tersebut menyediakan perangkat keras (network, storage, processor, memory) yang digunakan secara bersama-sama untuk proses komputasi dan bergantung pada virtualisasi (Esyudha, 2013).

Pengembangan komputasi awan pada server LAPAN Bandung mengguna- kan dua virtualiasi yaitu Kernel-based Virtual Machine (KVM) dan Container- based Virtualization (OpenVZ). Gambar 3-1 menunjukkan perbedaan cara kerja KVM dan OpenVZ. KVM merupakan salah satu virtualisasi yang memberikan kemampuan OS Level Virtualization pada

(19)

kernel Linux (Rio, 2009). KVM ini dapat berjalan pada semua arsitektur Center Processing Unit (CPU) yang telah didukung oleh Linux terutama pada arsitektur x86 dan x86-64. KVM diterapkan sebagai modul kernel loadable yang mengubah kernel Linux menjadi bare metal hyper- visor. OpenVZ merupakan virtualisasi pada tingkat Operating System (OS) yang berbasis pada kernel Linux yang memungkinkan sebuah server fisik untuk menjalankan beberapa instances/

containers.

KVM merupakan Hypervisor tipe 1 yang berjalan secara langsung (native) di atas perangkat keras (bare-metal) dalam satu host/system, serta dapat menangani untuk mengakses secara langsung terhadap perangkat keras yang dibutuhkan menjalankan sebuah sistem operasi. Sistem operasi yang membutuh-

kan kinerja lebih tinggi akan meng- gunakan KVM. Hal ini dikarenakan KVM menggunakan hypervisor sehingga kinerja sistem operasi akan tetap terjaga.

Aplikasi yang menggunakan KVM yaitu Email Server, Web Server, on-line storage dan Database Server.

Openvz merupakan hypervisor type dua yang berjalan di atas sistem operasi, sistem operasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai sistem operasi biasa dan sebagai hypervisor untuk menjalan- kan dan mengatur virtual machine.

Akses sumberdaya CPU, Memory, Hard disk dan Networking yang dibutuhkan oleh sebuah virtual machine harus melewati sistem operasi terlebih dahulu.

Aplikasi yang menggunakan Openvz yaitu aplikasi yang tidak membutuhkan kinerja tinggi seperti DNS dan sistem pemantauan jaringan.

Gambar 3-1: Tipe hypervisor (www.cloudindonesia.or.id)

(20)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebutuhan IT LAPAN Bandung didukung oleh berbagai sistem aplikasi diantaranya Domain Name Server (DNS), Email Server, Web Server, storage online dan Database Server. Setiap aplikasi tersebut ditempatkan/di install pada satu komputer server fisik dengan spesifikasi yang berbeda-beda.

Berdasarkan Tabel 3-1, penggunaan CPU dan memori pada masing-masing server masih rendah, server tersebut dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan sistem TIK LAPAN Bandung.

Tabel 4-1 menunjukkan Alokasi vCPU, Memory, Hard disk dan Memory pada komputasi awan untuk setiap guest operating system/containers yang disesuaikan dengan kebutuhan masing- masing aplikasi. Implementasi komputasi awan LAPAN Bandung membutuhkan satu server fisik untuk menangani semua aplikasi, namun penulis

menggunakan dua server fisik.

Penggunaan dua server fisik bertujuan untuk HA. HA memungkinkan server untuk di backup oleh node cloud yang lain sehingga server yang mengalami gangguan dapat mengambil alih kerja dan layanan (Ujudeda, 2011).

Implementasi komputasi awan di lingkungan LAPAN Bandung meng- gunakan layanan berbasis IaaS dengan menggunakan model Private Cloud.

Private cloud merupakan penggunaan eksklusif infrastruktur layanan komputasi awan oleh satu organisasi yang terdiri dari beberapa konsumen (misalnya, unit bisnis) (NIST, 2011).

Penggunaan private cloud dikarenakan komputasi awan hanya digunakan untuk lingkungan LAPAN Bandung.

Selain itu penggunaan Private cloud bertujuan untuk menghemat bandwidth internet karena semua layanan diakses melalui jaringan lokal (Budiyanto, 2012).

Tabel 4-1: ALOKASI SUMBER DAYA PERANGKAT KERAS KOMPUTASI AWAN UNTUK SETIAP SERVER APLIKASI

Server vCPU Memory Hard disk NIC Virtualisasi

DNS 1 cores 1 GB 50 GB 1 Openvz

Web Server 2 cores 2 GB 250 GB 2 KVM

DNS 1 cores 1 GB 50 GB 1 Openvz

Email Server 2 cores 4 GB 200 GB 1 KVM

OwnCloud 2 cores 2 GB 50 GB 2 KVM

Monitoring Jaringan 1 Cores 1 GB 50 GB 1 Openvz

Gambar 4-1: Topologi jaringan komputasi awan LAPAN Bandung

(21)

Penerapan teknologi komputasi awan juga akan mengubah topologi jaringan khususnya topologi jaringan pada lingkungan server/data center. Gambar 4-1 menunjukkan topologi jaringan pada lingkungan server setelah menerapkan teknologi komputasi awan.

Infrastruktur komputasi awan dapat mengurangi jumlah luasnya ruangan data center, penggunaan rak server, daya listrik, sistem pendinginan, perkabelan jaringan, komponen jaringan dan pengurangan jumlah server fisik (Santoso, 2012).

Pengujian kinerja virtual server dilakukan dengan cara mengakses aplikasi yang dijalankan pada masing- masing server. Nilai yang diambil dari pengujian yaitu pemakaian vCPU, memory dan respon time. Penggunaan tiga parameter tersebut sebagai indikator pengujian karena sebuah server dapat dikatakan baik jika dalam satu waktu dapat menangani request dalam jumlah yang besar tetapi penggunaan CPU, memory dan respon time-nya kecil.

Pengujian dilakukan dengan melakukan request terhadap satu server dengan jumlah 20000 requests dalam waktu bersamaan. Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4-2.

Pada kondisi idle semua server

aplikasi menggunakan vCPU di bawah 5% dan penggunaan memori untuk web dan storage online lebih dari 50% hal ini terjadi banyak aplikasi yang harus dijalankan di antaranya koneksi data base dan membaca dan menulis hard disk. Pada saat menangani request mengalami peningkatan pemakaian vCPU yang cukup tinggi kecuali untuk DNS. Pemakaian vCPU pada server monitoring jaringan pada saat request penggunakan vCPU paling tinggi 53.5 – 90.4, hal disebabkan oleh penggunaan virtualisasi Openvz yang mengalami delay. Delay tersebut terjadi karena sistem harus membagi sumber daya dengan sistem operasi yang menjalankan Openvz, karena bukan virtualisasi bare- metal. Pada saat mendapat request, server aplikasi mengalami peningkatan penggunaan vCPU dan Memory kecuali DNS, namun dilihat dari waktu respon yang rendah artinya server aplikasi yang terdapat dalam komputasi awan masih memiliki kinerja yang baik. Server aplikasi tersebut akan mampu menangani dan memberikan respon yang relatif cepat jika pada saat yang sama ada 20000 pengguna yang mengakses sistem informasi LAPAN Bandung.

Tabel 4-2: HASIL PENGUJUAN SERVER APLIKASI BERBASI KOMPUTASI AWAN

Server

Pada Saat Idle Pada terjadi 20000 request

vCPU (%) Memory (GB) vCPU (%) Memory (GB)

Waktu Respon (ms/req)

Web 0.2 1.16 51.3 – 92.5 1.60 19.5

Storage online

0.5 1.59 8.6 – 21.8 1.87 5.1

DNS 4.6 384MB 5.5 – 7.3 384MB 5.0

Monitoring jaringan

0.1 843 53.4 – 90.4 1.00 5.0

(22)

Gambar 4-2: Status server komputasi awan LAPAN Bandung

Server DNS tidak mengalami peningkatan, hal ini disebabkan server DNS telah melakukan cache, sehingga begitu ada request server DNS hanya membaca cache tersebut. Email server tidak dilakukan pengujian karena proses pengujiannya berbeda dengan aplikasi yang lain. Pengujian email server harus dilakukan dengan pengiriman dan penerimaan email, jika dilakukan akan mengganggu operasional dari email server. Sumber daya server komputasi awan yang sudah terpakai sebesar 0.25% untuk CPU, Memory 5.03 GB dari total 11.72 GB. Sumber daya server komputasi awan yang masih besar, dapat dimanfaatkan untuk menambahkan host atau server virtual yang lebih banyak lagi. Rasio perbandingan antara virtual server dengan server komputasi tergantung pada berapa besar sumber daya (CPU, memory dan hard disk) yang dimiliki oleh server komputasi awan tersebut. Rasio perbandingan antara jumlah virtual server dengan sumber daya pada server komputasi awan LAPAN Bandung yaitu maksimal sampai 6:1 atau 7:1 sesuai dengan alokasi memori yang akan digunakan pada virtual server baru. Peningkatan rasio yang signifikan tersebut ditengarai dapat meningkatkan penghematan biaya dan penurunan kompleksitas perkabelan (Santoso, 2012).

Penyebab dari rasio perbandingan antara virtual server dengan sumber daya hanya sampai 6:1 atau 7:1 adalah keterbatasan kapasitas memori yang

digunakan pada komputasi awan sebesar 12 GB. Gambar 4-2 menunjukkan status penggunaan perangkat keras server komputasi awan LAPAN Bandung, memori yang dapat digunakan untuk server virtual sebesar 75% sedangkan 25% sisanya digunakan untuk server komputasi awan untuk beroperasi. Jika sumber daya server komputasi awan digunakan sampai batas maksimal, dapat menyebabkan penurunan kinerja dari komputasi awan tersebut. Apabila terjadi penambahan sumber daya memori maka rasio perbandingan antara jumlah virtual server dengan server komputasi awan dapat meningkat.

5 PENUTUP

Implementasi komputasi awan memberikan optimalisasi pada server fisik secara signifikan yang pada awalnya satu server fisik digunakan untuk satu aplikasi tertentu, server komputasi awan dapat terdiri dari 6 server virtual sehingga memberikan keuntungan dari segi ekonomi dan fleksibel serta kemudahan dalam proses pengembangan, pemeliharaan, dan backup. Rasio antara virtual server dengan server fisik komputasi awan akan sebanding dengan kemampuan CPU, kapasitas Memory, dan Hard Disk.

Semakin besar kemampuan CPU, kapasitas Memory, dan Hard Disk, maka rasio perbandingan antara server virtual dengan server fisik komputasi awan akan meningkat. Dengan menggunakan komputasi awan aplikasi dapat tersedia

(23)

dalam waktu hitungan menit tanpa harus menunggu pengadaan server baru, dan proses instalasi. Konfigurasi dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.

Kinerja sistem dengan menggunakan komputasi awan cukup baik dan responsif, sehingga komputasi awan dapat digunakan untuk menunjang sistem TIK LAPAN Bandung.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Teguh Harjana selaku Kepala Bidang Teknologi Pengamatan atas diberikannya kesempatan untuk implementasi komputasi awan. Kepada Yoga Andrian dan Syharil yang telah membantu implementasi komputasi dan pemasangan jaringan untuk sistem komputasi awan.

DAFTAR RUJUKAN

Armanda R. A. P., 2010. Teknologi Cloud Computing Menggunakan Cloudsim untuk Implementasi Konsep TIK Hijau, Skripsi, Program Studi Teknik Komputer, Universitas Indonesia.

Budiyanto. A., 2012. Pengantar Cloud Computing, Komunitas Cloud Computing Indonesia, di download 30 september 2015 www.cloudindonesia.or.id.

Darmadji. P, Benny. R., 2011. Analisis Kelayakan Ekonomis Cloud Computing Pada Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia dengan Metode ranti’s Generic Is/It Business Value dan Economic Value Added, Studi Kasus Pada Bank Perkreditan Rakyat di Jakarta., Jurnal Sistem Informasi, Volume 7, Nomor 2, Oktober.

Esyudha. P. E., 2013. Kajian Keamanan Privasi Data pada Cloud Computing. Technical Report, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB.

Fajrin. T., 2012. Analisis Sistem Penyimpanan Data Menggunakan Sistem Cloud Computing Studi Kasus SMK N 2 Karanganyar, IJNS - Volume 1 Nomor 1 - November ISSN : 2302-5700.

Fauziah. Y., 2013. Aplikasi E-services Berbasis

Informatika, ISSN: 1979-2328.

Fauziah. Y., 2014. Tinjauan Keamanan Sistem Pada Teknologi Cloud Computing, Jurnal Informatika Vol.8, No.1, Januari.

Meruvian, 2012. Cloud Computing, meruvian.org, download Oktober.

Mulyani, 2011. Manajemen Resiko dalam Penerapan Cloud Computing, Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Juni.

Nasrudin, 2014. Analisis Penerapan dan Implementasi Layanan Jaringan Cloud Computing Software as a Service Menggunakan Eyeos pada SMPN 2 Gamping, Skripsi, AMIKOM Yogjakarta.

NIST, 2011. The NIST Definition of Cloud, National Institute of Standards and Technology Special Publication.

Nurhaida I., 2009. Pengukuran Overhead, Linearitas, Isolasi Kinerja dan Penggunaan Sumber Daya Perangkat Keras Pada Server Virtual, Tesis, Program Studi Tenik Elektro, Universitas Indonesia.

Purbo. W. O., 2011. Petunjuk Praktis Cloud Computing Menggunakan Open Source, IT CAMP.

Rio. R, Petrus. M., 2009. Perbandingan Kinerja Pendekatan Virtualisasi, Journal of Information system, Volume 5, Issues 2, Oktober.

Santoso B.I., 2012. Bermain dengan Infrastruktur Virtual, VMware® vSphere, Komunitias cloud computing Indonesia.

Ujudeda. N. G. B., 2011. Perancangan Teknologi Private Cloud Computing Sebagai Sarana Infrastruktur Online System di Universitas Advent Indonesia, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Advent Indonesia.

Wahyudi. T., 2013. Implementasi Cloud Computing Untuk Memaksimalkan Layanan Pariwisata, Jurnal Bianglala Informatika Vol.1 No.1 September.

Wahana. K., 2011. Kupas Tuntas Bermacam Aplikasi Generasi Cloud Computing, Andi Offset, Yogjakarta.

www.datahive.ca/images/virtualization.png diakses tanggal 27 Oktober 2015.

http://www.cloudindonesia.or.id/mengenal- windows-server-hyper-v-dan-hypervisor-

(24)

PRECIPITABLE WATER VAPOR DAN CARA PENENTUAN NILAINYA

Saipul Hamdi

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Uap air merupakan komponen atmosfer yang jumlahnya sangat berlimpah, sehingga memainkan peranan penting dalam iklim dunia. Jumlah uap air yang jika dikondensasikan di dalam kolom pada luas tertentu disebut sebagai precipitable water vapor atau PWV. Siklus harian PWV secara kuat dikontrol oleh gerakan vertikal atmosfer skala-luas, konvergensi kelembapan tingkat rendah dan presipitasinya, evapotranspirasi permukaan, dan faktor-faktor lainnya. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghitung PWV di antaranya adalah menggunakan radiosonde, satelit GPS, microwave water vapor radiometer, dan lain-lain termasuk satelit sumber daya alam MODIS. Besaran PWV yang pernah dihitung di Jakarta-Bogor pada tahun 2010 adalah 40-60 mm. Sementara itu, PWV global memiliki siklus tahunan berupa nilai maksimum pada musim kemarau, dan nilai minimum pada musim dingin.

1 PENDAHULUAN

Precipitable water vapor merupakan sebuah besaran fisika yang menunjukkan ekivalensi uap air yang terkandung di kolom udara (atmosfer) jika uap air tersebut berubah menjadi embun (Syaifullah, 2011). Jumlah keseluruhan uap air di dalam kolom vertikal atmosfer dinyatakan sebagai Total Precipitable Water (TPW), dan dinyatakan dalam satuan milimeter atau inchi. TPW seringkali diungkapkan dalam istilah yang lain yaitu Integrated Water Vapor (IWV) yang memiliki satuan kg.m-2, dan dihitung dengan cara mengintegrasikan jumlah uap air yang ada di atmosfer mulai dari ketinggian permukaan hingga puncak atmosfer (Top Of Atmosfer =TOA).

Dupont et.al. (2008) mendefinisikan PWV sebagai jumlah air pada fase cair yang terdapat di dalam udara jika semua uap di atmosfer dalam kolom vertikal dikompresikan pada titik kon- densasinya. Coster (1996) mendefinisikan PWV sebagai ketinggian liquid water yang berasal dari kondensasi semua uap air di dalam suatu kolom dihitung dari permukaan hingga puncak atmosfer.

American Meteorological Society (2000)

mendefinisikan PWV sebagai jumlah total uap air yang terdapat di dalam kolom vertikal pada satuan penampang luas tertentu dan membentang di antara dua ketinggian tertentu, dan biasanya dinyatakan dalam bentuk ketinggian yang dalam hal ini substansi air akan ada jika terkondensasi seluruhnya dan terkumpulkan di dalam kolom dari penampang luas yang sama. Dari sudut pandang budget radiasi matahari maka TOA seringkali didefinisikan pada ketinggian 20 km, yaitu suatu ketinggian referensi tempat semua radiasi yang datang mulai mengalami pemantulan ataupun penyerapan di bawah ketinggian tersebut (Loeb, et. al., 2002). Perlu ditegaskan bahwa tidak semua uap air yang ada di atmosfer bersifat precipitable atau dapat menjadi hujan. Di dalam tulisan ini, digunakan istilah PWV.

Di dalam teknik pemetaan geodesi dikenal juga besaran fisis Zenith Wet Delay (ZWD) yaitu perlambatan sinyal gelombang radio (dari satelit) yang disebabkan oleh suhu, tekanan, dan kelembapan antara transmiter dan receiver. ZWD kira-kira sebanding dengan PWV. ZWD dapat diukur menggunakan

(25)

teknik-teknik pengukuran tertentu misalnya menggunakan radiosonde, radiometer, Very Long Baseline Interferometry (VLBI), dan Global Positioning System (GPS), serta dapat juga diturunkan dari model prediksi numeris, misalnya model MM5 dan model HIRLAM. Radiosonde digunakan untuk mengukur secara langsung kelembapan udara pada banyak tingkat ketinggian, sedangkan radiometer memanfaatkan penyerapan sinar matahari oleh uap air pada panjang gelombang tertentu. VLBI dan GPS menggunakan gelombang elektromagnetis pada frekuensi tertentu dan dihubungkan dengan penyerapan gelombang tersebut akibat adanya uap air di atmosfer.

Sebetulnya, di dalam geodetic microwave space techniques, adanya uap air di atmosfer menyebabkan terjadinya ketidakpastian posisi karena gelombang mikro tersebut mengalami perlambatan sehingga pengaruhnya harus dihilangkan (Tregoning et. al., 1998).

Uap air atau water vapor merupa- kan salah satu komponen atmosfer yang jumlahnya sangat berlimpah dan memiliki variabilitas yang besar baik terhadap waktu maupun terhadap ruang. Fase uap ini berperanan sangat penting dalam siklus hidrologi global, dan mempengaruhi sistem iklim dan cuaca (Follette et.al., 2008). Adanya uap air di atmosfer akan menahan laju sinar matahari dan gelombang elektromagnetik lainnya yang penting bagi komunikasi, radar, astronomi dan remote sensing.

Selain itu, uap air juga memiliki kemampuan untuk berubah fase, dan kemampuannya tersebut memainkan peranan penting dalam kejadian- kejadian petir/guntur, serta menjaga keseimbangan energi dalam sistem bumi-atmosfer (Howarth, 1983). Sellers (1965) mengasumsikan bahwa PWV rata-rata di atmosfer adalah 25 mm dan rata-rata hujan secara global adalah 1000 mm/tahun, sehingga waktu tinggal uap air di atmosfer lamanya 9-10

1,5x106 J.kg-1 maka diperkirakan jumlah energi yang dilepaskan ke atmosfer adalah sebesar ~1,28x1024 J/tahun yang setara dengan 35% energi matahari yang diserap oleh sistem bumi-atmosfer.

Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran tentang precipitable water vapor dan metode pengukuran/peng- hitungannya dari besaran kelembapan relatif (RH) yang diperoleh menggunakan ballon-borne radiosonde, selanjutnya disebut sebagai radiosonde saja.

2 FUNGSI UAP AIR BAGI BUMI

Uap air yang ada di atmosfer berperanan besar dalam kesetimbangan radiasi dan siklus hidrologi. Jumlah uap air yang ada di atmosfer bumi adalah bervariasi, baik terhadap ruang maupun terhadap waktu. Daerah yang paling banyak mengandung uap air adalah daerah khatulistiwa yaitu sekitar 4%

dari jumlah total gas yang ada di atmosfer bumi. Sebaliknya, daerah yang memiliki suhu sangat rendah (misalnya daerah kutub) hanya memiliki kandungan uap air sebesar 1%. Untuk dapat membuat pemodelan cuaca dan iklim maka sifat-sifat uap air atmosfer perlu dipahami dengan baik, yaitu dalam hal energi global maupun sistem kesetimbangannya. Secara umum, jumlah uap air yang ada di atmosfer adalah tetap yaitu 25 mm, dan jumlah total presipitasi (=hujan) adalah 1000 mm/tahun (Sellers, 1965). Dengan mengasumsikan panas laten kondensasi sebesar 2,5x106 J.kg-1 maka jumlah energi yang dilepaskan ke atmosfer adalah sebesar 1,28x1024 J/tahun yang setara dengan 35% jumlah energi matahari yang diserap oleh sistem atmosfer bumi.

Uap air merupakan salah satu gas rumah kaca yang sangat penting peranannya dalam menjaga suhu atmosfer bumi, dan merupakan jumlah yang terbanyak dibandingkan gas-gas rumah kaca lainnya (95%). Jumlah uap air di atmosfer berkaitan langsung

(26)

meningkat maka akan terjadi penguapan yang berlebih yang mengubah air menjadi fase gas sehingga jumlah uap air di atmosfer meningkat juga. Hal ini juga memperjelas fakta bahwa di daerah yang sangat dingin maka jumlah uap airnya lebih sedikit dibandingkan di daerah yang lebih hangat. Namun demikian, jumlah air di udara tidak hanya dipengaruhi oleh suhu saja, namun dipengaruhi juga oleh suhu permukaan dan suhu tropopause.

Peningkatan jumlah uap air di atmosfer yang disebabkan oleh meningkatnya suhu udara dan sebaliknya dikenal sebagai feedback positif.

Sinar matahari yang memasuki atmosfer (top of atmosfer) memiliki intensitas rata-rata sebesar 1368 W/m2 dan disebut sebagai konstanta matahari (solar constant) dan akan berinteraksi dengan bahan-bahan penyusun atmosfer sehingga mengalami pelemahan.

Pelemahan terbesar disebabkan oleh interaksinya dengan uap air, dan mencakup pita gelombang yang sangat lebar, yaitu dari pita ultraviolet hingga

infra merah jauh. Spektrum sinar matahari terhadap penyerapan komponen- komponen penyusun atmosfer ditunjuk- kan pada Gambar 2-1. Intensitas sinar matahari di puncak atmosfer ditandai dengan daerah berwarna kuning, sedangkan daerah berwarna merah menunjukkan intensitas sinar matahari yang terukur di permukaan bumi. Adanya proses penyerapan, penghamburan, maupun pemantulan energi matahari di atmosfer menyebabkan energi matahari menjadi lemah setibanya di permukaan bumi. Senyawa yang paling berperanan dalam melemahkan intensitas sinar matahari adalah uap air (H2O). Uap air banyak menyerap sinar infra merah, sedangkan sinar tampak banyak yang mengalami penghamburan dan peman- tulan. Proses pelemahan sinar matahari akibat penyerapan, pemantulan, dan penghamburan ini menyebabkan sinar matahari di permukaan bumi berada dalam batas aman bagi kehidupan semua biota. Alam menjadi seimbang dan kehidupan menjadi terjamin.

Gambar 2-1: Spektrum sinar matahari yang tiba di permukaan bumi (sumber: http://

sustainablebalance.ca/solar-irradiance-and-earths-atmosphere/, diunduh 18 Mei 2016)

Gambar

Gambar 4-5: Form Pencarian Data Beacon pada Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang
Gambar 4-6: Hasil pencarian Data Beacon 1 Januari sampai 31 Januari 2015 pada Balai Pengamatan  Antariksa dan Atmosfer Sumedang LAPAN
Gambar 2-2: Jenis layanan komputasi awan (Wahyudi, 2013)
Gambar 2-3: Virtualisasi Server (Meruvian, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

software sistem manajemen database ( Database Management System - DBMS) yang sangat populer digunakan untuk. membangun aplikasi web sebagai sumber data atau

PEMANFAATAN APLIKASI MYSQL WORKBENCH UNTUK PENERAPAN VISUALISASI DESAIN ERD DALAM MANAJEMEN DATABASE (STUDI KASUS PADA DATABASE KLINIK PIJAT TUNANETRA)

Level ini melindungi data pada Database Management System (DBMS) dari berbagai macam serangan. Diperlukan integrasi pada level basis data, termasuk modifikasi skema

Rancangan basis data sistem informasi ini memakai basis data MySql pada sebuah basis data dan sebagian tabel, tabel-tabel itu akan dipakai untuk menyimpan data yang

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian MYSQL adalah sistem manajemen basis data sebagai bahasa penghubung perangkat aplikasi dengan

Jika cuaca di permukaan yang dampaknya bisa langsung dirasakan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di permukaan bumi, maka dampak cuaca antariksa terhadap

Teknik Produksi Cuka Kayu Terpadu dengan Arang Terdaftar pada tanggal 21 Desember 2006 Tanggal 23 Pebruari 2007 pemberitahuan persyaratan formalitas telah dipenuhi 19 april

 Berdasarkan jumlah KTI yang diterbitkan pada Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara (MSTD) dan Berita Dirgantara (BD) pada periode tahun 2006-2009 berdasarkan