DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA
DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Disusun Oleh
Valentina Idi Roswita Wuwur
NIM: 094114013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
iii
iv
v
vi
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat dan tuntunan-Nya, tugas akhir ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah direncanakan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, banyak pihak telah memberikan
bantuan, baik secara moril maupun materil kepada penulis. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I dalam
penelitian ini. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan nasihat yang
telah diberikan kepada saya.
2.
Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik angkatan 2009. Terima kasih atas perhatian dan
nasihat yang telah ibu berikan selama ini, baik dalam hal perkuliahan
maupun hal-hal yang menyangkut masa depan penulis.
vii
viii
Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Umpatan dalam Tuturan Berbahasa
Indonesia di Masyarakat Sumba Barat.” Skripsi Strata I (SI). Program
studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian tentang umpatan dalam tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Terdapat dua permasalahan
yang dipecahkan dalam penelitian ini, yakni (i) apa saja jenis umpatan dalam
tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya
dan (ii) apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan
masyarakat Sumba Barat?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis umpatan dalam
tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya,
dan mendeskripsikan maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan
masyarakat Sumba Barat. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap
tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis
data. Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data. Objek penelitian ini adalah
umpatan. Objek penelitian berada dalam data berupa tuturan. Data diperoleh
melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis
berupa
Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat
, dan sumber lisan berasal dari
pengamatan penulis terhadap beberapa penutur langsung bahasa Sumba Barat.
Tahap kedua adalah analisis data. Metode yang digunakan adalah metode padan,
yaitu metode yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi
bagian dari bahasa yang bersangkutan. Alat penentunya adalah kenyataan yang
ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Hasil analisis data dalam penelitian
ini disajikan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode
informal. Hasil penelitian disajikan dengan metode formal, yaitu menggunakan
tabel. Penyajian hasil analisis data secara informal, yaitu penyajian hasil analisis
data dengan menggunakan kata-kata biasa, yaitu kata-kata yang bersifat denotatif
dan bukan kata yang bersifat konotatif.
ix
Wuwur, Valentina Idi Roswita, 2013, “Curse in Indonesian Utterance in West
Sumba Society.” An Undergraduate Thesis (SI). Department of Indonesian
Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
This thesis is a result of a research of curses in Indonesian utterance in
West Sumba society. There are two problems that will be solved in this research.
They are (i) what are the kinds of curse in Indonesian utterance in West Sumba
society based on the references, and (ii) what are the meaning of the curses in the
context of West Sumba society’s life?
This research aims to describe the kinds of curses in Indonesian utterance
in West Sumba society based on the references, and to describe the meaning of
the curses based on the context of West Sumba society’s life. There are three
steps that will be used in this research. The first step is collecting data. This
research consists of curses as the object of the research. The objects are in an
utterance data. The data are taken from two sources, written and spoken sources.
The written source is Dictionary of West Sumba, and the spoken source is the
writer’s observation on the direct speakers of West Sumba language. The second
step is analyzing data. The method that is used is equal method, the method which
the determiner is outside, free, and it is not part of the pertinent language. The
determiner is the fact that is showed by the language or the language reference
(Sudayanto, 1993:13-14). The third step is the presentation of the result of
analysis data. The analysis data in this research is presented using two methods,
formal and informal method. The result of the research presented in formal
method is using some symbols, signs, abbreviations, etc. The informal
presentation of the result of presentation is using common words, which are
denotative and non connotative.
x
HALAMAN JUDUL………
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………
v
KATA PENGANTAR………...
vi
ABSTRAK………. viii
ABSTRACK………..
ix
DAFTAR ISI……….…
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang……….……… 1
1.2
Rumusan Masalah…….……….
6
1.3
Tujuan Penelitian……….. 6
1.4
Manfaat Hasil Penelitian………... 7
1.5
Tinjauan Pustaka……… 8
1.6
Kerangka Teori……….. 12
1.6.1.Pengertian Umpatan……… 12
1.6.2. Teori Semantik……… 14
1.6.2.1 Referen . ………. 14
1.6.2.2 Maksud ………. 16
1.7
Metode Penelitian……….. 16
xi
1.7.3. Penyajian Hasil Analisis Data……….…………..
19
1.8
Sistematika Penelitian………... 19
BAB II JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT
DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA
DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT
BERDASARKAN REFERENNYA
2.0 Dasar Kehidupan Masyarakat Sumba Barat……… 21
2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia……….….. 22
2.1.1. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa
Nama Manusia……….
23
2.1.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa
Sapaan………..…. 23
2.1.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa
Bagian Tubuh Manusia………..…… 24
2.1.4. Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa
Jabatan……… 27
2.1
Umpatan yang Menunjuk Referen Hewan……….… 27
2.2
Umpatan yang Menunjuk Referen Tumbuhan……..…………. 28
2.3
Umpatan yang Menunjuk Referen Benda Mati……….. 29
BAB III MAKSUD UMPATAN DITINJAU DARI KONTEKS KEHIDUPAN
MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT
xii
3.2
Umpatan yang Bermaksud Menyindir……… 38
3.3
Umpatan yang Bermaksud Marah……….. 42
3.4
Umpatan yang Bermaksud Menghina………... 46
BAB IV PENUTUP
3.1
Kesimpulan……….……… 52
3.2
Saran……….. 52
1 BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tugas akhir ini membahas umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Umpatan atau
makian adalah ungkapan perasaan tertentu yang timbulnya disebabkan oleh
dorongan yang bersifat kebahasaan dan nonkebahasaan. Hal yang bersifat
kebahasaan berupa kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang dirasa tidak
berkenan pada diri pengumpat. Sebagai tanggapan atas tindakan itu, si pengumpat
melampiaskan perasaannya melalui pelbagai umpatan. Sementara itu, hal yang
bersifat nonkebahasaan biasanya menyangkut perbuatan seseorang atau peristiwa
tertentu. Perbuatan tertentu misalnya pemukulan dan peristiwa tertentu seperti
penyesalan mengakibatkan seseorang marah, mengkal, atau kecewa. Dalam
suasana seperti itu, biasanya orang terbawa luapan perasaannya yang tidak
terkendali, luapan perasaan yang menegangkan saraf. Pada saat itulah, perasaan
sering terungkap melalui kata-kata yang tergolong kasar. Salah satu
pengungkapan tersebut adalah dengan mencaci maki penyebabnya.
Berikut ini contoh kata atau frasa umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di
masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat:
(1) Umpatan yang Merujuk Referen Manusia
(1a) Nene moyang: Memangnya ko punya nene moyang yang buat ini?
2
(1b) Bili gila: Heh Bili gila, barenti makan!
‘Hei Bili gila, berhenti makan!’
(1c) Mortana: Dasar ko memang manusia mortana.
‘Dasar kau memang manusia setan.’
(2) Umpatan yang Merujuk Referen Hewan
(2a) Bongga law: Bongga law di sebela yang buat dia menangis.
‘Bongga law di sebelah yang membuatnya menangis’
(2b) Manu beddi: Itu tua satu su macam manu beddi.
‘Si tua itu sudah seperti burung yang gatal.’
(2c) Karabbo mai: Macam karabbo mai saja kau ini.
‘Sudah seperti kerbau betina saja kau ini.’
(3) Umpatan yang Merujuk Referen Tumbuhan
(3a) Karokko rara: Suda otak karokko rara, masih saja buat ulah.
‘Sudah otak seperti karokko rara, masih saja berbuat ulah’
(3b) Rauta ka’bala: Rauta ka’bala ada duduk di sana.
‘Rauta ka’bala sedang duduk di sana.’
(3c) Kapoke naga: Ko pu modem macam kapoke naga saja.
‘Rupamu itu sudah seperti buah nagka yang kempes.’
(4)Umpatan yang Merujuk Referen Benda mati
(4a) Muka cobe: Muka cobe tapi gaya di atas langit.
‘Muka seperti cobe tetapi gayanya di atas langit’
(4b) Taripleks: Laki-laki taripleks baru sa lewat
3
(4c) Watu loko: Watu loko sudah itu barang-barang.
‘Sia-sia saja barang-barang itu.’
Frasa nene moyang, Bili gila, dan mortana pada contoh (1a), (1b), dan (1c)
adalah frasa atau kata yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk
mengumpat orang lain. Referen umpatan tersebut adalah manusia. Tuturan (1a)
bermaksud mengumpat orang dengan memakai referen berupa nama kekerabatan,
yakni nene moyang. Contoh (1b) mengandung umpatan yang berarti nama seorang
yang tidak waras, yang terkenal di Sumba Barat. Nama Bili gila tersebut dipakai
untuk mengumpat orang yang memiliki sifat atau kelakuan seperti Bili gila itu.
Mortana dalam contoh (1c) berarti ‘tuan tanah’, mor dari mori ‘tuan, penjaga,
penunggu’ dan tana yang berarti ‘tanah’. Dalam masyarakat Sumba Barat,
penunggu sebuah tempat (biasanya tidak kelihatan, berupa roh) sering disebut
setan. Oleh karena itu, ‘tuan tanah’ disebut setan.
Pada contoh (2) terdapat umpatan yang memiliki referen berupa hewan,
yaitu (2a) bongga law, (2b) manu beddi, dan (2c) karabbo mai. Contoh (2a)
memuat umpatan bongga yang berarti ‘anjing’. Law adalah kata yang biasa
digunakan untuk mengumpat kaum lelaki. Oleh karena itu, bongga law digunakan
untuk mengumpat kaum laki-laki. Contoh (2b) mengandung frasa manu beddi
yang berarti manu ‘burung’, beddi ‘gatal, centil, suka menggoda.’ Frasa ini sering
digunakan untuk mengumpat orang yang memiliki sifat demikian. Contoh (2c)
Karabbo mai berarti ‘kerbau betina’. Frasa tersebut sering digunakan untuk
mengumpat anak gadis yang memiliki sifat layaknya kerbau betina, pemalas,
4
Frasa Karokko rara, rauta ka’bala, dan kapoke naga yang terdapat dalam
contoh (3a), (3b), dan (3c) merupakan umpatan yang menunjuk referen berupa
tumbuhan. Contoh (3a) mengandung frasa karokko rara yang berarti ‘labu
merah’. Labu merah sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk
mengumpat orang yang berotak kosong, sama seperti labu merah, kosong di
bagian tengah. Contoh (3b) mengandung umpatan yang berarti ‘rumput belalang’,
rauta ‘rumput’ dan ka’bala ‘belalang’. Umpatan itu biasa digunakan untuk
mengumpat orang yang berbulu badan lebat seperti rumput belalang. Dalam
contoh (3c) kapoke naga berarti buah nangka yang gugur, tidak sampai dewasa.
Buah nangka seperti itu biasanya kempes dan mengkerut sebelum gugur. Umpatan
tersebut digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti
kapoke naga.
Contoh (4) mengandung umpatan yang memiliki referen berupa benda
mati, yaitu (4a) muka cobe, (4b) taripleks,dan (4c) watu loko. Contoh (4a)
digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap memiliki rupa seperti cobek:
hitam, kasar, dan abstrak. Contoh (4b) dipakai untuk mengumpat orang yang
memiliki kondisi fisik seperti tripleks, panjang, tipis, dan lunglai. Contoh (4c)
digunakan untuk mengumpat sesuatu hal yang dianggap sia-sia. Arti watu loko
adalah ‘batu kali’. Batu kali jarang sekali digunakan dalam kebutuhan hidup orang
Sumba Barat, oleh karena itu, sesuatu yang sia-sia atau tidak berguna sering
disebut dengan batu kali atau watu loko.
Ternyata umpatan yang digunakan dalam tuturan berbahasa Indonesia di
5
Umpatan-umpatan itu digunakan oleh penutur dalam berbahasa Indonesia.
Pemilihan topik mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di
masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat ini didasari banyaknya temuan penulis
mengenai pemakaian satuan bahasa tertentu yang digunakan untuk mengumpat
dalam tuturan masyarakat Sumba Barat. Penulis sebagai penutur tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat, bermaksud
mendeskripsikan jenis kata atau frasa yang biasa digunakan untuk mengumpat
dalam masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya dan mendeskripsikan
maksud dari umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan masyarakat
Loli, Kabupaten Sumba Barat. Selain itu, melalui topik ini, penulis
menggambarkan kepribadian khas masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat.
Kepribadian khas yang dimaksud adalah kepribadian khas dalam kehidupan sosial
masyarakat Loli. Dalam kesehariannya, masyarakat Lilo berpegang teguh pada
ajaran Marapu. Salah satu ajaran Marapu adalah bersikap jujur dan tidak munafik.
Oleh karena itu, masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat selalu mengungkapkan
perasaan mereka secara terang-terangan, karena apabila ditutupi, dianggap
munafik, berbohong, dan melanggar ajaran Marapu. Kaitannya dengan umpatan,
masyarakat Loli sering menggunakan umpatan untuk mengekspresikan dan
mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain.
Kurangnya kajian dan penelitian mengenai tuturan berbahasa Indonesia di
masyarakat Sumba Barat juga menjadi salah satu alasan penulis memilih topik ini.
Sumber pengetahuan dan informasi mengenai tuturan berbahasa Indonesia di
6
untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi mengenai tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat. Sumbangan tersebut dapat
digunakan oleh masyarakat Sumba Barat itu sendiri maupun masyarakat luar
Sumba Barat yang ingin mempelajari tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat
Sumba Barat.
I.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dipecahkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa saja jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa
Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat berdasarkan
referennya?
1.2.2 Apa maksud umpatan tersebut jika ditinjau dari konteks kehidupan
masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan umpatan bahasa
Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten
Sumba Barat Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan jenis umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat
berdasarkan referennnya
1.3.2 Mendeskripsikan maksud umpatan berdasarkan konteks kehidupan
7 I.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis umpatan bahasa Sumba
Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loli, Kabupaten Sumba
Barat berdasarkan referennya dan deskripsi maksud umpatan tersebut berdasarkan
konteks kehidupan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat. Hasil penelitian ini
memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretisnya adalah
menyumbangkan hal baru dalam ilmu semantik, yaitu jenis-jenis umpatan bahasa
Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Loili, Kabupaten
Sumba Barat berdasarkan referennya. Terdapat kata atau frasa dalam tuturan
berbahasa Indonesia di masyarakat Loli yang mempunyai referen tertentu sering
digunakan sebagai umpatan. Selain itu, hasil penelitian ini memberikan
sumbangan teoretis dalam ilmu pragmatik, yaitu jenis-jenis maksud yang
terkandung dalam umpatan berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Loli,
Kabupaten Sumba Barat. Penggunaan umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia
di masyarakat ini mengandung maksud tertentu.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan
pemahaman masyarakat Sumba Barat mengenai referen yang digunakan untuk
mengumpat dan maksud apa yang terkandung di dalam referen tersebut. Selain
itu, masyarakat non Sumba Barat juga dapat mengetahui perihal umpatan yang
8 I.5 Tinjauan Pustaka
Perihal umpatan pernah dibahas oleh Siswoyo (2001), Purnama (2008),
Mardhikai (2012), dan Puspitasari (2013). Siswoyo (2001), dalam tugas akhirnya
meneliti pemakaian kata makian yang ada di sekitar mahasiswa Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Hasil analisis
penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan
pada saat marah. Sembilan puluh persen dari keseluruhan jumlah data menyatakan
makian juga digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu, makian juga
bertujuan untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan kekecewaan,
kekaguman, keheranan, dan pujian. Bentuk- bentuk makian yang ditemukan
dalam penelitian tersebut ada dua, yakni makian berbentuk kata dan makian yang
berbentuk frasa. Referen makiannya berupa benda, binatang, kekerabatan,
makhluk halus, organ tubuh, aktivitas, pekerjaan, diskriminasi, jenis kelamin,
keadaan, dan usia. Penelitian tersebut juga menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemakaian kata makian oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya universitas Diponegoro. Faktor-faktor
tersebut, di antaranya, faktor usia, status sosial, jenis kelamin, dan kedekatan
emosi.
Purnama (2008) meneliti tentang makian dalam bahasa Melayu
Palembang: studi tentang bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya. Menurut
Purnama, makian lazim digunakan oleh penutur sebagai sarana pengungkap
emosi, di mana makian tersebut terdapat dalam bahasa sehari-hari. Makian dalam
9
referen, dan konteks sosiokultural. Pertama, bentuk makian dalam bahasa Melayu
Palembang.
Bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang ini dibagi menjadi tiga,
yaitu makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk
klausa. Makian yang berbentuk kata, seperti kampang ‘anak haram’, burit
‘pantat’, bengak ‘bodoh’, pilat ‘kotoran pada kelamin pria’, tai ‘hasil sisa
metabolisme’. Makian yang berbentuk frasa dalam bahasa Melayu Palembang
dibentuk dengan dua cara, yakni dasar + (makian), dan woi + (makian). Terdapat
keunikan dalam makian berbentuk frasa ini, yaitu adanya pemakaian suku atau
etnis tertentu yang sering digunakan oleh masyarakat untuk memaki. Hal itu
disebabkan ketidakterimaan masyarakat Palembang terhadap suku atau etnis
tersebut. Etnis atau suku yang dimaksudkan adalah Cina, Batak, dan Jawa. Pada
makian berbentuk klausa, makian dibentuk dengan menambahkan pronomina di
belakang makian.
Berdasarkan referennya, makian dalam bahasa Melayu Palembang dibagi
menjadi sembilan, yaitu makian yang memiliki referen keadaan, makian yang
memiliki referen sifat, makian yang memiliki referen etnis, makian yang memiliki
referen binatang, makian yang memiliki referen makhluk halus, makian yang
memiliki referen benda, makian yang memiliki referen bagian tubuh, makian yang
memiliki referen aktifitas, dan makian yang memiliki referen profesi. Referen
keadaan yang dimaksud adalah keadaan mental, keadaan yang tidak sesuai dengan
10
Makian yang memiliki referen sifat menunjuk pada sifat buruk yang
dimiliki mitra tutur. Makian yang memiliki referen etnis biasanya dikaitkan
dengan sifat etnis tertentu berdasarkan pandangan masyarakat Palembang.
Misalnya, sifat etnis Batak yang rakus, sifat etnis Cina yang pelit, dan etnis Jawa
yang suka bergaya. Referen binatang yang sering digunakan untuk memaki ialah
binatang yang dipandang tidak baik, misalnya buayo ‘buaya’, beruk ‘kera besar
berekor pendek dan kecil’, babi, dan anjing. Makhluk halus yang sering
digunakan oleh masyarakat Palembang untuk memaki adalah belis dan taun.
Kedua makhluk halus ini dianggap sebagai musuh umat beragama. Referen
berupa bagian tubuh, aktifitas, dan profesi, sering dikaitkan dengan hal yang
berbau seks. Misalnya pada referen bagian tubuh, masyarakat Palembang sering
menggunakan organ seksual untuk memaki, yaitu kontol, peler, pepek, memek,
tempek, puki, dan jembut. Aktifitas seksual juga sering digunakan untuk memaki,
yaitu kacok, ngentot, dan ngancit. Pada profesi, makian yang sering dipakai
adalah lonte dan lonte lanang (gigolo).
Pengkajian konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang mencakup
agama, adat, kondisi sosial, dan status sosial.
Mardhikai (2012) meneliti fenomena kata makian dalam film.
Makian-makian yang sering ditemukan dalam film, antara lain bajingan, bodoh, goblog,
tolol, babi, monyet, curut, tahi, pelacur, sundel, dasar perek, tua bangka,, dan
hidung pesek. Mardhikai juga memaparkan pendapat masyarakat mengenai
pemakaian makian di dalam film. Ada tiga pendapat, yakni, pemakaian kata
11
kekesalan, kejengkelan, atau kemarahan. Pendapat kedua, kata-kata seperti itu
(makian) tidak pantas untuk ditayangkan dan didengar oleh penonton film.
Pendapat ketiga menyatakan, jika menggunakan bahasa yang baik dan benar, film
tidak akan laku. Hal ini disebabkan dengan hadirnya kata-kata seperti itu, minat
penonton akan bertambah, khususnya bagi penonton yang berusia remaja.
Puspitasari (2013), meneliti “Makian dalam Bahasa Indonesia
(Suatu Kajian Bentuk dan Referensi pada Komik)”. Penelitian ini menyebutkan
bahwa pemakaian kata makian tidak hanya digunakan pada saat marah, tetapi juga
digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu, kata makian memiliki tujuan
untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan kekecewaan, keheranan, dan
simbol keakraban. Bentuk-bentuk makian yang ditemukan pada komik yang
diteliti, adalah makian berbentuk kata (dibagi menjadi dua, yakni makian bentuk
dasar yang berwujud kata-kata monomorfemik) dan makian bentuk kata jadian
atau turunan (berbentuk polimorfemik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu makian berafiks dan makian bentuk majemuk)), makian berbentuk frasa, dan
makian berbentuk klausa.
Pada bentuk referensi, kata makian dalam komik berupa referen benda, referen
binatang, referen berupa kekerabatan, referen berupa makhluk halus, referen
berupa organ tubuh, referen berupa aktivitas, referen berupa profesi, dan referen
berupa keadaan.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian di atas, penulis memperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, umpatan memiliki referen berupa
12
tubuh manusia, keadaan fisik manusia, kekerabatan, dan keadaan mental manusia.
Kedua, sebagian besar orang menggunakan umpatan untuk mengekspresikan
emosi dan perasaan mereka. Hal baru yang ditemukan penulis dalam penelitian
mengenai umpatan bahasa Sumba Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia di
masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat adalah ditemukannya beberapa referen
berupa tumbuhan dalam umpatan masyarakat Loli, Kabupaten Sumba Barat.
Selain itu, dalam kaitannya dengan konteks kehidupan masyarakat Loli,
Kabupaten Sumba Barat, penulis menemukan maksud untuk bercanda dalam
penggunaan umpatan.
I.6 Kerangka Teori
Landasan teori dalam penelitian ini memaparkan pengertian umpatan,
referen, maksud, dan kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat.
1.6.1 Pengertian Umpatan
Kata umpatan atau makian merupakan ungkapan yang dapat dilihat
sebagai saluran dari emosi dan sikap penutur yang menggunakan kata-kata tabu
dalam cara yang nonteknis dan bersifat emotif (Ljung, dalam Yuwono, 2010).
Pengertian ini menunjukkan bahasa umpatan merupakan media untuk
mengekspresikan perasaan penutur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 2008:702), ”maki”
berarti mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya)
sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel; ”memaki” berarti
13
kemarahan atau kejengkelan; ”makian” berarti kata keji yang diucapkan karena
marah, dan sebagainya.
Menurut Purnama, (2008: 171), makian merupakan salah satu sarana yang
dibutuhkan oleh penutur untuk mengungkapkan emosi mencakup perasaan
ketidaksenangan. Makian kerap terdapat dalam bahasa Palembang sehari-hari
(Palembang Sari-sari), di mana penggunaan makian dalam bahasa Palembang
sehari-hari ini dikarenakan bahasa tersebut akrab digunakan dalam bertalimarga
(berkomunikasi). Purnama, dalam tulisannya, juga menyatakan bahwa terdapat
kemiripan antara makian masyarakat Palembang dengan makian yang dikenal
oleh masyarakat secara umum, misalnya kata makian jembut, kontol, bandit, babi,
dan kere.
Rosidin (2010: 27), mendefinisikan makian sebagai berikut. Makian
adalah saluran dari emosi dan sikap penutur yang diwujudkan dengan pemakaian
kata-kata tabu, kasar, kotor, cabul, tidak sopan, dan keji. Makian tersebut biasanya
merujuk pada hal-hal yang tabu atau dipandang sebagai sesuatu yang “sensitif”
dalam suatu lingkungan budaya atau masyarakat tertentu.
Makian kerap digunakan untuk menyinggung harga diri orang lain dan menyakiti
hati mitra tutur. Alasan makian diucapkan adalah karena adanya perasaan tidak
senang, marah, terkadang, dalam konteks tertentu, makian dapat digunakan
sebagai penanda keintiman atau kedekatan antara penutur dengan mitra tutur.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
umpatan merupakan tuturan yang digunakan oleh penutur untuk mengekspresikan
14
1.6.2 Teori Semantik
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambing-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang
lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu,
semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya
(Tarigan, 1986:18). Ilmu semantik menyebutkan, terdapat tiga elemen bahasa,
yaitu bentuk, makna, dan referen. Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan
dengan makna yang yang dinyatakan. Hubungan antara bentuk dan makna bersifat
arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada
hubungan kausal, logis, alamiah, ataupun historis, dan sebagainya, antata bentuk
dan makna itu. Sementara itu, sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan
antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau
kesepakatan bersama (Wijana, 2011: 4).
Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia
yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan
sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen (referent) (Wijana,
2011: 4).
1.6.2.1 Referen
Referen (referent) adalah objek atau hal yang ditunjuk: peristiwa, fakta di
dalam dunia pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Referen merupakan
salah satu bagian dari segitiga semiotik, selain simbol dan rujukan (Richards,
15
referen dapat dipahami jika sesuai dengan rujukan. Pemikiran atau referensi
sangat dipengaruhi oleh bahasa dan simbol (Martinet, 2010:78).
PEMIKIRAN ATAU REFERENSI
SIMBOL REFEREN
[image:27.612.103.510.183.582.2]Simbol (kata, rangkaian kata, gambar, gerak, isyarat, dan semua representasi
gambar maupun bunyi imitatif) mengarahkan secara langsung, mengorganisasi,
merekam, dan mengkomunikasikan pemikiran atau referensi tersebut.
Simbol-simbol yang telah diproses di dalam pemikiran atau referensi tersebut kemudian
dikomunikasikan lagi dengan fakta dan kejadian. Fakta dan kejadian inilah yang
kemudian disebut referen.
Simbol dalam segitiga semiotik berfungsi untuk menggantikan referen,
karena simbol melakukan pentahbisan atau investitura. Ketika seseorang
memahami apa yang dikatakan, maka suatu simbol akan membuat kita melakukan
suatu tindakan referensi, dan sekaligus membuat kita mengambil suatu sikap yang
sesuai dengan lingkungan yang mirip atau mendekati tindakan dan sikap lokutor.
Selain menggantikan referean, simbol juga memiliki satu relasi tidak langsung.
16
umum tertentu yang terdapat di jalanan” kecuali berkaitan dengan fakta yang
sering kita gunakan ketika merujuk pada suatu binatang. (Martinet, 2010: 79).
1.6.2.2 Maksud
Maksud merupakan suatu gejala luar ujaran, selain informasi. Informasi
dan maksud sama-sama sesuatu yang luar ujaran. Hanya bedanya kalau informasi
itu merupakan sesuatu yang luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang
dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang
berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan
suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi yang dinaksudkannya tidak
sama dengan maksud lahiriah ujaran itu sendiri (Chaer, 1990:35-36).
I.7 Metode Penelitian
Penelitian mengenai umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di
masyarakat Sumba Barat ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) Pengumpulan
data, (ii) Analisis Data, dan (iii) Penyajian Hasil Analisis Data.
1.7.1 Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah umpatan. Objek ini berada dalam data berupa
tuturan. Data yang dikumpulkan adalah umpatan yang sering digunakan oleh
masyarakat Sumba Barat dalam bertutur. Data-data dalam penelitian ini diperoleh
melalui dua sumber, yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis
berupa Kamus Bahasa Daerah Sumba Barat, dan sumber lisan berasal dari
17
Saudara Deristo Bili (29), Saudara Arianti Anita Umbu (22), Saudara Tanta
Rambu Hara (22), dan Saudara Angela Kula (22).
Pengumpulan data penelitian menggunakan metode simak. Metode simak
adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan cara menyimak
penggunaan bahasa. Bahasa yang disimak dalam metode ini tidak hanya berkaitan
dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara
tertulis (Mahsun, 2005: 92). Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini
ada dua, yakni metode simak berpartisipasi dan metode simak tidak berpartisipasi.
Metode simak berpartisipasi adalah pengumpulan data dengan ikut terlibat atau
berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam
pembicaraan (Kesuma, 2007: 44). Sedangkan metode simak tidak berpartisipasi
adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa
tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam teknik ini, peneliti
tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan
calon data. Data yang disimak dengan teknik ini dapat berupa data dari sumber
lisan dan sumber tertulis (Kesuma, 2007: 44). Penulis melakukan pengumpulan
data dengan cara masuk ke dalam keseharian masyarakat Sumba Barat dan
mengamati umpatan-umpatan yang sering mereka gunakan. Selain itu, penulis
juga mengamati dan meneliti umpatan-umpatan yang sering digunakan oleh
mahasiswa Sumba Barat yang tinggal di Jogjakarta.
1.7.2 Analisis Data
Pada tahap analisis data, data dianalisis menggunakan metode padan.
18
digunakan untuk menentukan kejatian atau identitas objek penelitian (Kesuma,
2007: 47). Alat penentu data dalam metode ini berada di luar bahasa, terlepas, dan
tidak menjadi bagian dari bahasa (langue). Metode padan yang digunakan adalah
metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial
adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Metode ini
digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang
ditunjuk (Kesuma, 2007: 48).
Contoh penerapan metode padan referensial sebagai berikut.
(1)Luhan memanggil Kris.
Kalimat (1) di atas dapat dipilah menjadi tiga konstituen, yaitu Luhan,
memanggil, dan Kris. Ketiga konstituen itu memiliki identitas masing-masing.
Identitas Luhan adalah ‘pelaku’, memanggil adalah ‘perbuatan’, dan Kris adalah
‘penerima perbuatan’. Penentuan tersebut merupakanpenentuan identitas menurut
metode padan referensial.
Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan
atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi satuan
kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau
mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara (Kesuma,
2007: 49).
Contoh penerapan metode padan pragmatis sebagai berikut.
(2)Kai, tolong buatkan minum untuk adikmu!
Contoh (2) di atas merupakan kalimat perintah. Penentuan tersebut dilakukan
19
kalimat perintah karena bila dituturkan, mengakibatkan mitra tutur, yaitu Kai,
melakukan tindakan membuatkan minum untuk adik, sehingga muncul reaksi
seperti dalam (2a) atau menolak untuk membuatkan minum untuk adik, seperti
reaksi dalam (2b).
(2a) Iya, akan kubuatkan.
(2b) Aku sedang malas. Suruh saja orang lain yang membuatnya.
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan dua
metode, yaitu metode formal dan metode informal. Penyajian hasil analisis data
dengan metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan
kaidah. Kaidah tersebut dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar
(Kesuma, 2007: 73). Penelitian ini menyajikan hasil analisis data melalui tabel.
Sedangkan penyajian hasil analisis data dengan metode informal adalah penyajia
hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, di mana rumus-rumus
atau kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila
dibaca, dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007: 71).
I.8 Sistematika Penelitian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan
teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang menguraikan alasan
20
yang ditemukan penulis dalam penelitian ini. Tujuan penelitian mendeskripsikan
tujuan penulis melakukan penelitian ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat
yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini. Tinjauan pustaka mengemukakan
pustaka yang pernah membahas tentang semiotika. Landasan teori menyampaikan
teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Metode dan teknik
penelitian merincikan metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik
analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini.
Bab kedua berisi uraian tentang jenis umpatan berdasarkan referennya,
yakni umpatan yang mempunyai referen berupa manusia, umpatan yang
mempunyai referen berupa hewan, umpatan yang mempunyai referen berupa
tumbuhan, dan umpatan yang mempunyai referen berupa benda mati.
Bab ketiga berisi uraian tentang maksud umpatan jika ditinjau dari konteks
kehidupan masyarakat Sumba Barat. Maksud-maksud tersebut dibagi menjadi
empat, yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, umpatan yang bermaksud
menyindir, umpatan yang bermaksud marah, dan umpatan yang bermaksud
21 BAB II
JENIS UMPATAN BAHASA SUMBA BARAT
DALAM TUTURAN BERBAHASA INDONESIA
DI MASYARAKAT LOLI KABUPATEN SUMBA BARAT
BERDASARKAN REFERENNYA
2.0 Dasar Kehidupan Sosial Masyarakat Sumba Barat
Kehidupan sosial masyarakat Sumba Barat bertumpu pada ajaran Marapu.
Marapu adalah ajaran spiritual yang mempertahankan hubungan yang harmonis
antara manusia, Sang Pencipta (Amawolo Amarawi), dan alam semesta. Marapu
berasal dari kata ma yang berarti ‘yang’ dan rapu yang berarti ‘dihormati,
didewakan; mengacuh kepada nenek moyang’. Jadi Marapu dapat diartikan
sebagai ‘sesuatu yang dihormati dan didewakan’ (Bamualim, 2009: 31).
Ajaran tersebut masih dipegang teguh dan dijalankan hingga kini. Hal itu
dapat dilihat dari kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Sumba Barat.
Masyarakat Sumba Barat tergolong sangat terbuka (ceplas-ceplos) dalam
mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka. Hal ini dimaksudkan agar
memperkecil kemungkinan terjadinya salah paham dan prasangka buruk di antara
mereka. Ajaran Marapu mempercayai bahwa Amawolo Amarawi itu mempunyai
mata yang besar, telinga yang besar, dan hidung yang besar sehingg Ia bisa
melihat, mendengar, dan membaui semua yang dilakukan manusia di dunia. Oleh
karena itu, manusia harus berhati-hati dalam bertindak, termasuk
22
cenderung keras dan tegas juga sangat mempengaruhi perilaku mereka. Hal ini
berimbas pada bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi di kehidupan
sehari-hari. Dalam keseharian masyarakat Sumba Barat, tidak jarang ditemukan
penggunaan bahasa yang sedikit kasar, bahkan sangat kasar, digunakan oleh
masyarakat Sumba Barat untuk mengekspresikan perasaan mereka kepada orang
lain. Ini disebabkan masyarakat Sumba Barat kurang mengukai kemunafikan atau
berpura-pura.
2.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia
Referen (referent) adalah objek atau hal yang ditunjuk: peristiwa, fakta di
dalam dunia pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Peneliti
menggolongkan umpatan berdasarkan referennya ke dalam empat jenis, yakni
umpatan yang memiliki referen berupa manusia, umpatan yang memiliki referen
berupa hewan, umpatan yang memiliki referen berupa tumbuhan, dan umpatan
yang memiliki referen berupa benda mati.
Umpatan dalam tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat
yang menunjuk referen berupa manusia, dibagi menjadi empat, yaitu nama
23
2.1.1 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Nama manusia
Pada dasarnya, nama digunakan oleh manusia sebagai tanda pengenal
dirinya. Dalam masyarakat Sumba Barat, ada beberapa nama yang selain sebagai
tanda pengenal diri, juga digunakan sebagai umpatan. Nama manusia sering
digunakan masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat, sebagai berikut.
(1) Lawwe, jangan berdiri di situ!
(2) HehBili gila, barenti makan!
(3)Dasar kau Yudas.
Umpatan yang terdapat dalam tuturan (1) sebenarnya adalah nama orang
gila perempuan yang terkenal di Sumba Barat, yaitu Lawwe. Begitu pun dengan
umpatan yang terdapat dalam tuturan (2), adalah nama orang gila laki-laki yang
terkenal di Sumba Barat. Arti dari tuturan tersebut ‘Hei Bili gila berhenti(lah)
makan’. Umpatan yang terdapat dalam tuturan (3) berarti “Yudas, nama seorang
rasul Yesus’.
2.1.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Sapaan
Sama seperti masyarakat lain, masyarakat Sumba Barat juga mengenal
sapaan-sapaan yang digunakan dalam komunikasi mereka sehari-hari. Selain
berfungsi untuk menyapa, terdapat beberapa sapaan yang digunakan untuk
mengumpat orang lain. Sapaan-sapaan tersebut sebagai berikut.
(4) O, nyora suda bangun.
(5) Kom nene yang bilang?
(6) Mam raja suda pulang dari pasar koh?
24
Tuturan (4) berarti ‘O, (ternyata) nyora sudah bangun’. Umpatan dalam
tuturan tersebut berarti ‘nyonya, istri dari orang yang dihormati dan disegani’.
Kom nene yang terdapat dalam tuturan (5) berarti ‘nenekmu’. Tuturan tersebut
memiliki arti ‘(Apakah) nenekmu yang berkata (demikian)?’. Tuturan (6)
memiliki arti ‘Apakah Mam raja sudah kembali dari pasar?’. Mam raja dalam
tuturan tersebut berarti ibu/mama dari sang raja. Jadi secara sederhana dapat
diartikan sebagai ibu/mama dari seorang pemimpin/penguasa. Tuturan (7) berarti
‘Jangan suka mencari masalah dengan ata ndaina’. Ata ‘orang’, ndaina
‘suwanggi’. Suwanggi adalah ‘setan yang suka berkeliaran pada malam hari
dengan mengeluarkan isi dalam perutnya dan terbang mencari mangsa’.
2.1.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Bagian Tubuh
Manusia
Anggota tubuh yang sering digunakan untuk mengumpat biasanya
merupakan anggota tubuh yang berkaitan erat dengan aktivitas seksual.
Alasannya, aktivitas seksual bersifat sangat pribadi dan kurang sopan jika
dibicarakan oleh orang lain. Selain itu, organ-organ tubuh yang tergolong penting
juga dipakai untuk menngumpat.
(8) Ini anak kapala kahiwu betul.
(9) Memang manusia puki mai.
(10) Kecil-kecil kaki kareta juga.
(11) Lo’jang satu, ko makan apa saja?
(12) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.
25
(14) Kalo su ada itu katala ngadha kita macam perang su di sini.
(15) Saya punya ana ku’du su mau nika padahal.
(16) Jang sampe itu lahu liat kau lagi.
(17) Oo, ana millanggu. Mar sini!
(18) Nguddumu! Kabiar sa tir pi lagi.
(19) Kom kere! Apa su sa sendiri.
(20) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.
(21) Macam hebat-hebat saja ini lau.
(22) Perempuan telle, maen gila bodo.
Tuturan (8) berarti ‘Anak ini selalu cengeng’. Kapala: kepala, kahiwu:
cengeng, jadi kapala kahiwu berarti orang yang selalu cengeng, merengek.
Umpatan yang terdapat dalam tuturan (9) puki: kelamin wanita, mai: ibu/mama.
Umpatan kaki kareta dalam tuturan (10) berarti orang yang selalu keluyuran,
jarang berada di rumah, seperti kereta yang sedang berjalan; kaki: kaki, kareta:
kereta. Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (11) berarti ‘orang yang tinggi,
kurus, berbadan tipis’. Arti tuturan tersebut berarti ‘menanyakan apa saja yang
telah dimakan oleh orang dengan kondisi fisik tersebut [sehingga memiliki tinggi
seperti itu]’. Umpatan di dalam tuturan (12) kareko berarti ‘kurus, kerempeng’
pakke ‘kodok tanah, berwarna hitam, dan sangat kecil’. Arti tuturan (12) adalah
‘Kareko pakke, sekali ditiup angin kau melayang seketika.’. Tuturan (13)
mengandung umpatan kajowa yang berarti ‘perut babi yang tergantung karena
terlampau gemuk; buncit’. Arti tuturan tersebut ‘Kajowanya juga seakan ikut
26
berbunyi seperti gong’, katala ‘gong’ ngadha ‘mulut’. Arti tuturan tersebut ‘Jika
sudah ada katala ngadha, (suasana) kita di sini sudah seperti orang yang
berperang.’. Tuturan (15) berarti ‘Ana ku’duku akan menikah’. Ana ‘anak’ ku’du
‘kecil, sedikit’, ana ku’du sering diartikan ‘kecil, kerdil, berukuran minim’.
Umpatan lahu yang terdapat dalam tuturan (16) sebenarnya berarti ‘bagian inti
pada buah nangka’, namun benda itu sering dipakai untuk menyebut kelamin
laki-laki dikarenakan adanya persamaan bentuk. Arti tuturan tersebut ‘Jangan sampai
lahu itu melihatmu lagi.’. Tuturan (17) mengandung umpatan ana milla yang
berarti ana ‘anak’ milla ‘miskin, tak punya apa-apa’. Arti tuturan tersebut ‘Oo,
ana millaku, kemarilah!’. Nguddumu, umpatan yang terdapat di dalam tuturan
(18) memiliki arti ‘gigimu’. Umpatan ini mirip seperti umpatan matamu dalam
bahasa Jawa. Arti tuturan tersebut ‘Nguddumu! Saya tidak akan pergi [ke sana]
lagi.’. Umpatan kkom kere yang terdapat di dalam tuturan (19) berarti ‘pantatmu’.
Umpatan ini mirip dengan umpatan mbahmu dalam bahasa Jawa. Tuturan tersebut
berarti ‘Kom kere! Masa aku sendiri.’. Tuturan (20) memilki umpatan mette katto
yang berarti orang yang berkulit sangat hitam; mette ‘hitam’ katto ‘keras’, dalam
hal ini ‘pekat’. Arti tuturan tersebut adalah ‘Mette katto, hanya giginya yang
kelihatan.’. Tuturan (21) berarti ‘Seperti orang hebat saja [kau berkelakuan] lau.’
Umpatan lau pada tuturan tersebut berarti ‘kemaluan laki-laki’. Umpatan yang
terdapat dalam tuturan (22), telle berarti ‘kelamin wanita. Arti tuturan tersebut
‘Perempuan telle, jangan bercanda di luar batas [berlebihan, seperti orang
27
2.1.4 Umpatan yang Menunjuk Referen Manusia Berupa Jabatan
Jabatan merupakan pangkat dari pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang.
Pada hakikatnya, jabatan itu menyangkut kehormatan seseorang yang diterimanya
berdasarkan kepercayaan yang diberikan orang lain kepadanya. Hal ini juga
berlaku di dalam masyarakat Sumba Barat; namun terdapat beberapa jabatan yang
sering digunakan oleh masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat.
(23) Bapa desa masi ada rapat.
(24) Panggil itu ibu negara dulu.
Tuturan (23) berarti ‘Bapa desa sedang ada (menghadiri) rapat’. Bapa:
bapak, desa: desa/kampung. Tuturan (24) berarti ‘ tolong panggilkan ibu negara’.
Ibu negara dalam tuturan tersebut berarti ‘ibu yang menguasai negara/ ibu dari
penguasa negara’.
2.2 Umpatan yang Menunjuk Referen Hewan
Umpatan yang memiliki referen berupa hewan ini umumnya hampir sama
di beberapa daerah. Banyak daerah di Indonesia yang memakai referen hewan
sebagai bahan umpatan. Bagi masyarakat Sumba Barat, alasan menggunakan
referen hewan tertentu sebagai umpatan adalah karena hewan tersebut dianggap
memiliki sifat buruk, jahat, dan merugikan kehidupan manusia. Nama-nama
hewan yang biasa digunakan masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat adalah
sebagai berikut.
(25) Lahu diam sedikit!
28 (27) Itu dia laki-laki katumma.
(28) Macam karabbo mai saja kau ni.
(29) Itu lawora darat belum kena tangkap.
(30) Marapu nippe suda buat apa lagi?
(31) Sa liat bei dara kemarin tapaleuk di pasar malam.
Umpatan lahu yang terdapat dalam tuturan (25) berarti ‘anjing’. Biasanya
umpatan itu digunakan untuk mengumpat kaum laki-laki. Arti tuturan (26) ‘Si tua
yang satu itu seperti manu beddi’. Manu berarti ayam, burung, beddi berarti gatal.
Katumma dalam tuturan (27) berarti ‘kutu’. Tuturan (28) berarti ‘Kamu ini sudah
seperti karabbo mai’. Karabbo: kerbau, mai: betina/induk. Tuturan (29) berarti
‘Lawora itu belum tertangkap’. Lawora: buaya. Marapu nippe dalam tuturan (30)
berarti tuan/dewa/penguasa ular (Marapu: tuan/dewa/penguasa, nippe: ular).
Tuturan (31) berarti ‘Saya melihat bei dara kemarin berkeliaran di pasar malam.’.
Bei ‘betina’ dara ‘kuda’, bei dara berarti ‘gadis yang berkelakuan seperti kuda
betina yang liar, centil’.
2.3 Umpatan yang Menunjuk Referen Tumbuhan
Selain manusia dan hewan, tumbuhan juga sering digunakan oleh
masyarakat Sumba Barat untuk mengumpat. Hal ini biasanya dikarenakan
masyarakat Sumba Barat menganggap adanya kemiripan bentuk atau sifat antara
tumbuhan yang digunakan untuk mengumpat dengan keadaan objek yang
29 (32) Tutup mulut naga rara!
(33) Kau pung bodok model karokko rara.
(34) Ode, barenti bakorek!
(35) Rauta ka`bala ada duduk di sana.
(36) Ko pu model su macam kaya kapoke naga saja.
Umpatan dalam tuturan (32) berarti naga: nangka, rara: merah. Naga
rara dianggap menyerupai kelamin perempuan. Oleh karena itu, umpatan ini biasa
digunakan untuk mengumpat kaum perempuan. Tuturan (33) berarti ‘Bodohmu
sudah seperti karokko rara’. Karokko: nangka, rara: merah. Tuturan (34)
memiliki arti ‘Ode, berhenti mengusik!’. Ode adalah sejenis tanaman kacang yang
gatal bila terkena kulit. Gatal yang ditimbulkan ode susah dihilangkan, bahkan
dapat menimbulkan luka di bagian yang terkena ode tersebut. Tuturan (35) berarti
‘Rauta ka’bala sedang duduk di sana’. Rauta: rumput, ka’bala: belalang. Rauta
ka’bala atau yang sering disebut rumput belalang oleh masyarakat Sumba Barat
adalah tanaman rambat berbunga putih yang sering membentuk semak, biasanya
mencul pada musim kemarau. Tuturan (36) berarti ‘Modelmu sudah seperti
kapoke naga’. Kapoke: rusak, tidak jadi, peot, naga: nangka. Kapoke naga berarti
‘buah nangka yang kerdil, tidak dapat bertumbuh lebih besar. Nangka tersebut
kemudian perlahan-lahan menyusut (kempes) dan gugur dengan sendirinya’.
2.4 Umpatan yang Menunjuk Referen Benda Mati
Sama seperti hewan, pemakaian satuan bahasa yang menunjuk referen
30
karena dianggap adanya kemiripan antara orang yang diumpat dengan benda mati
tertentu. Benda-benda mati yang sering digunakan sebagai berikut.
(37) Watu loko suda itu barang-barang.
(38) Heh, kabang`nga watu loko jang banyak omong.
(39) Itu perempuan tebe kalitta skali.
(40) Ada lagoro yang cari mangsa tadi.
(41) Laki-laki taripleks baru saja lewat.
(42) Tir ada tai jangan bagaya.
(43) Ini kaboko, tida perna dengan orang lain betul.
Tuturan (37) berarti ‘Percuma(lah) barang-barang itu’. Watu: batu, loko:
kali. Masyarakat Sumba Barat menggunakan watu loko untuk mengatakan hal
yang sia-sia bila dilakukan, sifatnya sama seperti batu kali. Umpatan kabang`nga
watu loko dalam tuturan (38) digunakan untuk mengumpat orang yang dianggap
sangat bodoh: kabang`nga: bodoh, watu: batu, loko: kali. Tebe kalitta dalam
tuturan (39) berarti tidak pernah kapok, tidak pernah jera melakukan kesalahan:
tebe: tebal, kalitta: kulit. Umpatan dalam tuturan (40) berarti ‘Tadi ada lagoro
yang mencari mangsa. Lagoro berarti ‘giring-giring, berbentuk bulat dan terdiri
dari dua biji. Sering dipakai untuk menyebut kelamin laki-laki karena dianggap
adanya kemiripan. Tuturan (41) berarti ‘Laki-laki tripleks itu baru saja lewat’.
Tuturan (42) berarti ‘Tidak ada tai (lebih baik) jangan bergaya’. Tai dalam tuturan
itu berarti kotoran/tinja. Tuturan (43) berarti ‘Kaboko ini, tidak pernah sekalipun
31
Jenis-jenis umpatan bedasarkan referen tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
Referen No Tuturan
A. Manusia
a) Nama Manusia 1 Lawwe, jangan berdiri di situ!
2 Heh Bili gila, barenti makan!
3 Dasar kau Yudas.
b) Sapaan 4 O, nyora suda bangun.
5 Kom nene yang bilang?
6 Mam raja suda pulang dari pasar koh?
7 Jangan bacari hal deng ata ndaina.
c) Bagian Tubuh
Manusia
8 Ini anak kapala kahiwu betul.
9 Memang manusia puki mai.
10 Kecil-kecil kaki kareta juga.
11 Lo’jang satu, ko makan apa saja?
12 Kareko pakke, kena tiup angin satu kali
malayang.
13 Dem kajowa ju ikut manari.
14 Kalo su ada itu katala ngadha kita macam
perang su di sini.
32
16 Jang sampe itu lahu liat kau lagi.
17 Oo, ana millanggu. Mar sini!
18 Nguddumu! Kabiar sa tir pi lagi.
19 Kom kere! Apa su sa sendiri.
20 Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.
21 Macam hebat-hebat saja ini lau.
22 Perempuan telle, maen gila bodo.
d) Jabatan 23 Bapa desa masi ada rapat.
24 Panggil itu ibu negara dulu.
B. Hewan 25 Lahu diam sedikit!
26 Itu tua satu su macam manu beddi
27 Itu dia laki-laki katumma.
28 Macam karabbo mai saja kau ni.
29 Itu lawora darat belum kena tangkap.
30 Marapu nippe suda buat apa lagi?
31 Sa liat bei dara kemarin tapaleuk di pasar
malam.
C. Tumbuhan 32 Tutup mulut naga rara!
33 Kau pung bodok model karokko rara.
34 Ode, barenti bakorek!
35 Rauta ka`bala ada duduk di sana.
33
D. Benda Mati 37 Watu loko suda itu barang-barang.
38 Heh, kabang`nga watu loko jang banyak
omong.
39 Itu perempuan tebe kalitta skali.
40 Ada lagoro yang cari mangsa tadi.
41 Laki-laki taripleks baru saja lewat.
42 Tir ada tai jangan bagaya.
43 Ini kaboko, tida perna dengan orang lain betul.
[image:45.612.104.528.102.605.2]34 BAB III
MAKSUD UMPATAN DITINJAU DARI
KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT LOLI
KABUPATEN SUMBA BARAT
3.0 Pengantar
Konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat yang dimaksud oleh penulis
dalam penelitian ini adalah konteks kehidupan sosial. Setelah penulis
mendeskripsikan arti-arti umpatan yang sering digunakan oleh masyarakat Sumba
Barat dalam tuturan berbahasa Indonesia, selanjutnya penulis mendeskripsikan
maksud dari umpatan-umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan
masyarakat Sumba Barat.
Jenis-jenis umpatan berdasarkan referennya pada bagian 2.1 jika dikaitkan
dengan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat memiliki berbagai maksud.
Berdasarkan penelitian, maksud-maksud umpatan-umpatan tersebut terbagi
menjadi beberapa kategori, yaitu (1) umpatan yang memiliki maksud bercanda,
(2) umpatan yang bermaksud menyindir, (3) umpatan dengan maksud marah, dan
(4) umpatan yang bermaksud menghina.
3.1 Umpatan yang Bermaksud Bercanda
Bercanda adalah bertingkah, bersenda gurau, berkelakar. Biasanya dalam
waktu senggang, dalam suasana tidak serius. Masyarakat Sumba Barat sering
menggunakan umpatan-umpatan tertentu untuk bercanda dengan orang lain,
35 (1) Lawwe, jangan berdiri di situ!
Umpatan dalam tuturan (1) biasa digunakan untuk mengejek perempuan
yang dianggap gila seperti Lawwe. Umpatan tersebut biasanya digunakan
antarteman, antarsaudara, atau orangtua kepada anak perempuannya.
(2) Heh Bili gila, barenti makan!
Sama halnya dengan tuturan (1), tuturan (2) juga digunakan untuk
mengejek laki-laki yang dianggap atau berkelakuan seperti orang gila.
(3) Dasar kau Yudas.
Umpatan dalam tuturan (3) biasa digunakan untuk mengejek orang yang
munafik, seperti Yudas.
(4) O, nyora suda bangun.
Pada tuturan (4) terdapat umpatan yang sering digunakan untuk mengejek
ibu-ibu yang suka memerintah, sok berkuasa, jarang bekerja di dapur, suka
berpangku tangan layaknya seorang nyonya.
(5) Kom nene yang bilang?
Umpatan dalam tuturan (5) sering dipakai untuk bercanda dengan maksud
penolakan.
(6) Mam raja suda pulang dari pasar koh?
Umpatan mam raja (6) memiliki maksud yang mirip dengan nyora pada
tuturan (4). Namun, umpatan dalam tuturan (6) ini lebih dipakai untuk mengejek
wanita yang tidak bisa bekerja apa-apa karena lemah atau memang tidak biasa
36 (7) Ini anak kapala kahiwu betul.
Umpatan pada tuturan (7) sering dipakai untuk mengejek/bercanda dengan
orang yang suka merajuk/merengek/cengeng. Ini biasa digunakan antarteman.
(8) Kecil-kecil kaki kareta juga.
Kaki kareta (8) sering dipakai untuk mengejek orang yang senang
keluyuran, jarang berada di rumah. Biasa digunakan antarteman atau orang tua
kepada anaknya.
(9) Bapa desa masi ada rapat.
Pada tuturan (9) terdapat umpatan yang bermaksud mengejek bapak-bapak
yang suka mengumbar apa yang ia miliki, suka berkuasa terhadap orang lain/
milik orang lain, selera tinggi.
(10) Panggil itu ibu negara dulu.
Ibu negara pada tuturan (10) juga memiliki maksud yang mirip dengan
bapa desa pada tuturan (10). Ibu negara sering dipakai untuk mengejek ibu-ibu
yang sok berkuasa, jarang bekerja,seperti ibu (pemilik) negara.
(11) Itu lawora darat belum kena tangkap.
Pada tuturan (11) terkandung umpatan yang bermaksud mengejek laki-laki
playboy, sama seperti dalam bahasa Indonesia, buaya (lawora: Sumba Barat)
sering dipakai untuk menggambarkan playboy. Lawora dimaksudkan untuk
mengumpat laki-laki playboy karena dianggap memiliki kesamaan sifat antara
orang yang diumpat dengan buaya darat, dapat melata di dua tempat, darat dan air.
37
Umpatan ini biasanya digunakan oleh sesama teman lelaki. Rauta ka’bala
(12) sering digunakan untuk mengejek orang yang berbulu badan banyak. Bulu
badan yang banyak pada tubuh orang tersebut tersebut diidentikkan dengan
semak-semak rumput belalang yang biasanya rimbun.
(13) Ada lagoro yang cari mangsa tadi.
Umpatan yang terdapat dalam tuturan (13) bermaksud mengejek kaum
laki-laki. Lagoro (giring-giring) diidentikkan dengan kelamin laki-laki karena
adanya kesamaan bentuk. Umpatan ini sering digunakan oleh laki-laki dan
perempuan.
(14) Laki-laki taripleks baru saja lewat.
Umpatan dalam tuturan (14) bermaksud mengejek orang yang kurus,
tinggi, dan tipis seperti tripleks. Ini biasa digunakan antarteman yang sudah akrab.
(15) Lo’jang satu, ko makan apa saja?
Umpatan dalam tuturan (15) sering digunakan oleh mereka yang sudah
akrab, biasanya antarteman, orang tua kepada anak, atau kepada sesame saudara.
Umpatan ini bermaksud untuk mengejek orang dengan keadaan fisik lo’jang:
tinggi, kurus, bahasa kerennya kutilang (kurus, tinggi, langsing). Umpatan ini bisa
digunakan untuk laki-laki dan perempuan.
(16) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.
Sama halnya dengan tuturan sebelumnya, tuturan (16) ini digunakan oleh
mereka yang sudah akrab. Umpatan yang terdapat dalam tuturan ini digunakan
untuk mengejek orang yang memiliki kondisi fisik kurus. Karena kurus, orang itu
38 (17) Dem kajowa ju ikut manari.
Umpatan dalam tuturan (170 ini dtimaksudkan untuk mengejek orang yang
memiliki perut besar, seperti perut babi yang gemuk. Saking gemuknya perut
orang yang dimaksud, ketika bergerak sedikit saja perutnya juga akan ikut menari
(bergerak).
(18) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.
Pada tuturan (18) ini, terdapat umpatan yang ditujukan untuk mengejek
orang yang berkulit hitam pekat. Kulit hitam yang dimiiliki orang itu membuat
orang itu tidak kelihatan, hanya giginya yang berwarna putih yang terlihat oleh
orang lain.
3.2 Umpatan yang Bermaksud Menyindir
Menyindir adalah suatu kegiatan mengkritik, mencela seseorang secara
tidak langsung. Tidak langsung dalam konteks ini adalah tidak langsung
menyebutkan hal yang dimaksudkan, namun mengucapkan hal lain untuk
menyinggung hal yang dimaksudkan sebenarnya. Umpatan dalam masyarakat
Sumba Barat juga sering digunakan untuk menyindir orang lain. Umpatan dengan
maksud menyindir tersebut keluar karena adanya rasa tidak suka atau kurang suka
terhadap seseorang.
(19) Dasar kau Yudas.
Umpatan dalam tuturan (19) bermaksud untuk menyindir orang yang
dianggap munafik, tidak dapat dipercaya, pengkhianat, sama seperti sifat Yudas
39 (20) O, nyora suda bangun.
Nyora dalam tuturan (20) bermaksud untuk menyindir ibu-ibu yang dalam
kesehariannya suka memerintah, sok berkuasa, dan bertingkah layaknya seorang
nyonya besar.
(21) Ini anak kapala kahiwu betul.
Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (21) digunakan dengan maksud
menyindir (biasanya ditujukan kepada orang yang sebaya) mereka yang selalu
bergantung pada orang tua/orang lain jika melakukan sesuatu, tidak bisa berusaha
sendiri, anak mami, cengeng.
(22) Bapa desa masi ada rapat.
Selain untuk mengejek, umpatan yang terdapat dalam tuturan (22) juga
bermaksud untuk menyindir bapak-bapak yang suka mengumbar apa yang
dimiliki, sok berkuasa, dan selalu bermimpi menjadi pemimpin, layaknya bapak
kepala desa.
(23) Panggil itu ibu negara dulu.
Tuturan (23) mengandung umpatan yang bermaksud untuk menyindir
ibu-ibu yang sok berkuasa, jarang bekerja, dan suka memerintah.
(24) Macam karabbo mai saja kau ni.
Karabbo mai (24) digunakan untuk menyindir anak gadis yang dianggap
bodoh, malas beraktifitas, senang makan dan tidur, dan biasanya berbadan besar.
40 (25) Marapu nippe suda buat apa lagi?
Umpatan Marapu nippe yang terdapat dalam tuturan (25) sering
digunakan untuk menyindir orang yang dianggap susah dipercaya dan sangat licik,
memiliki sifat seperti ular.
(26) Ode, barenti bakorek!
Umpatan yang terdapat dalam tuturan (26) bermaksud menyindir orang
yang dianggap ganjen, layaknya ode yang gatal ketika disentuh atau tersentuh.
Orang yang dimaksud adalan orang yang dianggap suka merayu orang lain.
Umpatan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan, dan biasanya terdapat di
kalangan remaja masyarakat Sumba Barat.
(27) Tir ada tai jangan bagaya.
Tuturan (27) mengandung sindiran yang ditujukan kepada orang yang
dianggap paling miskin yang namun suka bergaya hidup mewah. Maksunya di
sini adalah, tai ‘tinja’ saja tidak dimiliki oleh orang tersebut, apalagi hal lain. Jadi,
jangan suka bergaya padahal tak memiliki apapun.
(28) Kareko pakke, kena tiup angin satu kali malayang.
Umpatan yang terdapat di dalam tuturan (28) bermaksud untuk menyindir
orang yang memiliki kondisi fisik kurus. Karena badan yang terlampau kurus,
orang itu dapat diterbangkan oleh angin. Umpatan ini selain digunakan oleh orang
yang sudah dekat atau memiliki kekerabatan, sering juga digunakan oleh orang
41
(29) Saya punya ana ku’du su mau nika padahal.
Umpatan ana ku’du yang terdapat dalam tuturan (29) digunakan untuk
menyindir orang yang memiliki bentuk fisik kurus, kecil, kerdil, memiliki ukuran
badan yang tidak sesuai dengan umur. Maksud dari tuturan tersebut adalah si ana
ku’du sudah mau menikah. Hal tersebut tidak disangka kerana badan orang
tersebut tidak terlihat seperti orang yang mau menikah, terlihat jauh lebih kecil
dari pada umurnya.
(30) Oo, ana millanggu. Mar sini!
Umpatan ana milla yang terdapat di dalam tuturan (30) bermaksud untuk
menyindir orang (dalam hal ini yang lebih muda: karena disebut ana) yang
dianggap miskin, tidak memiliki apa-apa. Maksud tuturan tersebut adalah
memanggil orang yang dipandang sebagai ana milla tersebut untuk datang kepada
si pengumpat, karena si pengumpat memiliki kelebihan. Dalam hal ini, ana milla
tersebut dianggap bergantung dan membutuhkan bantuan dari pengumpat tersebut.
(31) Mette katto, hanya dem gigi se yang keliatan.
Tuturan (31) mengandung umpatan yang digunakan untuk menyindir
orang yang memiliki kulit sangat gelap (hitam). Kulit hitam orang tersebut
menyebabkan orang tersebut tidak terlihat, hanya gigi orang tersebut yang
kelihatan. Selain diucapkan oleh mereka yang sudah saling akrab, umpatan ini
sering digunakan oleh orang asing untuk mengumpat orang lain yang memiliki
42 (32) Macam hebat-hebat saja ini lau.
Tuturan (32) mengandung umpatan yang digunakan untuk menyindir
orang yang dianggap sok hebat. Umpatan tersebut ditujukan kepada kaum
laki-laki yang selalu bertingkah di luar batas, dalam hal ini berkelakuan layaknya
orang yang sangat hebat, pamer aksi.
3.3 Umpatan yang Bermaksud Marah
Marah adalah perasaan tidak senang yang dimiliki seseorang karena
merasa dihina atau diperlakukan tidak dengan sepantasnya atau mendengar
ucapan yang tidak pantas. Dalam kehidupan sehari-hari, sama seperti masyarakat
di daerah lain, masyarakat Sumba Barat juga menggunakan umpatan untuk
mengungkapkan perasaan marah mereka. Umpatan-umpatan yang sering mereka
gunakan adalah sebagai berikut.
(33) Memang manusia puki mai.
Pada tuturan (33) terdapat umpatan yang bermaksud untuk memarahi
orang yang dianggap melakukan kesalahan yang sangat besar sehingga tidak dapat
diterima. Orang yang mengumpat sangat marah sehingga melontarkan umpatan
tersebut. Bagi masyarakat Sumba Barat, umpatan tersebut sangat kasar karena
yang diumpat adalah ibu dari orang yang dimaki tersebut, bukan orang yang
bersangkutan
(34) Lahu, diam sedikit!
Umpatan yang terdapat dalam tuturan (34) bermaksud untuk memarahi
43
alat kelamin kaum laki-laki. Dalam tuturan tersebut terdapat umpatan yang
bermaksud memarahi (biasanya laki-laki) yang berkelakuan di luar batas, nakal,
gatal, berkelakuan liar layaknya seekor anjing. Kadang digunakan untuk
mengumpat orang yang kerap melakukan pelecehan.
(35) Itu tua satu su macam manu beddi.
Pada tuturan (35) terdapat umpatan yang bermaksud untuk memarahi
(biasanya laki-laki) yang berkelakuan di luar batas, nakal, gatal, ganjen.
Terkadang digunakan untuk mengumpat orang yang kerap melakukan pelecehan.
(36) Itu dia laki-laki katumma.
Umpatan yang terdapat pada tuturan (36) memiliki maksud yang mirip
dengan tuturan (35), namun kadar marah dalam umpatan ini lebih sedikit jika
dibandingkan dengan tuturan (35) Orang yang diumpat di sini hanya sekadar
menggoda, tidak sampai melakukan tindakan yang bersifat melecehkan.
(37) Tutup mulut naga rara.