• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT UMUM TERHADAP PASIEN EPILEPSI DI KELURAHAN MANGGA, KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT UMUM TERHADAP PASIEN EPILEPSI DI KELURAHAN MANGGA, KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN SKRIPSI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT UMUM TERHADAP PASIEN EPILEPSI

DI KELURAHAN MANGGA, KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN

SKRIPSI

Oleh

: MUSTIKA HIA

180100056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT UMUM TERHADAP PASIEN EPILEPSI

DI KELURAHAN MANGGA, KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

MUSTIKA HIA 180100056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

i

HALAMAN PENGESAHAN

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini berjudul “Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Umum Terhadap Pasien Epilepsi di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan”. Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat disusun dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S(K), selaku Dosen Pembimbing yang penuh perhatian telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis selama melaksanakan penelitian, sehingga skripsi ini dapat disusun dengan baik.

Semangat, motivasi, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dengan penuh keikhlasan sangat berarti dalam proses penyelesaian penyusunan skripsi ini.

3. dr. Rosmayanti Syafriani Siregar, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku Ketua Penguji dan dr. M. Surya Husada, M.Ked., Sp.KJ selaku Anggota Penguji, yang telah memberikan berbagai arahan, masukan, dan saran kepada penulis dalam penyelesaian dan penyempurnaan penyusunan skripsi ini.

(5)

iii

4. dr. Lokot Donna Lubis, M.Ked(PA)., Sp.PA selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan, arahan, masukan, dan semangat kepada penulis dalam menjalani masa akademik dan penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan moril kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

6. Kepada kedua orangtua saya tercinta Bapak dan mama, serta kakak dan abang-abang saya terkasih yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menuntut ilmu, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Sahabat-sahabat penulis, Febry, Sarah, Imelda, Bang Rasma, Christine yang senantiasa membantu, memberi semangat dan dukungan dalam penyusunan skripsi penulis.

8. Kepada masyarakat Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan selaku responden saya.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam bentuk moril maupun materiil yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Medan, 17 November 2021 Penulis

Mustika Hia 180100056

(6)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 EPILEPSI ... 7

2.1.1 Pengertian Epilepsi ... 7

2.1.2 Epidemiologi Epilepsi ... 7

2.1.3 Etiologi Epilepsi ... 8

2.1.4 Faktor Pencetus Epilepsi ... 10

2.1.5 Patofisiologi Epilepsi ... 12

2.1.6 Klasifikasi Epilepsi ... 14

2.1.7 Manifestasi Klinis Epilepsi ... 16

2.1.8 Penegakan Diagnosa & Diagnosa Banding Epilepsi .... 20

2.1.8.1 Penegakan Diagnosa Epilepsi ... 20

2.1.8.2 Diagnosa Banding Epilepsi ... 23

2.1.9 Prognosis Epilepsi ... 25

2.2 PENGETAHUAN ... 25

2.2.1 Pengertian Pengetahuan ... 25

2.2.2 Tingkat Pengetahuan ... 26

2.3 SIKAP ... 27

2.3.1 Pengertian Sikap ... 27

2.3.2 Komponen Pokok Sikap... 27

2.3.3 Tingkatan Sikap ... 27

2.4 PERILAKU ... 28

2.4.1 Pengertian Perilaku ... 28

2.4.2 Kelompok Perilaku ... 29

2.5 KERANGKA TEORI ... 29

2.6 KERANGKA KONSEP ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

(7)

v

3.1 RANCANGAN PENELITIAN ... 31

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ... 31

3.3 POPULASI DAN SUBJEK PENELITIAN ... 31

3.3.1 Populasi Penelitian ... 31

3.3.2 Subjek Penelitian... 31

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA ... 32

3.4.1 Teknik Pengambilan Subjek ... 32

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 33

3.5 DEFINISI OPERASIONAL ... 33

3.6 METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 34

3.6.1 Pengolahan Data ... 34

3.6.2 Analisis Data ... 35

3.7 ALUR PENELITIAN ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 36

4.2 DESKRIPSI KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN ... 36

4.3 HASIL ANALISA DATA ... 38

4.3.1 Distribusi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Terhadap Epilepsi Berdasarkan Jenis Pertanyaan ... 38

4.3.2 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Epilepsi ... 41

4.3.3 Sikap Responden Mengenai Epilepsi ... 43

4.3.4 Perilaku Responden Mengenai Epilepsi ... 45

4.4 PEMBAHASAN ... 47

4.4.1 Tingkat Pengetahuan ... 47

4.4.2 Sikap... 49

4.4.3 Perilaku ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 KESIMPULAN ... 53

5.2 SARAN ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

Lampiran A. Biodata Penulis ... 58

Lampiran B. Halaman Pernyataan Orisinalitas ... 59

Lampiran C. Surat Persetujuan Komisi Etik (Ethical Clearance)... 60

Lampiran D. Surat Izin Penelitian ... 61

Lampiran E. Lembar Penjelasan ... 62

Lampiran F. Lembar Persetujuan ... 63

Lampiran G. Kuesioner Penelitian ... 64

Lampiran H. Data Induk Responden ... 67

Lampiran I. Output SPSS ... 74

(8)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Diagnosa banding epilepsi ... 24

3.1 Definisi operasional... 33

4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 37

4.2 Distribusi frekuensi pertanyaan ... 39

4.3 Tingkat pengetahuan responden mengenai epilepsi ... 41

4.4 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan karakteristik responden ... 42

4.5 Sikap responden terhadap epilepsi ... 43

4.6 Distribusi frekuensi sikap berdasarkan karakteristik responden ... 44

4.7 Perilaku responden terhadap epilepsi ... 45

4.8 Distribusi frekuensi perilaku berdasarkan karakteristik responden ... 46

(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2017 ... 14

2.2 Kerangka teori ... 29

2.3 Kerangka konsep ... 30

3.1 Alur penelitian ... 35

(10)

viii

DAFTAR SINGKATAN

AVM : Arteriovenous malformation CT-scan : Computerised Tomography Scan

DNET : Dysembryoplastic neuroepithelial tumors EEG : Elektroensefalografi

EKG : Elektrokardiogram

ILAE : International League Againts Epilepsy JME : Juvenile myoclonic epilepsy

MRI : Magnetic Resonance Imaging MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy OAE : Obat anti epilepsi

PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia PET : Positron Emission Tomography

SGOT : Serum glutamic oxaloacetic transaminase SGPT : Serum glutamic pyruvate transaminase

SM : Sebelum masehi

S-O-R : Stimulus – Organisme - Respons

SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography SSP : Sistem saraf pusat

WHO : World Health Organization

(11)

ix ABSTRAK

Latar Belakang. Epilepsi adalah penyakit kronis otak yang tidak menular yang menyerang orang- orang dari segala usia, ras, kelas sosial, geografis, atau pun kewarganegaraan. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Masyarakat berpandangan salah terhadap penyakit ini sehingga penderita tidak diterima sebagai anggota masyarakat yang normal bahkan dikucilkan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. Tujuan. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan terhadap pasien epilepsi. Metode. Penelitian deskriptif dilakukan dengan desain penelitian cross sectional. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi dengan teknik pengambilan subjek menggunakan teknik cluster sampling. Hasil. Jumlah subjek penelitian 96 orang. Jumlah subjek laki-laki 40 orang, dan perempuan 56 orang. Kelompok usia terbanyak 26-45 tahun. Pendidikan terakhir terbanyak lulusan perguruan tinggi. Pekerjaan terbanyak PNS/Pegawai swasta/Pensiunan. Etnis terbanyak suku Batak. Status pernikahan terbanyak adalah menikah. Status ekonomi terbanyak adalah rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 52,1% responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang epilepsi, sebanyak 92,7% responden menunjukkan sikap yang positif terhadap penderita epilepsi, dan 70,8% responden menunjukkan perilaku yang positif terhadap penderita epilepsi.

Kesimpulan. Masyarakat umum di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan menunjukkan tingkat pengetahuan yang cukup mengenai epilepsi, sikap yang positif terhadap penderita epilepsi, dan perilaku yang positif terhadap penderita epilepsi.

Kata kunci : Epilepsi, Pengetahuan, Sikap, Perilaku, Masyarakat umum

(12)

x ABSTRACT

Background. Epilepsy is a chronic, non-communicable brain disease that affects people of all ages, races, social classes, geographies, or nationalities. In everyday life, epilepsy is a stigma for society. Society has a wrong view of this disease so that sufferers are not accepted as normal members of society and even ostracized. As a result, many people with epilepsy are undiagnosed and get improper treatment, causing clinical and psychosocial impacts that are detrimental both for sufferers and their families. Objectives. To find out the level of knowledge, attitudes and behavior of the community in Kelurahan Mangga,Kecamatan Medan Tuntungan towards epilepsy patients. Methods. Descriptive research is conducted with cross sectional research design. Data retrieval using questionnaires that have been validated with the subject retrieval technique using cluster sampling techniques. Results. About 96 subjects were enroled.The number of subjects was 40 men, and 56 women. The most age was 26-45 years. College graduate was the majority of the education level. The most types of job were civil servants / private employees / retirees. Most ethic was Batak. The most marriage status is marriage. The most economic status is low. The results showed that 52.1% of respondents had a sufficient level of knowledge about epilepsy, 92.7% of respondents showed a positive attitude towards people with epilepsy, and 70.8% of respondents showed positive behavior towards people with epilepsy. Conclusion. The community in Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan showed a sufficient level of knowledge about epilepsy, a positive attitude towards people with epilepsy, and positive behavior towards people with epilepsy.

Keywords : Epilepsy, Knowledge, Attitudes, Behavior, General public

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Epilepsi adalah penyakit kronis otak yang tidak menular yang menyerang orang-orang dari segala usia, ras, kelas sosial, geografis, atau pun kewarganegaraan. Hal ini ditandai dengan kejang berulang, yang merupakan episode singkat gerakan tak sadar yang mungkin melibatkan bagian tubuh (parsial) atau seluruh tubuh (umum) dan terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran dan kontrol fungsi usus atau kandung kemih. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Satu kejang tidak menandakan epilepsi (hingga 10% orang di seluruh dunia mengalami satu kali kejang selama hidup mereka). Epilepsi didefinisikan sebagai mengalami dua atau lebih kejang tanpa sebab. Diperkirakan hingga 70%

orang yang hidup dengan epilepsi dapat hidup bebas kejang jika didiagnosis dan diobati dengan benar (WHO, 2019).

Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM). Menurut data WHO, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap epilepsi, menjadikan epilepsi salah satu penyakit neurologis paling umum di dunia dan menempati urutan kedua dari penyakit neurologis setelah gangguan peredaran darah otak. Diperkirakan hampir 80% dari total penderita epilepsi tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2019). Diduga bahwa beberapa faktor ikut berperan, misalnya: perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi, penyakit infeksi. Tiga perempat penderita epilepsi yang tinggal di negara berpenghasilan rendah tidak mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan (WHO, 2019).

Data penderita epilepsi di Indonesia sangat terbatas. Diperkirakan penderita epilepsi di Indonesia adalah 1,5 juta dengan prevalensi 0,5-0,6% dari penduduk Indonesia (Muttaqin, 2012), sedangkan penanggulangan penyakit ini

(14)

belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional (Harsono, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarmila Ponnusamy di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang memiliki catatan medis pada September 2016 - September 2017 sebanyak 122 orang, dimana kelompok umur yang terbanyak mengalami epilepsi adalah kurang dari 10 tahun.

Kata epilepsi berasal dari Yunani „epilepsia‟ yang berarti bangkitan.

Orang zaman dahulu cenderung menganggap penyakit yang tidak diketahui penyebabnya sebagai yang disebabkan oleh mahluk halus, roh jahat, setan (Harsono, 2007). Terlepas dari penyebab langsungnya, epilepsi sering dianggap sebagai hukuman untuk perbuatan jahat atau melanggar pantangan tertentu. Bagi awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit jiwa, atau kutukan yang turun-temurun;

lebih dari itu, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular, menakutkan dan memalukan. Mereka juga takut memberi pertolongan karena beranggapan epilepsi dapat menular melalui air liur. Anggapan ini terjadi karena epilepsi terjadi ditempat umum, secara tiba-tiba, dan disaksikan oleh banyak orang sehingga menyebabkan berbagai persepsi yang keliru. Mitos dan kesalahpahaman ini sering mencegah orang dengan epilepsi mencari perawatan medis.

Di India, Indonesia, Nepal, Sri Lanka dan Thailand, orang-orang yang percaya pada kekuatan gaib melakukan penyembahan dan pengorbanan hewan pada penderita epilepsi. Di Bangladesh, orang pedesaan menganggap epilepsi sebagai "mantra setan" yang secara lokal dikenal sebagai "batash" (angin buruk).

Di beberapa daerah pedesaan di India, upaya dilakukan untuk mengusir roh jahat dari penderita epilepsi. Di Indonesia, epilepsi sering dianggap sebagai hukuman dari kekuatan gelap yang tidak diketahui. Di Nepal, epilepsi dikaitkan dengan kelemahan, kerasukan roh jahat atau pantulan warna merah.

Sikap terhadap epilepsi di India, Indonesia dan Sri Lanka jauh lebih negatif daripada di negara maju. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat buta huruf yang lebih tinggi. Di beberapa Negara Anggota SEAR/WHO, ada keberatan untuk mempekerjakan orang dengan epilepsi karena stigma daripada alasan keamanan.

(15)

Sebagian besar penduduk percaya bahwa orang dengan epilepsi tidak dapat mengejar pendidikan dan mendapatkan pekerjaan.

Pada tahun 2019, dilakukan penelitian mengenai pengetahuan masyarakat dan perilaku terhadap penyandang epilepsi pada masyarakat Kewapante, Kabupaten Sikka, NTT oleh Suryawijaya et al dengan hasil perilaku masyarakat masih sangat beragam, dimana 51,9% pernah mengenalnya, 61,9%

keberatan jika anaknya berinteraksi dengan penyandang epilepsi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuni Tobing (2019) tentang tingkat pengetahuan masyarakat di Kelurahan Tegal Sari, Mandala II, Medan adalah cukup, namun hanya 17,6%

yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai epilepsi. Pada penelitian Gunawan et al (2013) di Kelurahan Mahena, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara tentang pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi, sebagian besar responden (51,6%) memiliki pengetahuan cukup, 43% memiliki tingkat pengetahuan buruk, dan hanya 5,4% memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai epilepsi. Pada penelitian Khairani et al (2012) yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Neurologi dan Laboratorium EEG RSUPN Cipto Mangunkusumo tentang persepsi terhadap epilepsi ditemukan bahwa hampir semua responden menyatakan keberatannya untuk menikah ataupun menikahkan anggota keluarga mereka dengan penderita epilepsi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuni Tobing (2019) di Kelurahan Tegal Sari, Mandala II, Medan kelompok dengan tingkat pengetahuan baik paling banyak pada kelompok usia 26-45 tahun, kelompok pekerja pegawai negeri/swasta, dan kelompok tamatan perguruan tinggi. Sedangkan kelompok dengan tingkat pengetahuan kurang paling banyak pada kelompok usia > 65 tahun, kelompok IRT/tidak bekerja, dan kelompok tamatan SD. Menurut teori yang dikemukakan oleh Notoadmodjo, yaitu: (1) dengan bertambahnya usia maka pengetahuan seseorang akan semakin meningkat, (2) dengan bekerja akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pengetahuan, dan (3) pendidikan akan menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan seseorang.

(16)

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Masyarakat berpandangan salah terhadap penyakit ini sehingga penderita tidak diterima sebagai anggota masyarakat yang normal bahkan dikucilkan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.

Kelurahan Mangga merupakan kelurahan dengan penduduk terpadat di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan yaitu 11.695 jiwa/km2. Dari data demografis didapatkan hasil penduduk laki-laki 16.121 jiwa dan penduduk perempuan 16.626 jiwa dengan jumlah 7.810 rumah tangga dari berbagai latar belakang suku bangsa, budaya, agama, pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi.

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terbanyak adalah pegawai swasta, yaitu 3.022 jiwa, dan terbanyak kedua yaitu pegawai negeri 1.743 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2019).

Mengingat pentingnya pandangan masyarakat terhadap epilepsi, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat umum mengenai epilepsi dari berbagai latar belakang sosiodemografi, dalam hal ini peneliti menargetkannya pada populasi Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan. Dijadikannya Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan sebagai target penelitian ini ialah karena peneliti berdomisili di lokasi penelitian, sehingga peneliti sudah mengenal lingkungan, dan memahami struktur masyarakat di lokasi penelitian yang dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data dari masyarakat setempat.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat umum terhadap pasien epilepsi di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan?

(17)

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan terhadap pasien epilepsi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan usia.

2. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan pekerjaan.

3. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan pendidikan.

4. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan jenis kelamin.

5. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan suku.

6. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan status pernikahan.

7. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap epilepsi berdasarkan status ekonomi.

8. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan usia.

9. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan pekerjaan.

10. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan pendidikan.

11. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan jenis kelamin.

12. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan suku.

(18)

13. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan status pernikahan.

14. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan status ekonomi.

15. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan usia.

16. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan pekerjaan.

17. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan pendidikan.

18. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan jenis kelamin.

19. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan suku.

20. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan status pernikahan.

21. Untuk mengetahui gambaran perilaku masyarakat terhadap pasien epilepsi berdasarkan status ekonomi.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan peneliti dalam melakukan penelitian dan meningkatkan pemahaman peneliti tentang epilepsi.

2. Bagi peneliti lain

Dapat digunakan sebagai bahan masukan atau referensi bagi penelitan selanjutnya yang berhubungan dengan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap epilepsi.

3. Bagi masyarakat

Dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi, menambah informasi mengenai penyakit epilepsi dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang

(19)

penyakit epilepsi sehingga masyarakat dapat menghilangkan ketakutan, kesalahpahaman, stigma dan diskriminasi terhadap pasien dan keluarganya.

(20)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EPILEPSI

2.1.1 Pengertian Epilepsi

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi hanya sekali saja, bangkitan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007). Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor (Husna, 2017).

Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksimal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermitten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang berupa epilepsi (Ginsberg, 2008).

2.1.2 Epidemiologi Epilepsi

Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh (a) belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi, (b) epilepsi bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, dan (c) pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan populasi umum) misalnya statistik militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan (Tjahjadi et al, 2015).

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia, mempengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama,

(21)

walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Secara global, diperkirakan lima juta orang didiagnosis dengan epilepsi setiap tahun. Di negara berpenghasilan tinggi, diperkirakan ada 49/100.000 orang yang didiagnosis epilepsi setiap tahun, sedangkan pada negara berpenghasilan rendah dan menengah diperkirakan mencapai 139/100.000 orang terdiagnosis epilepsi setiap tahun (WHO, 2019).

Insidensi epilepsi di Eropa dan Amerika Serikat 24-82/100.000 populasi/tahun dengan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan karena tingginya kejadian post traumatik epilepsi yang biasanya terjadi pada laki-laki.

Prevalensi di Eropa 3,3-7,8/1.000 populasi sedangkan pada anak 3,4-5,8/1.000 populasi (usia 0-18 tahun). Di Amerika Serikat prevalensi 2,7-6,8/1.000 populasi.

Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukkan pola bimodal: puncak insidensi adalah pada populasi anak usia 0-5 tahun diikuti pada usia >75 tahun (9,7/1.000 populasi) (Behr et al., 2016).

Di negara maju faktor penyebab epilepsi nonidiopatik yang paling menonjol adalah stroke, meliputi 11-14% dari seluruh kasus. Di Amerika Selatan neurosistiserkosis merupakan penyebab epilepsi yang penting. Sementara itu 50%

dari seluruh kasus epilepsi di seluruh dunia bersifat idiopatik (Fischer, 1998).

Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat (Oktaviani dan Khosama, 2014).

2.1.3 Etiologi Epilepsi

Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat timbul karena penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya kerja

(22)

otak. Otak secara cepat dapat mengkoreksinya dan segera bekerja normal kembali, sehingga gejalanya hilang. Itulah sebabnya epilepsi disebut kelainan yang khas, karena di luar serangan penyandang epilepsi adalah individu yang normal (Harsono, 2015). Beberapa faktor penyebab maupun faktor resiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardiovaskular tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis), dan infeksi parasit terutama cacing pita.

Di daerah Enarotali Provinsi Irian Jaya, pernah dijumpai penderita epilepsi yang ketika diotopsi (setelah meninggal dunia karena luka bakar) didapatkan banyak kista cacing pita (sistiserkosis) di dalam otaknya. Taenia solium, selain di Enarotali Irian Jaya, juga terdapat di Amerika Latin, India, dan Cina. Higiene dan sanitasi yang buruk memberi kesempatan babi untuk makan feses manusia. Sementara itu daging babi yang dikonsumsi penduduk tidak diolah secara masak. Di negara-negara endemik, penyakit cacing pita ini juga tersebar luas di kota dengan penduduk kelas menengah (Harsono, 2007).

Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

(1) epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, dan (2) epilepsi sekunder yaitu yang penyebabnya diketahui.

Pada epilepsi primer, tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak.

Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Gangguan keseimbangan kimiawi ini dapat menimbulkan cetusan listrik yang abnormal, tetapi mengapa tepatnya dapat terjadi suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu-waktu dan menyerang orang-orang tertentu belum diketahui.

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Biasanya dengan pemeriksaan tertentu atau CT-scan otak atau pada autopsi dapat dilihat adanya kelainan struktural pada otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau

(23)

adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak (Harsono, 2015).

2.1.4 Faktor Pencetus Epilepsi

Ada berbagai faktor pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi. Pada penyandang epilepsi ambang rangsang serangan/kejang menurun pada berbagai keadaan sehingga timbul serangan. Faktor-faktor pencetus dapat berupa (Harsono, 2015):

 Kurang tidur

Kurang tidur maupun pola tidur yang tidak teratur dapat merangsang terjadinya bangkitan. Di samping memudahkan terjadinya bangkitan, kurang tidur dapat memperberat dan memperlama bangkitan.

 Stress emosional

Stress dikaitkan dengan berbagai jenis emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, ketakutan, depresi, frustasi, dan kemarahan. Stress bisa mengganggu pola tidur. Penderita epilepsi dapat lupa minum obat karena sedang dilanda stress. Stress, di sisi lain, dapat mengubah kadar hormon misalnya peningkatan kadar kortisol; peningkatan ini dapat mempengaruhi ambang bangkitan (Harsono, 2007). Peningkatan dosis obat bukan merupakan solusi untuk masalah tersebut karena dapat menyebabkan efek samping obat. Penderita epilepsi perlu belajar bagaimana menghadapi stress.

 Infeksi

Karena infeksi sering disertai demam, demam inilah yang menyebabkan kejang, yang dapat memicu terjadinya perubahan kimiawi di otak untuk mengaktifkan sel-sel otak yang memicu serangan. Faktor pencetus ini terutama terlihat pada anak-anak.

(24)

 Obat-obat tertentu

Obat-obatan tertentu, seperti antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) fenotiasin dapat menyebabkan kejang. Penghentian obat penenang/ sedatif secara tiba-tiba seperti barbiturat dan varium dapat menyebabkan kejang.

 Alkohol

Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan.

Biasanya peminum alkohol sering kali menderita kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.

 Perubahan hormonal

Perubahan siklus hormonal selama masa menstruasi (peningkatan kadar estrogen dan penurunan kadar progesteron) dan stress dapat terjadi, dan diduga dapat menyebabkan kejang. Kebanyakan wanita yang menderita epilepsi mengalami peningkatan kejang (kuantitas dan kualitas) pada periode perimenstrual dan fase folikular.

Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa estrogen dapat memudahkan terjadinya bangkitan dengan mengurangi ambang bangkitan dan memengaruhi aksis stress, dan juga dapat secara langsung memengaruhi hipokampus dan amigdala. Sementara itu, progesteron meningkatkan ambang bangkitan dan bertindak seperti OAE. Begitu juga dengan perubahan siklus hormonal yang bisa memicu kejang saat hamil (Harsono, 2007).

 Terlalu lelah

Terlalu lelah atau stress fisik dapat menimbulkan hiperventilasi di mana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.

 Fotosensitif

Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti

(25)

diskotek, pada pesawat TV yang dapat merupakan pencetus serangan.

Fotosensitivitas terdapat pada 30% dari kasus juvenile myoclonik epilepsy. Pada golongan remaja, 18% diantaranya bersifat fotosensitif.

Faktor-faktor pencetus serangan ini penting untuk diketahui oleh penyandang epilepsi atau keluarganya. Karena bagaimanapun baiknya dan tepatnya pemberian obat tetapi tanpa menghindarkan faktor pencetus serangan, maka pengobatan akan kurang berhasil.

Setiap orang mempunyai ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan oleh faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang yang sama, hanya satu dua orang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak. Mereka yang tidak mengalami rangsangan karena mempunyai ambang rangsang serangan yang cukup tinggi. Ambang rangsang serangan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor non-spesifik seperti tidak tidur untuk jangka waktu lama, atau terlalu letih.

2.1.5 Patofisiologi Epilepsi

Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.

Sel glia yang merupakan bagian terbesar dari sel-sel di susunan saraf pusat, mempunyai peranan dalam mempertahankan keseimbangan ionik, agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan depolarisasi. Karena kemampuan tersebut, sel glia banyak berperan dalam inhibisi.

(26)

Sampai saat ini patofisiologi epileptik belum diketahui dengan jelas. Ada hipotesis yang menduga bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi karena adanya sekelompok neuron yang secara intrinsik mempunyai kelainan pada membrannya, ini bisa didapat atau diturunkan. Neuron abnormal tersebut akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian melalui hubungan yang efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian besar neuron-neuron lainnya.

Bila proses inhibisi juga mengalami gangguan, entah karena suatu cedera, hipotesis iskemia atau genesis akibat gangguan mutasi, maka kumpulan neuron abnormal yang diimbasnya akan bersama-sama dalam waktu yang hampir bersamaan melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah sawan.

Pada sawan umum primer, letak massa neuron yang abnormal sampai saat ini belum diketahui, ada dugaan terletak di kelompok sel-sel subkortikal, sedangkan pada sawan parsialis, massa neuron abnormal terletak di lapisan- lapisan tertentu di neokorteks atau hipokampus. Suatu sawan parsialis dapat menjadi umum sekunder bila massa neuron abnormal di neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di subkortikal (Tjahjadi et al, 2015).

(27)

2.1.6 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi epilepsi menurut Internatonal League Againts Epilepsy (ILAE) 2017, sebagai berikut (Fisher et al, 2017):

Gambar 2.1 Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2017.

Dikutip dari: Fisher et al, 2017, „Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types‟, Epilepsia, 58(4):531-542, doi: 10.1111/epi.13671

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut Internatonal League Againts Epilepsy (ILAE) 1989, sebagai berikut (Sharma & Dixit, 2013):

1. Berdasarkan letak lokasi kelainan a. Idiopatik (primer)

- Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spike).

- Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal di daerah oksipital - Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsy).

b. Simptomatik (sekunder)

(28)

- Epilepsi partial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikow’s Syndrome).

- Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

- Epilepsi lobus temporalis - Epilepsi lobus frontalis - Epilepsi lobus parietalis - Epilepsi lobus oksipitalis c. kriptogenik

2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia

a. Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi absans pada anak

- Epilepsi absans pada remaja - Epilepsi mioklonik pada remaja

- Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik pada saat terjaga

- Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas - Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivitas tertentu b. Kriptogenik atau simptomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia

- Sindroma West (spasmus infantil) - Sindroma Lennox Gastaut

- Epilepsi mioklonik astatik - Epilepsi lena mioklonik c. Simptomatik

- Etiologi non spesifik:

 Ensefalopati mioklonik dini

 Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression

(29)

 Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas - Sindrom spesifik: bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum a. Bangkitan umum dan fokal

- Bangkitan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi

- Epilepsi dengan gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam

- Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-kleffner) - Epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom khusus bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.

- Kejang demam

- Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated).

- Bangkitan yang hanya terjadi jika terdapat kejadian metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklampsia, hiperglikemik non ketotik.

- Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik) 2.1.7 Manifestasi Klinis Epilepsi

Manifestasi klinis epilepsi sesuai klasifikasi jenis bangkitan ILAE 2017 (Arnaz, 2020):

1. Onset fokal, sadar atau dengan gangguan kesadaran.

Sebelumnya disebut serangan epilepsi parsial. Didefinisikan sebagai bangkitan yang terbatas pada satu hemisfer otak, terlokalisir secara lokal atau terdistribusi lebih luas. Bangkitan fokal dapat berasal dari jaringan subkortikal.

(a) Onset motorik, melibatkan otot dalam bentuk apapun. Kejadian motor bisa terjadi dari pengingkatan (positif) atau penurunan (negatif) pada kontraksi otot untuk menghasilkan gerakan.

 Automatism, gerakan otomatis seperti mengecapkan bibir, menggosok tangan, berjalan, atau berlari. Subjek biasanya (tidak selalu) amnesia sesudahnya.

(30)

 Atonik, hilangnya tonus mendadak sehingga pasien jatuh di bokong atau jatuh ke depan lutut dan wajah. Durasi kejang bisa sangat singkat 1 - 2 detik.

 Mioklonik, ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat (<100 milidetik) dari berbagai variabel topografi (aksial, ekstremitas proksimal, distal). Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

 Klonik, gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit, berulang secara teratur dan melibatkan kelompok otot yang sama.

 Epileptic spasms, ekspresi fleksi, ekstensi, atau campuran ekstensi-fleksi secara tiba-tiba pada sebagian besar proksimal dan otot trunkus yang biasanya lebih bertahan daripada gerakan mioklonik tetapi tidak seperti bangkitan tonik yang berkelanjutan. Bentuk terbatas mungkin muncul:

merintih, menganggukan kepala, atau gerakan halus pada mata.

 Hiperkinetik

 Tonik, ditandai dengan kaku dan tegang pada otot bilateral diikuti dengan kaku pada leher secara terus-menerus yang berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit. Serangan tonik juga meliputi ekstensi tungkai dan fleksi lengan. Pasien sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

(b) Onset nonmotorik, jenis bangkitan fokal atau umum dimana aktivitas motorik tidak menonjol.

 Autonomik, berbagai perubahan fungsi sistem saraf otonom yang melibatkan sensasi gastrointestinal, rasa panas atau dingin, palpitasi, perubahan pernafasan, dll.

 Behavior arrest, terhentinya (jeda) aktivitas, membeku, imobilisasi, seperti pada bangkitan perilaku terhenti.

 Kognitif, berkaitan dengan pemikiran dan fungsi kortikal yang lebih tinggi, seperti defisit bahasa, Déjà vu, jamais vu, halusinasi atau ilusi.

(31)

 Emosional, tampilan bangkitan dengan emosi atau penampilan yang emosional sebagai tanda awal yang menonjol, seperti ketakutan, kegelisahan, agitasi, kemarahan, paranoia, kesenangan, kegembiraan, eksitasi, tertawa (gelastis) atau menangis (dacrystic).

 Sensori, pengalaman perseptual yang tidak disebabkan oleh rangsangan eksternal yang tepat. Sensasi somatosensori; penciuman, visual, pendengaran, gustatory atau sensasi vestibular.

(c) Fokal menjadi tonik-klonik bilateral, sebelumnya disebut secondarily generalized tonic-clonic. Jenis bangkitan dengan onset fokal, dengan kesadaran atau gangguan kesadaran, baik motor-maupun non-motor, berkembang menjadi aktivitas tonik-klonik bilateral.

2. Onset umum

Sebelumnya disebut serangan umum primer.didefinisikan sebagai bangkitan dengan lesi yang berasal dari sebagian besar otak atau kedua hemisfer serebral. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dengan tingkat kesadaran pasien pada umumnya menurun.

(a) Motor

 Klonik

 Tonik

 Tonik-klonik, serangan terdiri dari fase tonik (spasme otot) berlanjut menjadi sianosis dan diikuti fase klonik (sentakan) yang dapat berhubungan dengan mengigit lidah dan mulut berbusa. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama kejang tonik-klonik, kesadaran hilang sebelum atau beserta dengan gerakan kaku atau menyentak.

 Mioklonik

 Atonik

 Mioklonik-tonik-klonik, dimulai dengan beberapa sentakan mioklonik yang diikuti oleh aktivitas tonik-klonik. Bangkitan dengan karakteristik ini umumnya terjadi pada epilepsi mioklonik remaja.

(32)

 Mioklonik-atonik, dimulai dengan sentakan tungkai yang singkat diikuti dengan tungkai lemas.

 Epileptic spasms (b) Non-motor (absence)

 Tipikal, onset yang tiba-tiba, gangguna aktivitas yang sedang berlangsung, tatapan kosong, deviasi mata yang singkat ke arah atas.

Biasanya pasien tidak responsif saat diajak bicara. Durasi selama beberapa detik sampai setengah menit dengan pemulihan yang sangat cepat. Meski tidak selalu tersedia, sebuah EEG akan menunjukkan pelepasan epileptiform secara umum selama acara berlangsung. Kata ini tidak bersinonim dengan melamun, yang juga dapat dijumpai pada onset bangkitan fokal.

 Atipikal, bangkitan absence dengan perubahan tonus atau penghentian yang mendadak, sering berhubungan dengan kelambanan, tidak teratur, aktivitas umum spike-wave.

 Mioklonik

 Eyelid myoclonia, sentakan pada kelopak mata dengan frekuensi minimal 3 kali per detik, umumnya deviasi mata mengarah ke atas, berlangsung <10 detik, sering tampak saat mata ditutup. Mungkin ada atau tidak hilangnya kesadaran secara singkat.

3. Onset tidak diketahui (a) Motor

 Tonik-klonik

 Epileptic spasms (b) Non-motor

 Behavior arrest

(c) Tidak dapat diklasifikasikan

(33)

2.1.8 Penegakan Diagnosa & Diagnosa Banding Epilepsi 2.1.8.1 Penegakan Diagnosa Epilepsi

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut (Budikayanti et al, 2014):

1. Pastikan adanya bangkitan epileptik.

2. Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 2017.

3. Tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis, auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:

a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:

 Sebelum bangkitan / gejala prodomal

- Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dll.

 Selama bangkitan / iktal

- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?

- Bagaimana pola / bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik / klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dll (akan lebih baik bila kelaurga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan).

- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya - Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur,

saat terjaga, bermain video game, berkemih, dll.

(34)

 Pasca bangkitan / post-iktal

 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan, kesadaran antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya.

 Jenis OAE

 Dosis OAE

 Jadwal minum OAE

 Kepatuhan minum OAE

 Kadar OAE dalam plasma

 Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang.

h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dll.

2. Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:

- Trauma kepala - Tanda-tanda infeksi - Kelainan kongenital

- Kecanduan alkohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis) - Tanda-tanda keganasan

(35)

3. Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak pasca-bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd

- Gangguna kesadaran pasca-iktal - Afasia pasca-iktal

4. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk:

- Membantu menunjang diagnosis

- Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi - Membantu menentukan prognosis

- Membantu penentuan perlu / tidaknya pemberian OAE.

 Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi (min.

1,5 tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (Dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous sclerosis.

Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.

Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa.

Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI

(36)

kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.

 Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.

b. Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.

 Pemeriksaan penunjang lainnya Dilakukan sesuai dengan indikasi, misalnya:

- Punksi lumbal - EKG

2.1.8.2 Diagnosa Banding Epilepsi

Ada beberapa gerakan atau kodisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder.

Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya.

Gejala semiologi yang bisa membantu membedakan tiga penyebab tersering kehilangan kesadaran (Husna, 2017):

(37)

Tabel 2.1 Diagnosa banding epilepsi.

Observasi Bangkitan umum tonik klonik

Sinkop Bangkitan

psikogenik non- epileptik Onset gradual Bisa disertai onset

fokal (aura, biasanya durasi < 30 detik)

Sering (gejala presinkop, durasi dalam beberapa menit)

Tidak jarang (dalam beberapa menit)

Aktivitas motorik Pola bangkitan yang tipikal (tonik, klonik, tonik-klonik)

Sering disertai hentakan mioklonik (durasi pendek, perbaikan cepat) setelah hilangnya tonus postural

Biasanya aktivitas motorik undulasi dan berhenti mendadak tapi frekuensi stabil

Gerakan tangan dan kaki yang tidak sinkron

Biasanya tidak ada Tidak jarang (mioklonus multifokal)

Sering

Gerakan yang bertujuan

Sangat jarang Jarang Kadang-kadang

Gerakan pelvis yang ritmis

Jarang Tidak pernah Kadang-kadang

Opistotonus, „arc de cercle‟

Sangat jarang Kadang-kadang (postur deserebrasi)

Kadang-kadang Atonia iktal

berkepanjangan

Sangat jarang Tidak lebih dari 60 detik

Kadang-kadang Kulit Sering sianosis Pallor, berkeringat Tidak ada sianosis

meskipun durasinya lama

„ictal crying‟ Sangat jarang Sangat jarang Kadang-kadang

Menutup mata Jarang Jarang Sangat sering

Resistensi saat mata dibuka

Sangat jarang Sangat jarang Sering Reflek pupil/ cahaya

normal

Sering menurun Sering Sangat sering

Reaktivitas iktal Jarang normal Jarang normal Biasanya normal sebagian

Inkontinensia iktal Tidak jarang Jarang Tidak jarang

Durasi bangkitan >2 menit

Tidak sering Sangat tidak sering (hanya jika pasien dalam postur tegak)

Sering

Reorientasi post iktal Dalam beberapa menit < 1 menit (kecuali apabila ada trauma kepala karena pasien kolaps)

Sering kali tidak terduga cepat atau lambat

Lidah tergigit Tidak jarang (lateral) Kadang-kadang (ujung)

Kadang-kadang (ujung)

Jejas Sering (terbakar) Jarang Sering

Bangkitan saat malam (tidur)

Sering Jarang Tidak jarang

Dikutip dari: Shorvon et al, 2012, Oxford Textbook of Epilepsy and Epileptic Seizure, Oxford

(38)

2.1.9 Prognosis Epilepsi

Pasien dengan bangkitan pertama tanpa provokasi memiliki angka rekurensi bervariasi 23-71%. Penderita sindrom epileptik yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, penderita tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi (Tjahjadi et al, 2015). Diperkirakan 30%

penderita tidak akan mengalami remisi walaupun minum obat dengan teratur.

Pada epilepsi umum idiopatik angka remisi bervariasi 64-82%. Pada epilepsi dengan absans, angka remisi bervariasi antara 21-81% (dengan rata-rata 59%) dimana pasien dengan bangkitan absans tipikal saja lebih mudah mencapai remisi dibandingkan pasien yang disertai bangkitan umum tonik klonik (Husna, 2017).

Sesudah terjadi remisi, kemungkinan terjadinya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi (Tjahjadi et al, 2015).

2.2 PENGETAHUAN

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahun seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengtahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010).

(39)

2.2.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekadar tau terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya

(40)

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2.3 SIKAP

2.3.1 Pengertian Sikap

Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2010).

2.3.2 Komponen Pokok Sikap

Menurut Allport (1954) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalam faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan)

Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

2.3.3 Tingkatan Sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

(41)

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain untuk merespons.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain.

2.4 PERILAKU

2.4.1 Pengertian Perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Skiner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses “S-O-R” (stimulus-organisme-respons). Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

a. Respondent respons atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent respons juga mencakup perilaku emosional.

b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain.

(42)

Epilepsi

 Definisi

 Etiologi

 Faktor Pencetus

 Patofisiologi

 Klasifikasi

 Manifestasi Klinis

 Diagnosis &

Diagnosis Banding

 Tatalaksana

 Prognosis

Sikap

Sosiodemografi Masyarakat

Umum:

usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin,

suku, status pernikahan, status ekonomi Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons.

2.4.2 Kelompok Perilaku

Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

a. Perilaku tertutup (Covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covet behavior” yang dapat diukur dari pengetahuan dan sikap.

b. Perilaku terbuka (Overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”.

2.5 KERANGKA TEORI

Gambar 2.2 Kerangka teori.

Pengetahuan

Perilaku

(43)

2.6 KERANGKA KONSEP

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.3 Kerangka konsep.

1. Usia 2. Pekerjaan 3. Pendidikan

terakhir 4. Jenis Kelamin 5. Suku

6. Status pernikahan 7. Status ekonomi

a. Pengetahuan b. Sikap

c. Perilaku Terhadap epilepsi

(44)

31

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional, dimana rancangan penelitian yang pengukuran dan pengamatannya dilakukan secara simultan pada sekali waktu dan diharapkan dapat menggambarkan bagaimana gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku masyrakat umum terhadap epilepsi.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan. Pelaksanaan dilakukan pada bulan Juli sampai November 2021.

3.3 POPULASI DAN SUBJEK PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat umum di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2021. Data kependudukan Kelurahan Mangga berjumlah 32.747 jiwa.

3.3.2 Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat umum di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Rumus penentuan besar subjek pada penelitian ini menggunakan rumus estimasi proporsi, yaitu:

( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( ) n = 95,7620

Gambar

Gambar 2.1 Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2017.
Gambar 2.2 Kerangka teori.
Gambar 3.1 Alur Penelitian.
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pertanyaan.  Pertanyaan  Sangat tidak  setuju  Tidak

Referensi

Dokumen terkait

PA/KPA Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi Lainnya (K/L/D/I), Kecamatan Peranap Alamat, Kecamatan Peranap mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa

Given the range of demands, the variable nature of the available data, and the logistics involved in a detailed simulation modelling analysis, a hierarchy of data and tools is

Figure 2: Footprint detection workflow; (a) rotated panchromatic aerial image, (b) normalized DSM (nDSM), (c) detected line seg- ments using the LSD algorithm, (d) line

Test of English as a Foreign Language disingkat TOEFL adalah ujian kemampuan berbahasa Inggris (logat Amerika) yang diperlukan untuk mendaftar masuk ke college atau universitas

[r]

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : 642/1.8/PAN-SOSNAKERTRANS/2014, dan Penetapan Pemenang Nomor : 642/1.10/PAN-SOSNAKERTRANS/2014, kami Umumkan

IMK dapat kita jadikan sebagai teori dalam membuat aplikasi pembuatan mesin minuman, karena mesin minuman berinteraksi antara komputer dengan manusia. Pada aplikasi ini akan

[r]