• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Interleukin-5 pada Polip Hidung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekspresi Interleukin-5 pada Polip Hidung"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Polip Hidung 2.1.1 Definisi

Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang saling berkaitan (Wardani, 2011). Banyak faktor diperkirakan menyebabkan terbentuknya polip, antara lain alergi, autonomic imbalance

(ketidakseimbangan vasomotor), fenomena bernauli, superantigens, infeksi, abnormalitas transport ion transepitel, abnormalitas mukopolisakarida, sumbatan mekanis, ruptur epitel dan predisposisi genetika. Tidak ada etiologi tunggal yang menyebabkan timbulnya polip (Kirtsreesakul, 2005).

2.1.2 Aspek klinis

Polip hidung merupakan massa semitranslusen edematus di rongga hidung dan sinus paranasal yang kebanyakan timbul dari mukosa yang melapisi sinus dan prolaps ke rongga hidung. Lokasi yang paling sering timbulnya polip hidung adalah pada mukosa muara sinus antara lain, frontal reses, celah sel etmoid dan ostium sinus (Mygind & Lildholdt, 1997). Polip biasanya lembut, berlobus, dan dapat digerakkan. Permukaan biasanya licin dan agak kilat, berwarna keabua-abuan atau kemerahan. Polip hidung dapat menimbulkan gejala seperti hidung tersumbat, gangguan penghidu dan sensasi ada massa di rongga hidung (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

(2)

Tabel 2.1 Stadium polip menurut Mackay and Lund

Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung

2

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3 Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)

Tabel 2.2 Stadium polip menurut Levine

Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip berada di anterior konka media meluas ke inferior konka inferior tetapi tidak menutupinya

2

Polip berada di medial dan posterior konka dan ke anterior 3 Polip meluas ke dasar hidung, tapi bagian-bagian dari

konka masih terlihat

4

Polip mengisi rongga hidung dan tidak ada bagian dari konka yang terlihat

5

Tabel 2.3 Stadium polip menurut Meltzer

Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip berukuran kecil dan masih berada di meatus media 1 Polip berukuran besar dan masih berada di meatus media 2 Polip keluar dari meatus media dalam reses

sphenoethmoid tapi tidak mengobstruksi total

3

(3)

Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger menjadi (Kirtsreesakul, 2005) :

1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan prolaps ke koana.

2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip eosinofilik.

3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin. 4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary

ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.

2.1.3 Epidemiologi

Prevalensi polip hidung diperkirakan sekitar 1-4% dari populasi umum (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004). Hosemann menduga bahwa prevalensi polip hidung sekitar 1-2% dari populasi orang dewasa di Eropa. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan sekitar 2-4:1 (Bachert, et al., 2000). Prevalensi polip hidung pada orang dewasa di Swedia sekitar 2,7% (Akerlund, 2003). Polip hidung sering bersamaan dengan gangguan pada saluran nafas bawah seperti asma dan hiperaktifitas bronkial yang tidak spesifik (Kramer & Rasp, 1999). Insiden polip di RSUP H. Adam Malik Medan periode Maret 2004 sampai Februari 2005 didapatkan sebanyak 26 kasus terdiri dari 17 pria dan 9 wanita (Munir, 2008). Dewi (2011) meneliti di RSUP H. Adam Malik Medandan mendapatkan penderita polip sebanyak 43 orang yang terdiri dari 22 pria dan 21 wanita selama tahun 2010. Indrawati (2012) di RS DR. Sardjito Yogyakarta melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe I sekitar 20,8%, tipe II sekitar 58,3%, tipe III sekitar 16,7% dan tipe IV sekitar 4,2%.

(4)

2.1.4 Histopatologi polip hidung

Polip khas dengan stroma yang edema, hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel epitel, dan sel-sel endotelial adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip (Ferguson & Orlandi, 2006). Histopatologi polip hidung yang matang ditandai dengan jaringan yang edema dimana pseudokista tampak sebagai daerah yang kosong yang terletak ditengah dengan penumpukan sel-sel inflamasi di subepitelial dengan sel inflamasi terbanyak adalah EG 2+ (activated) eosinophils yaitu sekitar 88% (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004). Eosinofil terletak disekitar pembuluh darah, kelenjar dan melekat pada epitel mukosa. Dominasi inflamasi neutrofil ditemukan pada sekitar 7% kasus polip hidung. Stroma polip mengandung sedikit sel yang didominasi eosinofil (Bachert, et al., 2005).

Kebanyakan permukaan polip dilapisi epitel silia berlapis semu tetapi juga terdapat epitel berlapis dan transisional, terutama di bagian anterior polip yang biasa terpapar udara yang dihirup (Bachert,et al., 2000). Saraf sensoris dan vasomotor otonom serta saraf sekretori ditemukan di mukosa hidung yang normal maupun tidak normal namun tidak dapat ditemukan di stroma polip hidung. Hal ini diduga akibat denervasi pada polip hidung sehingga aktifitas kelenjar sekretori menurun dan menyebabkan ketidaknormalan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema jaringan yang irreversibel. Polip hidung timbul pada daerah pertemuan antara mukosa hidung dan mukosa sinus. Daerah tepi ini mengandung sangat sedikit jaringan saraf yang sangat rentan mengalami kerusakan (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

(5)

2.1.5 Klasifikasi histopatologi polip hidung

Ada empat tipe histopatologi polip hidung, yaitu Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp

(Fibroinflammatory Polyp), Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Gland, dan Polyp with Stromal Atypia (Hellquist, 1996).

1. Edematous Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)

Edematous Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp) merupakan tipe histopatologi polip terbanyak, sekitar 86%. Gambarannya berupa stroma yang edema, hiperplasia sel goblet di epitel respiratori, dijumpai sejumlah besar eosinofil dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi terlihat sangat tegas.

A B

(6)

2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp)

Tidak dijumpai edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel skuamus dan metaplasia epitel kuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering terlihat. Tipe ini sekitar 10% dari seluruh kasus polip sinonasal.

Gambar 2.2 Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daerah epitel permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet. Membrane basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip edematous (Hellquist, 1996).

3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands

(7)

merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini. Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip neoplasma glandular jinak dan sering disebut pada banyak literatur sebagai adenoma tubulositik. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian sel basal. Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan tidak menunjukkan adanya sel atipia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak terpisah satu sama lain, sedangkan pada tumor dimana kelenjar sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.

Gambar 2.3 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat atipia (Hellquist, 1996).

4. Polyp with Stromal Atypia

(8)

A B

Gambar 2.4 A. Polip dengan stroma atipikal. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung. Inti sel-sel tersebut atipikal dan cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe lain dari polip dengan stroma atipikal. Sel-sel atipikal terlihat berada di tengah gambar. Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B (Hellquist, 1996).

Sel-sel cenderung berbentuk seperti bintang dan hiperkromatik tetapi dapat juga lebih irregular dan gembur dengan sitoplasma vesicular. Biasanya hanya daerah tertentu pada polip yang menunjukkan sel-sel atipikal dengan fibroblast yang reaktif. Seringkali polip mengandung stroma yang atipikal. Tidak adanya mitosis adalah gambaran khas yang membedakan polip dengan stroma atipikal dengan neoplasma. Lebih lanjut, juga tidak ada cytoplasmic cross-striations dan kandungan glikogen minimal pada sel-sel bizarre. Davidsson dan Hellquist menemukan satu polip dengan stromal atipikal dari 107 polip.

(9)

polip terdapat 89 kasus (93,6%) polip inflamasi. Sementara di RSU. Sardjito Yogyakarta, Indrawati (2012) menemukan bahwa gambaran histopatologi terbanyak adalah tipe II (fibroinflammatory polyp) yakni sekitar 58,3%. Penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan bahwa gambaran histopatologi polip terbanyak adalah polip yang didominasi eosinofil (Munir, 2008).

2.1.6 Patogenesis polip hidung

Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu : 1. Alergi

Alergi dididuga sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil (Lund, 1995). Suatu metaanalisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung (Kirtsreesakul, 2005).

2. Ketidakseimbangan vasomotor

Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).

3. Fenomena Bernouli

Hal ini terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).

4. Infeksi

(10)

pada rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul, 2005).

2.1.7 Interleukin-5 (IL-5)

IL-5 semula dinyatakan sebagai faktor pertumbuhan sel B pada mencit karena ia mampu merangsang pertumbuhan dan produksi antibodi oleh sel B (Kresno, 2010). IL-5 merupakan aktivator pematangan dan diferensiasi eosinofil dan berperan dalam hubungan antara aktivasi sel T dan inflamasi eosinofil. IL-5 diproduksi oleh subset sel Th2 (CD4+) dan sel mast yang diaktifkan (Bratawijaya, 2006). Sel CD4+ yang berdiferensiasi menjadi Th2 melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang sel B untuk memproduksi Ig E yang diikat sel mast. IL-4 juga bersifat autokrin dan merupakan sitokin yang berperan dalam diferensiasi sel Th2 (Bratawijaya, 2006).

Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang. Tiga sitokin yakni Interleukin-3 (IL-3), IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) adalah bagian penting dalam mengatur perkembangan eosinofil. IL-5 adalah spesifik untuk “eosinofil Lineage” dan bertanggung jawab terhadap diffrensiasi eosinofil, menstimulasi pelepasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi perifer, memperpanjang usia eosinofil. Pada polip hidung apoptosis eosinofil di mukosa hidung lebih lambat dibandingkan di darah (Rudack, Bachert & Stoll, 1999).

Sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptosis eosinofil sekurang kurangnya 12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan 48 jam pada keadaan tidak adanya sitokin. Eosinofil di jaringan juga dapat meregulasi masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin. Eosinofil memproduksi mediator toksin inflamatori yang unik yang disimpan dalam granul-granul dan disintetis setelah sel ini teraktivasi, granul tersebut mengandung kristaloid yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP) dan matrix yang terdiri dari Eosinophil Cationic Protein

(ECP), Eosinophil Peroxidase (EPO) dan Eosinophil Derived Neurotoxin

(11)

Basic Protein secara langsung meningkatkan reaktifasi obat polos dan merangsang degranulasi sel mast dan basofil (Rudack, Bachert & Stoll, 1999).

2.1.8 IL-5 pada polip hidung

IL-5 ditemukan meningkat bermakna pada polip hidung dibandingkan pada mukosa hidung normal maupun penderita sinusitis. Hal ini mengindikasikan adanya peran penting IL-5 dalam patofisiologi polip (Peric, et al., 2011). Peran IL-5 dibuktikan dengan terapi terhadap eosinofil yang mengilfiltrasi polip hidung dengan cara netralisasi dengan anti IL-5

monoclonal antibody (mAB) menyebabkan apoptosis eosinofil dan berkurangnya eosinofil di jaringan pada in vitro (Bachert, et al., 2005). IL-5 berperan dalam diferensiasi dan maturasi eosinofil dalam sumsum tulang, migrasi ke jaringan dan mencegah apoptosis eosinofil. IL-5 meningkatkan adhesi eosinofil ke endotelium sehingga akan meningkatkan akumulasi eosinofil. Diantara semua sitokin, IL-5 mempunyai hubungan yang paling baik dengan ECP. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara IL-5 dengan beratnya peradangan yang disebabkan oleh eosinofil (Bachert, et al., 2005).

(12)

jaringan, inflamasi dan terbentuknya polip hidung (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

Sel mast yang kebanyakan mengalami degranulasi, meningkat jumlahnya di dalam stroma polip hidung. Meningkatnya jumlah sel plasma dan limfosit ditemukan pada level seluler. Limfosit lebih banyak ditemukan di lamina propria daripada di epitel dan limfosit T lebih banyak daripada limfosit B (Kramer & Rasp, 1999).

Gambar 2.5 Model rekruitmen eosinofil pada polip hidung (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

2.1.9 Antibodi anti IL-5

(13)

pengikatan IL-5 ke rantai α reseptor IL-5 yang diekspresikan pada eosinofil. Afinitas mepolizumab untuk IL-5 sekitar 20 kali lipat lebih besar dari reslizumab. Mepolizumab memiliki waktu paruh 13-19 hari dan memiliki aktivitas biologis panjang yang diamati pada penurunan yang signifikan dari tingkat eosinofil darah perifer yang bertahan selama 3 bulan pada 76% dari subyek setelah infus mepolizumab (Stein & Ariel, 2010).

2.1.10 Kortikosteroid

Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis (Ferguson & Orlandi, 2006). Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofIl tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas (Newton & Ah-See, 2008).

Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi peningkatan reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matriks protein ekstraselular. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat sensitif terhadap kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat tergantung pada dosis kortikosteroid. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamin, prostanoids dan leukotrien. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah sel-sel inflamasi di mukosa. Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang mengalami influx (Bachert, et al., 2005)

2.1.11 Histamin

(14)

reseptor (histamin H1, H2, H3 dan H4). Reseptor histamin kelima yang terletak intraseluler dan dilambangkan dengan histamin HIC, juga telah dijelaskan dalam sel hematopoietik (Hasala, et al., 2008).

Beberapa fungsi eosinofil sebelumnya telah terbukti dirangsang oleh histamin. Alergen merangsang berkumpulnya eosinofil di saluran nafas, hidung dan kulit dimana hal ini dapat dihambat oleh reseptor histamin H1 antagonis. Antihistamin berikatan dengan reseptor histamin H1 sehingga mencegah histamin alami berikatan dengan reseptor dan menimbulkan reaksi alergi. Antihistamin dinyatakan sebagai antiinflamasi tambahan. Beberapa antagonis H1 dilaporkan memberi efek inflamasi sel seperti kemotaksis dan adhesi eosinofil (Hasala, 2006). Histamin merangsang produksi sitokin antara lain IL-5 yang merupakan mediator untuk kelangsungan hidup eosinofil (Hasala, et al., 2008).

2.2 Penatalaksanaan

Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (PERHATI-KL, 2007). Mygind dan Lildholdt (1996) menjelaskan bahwa tujuan penatalaksanaan polip hidung, antara lain:

1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin. 2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.

3. Meredakan gejala.

(15)

Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung. 2.3 Anatomi Kavum Nasi

Gambar 2.6 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung (PERHATI-KL, 2007)

Keluhan

Sumbatan hidung dengan 1/>gejala:

Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi

Massa polip hidung

Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip (eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk memperbaiki airway.

2. Polipektomi medikamentosa high dose steroid (HDST)

Tidak ada perbaikan:

Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi Sembuh

Polip rekuren:

- Cari faktor alergi - Kaustik /ekstraksi polip kecil - Steroid topikal - Operasi ulang

(16)

2.3 Anatomi Kavum Nasi

Bagian dalam hidung terbagi menjadi dua rongga hidung oleh septum nasi. Bagian yang terbuka di setiap sisi disebut vestibulum nasi, yang bersambung dengan rongga utama hidung. Di bagian belakang, kedua rongga hidung bermuara bersama-sama kedalam nasofaring dibelakang septum. Septum merupakan suatu pembatas di tengah-tengah. Dinding bawahnya membentuk palatum durum dan menjadi batas antara rongga hidung dan lamina kribrosa. Di dinding tulang sebelah lateral, terdapat konka hidung yang tersusun dari bawah keatas pada kerangka hidung. Meatus medialis berperan sangat penting secara klinis sebagai muara keluar dari sinus maksilaris, frontalis dan sel-sel selula etmoidalis anterior. Di meatus inferior, bermuara duktus lakrimalis dan di meatus superior, bermuara selula etmoidalis posterior serta sinus sfenoid (Nagel & Gürkov, 2009).

Rongga sinonasal dilapisi epitel yang sama dengan epitel saluran nafas yakni pseudostratified ciliated columnar epithelium yang mengandung sel-sel goblet, namun terdapat sebagian yang dilapisi

(17)

2.4 Fisiologi Hidung

Hidung memiliki empat fungsi, antara lain (Nagel & Gürkov, 2009): 1. Fungsi penyaring dan perlindungan

Oleh karena dalam cavitas nasi terdapat bulu hidung (vibrissae) dan mukosiliar hidung yang akan menyaring udara yang terhirup. 2. Fungsi Klimatisasi

Hidung memiliki sistem yang kompleks untuk menghangatkan dan melembabkan udara. Pengaturan suhu terutama di daerah rongga hidung bawah. Sekret mukosa hidung akan menciptakan kelembaban udara.

3. Fungsi Suara

Bentuk dan fungsi hidung membentuk karakteristik suara setiap orang. Hidung termasuk dalam komponen kaku saluran yang membentuk suara dan artikulasi.

4. Fungsi Penghidu

Organ penghidu yang sejati terdapat di bagian atas septum nasi dan dinding lateral hidung pada setiap sisi. Di tempat tersebut terdapat epitel respiratorik kosong seluas beberapa sentimeter persegi dan digantikan oleh suatu epitel sensorik khusus.

2.5 Imunohistokimia

(18)

untuk reaksi (pengambilan antigen, blok dengan peroksida, inkubasi antibodi primer, dan deteksi, counterstaining dan juga pemasangan ke objek glas dan penyimpanan); (2) interpretasi dan kuantifikasi sehingga diperoleh ekspresi (Matos, et al., 2010).

Sejarah metode pewarnaan imunohistokimia dimulai ketika Marrack memproduksi reagen untuk melawan mikroorganisme tifus dan kolera menggunakan noda merah terkonjugasi dengan benzidin tetraedro. Namun, Profesor Albert H. Coons dari Harvard School of Medicine-Boston, AS meyakini bahwa deteksi antigen yang disediakan oleh warna merah dalam irisan jaringan memiliki sensitivitas yang sangat rendah di bawah mikroskop optik dan awal tahun 1940, ia mendemonstrasikan bahwa lokalisasi antigen terutama mikroorganisme mungkin dilakukan dengan menggunakan antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae diwarnai dengan fluresen, divisualisasikan oleh cahaya ultraviolet (mikroskop fluresen). Selanjutnya, pengenalan enzim sebagai antibodi dikembangkan oleh Nakane dan digembar-gemborkan sebagai era baru dan penting untuk imunohistokimia, karena itu memungkin untuk melihat reaksi ini melalui mikroskop optik. Hasil ini memiliki dampak yang besar dan banyak ditunggu. Peningkatan besar dalam hal kontribusi dan penerapan imunohistokimia di patologis anatomi dikenal sebagai "brown revolusi " dari laboratorium histopatologi (Matos, et al., 2010)

(19)

dengan ketebalan berkisar antara 3 sampai 7 µm. Irisan kurang dari 3 µm dapat mengakibatkan pewarnaan sangat lemah sementara jika lebih tebal dari 7 µm dapat menyebabkan hilangnya jaringan pada objek glas sehingga menghambat analisis pewarnaan yang dihasilkan ( Yaziji & Barry, 2006).

Pemilihan antibodi merupakan aspek penting bagi penerapan imunohistokimia. Antibodi primer dapat dibagi menjadi dua kategori: poli atau monoklonal. Antibodi poliklonal diperoleh dari pengebalan hewan (contoh: kelinci, kambing, monyet, tikus, tikus, domba dll) dan antibodi poliklonal mampu mengenali banyak epitop antigen yang sama, menghasilkan sensitivitas deteksi yang lebih tinggi. Antibodi monoklonal merupakan antibodi yang diproduksi dari limfosit B yang digandakan yang mengenali satu antigen epitop sehingga memberi hasil yang lebih spesifik (Lipman, et al., 2005).

Interpretasi dari pewarnaan imunohistokimia tergantung pada jumlah antigen yang ada dalam jaringan. Penentuan nilai batas antara hasil positif dan negatif merupakan hal yang penting. Nilai-nilai ini ditentukan secara sembarangan tidak berdasarkan hasil laboratorium dan jika berdasarkan laboratorium tetapi hasilnya tidak di tes (Matos, et al., 2010). Biasanya ahli patologi menghitung imunohistokimia berdasarkan data visual. Skor dinilai pada skala 0 sampai 3, di mana 0 : menunjukkan negatif, 1 : menunjukkan pewarnaan positif kurang dari 10% dari sel-sel,

2 : pewarnaan positif antara 10% sampai 50% dari sel-sel, dan 3 : pewarnaan positif di lebih dari 50%. Skor intensitas diukur pada skala 0

(20)

2.6 Kerangka Teori

Keterangan :

Penghasil IL-5 antara lain Th2, sel Mast, CD 4+. Eosinofil memproduksi MBP dan matrix yang terdiri dari ECP, EPO, EDN yang mengandung efek sitotoksin pada epitelium repiratori. IL-5 perperan dalam meningkatkan adhesi eosinofil ke endthelium sehingga meningkatkan akumulasi eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis eosinofil. Hal ini akan menyebabkan banyaknya eosinofil dijaringan yang menyebabkan rusaknya jaringan, retensi albumin, terbentuknya pseudokista.

IL-5

Eosinofil

Konsentrasi Eosinofil di endotelium

Pseudokista Inflamasi

Retensi albumin

Albumin dan protein plasma

Infiltrasi eosinofil

Jaringan edema

Rusak

Polip hidung Limfosit

Sel mast

Th-2 CD4+

- Migrasi kejaringan - Inhibisi apoptosis - Adhesi ke endotelium

MBP, ECP,EPO, EDN

Tipe II Tipe IV

(21)

2.7 Kerangka Konsep

IL-5

Eosinofil

Gambar

Tabel 2.3 Stadium polip menurut  Meltzer
Gambar 2.1 A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel mast
Gambar 2.2 Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daerah epitel permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet
Gambar 2.3 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat atipia (Hellquist, 1996)
+4

Referensi

Dokumen terkait

dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul “ Pengaruh Metilprednisolon Oral terhadap ekspresi Interleukin-5 pada Polip.. Hidung ” Tesis Spesialis ini disusun

Pada penelitian ini diperiksa ekspresi IL – 5 pada polip hidung sebelum dan sesudah pemberian terapi metilprednisolon oral pada 17 penderita polip hidung.. Ekspresi

Metilprednisolon oral selama 20 hari dengan dosis yang diturunkan

Inflamasi merupakan gambaran histopatologi yang sangat jelas pada polip hidung ditandai dengan infiltrasi sel-sel seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma.. Eosinofil

Pada penelitian ini dijumpai penderita polip hidung laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan usia terbanyak ≥ 40 tahun. Stadium Sebelum terapi lebih

preoperative short course of oral steroid followed by postoperative topical nasal steroid sprays on nasal polyp recurrence after endoscopic nasal polypectomy..

penelitian untuk tesis saya yang berjudul “ Pengaruh Metilprednisolon Oral Terhadap Ekspresi Interleukin – 5 (IL-5) pada Polip Hidung .”.. Berdasarkan hasil pemeriksaan saya,

Mukosa sinus pada polip hidung ditandai dengan edema stroma, infiltrasi sel-sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma, perubahan epitel di atasnya dan dalam