• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM PAKAN DAN NUTRISI RUMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM PAKAN DAN NUTRISI RUMI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA

BAHAN PAKAN SUMBER ENERGI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK), KECERENAAN BAHAN

ORGANIK (KBO), VFA, NH3, DAN GAS TEST.

Disusun Oleh: Kelompok 2

Bentar Wicaksono D1E010001

Nur Laely D1E010041

Atin D1E010113

Dwi Eka Julia D1E010154 Putri Septiasih D1E010259 Asisten: Mita Tyas Melviyanti

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

(2)

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA

Disusun Oleh: Kelompok 2

Bentar Wicaksono D1E010001

Nur Laely D1E010041

Atin D1E010113

Dwi Eka Julia D1E010154 Putri Septiasih D1E010259

Diterima dan disetujui Pada tanggal :...

Kordinator Asisten

Hery Suprapto D1E009190

Asisten pembimbing

(3)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan makanan ternak akhir-akhir ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga bahan baku makanan ternak, dan semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan lahan untuk keperluan pangan dan tempat pemukiman. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya baru yang potenisal untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif yang mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan kepada penggunaan bahan konsentrat yang sudah lazim digunakan.

Nutrien yang terkandung dalam pakan merupakan prekursor produksi susu dan daging pada ternak ruminansia karena dapat mempengaruhi pola fermentasi rumen. Keseimbangan dan ketersediaan nutrien dalam ransum penting diperhatikan selain harga yang murah agar dapat terjangkau oleh peternak. Pakan yang diberikan peternak seringkali mengalami defisiensi nutrien sehingga mempengaruhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok maupun produksi karena peternak kekurangan biaya. Selain itu, minimnya pengetahuan peternak dapat membuat kerugian yang besar karena produksi ternak untuk kualitas susu dan daging yang tidak memenuhi standar maupun jumlah mikroba yang melebihi batas normal. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisiensi nutrien pada sapi perah yaitu dengan pemberian ransum komplit berkualitas.

(4)

a. Suhu fermentasi berkisar antara 39-400C, suhu ini harus diusahakan tetap karena bakteri rumen sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Perbedaan suhu 0,50C dapat menyebabkan proses fermentasi terganggu.

b. pH optimum berkisar 6,7-7,0 agar aktivitas mikroba rumen dapat berlangsung normal.

c. Pemberian gas CO2 secepatnya bersama dengan pengadukan secara mekanik dilakukan dalam fermentasi anaerob, yang prinsipnya pengadukan meniru keadaan rumen hewan hidup yang selalu bergerak, gerakan rumen ditiru dengan menempatkan tabung fermentor dalam shaker waterbath.

d. Media fermentasi in vitro berupa cairan rumen sebagai sumber inokulum. e. Periode atau waktu fermentasi tergantung dari bahan yang diuji, karbohidrat

yang mudah larut seperti gula sederhana lebih mudah difermentasi dibanding dengan makanan lain.

I.2. Tujuan

a. Mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik;

b. Mengetahui kecernaan protein melalui analisis NH3 dan VFA;

c. Mengetahui produksi gas total melalui analisis gast-test.

I.3. Waktu dan Tempat

(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

I.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik (KBO)

Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka harus diketahui terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang terdapat dalam pakan dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila pakan telah mengalami proses pencernaan (Tillman et al., 1991).

Pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap (Anggorodi, 1979).

Komposisi ransum yang berbeda-beda akan menghasilkan nilai kecernaan yang berbeda pula. Nilai kecernaan sangat bergantung pada keserasian nutrien di dalamnya. Proporsi hijauan dan konsentrat yang berbeda juga berpengaruh terhadap kecernaan. Pada ternak sapi perah, rasio hijauan–biji-bijian sebesar 75% dan 25% akan menghasilkan KBK sebesar 68,7%, rasio hijauan–biji-bijian sebesar 50% dan 50% menghasilkan nilai KBK sebesar 70,2 % dan rasio hijauan – biji-bijian sebesar 25% dan 75% menghasilkan nilai KBK sebesar 70,0% (Maynard et al.,1979).

Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik maka semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen. Nilai kecernaan yang tinggi menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi dari bakteri selulolitik. Nilai kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan nilai kecernaan bahan organik(Anggorodi, 1979).

I.2. Pengukuran Konsentrasi VFA Total (Volatil Fatty Acids)

(6)

polisakarida seperti selulosa dan pentosan-pentosan yang tidak dapat dicerna enzim pencernaan induk semang, akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi VFA, CO2, H2 (Orskov, 1998). VFA sebagai produk akhir pencernaan fermentasi microbial karbohidrat dalam rumen digunakan sebagai sumber energi dan karbon untuk pertumbuhan mikroba rumen (Thalib dkk, 1999). Konsentrasi VFA dipengaruhi oleh tipe pakan, pengolahan, komposisi pakan, keberadaan mikroba dan perbedaan teknik percobaan. Tingginya konsentrasi VFA total akan memberikan keuntungan bagi hewan inang (Suhartati, 2004).

Hasil akhir fermentasi anaerobik karbohidrat di dalam rumen berupa VFA dan gas metana. Selain itu proses fermentasi tersebut juga membebaskan Adenosin Triphospat (ATP). VFA dan metana akan bergabung dengan NBP (Nitrogen Bukan Protein) membentuk protein mikroba, sedangkan ATP berfungsi sebagai tenaga penggeraknya. Orskov (1998) menyatakan bahwa antara proses fermentasi dengan produksi protein mikroba telah terjadi saling ketergantungan. Tenaga penggerak digambarkan sebagai ATP yang diperoleh dari fermentasi anaerobik karbohidrat. Hasil akhir fermentasi tersebut berupa VFA dan gas metan yang kemudian akan bergabung dengan NBP kedalam sel mikroba.

I.3. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3)

N-NH3 merupakan sumber N utama untuk sintesis protein mikroba , konsentrasi N-NH3 yang optimal berkisar 508 mg/100 ml cairan rumen. Kekurangan sumber N dapat menurunkan produksi mikroba per unit karbohidrat tercerna. Apabila konsentrasi N-NH3 melebihi batas optimal untuk sintesis protein mikroba maka N-NH3 diserap melalui dinding rumen dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi urea (Susanti, 2001).

Protein atau asam amino yang terdapat dalam bahan pakan ternak ruminansia tidak semuanya dapat dicerna dan diserap usus halus, tetapi dihidrolisis menjadi peptide, asam organic, CO2 dan amonia di dalam rumen (Mc Donald et al., 2002). Kandungan N-NH3 minimal dalam rumen untuk kebutuhan pertumbuhan mikroba yang diberi pakan berserat tinggi minimal 50 mg/l (Thalib et al., 1999).

(7)

rumen. Kekurangan sumber N dapat menurunkan produksi mikroba per unit karbohidrat tercerna. Apabila konsentrasi N-NH3 melebihi batas optimal untuk sintesis protein mikroba maka N-NH3 diserap melalui dinding rumen dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi urea.

I.4. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gas Test)

Organisme di dalam rumen akan menghidrolisa pakan sumber karbohidrat menjadi gula sederhana yang kemudian difermentasi menjadi VFA (Vollatile fatty acids) yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan juga gas-gas yang merupakan hasil dari proses fermentasi, gas-gas-gas-gas di dalam rumen terdiri dari metan (32 %), CO2 (56 %), N2 (8,5 %) dan O2 (3,5 %).

(8)

III. MATERI DAN CARA KERJA

2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik (KBO)

a. Alat dan Bahan

Alat-alat : a. Sentrifuse

b. Shaker water batch (penangas air bergoyang) c. Kertas saring Whatman No.41

d. Pompa vakum e. Oven (1050C) f. Tanur listrik (6000C) g. Timbangan analitik

Bahan : a. Cairan rumen (sumber inokulum) b. Gas CO2

c. Larutan McDougalls pH 6.8 tersusun dari :

19.8 g NaHCO3

14 g Na2HPO4.7.H2O (9,2985 g Na2HPO4.2.H2O)

1,14 KCL

0,9433 g MgSO4.7.H2O

0,08 g CaCL

bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades dalam labu Erlenmeyer hingga 2 liter, pH di tera hingga 6,8 dan untuk menurunkan pH dengan cara dialiri gas CO2 hingga pHnya mencapai 6,8

d. Larutan HgCL jenuh atau H2SO4 pekat e. Larutan pepsin-HCL 0.3%

HCL 0,1 N 1 liter ditambah pepsin 3 g

(9)

b. Cara Kerja

Tahap I (percobaan fermentatif)

a. Menimbang sampel (media) yang telah digiling halus seberat 2 g BK dan menempatkannya dalam tabung atau Erlenmeyer.

b. Kemudian menambah larutan McDougalls 24 ml dan menginkubasinya dalam shaker water batch pada suhu 390C selama 10 menit. Menambahkan cairan rumen sebanyak 16 ml setelah suhunya 390C, kemudian menutup tabung dan menginkubasinya selama 24 jam sehingga terjadi pencernaan fermentatif. Menggoyangkan shaker water batch pada kecepatan 60-70 rpm, untuk menjaga suasana tetap anaerob dan setiap 4 jam dialiri gas CO2.

c. Setelah inkubasi selama 24 jam, mengambil keranjang tabung dari shaker water batch dan membuka tutup tabung, kemudian menambah HgCL2 sebanyak 2 tetes untuk menbunuh mikroba.

d. Melakukan sentrifus pada kecepatan 12.000 rpm, untuk memisahkan residu endapan dengan supernatan. Supernatan yang diperoleh ditampung untuk pengukuran VFA total dan N-NH3

Tahap II (percobaan hidrolitis)

a. Menambahkan 40 ml larutan pepsin-HCL 0,3% pada setiap residu endapan dari setiap tabung, kemudian menginkubasinya lagi selama 24 jam sehingga terjadi pencernaan hidrolitis dalam suasana aerob (tidak ditutup), shaker water bath tetap pada suhu 390C dan tidak digoyang. b. Setelah pencernaan 24 jam pencernaan hidrolitis, isi tabung disaring

dengan menggunakan kertas saring, untuk membantu penyaringan digunakan pompa vakum.

c. Mengeringkan residu dalam oven (1050C), untuk menetapkan berat kering residu.

(10)

2.2. Pengukuran Konsentrasi VFA total

a. Alat dan Bahan

Alat-alat : a. Pipet

b. 1 set alat destilasi uap c. Labu Erlenmeyer d. Buret makro(25-50 ml)

Bahan : a. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)

b. H2SO4 15% (15 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 100 ml)

c. NaOH 0.5 N (20 g NaOH dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter).

d. HCL 0.5 N (41.667 ml HCL pekat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya 1 liter)

b. Cara Kerja

a. Setelah alat destilasi uap pada labu godok mendidih, tempat sampel dicuci dengan aquades.

b. Cairan rumen di pipet sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ketempat sampel dari alat deestilasi uap dan ditambah 1 ml H2SO4 15%

c. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 5 ml NaOH 0.5 N hingga volume destilat mencapai 100 ml

d. Kedalam destilat ditambah indikator phenolphthalein sebanyak 2 tetes. e. Destilat dititrasi dengan HCL 0.5 N sampai terjadi perubahan warna f. Sebagai blangko dititrasi dengan 5 ml NaOH 0.5 N dengan HCL 0.5 N

2.3. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3) a. Alat dan Bahan

Alat-alat : a. Cawan Conwey b. Pipet

(11)

c. Na2CO3 jenuh (larutkan Na2CO3 dalam aquades 50 ml hingga tidak larut).

d. H2SO4 0.01 N (0.27 ml H2SO4 pekat dilarutkan ditambah aquades hingga 1 liter)

e. Vaselin

b. Cara Kerja

a. Cawan Conwey dan tutupnya diolesi dengan vaselin agar dapat menutup dengan rapat

b. 1 ml asam borat berindikator di pipet kemudian dimasukkan kedalam cawan kecil yang ada ditengah cawan Conwey

c. 1 ml cairan rumen dipipet kemudian diteteskan pada sekat sebelah kanan cawan

d. Cawan sedikit dimiringkan, kemudian 1 ml Na2CO3 jenuh dimasukkan pada bagian kiri sekat (diusahakan jangan sampai tercampur sebelum cawan ditutup)

e. Cawan Conwey ditutup

f. Cawan digerakkan dari kiri kekanan dengan pelan-pelan, sehingga cairan rumen bercampur dengan Na2CO3 jenuh, dibiarkan selama 24 jam pada suhu ruang

g. Setelah 24 jam, N-NH3 cairan rumen yang diikat oleh ion hydrogen dari asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai terjadi perubahan warna dari warna biru menjadi merah jambu.

2.4. Gas Test

a. Alat dan Bahan

Alat-Alat : a. Tabung menkey b. Erlenmeyer c. Pipet d. Oven Bahan : a. Air

b. Vaseline

(12)

b. Cara Kerja

a. TJA 1 = 4,2331 g.

b. TJA 2 = 4,2330 gram sampel c. Tabung menke nomor 6.

d. di (+) 30 ml medium + larutan preduksi e. diberi CO2

f. di stirer sampai berwarna pink g. diamkan 10 menit

h. di (+) 100 ml cairan rumen

(13)
(14)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Hasil perhitungan KBK dan KBO dengan rumus sebagai berikut didapatkan hasil seperti pada Tabel 1.

% KBK = BK awal (gram) – BK residu bersih x 100% BK awal (gram)

%KBO = BO awal (gram) – BO residu bersih x 100% BO awal (gram)

(15)

k3jpa2 110

m 11.30 15.30 19.30 23.30 03.30 07.30

(16)

4 jam 8 jam 12 jam 16 jam 20 jam 24 jam

Grafik perubahan gas yang diproduksi sampel kelompok 2 (jerami padi amoniasi) selama 24 jam.

3.2. Pembahasan

3.2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik (KBO)

Tingginya serat kasar dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya waktu pencernaan sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya menurunkan konsumsi pakan. peningkatan konsumsi pakan bagi ternak selaras dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan, sedang kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu dimanfaatkan ternak (Bata, 1996). Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik maka semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen. Nilai kecernaan yang tinggi menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi dari bakteri selulolitik. Nilai kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan nilai kecernaan bahan organik. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh laju pencernaan pakan dan tergantung pada bobot badan ternak dan kualitas pakan. Salah satu sifat limbah organik yang berkualitas rendah adalah tingginya kandungan lignosellulose yang sulit dicerna ruminansia, (Arora, 1989).

(17)

yang mengakibatkan konsumsi pakan menurun baik KBK dan KBO. Selain itu, keragaman konsumsi pakan disebabkan oleh status ternak dan bobot badan bervariasi dengan ternak yang lebih besar mengkonsumsi pakan lebih banyak; hal ini berhubungan dengan kapasitas tampung lambung berbeda.

Sampel JPA (jerami padi amoniasi) memiliki kecernaan bahan kering yang rendah yaitu 31,55 % jika dibandingkan dengan jerami padi yang tanpa perlakuan sama sekali. Hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Arora (1989), konsumsi pakan dipengaruhi oleh laju pencernaan pakan dan tergantung pada bobot badan ternak dan kualitas pakan. Salah satu sifat limbah organik yang berkualitas rendah adalah tingginya kandungan lignoselulose yang sulit dicerna ruminansia. Tingginya serat kasar dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya waktu pencernaan sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya menurunkan konsumsi pakan. peningkatan konsumsi pakan bagi ternak selaras dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan, sedang kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu dimanfaatkan ternak (Firsoni, 2005). Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik maka semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen. Nilai kecernaan yang tinggi menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi dari bakteri selulolitik. Nilai kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan nilai kecernaan bahan organik.

(18)

organik berhubungan erat dengan laju kecernaan bahan kering, karena sebagian besar bahan kering terdiri atas bahan organik. Perbedaan diantara keduanya adalah pada kandungan abu masing-masing bahan.

3.2.2. Pengukuran Konsentrasi VFA

VFA merupakan produk fermentasi yang berasal dari bahan yang mengandung karbohidrat maupun protein (Sutardi, 1980). VFA akan digunakan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia. VFA yang terdiri atas asam asetat, propionat dan butirat berperan dalam menyumbang energi berupa ATP pada jalur perubahan komponen pakan menjadi VFA serta perubahan propionat menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis. Selain itu, VFA juga dapat menyumbangkan kerangka karbon bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen (Preston dan Leng, 1987). Pengukuran VFA dilakukan dengan memasukkan 1 ml supernatan ditambah 1 ml H2SO4 ke dalam tabung destilasi. NaOH 5 ml 0,05 N ditambah 2 tetes PP dimasukkan dalam tabung erlenmeyer untuk menampung hasil destilasi. Volume destilasi setelah mencapai 100 ml dititrasi dengan 0,5 N HCl sampai berwarna bening.

(19)

dalam mencerna pati. Penurunan populasi bakteri amilolitik ini juga dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan pada waktu inkubasi 48 jam.

Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah bervariasi yaitu antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al; 2002). Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat pakan yang mudah larut (Davies, 1982). VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba. Hasil pengukuran VFA pada praktikum yaitu -505 hal ini berbeda jauh dari kadar VFA normal seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1980), bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80 – 160 mM VFA yang dapat menggambarkan fermentabilitas suatu pakan sebab VFA dapat mencerminkan peningkatan karbohidrat dan protein yang mudah larut.

3.2.3. Pengukuran NH3

Protein pakan pertama kali dihidrolisis oleh mikroba rumen dengan enzim proteolitik menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti oligopeptida dan asam amino (Arora, 1989). Kemudian dilanjutkan dengan kecernaan menjadi amonia dan menghasilkan produk samping berupa gas CH4, CO2, asam keto alfa dan VFA. Menurut Sutardi (1980), amonia berfungsi sebagai sumber N yang digunakan dalam sintesis protein mikroba, sehingga dibutuhkan 5-17,65 mM amonia untuk mendukung pertumbuhan mikroba (McDonald et al., 2002). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil pengukuran N-NH3 yang kami lakukan saat praktikum yaitu sebesar 17,5 mM.

(20)

1. Sumber protein ransum sangat tahan degradasi mikroba rumen,

2. Tingginya sintesis protein mikroba sehingga sisa N-NH3 yang tidak dimanfaatkan akan semakin kecil,

3. Rendahnya taraf energi pakan, 4. Nisbah C dan N serta

5. Rendahnya pertumbuhan mikroba.

Pengukuran NH3 dilakukan dengan memasukkan 1 ml supernatan cairan rumen di bagian kanan cawan conwey dan di bagian kiri ditambahkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh serta di bagian tengah ditambahkan 1 ml larutan asam borat. Cawan digoyang agar supernatan dan larutan Na2CO3 jenuh bercampur. Setelah 24 jam dalam suhu ruang dilakukan titrasi dengan H2SO4 0,01 N sampai berubah menjadi warna merah muda. Hasil titrasi dilakukan perhitungan dengan rumus:

Kadar N-NH3 = (ml titran x N H2SO4 x (1000/1)) mM.

3.2.4. Gas Test

Produksi gas menunjukkan adanya proses fermentasi pakan oleh mikroba yang terjadi dalam rumen. Proses fermentasi tersebut akan mengubah komponen pakan menjadi senyawa yang berbeda dari molekul awal, seperti perubahan karbohidrat menjadi VFA (volatile fatty acids) dan protein pakan menjadi amonia (McDonald et al., 2002). Produksi gas juga dapat digunakan sebagai indikator fermentabilitas in vitro suatu ransum. Volume gas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai indikator proses fermentasi yang terjadi dalam rumen. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa gas yang terdiri atas CO2 40% dan CH4 30-40% sisanya berupa hidrogen dan nitrogen merupakan produk sampingan pada proses hidrolisis karbohidrat menjadi VFA (Arora, 1989).

McDonald (2002), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gas-gas di dalam rumen yaitu dari jenis bahan yang diberikan ke ternak tersebut. Umumnya di dalam pakan ternak ruminansia harus tersedia nitrogen dan energi, unsur N di dapat dari pakan sumber protein. Penggunaan protein pakan yang dicerna oleh ruminansia :

(21)

b. Produk degradasi yang terbentuk dalam rumen, terutama ammonia, digunakan oleh mikroba bersama sumber energi untuk mensintesis protein dan bahan-bahan sel mikroba seperti bahan-bahan sel yang mengandung N dan asam nukleat. c. Bagian ammonia bebas akan diserap masuk ke pembuluh darah ternak dan

ditransformasikan menjadi urin di dalam liver. Sebagian besarnya tidak dapat digunakan oleh ternak dan dieksresikan ke dalam urin.

(22)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang sudah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut, diantaranya:

a. Tongkol jagung amoniasi memiliki tingkat keecernaan yang lebih tinggi dibanding dengan tongkol jagung yang belum mendapat perlakuan.

b. Suhu fermentasi berkisar antara 39-400C, suhu ini harus diusahakan tetap karena bakteri rumen sangat sensitif terhadap perubahan suhu.

c. Kecepatan sentrifuse 12.000 rpm, untuk memisahkan residu endapan dengan supernatan. Supernatan yang diperoleh ditampung untuk pengukuran VFA total dan N-NH3.

4.2. Saran

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Jakarta.

Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. UGM Press.Jogjakarta.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Bata, M. dkk. 1996. Pengaruh Suplementasi Ampas Tahu Pada Onggok Terhadap Produk Fermentasi Rumen, Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Secara In Vitro. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.

Firsoni. 2005. Manfaat tepung daun kelor (Moringa oleifera, Lam) dan glirisidia (Gliciridia sepium, Jacq) sebagai sumber protein dalam urea molases blok (UMB) terhadap metabolisme pakan secara in vitro dan produksi susu sapi perah. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Malang.

Hungate, R. E. 1966. The Rumen and It’s Microbes. Academic Press. New York.

Maynard, L.A., J.K. Loosli, H.F. Hintz and R.G. warner. 1979. Animal Nutrition. Mc Graw Hill Book Co. Ithaca, New York.

McDonald, P., Edwards, R., dan Greenhalgh, J. 2002. Animal Nutrition. Sixth Edition. New York.

Menkee, K. H. dan W. Close. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. University Hohenheim. Stuttgart.

Orskov, E.R. 1988. Protein Nutrition in Ruminants. Second Edition. Academic Press. London.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta.

(24)

Setiani, E. 2002. Evaluasi in vitro kombinasi ampas teh (Camellia sinensis) dengan daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) sebagai pakan domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui penggunaan ransum berbasis limbah perkebunan dan suplemen mineral organik. Dalam: Irawan, B. 2002. Suplemen Zn dan Cu organik pada ransum berbasis agroindustri untuk memacu pertumbuhan domba. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Susanti, Sri., Siti Chuzaemi, Soebarinoto. 2001. Pengaruh Pemberian Konsentrat yang mengan-dung bungkil biji kapuk terhadap kecernaan ransum, produk fermentasi dan jumlah protozoa rumen sapi perah PFH Jantan. BIOSAIN. Vol.1 (3) :42-49

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D. Suherman. 1999. Pengaruh Perlakuan Silase Jerami Padi dengan Mikroba Rumen Kerbau terhadap Daya Cerna dan Ekositem Rumen Sapi. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol.5: 1-6.

Gambar

Table 2. Hasil VFA
Tabel 4. Hasil Gas test
Grafik perubahan gas yang diproduksi sampel kelompok 2 (jerami padi amoniasi)selama 24 jam.

Referensi

Dokumen terkait

MULTIMED IA TECHNOLOGY IN TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu.. CHAPTER 2 LITERATURE

Jawab: saya itu sudah mencoba berbagai usaha mbak, tapi usaha yang saya rintis itu ya pasang surut lah mb, tapi banyak surutnya mb, (sambil tertawa bersama di ruang

sebesar 4 % pada pakan efektif untuk meningkatkan sistem imun ikan koi yang menghasilkan rata-rata jumlah sel darah merah dan sel darah putih tertinggi masing-masing

Peningkatan persediaan garam beryodium di tingkat masyarakat, yang termasuk di dalamnya monitoring terhadap peningkatan kandungan yodium dalam garam yang dilakukan

[r]

Susunan ini adalah penting untuk memastikan pelajar dapat mencapai perubahan kognitif yang lebih baik dalam kemahiran spatial visual dengan berkomunikasi dan berinteraksi

Pada tahapan struktur hutan kota juga dilakukan penilaian kualitas fisik pohon (kondisi pohon) yang dilakukan dengan skoring/nilai dan deskriptif. Pengamatan ini dibatasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kelas IV SD Sekarsuli, diketahui bahwa dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif tipe crossword puzzle dalam