• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-crp PADA PPOK STABIL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-crp PADA PPOK STABIL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TESIS"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-CRP PADA

PPOK STABIL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

dr. Katarina Julike NIM : 147041062

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2018

(2)

HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-CRP PADA

PPOK STABIL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

dr. Katarina Julike NIM : 147041062

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2018

(3)

HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-CRP PADA

PPOK STABIL DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Patologi Klinik/M. Ked (Clin Path) Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumater Utara

dr. Katarina Julike NIM : 147041062

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2018

(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Syalom damai sejahtera bagi kita semua. Puji dan syukur yang sedalam- dalamnya atas limpahan berkat dan kasih karunia Tuhan Yesus Kristus yang telah diberikan-Nya kepada saya sehingga saya, penulis bisa menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Hubungan Nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 (VEP1) dengan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP pada pasien PPOK stabil di RSUP. H. Adam Malik Medan”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Patologi Klinik/M.Ked (Clin.Path) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

(7)

2. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M-K selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

3. Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie Sp.PK-KH, sebagai Ketua Program Studi sekaligus sebagai Pembimbing I saya yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini. Beliau juga memberikan dukungan selayaknya orangtua saya sehingga saya merasakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Saya berdoa semoga semua beliau diberikan kesehatan, panjang umur dan diberkati seluruh keluarganya.

4. Yth, Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru), Sp.P-K, sebagai pembimbing II dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK- USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

5. Yth, Dr. Hj. Ricke Loesnihari, M.Ked (ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Ketua Departemen Patologi Klinik FK USU dimana beliau telah banyak

(8)

memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada saya selama mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai.

6. Yth, Dr. Malayana Rahmita Nasution, M.Ked (ClinPath), Sp.PK, sebagai Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

7. Yth, Dr. Jelita Siregar, M.Ked (ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan memotivasi selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Yth, Prof. Dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini

10. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

11. Yth, Dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK-K, Dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K, Dr.

Tapisari Tambunan, Sp.PK-K, Dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK, Dr. Ida Adhayanti, Sp.PK, Dr. Ranti Permatasari, Sp.PK-K, Dr. Nindia Sugih Arto, M.Ked (ClinPath), Sp.PK, Dr. Almaycano Gintings, M.Kes, M.Ked (ClinPath), Sp.PK, Dr. Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked (ClinPath),

(9)

Sp.PK, dan semua guru-guru saya yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

12. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

13. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, para analis dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada saya, sejak mulai pendidikan dan selesainya tesis ini.

14. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Ayahanda Kalep Sinulingga dan Ibunda Nurmin br. Tarigan atas cinta, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-bosannya mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini. Kiranya Tuhan Yesus membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Juga kepada Abang saya dr. Ardi Juanda dan istri dr.

Katrin Rotua Simbolon, dan adik bungsu saya Megah Atai, SE yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan.

Semoga Tuhan Yesus selalu menyertai mereka.

(10)

15. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Suami saya Windu Terkelin Ginting, ST, MMPP yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Dan juga kapada anak saya Harrell Mabay Terkelin Ginting yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama saya mengikuti pendidikan, semoga ini semua dapat menjadi motivasi dalam mencapai cita- citamu. Semoga pencapaian ini diberkati oleh Tuhan Yesus dan menjadi berkat bagi seluruh keluarga.

16. Terima kasih juga saya ucapkan kepada ibu mertua saya Mariam br. Sitepu yang telah memberikan dorongan serta mendoakan sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kiranya Tuhan Yesus membalas semua baik budi dan kasih sayangnya. Juga kepada abang dan kakak ipar saya Kapt. Inf.

Washington Ginting, SH, M.Kn dan kakak Hema Novita br. Sinukaban, S.Sos, Herlianta br. Ginting, SKM dan abang dr. Darta Tarigan, Heriani br. Ginting, S.Sos dan abang Drs. Sentosa Ketaren, Wahyu Pehulisa Ginting, SKM dan kakak Nirmala br. Barus, S.Pd yang memberikan dukungan dan semangat selama saya mengikuti pendidikan.

17. Kepada teman-teman seangkatan Patologi Klinik, dr. Maisyaroh Tiurma Anggraini Saragih dan dr. Jeffry Nugraha, terima kasih atas dukungan, kerjasama serta masa-masa indah yang pernah kita jalani bersama, semoga kita tetap dapat menjalin tali silaturahmi.

(11)

Kepada berbagai pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, sebagai manusia biasa, saya menyadari akan keterbatasan dan kekurangan serta tidak terlepas dari tutur kata dan tingkah laku yang kurang berkenan dihati, maka pada kesempatan ini saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya.

Akhir kata semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin

Medan, Oktober 2018 Penulis,

dr. Katarina Julike

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

ABSTRAK ... xviii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis Penelitian ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 6

2.1.1 Epidemiologi ... 6

2.1.2 Definisi ... 7

2.1.3 Patofisiologi PPOK ... 8

2.1.4 Berdasarkan GOLD 2017 ... 12

2.1.5 Etiologi ... 13

(13)

2.1.6 Tanda dan Gejala Klinis ... 14

2.1.7 Diagnosis PPOK ... 14

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ... 15

2.1.9 Combined COPD Assessment ... 15

2.1.10 Prognosis ... 16

2.1.11 Penatalaksanaan ... 20

2.2 Vitamin D ... 21

2.2.1 Vitamin D dan PPOK ... 25

2.2.2 Pemeriksaan Kadar Vitamin D dengan alat Mini Vidas ... 26

2.3 hs-CRP ... 27

2.3.1 Struktur hs-CRP ... 27

2.3.2 Fungsi CRP ... 28

2.3.3 Kadar hs-CRP ... 30

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CRP ... 31

2.3.5 Pemeriksaan kadar hs-CRP dengan alat Mini Vidas ... 33

2.4 Kerangka Teori ... 35

2.5 Kerangka Konsep ... 36

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 37

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ... 37

(14)

3.5 Ethical Clearance dan Informed Consent ... 39

3.6 Perkiraan Besar Sampel ... 39

3.7 Definisi Operasional ... 40

3.8 Cara Kerja ... 41

3.9 Pemantapan Kualitas ... 47

3.10 Rencana Pengolahan Data ... 49

3.11 Alur Penelitian ... 50

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 51

4.2 Hubungan VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan Leukosit ... 53

4.3 Hubungan VEP1 dengan kadar hs-CRP ... 54

4.4 Klasifikasi pasien berdasarkan VEP1 sesuai kriteria GOLD ... 54

4.5 Uji beda kadar 25(OH) vitamin D, Leukosit dan hs-CRP berdasarkanGOLD ... 55

BAB 5. PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Penelitian ... 58

5.2 Korelasi VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan Leukosit ... 61

5.3 Korelasi VEP1 dengan kadar hs-CRP ... 62

(15)

5.4 Kadar 25(OH) vitamin D, Leukosit dan hs-CRP

berdasarkan GOLD ... 63

BAB. 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 66

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 74

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Mekanisme hambatan aliran udara pada PPOK ... 13

Gambar 2.2 Penilaian PPOK menurut GOLD 2017 ... 18

Gambar 2.3 Sintesis Vitamin D ... 22

Gambar 2.4 Prinsip pemeriksaan Vitamin D metode ELFA... 26

Gambar 2.5 Cara kerja pemeriksaan Vitamin D dengan Mini Vidas ... 26

Gambar 2.6 Struktur CRP ... 27

Gambar 2.7 Patogenesis CRP pada PPOK ... 29

Gambar 2.8 Prinsip pemeriksaan hs-CRP metode Immunoturbidimetri ... 33

Gambar 2.9 Kerangka Teori ... 35

Gambar 2.10 Kerangka Konsep ... 36

Gambar 3.1 Kalibrasi 25(OH) vitamin D ... 48

Gambar 3.2 Kalibrasi Leukosit ... 48

Gambar 3.3 Kalibrasi hs-CRP ... 49

Gambar 3.4 Alur Penelitian ... 50

Gambar 4.1 Klasifikasi pasien PPOK berdasarkan kriteria GOLD ... 55

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara

pada PPOK ... 13

Tabel 2.2 Penilaian tes PPOK ... 19

Tabel 2.3 Derajat mMRC ... 20

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 40

Tabel 3.2 Nilai rujukan kadar 25(OH) vitamin D ... 44

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 51

Tabel 4.2 Uji korelasi VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan jumlah Leukosit ... 54

Tabel 4.3 Uji korelasi VEP1 dengan kadar hs-CRP ... 54

Tabel 4.4 Hasil uji beda kadar 25(OH) vitamin D, Leukosit dan hs-CRP bedasarkan GOLD ... 56

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data

Lampiran 4. Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

Lampiran 5. Daftar Riwayat Hidup

(19)

DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cell CAT : COPD Assessment Test

COAD : Chronic Obstructive Airway Disease COLD : Chronic Obstructive Lung Disease COPD : Chronic Obstruktive Pulmonary Disease CT : Computed Tomography

DNA : Deoxyribonucleic acid

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELFA : Enzyme Linked Fluorescent Assay EBV : Ebstein Barr Virus

FEV -1 : Forced Expiratory Volume in one second FVC : Forced Vital Capacity

GOLD : The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Pulmonary Disease

hs –CRP : High Sensitive C Reactive Protein IL : Interleukin

IFN –γ : Interferon gamma IFN –β2 : Interferon beta 2 IgA : Imunoglobulin A JAK : Janus Activated Kinase KVP : Kapasitas Vital Paru

(20)

MCP : Monocyte Chemotactic Peptide MMP-9 : Matriks Metalloproteinase-9

mVDR : Membrane sel Vitamin D Reseptor nVDR : Nucleus Vitamin D Reseptor

NADPH : Nicotineamid Adenosine Dinucleotide Phosphate NHANES III : National Health and Nutritional Examination Survey III PAF : Platelet Activating Factor

PAMPs : Pathogen Associated Molecular Patterns

PPM & PL : Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

PMN : Polimorfonuclear

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik PTH : Parathyroid Hormone

PRRs : Pattern Recognition Receptors

RANK : Reseptor Activator of Nuclear factor kβ ligand ROS : Reactive Oxygen Species

RXR : Reseptor Asam Retinoic –X sIL -6R : Solluble Interleukin 6 Reseptor SAP : Serum Amyloid P component

SOPT : Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis SPR : Solid Phase Respectacle

TACO : Tryptophan Aspartate Containing TGF –β : Transforming Growth Factor beta

(21)

TLRs : Toll like receptors

VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa menit 1 VDR : Vitamin D Reseptor

VDRE : Vitamin D Reseptor Elemen WHO : World Health Organization

(22)

HUBUNGAN NILAI VOLUME EKSPIRASI PAKSA 1 (VEP 1) DENGAN KADAR 25(OH) VITAMIN D DAN hs-CRP PADA PPOK STABIL DI

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Katarina Julike1Amira Permatasari Tarigan2Ratna Akbari Ganie1

1Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

2Departemen Pulmonologi dan Kedokteran RespirasiFakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

Abstrak

Pendahuluan

Jumlah penderita PPOK menurut WHO di perkirakan meningkat menjadi 400 juta jiwa di tahun 2020, dan setengah dari angka tersebut terjadi di Indonesia. Angka kejadian PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5 tertinggi di dunia yaitu 7,8 juta jiwa. PPOK merupakan penyakit tidak menular yang diduga sangat berhubungan dengan semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan terutama di tempat kerja.

Metode

Penelitian ini merupakan metode longitudinal prospective dilakukan di RSUP H.

Adam Malik Medan, dari Januari- Juni 2018 pada 51 penderita PPOK yang berobat di Poli Klinik SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi dengan dilakukan pemeriksaan spirometri, kadar 25(OH) vitamin D dan kasar hs-CRP.

Hasil

51 pasien yang ikut serta dalam penelitian semua adalah laki-laki. Berdasarkan Uji Korelasi Pearson didapati nilai VEP1 pasien PPOK tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan kadar 25(OH) vitamin D dan jumlah Leukosit.

Sementara Uji Korelasi Spearman Rank dijumpai berkorelasi negatif secara signifikan dengan kadar hs-CRP. Hasil uji Anova dan Uji Kruskal Wallis terhadap kadar 25(OH) vitamin D, hs-CRP dan jumlah Leukosit didapatkan tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara kelompok obstruksi sedang (GOLD 2), berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4).

Kesimpulan

Rerata nilai VEP1 pasien PPOK, kadar 25(OH) vitamin D dan jumlah Leukosit menurut hasil statistik tidak terdapat perbedaan bermakna, sedangkan semakin tinggi nilai VEP1 maka kadar hs-CRP semakin rendah.

Kata Kunci

PPOK, VEP1, 25(OH) vitamin D, hs-CRP

(23)

THE CORRELATIONS BETWEEN FORCED EXPIRATORY VOLUME 1 (FEV 1) WITH 25(OH)VITAMIN D LEVEL AND hs-CRP IN STABILIZED

COPD IN RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Katarina Julike1Amira Permatasari Tarigan2Ratna Akbari Ganie1

1 Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatra Medan

2 Department of Pulmonologi, Faculty of Medicine, University of North Sumatra Medan

Abstract Introduction

The number of people with COPD according to WHO wasincreasing to 400 million people by 2020, and half of these occur in Indonesia. The incidence of COPD in Indonesia ranks 5th highest in the world at 7.8 million. COPD wsa a non-communicable disease that is thought to be closely related to the increasing number of smokers, especially in young age groups, as well as indoor and outdoor air pollution, especially in the workplace.

Method

This study was a longitudinal prospective method conducted in H. Adam Malik General Hospital Medan, from January to June 2018 on 51 COPD patients who were treated at Pulmonology Outpatient Clinic. Spirometry examination, 25 (OH) vitamin D levels, and hs- CRP was examined.

Results

51 patients who participated in the study were all male. Based on Pearson Correlation Test, VEP1 value of COPD patients did not show a significant correlation with levels of 25 (OH) vitamin D, and the number of Leukocytes.

While the Spearman Rank Correlation Test shown significant correlation with hs- CRP levels. Anova test results and Kruskal Wallis test on levels of 25 (OH) vitamin D, hs-CRP and Leukocyte counts shown no significant differences between the group of moderate obstruction (GOLD 2), weight (GOLD 3) and very heavy (GOLD 4).

Conclusion

The mean VEP1 value of COPD patients, 25 (OH) vitamin D levels and the number of Leukocytes shown no significant statistical difference, whereas the higher the VEP1 value the lower the hs-CRP.

Keywords

COPD, FEV1, 25(OH) vitamin D and hs-CRP

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan saluran napas dan / atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan terhadap partikel atau gas (GOLD, 2017).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) saat ini penyebab utama keempat kematian di dunia. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012 terhitung 6% dari semua kematian global (GOLD, 2017). Pada tahun 2002 PPOK merupakan penyebab utama kematian nomor lima. Estimasi menunjukkan bahwa PPOK pada tahun 2020 menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia (GOLD, 2017; WHO, 2016). Di Indonesia prevalensi PPOK pada tahun 2013 mencapai 3,7 persen. Provinsi dengan prevalensi PPOK tertinggi mencapai 10%, terjadi di Nusa Tenggara Timur (Trihono, 2013).

Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik periode Januari 2015- Desember 2015 jumlah keseluruhan pasien PPOK sebanyak 170 jiwa, yaitu laki- laki 146 jiwa (85,9%) dan perempuan 24 jiwa (14,1%) (Ahmad A, 2015).

(25)

Terdapat hubungan antara PPOK dengan peradangan sistemik. Hal ini dapat terlihat dengan teraktivasi dan terjadinya peningkatan sitokin proinflamasi seperti Interleukin 6 dan hs-CRP. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa berkurangnya fungsi paru dikaitkan dengan peningkatan faktor inflamasi selama eksaserbasi dan hal ini dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas pada PPOK ( Gan et al., 2004).

Dalam penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan adanya peningkatan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi lebih tinggi dibanding dengan penderita PPOK stabil dengan kadar > 10 mg/l pada penderita PPOK eksaserbasi dan ≤ 10 mg/l pada penderita PPOK stabil (Gultom Y, 2014).

Dalam studi pada 130 penderita PPOK stabil dan 65 orang kontrol sehat melaporkan bahwa kadar hs-CRP meningkat pada penderita PPOK stabil (4.1 mg/L) yang tidak mengalami eksaserbasi berulang dalam 2 bulan, terutama yang masih merokok dibandingkan kontrol (1.8 mg/L). Hurst dkk. (2006) meneliti 36 biomarker pada 90 pasien PPOK eksaserbasi hasilnya menunjukkan bahwa hs- CRP merupakan penanda yang paling selektif, konsentrasi hs-CRP plasma dapat berguna dalam mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi tetapi tidak dapat memprediksi beratnya eksaserbasi, dan respon fase akut pada eksaserbasi berhubungan dengan fungsi monosit (Torress et al., 2006; Hurst et al., 2006).

Beberapa vitamin (vitamin C, D, E, A, beta karoten dan alpha) berhubungan dengan perbaikan kondisi klinis pasien PPOK. Mereka menemukan fakta bahwa konsumsi multivitamin dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki gejala klinis pasien. Dikatakan juga bahwa asupan vitamin yang

(26)

tinggi dapat mencegah proses kerusakan jaringan paru. Ini kemudian diusulkan menjadi salah satu terapi PPOK, namun sampai saat ini belum ada bukti secara empiris untuk membuktikan hipotesis tersebut (Tsiligianni I; Molen. 2010).

Vitamin D yang memiliki efek protektif terhadap jaringan paru. Vitamin D yang selama ini dikenal karena perannya terhadap homeostasis tulang ternyata dapat memodulasi sistem imun di jaringan paru (Herr C, et al., 2011).

Vitamin D dapat berperan sebagai antioksidan untuk menekan stres oksidatif. Dalam beberapa penelitian dijumpai defisiensi vitamin D pada PPOK dengan kadar 25(OH) Vitamin D < 20 ng/ml. Hal ini berhubungan dengan derajat keparahan PPOK berdasarkan hasil spirometri dengan penilaian fungsi paru VEP1 (Janssens W et al., 2010).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan keterangan diatas dapat ditetapkan perumusan masalah adalah : Apakah terdapat hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP dengan derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK.

1.3. Hipotesis Penelitian

 Tidak terdapat hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dengan derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK.

 Terdapat hubungan nilai VEP1 dengan kadar hs-CRP dengan derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK.

(27)

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) Vitamin D dan hs- CRP dengan derajat keparahan penyakit pada pasien PPOK.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik penderita PPOK yang berobat di Poliklinik SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Mendapatkan data kadar 25(OH) Vitamin D dalam serum penderita PPOK.

3. Mendapatkan data kadar hs-CRP dalam serum penderita PPOK.

4. Mendapatkan data derajat keparahan pasien PPOK.

5. Mengetahui hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP dengan derajat keparahan PPOK.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi sejawat dokter

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP pada derajat keparahan penderita penyakit paru obstruktif kronik sehingga dapat dipakai pada penatalaksanaan kasus penyakit paru obstruktif kronik.

(28)

1.5.2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai hubungan nilai VEP1 dengan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP terhadap derajat keparahan penderita penyakit paru obstruktif kronik sehingga dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap patogenesa pada penyakit penyakit paru obstruktif kronik.

1.5.3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai hubungan kadar 25(OH) vitamin D dan hs-CRP sebagai suatu pemeriksaan noninvasive dalam mengetahui derajat keparahan penyakit penyakit paru obstruktif kronik .

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis 2.1.1. Epidemiologi

Penyakit paru obstuktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PPOK menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi didunia. Angka prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar negara dan diantara kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta kondisi polusi udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasikan sebagai faktor resiko PPOK.

GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990, akan meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 di seluruh dunia. Data yang ada menunukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria dibanding wanita (GOLD, 2017).

Di Indonesian tidak ditemukan data akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian tersering di Indonesia. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%) (Suradi, 2007).

(30)

Pada penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan RSUP H. Adam Malik Medan menemukan penderita PPOK stabil sebanyak 82 orang dalam satu tahun, laki-laki sekitar 85,4%, umur lebih dari 60 tahun sekitar 63,4%. Kondisi tersebut menunjukkan angkan kematian yang disebabkan PPOK terus mengalami peningkatan tanpa disadari masyarakat (Purba, 2010).

2.1.2. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap (persisten) yang biasanya progresif dan disertai peningkatan respon inflamasi yang kronik pada paru dan saluran pernafasan terhadap gas atau partikel yang berbahaya (noxious). Eksaserbasi dan komorbid mengakibatkan keseluruhan keparahan pada penderita. Definisi yang terbaru ini tidak lagi menyebut hambatan aliran udara yang reversible sebagian (PDPI, 2010; GOLD, 2017).

Sementara menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/Europen Respiratory Society) mendefinisikan PPOK sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi saluran napas yang reversible. PPOK adalah kelainan spesifik dengan perlambatan arus udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi penyakit jalan napas dan emfisema, umumnya perjalanan penyakit kronik progresif dan irreversible serta tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam pengamatan beberapa bulan (GOLD, 2008; GOLD, 2001).

Manifestasi sistemik PPOK disebabkan perubahan fungsi paru dan juga melibatkan inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik merupakan faktor resiko bagi sebagian besar komplikasi yang timbul pada PPOK. Pasien PPOK selain

(31)

mengalami peningkatan inflamasi sistemik juga mengalami inflamasi lokal kronik di saluran napas dan parenkim paru (Argawal et al., 2013; Toraldo et al., 2013).

Kriteria PPOK stabil adalah tidak dalam kondisi gagal napas akut, dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2< 45 mmHg dan PO2> 60 mmHg, dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat PPOK berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri, penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan, tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan (Rebe et al.,2007;

GOLD, 2008).

2.1.3. Patofisiologi PPOK

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas mengecil dan berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit (Tabrani R, 2010; Sooeroto AY, 2014).

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat

(32)

menyebabkan stress oksidatif, dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid ini akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar dimana aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8, leukotrien B4, tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS) (Zitterman A et al., 2016).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8 dan menyebabkan kerusakan seperti proses inflamasi.

Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Zitermann A et al., 2016).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli akan menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit, polusi dan asap rokok (GOLD, 2017).

(33)

Asap rokok dapat mencetuskan pelepasan sitokin inflamasi dari berbagai sel termasuk IL-6, TNF-α, IL-1β, TNF- β1, dan GM-CSF. Inhalasi asap rokok juga menyebabkan terjadinya ROS yang akan menghambat aktivitas mediator anti protease terutama α1-antitripsin yang menyebabkan defisiensi anti protease.

Masuknya IL-8 dan neutrofil ke parenkim paru akan diikuti oleh makrofag dan sel T CD8+. Makrofag akan aktif dan melepaskan sejumlah MMP (MMP1, MMP2, MMP9, MMP12 dan MMP15) yang akan mendegradasi baik elastin maupun kolagen. Neutrofil juga berperan menghasilkan oksidan endogen dengan konsentrasi tinggi. Oksidan ini bersama dengan sitokin masuk ke sistem vaskular (Young et al., 2009).

Efek nikotin di seluruh saluran napas diperkirakan memicu pelepasan fibronektin yang mengakibatkan terjadinya fibrosis yang dimediasi oleh IL-8 dan TGF- β1. Pada penderita PPOK terjadi apoptosis struktur sel (sel epitel dan endotel) dan sel-sel inflamasi (neutrofil polimorfik) yang tidak teratur, sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan IL-8. Aktivasi NF-kb berkaitan dengan penghambatan apoptosis, sehingga akan memperpanjang umur neutrofil dan remodeling (Young et al., 2009).

Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.

Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan

(34)

menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (PDPI, 2010).

Gambar 2.1. Mekanisme hambatan aliran udara pada PPOK (PDPI, 2010).

Inflamasi dan stres oksidatif

Inflamasi neutrofil dan stres oksidatif merupakan patofisiologi untuk terjadinya PPOK. Eksaserbasi akut akan meningkatkan inflamasi, stres oksidatif, ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase. Inflamasi lokal dan sistemik memegang peranan penting pada patogenesis PPOK yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Sel inflamasi terutama makrofag, neutrofil, dan limfosit T direkrut ke dalam saluran napas, diaktivasi dan menyebarkan kaskade inflamasi. Neutrofil merilis protease seperti neutrofil elastase yang telah terbukti dapat menyebabkan banyak gambaran klinis yang terkait dengan PPOK, seperti hilangnya epitel bersilia, mengurangi frekuensi beat ciliary dan mengurangi pembersihan mukosiliar, hiperplasia kelenjar mukus, peningkatan sekresi lendir dan metaplasia

Inflamasi

Penyakit saluran napas kecil

 Inflamasi saluran napas

 Airway remodeling

Hambatan aliran udara

Kerusakan parenkim

 Hilangnya ikatan alveolus

 Penurunan elastisitas

(35)

sel skuamosa. Neutrofil melepaskan mediator inflamasi yang bertindak sebagai kemoaktraktan untuk neutrofil lainnya, dan dengan demikian, peradangan di potensiasi (Rahman et al., 1999; Holme, 2011).

Neutrofil juga melepaskan Reactive Oxygen Species (ROS) yang dihirup dalam asap rokok dan polutan seperti nitrogen dioksida dan partikulat. ROS dapat menyebabkan kerusakan DNA, gangguan fungsi dan apoptosis pada sel-sel pernapasan serta memperkuat proses inflamasi. Infeksi bakteri meningkatkan IL-6 dan TNF α. Selama eksaserbasi terjadi peningkatan IL-6 dan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan juga dapat meningkatkan pelepasan IL-6. Makrofag dan sel yang mengalami cedera akan melepaskan sitokin proinflamasi dan TNF α yang akan merangsang hati untuk memproduksi hs-CRP. Kadar hs-CRP meningkat pada kondisi PPOK stabil dan akan lebih meningkat selama PPOK eksaserbasi akut. Stres oksidatif diperoleh dari polusi udara dan atau jaringan yang mengalami inflamasi (Yannick et al., 2009; Holme, 2011).

2.1.4. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2017)

Penyakit paru obstruktif kronik dibagi berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator, yang kemudian dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal Forced Vital Capacity (FVC), kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut (Vestbo, et al., 2014).

(36)

Tabel 2.1. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK (berdasarkan post-brokodilator VEP1) ( GOLD, 2017).

2.1.5. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

- Merokok sigaret yang berlangsung lama. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

- Polusi udara

- Infeksi paru berulang

- Infeksi TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT)

- Umur

(37)

- Jenis kelamin - Ras

- Defisiensi alfa-1 antitripsin - Defisiensi anti oksidan 2.1.6. Tanda dan Gejala klinis

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok yaitu gambaran klinik dominant kearah bronkitis kronis (blue bloater) atau gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers). Secara umum pasien datang dengan keluhan sebagai berikut : kelemahan badan, batuk, sesak napas saat aktivitas, dan napas berbunyi (mengi).

2.1.7. Diagnosis PPOK

Beberapa hal yang berhubungan dengan resiko timbulnya PPOK sampai saat ini yaitu asap rokok, polusi udara (dalam ruangan, diluar ruangan), tekanan oksidatif, gen, tumbuh kembang paru, sosial ekonomi. Resiko pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah rokok pertahun dan lamanya merokok yang disebut Indeks Brinkman (IB). Indeks Brinkman didapatkan dari perkalian jumlah rata-rata rokok yang dihisap sehari dengan lama merokok dalam tahun. Dikelompokkan berdasarkan :

- Ringan : 0-199 - Sedang : 200-599 - Berat : >600

(38)

Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor genetik pada setiap individu. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda gejala ringan hingga berat (PDPI, 2010).

. Pada penderita dini, pemeriksaan fisik umumnya tidak ditemukan kelainan, sedangkan pada inspeksi biasanya terdapat kelainan berupa : (GOLD,2008;

GOLD, 2017).

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)

2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding) 3. Penggunaan otot bantu pernapasan

4. Hipertrofi otot bantu pernapasan 5. Pelebaran sela iga

6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.

Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah, sedangkan pada perkusi hipersonor dan letak diafragma rendah, auskultasi suara pernapasan vesikuler melemah, normal atau ekspirasi memanjang yang dapat disertai dengan ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi paksa.

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang 2.1.8.1. Pemeriksaan Spirometri

Spirometri merupakan gold standart untuk mendiagnosis PPOK. Spirometri direkomendasikan untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten (PDPI 2010, GOLD 2017). Meskipun spirometri merupakan gold standart dengan prosedur sederhana

(39)

yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh (Vestbo et al., 2014, GOLD, 2017).

2.1.8.2. Pemeriksaan penunjang lain

Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan pemeriksaan computed tomography (CT) untuk memonitor kanker paru-paru. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.

Perlu untuk melakukan elektro kardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Kultur sputum juga penting dilakukan untuk mengetahui jika ada patogen penyebab infeksi.

2.1.9. Combined COPD Assessment

Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang

(40)

dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD (The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dan kejadian eksaserbasi (Vestbo J et al., 2014, GOLD 2017).

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment adalah:

1. Kelompok A-Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.

2. Kelompok B-Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.

3. Kelompok C-Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.

4. Kelompok D-Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2. (GOLD 2017).

(41)

Gambar 2.2. Penilaian PPOK menurut GOLD 2017

COPD Assessment Test (CAT) dikembangkan untuk mengukur dampak PPOK terhadap kesehatan pasien dan meningkatkan pemahaman antara dokter dan pasien terhadap dampak penyakit untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien dan mengurangi beban penyakit. CAT merupakan kuesioner yang sudah tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40.

Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien. CAT bukan merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga dapat membantu dalam memonitor efek terapi.

(42)

Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya membutuhkan beberapa menit untuk diisi. Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai perubahan.

Tabel 2.2. Tes Penilaian PPOK

(43)

Tabel 2.3. Derajat mMRC

2.1.10 Prognosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase- fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Derajat obstruksi saluran nafas yang terjadi, dan ketepatan identifikasi komponen penyebab memungkinkan adanya reversibilitas (PDPI 2010; GOLD 2017).

(44)

Tahap perjalanan penyakit dan penyakit saluran nafas lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik juga mempengaruhi prognosis penyakit ini.

Pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi sehingga usaha mengatasi penyakit penyerta lain menjadi hal yang penting untuk memperbaiki prognosis pasien (Tabrani, 2010).

2.1.11. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah meliputi beberapa komponen yaitu:

mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan status kesehatan , mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, serta menurunkan angka kematian.

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi beberapa hal yaitu edukasi, berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis dan nutrisi (PDPI, 2011).

2.2 VITAMIN D

Vitamin D adalah unik karena bisa disintesis di kulit dari paparan sinar matahari. Vitamin D ada dalam dua bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalciferol) dan D3 (cholecalciferol). Vitamin D2 dapat dijumpai pada jamur yang terpapar sinar matahari. Manusia mensintesis vitamin D3 setelah terpapar dengan sinar ultraviolet, sehingga hal ini merupakan bentuk alami. Tanpa adanya vitamin D, hanya 10% sampai 15% dari kalsium dan sekitar 60% fosfor yang diserap di usus (Nair 2012). Vitamin D, selain berasal dari produk konversi sinar ultraviolet terhadap 7-dehydrocholesterol di kulit, juga dapat diperoleh dari asupan makanan,

(45)

seperti telur, ikan, mentega, produk susu difortifikasi dan suplemen yang mengandung vitamin D.

Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi utama, 25- hydroxyvitamin D (calcifediol) oleh hati dengan enzim 25-hydroxylase (CYP2R1) dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D atau calcitriol oleh ginjal dengan enzim 1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan efisiensi penyerapan usus terhadap kalsium sebagai fungsi klasik (Gambar 2.2) (Nair 2012).

Gambar 2.3. Sintesis vitamin D (Nair 2012).

(46)

Kadar calcifediol merupakan penanda yang digunakan secara luas untuk menentukan status vitamin D di dalam tubuh kita karena calcifediol mewakili sintesis vitamin D endogen di kulit setelah terpapar sinar ultraviolet dan juga asupan makanan yang mengandung vitamin D (Ganji, 2012).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa manfaat vitamin D dapat memperpanjang sistem muskuloskeletal secara keseluruhan. Vitamin D sangat penting untuk kalsium, homeostasis fosfat dan untuk mineralisasi kerangka, khususnya selama periode pertumbuhan yang cepat. Kekurangan Vitamin D menyebabkan rakhitis (pada anak-anak) dan osteomalacia (pada orang dewasa).

Institute of Medicine (IOM) melaporkan risiko terjadinya rickets, fraktur, dan kelainan tulang lainnya lebih tinggi pada orang dengan kadar calcifediol

<12ng/mL. Institute of Medicine mengestimasi bahwa kadar calcifediol sebesar 16 ng/mL adalah sasaran yang perlu dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar calcifediol sebesar 20 ng/mL digunakan sebagai batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97.5% populasi (Ganji, 2012). Menurut pedoman Endocrine Society, status vitamin D didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31 sampai 60 ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21 sampai 30 ng/mL dan defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL (Lee, 2013).

Sumber utama vitamin D untuk anak-anak dan orang dewasa adalah paparan sinar matahari alami. Dengan demikian, penyebab utama dari kekurangan vitamin D adalah kurangnya paparan sinar matahari. Kekurangan vitamin D mempengaruhi hampir 50% dari populasi di seluruh dunia (Nair, 2012).

Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia, semua etnis dan kelompok usia,

(47)

mengalami kekurangan vitamin D (Gordon, 2004). Ini pandemi hipovitaminosis D yang terutama dikaitkan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan dimana kurangnya paparan terhadap sinar matahari untuk mensintesis vitamin D di kulit (Nair 2012). Kekurangan vitamin D dapat dijumpai pada orang yang menggunakan tabir surya, sindrom malabsorpsi lemak, sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi jamur kronis,beberapa limfoma, hiperparatiroidisme primer, obesitas, sindrom nefrotik, penggunaan antikonvulsan, antikolesterol, obat HIV (Holick 2011).

Vitamin D diangkut ke hati dan hidroksilasi 25-hidroksi vitamin D325(OH)D. Diatur oleh hormon paratiroid, hidroksilasi tambahan untuk 1,25- dihydroxy vitamin D3 berlangsung di ginjal. Metabolit beredar utama vitamin D adalah serum 25 (OH)D, yang memiliki paruh antara 10 dan 19 hari. Ini adalah indikator terbaik status vitamin D dan mencerminkan tingkat dari asupan makanan dan sintesis di kulit. Kadar 25(OH) vitamin D dalam darah bervariasi antara 20–

200 nmol/L (8 – 80 ng/ml). Individu yang mendapat sinar matahari sangat kuat dapat mempunyai kadar 25(OH)D mencapai 250 nmol/L (100 ng/ml). Apabila

<25 nmol/L (10 ng/ml) umumnya dianggap kekurangan; tingkat <80 nmol/L (32 ng /ml) dianggap insufficient (Soliman A, 2013).

Pasien yang mengonsumsi berbagai obat-obatan, termasuk antikonvulsan dan obat-obatan untuk mengobati AIDS/HIV, berisiko kekurangan vitamin D karena obat ini meningkatkan katabolisme calcifediol dan calcitriol. Pasien dengan sarkoidosis, tuberkulosis, dan infeksi jamur kronis, beberapa limfoma, dan hiperparatiroidisme primer yang mengalami peningkatan metabolisme calcifediol

(48)

menjadi calcitriol juga berisiko tinggi untuk kekurangan vitamin D (Zhou, 2006

& Grey, 2005).

2.2.1. Vitamin D dan PPOK

Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan PPOK didukung oleh data epidemiologis (National Health and Nutritional Examination Survey III NHANES III) yang menunjukkan tingkat serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK. Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan adanya defisiensi 25-(OH)D3 pada pasien PPOK. Forli et al (2004) menemukan defisiensi vitamin D (<20 ng/ml) pada lebih dari 50% pasien transplantasi paru-paru akibat PPOK.

Demikian juga dalam sebuah studi pada pasien rawat jalan PPOK di Denmark, sekitar 68% responden memiliki osteoporosis atau osteopenia (Forli et al., 2004).

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D sangat lazim pada PPOK dan berkorelasi dengan gen protein pengikat vitamin D. Mekanisme yang tepat yang mendasari data ini belum sepenuhnya diketahui, namun vitamin D tampaknya berdampak pada fungsi sel-sel peradangan, termasuk sel dendritik, limfosit, monosit, dan sel-sel epitel.

Vitamin D tidak hanya memiliki peran pada matriks ekstraseluler jaringan tulang tetapi juga pada parenkim paru-paru. Vitamin D berfungsi sebagai regulator autokrin matriks ekstraseluler dan pelepasan growth factor untuk menekan aktivitas matriks metalloproteinase (MMP-9). Matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) telah terbukti meningkat pada pasien PPOK.

Vitamin D juga melemahkan TNF-alpha yang diinduksi MMP-9 oleh keratinosit.

(49)

Kekurangan vitamin D dapat meningkatkan aktivitas MMP-9 yang berakibat pada peningkatan degradasi jaringan paru (Boyan et al., 2007).

2.2.2. Pemeriksaan Kadar Vitamin D dengan alat Mini Vidas Prinsip dan Metode Pemeriksaan

Enzyme Linked Fluorescent Assay (ELFA) merupakan modifikasi dari prinsip ELISA namun pembacaannya berdasarkan fluoresensi.

Gambar 2.4. Prinsip pemeriksaan Vitamin D metode ELFA.

Gambar 2.5. Cara kerja pemeriksaan 25(OH) Vitamin D dengan Pencucian

Vitamin D dalam sampel dan vitamin D yg melapisi bagian interior SPR bersaing utk berikatan dgn anti vitamin D antibody-ALP konjugat

Substrat 4- Methylumbelliferyl fosfat Hidrolisis

Fluoresensi 4- Methylumbellifeone panjang gelombang 450 nm

Hasil dihitung secara otomatis

Sampel yang akan diperiksa dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam sumur yang berisi alkaline phosphatase (ALP)-labeled anti vitamin D antibody (konjugat)

(50)

2.3. hs-CRP

C-Reaktive Protein ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena kemampuannya untuk mengendapkan C polisakarida dari Streptococcus pneumonia. CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikat komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan. Respon fase akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan keganasan (Pepys et al., 2003).

2.3.1. Struktur dan filogeni CRP

CRP termasuk famili pentraxin dari protein plasma calcium-dependent ligand-binding, yang pada manusia merupakan komponen dari Serum Amyloid P component (SAP). Molekul CRP pada manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino (Thompson et al.1999).

Gambar 2.6. Struktur CRP (Saunders, 2003).

(51)

Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis.

Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag.mDengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik (Ballou et al.1999).

2.3.2. Fungsi CRP

CRP berperan dalam pertahanan tubuh manusia melalui respon inflamasi alamiah yang merupakan pertahanan tubuh pertama. CRP bekerja secara bersamaan dengan sistem imunitas didapat untuk melawan patogen dan mikroba.

CRP akan mengikat antigen melalui mekanisme yang melibatkan kalsium yang berperan menambah aktifitas proses fagositosis. Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 5 mg/l. CRP dapat digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi (Prestegard, 2006).

CRP dapat berperan menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi pelepasan IL-1 dan TNF-α oleh monosit, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi memalui sel endotel (ICAM-1, VCAM-1, E-selektin) dan menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit (Nakou et al. 2008).

(52)

Gambar 2.7. Patogenesis CRP pada PPOK. MØ: macrophage; aAT: al- antitypsin; END: endothelial cell (Young et al., 2009).

Dalam studi metaanalisa pada 14 studi original dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF- α, IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien PPOK secara significant mengalami peningkatan kadar CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF- α dibandingkan dengan kontrol sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini (Gan et al., 2004).

(53)

Terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lajut tetapi juga untuk menilai perjalanan penyakit (Olafsdottir, 2011).

2.3.3. Kadar CRP

Secara tradisional, kadar serum CRP dapat diukur dengan nephelometry, yang memiliki batas deteksi dari 6 sampai 10 mg/l yang disebut pemeriksaan serum CRP. Bentuk komersialnya adalah hs-CRP. Pemeriksaan ini memiliki batas deteksi sesuai dengan nama dagangnya seperti metode immulite automated analyzer dengan batas deteksi pengukuran 0,18-115 mg/l, berdasakan immage dengan batas deteksi pengukuran 0,2-1440 mg/l (Rothkrantz-Kos et al., 2002).

Dalam semua kondisi (baik normal maupun dalam kondisi sedang megalami inflamasi) maka waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi akan berkurang sebanyak 50% setiap 19 jam jika individu tersebut diberi stimulus yang memperbaiki penyebab peningkatan CRP, jika dibanding dengan parameter biokimia lain (viskositas plasma atau sedimentasi eritrosit), maka kadar sirkulasi CRP lebih akurat (Vigushin et al., 2003).

Studi komperatif deskriptif pada 45 pasien PPOK stabil dengan jenis kelamin laki-laki tanpa penyakit jantung iskemi dan 45 orang sehat sebagai kontrol menemukan bahwa kadar hs-CRP pada pasien PPOK secara signifikan (p=0.04) berhubungan dengan derajat sesak napas dengan berdasarkan skala

(54)

mMRC dimana derajat I,II, III masing-masing 22,78 ng/ml; 28,88 ng/ml dan 36,90 ng/ml. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar CRP dan beratnya penyakit, episode eksaserbasi dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan faktor utama yang menyebabkan komplikasi ekstrapulmonal (Halvani et al., 2007).

2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CRP

Telah banyak laporan bahwa pada beberapa populasi kadar CRP pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria. Data dari Ausburg juga menunjukkan demikian bahwa kadar CRP pada wanita (2,9 mg/L) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pria (1,5 mg/L) dan kebalikannya ditemukan pada populasi di Jepang (Wang Z et al., 2005).

Dalam studi yang mengikutsertakan 88 pasien PPOK dan 33 kontrol merokok dan 38 kontrol tidak merokok, dengan hasil bahwa kadar CRP sekitar 20% lebih rendah pada pasien yang menggunakan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi budesonid 800-1200 µg/hari, kadar CRP lebih tinggi pada pasien PPOK (rata-rata 1,51 mg/L) dibanding orang sehat baik merokok (1,04 mg/L) maupun tidak merokok (1,04 mg/L) (Pinto et al., 2006).

Tidak ada perbedaan kadar serum CRP, TNF-α atau IL-6 pada pasien PPOK yang sedang ataupun yang sudah berhenti menggunakan steroid inhalasi dengan dosis medium budesonide 400-800 µg/hari. Kadar CRP juga diketahui secara signifikan lebih tinggi pada pasien PPOK dengan IMT yang rendah (Karadag et al., 2008).

(55)

Di paru hs-CRP mempunyai fungsi proteksi sebagai respon imun alami melawan bakteri dan sel apoptosis. Peningkatan hs-CRP didapatkan juga pada perokok aktif, penurunan fungsi paru, dan PPOK stabil. Satu dari pertanda inflamasi sistemik yang secara konsisten terbukti sedikit meningkat pada pasien PPOK dibandingkan orang sehat adalah hs-CRP. Peningkatan kadar CRP merupakan prediktor kuat mortalitas PPOK (Halvani et al., 2007; Dahl et al., 2009).

Kadar CRP sirkulasi pada orang dewasa yang sehat sekitar 0,8 mg/l.

Konsentrasi CRP mulai meningkat sekitar 6 jam dan mencapai puncak sekitar 48 jam setelah stimulus awal dengan waktu paruh sekitar 19 jam. Kadar CRP sirkulasi lebih tinggi pada usia tua dan wanita. Kadar CRP menurun 1-2 minggu setelah infeksi atau inflamasi. Kenaikan sedikit pada CRP telah dilaporkan dalam berbagai kondisi dan menyatakan penyakit yang dianggap terkait dengan peradangan. Tapi ini dapat dicapai dengan meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi peningkatan sedikit karena disebabkan peradangan kecil.

High sensitive-C Reaktive Protein (hs-CRP) merupakan kadar CRP lebih rendah yang dapat di deteksi dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent dan dapat mendeteksi kadar CRP sampai 0,1-0,4 mg/L (Pepys et al., 2003). Peningkatan kadar CRP spesifik, dan harus dilihat dengan evaluasi klinis lengkap.

(56)

2.3.5. Pemeriksaan Kadar hs-CRP dengan alat Architect a. Prinsip dan Metode Pemeriksaan

Imunoturbidimetri : Merupakan cara penentuan kuantitatif. CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks imun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik.

Gambar 2.8. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan metode Immunoturbidimetri

b. Cara Pemeriksaan Imunoturbidimetri

Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai <0,2 mg/L sehingga disebut dengan high sensitivity C-Reaktive Protein (hs-CRP). Metode berdasarkan reaksi antara antigen dan antibodi dalam larutan buffer dan diikuti dengan pengukuran intensitas sinar dari suatu sumber cahaya yang diteruskan melalui proses imuno presipitasi yang terbentuk dalam fase cair.

(57)

Dalam penelitian ini memakai metode imunoturbidimetri menggunakan reagen anti-CRP polyclonal antibodies (rabbit) adsorbed on latex particles.

c. Prosedur Pemeriksaan hs-CRP

Sampel ditambah dengan R1 (buffer) kemudian ditambah R2 (latex antibodi anti CRP) dan dimulai reaksi dimana antibodi anti CRP yang berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks antigen antibodi (Ag-Ab).

Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.

(58)

2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.9. Kerangka Teori PPOK

PPOK

hs-CRP 25(OH) Vitamin D

Stres Oksidatif TNF-α, IL-6

Ketidakseimbangan protease-antiprotease

Non Infeksi Polusi udara/rokok Infeksi Bakteri,

Virus, Jamur, Parasit

Inflamasi Saluran Napas

ROS

Analisis

(59)

2.5. Kerangka Konsep

Nilai Faal Paru

25(OH)Vitamin D

hs-CRP

Variabel dependen

Variabel independen

Gambar 2.10. Kerangka Konsep

(60)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian potong lintang (cross-sectional).

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan (Poliklinik Rawat Jalan). Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2018 sampai dengan Juni 2018.

Penelitian akan dihentikan apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian:

1. Populasi target : Penderita PPOK.

2. Populasi terjangkau : Penderita PPOK stabil yang berobat yang berobat ke poliklinik SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari 2018 sampai dengan Maret 2018.

(61)

3.3.2. Subjek Penelitian :

Penderita PPOK yang berobat ke poliklinik SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan bulan Januari 2018 sampai dengan Maret 2018 yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi :

1. Penderita PPOK yang berobat ke poliklinik SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Berusia >40 tahun

3. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani lembar persetujuan 3.4.2. Kriteria Eksklusi :

1. Penderita PPOK sedang dalam kondisi eksaserbasi akut

2. Penderita Asma, Sindroma Obstruksi Post TB, Tumor paru, Osteoartritis, Penyakit hati

3. Penderita PPOK dengan jumlah leukosit abnormal (<4.000/µL dan

>11.000//µL)

4. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi kadar 25(OH) vitamin D total (obat-obatan antikonvulsan, obat-obatan anti HIV/AIDS)

5. Penderita yang sudah mendapat suplemen vitamin D

6. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kadar hs- CRP (statin, aspirin, Vit. C, Vit. E, antibiotik, steroid sistemik)

Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme hambatan aliran udara pada PPOK   (PDPI, 2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada  PPOK                   (berdasarkan post-brokodilator VEP1) ( GOLD, 2017).
Tabel 2.2. Tes Penilaian PPOK
Tabel  2.3. Derajat mMRC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kendala dalam kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh Seksi Pelayanan Administrasi antara lain sistem pembuatan SKCK dan surat perizinan masih dilakukan secara

Dengan adanya website film-film animasi diharapkan pada kalangan user atau pengguna internet bisa mendapatkan informasi yang lebih luas dan mudah didapat. Internet memberikan

Hasil penelitian hubungan pemeriksaan sputum mikroskopis terhadap foto thoraks adalah dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47.0%) dengan hasil positif pada

Lakukan instalasi Sistem Operasi pada PC Proxy Server menggunakan OS Linux Debian 6 (tanpa GUI), selanjutnya lakukan proses konfigurasi Proxy Server sesuai

Untuk mengetahui nilai rata-rata prediksi panjang mandibula dewasa menggunakan analisis usia skeletal vertebra servikalis pada anak usia 9-14 tahun.. Penelitian ini

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang