• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Metode Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Ubi Jalar Oranye Chaper III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Metode Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Fungsional Tepung Ubi Jalar Oranye Chaper III IV"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2016 di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah ubi jalar oranye dengan tingkat kematangan yang optimal dengan ciri berwarna oranye cerah. Bahan lain yang digunakan adalah air. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 %, heksan, H2SO4, NaOH, K2SO4, etanol 95 %, akuades, petroleum eter, aseton, kloroform, KOH, Na2SO4, alkohol, DNS (Dinitrosalisilat), indikator fenolftalein, eter, asam asetat, CuSO4, glukosa standar, dan phenol.

Alat Penelitian

(2)

Whatman no. 1, no. 2, dan no. 41, kromameter Konica Minolta (tipe CR-400, Jepang), spektrofotometer UV (Genesys 20), tanur Carbolite Furnaces (tipe EML 11/2), dan oven Memmert (tipe BMV 30).

Metode Penelitian (Bangun, 1991)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), yang terdiri dari dua faktor, yaitu:

Faktor I : Metode Perlakuan Awal (P)

P1 = Ubi tidak dikupas dan diiris P2 = Ubi dikupas dan diiris

P3 = Ubi tidak dikupas lalu diiris + perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 %

P4 = Ubi dikupas lalu diiris + perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 %

Faktor II : Suhu Pengeringan (T) T1 = 50 oC

T2 = 55 oC T3 = 60 oC T4 = 65 oC

Banyaknya kombinasi perlakuan atau Treatment Combination (TC) adalah 4 x 4 = 16, dan setiap perlakuan dibuat dalam 3 ulangan, sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 48 sampel.

Model Rancangan

Penelitian ini dilakukan dengan model rancangan acak lengkap (RAL) dua faktorial dengan model sebagai berikut:

(3)

dimana:

ijk : Hasil pengamatan dari faktor P pada taraf i dan faktor T pada taraf ke-j dalam ulangan ke-k

µ : Efek nilai tengah

αi : Efek faktor P pada taraf ke-i βj : Efek faktor T pada taraf ke-j

(αβ)ij : Efek interaksi faktor P pada taraf ke-i dan faktor T pada taraf ke-j

εijk : Efek galat dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor T pada taraf ke-j dalam ulangan ke-k

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata dan sangat nyata maka uji dilanjutkan dengan uji beda rataan, menggunakan uji Least Significant Range (LSR).

Pelaksanaan Penelitian

(4)

dalam plastik dalam keadaan tertutup rapat sebelum dianalisis. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali.

Pengamatan dan Metode Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisis terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye. Mutu fisik tepung ubi jalar oranye yang diamati yaitu pengujian warna (Hutchings, 1999), densitas kamba (Okaka dan Potter, 1977), uji organoleptik warna dan aroma (Soekarto, 1985), serta indeks pencoklatan (Youn dan Choi, 1996). Mutu kimia tepung ubi jalar oranye yang diamati, yaitu kadar air (AOAC, 1995). Mutu fungsional tepung meliputi daya serap air dan minyak (Sathe dan Salunkhe, 1981), swelling power (Leach, dkk., 1959), kelarutan atau solubility

(Anderson, 1982), dan baking expansion (Demiate, dkk.,2000).

Data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan analysis of variant

(ANOVA). Perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji LSR. Pemilihan perlakuan terbaik didapatkan dengan mempertimbangkan nilai organoleptik warna, organoleptik aroma, indeks pencoklatan, swelling power, dan baking expansion dengan menggunakan metode indeks efektivitas (deGarmo, dkk., 1984).

Masing -masing parameter diberikan bobot variabel (BV) dengan angka 0 – 1. Besar bobot ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan parameter.

(5)

Ne = Nilai Perlakuan (NP) - Nilai Terburuk (N r) Nilai Terbaik (N k) - Nilai Teburuk (N r)

Nilai hasil (Nh) dari masing-masing parameter ditentukan dari hasil perkalian antara nilai efektivitas (Ne) dengan bobot normal (BN). Nilai hasil dari tiap parameter dijumlahkan untuk mengetahui total nilai hasil. Total Nh yang tertinggi menunjukkan hasil perlakuan terbaik.

Tepung ubi jalar dengan mutu terbaik selanjutnya dianalisis kadar β-karoten (Apriyantono, dkk., 1989), kadar abu (Sudarmadji, dkk., 1997), kadar protein (metode Kjedahl, AOAC, 2005), kadar lemak (AOAC, 1995), kadar serat kasar (AOAC, 1995), total gula (Apriyantono, dkk., 1989), gula reduksi (Apriyantono, dkk., 1989), kadar pati dengan metode hidrolisis asam (Apriyantono, dkk., 1989), amilosa dan amilopektin (SNI-6128-2008), dextrose

equivalent (DE), derajat polimerisasi (DP), dan Kadar Vitamin C (Metode Kolorimetri, Apriyantono, dkk., 1989).

Mutu Fisik

Warna

(6)

(positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus :

o

Hue = tan-1 . Jika hasil yang diperoleh: 18o– 54o maka produk berwarna red (R)

54o– 90o maka produk berwarna yellow red (YR) 90o– 126o maka produk berwarna yellow (Y)

126o– 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o– 198o maka produk berwarna green (G)

198o– 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o– 270o maka produk berwarna blue (B)

270o– 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o– 342o maka produk berwarna purple (P) 342o– 18o maka produk berwarna red purple (RP)

Densitas kamba

Pengujian densitas kamba mengacu pada prosedur Okaka dan Potter (1977) Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas ukur

100 ml sambil ditepuk-tepuk 20-30 kali dengan menggunakan jari agar memadat, kemudian volume sampel dicatat. Densitas kamba dihitung sebagai berikut :

(7)

Uji organoleptik warna dan aroma

Pengujian organoleptik warna dan aroma mengacu pada prosedur Soekarto (1985). Sampel tepung ubi jalar yang telah diberi kode secara acak, diuji oleh 20 panelis. Pengujian dilakukan secara inderawi (organoleptik) berdasarkan skala hedonik 1-9 seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Skala nilai hedonik warna dan aroma

Skala hedonik Keterangan Ekstrak disaring dengan corong Buchner menggunakan kertas Whatman No. 2, kemudian filtrat dibiarkan selama 2 jam pada suhu ruang. Konsentrasi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

Mutu Kimia

Kadar air

(8)

dipanaskan pada suhu 105 oC selama tiga jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai dingin kemudian ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan berulang sampai diperoleh berat sampel konstan.

Kadar Air = erat sampel awal - berat sampel akhir erat sampel awal x 100

Mutu Fungsional

Daya serap air/daya serap minyak

Pengujian daya serap air/daya serap minyak mengacu pada prosedur Sathe dan Salunkhe (1981). 1 g pati dilarutkan dalam 10 ml air atau minyak selama 30 detik dan dibiarkan pada suhu kamar. Setelah itu dilakukan sentrifugasi pada 4000 rpm selama 40 menit. Air atau minyak dituang dan ditimbang berat tabung dan pastanya.

SA/ SM (g/g) = berat akhir - berat tabung) eratbahan kering berat bahan kering

Keterangan : DSA = Daya Serap Air DSM = Daya Serap Minyak

Swelling power

(9)

( ) = erat sampel kering (g) erat pasta (g) x 100

Kelarutan (Solubility)

Pengujian kelarutan (solubility) mengacu pada prosedur Anderson (1982). Sampel ditimbang sebanyak 1 g lalu ditambahkan 10 ml akuades dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 30 menit sambil diaduk. Selanjutnya campuran disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 2200 rpm untuk memisahkan antara padatan dengan cairannya. Supernatan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan pada oven suhu 105 oC hingga beratnya konstan lalu berat padatan supernatan kering ditimbang.

Kelarutan ( ) = erat padatan dalam supernatan kering (g) erat sampel awal (g) x 100

Baking expansion

Pengujian baking expansion mengacu pada prosedur Demiate, dkk. (2000). Sampel ditimbang 8 g ditambah 13,3 ml akuades, lalu

digelatinisasi hingga terbentuk adonan yang tidak lengket. Adonan dioven pada suhu 200 oC selama 25 menit. Hasil panggangan didinginkan dan ditimbang. Selanjutnya adonan dilapisi permukaannya dengan pencelupan dalam parafin. Penentuan volume hasil panggangan dengan mencelupkan sampel ke dalam gelas ukur berisi air hingga seluruh bagian terendam dan peningkatan volume tercatat.

(10)

Pengujian Perlakuan Terbaik

Kadar β-karoten

Pengujian kadar β-karoten mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk. (1989). Sampel ditimbang sebanyak 5 g, digerus dalam mortal

dengan alu dengan ditambahkan pertroleum eter 1 : 1 aseton dan dibantu dengan pasir murni bebas karoten untuk memudahkan penghalusan sampai ekstrak warna karoten (kuning) yang terkandung dalam sampel habis. Filtrat ditampung dalam erlenmayer dan dimasukan filtrat ke dalam corong pisah, ditambahkan akuades 50 ml ke dalam corong pisah kemudian digojok, didiamkan 5 menit maka akan terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas adalah fraksi karoten dlm petrolium eter, sedangkan lapisan bawah adalah fraksi sisa aseton yang tidak bereaksi yang terlarut dalam air. Lapisan bawah dibuang dan lapisan atas ditampung lalu dimasukkan ke dalam erlenmayer.

(11)

Kadar abu

Pengujian kadar abu mengacu pada prosedur Sudarmadji, dkk (1997). Sampel yang telah dikeringkan hingga berat konstan ditimbang sebanyak 5 g. Sampel dimasukkan kedalam cawan porselen yang telah diketahui berat awalnya dan dibakar selama 1 jam dalam tanur dengan suhu 100 °C, 2 jam dengan suhu 300 °C kemudian 2 jam dengan suhu 500 °C. Cawan porselen didinginkan kemudian dikeluarkan dari tanur dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Kadar abu diperoleh dengan rumus :

Kadar Abu ( ) = erat sampel awal (g) erat abu (g) x 100

Kadar protein (Metode KjeIdahl)

(12)

Penetapan kurva standar menggunakan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 0,01-0,03 mg/ml dilakukan dengan cara menimbang 10 mg glukosa, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Ditambahkan akuades sampai tanda tera dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer. Selanjutnya masing-masing dipipet sebanyak 1, 1,5, 2, 2,5, dan 3 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing ditambahkan akuades 9, 8,5, 8, 7,5, dan 7 ml. Setelah itu campuran tersebut dikocok atau dihomogenkan. Masing-masing dari campuran tersebut diambil 1 ml sampel, ditambahkan 0,5 ml larutan fenol 5 %, ditambahkan dengan cepat 2,5 ml larutan asam sulfat pekat dengan cara menuangkan secara tegak lurus ke permukaan larutan. Dibiarkan selama 10 menit, dikocok. Diukur absorbansinya pada 490 nm. Kurva standar dibuat dengan memplot konsentrasi glukosa terhadap absorbansinya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Total ula ( ) = Konsentrasi glukosa x FP erat sampel (g) x 1000 100

Gula reduksi

Pengujian gula pereduksi mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk. (1989). Terlebih dahulu pereaksi DNS dibuat dengan cara

(13)

0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama.

Kadar Protein ( ) = (A - ) x N Cl erat sampel (g)x 1 x ,2 x 100

A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko 14 = berat atom nitrogen 6,25 = faktor konversi

Kadar lemak

Pengujian kadar lemak mengacu pada prosedur AOAC (1995). Analisa lemak dilakukan dengan metode Soxhlet. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring, kemudian diletakan dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondensor dipasang diatasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut lemak heksan dimasukkan ke dalam labu lemak, kemudian dilakukan reflux selama ± 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak dan berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C hingga mencapai berat yang tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang.

Kadar Lemak ( ) = erat lemak(g)

erat sampel (g) x 100

Kadar serat kasar

(14)

100 °C. Setelah itu didinginkan dan ditambahkan kembali NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml dan dihidrolisis kembali selama 30 menit. Sampel disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 41 yang telah diketahui beratnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan akuades mendidih, 25 ml H2SO4 0,325 N, kemudian akuades mendidih dan yang terakhir dicuci dengan etanol 95 %. Kertas saring yang telah dicuci selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C selama satu jam, pengeringan dilakukan hingga berat konstan.

Kadar Serat Kasar ( ) = erat kertas saring (g) - berat kertas awal (g) erat sampel awal (g) x 100

Total gula

(15)

ditambahkan 20 ml alkohol 80 % dan aduk 1 jam. Larutan disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 100 ml. pH larutan diukur, jika pH asam maka ditambahkan CaCO3 hingga cukup basa. Larutan dipanaskan di waterbath 100 °C selama 30 menit. Saring kembali larutan menggunakan Whatman no. 2. Larutan dipanaskan kembali pada waterbath

hingga tidak berbau alkohol lagi. Dilakukan pengenceran kembali apabila diperlukan. Setelah persiapan sampel selesai diukur gula reduksi dengan cara diambil 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Dibiarkan dingin sampai suhu ruang. Digunakan akuades sebagai blanko.

Penetapan kurva standar menggunakan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 0,05-0,025 mg/ml dilakukan dengan cara menimbang 50 mg glukosa, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Ditambahkan akuades sampai tanda tera dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer. Selanjutnya masing-masing dipipet sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing ditambahkan akuades 9, 8, 7, 6 dan 5 ml. Setelah itu campuran tersebut dikocok atau dihomogenkan. Masing-masing dari campuran tersebut diambil 1 ml dan ditambahkan 3 ml DNS kemudian dikocok dan dipanaskan selama 5 menit. Didiamkan selama 30 menit. Selanjutnya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva standar dibuat dengan memplot konsentrasi glukosa terhadap absorbansinya (Lampiran 2).

(16)

Kadar pati

Pengujian kadar pati dengan metode hidrolisis asam mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk. (1989). Terlebih dahulu pereaksi DNS dibuat dengan cara dilarutkan 10,6 g asam 3,5-dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air ditambahkan ke dalam larutan tersebut 306 g NaK-tartarat, 7,6 ml fenol (cairkan pada suhu 50 °C) dan 8,3 g Na-metabisulfit, dicampur merata. Pereaksi DNS distandarisasi dengan cara dititrasi 3 ml pereaksi DNS dengan HCl 0,1 N dan indikator fenolftalein. HCl 0,1 N yang dibutuhkan 5-6 ml, jika kurang dari itu ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan 0,1 ml HCL 0,1 N.

Setelah itu dilakukan persiapan sampel dengan cara pati ditimbang sebanyak 5 g yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml, selanjutnya ditambahkan 50 ml alkohol 80 % dan diaduk selama 1 jam. Suspensi tersebut disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang terlarut dan dibuang.

Residu pati yang terdapat pada kertas saring dicuci sebanyak 5 kali dengan 10 ml eter. Eter dibiarkan menguap dari residu, kemudian cuci kembali dengan 150 ml alkohol 10 % untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan cara pencucian dengan 200 ml air dan ditambahkan 20 ml HCl 25 %.

(17)

Setelah persiapan sampel selesai diukur gula reduksi dengan cara diambil 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Sampel ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit dan dibiarkan dingin sampai suhu ruang. Absorbansi sampel dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kadar pati sampel dihitung dengan menghitung glukosa sampel menggunakan kurva standar glukosa. Penetapan kurva standar glukosa dibuat dengan cara yang sama dengan penentuan gula reduksi.

Kadar Pati ( ) = Konsentrasi glukosa (mg/ml) x FP x 100 erat sampel (g) x 1000 0,

Kadar amilosa dan amilopektin

Pengujian kadar amilosa dan amilopektin mengacu pada prosedur SNI 6128-2008. Sampel sebanyak 0,1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran tersebut dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit hingga semua terlarut kemudian didinginkan. Selanjutnya campuran tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Kemudian 5 ml larutan dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan 1 ml asam asetat 1 N, 2 ml larutan iod dan akuades hingga tanda tera. Lalu dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Kemudian absorbansinya diukur dengan menggunakan panjang gelombang 620 nm. Konsentrasi kandungan amilosa ditentukan dengan menggunakan kurva standar, melalui persamaan linier yang diperoleh.

(18)

dipanaskan ke dalam air mendidih selama 10 menit sampai semua bahan terlarut, kemudian didinginkan. Campuran tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Larutan campuran dipipet ke dalam labu takar 100 ml masing-masing 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml. Lalu ke dalam labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N berturut-turut 0,2 ml, 0,4 ml, 0,6 ml, 0,8 ml, 1 ml serta masing-masing 2 ml larutan iod. Kemudian ditambahkan akuades sampai tanda tera. Larutan dihomogenkan dengan menggunakan magnetik stirer lalu dibiarkan selama 20 menit, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm, yaitu hubungan panjang gelombang yang memberikan absorbansi maksimum untuk warna biru.

Kadar Amilosa ( ) = Konsentrasi amilosa (mg/ml) x FP x 0,001 erat sampel (g) x 100

Kadar Amilopektin (%) = Kadar pati (%) - kadar amilosa (%)

Dextrose equivalent (DE)

Pengujian dextrose equivalent mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk. (1989). Dextrose equivalent merupakan tingkat konversi dari

hidrolisa pati. Nilai ini dapat diukur dengan membandingkan nilai gula reduksi terhadap total gula yang dihasilkan pada hidrolisis. DE dihitung dengan menggunakan rumus :

= ula reduksiTotal ula x 100

Derajat polimerisasi (DP)

(19)

rata-rata unit monomer dari molekulnya. Ini menunjukkan nilai dari unit glukosanya. Derajat polimerisasi dihitung dengan menggunakan rumus :

P = 100

Kadar vitamin C

Pengujian kadar vitamin C dengan metode kolorimeter mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk. (1989). Larutan dye dibuat dengan menimbang 100 mg 2,6-diklorofenol indofenol dan 84 mg sodium bikarbonat, dilarutkan dalam akuades dan diterakan hingga 100 ml. Larutan dipipet 25 ml dan ditera pada labu ukur 500 ml.

Sampel ditimbang sebanyak 5 g ditambahkan H2C2O4 6 % dan disaring hingga volume 100 ml. Filtrat diambil 5 ml, dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml larutan dye dengan cepat, dikocok sekitar 10 detik dan dibaca pada panjang gelombang 518 nm menggunakan spektrofotometer. Nilai absorbansi dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar.

Asam askorbat ditimbang 100 mg dan ditambahkan H2C2O4 6 % hingga tera labu ukur 100 ml. Diencerkan 4 ml larutan tersebut sampai volume 100 ml dengan H2C2O4 6 %. Dipipet masing-masing 1 ml, 2 ml, 2,5 ml, 3 ml, dan 4 ml larutan standar, ditera dengan H2C2O4 6 % sampai 5 ml. Larutan Dye ditambahkan dengan cepat sebanyak 10 ml ke larutan standar, dikocok sekitar 10 detik, dibaca absorbansi sampel pada panjang gelombang 518 nm. Kurva standar asam askorbat dapat dilihat pada Lampiran 3.

(20)

Pendinginan pada suhu ruang dan dilakukan penggilingan

(21)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fisik Tepung Ubi Jalar Oranye

Mutu fisik tepung ubi jalar oranye yang diamati meliputi nilai warna dengan kromameter, densitas kamba, uji organoleptik warna dan aroma, dan indeks pencoklatan. Pengaruh metode perlakuan awal (pre-treatment) dan suhu pengeringan terhadap mutu fisik dari tepung ubi jalar oranye dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) terhadap mutu fisik tepung ubi jalar oranye Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standard deviasi. Angka yang

(22)

Tabel 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu fisik tepung ubi jalar oranye

Parameter

Suhu Pengeringan (T)

T1 T2 T3 T4

50 oC 55 oC 60 oC 65 oC

Warna (oHue) 87,51±5,20 86,86±3,53 86,39±3,66 87,17±2,14 Nilai L* 84,10±8,18a 84,27±5,49a 83,73±8,47a 81,88±9,71b Densitas

kamba (g/ml) 0,48±0,02 0,48±0,04 0,49±0,03 0,49±0,03 Organoleptik

warna 5,89±3,08

ab,AB

6,08±1,92a,A 5,63±2,43bc,AB 5,35±2,54c,B Organoleptik

aroma 5,52±1,06 5,39±0,83 5,43±0,89 5,23±1,39 Indeks

pencoklatan 0,55±0,04 a

0,52±0,11ab 0,51±0,12ab 0,49±0,13b Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standard deviasi. Angka yang

diikuti dengan huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) (huruf besar) dengan uji LSR.

Warna

Nilai warna tepung dilihat dari derajat kecerahan (L*) dari nilai (oHue).

(23)

85,45b,B 87,13a,A 87,37a,A 87,97a,A

Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa pengupasan kulit ubi akan meningkatkan nilai warna. Perendaman dalam sodium metabisulfit (Na2S2O5) meskipun menghasilkan tepung dengan indeks warna (oHue) yang lebih tinggi, tetapi secara statistik berbeda tidak nyata dengan tepung dengan ubi yang dikupas tanpa perendaman Na2S2O5. Nilai oHue 54o – 90o menunjukkan produk berwarna

P1 P2 P3 P4

(24)

kuning kemerahan (Hutchings, 1999). Warna kuning kemerahan pada tepung disebabkan oleh kandungan β-karoten pada ubi jalar oranye. β-karoten memiliki sifat yang sensitif terutama terhadap oksigen dan cahaya Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia β-karoten menyebabkan β-karoten tidak stabil terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara (Tungriani, dkk., 2012). Nilai kecerahan tepung ubi jalar oranye dinyatakan dalam L* dengan nilai 0-100. Semakin tinggi nilai L* maka semakin cerah warna tepung ubi jalar dan semakin rendah nilai nilai L* maka semakin gelap warna tepung ubi jalar. Peningkatan nilai warna menyebabkan tepung berwarna kuning kemerahan cenderung cerah. Perlakuan perendaman dalam sodium metabisulfit akan meningkatkan nilai kecerahan tepung. Hal ini sejalan dengan peningkatan nilai L* tepung.

Tepung dengan adanya pengupasan memiliki warna cenderung lebih kuning kemerahan cerah dibanding tanpa pengupasan. Adanya kulit pada ubi membuat β-karoten lebih terjaga sehingga warnanya lebih pekat. Pengupasan pada ubi akan membuat β-karoten teroksidasi ketika terkena udara sehingga warna tepung yang dihasilkan cenderung cerah. Hal ini sejalan dengan nilai L* yang dihasilkan.

(25)

84,10a 84,27a

perendaman memiliki warna cenderung lebih kuning kemerahan cerah dibandingkan dengan pengupasan dan tidak dilakukan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5). Perendaman dalam sodium metabisulfit (Na2S2O5) dapat menghambat pemecahan betakaroten, mencegah oksidasi lemak, dan mengurangi perubahan warna (Fathoni,dkk., 2016).

Hubungan suhu pengeringan dengan nilai L* dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai L* tepung (Error bar: ± Standar deviasi)

Gambar 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan akan mengurangi kecerahan warna tepung. Kusumawati, dkk. (2012) menyatakan bahwa reaksi antara karbohidrat dan protein yang ada dalam produk akan menghasilkan melanoidin yang berwarna gelap. Semakin tinggi suhu pengeringan, maka reaksi Maillard akan semakin cepat sehingga menurunkan kecerahan tepung.

Densitas kamba

(26)

4,80c,B 5,31

pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap densitas kamba tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 9 menunjukkan interaksi perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap densitas kamba tepung.

Organoleptik warna

(27)

Gambar 11 menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan awal berupa pengupasan ubi dan perendaman dalam sodium metabisulfit akan meningkatkan kesukaan panelis terhadap nilai organoleptik warna. Hal ini sejalan dengan hasil warna (oHue dan nilai L*) tepung ubi yang dihasilkan yang juga mengalami peningkatan. Buah dan sayuran yang telah dikupas kulitnya pada perlakuan awal akan mengalami reaksi pencoklatan enzimatik atau timbulnya warna gelap pada daging umbi (Meyer, 1973). Berbeda halnya dengan perlakuan tidak dikupas, kulit pada bahan dapat mengurangi terjadinya reaksi pencoklatan enzimatik, tetapi warna kulit ubi yang memiliki warna coklat turut mengurangi kecerahan tepung. Reaksi pencoklatan secara enzimatik dapat terjadi pada buah dan sayuran yang mengandung substrat senyawa fenolik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi pencoklatan enzimatik memerlukan adanya enzim polifenoloksidase dan oksigen yang berhubungan dengan substrat tertentu (Winarno, 1992).

(28)

5,89ab,AB 6,08a,A

Perlakuan awal ada tidaknya pengupasan dan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) dapat meningkatkan kesukaan warna panelis terhadap tepung ubi jalar dibandingkan dengan perlakuan awal tanpa perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5). Perlakuan dengan sulfit bertujuan untuk mempertahankan warna, cita rasa, karoten, serta mempertahankan stabilitas kualitas produk (Purwanto, dkk., 2013). Organoleptik warna terendah diperoleh pada tepung ubi jalar tanpa pengupasan dan tertinggi diperoleh pada tepung ubi jalar yang dilakukan pengupasan dengan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 %. Hubungan suhu pengeringan dengan organoleptik warna dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai organoleptik warna tepung (Error bar: ± Standar deviasi)

Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai kesukaan panelis terhadap organoleptik aroma akan semakin menurun. Semakin tinggi suhu dari pengeringan dan semakin lama perlakuan pengeringan

akan membuat semakin banyak pigmen warna yang berubah (Susanto dan Saneto, 1994). Adanya proses pemanasan menyebabkan penurunan

(29)

5,11b,B 5,13b,B 5,54a,A 5,78

ubi (Lidiasari, dkk., 2006). Organoleptik warna merupakan salah satu parameter fisik penting yang dinilai konsumen karena menyangkut kesukaan panelis terhadap produk.

Organoleptik aroma

Tabel 5 menunjukkan perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai organoleptik aroma. Tabel 6 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik aroma. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik aroma tepung. Hubungan perlakuan awal dengan nilai organoleptik aroma dapat dilihat pada Gambar 13.

(30)

memberikan pengaruh berbeda tidak nyata pada aroma tepung, tetapi perlakuan perendaman dalam sodium metabisulfit secara nyata akan meningkatkan nilai kesukaan terhadap aroma. Tepung ubi jalar dengan perlakuan pengupasan dan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 % memberikan aroma terbaik yang disukai panelis dibanding perlakuan lainnya.

Tepung yang tidak dilakukan perendaman rentan mengalami kerusakan karotenoid yang disebabkan karena adanya oksidasi karotenoid yang dikatalis lipoksigenase. Lipoksigenase adalah enzim yang banyak ditemukan dalam tumbuhan, salah satunya umbi. Reaksi oksidasi yang dikatalis lipoksigenase dapat menyebabkan adanya penyimpangan flavor pada ubi. Hal ini disebabkan karena oksidasi asam lemak tak jenuh ganda yang menimbulkan bau menyimpang. Lipoksigenase juga dapat menyebabkan penurunan kualitas warna, hilangnya

pigmen karoten dan klorofil, serta rusaknya asam lemak esensial (Baysal dan Demirdoven, 2007). Perendaman mampu mempengaruhi aroma

tepung, diduga kerusakan karotenoid dalam ubi dapat dihambat oleh sodium metabisulfit (Na2S2O5). Sodium metabisulfit menghambat pembentukan melanoidin (pencoklatan) sehingga kerusakan karotenoid juga dapat dicegah, sehingga aroma yang dihasilkan lebih disukai panelis. Organoleptik aroma merupakan salah satu parameter fisik penting yang dinilai konsumen karena menyangkut kesukaan panelis terhadap produk.

Indeks pencoklatan

(31)

0,55a

pencoklatan tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap indeks pencoklatan tepung. Hubungan suhu pengeringan dengan indeks pencoklatan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan suhu pengeringan dengan indeks pencoklatan (Error bar: ± Standar deviasi)

(32)

7,28

Pengaruh Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Air Tepung Ubi Jalar Oranye

Lampiran 16 menunjukkan perlakuan awal, suhu pengeringan, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air tepung. Interaksi perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Interaksi antara perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap kadar air (Error bar: ± Standar deviasi)

(33)

lebih tinggi. Bagian kulit memiliki elastisitas dinding sel lebih baik dalam menyerap air dibandingkan dinding sel daging ubi (Ovrisadinita, dkk., 2016). Perlakuan perendaman ubi jalar dalam sodium metabisulfit (Na2S2O5) membuat kadar air tepung menjadi lebih rendah dibandingkan ubi yang tidak dilakukan perendaman. Hal ini diduga karena sodium metabisulfit (Na2S2O5) dapat merusak jaringan ubi jalar yang mengakibatkan sel-sel jaringan menjadi berlubang dan dengan cepat dapat menguapkan air bahan. Hal ini sesuai dengan Herudiyanto, dkk. (2007) yang menyatakan bahwa proses sulfitasi menyebabkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi berlubang, sehingga akan mempercepat proses pengeringan dan air dalam bahan dapat dengan cepat teruapkan.

Semakin tinggi suhu pengeringan membuat kadar air tepung ubi jalar oranye semakin rendah. Nilai kadar air terendah, yaitu pada suhu 65 oC dan kadar air tertinggi pada suhu 50 oC yang disebabkan karena penguapan air dari bahan yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan Desrosier (1988) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan, maka semakin besar panas yang dibawa udara, semakin banyak jumlah air yang diuapkan dari pemukaan bahan yang dikeringkan. Suhu dan lama pengeringan merupakan faktor yang berpengaruh dalam proses pengeringan, akan tetapi proses pengeringan dengan suhu yang

terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan pengeringan tidak merata (Martunis, 2012). Kadar air tertinggi diperoleh pada tepung dengan perlakuan

(34)

Pengaruh Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Fungsional Tepung Ubi Jalar Oranye

Mutu fungsional tepung ubi jalar oranye yang diamati meliputi daya serap air, daya serap minyak, swelling power, kelarutan (solubility), dan baking expansion. Pengaruh metode perlakuan awal (pre-treatment) dan suhu pengeringan terhadap mutu fungsional dari tepung ubi jalar oranye dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) terhadap mutu fungsional tepung ubi jalar oranye Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standard deviasi.

(35)

Daya serap air

Tabel 7 menunjukkan perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap air tepung. Tabel 8 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap air tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 18 menunjukkan interaksi perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap air tepung.

Daya serap minyak

Tabel 7 menunjukkan perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap minyak tepung. Tabel 8 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap minyak tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 19 menunjukkan interaksi perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap minyak tepung.

Swelling power

Tabel 7 menunjukkan perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap sweeling power tepung. Tabel 8 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap

(36)

Kelarutan (solubility)

Tabel 7 menunjukkan perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kelarutan (solubility)tepung. Tabel 8 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kelarutan (solubility) tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 21 menunjukkan interaksi perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kelarutan (solubility) tepung.

Baking expansion

(37)

Pemilihan Perlakuan Awal (Pre-Treatment) dan Suhu Pengeringan yang Menghasilkan Tepung Ubi Jalar Oranye dengan Mutu Terbaik

Berdasarkan hasil pengujian tepung ubi jalar oranye dengan perlakuan awal (pre-treatment) dan suhu pengeringan yang berbeda, maka pengambilan tepung terbaik dilihat dari parameter organoleptik warna (OW), organoleptik aroma (OA) , indeks pencoklatan (IP), swelling power (SP), dan baking expansion

(BE). Penentuan perlakuan terbaik diambil menggunakan metode indeks efektivitas (deGarmo, dkk., 1984) yang dapat dilihat pada Lampiran 23. Perhitungan menggunakan metode deGarmo memberikan hasil nilai rata hubungan nilai bobot dan nilai perlakuan terbesar yang merupakan perlakuan terbaik. Masing-masing parameter diberikan bobot variabel dengan angka 0 – 1 berdasarkan tingkat kepentingan parameter. Semakin tinggi tingkat kepentingan, maka semakin tinggi nilai bobot variabel yang diberikan. Nilai hasil dari tiap parameter dijumlahkan untuk mengetahui total nilai hasil.Hasil analisis perlakuan terbaik dengan metode deGarmo dipilih berdasarkan total nilai hasil paling tinggi.

(38)

Tabel 9. Tepung ubi jalar oranye dengan metode perlakuan awal hasil perendaman ubi yang tidak dikupas dengan Na2S2O5 pada suhu pengeringan 60 oC

Komposisi Tepung Ubi Jalar Oranye

β-karoten (mg/100 g) Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standard deviasi.

Pada Tabel dapat dilihat bahwa kandungan β-karoten tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 28,69 mg/100 g. Balitkabi (2012) menyatakan bahwa

kandungan β-karoten ubi jalar oranye adalah 380,93 µg/100 g. Tungriani, dkk. (2012) menyatakan bahwa β-karoten memiliki sifat yang sensitif

terutama terhadap oksigen dan cahaya karena adanya ikatan rangkap pada struktur kimia β-karoten.

Kadar abu tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 2,52 %. Menurut Balitkabi (2012) kadar abu pada ubi jalar oranye adalah 1,91 %. Nurfitasari, dkk. (2015) menyatakan bahwa penambahan natrium metabisulfit membuat kadar abu bahan semakin tinggi karena adanya kandungan mineral Na dan S. Martunis (2013) menyatakan bahwa suhu pengeringan 60 oC membuat kandungan air bahan teruapkan lebih banyak sehingga mineral yang tertinggal pada bahan menjadi meningkat.

(39)

adalah 1,70 %. Menurut Purwanto (2013) perendaman natrium metabisulfit lebih berperan dalam menginaktifkan enzim pencoklatan sehingga tidak sampai berdampak pada perubahan kadar lemak.

Kadar protein tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 4,83 %. Balitkabi (2012) menyatakan bahwa kadar protein ubi jalar oranye adalah 1,91 %. Kadar serat kasar tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 3,73 %. Balitkabi (2012) menyatakan bahwa kadar serat kasar ubi jalar oranye adalah 1,63 %. Menurut Ovrisadinita, dkk. (2016) pada bagian kulit terkandung serat kasar (selulosa,

lignin). Kadar pati tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 53,91 %. Ginting, dkk. (2005) menyatakan bahwa kadar pati ubi jalar oranye adalah

31,37%. Proses pengeringan akan membuat air dari bahan teruapkan sehingga persentase kadar serat, protein, dan pati semakin tinggi. Serat dan pati merupakan

bagian dari karbohidrat. Hal ini sesuai dengan Muchtadi dan Ayutaningwarno (2010) menyatakan bahwa dengan mengurangi

kadar airnya, bahan pangan akan mengandung senyawa seperti karbohidrat, protein, dan mineral yang lebih tinggi.

Kadar amilosa tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 19,01 % dan kadar

amilopektin tepung ubi jalar oranye terbaik adalah 34,90 %. Ovrisadinita, dkk. (2016) menyatakan bahwa amilosa mempunyai kemampuan

(40)

makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas.

Total gula tepung ubi jalar oranye terbaik sebesar 8,96 % dan gula reduksi

tepung ubi jalar oranye terbaik sebesar 2,68 %. Menurut Ovrisadinita, dkk. (2016) sulfit akan menekan reaksi pencoklatan

non-enzimatik yang dapat menyebabkan kerusakan protein karena asam amino sekundernya berikatan dengan gula reduksi.

Dextrose equivalent (DE) tepung ubi jalar oranye terbaik, yaitu 29,93 % dan derajat polimerisasi (DP) adalah 3,34 unit. DE adalah jumlah gula reduksi sebagai persen dari dektrosa murni dihitung dalam berat kering bahan, sedangkan DP adalah satuan yang menyatakan jumlah rata-rata unit monosakarida dalam molekul (Suarni, dkk., 2007).

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) dan suhu pengeringan terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perlakuan awal (pre-treatment) memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai warna, organoleptik warna, organoleptik aroma, dan kadar air, memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap daya serap minyak, serta memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap densitas kamba, indeks pencoklatan, daya serap air, swelling power, kelarutan, dan baking expansion.

2. Suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap organoleptik warna, indeks pencoklatan, dan kadar air, serta memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai warna, densitas kamba, organoleptik aroma, daya serap air, daya serap minyak,

swelling power, kelarutan, dan baking expansion.

(42)

4. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik aroma, organoleptik warna, indeks pencoklatan, swelling power, dan baking expansion diperoleh hasil tepung ubi jalar oranye terbaik adalah tepung dengan perlakuan tidak dikupas dan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 % pada suhu 60 oC.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam menentukan mutu produk pangan dan aplikasinya dengan menggunakan substitusi tepung ubi jalar oranye tidak dikupas dan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 % pada suhu 60 oC.

Gambar

Tabel 4. Skala nilai hedonik warna dan aroma
Gambar 7. Skema pembuatan tepung ubi jalar oranye
Tabel 5. Pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) terhadap mutu fisik tepung ubi jalar oranye
Tabel 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu fisik tepung ubi jalar oranye
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerja Praktek (KP) merupakan salah suatu kegiatan akademik yang wajib dilaksanakan oleh mahasiswa Program Studi S1 di Fakultas Informatika, kegiatan KP dilaksanakan dengan

[r]

merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri seseorang yang perlu dipenuhi agar orang tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi

JUDUL : KEPERAWANAN PASCA MELAHIRKAN MEDIA : MINGGU PAGI. TANGGAL : 17

Variabel yang secara statistik mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Alalak Tengah Kota Banjarmasin adalah konsumsi

Tarian tradisional : Tari serampang duabelas, tari to-tor, tari terang bulan(karo), tari maena(Nias), tari pesta gembira.. Rumah adat :

Abstrak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran dan motivasi terhadap prestasi belajar integral pada mahasiswa Universitas

empedu, biasanya berhubngan dg batu empedu yang tersangkut pada duktus kistik yang.. menyebabkan distensi