• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.………..…….... v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ……… vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... viii

KATA PENGANTAR ……….…... ix

DAFTAR ISI ………... xi

DAFTAR TABEL ………... xv

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ………... 7

C. Tujuan Penelitian ……… 7

D. Manfaat Penelitian ……….. 7

1. Manfaat Teoritis……….. 7

2. Manfaat Praktis………... 8

BAB II. LANDASAN TEORI ……….9

A. Lansia ……….. 9

(12)

xii

2. Masa Dewasa Akhir ……… 10

3. Preferensi Tempat Tinggal Lansia di Indonesia ……….. 12

B. Integritas Ego ……… 14

1. Definisi Integritas Ego ……….… 14

2. Proses Integrasi Ego ...……….. 16

3. Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson ……..………. 17

a. Basic Trust vs. Basic Mistrust (Percaya vs. Tidak Percaya)……….. 17

b. Autonomy vs. Shame and Doubt ( Autonomi vs. Malu – Malu dan Ragu) ……….. 18

c. Initiative vs Guilty (Inisiatif vs. Rasa Bersalah) ……….18

d. Industry vs. Inferiority (Produktif vs. Inferioritas)………….19

e. Identity vs Role Confusion (Indentitas vs. Kebingungan Identitas)……….20

f. Intimacy vs. Isolation (Keintiman vs. Keterkucilan)………. 20

g. Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Kemandegan)……….21

h. Ego Integrity vs. Despair (Integritas Ego vs. Keputusasaan)………21

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Integritas Ego ...22

a. Spiritualitas ... 22

b. Interaksi sosial ... 26

(13)

xiii 1. Integratif……….28 2. Instrumental………29 3. Transmissive ……….……… 29 4. Naratif………30 5. Escapist………..30 6. Obsessive………30

C. Psikologi Narasi dalam Studi Integritas Ego ... 31

D. Pertanyaan Penelitian ...………... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ………. 37

A. Jenis Penelitian ……….. 37

B. Fokus Penelitian ……… 38

C. Partisipan ………... 38

1. Usia Subjek………... 39

2. Jenis Kelamin Subjek……….40

3. Kondisi Kesehatan……….40

D. Metode Pengumpulan Data ………...… 41

E. Proses Pengumpulan Data ……….…… 44

F. Kepatuhan Terhadap Kode Etik Untuk Menjaga Kesejahteraan Psikologis Subjek Penelitian ………. 47

G. Metode Analisis Data ……… 47

H. Keabsahan Penelitian ……… 49

1. Kredibilitas (Taraf Kepercayaan)……….……… 49

(14)

xiv

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...50

A. Latar Penelitian ...50

B. Analisis Struktur dan Narrative Tone ... 54

1. Subjek 1 (Rd) ... 54 a. Profil ...54 b. Riwayat hidup ...55 c. Struktur naratif ...58 d. Narrative tone ...64 2. Subjek 2 (Sn) ...65 a. Profil ...65 b. Riwayat hidup ...66 c. Struktur naratif ...69 d. Narrative tone ...73 C. Imagery ...74 1. Subjek 1 (Rd) ...74 2. Subjek 2 (Sn) ...75

D. Analisis Tahap Perkembangan Sebelumnya ...76

1. Subjek 1 (Rd) ...76

2. Subjek 2 (Sn) ...78

(15)

xv

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN

SARAN ... 83 A. Kesimpulan ... 83 B. Keterbatasan Penelitian ... 85 C. Saran ………...… 85 DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN ... 91

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 42

Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara ... 46

Tabel 3. Analisis Tahap Perkembangan Subjek 1 (Rd) ... 76

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Penuaan yang sukses (successful aging) merupakan suatu isu yang mulai banyak diminati oleh para peneliti (James & Zarret, 2005). Mulai tumbuhnya minat peneliti di area tersebut ditenggarai oleh peningkatan populasi lanjut usia (lansia) di dunia dan di Indonesia sendiri, serta munculnya dampak buruk akibat peningkatan populasi tersebut.

Beberapa data menunjukkan peningkatan jumlah lanjut usia dimasa kini maupun prediksi masa mendatang. Menurut data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Burean of The Census USA tahun 1993, dilaporkan bahwa Indonesia pada tahun antara 1990 sampai 2025 akan mengalami kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414%, suatu angka paling tinggi diseluruh dunia. Sebagai perbandingan, Kenya 347%, Brasil 255%, India 242%, China 220%, Jepang 129%, Jerman 66%, Swedia 33%,. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masa populasi muda tahun 1971 menjadi populasi lebih tua pada tahun 2020 (Darmojo dan Martono, 1998).

Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D (dalam The Indonesia Healthy) juga menegaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah populasi lansia di Indonesia dan puncaknya akan menjadi 2,1 Milyar (The Indonesia Healthy)

(18)

Lonjakan populasi tersebut sayangnya membawa berbagai macam permasalahan terkait dengan lanjut usia. Bertambah banyaknya lansia ternyata tidak menjamin peningkatan kualitas hidup lansia. Hal ini justru mengakibatkan banyaknya lansia yang menjadi terlantar. Sebuah artikel berita mengambil tajuk utama berjudul, “2,8 juta lansia di Indonesia terlantar” (Rafkha, 30 Mei 2012 dalam Aktual.com). Artikel tersebut juga memuat berbagai fakta memprihatinkan mengenai banyaknya lansia yang depresi dan terancam kesejahteraan psikologisnya akibat terlantar.

Berbagai masalah mengenai lansia tersebut membuat pemerintah dan beberapa lembaga mencoba mengambil langkah untuk mengatasinya. Seperti membuat Peraturan Perundang - Undangan (PP) No. 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia. Upaya tersebut mencakup pelayanan keagamaan, mental, spiritual, pelayanan kesehatan dan pelayanan umum, serta kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum bagi lansia (dalam The Indonesia Healthy). Peringatan hari kesehatan dunia tanggal 7 April 2012, WHO mengambil topik mengenai Ageing and Health. Adapun tema yang diangkat adalah Good Health Adds Life to Years yang berarti Kesehatan yang Baik Memperpanjang Usia dan Kehidupan.

Lonjakan penduduk usia lanjut tersebut juga mengakibatkan jumlah lansia yang tinggal di panti wreda juga mengalami peningkatan. Di Indonesia sendiri, lansia yang tinggal di panti wreda masih dikaitkan dengan pandangan masyarakat yang kurang baik yaitu lansia yang diterlantarkan oleh

(19)

keluarganya. Orang yang masuk ke panti wreda biasanya dari keluarga miskin atau kiriman dari dinas sosial (Adi, 1984). Oleh karena itu lansia di Yogyakarta lebih memilih tinggal di rumah anak – anaknya yang sudah dewasa (Haditono, 1991). Budaya masyarakat Indonesia yang masih mengenal nilai – nilai kekeluargaan yang kental dimungkinkan dapat menjadi masalah tersebdiri bagi para lansia yang tinggal di panti wreda.

Terkait dengan permasalahan – permasalahan di atas, maka peneliti ingin mengangkat sebuah topik mengenai penuaan yang sukses. Pada penelitian ini, pengertian dari penuaan yang sukses tersebut menggunakan kerangka teori penuaan sukses dari Erikson (1963) yaitu Integritas Ego (Ego Integrity). Penuaan yang sukses selalu dikaitkan dengan tingkat kepuasan hidup (life satisfaction), tingkat kecemasan terhadap kematian yang rendah, kondisi fisik yang sehat, dan pemaknaan yang positif terhadap keseluruhan kehidupan. Hal tersebut tercermin dengan munculnya kebijaksanaan (wisdom). Tahapan – tahapan tersebut dirangkum oleh Erik Erikson (dalam Feist and Feist, 2008) sebagai Integritas ego yang merupakan syarat utama dari penuaan yang sukses (successful aging) pada lanjut usia.

Integritas ego adalah perasaan menjadi bagian dari tata aturan yang ada di alam semesta ini, perasaan cinta pada sesama manusia dan dengan begitu ikut menimbulkan keteraturan dunia dan lingkungannya (Erikson, dalam Sneed dan Culang, 2006). Integritas ego juga berarti menerima keadaan dirinya sendiri dan lingkungannya. Mensyukuri hidup dengan bijak dan

(20)

mencintai orang-orang yang ikut menopang kehadirannya di dunia. Individu memiliki integritas ego karena mampu beradaptasi kepada kesulitan-kesulitan dan penderitaan hidupnya, seperti halnya menang dari situasi-situasi buruk dan penderitaan yang menimpa hidupnya.

Masalah – masalah mengenai lonjakan populasi lansia memaparkan sebuah fakta bahwa lansia terlantar dan depresi tidak mencapai integritas ego sebagai kunci penuaan yang sukses. Hal ini dikarenakan lansia masa kini memiliki lebih banyak tantangan untuk mencapai integritas ego. Tantangan paling besar bagi para lansia untuk mencapai integritas ego ada pada kemampuan untuk menyesuaikan diri (adjustment) terhadap perubahan – perubahan yang terjadi pada kehidupan (Feist dan Feist, 2008). Perubahan tersebut misalnya pada masa pensiun. Lansia berubah dari masa produktif menjadi lebih tidak produktif. Selain itu penurunan fungsi fisik pada lansia juga menyebabkan lansia perlu merubah perilaku dan kehidupannya. Contoh lain pada perubahan yang dialami oleh lansia adalah pindah ke panti wreda. Semua perubahan – perubahan tersebut menuntut lansia untuk melakukan adaptasi untuk menghadapai situasi hidup yang berbeda.

Pada penelitian ini, peneliti menyoroti tantangan lanjut usia dalam menyesuaikan diri ketika pindah ke panti wreda. Hal ini dikarenakan tinggal di lingkungan baru seperti panti wreda membutuhkan penyesuaian diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan lanjut usia yang tinggal di rumah sendiri atau bersama keluarga (Tisher dan Dean, 2000). Geopsikiatris

(21)

mengidentifikasikan salah satu masalah terbesar pada lanjut usia, khususnya yang tinggal di panti wreda (nursing homes) bahwa lansia yang tinggal di panti wreda memiliki penyesuaian diri (adjustment) yang buruk dalam menghadapi situasi hidup mereka (Cook, 1991). Tanda – tanda buruknya adaptasi diri (adjustment) tersebut ditunjukkan dengan rendahnya harga diri atau konsep diri subjek yang cenderung negatif, moralitas yang rendah, tingkat kepuasan hidup yang rendah, dan di beberapa kasus ditunjukkan adanya depresi (Cook, 1991).

Hasil penelitian Emily A. Cook (1991) tersebut menunjukkan bahwa lanjut usia yang bertempat tinggal di panti wreda membutuhkan penyesuaian diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan lanjut usia yang tinggal bersama pasangannya atau keluarganya di rumah mereka masing – masing. Di samping itu diketahui pula apabila lanjut usia yang tinggal di panti wreda ternyata memiliki kapasitas yang buruk atau cenderung buruk dalam penyesuaian diri (adjustment) terhadap situasi hidup mereka.

Jacquelyn Boone James dan Nicole Zarrett (2005) menyatakan bahwa Integritas Ego (Ego Integrity) juga ditandai oleh adanya tingkat kepuasan terhadap pernikahan yang lebih tinggi dalam kehidupan seorang ibu, baik pada masa lalu maupun sekarang ini. Hal ini melibatkan pula perannya sebagai ibu yaitu membina hubungan yang lebih baik dengan anak – anak mereka yang sudah dewasa, adanya keinginan baik untuk memberi ataupun menerima bantuan, dan dalam beberapa dimensi dari psychological well-being. Melihat

(22)

dari hasil penelitian diatas, maka semakin jelas bahwa tantangan lanjut usia yang tinggal di panti wreda dan yang tidak menikah jauh lebih besar untuk mencapai integritas ego.

Lanjut usia yang tinggal di Panti Wreda mungkin saja memiliki cara yang berbeda dari lanjut usia pada umumnya untuk mengintegrasikan ego agar mampu mencapai penuaan yang sukses. Apabila melihat pandangan Erikson (1963), setiap individu memiliki potensi untuk sukses dalam melewati tahap – tahap perkembangan mereka. Hal ini mungkin saja masih memberikan kesempatan bahwa meskipun lanjut usia yang tinggal di panti wreda memiliki tantangan yang lebih besar dalam mencapai tahap integritas ego (terutama lanjut usia perempuan yang tidak menikah), namun masih ada kemungkinan bahwa lanjut usia tersebut dapat mencapai tahapan integritas ego yang sukses sebagai kunci dari penuaan yang sukses.

Peneliti melakukan penelitian tentang integritas ego pada lansia yang tidak menikah di Panti Wreda dengan menggunakan studi naratif. Cook (1991) menyarankan bahwa studi terbaik untuk melakukan penelusuran integritas ego adalah dengan menggunakan studi longitudinal yang dapat mengumpulkan data di sepanjang rentang kehidupan subjek. Pada studi naratif, life review dapat memberikan data dan gambaran mengenai integritas ego subjek melalui struktur, narrative tone, dan imagery subjek.

(23)

Psikologi Naratif merupakan salah satu dari banyak ranah penelitian baru yang memperluas kajian naratological tentang bagaimana cerita – cerita dapat membentuk dan memberi gambaran dari integrasi ego seseorang.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Bagaimana gambaran integrasi ego pada lanjut usia wanita yang tidak menikah di Panti Wreda?

b. Apakah hasil dari proses tahap perkembangan sebelumnya mempengaruhi integrasi ego?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran serta mengeksplorasi intergrasi ego pada lanjut usia yang tidak menikah yang tinggal di Panti Wreda.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini lebih berorientasi untuk memberikan sumbangan secara teoritis. Terutama dalam memberikan sumber literatur baru mengenai

(24)

tahap perkembangan lansia yang selama ini jarang diteliti oleh peneliti di Indonesia.

b. Penelitian ini mengeksplor tahap perkembangan integritas ego dari teori Erikson pada lansia. Hal ini dikarenakan masih jarangnya penelitian terkait dengan integritas ego di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat membantu psikolog dalam melakukan pendekatan kepada lansia khususnya di Panti Wreda.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan evaluasi dan informasi baru mengenai integritas ego sebagai ciri dari penuaan yang sukses.

(25)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. LANSIA

1. Pengertian Lansia

Lansia atau yang biasanya dikenal sebagai lanjut usia atau manula merupakan sebuah sebutan bagi manusia yang berada pada tingkat umur atau perkembangan tertentu. Dalam siklus hidup manusia, lanjut usia berada di tahap perkembangan terakhir dalam periode kehidupan manusia. Apabila dikelompokkan dalam kelompok umur, lansia adalah seseorang yang telah berumur 65 tahun (Erikson, 1982). Seseorang juga dikatakan lanjut usia jika berada pada tingkat akhir masa dewasanya yaitu usia 65 tahun sampai kematian (Erikson dalam Barbara, 2000).

Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada lansia akan terjadi suatu proses yang disebut proses menua (aging process). Proses menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.

(26)

2. Masa Dewasa Akhir

Fokus dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di panti wreda dimana semua anggotanya adalah wanita, maka peneliti akan membahas mengenai hal-hal yang umum terjadi dalam masa dewasa akhir pada lansia wanita. Masa dewasa akhir pada lanjut usia wanita ditandai oleh adanya Menopause atau yang biasa disebut juga dengan periode Klimaktorium. Fenomena ini ditandai oleh berhentinya menstruasi. Perubahan ini terjadi akbibat dampak internal yaitu penurunan fungsi hormon dan kelenjar tubuh dan mengakibatkan penurunan fungsi reproduksi, fisik, dan psikis. Kemunduran itu bersifat progresif dan total dan tidak dapat dihindari.

Pada masa ini, umumnya mulai muncul kondisi fisik yang bersifat patologis ganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum, kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia banyak mengalami penurunan fungsi organ. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan selalu bergantung kepada orang lain. Agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial (Subijanto dkk, 2011).

Selain itu, lansia pada masa dewasa akhir akan mengalami perubahan pada aspek psikososial, yaitu penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.

(27)

Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.

Selain perubahan dalam kondisi biologis, beberapa perubahan lain juga terjadi dalam masa dewasa akhir. Salah satu perubahan besar yang terjadi dalam masa dewasa akhir adalah pensiun atau berhenti dari pekerjaan dan kegiatan yang biasanya dilakukan. Banyak hal yang menyebabkan lansia harus mengalami pensiun, beberapa contohnya adalah menurunnya kondisi fisik, adanya batasan usia kerja di perusahaan-perusahaan, dan sebagainya. Lansia yang terbiasa bekerja semasa mudanya harus beradaptasi untuk memasuki masa pensiun. Proses adaptasi sendiri sangat diperlukan ketika memasuki masa dewasa akhir. Cleverand (2003) berpendapat bahwa adaptasi yang baik dalam hidup dan kepada semua tantangan hidup akan menimbulkan kebijaksanaan. Lansia yang tidak sanggup beradaptasi terhadap perubahan-perubahan akan merasa depresi dan tidak puas dengan kondisinya.

Pada tahap masa dewasa akhir, lansia cenderung akan melihat dan merefleksikan kembali keseluruhan hidup dan

(28)

pengalaman-pengalamannya. Apabila lansia merasa puas terhadap keseluruhan hidupnya, maka dapat dikatakan lansia mengalami integritas terhadap kehidupannya di masa muda dan di masa dewasa akhir. Sebaliknya jika lansia merasa tidak puas terhadap keseluruhan hidupnya, lansia cenderung menjadi depresi dan tidak puas terhadap kondisinya di masa dewasa akhir. Masa dewasa akhir dapat juga disebut sebagai fase akhir kehidupan, maka di masa ini lansia seringkali memikirkan tentang akhir dari kehidupannya. Apabila seseorang memikirkan tentang kematian, kebanyakan orang cenderung dipengaruhi oleh nilai spiritualitas atau religiusitasnya.

3. Preferensi Tempat Tinggal Lansia di Indonesia

Di Indonesia, para lansia biasa tinggal di rumah mereka sendiri atau tinggal bersama dengan anak-anaknya. Pada umumnya, anak masih bertanggung jawab untuk merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia sebagai ungkapan berbakti pada orang tua mereka. Selain itu, para lansia biasanya masih dekat dan terkadang turut serta merawat cucu-cucunya dan tinggal dekat dengan anak-anaknya.

Tinggal di Panti Wreda bukan merupakan hal yang umum bagi masyarakat Indonesia. Tidak jarang, lanjut usia yang tinggal di Panti Wreda terkadang ditafsirkan negatif oleh masyarakat. Mereka yang tinggal di Panti Wreda dianggap bahwa keluarganya sudah tidak mau mengurusinya atau merawatnya lagi. Begitu pula membuka kemungkinana

(29)

bahwa para lanjut usia yang dikirim keluarganya untuk tinggal di Panti Wreda akan merasa terbuang atau sudah tidak diinginkan. Namun, tidak jarang juga bahwa ada lanjut usia yang ingin tinggal di Panti Wreda atas kemauannya sendiri. Pandangan masyarakat terhadap lanjut usia di Panti Wreda masih berupa stereotype – stereotype yang sulit diubah.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya keragaman kehidupan lanjut usia di Indonesia. Ada yang bahagia dan memilih untuk hidup di Panti Wreda, ada yang lebih suka mandiri atau tinggal di rumah sendiri, dan ada pula yang masih menghendaki tinggal bersama anak mereka. Menurut penelitian Adi (1984), orang yang masuk ke Panti Wreda biasanya dari keluarga miskin dan biasanya atas permintaannya sendiri atau kiriman dari Dinas Sosial. Haditono (1991) melaporkan bahwa lanjut usia di Jogjakarta, Manado, Padang, dan Surabaya mempunyai preferensi tempat tinggal yang berbeda. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi untuk tinggal bersama anak masih menonjol. Preferensi hidup mandiri di sebuah pemukiman khusus didesain untuk manusia lanjut usia mulai diminati. Bahkan orang Manado lebih suka menempati pemukiman khusus tersebut dibandingkan dengan manusia lanjut usia di Padang, Jogjakarta, maupun di Surabaya. Sedangkan lanjut usia di Jogjakarta lebih suka tinggal di rumah sendiri atau bersama dengan anak mereka.

(30)

B. INTEGRITAS EGO 1. Definisi Integritas Ego

Teori Erikson (1982) merupakan salah satu dari beberapa teori kepribadian untuk memeriksa penuaan sebagai tahap perkembangan. Menurut teori Erikson, perkembangan kepribadian berjalan melalui serangkaian delapan tahapan hierarkis. Terkait dengan setiap tahap psikososial, bahwa lansia di Panti Wreda, baik yang berhasil atau gagal memutuskan untuk menyelesaikan. Kegagalan menghasilkan krisis perkembangan kepribadian yang tidak lengkap dan menghambat pengembangan kepribadian lebih lanjut.

Krisis diwakili oleh tahap kehidupan terakhirnya adalah integritas versus putus asa. Erikson (1982) mengusulkan bahwa tahap ini dimulai ketika individu mengalami rasa kematian. Hal ini mungkin sebagai tanggapan terhadap pensiun, kematian pasangan atau teman dekat, atau hanya bisa dihasilkan dari perubahan peran sosial. Tidak peduli apa penyebabnya, rasa kematian merupakan endapan krisis pada kehidupan akhir. Krisis kehidupan akhir memanifestasikan dirinya sebagai penelaahan terhadap kehidupan karir individu. Menurut Butler (1963), individu melihat kehidupan karir mereka untuk menentukan apakah sukses atau gagal. Menurut Erikson (1982), hal ini merupakan kenang-kenangan atau introspeksi yang paling produktif ketika mengalami dengan orang lain. Hasil dari kenangan hidup ini dapat bersifat positif atau negatif.

(31)

Menurut Erikson (1982), integritas ego adalah hasil dari resolusi positif pada kehidupan akhir. Integritas ego dipandang sebagai kunci untuk perkembangan kepribadian yang harmonis dan individu memandang seluruh hidup mereka dengan kepuasan. Kualitas ego yang muncul dari resolusi positif adalah kebijaksanaan. Sebaliknya, putus asa adalah hasil dari resolusi negatif atau kurangnya resolusi pada kehidupan akhir. Resolusi negatif ini memanifestasikan dirinya sebagai ketakutan akan kematian, perasaan bahwa hidup ini terlalu singkat, dan depresi. Keputusasaan adalah elemen dystonic terakhir dalam teori Erikson (1982).

Erikson (dalam Ryff, 1982) mengidentifikasikan beberapa aspek dalam integritas, yaitu: integritas emosional, penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi, bersahabat dengan masa lalu, mampu menyesuaikan diri pada pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun mengecewakan, mencintai kehidupan dan orang lain, dan yang terakhir mencapai spiritualitas dalam rangka menghapuskan ketakutan akan kematian. Selain itu, aspek penting yang terdapat dalam integritas adalah moralitas yang baik.

(32)

2. Proses Integrasi Ego

Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat proses integrasi ego subjek. Integritas ego merupakan sebuah keutuhan dari self (Seldon & Kasser, 2001). Maka integrasi ego itu sendiri juga meliputi bagaimana seseorang menyatukan kembali pengalaman masa lalu, masa sekarang, dan pandangannya terhadap masa depan.

Pada penelitian ini, proses integrasi ego subjek dilihat melalui penelusuran keberhasilan ataupun krisis pada tahap – tahapan perkembangan sebelumnya. Hal tersebut didasarkan oleh asumsi Erikson (1963) bahwa Integrasi Ego merupakan buah dari tahap perkembangan sebelumnya. Dimana keberhasilan pada suatu tahapan perkembangan mempengaruhi keberhasilan dalam melalui tahapan perkembangan sebelumnya.

Logan (1986) menyatakan bahwa 8 teori perkembangan Erikson dapat dilihat sebagai sebuah siklus yang terulang dua kali, yang pertama dari tahap basic trust vs mistrust hingga identity vs role confusion, yang kedua dari tahap identity vs role confusion hingga tahap ego integrity vs despair. Siklus kedua merupakan siklus yang paling menentukan integritas ego seseorang, karena integritas ego merupakan buah dari tahap identity vs role confusion, intimacy vs isolation, dan generativity vs stagnation. Maka dengan berdasarkan asumsi tersebut, peneliti akan melihat proses integrasi ego subjek dengan melakukan peninjauan yang lebih luas dari tahap sebelumnya, yaitu dari tahap identity vs role confusion.

(33)

3. Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson

Menurut Keene (2006), delapan Tahapan Perkembangan yang diciptakan oleh Erik Erikson telah banyak digunakan dan diterima secara universal dalam menggambarkan tugas-tugas perkembangan yang terlibat dalam pengembangan sosial dan emosional mulai dari anak-anak sampai menjadi dewasa. Jika diibaratkan, teori psikososial Erikson ini seperti suatu lintasan peluru (Sneed dan Whitbourne, 2003). Sehingga, setiap individu pasti melaluinya. Keberhasihan dalam melalui tugas-tugas disuatu tahap perkembangan ini mempengaruhi tahapan selanjutnya. Tahapan ini berlaku secara universal, artinya tahap perkembangan dan krisis-krisis yang akan dihadapi pada tahapan perkembangan tersebut akan dilalui oleh semua orang di seluruh dunia. Tahap perkembangan Erikson ini akan dilalui oleh semua orang di berbagai variasi kelompok (James and Zarrett, 2005).

Teori ini akan dipakai sebagai konsep kunci untuk menganalisis data, setiap tahap perkembangan akan dijabarkan untuk menganalisis proses terbentuknya integritas pada seseorang sebagai berikut (Feist and Feist, 2008):

a. Basic Trust vs. Basic Mistrust (Percaya vs. Tidak Percaya)

Tahapan ini berlangsung pada awal kehidupan manusia, yaitu pada bayi sejak lahir hingga kira-kira berusia satu tahun. Pada tahapan ini anak sangat bergantung pada pengasuhnya sebagai sumber kehidupannya. Anak membutuhkan pengasuhnya untuk memberikan

(34)

rasa aman, kenyamanan, kehangatan, dan yang memberikan makanan ketika dia merasa lapar. Resolusi yang sukses akan membuat anak mengembangkan kemampuan untuk mempercayai dan mengembangkan harapan. Akan tetapi, resolusi yang gaga akan membuat anak memiliki perasaan tidak aman dan selalu merasa curiga pada lingkungannya, merasa bahwa dunia tidak dapat dipercaya (Friedman dan Schustack, 2006:157).

b. Autonomy vs. Shame and Doubt ( Autonomi vs. Malu – Malu dan Ragu)

Tahapan ini berkembang pada usia 1 hingga 3 tahun. Dalam tahap perkembangan ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya, terutama dalam mengontrol otot-ototnya. Peran orang tua yaitu mengajarkan pada anak untuk mengontrol impuls – impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Resolusi yang sukses dalam tahap ini akan mengembangkan keinginan yang kuat dan rasa bangga pada diri anak, serta anak dapat mengetahui perbedaan antara benar dan salah, dan cenderung akan memilih yang menurutnya benar (Friedman dan Schustack, 2006). Resolusi yang gagal akan membuat anak mengembangkan perasaan selalu bersalah sehingga anak akan merasa ragu untuk bertindak dan cenderung pemalu.

c. Initiative vs Guilty (Inisiatif vs. Rasa Bersalah)

Tahapan ini berkembang pada usia 4 – 5 tahun. Usia 4-5 tahun adalah fase pengasuhan dengan memberikan dorongan kepada anak

(35)

untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya, sehingga anak akan memiliki inisiatif atau sebaliknya jika anak tidak mendapatkan pengasuhan maka akan menjadi pasif dan perkembangannya mengalami keterlambatan. Tugas orang tua dan pendidik dalam hal ini adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan perkembangan berjalan sesuai usianya (Herlina dkk, 2010). Resolusi yang berhasil akan membuat anak mengembangkan rasa inisiatifnya sehingga memiliki inisiatif untuk mengamil keputusan serta memiliki maksud dan tujuan dalam tindakannya. Resolusi yang gagal akan membuat anak memiliki rasa percaya diri yang rendah, tidak memiliki inisiatif untuk mengambil keputusan, dan tidak memiliki maksud dan tujuan (Friedman dan Schustack, 2006).

d. Industry vs. Inferiority (Produktif vs. Inferioritas)

Tahapan ini berkembang pada usia 6 – 11 tahun. Konsep pada tahap ini serupa dengan konsep tahap laten Freud. Pada masa ini, anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas-tugasnya, terutama tugas akademis. Seorang anak memiliki kepercayaan diri yang bertambah terhadap kemampuannya sendiri untuk menjadi partisipan yang produktif didalam lingkungan sosialnya. Resolusi yang berhasil membuat anak menjadi tekun, rajin, serta memiliki kompetensi atau kecakapan sehingga anak merasa mampu dan menguasai untuk melakukan

(36)

sesuatu. Resolusi yang gagal membuat anak memiliki perasaan inferior dan merasa tidak mampu.

e. Identity vs Role Confusion (Indentitas vs. Kebingungan Identitas) Tahapan ini berada pada kisaran usia 12 – 20 tahun. Erikson melihat tahapan ini sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dan paling berpengaruh karena remaja mulai bereksperimen dengan berbagai macam peran yang berbeda, sambil mencoba mengintegrasikan dengan identitas yang dia dapatkan dari tahapan-tahapan perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Resolusi yang berhasil akan membuat remaja memiliki dan mengetahui identitas dan peran dalam kehidupannya serta mampu menyatukan peran-peran yang dimiliki menjadi identitas tunggal dirinya. Resolusi yang gagal akan membuat remaja mengalami krisis identitas yang menyebabkan remaja tidak yakin dan tidak memiliki gambaran yang jelas dalam kehidupan, kemampuan, dan keinginan dalam hidupnya.

f. Intimacy vs. Isolation (Keintiman vs. Keterkucilan)

Tahapan ini berlangsung pada usia 20 – 24 tahun. Pada tahapan ini seseorang memiliki keinginan untuk memiliki relasi percintaan dengan orang lain dan memiliki komitmen dasar dalam bekerjasama dan kemudian mampu konsisten dengan komitmennya.

(37)

Orang dewasa awal mulai membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain dan membiarkan orang lain mengenal dirinya dalam cara yang intim. Resolusi yang sukses akan membuat individu dapat menjalin relasi dengan orang lain serta membentuk ikatan sosial. Resolusi yang gagal akan membuat individu cenderung menarik diri dari pergaulan, menghindari hubungan yang dekat, dan mengembangkan perasaan terkucilkan (Herngenhahn, 1990).

g. Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Kemandegan)

Tahap ini berkembang pada usia dewasa yaitu pada kisaran usia 25 – 64 tahun. Individu mulai memiliki intensi untuk membagikan diri kepada orang lain. Resolusi yang berhasil akan membuat individu mengembangkan generatifitas, sehingga dia akan memiliki perhatian yang lebih besar atau perhatian yang lebih luas yang diwarnai oleh cinta, kebutuhan, atau kebetulan (Erikson, 1964). Resolusi yang gagal menyebabkan individu memiliki perasaan bahwa hidup ini tidak berharga, tidak berguna, atau membosankan. Individu seperti ini mungkin berhasil memperoleh tujuan-tujuan duniawi, tetapi dibalik kesuksesan itu hidupnya terasa tidak berarti dan gagal.

h. Ego Integrity vs. Despair (Integritas Ego vs. Keputusasaan)

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan hidup manusia dan merupakan fokus dari penelitian ini. Tahap ini berkembang pada masa dewasa akhir yaitu pada kisaran usia 65 – kematian. Pada tahap ini, individu melihat dan merefleksikan kembali

(38)

keseluruhan hidupnya. Resolusi yang berhasil menyebabkan individu memiliki Integritas Ego sehingga mereka mampu beradaptasi kepada kesulitan-kesulitan dan penderitaan hidupnya seperti halnya menang dari situasi-situasi buruk dan penderitaan yang menimpa hidupnya. Sedangkan resolusi yang gagal akan menyebabkan individu memiliki rasa putus asa dan kecewa pada kehidupan dan masa lalunya.

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi Integritas Ego a. Spiritualitas

Nilai-nilai religius yang diinternalisiasi oleh lansia di Panti Wreda menjadi sangat penting terutama dalam mempengaruhi pencapaian integritas ego seseorang. Hubungan dengan komunitas lansia di Panti Wreda, kekuatan diri, dan hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari diri adalah nilai-nilai yang paling umum yang dikenalkan dalam tradisi spiritualitas. Pencarian makna hidup pada lansia di Panti Wreda adalah hal yang paling penting yang diajarkan agama yang relevan dengan kesehatan. Frankl (1959) dan Bown dan Williams (1993) menyatakan bahwa pencarian makna itu sendiri merupakan bentuk dari identitas dan merupakan sumber kekuatan dibalik intelektualitas dan emosi. Selain itu, keyakinan lansia di Panti Wreda terhadap suatu agama dapat mempengaruhi cara pandang dan sikap seseorang.

(39)

Worthington at all. (1996) memberikan tujuh penjelasan penting mengenai mengapa kematangan spiritualitas membuat seseorang memiliki pribadi yang lebih matang dan terkait dengan psychological well-being dan dapat menjadi akses bagi lanjut usia untuk mencapai penuaan yang sukses. Tujuh alasan tersebut adalah: 1. Spiritualitas menyediakan serangkaian jawaban bahwa tidak hanya

kehidupan yang berharga, namun kematian juga sesuatu yang berharga.

2. Spiritualitas menstimulasi perasaan optimis dan memunculkan harapan hidup yang positif di segala situasi sulit maupun menakutkan.

3. Pada situasi dimana seseorang kehilangan kontrol diri pada suatu lingkungan, koneksi spiritual menyediakan perasaan pentingnya akan kontrol untuk mengatasi hal-hal keduniawian.

4. Jalan spiritual menyarankan gaya hidup yang meningkatkan kesehatan mental dan fisik yang lebih baik. Misalnya, tidak minum minuman keras, tidak makan terlalu banyak, menahan diri dari amarah, mensyukuri hidup, menyayangi sesama dan makhluk hidup, dan lain-lain.

5. Kebijaksanaan spiritualitas memberikan norma-norma sosial yang positif dimana hal tersebut dapat meningkatkan penerimaan, dukungan, dan nurturance satu sama lain.

(40)

6. Komunitas spiritual memberikan dukungan ketika seseorang membutuhkan bantuan dan mempertanyakan sesuatu.

7. Kematangan spiritualitas menjadi akar dari kepercayaan yang paling dalam atau penting diantara nilai-nilai yang lainnya.

Spritualitas di atas bahwa dapat mendorong lansia di Panti Wreda memberikan makna yang positif dalam hidup. Artinya, tidak hanya pada pengalaman yang menyenangkan saja, namun termasuk juga pengalaman-pengalaman menyedihkan ataupun menyakitkan dalam keseluruhan hidup seseorang. Untuk itu, peran nilai-nilai spiritualitas lansia di Panti Wreda juga penting untuk dilihat untuk menjelaskan proses integrasi ego pada lansia. Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa lansia yang mencapai integritas ego cenderung memiliki pemaknaan yang positif pada serangkaian kisah kehidupannya.

Spiritualitas dibuktikan memiliki peranan yang penting dan korelasi yang kuat dalam psychological well-being lansia. Aldert dan Koenig (2007), menyatakan melalui hasil temuannya bahwa lansia yang memiliki orientasi religious dari dalam dirinya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dari pada lansia yang tidak memiliki orientasi religious. Penelitian Aldert dan Koenig (2007) juga menunjukan bahwa kematangan spiritualitas membuat lansia lebih

(41)

sehat secara psikologis. Hal ini dijelaskan karena spiritualitas membuat seseorang memiliki orientasi dan tujuan hidup yang lebih optimis.

Agama yang yang dianut seseorang memiliki potensi yang besar untuk memperngaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang, yang memungkinkan untuk mempengaruhi variable psikologis, sosial dan fisik (Aldert & Koenig, 2007). Hal ini juga didukung oleh beberapa riset lain. Seperti pada penelitian Tomer & Eliason (2000) yang menyatakan bahwa ketaatan beragama memiliki korelasi positif terhadap perasaan kebermaknaan akan hidup pada lansia. Kebermaknaan hidup menimbulkan kebahagiaan, kepuasan hidup, psychological well-being, dan pemulihan terhadap kedukaan dan perasaan kehilangan (Edmonds & Hooker, 1992). Sedangkan Wong (2000), menyatakan bahwa ciri khas khusus pada lansia yang mengalami penuaan yang sukses adalah mereka memiliki semangat hidup dan perasaan yang jelas akan kebermaknaan dan tujuan hidup, yang mana meliputi sikap positif terhadap kehidupan maupun kematian.

Integritas ego memiliki memiliki beberapa aspek yang sama yang ada dalam psychological well-being. Pada pembahasan sebelumnya, telah dipaparkan bahwa agama memiliki korelasi secara positif terhadap psychology well-being. Ada beberapa penelitian penting yang ditujukan untuk menguji pengaruh yang bervariasi dari

(42)

kegiatan – kegiatan keagamaan seperti berdoa secara pribadi, pergi ke gereja, dan studi alkitab terkait dengan depresi, kepuasan hidup, kesehatan fisik, dan relasi sosial (Ellison, 1991; Koenig, George, & Titus, 2004). Aktifitas – aktifitas tersebut juga terbukti memiliki pengaruh agar seseorang dapat mencapai psychological well-being.

Meski aktifitas keagaaman memiliki peranan penting, namun perlu dipertimbangkan pula mengenai aktifitas lain yang mungkin saja memiliki pengaruh terhadap integritas ego.

b. Interaksi Sosial

Banyak studi yang menunjukkan bahwa dukungan sosial (sosial support) sangat berperan pada kesehatan mental. Pada kehidupan lansia sendiri, dukungan sosial dapat membantu lansia mengatasi berbagai stress yang muncul pada masa dewasa akhir seperti kematian pasangan hidup, stress pasca pensiun, penyakit berat, dll. Lansia yang mendapat dukungan sosial mampu memiliki harapan hidup yang lebih tinggi, lebih bahagia, dan mengurangi depresi (Shinn, Lehmann, dan Wong, 1984). Kedua hal tersebut merupakan beberapa indikator dari penuaan yang sukses.

Syarat untuk mendapatakan dukungan sosial adalah melakukan interaksi sosial. Akan tetapi, interaksi sosial yang tidak tepat bisa memiliki dampak negatif psychological well-being (Shinn, Lehmann, dan Wong, 1984). Alih – alih untuk mengatasi stress, terkadang

(43)

interaksi sosial dengan teman yang bertujuan untuk mencari dukungan sosial kadang dapat menciptakan jaringan stress (network stress). Seseorang terkadang akan merasa seperti mengalami penderitaan yang sama jika melihat temannya menderita (Eckenrode dan Gore, 1981).

Tidak semua interaksi sosial ternyata mendatangkan dukungan sosial yang bermanfaat terhadap psychological well-being. Shinn, Lehmann, dan Wong (1984) menyarankan bahwa interaksi sosial yang membantu orang untuk mencapai psychological well-being adalah interaksi sosial yang mendatangkan dukungan sosial. Orang harus merasa aman, diterima, didukung, dan didengarkan. Selain itu penting juga untuk menjadi penyedia dukungan sosial bagi orang lain. Artinya selain mencari dukungan sosial, juga perlu untuk menjadi pribadi yang hangat, suportif, dan empatik kepada teman yang membutuhkan support (Eckenrode dan Gore, 1981).

c. Kenangan (Reminiscence)

Banyak studi di barat tengah menyelidiki kenangan

(reminiscence) sebagai salah satu terapi maupun suatu tanda pada penuaan yang sukses. Jenis – jenis kenangan akan masa lalupun beragam. Beberapa diantaranya terbukti terasosiasi dengan penuaan sukses yang juga masih melingkupi integritas ego.

Paul T.P Wong dan Lisa M. Watt (1991), mengklasifikasikan kenangan (reminiscence) ke dalam 6 tipe, yaitu:

(44)

1. Integratif

Fungsi utama dari integrative reminiscence adalah untuk mencapai perasaan berharga (sense of self-worth), berhubungan (coherence), dan Rekonsiliasi dengan menghargai masa lalu seseorang (Wong dan Watt, 1991). Karakteristik dari integrative reminiscence adalah pernyataan yang mengindikasikan penerimaan akan masa lalu sebagai sesuatu yang bermanfaat, mendamaikan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, dan penerimaan akan pengalaman hidup yang negatif dan menyelesaikan konflik pada masa lalu (Butler, 1963).

Teori ini mirip dengan teori Butler (1963) mengenai life review. Butler (1963) mengemukakan bahwa para lansia melihat kembali kedalam masa lalunya sebagai persiapan menghadapi kematian. Pada dasarnya tidak semua lansia yang melihat kembali ke masa lalunya akan terintegrasi. Beberapa akan merasa bersalah, gagal, dan depresi (Butler, 1963). Meskipun demikian, untuk mengatakan bahwa seorang lansia dapat mencapai integritas, tinjauan kembali akan masa lalu (life-review) harus berkontribusi kepada penuaan yang sukses (successful aging). Butler (1963), menyatakan bahwa life review yang mengarah ke penuaan yang sukses adalah life review yang meningkatkan pemahaman diri, pemaknaan personal, harga diri (self esteem), dan kepuasan hidup.

(45)

2. Instrumental

Instrumental reminiscence meningkatkan persepsi subjektif terhadap kompetensi dan kontinuitas (Lieberman dan Tobin, 1983). Karakteristik dari Instrumental reminiscence adalah rekoleksi dari rencana – rencana masa lalu, aktifitas - aktifitas yang memiliki tujuan dan pencapaian tujuan – tujuan yang diharapkan, usaha masa lalu untuk mengatasi kesulitan – keesulitan, dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu untuk menyelesaikan masalah masa kini (Wong dan Watt, 1991). Tipe reminiscence ini melibatkan penggunaan problem-focused coping. Hal ini membuat seorang lansia memiliki perasaan akan kontrol diri yang kuat yang memiliki peranan penting untuk mengatasi distress emosional, meningkatkan tingkat kepuasan hidup, dan kesehatan yang lebih baik.

3. Transmissive

Transmissive reminiscence diindikasikan melalui budaya, nilai – nilai tradisi dan kebijaksanaan, dan pembelajaran – pembelajaran dari masa lalu. Rhudick (dalam Wong dan Watt, 1991), pernah mengobservasi bahwa dengan menceritakan reminiscence memiliki pengaruh positif pada adaptasi karena hal ini akan membuat seseorang berfungsi secara sosial.

(46)

4. Naratif

Kenangan Naratif ini lebih pada dasarnya merupakan rekoleksi deskriptif daripada interpretif (Wong dan Watt, 1991). Kenangan – kenangan ini meliputi kenangan mengenai aoutobiografi, cerita sederhana mengenai masa lalu tanpa evaluasia ataupun interpretasi, dan pernyataan – pernyataan yang tidak termasuk kedalam tipe kenangan lainnya.

5. Escapist

Escapist reminiscence dicirikan dengan adanya tendensi untuk mengagungkan masa lalu dan mencela masa kini (Rhudick dalam Watt dan Wong, 1991). Pernyataan – pernyataan yang sering muncul pada lansia pada tipe reminiscence ini adalah cerita – cerita yang menyombongkan pencapaian – pencapaian masa lalu, membesar – besarkan kegembiraan – kegembiraan pada masa lalu, dan pengungkapan adanya keinginan untuk kembali pada masa lalu yang menyenangkan tersebut. Hal ini membuat lansia akan memiliki tingkat kepuasaan hidup yang rendah, karena cenderung menggerutu akan kondisi saat ini dan membandingkan dengan kondisi masa lalu yang membanggakan.

6. Obssesive

Obsessive reminiscence adalah tipe yang paling memberikan dampak negatif dalam pencapaian penuaan yang sukses. Kenangan yang obsesif pada dasarnya berasal dari perasaan bersalah akan suatu

(47)

masa lalu (Wong dan Watr, 1991). Ini adalah sebuah tanda dari kegagalan untuk mengintegrasikan problematika yang terjadi pada masa lalu. Tanda – tanda dari kenangan obsessive adalah munculnya pernyataan mengenai penyesalan, perasaan bersalah, kebencian, dan keputus-asaan (despair) akan masa lalu.

Meskipun terdapat beberapa jenis kenangan (reminiscence), namun hanya beberapa saja yang terbukti terasosiasi dengan penuaan yang sukses (successful aging). Studi yang dilakukan oleh Wong dan Watt (1991), melaporkan hasil bahwa dari sekian tipe taksonomi dari kenangan (reminiscence), hanya tipe kenangan yang integratif dan instrumentalah yang dimiliki oleh lansia yang mencapai penuaan yang sukses.

C. PSIKOLOGI NARASI DALAM STUDI INTEGRITAS EGO

Psikologi sebagai ilmu yang bertujuan memahami, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya yang melingkupi para peneliti dan orang-orang yang diteliti. Smith (2008) mendefinisikan narasi sebagai interpretasi terorganisir atas sekuensi peristiwa. Bentuk peristiwa berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Menurut Prince (dalam Takwin, 2007), psikologi naratif merupakan salah satu dari banyak ranah penelitian baru yang memperluas kajian naratologikal tentang bagaimana cerita-cerita membentuk hidup manusia, khususnya dalam

(48)

kajian psikologi naratif pada kajian bagaimana cerita-cerita membentuk diri dan kepribadian seseorang yang pada akhirnya membentuk kehidupannya.

Narasi tidak muncul begitu saja, tetapi didorong dan dibentuk oleh suatu konteks sosial tertentu. Untuk memahami psikologi naratif lebih jauh, perlu dipahami apa itu naratif. Naratif adalah menyimak, menyampaikan atau menyampaikan ulang cerita-cerita tentang orang-orang serta masalah-masalah kehidupannya. Meskipun sang narator menceritakan kisah, karakter dari kisah tersebut tergantung kepada siapa kisah tersebut diceritakan, dihubungkan antara narrator dan audien, serta konteks sosial dan kultural yang lebih luas (Murray, 1997).

Penelitian ini menggunakan pendekatan naratif dalam menganalisis dan melihat proses integritas ego. Naratif dapat dideskripsikan sebagai interpretasi yang terorganisir terhadap serangkaian kejadian (Smith, 2008). Menurut Smith (2008), analisis naratif tidak seperti analisis kualitatif yang lain, yang memilah interview ke dalam tema-tema. Tujuan analisis naratif adalah hendak memperoleh laporan naratif secara penuh, untuk memeriksa struktur dan hubungannya dengan konteks yang lebih luas.

Melalui konsepsi identitas naratif kita dapat "memahami manusia sebagai pembentuk kisahnya sendiri dalam interaksinya dengan manusia lain dalam aliran waktu" (Takwin, 2007). Menurut Bruner (dalam Takwin, 2007), cerita merupakan dasar dari proses penciptaan makna dan satu-satunya cara untuk menjelaskan waktu yang dihayati seseorang dalam hidupnya adalah dengan menggunakan bentuk naratif. Cerita bahkan merupakan unsur-unsur

(49)

yang membentuk pikiran. Turner (1998) dalam studinya tentang film menunjukkan bahwa cerita merupakan mekanisme universal bagi penyebaran makna. Setiap masyarakat memiliki cerita dan menyampaikannya baik kepada anggota-anggotanya maupun kepada dunia di luarnya. Pemahaman terhadap pikiran dan diri manusia sebagai upaya inti dari psikologi membutuhkan naratif sebagai media dan metode penelitian. Dengan kata lain, naratif merupakan sebuah pendekatan pemahaman dalam psikologi yang dapat menggambarkan seseorang dengan jelas.

Ken dan Mary Gergen (dalam Smith, 2008) mendefinisikan bahwa naratif adalah konstruksi sosial yang dikembangkan dalam interaksi sosial sehari-hari. Psikologi naratif memiliki tiga struktur (Gergen dan Gergen dalam Smith, 2008) yaitu progresif, stabil, dan regresif. Struktur yang progresif cenderung muncul pada narasi yang memiliki perubahan yang positif pada tujuan sedangkan pada struktur regresif, perubahannya cenderung negatif dan cenderung tidak memiliki tujuan. Struktur yang stabil cenderung tidak memiliki perubahan atau perubahan yang sangat sedikit.

Frye (dalam Smith, 2008) juga mengidentifikasikan naratif menjadi 4 struktur cerita: komedi, romansa, tragedi, dan sindiran. Komedi adalah narasi dimana jalan ceritanya menuju akhir yang bahagia. Romansa juga narasi yang bahagia dimana tokoh protagonis akhirnya berhasil mengatasi masalah-masalah yang dimilikinya. Tragedy memiliki narasi yang cenderung menyedihkan dimana tokoh protagonist menderita kesengsaraan. Sindiran adalah narasi yang cenderung lebih stabil dan hidup yang kurang berarti.

(50)

Dan McAdams (dalam Smith, 2008) mengembangkan sebuah pendekatan dalam studi naratif yang disebut narrative tone. Narrative tone dapat bersifat optimistik dan pesimistik. Narrative tone yang bersifat optimistik memiliki karakteristik komedi dan romansa, sedangkan yang bersifat pesimistik memiliki karakteristik tragedi dan sindiran. Setelah narrative tone, pendekatan McAdams berikutnya adalah imagery yang dideskripsikan sebagai gambaran dalam diri atau sering disebut juga citra diri. Citra diri ini berkembang dari masa kanak-kanak hingga dewasa.

Pendekatan ketiga McAdams adalah theme, yang sering juga diartikan dengan pola berulang-ulang yang sering dilakukan manusia. Theme juga muncul sebagai perilaku atau intensi yang paling terdapat dalam diri manusia. Pendekatan terakhir McAdams adalah ideology, yang muncul di dalam nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang mendasari kisah naratif seseorang.

Smith (2008) mengungkapkan bahwa keempat hal tersebut perlu untuk dipertimbangkan dalam melakukan investigasi naratif. Dari keempat istilah yang ditemukan oleh Dan McAdams yaitu narrative tone, imagery, theme, dan ideology, peneliti akan menggunakan istilah narrative tone dan imagery untuk membantu proses analisis.

Studi naratif dapat membantu peneliti untuk melihat gambaran dari integritas ego seseorang. Ryff (1982), menyatakan bahwa integritas ego meliputi 6 aspek penting. Aspek – aspek tersebut adalah : penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan, bersahabat dengan masa lalu, mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman menyenangkan dan mengecewakan, integritas

(51)

emosional, mencintai kehidupan dan orang lain, serta mencapai spiritualitas dalam menghapus ketakutan akan kematian.

Stukrur naratif dapat digunakan untuk melihat kedua aspek pertama yaitu penerimaan terhadap suatu siklus kehidupan dan bersahabat dengan masa lalu. Sedangkan narrative tone dapat digunakan untuk melihat bagaimana seseorang mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman menyenangkan dan mengecewakan serta melihat status integritas emosional seseorang. Imagery dapat digunakan untuk melihat aspek ke 5 yaitu mencintai kehidupan dan orang lain. Kemudian pada aspek mencapai spiritualitas dapam menghapus ketakutan akan kematian dapat dilihat dari pemaknaan yang muncul pada cerita subjek mengenai kematian.

(52)

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan teori-teori yang telah disusun dan digunakan peneliti, maka peneliti menyusun pertanyaan penelitian untuk membantu memahami tujuan dan proses penelitian ini. Pertanyaan penelitian disusun menjadi dua macam pertanyaan, yaitu pertanyaan utama (central question) dan pertanyaan kedua (subquestion) yang bersifat mengarah pada pertanyaan utama.

1. Central question: bagaimana gambaran integrasi ego lansia wanita yang tinggal di panti wreda Hanna Yogyakarta?

2. Subquestions :

a. Bagaimana struktur naratif dan narrative tone, dan imagery subjek?

b. Bagaimana imagery subjek?

(53)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus (Moleong, 2007: 5). Denzin dan Lincoln (Moleong, 2007: 3) menyatakan bahwa penelitian kualitatif ialah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.

Sedangkan dalam analisis datanya digunakan pendekatan naratif untuk melihat proses integritas ego pada subjek. Naratif dapat dideskripsikan sebagai interpretasi yang terorganisir terhadap serangkaian kejadian (Smith, 2008). Menurut Smith (2008), analisis naratif tidak seperti analisis kualitatif yang lain, yang memilah interview ke dalam tema-tema. Tujuan analisis naratif adalah hendak memperoleh laporan naratif secara penuh, untuk memeriksa struktur dan hubungannya dengan konteks yang lebih luas.

(54)

Tantangan terpenting adalah bahwa peneliti harus membuat formulasi teoretis secara implisit dan kemudian berkutat dengan laporan naratif.

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini adalah untuk melihat gambaran integrasi ego pada lanjut usia wanita di panti wreda Hanna. Integrasi ego subjek akan dilihat dengan menggunakan pendekatan naratif yaitu dengan menganalisis stuktur narasi, narrative tone, dan imagery subjek. Pada analisis yang lebih lanjut, analisis naratif ini akan dibantu oleh kerangka yang lebih luas mengenai teori – teori terkait dengan integrasi ego.

C. PARTISIPAN

Metode pemilihan partisipan (sampling) yang digunakan oleh peneliti adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah metode sampling dimana peneliti memilih dan menentukan secara sengaja individu dan kejadian yang ingin diteliti karena mereka dapat memberikan informasi yang memang diperlukan untuk memahami masalah yang ingin diteliti (Creswell, 2007: 125). Peneliti memilih partisipan yang dianggap menggambarkan aspek yang ingin diteliti. Peneliti membuat kriteria – kriteria dari subjek yang akan mengikuti penelitian ini. Kriteria tersebut dibuat peneliti agar data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ingin diukur dalam penelitian ini.

(55)

1. Usia Subjek

Subjek yang akan menjadi sampel penelitian ini berusia minimal 65 tahun. Hal ini merupakan upaya untuk menjaga kredibilitas penelitian. Penelitian ini ingin menggali isu kunci pada tahap perkembangan lanjut usia. Kriteria lanjut usia tidak bisa hanya dilihat dari usia kronologis (chronological age), namun juga dari usia mentalnya (mental age). Batasan usia yang dipakai menjadi patokan disesuaikan dengan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Dalam teori tersebut, integritas ego merupakan suatu tahapan perkembangan yang berada pada usia minimal 65 tahun sampai akhir hidup.

Penting untuk mempertimbangkan batasan usia subjek sebagai salah satu upaya untuk menjaga kredibilitas penelitian ini. Hal ini dikarenakan apabila subjek tidak termasuk dalam kriteria usia di atas, maka resiko tidak relevannya data hasil wawancara dengan topik yang akan diteliti akan semakin meningkat. Hal ini dibuktikan pada hasil penelitian Sneed, Witbourne, dan Culang (2006). Penelitian Sneed, dkk (2006) merupakan penelitian longitudinal yang ingin mengukur tahap perkembangan manusia dengan menggunakan kerangka teori perkembangan Erikson. Namun, pada tahap kedelapan (Ego integrity vs. Despair), peneliti gagal untuk menyelidikinya. Alasan peneliti untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah karena usia subjek saat mengisi skala IPD (inventory of psychosocial development) bagian ego integrity

(56)

belum sampai 65 tahun. Sehingga diperkirakan bahwa subjek belum mengalami isu – isu dan tugas perkembangan pada tahap ego integrity.

2. Jenis Kelamin Subjek

Peneliti tertarik untuk melihat secara khusus integritas ego pada lanjut usia perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan peneliti sebelumnya (James dan Zarret, 2005), yang menyatakan bahwa belum ada studi mengenai makna ego integrity menurut perbedaan jenis kelamin. Penting dan menarik untuk diteliti karena sesungguhnya perbedaan jenis kelamin juga membuat seorang individu memiliki tugas perkembangan dan konstruksi sosial yang tidak sama (James dan Zarret, 2005).

3. Kondisi Kesehatan

Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini harus memiliki kondisi kesehatan yang baik dan mampu mengikuti proses pengambilan data. Syarat – syarat kesehatan tersebut meliputi tidak ada masalah pendengaran yang serius, mampu bekomunikasi dengan baik, serta tidak mengidap penyakit berat dan gangguan mental. Pemilihan ini dilakukan dengan cara melihat data kesehatan subjek yang ada di panti wreda dan melalui konsultasi dengan pengurus panti.

Setelah terkumpul data calon subjek yang memenuhi kriteria diatas kemudian peneliti melakukan pemilihan 3 subjek secara acak (random sampling). Hal tersebut dilakukan dengan membuat undian dan

(57)

mengambil 3 nama calon subjek. Setelah diminta persetujuan secara oral maka calon subjek ditentukan menjadi subjek penelitian dan kemudian diberikan penjelasan singkat mengenai penelitian ini (inform concent).

Pada saat melakukan pendekatan, salah seorang subjek mengundurkan diri dikarenakan subjek berkeberatan jika dia diminta untuk menceritakan masa lalunya. Subjek menangis jika mengingat anaknya. Hal tersebut menyebabkan pengurus panti tidak mengijinkan peneliti untuk mewawancara subjek. Pada akhirnya hanya 2 subjek yang bersedia mengikuti proses pengambilan data sampai penelitian berakhir. Mempertimbangkan saran Creswell (2007), jumlah subjek tersebut masih dapat diterima dalam penelitian naratif. Creswell (2007: 126) menyatakan bahwa pada penelitian naratif penggunaan sampel pada umumnya berjumlah satu sampai dua individu, kecuali pada penggunaan jumlah partisipan yang lebih besar untuk mengembangkan sebuah cerita kolektif (collective story).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Penelitian ini menggunakan wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif karena memiliki beberapa keuntungan yaitu kebebasan dalam menyusun pertanyaan sesuai dengan kondisi saat wawancara berlangsung. Hal ini membuat responden dapat secara spontan

(58)

mengeluarkan segala sesuatu yang ingin diungkapkannya. Wawancara tak terstruktur mirip dengan percakapan informal yang bertujuan menggali sebanyak mungkin informasi dari semua responden.

Dalam wawancara semacam ini, peneliti mencatat pokok-pokok penting yang akan dibicarakan sebagai pegangan untuk mencapai tujuan wawancara, dan responden bebas menjawab menurut isi hati dan pikirannya. Lama wawancara juga tidak dibatasi dan diakhiri menurut keinginan peneliti. Dengan demikian, peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih luas karena setiap responden bebas meninjau berbagai aspek menurut pendirian dan masing-masing, sehingga dapat memperkaya pandangan peneliti (Nasution, 2006: 119).

Tabel 1. Panduan wawancara No. Panduan Pertanyaan

1. Bisakah anda ceritakan kisah hidup anda sejak kecil sampai saat ini?

2. Dari keseluruhan kisah hidup anda kejadian – kejadian apa saja yang paling anda ingat?

3. Apa hal yang paling mengesankan dalam hidup? 4. Menurut anda masa lalu anda bagaimana?

5. Bisakah anda ceritakan pengalaman anda pindah ke panti wreda? 6. Apa yang anda pikirkan dan anda rasakan ketika pindah ke panti

(59)

7. Menurut anda bagaimana kehidupan anda saat ini (setelah pindah ke panti wreda)?

8. Jika melihat keseluruhan kisah hidup anda, bagaimana anda menggambarkan hidup anda?

9. Apa hal yang paling penting dalam hidup? 10. Bagaimana anda memaknai kematian?

Tahapan proses wawancara antara lain:

1. Mencari subjek untuk menjadi partisipan penelitian.

2. Melakukan perkenalan, rapport, menjelaskan tujuan, dan memastikan kesediaan subjek.

3. Membuat jadwal wawancara dengan mempertimbangkan kesediaan subjek dan peraturan kunjungan di panti wreda.

4. Melakukan wawancara.

Proses wawancara mengikuti pola “zig-zag”. Pola ini berarti peneliti ke lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisis data, dan ke lapangan lagi untuk mencari atau menambahkan data untuk dianalisis kembali (Creswell, 1998). Proses tersebut dilakukan hingga ditemukan data yang menggambarkan pengalaman subjek secara utuh (Creswell,1998). Data wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam yang kemudian akan disalin dalam transkrip wawancara verbatim. Peneliti juga merekam cerita subjek dengan membuat catatan langsung ketika wawancara berlangsung untuk mengantisipasi hilangnya data jika terjadi

(60)

gangguan pada alat perekam. Selain itu peneliti juga melakukan observasi terhadap perilaku dan ekspresi subjek ketika proses wawancara berlangsung. Hal-hal penting yang relevan dengan penelitian akan langsung ditambahkan dalam catatan yang dibuat peneliti.

E. PROSES PENGUMPULAN DATA

Proses pengumpulan data diawali dengan mengajukan permohonan ijin kepada pihak panti wreda Hanna. Setelah mendapatkan ijin dari panti, peneliti melakukan pendataan jumlah lansia yang ada di panti wreda Hanna, Yogyakarta. Kemudian diketahui bahwa terdapat 40 lansia yang tinggal di panti tersebut.

Peneliti melakukan konsultasi dengan kepala pengurus panti untuk mendapatkan subjek penelitian. Dari 40 orang lansia, terdapat 18 lansia yang menurut pengurus memenuhi persyaratan untuk dijadikan subjek penelitian. Namun, pengurus merekomendasikan 5 orang yang kondisi emosionalnya baik. Hal ini dilakukan oleh pengurus panti untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan. Kemudian dari subjek tersebut dipilih 3 subjek secara acak untuk dijadikan partisipan penelitian. Dengan bantuan pengurus, peneliti dipertemukan dan dikenalkan dengan calon subjek.

Setelah melakukan perkenalan salah satu subjek menyatakan bahwa dia kurang menyukai jika ditanyai mengenai kehidupan pribadinya, terlebih mengenai masa lalu. Subjek juga menangis ketika dia bercerita tentang anaknya. Hal ini menyebabkan pengurus panti juga tidak memberi ijin kepada

(61)

peneliti untuk mewawancarai subjek lebih mendalam. Akhirnya hanya 2 subjek yang bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Pada subjek 1, rapport dilakukan dengan cepat. Hal ini dikarenakan pribadi subjek yang mudah bergaul, ramah, dan terbuka. Setelah rapport dilaksanakan dengan baik dan subjek memahami tugas dan peranannya dalam penelitian ini, di pertemuan selanjutnya barulah proses wawancara dilakukan.

Pada subjek ke 2, rapport dilakukan cukup lama karena subjek banyak bertanya dan terlihat belum nyaman. Subjek agak tertutup sehingga subjek membutuhkan waktu yang lama untuk menerima dan mempercayai peneliti. Setelah peneliti diterima, subjek dengan terbuka menceritakan apa saja dan mampu bekerjasama dengan baik dengan peneliti.

Pada awalnya peneliti memberi batas waktu maksimal proses wawancara berlangsung selama 45 menit. Hal ini mengingat untuk menjaga kondisi kesehatan subjek agar tidak menurun. Akan tetapi pada saat pelaksanaan, subjek sangat bersemangat untuk bercerita dan sangat produktif dalam bercerita. Oleh karena itu, peneliti melanjutkan proses wawancara sampai data yang didapatkan dirasa cukup.

(62)

Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara

No. Subjek Tanggal Waktu Tempat

1. R 20 Mei 2012 09.00 – 11.00 Kamar subjek 20 Mei 2012 15.00 – 16.30

21 Mei 2012 09.00 – 09.45

23 Mei 2012 09.00 – 10.30 2. S 19 Mei 2012 15.00 – 16.30 Kamar subjek

21 Mei 2012 15.00 – 16.45 22 Mei 2012 09.00 – 10.30 23 Mei 2012 15.00 – 16.00 26 Mei 2012 15.00 – 16.00 27 Mei 2012 15.00 – 15.30 30 Mei 2012 09.00 – 10.30 30 Mei 2012 15.00 – 15.30

Pada saat proses pengambilan data berlangsung ditemui beberapa kesulitan. Yang pertama dikarenakan subjek beberapa kali lupa dengan peneliti. Oleh sebab itu, meskipun pendekatan telah dilakukan, peneliti harus menjelaskan berkali – kali mengenai peneliti, serta maksud dan tujuan penelitian. Di samping itu gangguan juga datang dari lansia penghuni panti lain yang tidak terlibat dalam penelitian. Dikarenakan tidak disediakannya ruangan khusus untuk melakukan wawancara, wawancara dilakukan di kamar subjek. Banyak lansia mengintip dari jendela dan ikut masuk dan mengajak

Gambar

Tabel 1. Panduan wawancara       No.                            Panduan Pertanyaan
Tabel 2. Pelaksanaan Wawancara
Tabel 3. Analisis Tahap Perkembangan Subjek 1 (Rd)
Tabel 4. Analisis Tahap Perkembangan Subjek 2 (Sn)

Referensi

Dokumen terkait

merusak nilai-nilai Kristiani seperti pengaruh media, pola hidup konsumtif,.. mental ‘tidak mau repot’. Kondisi tersebut tentu saja dapat membawa pengaruh negatif bagi

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN

Peneliti mencari informan yang sesuai dengan tujuan penelitian dengan karateristik berikut : ayah yang berasal dari suku Batak Toba, berada pada rentan usia dewasa akhir,

a) Terdapat perbedaan kejadian depresi pada lanjut usia tinggal di panti wreda pemerintah dan panti wreda swasta. b) Terdapat perbedaan tingkat depresi pada lanjut usia

Langkah 2 diulangi dengan menggunakan variasi pengisian fluida kerja dietil eter dengan bukaan katup ¾ selama 15 detik ke pemanas kolektor seri dan kondensor, menggunakan

Putra-putri Altar di Paroki Marganingsih Kalasan bernilai sebesar 56,7 yang menunjukkan bahwa keterlibatan Putra-putri Altar berjalan dengan sangat baik. Anak-anak

Peningkatan Pengetahuan dan Perilaku Siswa SMA di Kota Metro dalam Swamedikasi Common Cold dengan metode Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) oleh Noerdianningsih

Pompa termal adalah salah satu alternatif untuk menggantikan cara tradisional dalam memperoleh air. Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah membuat model pompa air energi