• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 18 NO. 2 DESEMBER 2017 ISSN 1411-8920

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

(2)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 18 NO. 2 DESEMBER 2017 ISSN 1411-8920

Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti

Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman

Riki Ardiansyah

Sinta Berliana Sipayung

Alhadi Saputra

Nanik Suryo Haryani

Herry Purnomo dan Setiadi

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

(3)

Berita

DIRGANTARA

MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA

DIRGANTARA

Penyunting:

 Ketua

Dra. Sinta Berliana S., M.Sc

 Anggota

Dra. Nanik Suryo Harjani, M.Si Drs. Mamat Ruhimat, M.Si

Ir. Widodo Slamet, M.Si Ir. Setiadi, MT Kosim Abdurohman. ST Fajar Iman Nugraha, ST, MTi

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI BERITA DIRGANTARA

Pemimpin Umum:

Ir. Christianus Ratrias Dewanto, M.Eng Pemimpin Redaksi:

Ir. Jasyanto, MM Redaksi Pelaksana: Mega Mardita, S.Sos.,M.Si

Suryadi, S.Sos Aprian Rizki Fauzi, S.IK

Aulia Pradipta, S.S. Tata Letak

M. Luthfi

VOL.18 NO.2 DESEMBER 2017 ISSN 1411-8920 DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 18, No. 2, Desember 2017 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.

Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 7 (tujuh) artikel yaitu,

“Pengukuran pH dan Konduktivitas Air Hujan untuk Pemantauan Kualitas Udara di Daerah Bandung” ditulis oleh Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti. Polusi udara semakin meningkat dengan diiringi peningkatan industri, populasi manusia dan penggunaan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil;

Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman menulis “Uji Tekan untuk Menentukan Karakteristik Rubber Damper pada Pesawat Komuter 19 Penumpang. Komponen yang bertugas untuk penyerapan energi pada

landing gear adalah shock absorber dan roda;

“Parametrik 3D Desain Pesawat LAPAN Surveillance UAV (LSU)-02 NG LD dengan Menggunakan Software CATIA” ditulis oleh Riki Ardiansyah. Dengan menggunakan desain parametrik pada software Catia maka proses menggambar dan merevisi sesuai dengan hasil perhitungan/simulasi dan iterasi menjadi lebih mudah;

“Analisis Awan Cumulonimbus Dan Angin Serta Keterkaitannya Dengan Curah Hujan Di Kawasan Gede Bage, Bandung (Jawa Barat)” ditulis oleh Sinta Berliana Sipayung. Indonesia sebagai maritim kontinen, mempunyai banyak awan di atmosfer, diantaranya awan cumulonimbus (Cb), akan tetapi tidak semua awan konvektif tersebut berpotensi hujan;

“Evaluasi Manajemen Keamanan Informasi di Pustispan Menggunakan Indeks Keamanan Informasi (KAMI)” ditulis oleh Alhadi Saputra. Penelitian ini membahas tentang evaluasi manajemen keamanan informasi yang telah diterapkan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Standar Penerbangan dan Antariksa (Pustispan);

“Potensi Pemanfaatan Data Satelit Himawari” ditulis oleh Nanik Suryo Haryani. Data satelit Himawari ini berfungsi untuk mendeteksi liputan awan yang berpotensi hujan, pengamatan cuaca dan iklim, yang selanjutnya dapat digunakan untuk analisis penyebab bencana terutama bencana banjir dan longsor yang sering terjadi di Indonesia;

Artikel terakhir dengan judul “Human Task Analysis dan SHERPA untuk Identifikasi Human Error dalam Pengoperasian Overhead Crane Proses Manufaktur Struktur Roket”, ditulis oleh Herry Purnomo dan Setiadi. Penelitian ini menggunakan metode Hierarchical Task Analysis (HTA) dalam pengoperasian overhead crane dan analisis SHERPA dalam pembobotannya.

Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali

ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802, ext. 142, 146 Fax : (021) 47882726 Email : publikasi@lapan.go.id

b_dirgantara@hotmail.co.id Milis : berita_dirgantara@mail.lapan.go.id

 Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi populer di bidang kedirgantaraan.

 Terbit setiap enam bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.  Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan

(4)

Pengukuran pH dan Konduktivitas ....(Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti)

53

PENGUKURAN pH DAN KONDUKTIVITAS AIR HUJAN UNTUK

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DI DAERAH BANDUNG

Asri Indrawati1 dan Dyah Aries Tanti

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr Djundjunan No 133, Bandung 40173 Indonesia

1e-mail: asriku@gmail.com; asri.indrawati@lapan.go.id RINGKASAN

Polusi udara semakin meningkat dengan diiringi peningkatan industri, populasi manusia dan penggunaan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Pemantauan kualitas udara harus dilakukan secara kontinu untuk menanggulangi dampak-dampak yang ditimbulkan, terutama dampak bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, juga dampaknya terhadap lingkungan. Sampling air hujan dilakukan untuk pemantauan kualitas udara dengan pengukuran parameter nilai pH (nilai derajat keasaman air hujan) dan konduktivitas air hujan di lokasi Cipedes, Dago, Soreang, Cililin, dan Padalarang dari Januari-Desember 2015. Hasil yang diperoleh berdasarkan nilai pH untuk Padalarang, hampir 75% dari data pH menunjukkan nilai pH di bawah 5,60. Sedangkan Cililin, Soreang, Dago dan Cipedes berturut-turut 55 %, 56,9 %, 57,1 % dan 15,7 %. Sedangkan nilai konduktivitas untuk kesemua lokasi sampling, pada saat musim hujan (DJF) berkisar antara 1,22 mS/m – 2,10 mS/m, sedangkan musim peralihan hujan – kemarau (MAM) 1,27 mS/m – 2,24 mS/m. Pada musim kemarau (JJA) 2,78 mS/m – 4,31 mS/m, sedangkan musim peralihan kemarau–hujan (SON) berkisar antara 2,37 mS/m – 5,32 mS/m. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di daerah Bandung, dan perlu suatu kajian lebih dalam untuk mengetahui sumber-sumber polutan yang mencemari daerah Bandung.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perkembangan yang pesat di dunia industri, populasi manusia dan pertumbuhan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, merupakan faktor utama dari peningkatan polusi udara, terutama di daerah perkotaan. Penelitian yang telah dilakukan mengenai polusi udara baik polusi udara di dalam (indoor air

pollution) dan luar ruangan (outdoor air pollution) di beberapa negara berkembang

menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat polusi udara dengan kesehatan manusia dan kerusakan tanaman (Mishra, et al., 2012).

Sulfur, nitrogen, dan karbon merupakan senyawa yang dilepaskan ke

atmosfer yang berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil. Senyawa ini kemudian bereaksi dengan oksigen yang ada di atmosfer membentuk oksida sulfur, oksida nitrogen dan oksida karbon. Peningkatan konsentrasi gas-gas ini di atmosfer memyebabkan peningkatan polusi udara (Gaddamwar, 2011).

Hujan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk membersihkan polutan udara yang ada di atmosfer. Karakteristik dan komposisi kimia air hujan dipengaruhi oleh besar kecilnya konsentrasi polutan udara di atmosfer, dan juga tergantung kepada volume curah. Ketika hujan turun, butiran hujan akan membersihkan (menyapu) beberapa partikel besar dalam lintasannya

(5)

54

dengan proses rainout maupun washout (Vesilind, 1994 dalam Indrawati et al., 2013).

Hujan secara alami bersifat asam, dan semakin bertambah nilai keasamannya karena penambahan konsentrasi polutan di udara. Maka hujan tersebut yang dikenal dengan istilah hujan asam (Dubey, 2013). Dalam air hujan, nilai pH 5,60 adalah batas normal dari keasaman air hujan. Jadi ketika pH air hujan berada di bawah nilai 5,60, hujan tersebut dikatakan sebagai hujan asam, karena memiliki nilai keasaman air hujan di bawah 5,60 (Budiwati, 2009). Keasaman air hujan berhubungan erat dengan konsentrasi SOx dan NOx yang

terlarut didalam air hujan. Semakin tinggi konsentrasi SOx dan NOx, maka dapat

mengakibatkan semakin asam nilai keasaman air hujan.

Selain nilai keasaman air hujan, parameter lain yang dapat menggambarkan banyak sedikitnya senyawa polutan yang terlarut di dalam air hujan adalah nilai konduktivitas. Semakin besar nilai konduktivitas, menandakan semakin banyak ion-ion yang terlarut di dalam air hujan, begitu pula sebaliknya.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji nilai pH dan konduktivitas air hujan daerah Bandung, yaitu Cipedes, Dago (mewakili kota Bandung), Soreang (mewakili kabupaten Bandung), Cililin, dan Padalarang (mewakili kabupaten Bandung Barat) untuk melihat sebaran nilai pH dan konduktivitas air hujan sebagai monitoring hujan asam yang berkaitan dengan pencemaran udara.

2 DATA DAN METODE

Data yang digunakan merupakan data harian air hujan, yang diambil dengan menggunakan raingauge maupun

automatic rain sampler. Durasi sampling

dilakukan 1 tahun dari bulan Januari – Desember 2015. Lokasi sampling yaitu daerah Cipedes, Dago, Soreang, Cililin dan Padalarang. Lokasi sampling mewakili daerah padat transportasi (Cipedes), daerah wisata (Dago dan Soreang), daerah lengang (sepi) (Cililin), dan daerah perbukitan kapur (Padalarang) seperti yang tercantum pada Gambar 1-1.

Gambar 1-1: Lokasi sampling air hujan (A) Cipedes, (B) Dago, (C) Soreang, (D) Cililin dan (E) Padalarang

Sampling Air Hujan

Sampling air hujan dilakukan dengan menggunakan rain gauge dan

automatic rain sampler (Gambar 1-2).

Daerah Dago, Soreang, Cililin dan Padalarang menggunakan rain gauge, sedangkan daerah Cipedes menggunakan

automatic rain sampler. Hujan yang

tertampung di dalam tempat penakar hujan diukur volumenya dengan menggunakan gelas ukur. Kemudian sampel air hujan dimasukkan ke dalam botol polyetylen yang telah disterilkan terlebih dahulu. Catat tanggal dan volume air hujan. Pengambilan sampel air hujan dilakukan hari berikutnya setelah hujan (antara jam 8 pagi sampai 8 pagi hari berikutnya) (Tanti, 2015).

(6)

Pengukuran pH dan Konduktivitas ....(Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti)

55 Gambar 1-2: Peralatan sampling air hujan (A)

Rain gauge dan (B) Automatic rain sampler

Pengukuran pH Air Hujan

Data pH diperoleh dengan pengukuran sampel pH air hujan dengan menggunakan alat pH meter Horiba F-1 (Gambar 1-3), dan dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 7,0.

Gambar 1-3: pH meter Horiba F-1

Sebelum kalibrasi elektroda diisi terlebih dahulu dengan larutan pengisi AgCl. Kemudian dibilas hati-hati dengan menggunakan aquabidest. Bilas elektrode secara menyeluruh setiap selesai kalibrasi, karena sampel air hujan jauh lebih encer daripada larutan buffer, sehingga bilasan yang tidak sempurna sering menimbulkan kesalahan pengukuran.

Tempatkan sampel air hujan pada wadah tabung reaksi, atur suhu sampel pada 25oC dengan menggunakan

bantuan water bath. Masukkan elektroda ke dalam tabung reaksi yang berisi sampel air hujan. Tunggu beberapa saat hingga nilai pH yang terukur pada pH meter menunjukkan nilai konstan, catat nilai pH dan suhu sampel (Tanti, 2015).

Pengukuran Konduktivitas Air Hujan

Pengukuran nilai konduktivitas dilakukan dengan menggunakan konduktivitas meter WTW Inolab (Gambar 1-4). Konduktivitas meter menggunakan sel elektroda sehingga harus dikalibrasi secara rutin dengan menggunakan larutan KCl untuk mempertahankan keakuratan pengukuran.

Gambar 1-4: Konduktivitas meter WTW Inolab

Kalibrasi konduktivitas meter dilakukan dengan menggunakan larutan KCl 0,1 M yang kemudian diencerkan menjadi 0,0001 M; 0,0005 M dan 0,001 M.

Nilai konduktivitas sangat berpengaruh dengan suhu, sehingga pada saat pengukuran dan kalibrasi harus dilakukan pada suhu 25 ºC.

Tempatkan sampel air hujan pada wadah tabung reaksi, atur suhu sampel pada 25 ºC dengan menggunakan bantuan water bath. Masukkan elektrode ke dalam tabung reaksi yang berisi sampel air hujan. Tunggu beberapa saat hingga nilai konduktivitas yang terukur pada konduktivitas meter menunjukkan nilai konstan, catat nilai konduktivitas dan suhu sampel (Tanti, 2015).

(7)

56

3 PEMBAHASAN

Keasaman air hujan tergantung pada konsentrasi anion dari pada konsentrasi kation. Nilai pH yang asam menunjukkan adanya asam kuat (sulfat maupun nitrat), sedangkan pH netral atau basa mengindikasikan netralisasi asam oleh senyawa karbonat, debu atau amonium. pH meter merupakan peralatan yang sangat cocok digunakan untuk pengukuran nilai keasaman air hujan (Chungtai et al., 2014).

Hasil pengukuran pH dari lokasi Cipedes, Dago, Soreang, Cililin dan Padalarang seperti yang terlihat pada Gambar 3-1.

Gambar 3-1: Nilai pH daerah (A) Cipedes, (B) Dago, (C) Soreang, (D) Cililin dan (E) Padalarang bulan Januari – Desember 2015

Garis merah lurus pada grafik, merupakan garis batas pH 5,60, dimana hujan dikatakan sebagai hujan asam ketika pH hujan berada di bawah nilai pH 5,60 (Budiwati, 2009). Dari data diperoleh dari Januari sampai Desember 2015 untuk daerah Padalarang hampir 75% dari data pH menunjukkan nilai pH di bawah 5,60. Sedangkan Cililin, Soreang, Dago, dan Cipedes berturut-turut 55 %, 56,9 %, 57,1 % dan 15,7 %.

Hal ini sangat menarik dan perlu kajian penelitian yang lebih dalam, karena daerah Padalarang merupakan daerah gunung kapur, dengan sumber pencemar dominan berupa kalsium (Ca2+) (Indrawati dan Tanti, 2013).

Keberadaan kalsium dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat menetralkan pH air hujan, atau bahkan dapat membuat nilai pH menjadi basa. Namun kondisi sebaliknya terjadi, diduga kondisi tersebut karena adanya pertambahan arus transportasi kendaraan bermotor dan pertambahan industri di daerah Padalarang, sehingga pencemaran sulfur dan nitrogen menjadi tinggi di daerah tersebut.

Daerah Dago dan Soreang merupakan daerah pariwisata, dimana banyak sekali restoran dan tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara pada hari akhir pekan maupun hari libur. Keasaman nilai pH air hujan daerah tersebut sangat erat kaitannya dengan banyaknya kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, dimana sumber sulfur dan nitrat yang merupakan agen dominan keasaman air hujan dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil.

Rendahnya nilai pH di daerah Dago juga dapat disebabkan terbawanya pencemar udara dari pusat kota Bandung oleh angin dominan tahunan yang bergerak ke arah utara kemudian berbalik akibat berbenturan dengan lereng perbukitan di daerah utara

(8)

Pengukuran pH dan Konduktivitas ....(Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti)

57

Bandung (Bukit Dago Pakar dan lainnya). Aliran balik udara dengan konsentrasi pencemar yang sudah tinggi ini selanjutnya akan diam (stagnan) di daerah Bandung Utara (Soedomo, 2001). Kondisi ini juga diduga terjadi di daerah Cililin, dimana daerah Cililin juga dikelilingi daerah perbukitan. Daerah Cililin sendiri merupakan daerah pinggir Kota Bandung, yang memiliki lahan subur dan sebagain besar merupakan lahan pertanian (Statistik, 2016), sehingga besar kemungkinan sumber pencemar udara berasal dari transport polutan Kota Bandung.

Meskipun daerah Cipedes juga merupakan akses keluar dan masuk dari dan ke Kota Bandung, dengan arus transportasi yang cukup padat, namun kondisi nilai pH tidak menunjukkan dominasi nilai pH rendah di daerah Cipedes. Hal ini diduga bahwa selain konsentrasi sulfat dan nitrat sebagai agen pengasaman, konsentrasi kalsium dan amonia sebagai agen penetral keasaman juga cukup tinggi di daerah Cipedes. Sehingga pH air hujan memiliki nilai yang cukup netral, dan juga pengaruh transport polutan oleh angin yang membawa polutan udara menuju daerah pinggiran Kota Bandung.

Selain nilai pH air hujan, parameter lain yang dapat digunakan untuk pemantauan pencemaran udara adalah nilai konduktivitas. Konduktivitas disebut sebagai faktor utama untuk menjelaskan kemurnian air yang tergantung faktor alam dan konsentrasi substansi anion dan kation yang terlarut di dalam air seperti klorida, sulfat, dan fosfat untuk anion atau natrium, magnesium, kalsium, besi, dan alumunium untuk kation (Chungtai et

al, 2014).

Konduktivitas air murni memiliki nilai yang kecil, karena kandungan anion-kation yang terlarut sangat sedikit. Sedangkan untuk konduktivitas air hujan, nilainya bervariasi tergantung besar kecilnya konsentrasi anion-kation

pencemar udara yang terlarut dalam air hujan.

Nilai konduktivitas air hujan untuk daerah Cipedes, Dago, Soreang, Cililin, dan Padalarang berfluktuasi dari bulan Januari sampai Desember 2015 yang dapat dilihat pada Gambar 3-2.

Gambar 3-2: Nilai konduktivitas daerah (A) Cipedes, (B) Dago, (C) Soreang, (D) Cililin, dan (E) Padalarang bulan Januari – Desember 2015

(9)

58

Berdasarkan Gambar 3-2, terlihat bahwa nilai konduktivitas daerah Cipedes memiliki rata-rata nilai konduktivitas paling tinggi di antara daerah lainnya. Ini menandakan bahwa konsentrasi anion dan kation pencemar udara yang terlarut didalam air hujan memiliki konsentrasi yang cukup tinggi. Kondisi ini dapat menjawab kejadian nilai pH yang cukup netral di daerah Cipedes, diduga konsentrasi anion dan kation cukup seimbang, sehingga menghasilkan nilai pH yang netral bila dilihat berdasarkan nilai konduktivitasnya. Tingginya konsentrasi anion-kation menghasilkan pH netral, juga bukan merupakan suatu kondisi yang baik. Hal ini menandakan bahwa pencemaran asam dan basa cukup tinggi di daerah Cipedes.

Berbeda dengan daerah Cipedes, nilai konduktivitas air hujan daerah Padalarang memiliki nilai rata-rata yang lebih kecil. Nilai konduktivitas yang rendah menunjukkan kecilnya konsentrasi anion-kation yang terlarut didalamnya. Bila dihubungkan dengan nilai pH, dapat dikatakan bahwa faktor utama penyebab rendahnya nilai pH air hujan di daerah tersebut adalah benar karena tingginya konsentrasi anion.

Daerah Dago, Soreang, dan Cililin memiliki nilai konduktivitas yang berfluktuasi dari Januari sampai Desember 2015. Namun rata-rata nilai konduktivitas masih lebih kecil bila dibandingkan dengan daerah Cipedes. Nilai konduktivitas berhubungan dengan volume curah hujan (Indrawati dan Tanti, 2014). Hubungan yang diperoleh bernilai negatif yang artinya semakin sedikit curah hujan, maka nilai konduktivitas semakin besar. Pada musim kemarau, volume hujan sangat sedikit, sedangkan konsentrasi polutan yang ada di atmosfer cukup banyak, maka konsentrasi anion-kation yang terlarut akan cukup pekat, sehingga mengakibatkan besarnya nilai konduktivitas. Kondisi sebaliknya dapat terjadi pada musim hujan, dimana nilai

konduktivitas air hujan tidak sebesar nilai konduktivitas ketika musim kemarau (Gambar 3-3).

Gambar 3-3: Nilai konduktivitas musiman daerah (A) Cipedes, (B) Dago, (C) Soreang, (D) Cililin dan (E) Padalarang bulan Januari – Desember 2015

(10)

Pengukuran pH dan Konduktivitas ....(Asri Indrawati dan Dyah Aries Tanti)

59

Berdasarkan Gambar 3-3, terlihat bahwa pada musim kemarau dan transisi kemarau–hujan (Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON)), nilai konduktivitas lebih tinggi bila dibandingkan dengan musim hujan dan transisi hujan-kemarau (Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM)).

Pada musim hujan dan peralihan hujan - kemarau, intensitas hujan yang cukup sering dan curah hujan yang besar akan mampu membersihkan polutan udara yang terakumulasi di atmosfer, sehingga kecenderungan nilai konduktivitas akan rendah, karena ion– ion polutan yang terlarut dalam air hujan jumlahnya akan sedikit. Nilai konduktivitas pada saat musim hujan (DJF) untuk kesemua lokasi berkisar antara 1,22 mS/m – 2,10 mS/m, sedangkan musim peralihan hujan – kemarau (MAM) 1,27 mS/m – 2,24 mS/m.

Kondisi ini berkebalikan pada saat musim kemarau dan peralihan musim kemarau-hujan, karena kecenderungan hujan yang sedikit dan jumlah ion–ion polutan yang terlarut banyak, maka akan membuat nilai konduktivitas tinggi. Nilai konduktivitas pada musim kemarau (JJA) 2,78 mS/m – 4,31 mS/m, sedangkan musim peralihan kemarau – hujan (SON) berkisar antara 2,37 mS/m – 5,32 mS/m.

Nilai pH dan nilai konduktivitas merupakan parameter dasar yang dapat digunakan untuk pemantauan pencemaran udara. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsentrasi senyawa-senyawa pencemar udara yang terlarut di dalam air hujan kita dapat menganalisisnya dengan menggunakan spektrofotometer, kromatografi ion, maupun dengan atomic absorption

spektrofotometer (AAS).

4 PENUTUP

Pemantauan kualitas udara harus kontinyu dilakukan agar peningkatan konsentrasi polutan di udara dapat terpantau. Dampak yang ditimbulkan

dari tingginya konsentrasi polutan dapat mempengaruhi terutama bagi kesehatan manusia (Wondyfraw, 2014).

Nilai pH dan nilai konduktivitas air hujan daerah Cipedes, Dago, Soreang, Cililin dan Padalarang menunjukkan telah terjadinya fenomena hujan asam pada tahun 2015 di daerah Bandung. Rendahnya nilai pH yang berada di bawah ambang batas nilai pH 5,60, menunjukkan peranan konsentrasi sulfat dan nitrat yang terkandung di dalam air hujan. Sedangkan pH netral – basa (nilai pH > 7) yang diperoleh akibat tingginya nilai senyawa asam (sulfat dan nitrat) dan basa (kalsium dan amonium) yang terkandung dalam air hujan, bukan merupakan suatu kondisi yang baik, namun perlu perhatian khusus dan penelitian lebih lanjut terhadap sumber-sumber emisi dari senyawa asam dan basa pada daerah tersebut.

Penelitian mengenai pemantauan kualitas udara ini, hasil yang diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai kebijakan suatu daerah dalam rangka penanganan pencemaran udara, guna memperbaiki kualitas udara dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Laboratorium Kimia LAPAN – Bandung yang telah menyediakan data dan kepada Ibu Ir. Tuti Budiwati, M.Eng atas bimbingan dan diskusinya.

DAFTAR RUJUKAN

Budiwati, T., 2009. Analisis Hujan Asam dan

CO2 Atmosfer. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.

Chungtei, M., S., Mustafa., dan M., Mumtaz., 2014. Study of Physicochemical Parameter

of Rainwater: A Case Study of Karachi, Pakistan. American Journal of Analytical

(11)

60

Dubey, S., 2013. Acid Rain-The Major Cause of

Pollution: Its Causes, Effects and Solution.

Internasional Journal of Scientific Engineering and Technology. Vol. 2, No. 8, 772 – 775.

Gaddamwar, A. G., 2011. Analytical Study of Rain

Water for the Determination of Polluted or Unpolluted Zone. International Journal

of Environmental Sciences. Vol 6 No 6, 1317 – 1322.

Indrawati, A., dan D. A., Tanti, 2013. Analisis

Komposisi Kimia dari Deposisi Basah dan Kering di Ciater dan Padalarang.

Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Indrawati, A. dan D. A., Tanti, 2014. Komposisi

Kimia dan Variasi Musiman Deposisi Basah di Tepi Cekungan Bandung.

Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Mishra A., A. K, Singh, K. A., Singh., P. Pandey., S. Yadav., A. H., Khan dan S. C., Barman, 2012. Urban Air Pollution

and Their Effect on Rain Water Characteristics in Lucknow City, India.

Vol 6 No 4, 1127-1132.

Soedomo, M., 2001. Pencemaran Udara Bandung. Penerbit ITB.

Statistik Daerah Kecamatan Cihampelas Tahun 2016. https://bandungbaratkab.bps. go.id/new/website/pdf_publikasi/Stati stik-Daerah-Kecamatan-Cihampelas-2016.pdf.

Tanti, D. A., 2015. Petunjuk Teknis untuk

Pemantauan Deposisi Basah dalam EANET.

Wondyfraw, M., 2014. Mechanisms and Effects

of Acid Rain on Environment. Journal

Earth Science and Climate Change. 5:204. Doi:10.4172/2157-7617.1000 204.

(12)

Uji Tekan Menentukan Karakteristik ....(Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman)

61

UJI TEKAN UNTUK MENENTUKAN KARAKTERISTIK RUBBER

DAMPER PADA PESAWAT KOMUTER 19 PENUMPANG

Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman Pusat Teknologi Penerbangan

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Raya LAPAN, Rumpin, Bogor Indonesia

e-mail : dony.hidayat@lapan.go.id

RINGKASAN

Fungsi utama landing gear adalah untuk penyerapan energi pada saat proses landing, untuk pengereman dan untuk proses taxi di landasan. Komponen yang bertugas untuk menyerap energi pada landing gear adalah shock absorber dan roda. Pada pesawat komuter 19 penumpang yang sedang dikembangkan LAPAN dan PT. DI, shock absorber yang digunakan berjenis rubber damper. Salah satu karakteristik yang berpengaruh untuk penyerapan energi pada rubber damper adalah

stiffness. Dari beberapa jenis rubber damper yang telah diuji tekan, diperoleh stiffness dari rubber

sampel 1 sebesar 1701 N/mm, sampel 2 sebesar 9271 N/mm dan sampel 3 sebesar 5802 N/mm, sedangkan stiffness dari rubber damper yang digunakan saat roll out sebesar 12312 N/mm.

1 PENDAHULUAN

Landing gear adalah salah satu

komponen utama pada pesawat terbang, lebih dari 60% permasalahan pada pesawat terbang berhubungan dengan kegagalan pada landing gear [Imran, M., R.S. Ahmed, dan M. Haneef, 2015].

Landing gear mempunyai fungsi untuk

penyerapan energi pada waktu proses

landing, untuk pengereman dan untuk

proses taxi dilandasan [Currey, N.S.,, 1988; Raymer, D.P., 1999]. Main landing

gear yang digunakan pada pesawat

komuter ini merupakan tipe cantilever yang mempunyai dudukan pada frame

fuselage yang terhubung dengan spar

belakang dan spar tengah sayap seperti yang ditunjukan pada Gambar 1-1.

Rubber damper dikenal sebagai

material dengan sifat low-strength dan

low-impedance yang biasa digunakan

untuk peredam pada mesin, shock

absorber dan gasket pada industri

otomotif [Chen, W., et al., 2002]. Rubber

damper pada main landing gear terletak

antara main strut dan fuselage yang dihubungkan dengan rubber damper

support seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 1-1.

Istilah lain untuk rubber damper adalah elastomeric impact absorber (EIAs). Komponen yang berfungsi sebagai EIAs biasanya menerima beban tekan dan berfungsi untuk mengurangi gaya yang dihasilkan dari tumbukan dengan cara memperlambat waktu tumbukan [Vallee, G.E., 1995]. Semakin lama waktu tumbukan, maka gaya yang dihasilkan akibat tumbukan akan berkurang.

Stiffness dari rubber damper

dipengaruhi oleh geometri dan komposisi dari bahan kimia pembentuknya [Vallee, G.E., 1995]. Oleh karena itu, perancang dapat membuat

rubber damper yang unik sesuai dengan

(13)

62

Gambar 1-1: Main landing gear [PTDI, 2014]

Karakteristik dari rubber damper lainnya adalah damping. Salah satu metode pengukuran damping pada material menggunakan Oberst Beam

Method (OBM) [Koruk, H. and K.Y.

Sanliturk, 2010]. Pengukuran damping akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Efisiensi aktual dari shock absorber berkisar antara 0.5 – 0.9

seperti yang ditampilkan pada Tabel 1-1 dan Gambar 2-1.

Tabel 1-1: EFISIENSI DARI SHOCK ABSORBER [Raymer, D.P., 1999]

Jenis Shock

Absorber Efisiensi (h)

Steel leaf spring 0,50

Steel coil spring 0,62

Air spring 0,45

Rubber damper 0,60

Rubber bungee 0,58

Oleopneumatic 0,65 – 0,90

Tire 0,47

Gambar 2-2: Efisiensi shock absorber dengan fungsi berat [Currey, N.S., 1988]

2 UJI TEKAN RUBBER DAMPER

Uji tekan rubber damper

menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dengan kapasitas maksimal 100 kN,

crosshead stroke: 1160 mm, crosshead speed accuracy: ± 0.1%, load measurement accuracy : ± 0.5% dan sampling speed : 1 msec seperti yang

ditampilkan pada Gambar 2-3. Pengujian mengadopsi ASTM D575-91(2012) [ASTM.D575-91(2012), 2012] dengan beberapa modifikasi karena pengujian yang dilakukan adalah pengujian satu komponen utuh. Dari uji tekan diperoleh nilai gaya (N) dan displacement (mm) dari rubber damper. Pada pengujian ini beban yang diberikan hanya sebesar 40 kN karena beban yang diterima rubber damper hanya 34 kN [PTDI, 2014].

Gambar 2-3: UTM dengan kapasitas 100 kN 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari uji tekan yang telah dilakukan di Laboratorium Aerostruktur LAPAN pada tanggal 12 Januari 2017, diperoleh nilai stiffness dari rubber

damper yang digunakan pada main landing gear saat roll out model sebesar

12312 N/mm seperti yang ditampilkan pada Gambar 3-1. Nilai stiffness merupakan fungsi dari besarnya gaya yang dibutuhkan pada uji tekan dibagi dengan defleksi yang terjadi.

(14)

Uji Tekan Menentukan Karakteristik ....(Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman)

63 Gambar 3-1: Hasil uji tekan rubber damper yang digunakan saat roll out

Gambar 3-2: Spesimen rubber damper

Nilai stiffness dari rubber damper dipengaruhi oleh geometri dan kandungan kimia pembentuknya [Vallee, G.E., 1995]. Oleh karena itu disiapkan 3 spesimen rubber damper (Gambar 3-2) yang berbeda geometrinya dibandingkan yang telah digunakan pada konfigurasi roll out. Spesimen dibuat oleh PT. Indonesia Polyurethane Industry [IPI, 2014], sayangnya kandungan kimia pada rubber damper tidak disebutkan secara rinci.

Hasil uji tekan spesimen 1 ditampilkan pada Gambar 3-3. Dari grafik diperoleh nilai stiffness dari spesimen 1 sebesar 1701 N/mm, nilai ini sebesar 13.8% dari nilai rubber

damper konfigurasi roll out. Nilai stiffness nya lebih kecil dari rubber

damper yang digunakan saat roll out,

karena dimensi spesimen 1 lebih tebal dan terdapat 5 lubang kecil pada penampang rubber damper.

Hasil uji tekan untuk spesimen 2 dapat dilihat pada Gambar 3-3. Nilai

stiffness merupakan fungsi dari besarnya gaya yang dibutuhkan pada uji tekan dibagi dengan defleksi yang terjadi. Nilai stiffness dari spesimen 2 sebesar 9271 N/mm atau 75.3% dari nilai stiffness konfigurasi roll out. Nilai

stiffness dari spesimen 2 mendekati rubber damper yang digunakan pada

konfigurasi roll out. Hal ini disebabkan dimensinya juga identik dengan yang digunakan pada roll out. Hal yang berbeda terdapat pada komposisi bahan pembentuk rubber damper tersebut.

Spesimen 3 mempunyai stiffness sebesar 5802 N/mm (47.1% stiffness konfigurasi roll out) seperti ditampilkan pada Gambar 3-4. Spesimen 3 mempunyai ketebalan yang sama dengan spesimen 2 dan model roll out. Namun dimensi penampangnya mirip dengan spesimen 1.

Data stiffness dari ketiga sampel yang telah diuji tekan akan digunakan untuk simulasi drop test menggunakan perangkat lunak berbasis multibody

(15)

64

simulation. Dari simulasi ini akan

diketahui berapa gaya kontak/impak

yang terjadi pada main landing gear [Hidayat, D., et al., 2017].

Gambar 3-3: Hasil uji tekan spesimen 1

(16)

Uji Tekan Menentukan Karakteristik ....(Dony Hidayat dan Kosim Abdurohman)

65 Gambar 3-5: Hasil uji tekan spesimen 3

4 PENUTUP

Uji tekan rubber damper yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik stiffness dari shock absorber merupakan salah satu proses

pengujian yang harus dilakukan sebelum pengujian landing gear drop

test (LGDT). Stiffness dari rubber damper

merupakan salah satu fungsi yang mempengaruhi gaya kontak/ impak yang terjadi pada saat pengujian LGDT.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Agus Harno Nurdinsyah, M.Sc. atas arahannya dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR RUJUKAN

ASTM.D575-91, 2012. Standart Testing for Rubber

Properties in Compression Test, ASTM

International: West Conshohocken, PA. Chen, W., et al.,2002. Dynamic Compression

Testing of Soft Materials. Journal of

applied mechanics, 69(3): 214-223. Currey, N.S., 1999. Aircraft Landing Gear

Design: principles and practices. 1988:

Aiaa.

Hidayat, D., et al., 2017. Investigasi Gaya

Kontak/Impak pada Main Landing Gear Pesawat Komuter dengan Pendekatan Multi-Body Simulation (MBS) RIGID MODELS. Jurnal Teknologi Dirgantara.

Imran, M., R.S. Ahmed, and M. Haneef, FE, 2015, Analysis for Landing Gear of Test

Air Craft. Materials Today: Proceedings,

2(4-5): 2170-2178.

IPI. PT. Indonesia Polyurethane Industry, 2014. Available from: https://www. indonesia polyurethane.com/index.php/en. Koruk, H. and K.Y. Sanliturk, 2010. On

Measuring Dynamic Properties of Damping Materials Using Oberst Beam Method. in ASME 2010 10th Biennial

Conference on Engineering Systems Design and Analysis. American Society of Mechanical Engineers.

PTDI, 2014. Design Document.

Raymer, D.P., 1999. Aircraft Design: A Conceptual

Approach, American Institute of Aeronautics and Astronautics. Inc., Reston, VA.

Vallee, G.E., 1995. A Study of the Dynamic

Mechanical Behavior of Elastomers Under Impact Loading.

(17)
(18)

Parametrik 3D Desain Pesawat LAPAN Surveillance ....(Riki Ardiansyah)

67

PARAMETRIK 3D DESAIN PESAWAT LAPAN SURVEILLANCE UAV

(LSU)-02 NG LD DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE CATIA

Riki Ardiansyah Pusat Teknologi Penerbangan

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Raya LAPAN, Rumpin, Bogor Indonesia

e-mail: riki.ardiansyah@lapan.go.id

RINGKASAN

Tahapan dalam merancang pesawat melalui beberapa tahap yaitu conceptual design,

preliminary design, dan detail design. Pada setiap tahapan memiliki proses pengerjaan yang rumit,

salah satunya pada proses menggambar. Dengan menggunakan desain parametrik pada software Catia maka proses menggambar dan merevisi sesuai dengan hasil perhitungan/simulasi dan iterasi menjadi lebih mudah. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan beberapa variabel pada komponen penyusun part yang kemudian ditetapkan parameter atau nilainya. Sehingga apabila terjadi perubahan dimensi dari hasil simulasi maka cukup dengan mengubah parameter atau nilai dari variabel tersebut maka gambar langsung mengikuti dimensi dari hasil simulasi.

1 PENDAHULUAN

Desain parametrik adalah proses berdasarkan pada pemikiran algoritmik yang memungkinkan ekspresi parameter dan aturan itu, bersama-sama, mendefinisikan, menulis dalam sandi dan memperjelas hubungan antara desain maksud dan respon desain.

Desain parametrik adalah paradigma dalam desain di mana hubungan antara unsur-unsur yang digunakan untuk memanipulasi dan menginformasikan desain geometri dan struktur yang kompleks. Istilah 'parametrik' berasal dari matematika (persamaan Parametrik) dan mengacu pada penggunaan parameter atau variabel tertentu yang dapat diedit untuk memanipulasi atau mengubah hasil akhir dari sebuah persamaan atau sistem. (Asyari, 2015).

Desain parametrik memiliki kemampuan untuk memperoleh sejumlah alternatif variasi desain dengan mengubah nilai parameter saja. (Fredian, 2014)

Software yang dapat digunakan

untuk mendesain secara parametrik adalah Computer Aided Three-dimensional

Interactive Application (CATIA) dan Solidworks. CATIA memiliki keunggulan

dalam hal mendesain surface

dibandingkan dengan Solidworks dan ada beberapa fitur parameter yang tidak dimiliki oleh Solidworks tetapi bisa dilakukan di CATIA. Akan tetapi lisensi CATIA jauh lebih mahal dari Solidworks. (Caddigest, 2002) CATIA ialah salah satu

software yang dimiliki oleh Pusat

Teknologi Penerbangan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang digunakan dalam mendesain pesawat. CATIA merupakan sebuah software komersial multi-platform (Computer Aided Design/CAD)/ Computer Aided Manufacturing

(CAM)/Computer Aided Engineering

(CAE) yang dikembangkan oleh perusahaan perancis “Dassault

Systemes” dan dipasarkan ke seluruh

dunia oleh IBM, dan ditulis dengan bahasa pemrograman C++, dan CATIA

(19)

68

merupakan landasan dari Product

Lifecycle Management software suite Dassault Systemes. CATIA dibuat pada

akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an untuk mengembangkan jet tempur Dassault Mirage, yang kemudian diadopsi dalam aerospace, automotive, perkapalan, dan industri–industri lainnya. (Bernard, 2003)

Pesawat yang saat ini sedang dikembangkan ialah LAPAN Surveillance UAV-02 New Generation Low Drag (LSU-02 NG LD). Pesawat LSU-(LSU-02 NG LD merupakan pesawat nirawak kelas ringan dengan konfigurasi high wing,

twin tail-boom, dan pusher engine.

Pesawat ini merupakan pengembangan dari pesawat LSU-02 yang bertujuan untuk mengakomodir misi pemantauan kapal penangkap ikan dan pemetaan lahan di area berpenduduk. Pesawat ini dapat diluncurkan dengan menggunakan

catapult serta pesawat ini dapat direcovery

dengan menggunakan parachute sehingga tidak memerlukan landasan dalam mengoperasikannya. (Rasyadi, 2017)

Proses pengembangan pesawat memakan waktu yang tidak sebentar,ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Dilakukan perhitungan dan desain secara mendetail. Perhitungan pun dilakukan secara berulang sehingga didapat hasil yang paling optimal. Seiring dengan perhitungan yang dilakukan secara berulang maka proses dalam mendesain pun harus selalu dilakukan pembaharuan. Maka untuk memudahkan dalam melakukan hal ini dilakukan dengan menggunakan desain parametrik.

2 TAHAPAN DESAIN

Tahapan dalam mengembangkan atau mendesain pesawat terdiri dari beberapa tahapan yaitu: conceptual

design, preliminary design dan detail design.

Conceptual design merupakan

tahap pertama dalam desain pesawat.

Dalam tahap ini, desainer menyertakan sketsa berbagai konfigurasi pesawat sebagai bahan pertimbangan agar memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan seperti aerodinamika, propulsi, performa, struktur, dan kontrol. Aspek fundamental seperti bentuk badan pesawat, konfigurasi sayap, dan ukuran mesin ditentukan dalam tahap ini. Kendala-kendala untuk merancang seperti yang disebutkan di atas semua diperhitungkan pada tahap ini juga. Produk akhir dari konseptual desain adalah perkiraan sketsa berupa konsep tata letak konfigurasi pesawat.

Gambar 2-1: Conceptual Design. (Erlambang, 2016)

Gambar 2-1 merupakan contoh gambar conceptual design dimana pada gambar tersebut mendiskripsikan perkiraan konfigurasi pesawat secara umum sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan.

Preliminary design, pada tahap conceptual selanjutnya akan direvisi dan

dimodelkan dalam bentuk parameter-parameter. Dalam tahap ini, akan dilakukan pengujian aerodinamika model, baik menggunakan wind tunnel maupun

computational fluid dynamic. Analisa

mayor terhadap struktur dan kontrol juga dilakukan pada tahap ini. Produk akhir dari preliminary design adalah perbaikan sketsa disertai dengan dimensi geometri pesawat dan parameter-parameter.

(20)

Parametrik 3D Desain Pesawat LAPAN Surveillance ....(Riki Ardiansyah)

69 Gambar 2-2: Preliminary design (Erlambang,

2016)

Kemudian ada beberapa konfigurasi yang diubah (akibat pertimbangan aerodinamika, propulsi, struktur) pada tahap preliminary design.

Sketch sudah diberi dimensi dan

parameter pada tahap ini.

Detail design, pada tahap ini,

desain harus sudah siap masuk dalam tahap manufaktur. Misalkan pada

conceptual dan preliminary design,

desainer hanya mendesain sayap berupa geometrinya saja secara umum. Maka pada detail design, desainer merinci desain sayap ke dalam beberapa bagian seperti Ribs, Spars, dan skins masing-masing bagian tersebut harus didesain dan dianalisa secara terpisah.

Gambar 2-3: Detail Deign (Erlambang, 2016)

Pada tahap akhir, ditentukan detail struktur dan dimensi masing-masing bagian pesawat seperti wing,

fuselage, dan empennage. (Erlambang,

2016)

LSU-02 NG LD ini memiliki

conceptual design yang dituangkan dalam Design Requirement and Objectives

(DRO) yaitu pesawat dengan Maximum

Take Off Weight (MTOW) 18 Kg; empty weight 7 Kg; fuel 4 Kg; pesawat

menggunakan twin Tail Boom, memiliki jangkauan misi hingga 100 km dengan kecepatan terbang hingga 108 km/jam. Total range hingga 350 km dan

endurance 5 jam pada kecepatan loiter.

(Rasyadi, 2017)

Dua tahapan selanjutnya (preliminary design dan detail design) memiliki beberapa konfigurasi yang kemudian dilakukan perhitungan maupun simulasi sehingga didapatkan suatu konfigurasi terbaik sesuai dengan spesifikasi desain. Untuk memudahkan dalam melakukan preliminary design dan detail design maka pada tahapan ini dilakukan dengan menggunakan desain parametrik.

3 PARAMETER DESAIN

Perumusan preliminary design pesawat LSU-02 NG LD dibagi kedalam beberapa part utama dari pesawat, yaitu: wing, fuselage dan empennage.

Wing atau sayap merupakan bagian

terpenting dari suatu pesawat, karena bagian inilah yang menghasilkan gaya angkat ketika bergerak terhadap aliran udara karena bentuknya yang berbentuk airfoil. Fuselage adalah bagian badan pesawat yang dipasang wing, empennage dan sistem avionik. Sedangkan empennage ialah bagian ekor dari pesawat yang berfungsi sebagai penyeimbang pesawat pada saat terbang. (DirjenHubud, 2011) Pada setiap part ini dikembangkan menjadi beberapa variabel yang kemudian ditetapkan parameter atau nilai yang akan ditentukan.

(21)

70

Tabel 3-1: VARIABEL GEOMETRI AWAL Part Variabel Keterangan

Wing Airfoil Jenis airfoil

Wingspan (mm) Innerwingspan (mm) Root Chord (mm) Tip Chord (mm) Swept (o) Fuselage Panjang (mm) Lebar (mm) Tinggi (mm)

Empennage Airfoil Jenis airfoil

Chord Root (mm) Chortd Tip (mm) Swept (o) Horizontal Span (mm) Vertical Span (mm)

Dengan memasukan parameter atau nilai kedalam variabel pada tiap

part maka akan diperoleh beberapa

variasi dari part.

Gambar 3-1: Parameter Wing pada Catia

Gambar 3-2: Variasi Wing LSU-02 NGLD

(22)

Parametrik 3D Desain Pesawat LAPAN Surveillance ....(Riki Ardiansyah)

71 Gambar 3-4: Variasi Empennage LSU-02 NGLD

Dari beberapa variasi yang didapat dengan menggunakan software CATIA, dilakukan analisa pada tiap-tiap variabel part tersebut dengan software

Computational Fluid Dynamics (CFD)

yaitu Ansys sehingga dihasilkan dimensi atau geometri dari preliminary design masing-masing part yang sesuai dengan konfigurasi Design Requirment and

Objectives (DRO).

Tabel 3-2: UKURAN GEOMETRI WING Geometri Dimensi Airfoil GOE 501 Wingspan 2900 mm Innerwingspan 900 mm Root Chord 270 mm Tip Chord 190 mm Swept 0 o

Airfoil GOE merupakan airfoil

yang diciptakan di Universitas Gottingen, Jerman. Angka pada airfoil ini tidak ada hubungannya dengan geometri airfoil. Angka tersebut hanya no urut dari hasil percobaan yang dilakukan di Universitas Gottingen. (Scott, 2014)

Gambar 3-5: Airfoil GOE 501 (Airfoil, 2017) Tabel 3-3: UKURAN GEOMETRI FUSELAGE

Geometri Dimensi

Panjang 950 mm

Lebar 220 mm

Tinggi 180 mm

Tabel 3-4: UKURAN GEOMETRI EMPENNAGE Geometri Dimensi Airfoil NACA 0010 Chord Root 200 mm Chortd Tip 200 mm Swept 0 o Horizontal Span 819 mm Vertical Span 300 mm

NACA 0010 merupakan jenis airfoil hasil dari riset National Advisory

Committee for Aeronautics (NACA). Pada airfoil NACA seri empat digit, digit

pertama menyatakan persen maksimum

chamber terhadap chord. Digit kedua

menyatakan persepuluh posisi maksimum camber pada chord dari

(23)

72

terakhir menyatakan persen ketebalan

airfoil terhadap chord. (Suseno, 2011)

Gambar 3-6: Penampang Airfoil (Allstar, 2017)

Gambar 3-7: Preliminary Design LSU-02 NG LD

Hasil preliminary design

dilanjutkan ke tahap detail design. Pada tahap ini parameter yang digunakan lebih banyak dibandingkan pada tahap

preliminary design. Pada tahap ini

dibahas lebih mendalam bagian kecil struktur dari pesawat. Hal ini terkait dimensi Spar, Rib, skin dan part pendukung lainnya. Sama seperti tahap

preliminary design, tahap detail design

dibagi menjadi wing, fuselage dan

empennage. Berikut beberapa variabel

dalam mendesain dalam tahap detail

design.

Tabel 3-5: VARIABEL DETAIL DESIGN INNER

WING LSU-02 NG LD

Part Variabel Ket

Inner Wing

Tebal Skin 1, 2,

… mm

Posisi Spar % Chord Tebal Spar mm Jumlah Rib n Posisi Rib 1, 2, … mm Tebal Rib mm Posisi Connetor 0/1 (Depan/ Belakang Spar)

Part Variabel Ket

Diameter Connector mm Tebal Connector mm Diameter Rumah Tail Boom mm Tebal Leading Edge mm Tebal Trailing Edge mm Posisi Rumah Kabel 0/1 (Depan/ Belakang Spar)

Tabel 3-6: VARIABEL DETAIL DESIGN OUTER

WING LSU-02 NG LD

Part Variabel Ket

Outer Wing

Tebal Skin 1, 2,

… mm

Posisi Spar % Chord Tebal Spar mm Jumlah Rib n Posisi Rib 1, 2, … mm Tebal Rib mm Posisi Rumah Connetor 0/1 (Depan/ Belakang Spar) Diameter Rumah Connector mm Tebal Leading Edge mm Tebal Trailing Edge mm Posisi Rumah Kabel 0/1 (Depan/ Belakang Spar)

(24)

Parametrik 3D Desain Pesawat LAPAN Surveillance ....(Riki Ardiansyah)

73

Part Variabel Ket

Posisi Servo % Panjang

Aileron

Sudut Aileron o

Tabel 3-7: VARIABEL DETAIL DESIGN FUSELAGE

LSU-02 NG LD

Part Variabel Ket

Fuselage

Tebal Skin 1, 2, … mm Posisi Tutup Atas mm Panjang Tutup Atas mm Lebar Tutup Atas mm Posisi Tutup Bawah mm Panjang Tutup

Bawah mm

Lebar Tutup Bawah mm Posisi Dudukan

Landing Gear mm

Jumlah Bulkhead n Tebal Bulkhead mm

Tabel 3-8: VARIABEL DETAIL DESIGN FUSELAGE LSU-02 NG LD

Part Variabel Ket

Empennage

Tebal Skin 1, 2, … mm Posisi Spar % Chord

Tebal Spar mm

Jumlah Rib n

Posisi Rib 1, 2, … mm

Tebal Rib mm

Tebal Connector mm Posisi Servo % Panjang

Ruddervator Diameter Tail Boom mm

Dengan diberi nilai awal pada variabel-variabel part tersebut maka akan terbentuk draft detail design dari

part. Draft detail design tersebut lalu

dihitung dan disimulasikan kekuatannya dengan software

perancangan seperti Patran/Nastran atau

Abaqus. Perhitungan pada tahapan ini

dilakukan secara berulang/beriterasi sampai didapat dimensi yang optimum untuk part penyusun komponen pesawat. Dari hasil perhitungan dan simulasi ini terjadi perubahan dimensi dari nilai awal yang telah diberikan. Ada beberapa variabel yang bertambah nilainya dari nilai awal dan ada juga beberapa part yang berkurang nilainya. Desain parameter ini memudahkan desainer dalam merevisi atau mengedit desain yang telah ada sesuai dengan hasil perhitungan dan simulasi.

Berikut merupakan gambar detail

design yang sesuai dengan data hasil

perhitungan dan simulasi pada wing (skin 3 lapis komposit, Spar dan Rib menggunakan kayu balsa, posisi Connector berada di depan Spar) (Ariwandono, 2017), empennage (skin, Spar

menggunakan komposit, Rib kayu balsa) (Fitriansyah, 2017) dan fuselage (skin komposit, dengan beberapa frame, wing

body fairing menggunakan foam yang

dilapis komposit) (Wirawan, 2017).

Gambar 3-8: Inner Wing LSU-02 NG LD

(25)

74

Gambar 3-10: Fuselage LSU-02 NG LD

Gambar 3-11: Empennage LSU-02 NG LD

Gambar 3-12: Pesawat LSU-02 NG LD 4 PENUTUP

Tahapan dalam mendesain pesawat memiliki proses yang panjang dimulai dari conceptual design, preliminary design dan detail design. Dengan menggunakan desain parametrik pada pesawat LSU-02 NG LD maka proses preliminary design dan detail design menjadi lebih cepat. Hal ini memudahkan desainer dalam mengedit/merevisi perubahan-perubahan dimensi dalam gambar yang terjadi selama dalam tahapan tersebut dengan hanya mengubah parameternya saja.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Arsya Rasyadan ST. atas ilmu yang dibagikan dalam menggunakan software Catia.

DAFTAR RUJUKAN

Airfoil, 2017. GOE 501 AIRFOIL. http://

airfoiltools.com/airfoil/details?airfoil=g

oe501-il.

Allstar, 2017. Section 3.1 – AIRFOIL. http:// www.allstar.fiu.edu/aero/flight31.htm. Ariwandono, Fajar, 2017. Sizing pada Wing

LSU-02 NG LD. Technical Note.

Pustekbang.

Asyari, Rianda, 2015. Apa Itu Parametric

Design. http://xyzresearch. blogspot.co.

id/2015/05/apa-itu-parametric-design. html.

Bernard, Francis, 2003. A Short History of CATIA &

Dassault Systemes. Dassault Systemes.

Caddigest, 2002. Why Pick Catia Over Solidworks. https://www.caddigest. com/ why-pick-catia-over-solidworks/. DirjenHubud, 2011. Modul Diklat Basic PKP-PK–

Pengantar Familiarisasi Pesawat Udara.

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

Erlambang, Djatmiko, 2016. AERO Engineering;

Desain Pesawat: Pendahuluan. https://

aeroengineering.co. id/2016/10/ bagaimana-cara-desain-pesawat-pendahuluan/.

Fitriansyah, Rizky, 2017. Sizing pada V-Tail

Inverted LSU-02 NG LD. Technical

Report. Pustekbang.

Fredian, Y., Andy, dan Alvida M.R., 2014.

Desain Parametrik Konseptual dengan Metode Generative Algorithm dalam Eksplorasi Geometri di Bidang Arsitektural dan Desain Produk. Jurnal

Sains dan Seni Pomits. Institut Teknologi Sepuluh November.

Rasyadi, Arifin, 2017. Laporan Triwulan II:

Desain Preliminari Pesawat LSU-02 NGLD. LAPAN.

Scott, Jeff, 2004. Gottingen Airfoils. http:// www.aerospaceweb.org/question/airfoils/ q0197.shtml.

Suseno, Michael, 2011. Airfoil. http://michael-suseno.blogspot.co.id /2011/09/airfoil. Html.

Wirawan, Nanda, 2017. Sizing pada Fuselage

LSU-02 NG LD. Technical Note.

(26)

Analisis Awan Cumulonimbus Dan Angin Serta Keterkaitannya… (Sinta Berliana Sipayung)

75

ANALISIS AWAN CUMULONIMBUS DAN ANGIN SERTA

KETERKAITANNYA DENGAN CURAH HUJAN DI KAWASAN GEDE

BAGE, BANDUNG (JAWA BARAT)

Sinta Berliana Sipayung Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Jl. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung e-mail: s_berlianasipayung@yahoo.com

RINGKASAN

Indonesia sebagai maritime continent mempunyai banyak awan di atmosfer, diantaranya awan cumulonimbus (Cb), akan tetapi tidak semua awan konvektif tersebut berpotensi hujan. Dalam mengetahui keterkaitan antara awan dan angin yang berpotensi hujan, dilakukan pengintegrasian posisi awan Cb terhadap curah hujan di permukaan sesuai algoritma/threshold dengan menggunakan data satelit dan data observasi di wilayah Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data setiap jam pada tanggal 14, 15, 16, dan 17 Maret 2013 dari Multi-functional Transport Satellitte (MTSAT IR1 dan IR2) awan Cb spasial serta angin dan curah hujan in-situ dari Automatic Weather

Station (AWS). Data tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis curah hujan di permukaan

hasil integrasi antara awan Cb dan angin berbasis data space based. Berdasarkan hasil diperoleh bahwa kecepatan angin di permukaan terlihat meningkat sebelum munculnya awan cumulonimbus (Cb) dengan nilai indeks enam (6) yaitu awan cumulonimbus. Setelah awan cumulonimbus muncul, 1 atau 2 jam kemudian turunlah hujan khususnya pada pengamatan tanggal 16 Maret 2013 pukul 16-22 waktu setempat dan lamanya hujan sekitar 5 jam.

1 PENDAHULUAN

Adanya satu pokok permasalahan serius terkait dengan pemantauan curah hujan secara spasial dengan menggunakan satelit, yaitu dua faktor pembangkit utama terjadinya curah hujan yang dinyatakan dalam bentuk kumpulan awan konvektif, khususnya tipe awan Cumulonimbus (Cb) dan angin sebagai pembawanya. Terkait dengan informasi curah hujan, berbagai metode telah dilakukan dan masih terus dikembangkan untuk mengetahui keterkaitan dengan ketinggian awan terutama awan konvektif di atmosfer dengan berbasis data satelit. Satelit Multifunctional

Transport Satellites (MTSAT) merupakan

generasi penerus dari GMS/Himawari dengan orbit Circular, non-sun-synchronous, mencakup separuh belahan bumi meliputi Asia Timur,

Pasifik Barat, dan Australia. Keunggulan dari satelit geostationer seperti MTSAT adalah resolusi temporalnya yang tinggi yaitu satu jam untuk liputan satu belahan bumi selatan dan 30 menit untuk liputan belahan bumi utara, namun terdapat kelemahannya yaitu pada resolusi spasial. Satelit MTSAT untuk satu liputan penuh memiliki ukuran 11000 baris X 11000 kolom, dan 2750 baris X 2750 kolom untuk saluran Inframerah (JMA, 2003). Infra merah termal atau Thermal InfraRed (TIR) di 10,8 µm digunakan mendeteksi suhu puncak awan untuk estimasi curah hujan (Haile et al., 2010).

Penelitian sebelumnya mengungkapkan ternyata awan konvektif diantaranya Cumulonimbus (Cb) dapat menghasilkan curah hujan lebat (ekstrim) dalam suatu wilayah

(27)

76

sehingga dapat menimbulkan banjir terutama pada saat Inter Tropical

Convergence Zone (ITCZ) berada di

wilayah Indonesia, (Tjasjono dkk, 2007) dan (Parwati, 2009). Korelasi curah hujan dari data Qmorph dan suhu kecerahan awan dari data MTSAT-IR mencapai nilai lebih dari 0.8 atau setara dengan koefisien determinasi 0.65. Telah dilakukan model statistik klasifikasi awan untuk memisahkan awan konvektif dan non-konvectif dari infra merah termal dan gelombang (Suseno dan Yamada, 2011). Permasalahannya adalah sangat minimnya data pengukuran in-situ terkait data parameter meteorologi untuk melakukan validasi.

Sebelumnya Adler dan Andrew (1988) menguraikan terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam hubungan antara awan dengan nilai curah hujan berdasarkan klasifikasi awan. Begitupun Kidder (dalam Maathuis et al., 2006) apabila selisih dari suhu kecerahan antara IR1 dan IR3 kurang dari sebelas derajat kelvin, maka dalam piksel-piksel tersebut dianggap berpotensi hujan. Apabila suhu puncak awan semakin rendah suhunya, maka semakin tinggi potensinya menjadi hujan dengan menggunakan informasi reflektan dari kanal Visible (VIS) dan kanal infra Red (IR), serta perbedaan antar kanal IR seperti IR2 dan IR1-IR3 (JMA, 2007) dan (Suseno et al., 2012) dan (Kuligowski, 2007). Selain itu awan konvektif diasumsikan bahwa suhu puncak awan yang rendah dikaitkan dengan curah hujan lebat/ekstrim.

Klasifikasi tipe awan dengan kriteria International Satellite Cloud

Climatology Project (Rossow et al., 1999),

menghasilkan tipe awan Cumulus,

Stratocumulus, Stratus (awan rendah),

Altocumulus, Altostratus, Nimbostratus (awan menengah), Cirrus, Cirrostratus, dan Deep Convection (awan tinggi). (Hong et al., 2004) menggunakan beberapa algoritma untuk estimasi

curah hujan dari Remotely Sensed

Imagery dengan sistem klasifikasi awan

menggunakan Artificial Neural Network (ANN). Ketersediaan data satelit meteorologi telah mampu memberikan informasi cuaca yang up to date setiap jam dan dapat diakses secara gratis untuk keperluan para pengguna. Meskipun pemanfaatannya masih sangat terbatas, namun perkiraan curah hujan dengan satelit diawali sekitar tahun 1960 dengan memanfaatkan kanal infra merah serta cahaya Visible (tampak). Informasi curah hujan yang

near real time sangat diperlukan untuk

penanggulangan bencana yang dipicu oleh curah hujan yang sangat lebat seperti banjir dan tanah longsor (Suseno, 2009).

Beberapa algoritma telah dikembangkan berdasarkan nilai ambang batas pada citra satelit multispektral dikombinasikan dengan data pengamatan rawinsonde (Feidas et al., 2000). (Gourdeau, 2004) dan Journal

Meteorology Agency (JMA, 2007) telah

mengklasifikasikan awan berdasarkan data albedo yaitu awan cirrus memiliki albedo berkisar 20 hingga 40%, awan stratus 40 hingga 65%, awan cumulus berkisar 65%, dan awan cumulonimbus berkisar 90% yang paling berpotensi menimbulkan hujan lebat. (Sasmito, 2011) mengungkapkan terdapat hubungan eksponensial antara suhu kecerahan awan dan curah hujan, semakin turun suhu kecerahan maka laju hujanpun semakin meningkat berdasarkan analisis regresi. Berbeda dengan (Hong, et al., 2004), bahwa hubungan antara suhu kecerahan awan dan laju hujan berbanding terbalik, tetapi keduanya tidak mengikuti pola linier.

Berdasarkan sifat diurnal dari pertumbuhan awan di daratan dan di lautan pulau Jawa, hasil perhitungan rata rata setiap jam dalam setahun dan dari data gradien pertumbuhan awan menggunakan data satelit cuaca geostationer MTSAT dengan mengambil

(28)

Analisis Awan Cumulonimbus Dan Angin Serta Keterkaitannya… (Sinta Berliana Sipayung)

77

nilai rata rata perbedaan nilai suhu puncak awan antara dua jam yang berbeda diperoleh bahwa perbedaan yang positif menunjukkan hujan turun dan apabila perbedaan yang negatif maka hujan tidak turun, (Kusumayanti, 2008). Atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama menganalisis awan Cumulonimbus (cb) dan angin seta keterkaitannya dengan curah hujan di kawasan Gede Bage (Bandung Timur).

2 DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suhu puncak awan Multi-functional Transport Satellitte (MTSAT) dan data in-situ Automatic

Weather Station (AWS) setiap jam pada

tanggal 14, 15, 16, dan 17 Maret tahun 2013 di kawasan Gedebage, Bandung (Jawa Barat). Data diunduh dari web site. <http://weather.is.kochi-u.ac.jp/ sat/GAME/ dengan format. pgm diekstrak, kemudian dikompilasikan menjadi suhu puncak awan (Tbb) dalam derajat Kelvin. Metode yang digunakan adalah penentuan klasifikasi awan menggunakan

data MTSAT salah satunya telah dilakukan (Liu et al., 2009, Suseno dan Yamada, 2012), yaitu perbandingan distribusi tipe awan 2D-THR, dengan hasil yang baik yang menetapkan nilai ambang (treshold) tipe awan Cb dihasilkan berdasarkan kombinasi dua kanal infra merah, yaitu IR1 dan IR2 dimana awan Cb memiliki batas nilai suhu kecerahan TIR1 = 200 – 2240 K

sedangkan dalam kegiatan ini menggunakan batas nilai suhu kecerahan TIR1 = 90 – 11500 K, pada

diagram dua dimensi yang terdiri dari Tbb (suhu kecerahan), dan klasifikasi awan dapat diterapkan di wilayah tropis dan subtropis pada barat daya Samudera Pasifik seperti pada Gambar 2-1.

Penggunaan dua kanal infra merah IR1 dan IR2 MTSAT yaitu ΔT IR1-IR2 (0K) digunakan untuk mendapatkan

algoritma komputasi sederhana. Klasifikasi awan yang dihasilkan terdiri dari cumulonimbus (Cb), mature Cb (MCb), cirrus tebal (TkCi), cirrus tipis (TiCi), awan menengah (MC), serta awan rendah (LC).

(29)

78

Analisis diutamakan pada nilai suhu puncak awan (Tbb) yang didapat dari MTSAT-1R dan 2R, jumlah curah hujan pada tanggal 14,15,16 dan 17 Maret 2013, kejadian rain rate dari Radar yang berada di titik 107.693242, -6.969325 atau wilayah Bandung Timur, sedangkan titik lokasi AWS berada di kantor LAPAN pada titik 107.586496, -6.894972 atau 14,4 km jarak horizontal arah barat laut.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Awan Cumulonimbus (Cb) terbentuk karena pertemuan massa udara dimana angin bergerak dari lapisan udara yang tidak stabil dengan daya angkat ke atas yang kuat dan berasal dari jenis awan lain. Klasifikasi awan di Jawa Barat pada tanggal 14, 15, 16, dan 17 Maret 2013 dapat

ditunjukkan pada Gambar 3-1 a.b.c. dan d. Pada gambar ini merupakan kondisi awan-awan berdasarkan klasifikasi awan di Jawa Barat yang didominasi oleh cumulonimbus (Cb).

Penelitian sebelumnya (Sipayung et al., 2013), menyatakan bahwa hubungan antara rain rate (mm/jam) dari AWS terhadap reflektivitas (dBZ)

RADAR UTC jaman dalam harian di

ketinggian 3 km terdapat korelasi R-square = 0.4759, nilai tersebut memang belum cukup signifikan, dimana nilai koefisien korelasi kuadrat (R2) masih di

bawah 0.5. Apabila diperhatikan pada saat kejadian curah hujan di permukaan dengan menggunakan data pengukuran dari AWS, bahwa yang mengalami curah hujan yang tinggi terjadi pada tanggal 16 Maret 2013 ada kaitannya dengan reflectivity dari Radar.

Gambar 3-1: Klasifikasi awan Jawa Barat (kondisi awan Cb), MTSAT

a b

(30)

Analisis Awan Cumulonimbus Dan Angin Serta Keterkaitannya… (Sinta Berliana Sipayung)

79

Hal ini disebabkan adanya jarak yang relatif jauh antara data intensitas curah hujan (rain rate) yang dihasilkan dari AWS dengan lokasi pengamatan

Transpotable Radar itu sendiri. Namun

hubungan regresi antara cloud top

temperature, curah hujan permukaan,

dan rainfall rate dari radar untuk masing-masing jenis awan dalam satu grid 0.04º x 0.04º mempunyai korelasi yang kuat (Hsu et al., 2007, Behrangi et al., 2010).

Pada Gambar 3-2 menunjukkan

time-series hubungan antara curah

hujan (mm/jam), indeks awan (1 s.d 6), dan kecepatan angin (m/s). Pada gambar tersebut terlihat adanya kesesuaian pola pada ketiga parameter. Hal yang menarik adalah kecepatan angin ternyata mendahului indeks awan dan curah hujan, walaupun pola yang dihasilkan relatif sama terlihat bahwa kecepatan angin permukaan meningkat

sebelum munculnya awan cumulonimbus (Cb). Setelah awan cumulonimbus muncul, 1 atau 2 jam kemudian turunlah hujan. Lamanya hujan sekitar 3 jam artinya terjadi kenaikan indeks awan yang berpola teratur antara 16-17 Maret 2013 yang diduga terkait dengan aktivitas MJO (Saji, H. Yamagata, T. 1999). Terdapat kesamaan pola antara curah hujan dengan indeks awan khususnya pengamatan tanggal 16 Maret 2013 pukul 16-22 LT. Hal ini didukung dengan hasil analisis pada Tabel 3-1 dan kesamaan pola indeks awan dengan kecepatan angin. Apabila dianalisis, hubungan antara indeks awan Cb dengan nilai indeks awan enam (6) yaitu jenis awan cumulonimbus terhadap curah hujan permukaan dan arah angin paralel bahwa semua tanggal pada bulan Maret 2013 terdapat pola yang sesuai.

Gambar 3-2: Hubungan antara indeks awan dengan curah hujan dan angin dari AWS jaman dalam harian di Bandung pada tanggal 14,15,16 dan 17 Maret 2013

Tabel 3-1: NILAI INDEKS AWAN DENGAN JENIS AWAN (Suseno dan Yamada, 2012) Nilai

Indeks Jenis Awan

0 Clear

1 Thin Cirrus (TiCi) 2 Thick Cirrus (TkCi) 3 Low-level Cloud (LC) 4 Midle-level Cloud (MC) 5 Mature Cb (MCb) 6 Cumulunimbus (Cb) 0 1 2 3 4 5 6 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Waktu (WIB)

Indeks Awan CH (mm) V Angin (m/s)

14 Maret 2013 15 Maret 2013 16 Maret 2013 17 Maret 2013

Ni la i In d eks

Gambar

Gambar 2-2: Efisiensi  shock  absorber  dengan  fungsi berat [Currey, N.S., 1988]
Gambar 3-1: Hasil uji tekan rubber damper yang digunakan saat roll out
Gambar 3-3: Hasil uji tekan spesimen 1
Gambar 3-5: Hasil uji tekan spesimen 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suhu puncak awan dan kontur suhu puncak awan dianalisis secara objektif melalui kanal IR band 13 dari citra satelit Himawari-8, dan data indeks stabilitas

data suhu permukaan bumi berupa suhu awan menggunakan gelombang inframerah dan data lainnya seperti intensitas hujan dengan menggunakan gelombang micro dengan wahana

Artikel ini menganalisis suhu kecerahan awan berdasarkan maklumat inframerah satelit geo-pegun MT-SAT dan seterusnya mengaitkan maklumat berkenaan dengan intensiti hujan

data suhu permukaan bumi berupa suhu awan menggunakan gelombang inframerah dan data lainnya seperti intensitas hujan dengan menggunakan gelombang micro dengan wahana

pada Gambar 4-3, yang merupakan hasil rancangan basis data pada sistem basis data antariksa menggunakan aplikasi MySQL Workbench. Untuk proses integrasi skema database

data suhu permukaan bumi berupa suhu awan menggunakan gelombang inframerah dan data lainnya seperti intensitas hujan dengan menggunakan gelombang micro dengan wahana

Menurut Fang (2002) berdasarkan jenis interaksi, jenis layanan e-Government tersebut ada delapan (Gambar 2-2) yaitu: (a) Pemerintah ke masyarakat (G2C) merupakan

Suhu puncak awan dan kontur suhu puncak awan dianalisis secara objektif melalui kanal IR band 13 dari citra satelit Himawari-8, dan data indeks stabilitas atmosfer dari satelit