• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER, PENILAIAN DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA PADA 10 SMP DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER, PENILAIAN DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA PADA 10 SMP DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling

Oleh: Cicilia Salaisek NIM: 151114067

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

DI INDONESIA SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling

Oleh: Cicilia Salaisek NIM: 151114067

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

Motto hidup adalah:

Di saat merasa sendirian, ingatlah bahwa ada Tuhan yang selalu

menemani.

Cintailah kedua orangtuamu seperti engkau mencintai diri

sendiri. Orangtua adalah hidup dan mati, kasih sayang, cinta dan

anugerah yang diterima dari Tuhan.

Jangan mengucap janji di saat senang. Jangan menjawab di saat

sedih. Jangan mengambil keputusan disaat marah. Berpikirlah

dua kali, bersikaplah hati-hati.

 

(6)

Karya ini saya persembahkan kepada:

Dia yang telah memberikanku hembusan nafas kehidupan dan segala keajaiban dalam hidupku yaitu Tuhan.

Cinta abadi dalam hidupku Tuhan Yesus, wanita yang menjadi teladan yakni Bunda Maria, dan penggerak dalam hidupku yaitu Roh Kudus.

Kepercayaan Tuhan yang menjadi teladan, semangat dan tempat belajarku di dunia, orang tuaku tercinta Bapak Markus Salaisek dan Ibu Marta Sapeai (Alma)

Mereka yang menjadi semangat dan pendorong diriku agar menjadi orang sukses dan berhasil yakni Adik Rosa Rohanita Salaisek, Marsalina Salaisek, Juan Viani Salaisek dan Bernadus Albertus Salaisek.

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER, PENILAIAN DAN HAMBATAN-HAMBATANNYA PADA 10 SMP

DI INDONESIA Cicilia Salaisek Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2019

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan karakter, penilaian dan hambatan-hambatanya pada 10 SMP yang meliputi; 1) pelaksanaan pendidikan karakter, 2) ragam kegiatan pendidikan karakter, 3) keberhasilan pendidikan karakter, 4) keterlaksanaan penilaian pendidikan karakter, 5) hambatan atau kesulitan guru, 6) harapan guru dalam penilaian pendidikan karakter.

Penelitian ini menggunakan metode campuran deskriptif kuantitatif dan kualitatatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket terbuka dan tertutup yang disebar di 10 SMP kepada 39 guru. Data dianalisis secara deskriptif dengan teknis persentase dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) pelaksanaan pendidikan karakter pada 10 SMP sudah baik. 2)Kebanyakan guru memilih ragam kegiatan seperti kegiatan pramuka, live-in, doa pagi, upacara bendera, refleksi retret, menyanyikan lagu Indonesia Raya. 3) tingkat keberhasilan pendidikan karakter yang telah dilaksanakan guru berdasarkan ragam kegiatan sudah cukup memuaskan. 4) keterlaksanaan penilaian pendidikan karakter di sekolah sudah berjalan dengan baik. 5) hambatan-hambatan dalam pemberian penilaian yang dialami oleh guru adalah belum ada alat ukur yang baik dalam menilai pendidikan karakter peserta didik, ada alat yang sudah tersedia namun keterbatasan waktu guru dalam menilai pendidikan karakter peserta didik, belum memahami cara penilaian yang tepat, jumlah siswa yang banyak, belum adanya format khusus penilaian yang standar untuk siswa SMP, pemantauan siswa yang membutuhkan waktu karena terlalu banyak siswa yg harus diobservasi. 6) harapan yang diungkapkan guru adalah guru membutuhkan instrumen atau alat untuk menilai hasil pendidikan karakter peserta didik, kerjasama antar pihak sekolah dan pihak orangtua supaya terjalin komunikasi, memiliki buku referensi tentang karakter yang berhubungan dengan mata pelajaran Sains/IPA dan mata pelajaran lainnya.

(10)

ix ABSTRACT

THE CHARACTER EDUCATION IMPLEMENTATION, ASSESSMENT AND OBSTACLES IN 10 SMP (JUNIOR HIGH) IN INDONESIA

Cicilia Salaisek Sanata Dharma University

Yogyakarta 2019

The purpose of this study was to find out the character education implementation, assessment and obstacles in 10 junior high schools which include; 1) implementation of character education, 2) variety of character education activities, 3) success in character education, 4) implementation of character education assessment, 5) obstacles or difficulties that faced by teachers, 6) teachers’ expectation of character education assessment.

This study used descriptive quantitative and qualitative method. Data was collected using open and closed questionnaires that distributed in 10 junior high schools in a national scale to 39 teachers. Data were analyzed descriptively using technical percentages and the results were presented in the form of table.

The results of this study indicate that 1) the implementation of character education in 10 junior high schools is good. 2) Most teachers choose various activities in conducting the education such as scout activities, live-in, morning prayers, flag ceremonies, retreat reflections, singing the Indonesia Raya songs. 3) the level of character education success that has been carried out by teachers based on a variety of activities is quite satisfying. 4) the implementation of the character education assessment in schools is already practiced in a good way 5) obstacles in doing the assessment that teacher experienced was there was no proper measurement tool in assessing students character education, there were some tools that already available but the limited time that teacher had in assessing the character education of students, not yet understanding the appropriate assessment method, a lot of students, there was no specific format for junior high school students, monitoring students need more time because there were too many students that must be observed. 6) the expectation expressed by the teacher was that the teachers need instruments or tools to assess the students character, collaboration between the school and parents in order to establish good communication, has a reference book about characters related to Science / Natural Science subjects and other subjects.

(11)

Puji dan syukur peneliti hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya selalu memberikan kekuatan, kesehatan, semangat, serta pendampingan yang luar biasa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar tanpa hambatan.

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada bantuan, dukungan, dan dampingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan ketulusan hati penulis menyempaikan banyak terima kasih khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo,S.Pd.,M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

2. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si., selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma, yang bersedia memberi ijin untuk melakukan penelitian, dan selaku dosen pembimbing yang selalu sabar meluangkan waktu, memberi motivasi, mendampingi dan memberikan ide-ide kepada penulis dalam proses penulisan skripsi.

3. Para dosen Program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

4. Bapak Markus Salaisek dan Mama Marta Sapeai (Alma) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan motivasi kepada penulis selama menempuh studi.

 

(12)
(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ... ... iii

HALAMAN MOTTO ... ... ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... ... ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ... ... vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ... ... vii

ABSTRAK ... ... ... viii

ABSTRACT ... ... ix

KATA PENGANTAR ... ... ... x

DAFTAR ISI ... ... ... xii

DAFTAR TABEL... ... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... ... ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... ... ... 1

B. Identifikasi Masalah ... ... ... 4

C. Pembatasan Masalah ... .... ... 5

D. Rumusan Masalah ... ... ... 5

(14)

xiii

F. Manfaat Penelitian ... ... ... 6

G. Batasan Istilah ... ... ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Hakekat pendidikan Karakter di sekolah... ... ... 10

1. Pengertian Karakter ... ... ... 10

2. Pengertian Pendidikan Karakter ... ... ... 13

3. Tujuan, Fungsi, Prinsip Pendidikan Karakter ... ... ... 14

4. Nilai Karakter yang Ditanamkan ... ... ... 16

5. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter ... ... ... 17

B.Hakikat Evaluasi, Asesmen, dan Tes ... ... ... 17

1. Pengertian Evaluasi, Asesmen, dan Tes ... ... ... 17

2. Tujuan dan Fungsi Asesmen ... .... ... 20

3. Prinsip-prinsip Asesmen ... ... ... 21

4. Jenis-jenis Asesmen ... .... ... 24

5. Teknik - teknik Asesmen ... ... ... 27

6. Tes Sebagai Teknik Asesmen ... ... ... 29

C.Hakikat Asesmen Pendidikan Karakter ... ... ... 30

1. Manfaat Asesmen Pendidikan Karakter ... ... ... 30

2. Teknik Asesmen Pendidikan Karakter ... ... ... 30

D. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter ... ... ... 31

E. Hambatan dan Kesulitan Pelaksanaan dan Penilaian Pendidikan Karakter ... … ... 39

F. Kajian Penelitian yang Relevan ... … ... 45

BAB III METODE PENELITIA ... ……….……….. ... . 47

A.Jenis Penelitian ... … ... 47

B.Tempat Penelitian dan Subjek ... … ... 48

C.Waktu Penelitian ... … ... 50

(15)

xiv

E.Validitas Instrumen ... … ... 53

F. Teknik Analisis Data ... …. ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... … ... 57

A. Hasil Penelitian ... … ... 57

B. Pembahasan ... … ... 66

BAB V PENUTUP ... … ... 73

A. Kesimpulan ... … ... 73

B. Saran- Saran ... … ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... .. ... 77

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tempat Penelitian ... … ... 48

Tabel 3.2 Subjek Penelitian... … ... 50

Tabel 3.3 Jadwal Pengambilan Data ... …. ... 51

Tabel 4.1 Pelaksanaan Pendidikan Karakter ... … ... 57

Tabel 4.2 Ragam Kegiatan Pendidikan Karakter ... … ... 58

Tabel 4.3 Penilaian Hasil Pendidikan karakter ... … ... 59

Tabel 4.4 Pihak yang Terlibat dalam Penilaian Pendidikan Karakter ... … ... 60

Tabel 4.5 Jenis Instrument Pendidikan Karakter ... … ... 61

Tabel 4.6 Penilaian Pendidikan karakter ... …. ... 61

Tabel 4.7 Keterlaksanaan Pendidikan Karakter ... … ... 62

(17)
(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Angket Penelitian ... … ... 81

Lampiran 2 Tabel Data Hasil Angket ... … ... 92

Lampiran 3 Salah Satu Surat Ijin Penelitian dari 10 SMP ... … ... 112

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan batasan istilah.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sekarang boleh dikatakan masih mengutamakan soal keunggulan kognitif. Seorang anak dikatakan berprestasi jika mendapat nilai yang tinggi dalam hal akademik. Capaian intelektual jika tidak dibarengi dengan pembentukan karakter yang memartabat dapat membentuk pribadi anak. Anak akan memiliki karakter (watak) yang baik, sopan dalam tatanan etika dan estetika, maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, bila sekolah menyentuh siswa untuk internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di sekolah dan di masyarakat.

Pendidikan sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor. 20

tahun 2003 pasal 3 tentang Pendidikan Nasional yang menyatakan “Pendidikan

nasional berfungsi mengemban gkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

(21)

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis agar mencapai fungsi dan tujuan yang diharapkan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik.

Pendidikan karakter sangat penting bagi peserta didik di Indonesia, sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan secara utuh. Kementrian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur dan jenjang pendidikan. Grand design tersebut menjadi rujukan konseptual dan pengembangan, pelaksanaan, serta

penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan yang meliputi: “Olah Hati

(spiritual and development) Olah Pikir (intellectual development) Olah Raga dan Kinestetik (Physical and cinestetic development) dan Olah Rasa dan karsa (Affective and Creativity development)”. (Kemendiknas, 2010)

(22)

ditunjukkan antara lain, meningkatnya kenakalan, tindakan kriminalitas maupun kemerosotan nilai moral yang terjadi di kalangan remaja.

Lalu bagaimana selama ini guru-guru melaksanakan pendidikan karakter di sekolah? Apakah ada penilaian yang sudah adil dan menyeluruh? Apakah pelaksanaan pendidikan karakter sudah berhasil dilakukan oleh guru-guru? Apakah ada hambatan-hambatan yang dialami oleh guru dalam melakukan penilaian pendidikan karakter? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus ada dibenak peneliti. Kenyataannya pemerintah belum mengembangkan alat ukur standar yang dapat mendukung dalam penilaian pendidikan karakter. Maka tidak heran masih ada perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh peserta didik sehingga menyulitkan bagi guru dalam mengembangkan pendidikan karakter yang sudah ada. Oleh sebab itu, perlu dilihat apa saja kesulitan dan hambatan yang dialami oleh guru dalam penilaian pendidikan karakter agar mudah dalam memberikan solusi yang baik.

(23)

Menurut Barus, dkk (2017: 47) Hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan Asesmen Pendidikan Karakter di Indonesia, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Guru memiliki kesadaran pentingnya asesmen pendidikan, namun belum ada langkah konkrit dalam pelaksanaannya, kebanyakan guru terhenti pada merencanakan tetapi tidak sampai pada tahap implementasi dan analisis hasil, sebagian besar mereka mengaku bahwa nilai karakter terpilih hanya sekedar tertempel pada RPP, namun sulit dilaksanakan dan dinilai, guru mengaku dilibatkan dalam membuat perencanaan, namun hanya sedikit sekali guru yang merasa mampu melaksanakan rencana ini, kantin kejujuran sebagai sebuah gerakan yang menggelegar pada tahun 2010 bersamaan dengan masa pencanangan pendidikan karakter di sekolah, kini kehilangan momen, mulai terlupakan, sebagian besar guru mengaku telah melaksanakan asesmen pendidikan karakter secara rutin, namun pelasanaannya sebagian besar masih sebatas perencanaan, angan-angan. Hanya sedikit guru yang mengakui telah sampai pada tahap menghimpun, mengolah, dan menginterpretasi hasil penilaian tersebut.

Berdasarkan kebutuhan di atas, peneliti sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma bersama pada kesempatan ini tertarik dengan kesulitan atau hambatan-hambatan yang dialami oleh guru di sekolah. Maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul

Pelaksanaan Pendidikan Karakter, penilaian dan Hambatan-Hambatannya pada 10 SMP di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi berbagai masalah sebagai berikut:

(24)

2. Keterbatasan guru untuk melakukan penilaian pendidikan karakter dan penilaian yang dirasa masih subyektif.

3. Keterbatasan guru untuk melaksanakan dan memberikan penilaian pendidikan karakter di sekolah.

4. Adanya hambatan-hambatan yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pendidikan karakter.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, mengingat adanya keterbatasan penelitian maka fokus kajian diarahkan pada 3 dan 4 yang teridentifikasi yang berkaitann dengan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan dan penilaian pendidikan karakter di sekolah Menengah Pertama dalam skala nasional. D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa baik keterlaksanaan pendidikan karakter di sekolah?

2. Bentuk-bentuk kegiatan pendidikan karakter apa saja yang dilakukan guru di sekolah?

3. Seberapa baik pelaksanaan penilaian dari berbagai bentuk pendidikan karakter di sekolah?

4. Sejauh mana keterlaksanaan penilaian pendidikan karakter peserta didik di sekolah?

(25)

6. Harapan apa yang dibutuhkan guru dalam melaksanakan dan menilai pendidikan karakter peserta didik di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Memperoleh gambaran pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. 2. Memperoleh gambaran ragam kegiatan pendidikan karakter di sekolah. 3. Memperoleh gambaran keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter

di sekolah.

4. Memperoleh gambaran keterlaksanaan penilaian pendidikan karakter di sekolah.

5. Mengidentifikasi kesulitan atau hambatan guru dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.

6. Mengidentifikasi harapan yang dibutuhan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap muncul beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

(26)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah

Penelitian ini memberikan sumbangan dalam mengukur hasil pendidikan karakter dan memetakan upaya perbaikan atau optimalisasi pelaksanaan pendidikan karakter di SMP pada skala nasional di Indonesia.

b. Bagi sekolah dan guru

Penelitian ini memberikan sumbangan yang baik dalam penilaian pendidikan karakter. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tolak ukur yang dapat digunakan sekolah untuk mengevaluasi program pendidikan karakter melalui soal tes asesmen berbasis media film.

c. Bagi peserta didik

Penelitian ini dapat meningkatkan karakter peserta didik untuk mampu mengaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.

d. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui hambatan- hambatan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter melalui angket yang disebar ke beberapa guru yang mewakili 10 sekolah.

e. Bagi peneliti lain

(27)

G. Batasan Istilah

1. Asesmen merupakan suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes. Penilaian pendidikan karakter adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus-menerus bagi individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah dan pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia.

2. Peserta didik SMP merupakan seseorang yang belum mencapai dewasa yang membutuhkan usaha, bantuan bimbingan dari orang lain yang telah dewasa guna melaksanakan tugas sebagai salah satu makhluk Tuhan, sebagai umat manusia sebagai warga negara yang baik dan sebagai salah satu masyarakat serta sebagai suatu pribadi atau individu. 3. Pendidikan merupakan upaya menolong peserta didik untuk dapat melakukan tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab secara susila. Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan. 4. Keterlaksanaan dan penilaian pendidikan karakter yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah pelaksanaan dan penilaian karakter yang dilakukan oleh pendidik karakter yaitu guru kepada peserta didik di sekolah terutama SMP.

(28)
(29)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi landasan teori yang dijadikan dasar untuk membangun kerangka konseptual. Berdasarkan judul penelitian, maka dalam bab ini peneliti mengemukakan beberapa konsep yang berhubungan dengan variabel penelitian, yaitu hakikat pendidikan karakter di sekolah; hakikat evaluasi, asesmen dan tes; hakikat asesmen pendidikan karakter di sekolah; peran guru dalam pendidikan karakter; hambatan-hambatan pelaksanaan dan penilaian pendidikan karakter dan kajian penelitian yang relevan dan kerangka pikir.

A. Hakikat Pendidikan Karakter di Sekolah 1.Pengertian Karakter

Berkowitz (Doni Koesoema, 2012: 25) mendefinisikan karakter sebagai sekumpulan karakter psikologis yang memengaruhi kemampuan dan kecondongan pribadi agar dapat berfungsi secara moral. Menurut Pritchard (Doni Koesoema, 2012: 27) karakter adalah “a compex set of relatively persistent qualities of the individual person, and the term has a

definite positive connotation when it is used in discussions of moral

(30)

Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika.

(31)

Gambar 1. Komponen Karakter

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral berarti pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat, tindakan/kebiasaan seseorang yang langsung ditentukan oleh otak. Kedua hal ini memiliki arti yang berbeda, namun moral dan karakter memiliki keterkaitan. Karakter memiliki makna lebih tinggi dari pada moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Moral merupakan salah satu komponen yang membentuk karakter individu ketika moral behavior dapat dilakukan secara berulang. Maka, dapat dikatakan karakter adalah suatu kebiasaan (habituation) untuk melakukan yang baik berdasarkan pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.

Moralitas

Kebenaran Sikap

KARAKTER

(32)

2.Pengertian Pendidikan Karakter

Burke (Samani & Hariyanto, 2011: 43) mengatakan bahwa

“pendidikan karakter semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang

baik.” Sementara itu, menurut Samani & Hariyanto (2011: 44)

“pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta

didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi

hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.” Mereka juga menyampaikan bahwa

pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Character Education Partnership (CEP) (Doni Koesoema, 2012: 57) sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut:

(33)

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian bekal/penanaman nilai moral mengenai karakter pribadi yang baik, sopan, bertanggungjawab, memiliki rasa hormat, jujur, adil, menghargai dan memahami satu sama lain yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui program pemerintah yang ditujukan kepada sekolah.

3.Tujuan, Fungsi dan Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter a. Tujuan pendidikan karakter

Menurut Kemendiknas (2010) Peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan pada

pasal 17 ayat (3) “Pendidikan dasar, termasuk sekolah menengah

pertama (SMP) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (d) sehat, mandiri dan percaya diri; (e) toleran, peka sosial, demokratis,

dan bertanggung jawab.”

(34)

dan inovatif; selain itu juga mampu membantu peserta didik menjadi pribadi yang sehat, mandiri dan percaya diri; serta memiliki rasa toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

b. Fungsi pendidikan karakter

Menurut Fathurrohman, dkk (2013: 97) fungsi pendidikan karakter adalah:

1) Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi prilaku yang baik bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan karakter dan karakter bangsa.

2) Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.

3) Penyaring: untuk menyaring karakter-karakter bangsa sendiri dan karakter bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter dan karakter bangsa.

c. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan karakter

Menurut Direktorat pembinaan SMP (Fathurrohman, 2013: 145-146) pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter. 2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya

(35)

3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.

4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian. 5) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

menunjukkan perilaku yang baik.

6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang, yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.

7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para peserta didik. 8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral

yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.

9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.

10)Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.

11)Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter

(36)

cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, nasionalisme, inovatif, daya juang, rendah hati, memaafkan, kepemimpinan, dan kerja keras. Beberapa karakter tersebut yang peneliti jadikan landasan untuk mengukur karakter beberapa anak SMP di Indonesia.

5.Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter di SMP

Suyanto (2010: 9), menegaskan bahwa keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui terutama melalui pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan peserta didik yang meliputi sebagai berikut:

a. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja.

b. Memahami kekurangan dan kelebihan diri. c. Menunjukkan sikap percaya diri.

d. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.

e. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional.

f. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial.

g. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab.

h. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(37)

j. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.

k. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik.

l. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun. m. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam

pergaulan di masyarakat, menghargai adanya perbedaan pendapat.

n. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.

o. Menunjukkan ketrampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam Bahasa Indonesi dan Bahasa Inggris sederhana. p. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti

pendidikan menengah. B.Hakikat Evaluasi, Asesmen, dan Tes

1. Pengertian Evaluasi, Asesmen, dan Tes a. Pengertian Evaluasi

(38)

Suwandi (2010: 8) berpendapat bahwa evaluasi sebagai sebuah penilaian keseluruhan program pendidikan termasuk perencanaan atau program subtansi pendidikan, termasuk kurikulum beserta penilain, dan pelaksanaannya, pengadaan, serta reformasi pendidikan secara keseluruhan.

b. Pengertian Asesmen (Penilaian)

Linn dan Grounlund (Uno dan Koni, 2012: 1) menegaskan

“asesemen (penilaian) adalah prosedur yang digunakan untuk

mendapatkan informasi tentang belajar peserta didik (observasi, rata-rata pelaksanaan tes tertulis) dan format penilaian kemajuan belajar.” Sarwiji Suwandi (2009: 7) mengatakan bahwa “penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah

ditetapkan.”

(39)

c. Pengertian Tes

Asep Jihad dan Abdul Haris (2008: 67) mengatakan bahwa “tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, harus

ditanggapi, atau tugas yang harus dilaksanakan oleh orang yang dites.”

Arikunto (2012) menegaskan “tes adalah suatu cara untuk melakukan penilaian yang berbentuk tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik.”

2. Tujuan dan Fungsi Asesmen a. Tujuan Asesmen

Menurut pedoman penilaian Depdikbud (Jihad & Haris. 2008: 63), tujuan penilaian adalah “untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar peserta didik serta sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan

pelaksanaan kegiatan belajar.” Jihad & Haris (2008: 63) mengatakan

bahwa “tujuan penilaian untuk mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan atau kesulitan belajar peserta didik, dan sekaligus memberi umpan balik yang tepat.”

Suwandi, Sarwiji (2009: 14) mengatakan bahwa “secara umum semua jenis penilaian berbasis kelas bertujuan untuk menilai hasil belajar peserta didik di sekolah, mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, dan untuk

(40)

b. Fungsi Asesmen

Menurut Supranata & Hatta (Suwandi, Sarwiji. 2009: 15) mengatakan bahwa penilaian berbasis kelas memiliki sejumlah fungsi, yaitu sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kenaikan kelas, umpan balik dalam perbaikan program pengajaran, alat pendorong dalam meningkatkan kemampuan peserta didik, dan sebagai alat untuk peserta didik melakukan evaluasi terhadap kinerjanya serta bercermin diri (instropeksi) misalnya melalui portofolio.

Menurut Nana Sudjana (Jihad & Haris. 2008: 56) penilaian (asesmen) berfungsi sebagai:

1) Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional. Dengan fungsi ini maka penilaian (asesmen) harus mengacu kepada tujuan-tujuan intruksional.

2) Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengjar. Perbaikan mungkin dapat dilakukan dalam hal tujuan instruksional, kegiatan belajar peserta didik, strategi mengajar guru.

3) Dasar dalam menyusun laporan kemajuan peserta didik kepada orangtuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan dan kecakapan belajar peserta didik dalam bentuk-bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya.

3. Prinsip-prinsip Asesmen

(41)

a. Valid, artinya penilaian harus mengukur apa yang seharusnya diukur dengan menggunakan alat yang dapat dipercaya dan sahih. b. Mendidik, artinya penilaian harus memberi sumbangan yang

positif terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik, seperti memotivasi peserta didik yang berhasil dan memberikan semangat untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.

c. Berorientasi pada kompetensi, artinya mampu menilai pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.

d. Adil dan objektif, artinya penilaian harus adil terhadap semua peserta didik dan tidak membeda-bedakan latar belakang peserta didik.

e. Terbuka, artinya kriteria penilaian hendaknya terbuka bagi berbagai kalangan sehingga keputusan tentang keberhasilan peserta didik jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

f. Berkesinambungan, artinya penilaian dilakukan secara berencana, bertahap teratur, terus menerus, dan berkesinambungan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan kemajuan belajar peserta didik.

(42)

h. Bermakna, artinya penilaian hendaknya mudah dipahami dan mudah ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Jihad & Haris (2008: 63) sistem penilaian dalam pembelajaran, baik pada penilaian berkelanjutan maupun penilaian akhir, hendaknya dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip sebagai berikut:

a. Menyeluruh, artinya penguasaan kompetensi dalam mata pelajaran hendaknya menyeluruh, baik menyangkut standar kompetensi, kemampuan dasar serta keseluruhan indikator ketercapaian, baik menyangkut dominan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap, perilaku, dan nilai), serta psikomotor (keterampilan), maupun menyangkut evaluasi proses dan hasil belajar.

b. Berkelanjutan, artinya penilaian seharusnya direncanakan dan dilakukan secara terus menerus guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik sebagai dampak langsung (dampak instruksional/pembelajaran) maupun dampak tidak langsung (dampak pengiring/nurturan effect) dari proses pembelajaran.

(43)

d. Sesuai dengan pengalaman belajar, artinya sistem penilaian dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan pengalaman belajarnya. 4. Jenis-jenis Asesmen

Menurut Uno dan Koni (2012) jenis-jenis asesmen dilaksanakan dalam berbagai teknik, seperti: penilaian kinerja (performance), penilaian sikap, dan penilaian tertulis (paper and pencil test, penilaian proyek, dan penilaian diri/self assessment). Menurut Subali (2016) berdasarkan ragam jenis asesmen dibedakan menjadi empat, yaitu:

a. Asesmen penempatan.

Asesmen ini dilakukan berdasarkan hasil pengukuran terhadap masing-masing peserta didik sebelum menempuh program pengajaran. Tujuannya yaitu untuk mengetahui penguasaan kemampuan prasyarat masing-masing peserta didik yang diperlukan dalam proses pembelajaran yang akan diselenggarakan bila diperlukan adanya kemampuan yang ditargetkan.

b. Asesmen formatif

(44)

c. Asesmen sumatif

Asesmen ini dilakukan terhadap masing-masing peserta didik setelah selesai menempuh suatu program pembelajaran. Tujuannya untuk menentukan nilai akhir masing-masing peserta didik yang menempuh suatu program pembelajaran untuk selanjutnya dapat ditetapkan apakah seorang peserta didik dinyatakan berhasil atau gagal. Jika berhasil peserta didik tersebut akan diberi sertifikat karena telah menguasai kecakapan atau keterampilan tertentu yang ditargetkan dalam program pembelajaran yang dirancang.

d. Asesmen konfirmatori

(45)

a. Tes

Bentuk tes yang digunakan untuk mengevaluasi peserta didik dapat berupa; pilihan ganda, uraian objektif, uraian non objektif/uraian bebas, jawaban singkat/isian singkat, menjodohkan, performans/unjuk kinerja, portofolio. Bentuk tes digunakan apabila sifat suatu objek yang diukur menyangkut tingkah laku yang berhubungan dengan apa yang diketahui, dipahami atau proses psikis lainnya yang tidak dipahami dengan indera. Tingkat berpikir yang digunakan dalam mengerjakan tes harus mencakup mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, dengan proporsi yang sebanding sesuai jenjang pendidikan.

Bentuk tes yang digunakan di sekolah dapat dikategorikan menjadi dua yaitu tes objektif dan tes non objektif. Objektif di sini dilihat dari sistem penskorannya, yaitu siapa yang memeriksa lembar jawaban tes akan menghasilkan skor yang sama. Tes non objektif adalah tes yang sistem penskorannya dipengaruhi oleh pemberi skor. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tes objektif adalah tes yang sistem penskorannya objektif sedangkan non objektif sistem penskorannya dipengaruhi oleh subjektifitas pemberi skor.

b. Non tes

(46)

Konsekuensi dari pengukuran menggunakan bentuk non tes sangat bergantung pada situasi di mana perubahan tingkah laku individu itu muncul atau menggejala.

Oleh karenanya, situasi pengukuran yang seragam sukar dipersiapkan. Suatu pengukuran dengan alat pengukuran non tes terjadi dalam situasi yang kurang distandarisasi, seperti waktu pengukuran yang dapat tidak sama atau seragam bagi semua peserta didik.

5. Teknik-teknik Asesmen

Teknik yang biasanya digunakan untuk mengukur/mengevaluasi hasil ketercapaian peserta didik adalah menggunakan teknik tes dan teknik non-tes. Menurut Jihad & Haris (2008: 68) alat penilaian teknik tes yaitu:

a. Tes tertulis, merupakan tes atau soal yang diselesaikan peserta didik secara tertulis. Tes tertulis ini terdiri atas bentuk objektif dan bentuk uraian. Bentuk objektif meliputi pilihan ganda, isian, benar salah, menjodohkan, serta jawaban singkat. Sedangkan bentuk uraian meliputi uraian terbatas dan uraian singkat.

(47)

c. Tes perbuatan, merupakan tugas yang pada umumnya berupa kegiatan praktek atau melakukan kegiatan yang mengukur ketrampilan.

Mereka juga mengungkapkan secara rinci mengenai teknis penilaian peserta didik dapat dilakukan dengan cara ulangan harian, tugas kelompok, kuis, ulangan blok, pertanyaan lisan, dan juga tugas individu. Depdiknas, 2001 (Jihad & Haris, 2008: 69) mengatakan bahwa penilaian non-tes merupakan prosedur yang dilalui untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik minat, sifat, dan kepribadian melalui:

a. Pengamatan, yakni alat penilaian yang pengisiannya dilakukan oleh guru atas dasar pengamatan terhadap perilaku peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, di kelas maupun di luar kelas;

b. Skala sikap, yaitu alat penilaian yang digunakan untuk mengungkap sikap peserta didik melalui pengerjaan tugas tertulis dengan soal-soal yang lebih mengukur daya nalar atau pendapat peserta didik;

c. Angket, yaitu alat penilaian yang meyajikan tugas-tugas atau mengerjakan dengan cara tertulis;

(48)

e. Daftar cek, yaitu suatu daftar yang dipergunakan untuk mengecek terhadap perilaku peserta didik telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum.

Sukardi (2014: 104) mengatakan bahwa tes dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tes normative dan tes kriterion. Suatu tes dikatakan sebagai tes normative apabila evaluator dalam mengevaluasi bisa membandingkan hasil penilaian individu antara satu individu dengan individu lainnya dalam penyelenggaraan tes yang sama. Suatu tes dikatakan Kriterion jika para evaluator dalam pengukuran terhadap subjek atau objek yang dievaluasi atas dasar apa yang telah dia perbuat sesuai dengan kapasitasnya tanpa membandingkan dengan orang lain.

6. Tes Sebagai Teknik Asesmen

Sukardi (2014: 92) mengatakan bahwa tes atau testing merupakan prosedur sistematis yang direncanakan oleh evaluator guna membandingkan antar perilaku yang dievaluasi. Tes atau testing berisi item atau butir soal yang akan diberikan kepada peserta yang mengikuti tes. Ia juga mengatakan bahwa item atau butir soal, yaitu bagian terkecil dari suatu tes yang memuat satu fakta atau konsep yang diungkapkan melalui pertanyaan atau pernyataan yang dapat diisolasi untuk pengamatan dan pengambilan keputusan.

(49)

Tes ini dilakukan sebelum, saat, dan akhir pembelajaran, sehingga bergulir tanpa henti (dynamic assesment).

C. Hakikat Asesmen Pendidikan Karakter di Sekolah

1. Manfaat Asesmen Pendidikan Karakter

Evaluasi pendidikan karakter di SMP sangat relevan dilakukan dalam upaya untuk melihat secara jujur dan objektif apakah pendidikan karakter di SMP sungguh ada dan terlaksana sesuai dengan tujuan, prinsip, asas, dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan bimbingan secara konseptual. Apabila itu terlaksana, apakah program itu menguntungkan, berfungsi dan bermanfaat menunjang perkembangan peserta didik? Jika dalam pelaksanaan program ditemukan faktor-faktor kendala atau hambatan, lalu apa yang perlu diperbaiki? Semua ini membutuhkan data dan analisis yang sistemis melalui program yang diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh penyelenggara program.

2. Teknik-teknik Asesmen Pendidikan Karakter

(50)

Menurut Zainul & Nasution (2005: 5-8) sebagai sebuah pelajaran pendidikan karakter harus dikenakan pengukuran dan penilaian. Pengukuran adalah pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu, sedangkan penilaian adalah proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran baik melalui instrumen tes maupun non tes. Pengukuran dan penilaian melalui instrumen tes seperti (pilihan ganda, uraian objektif, uraian non objektif/uraian bebas, jawaban singkat, atau isisan singgkat, menjodohkan, performans, benar-salah, tes lisan, portofolio. Melalui intrumen non tes (observasi, catatan anekdota, daftar cek, skal nilai, angket atau kuesioner, wawancara dan rangkuman, (Prijowuntato 2016: 60). Maka guru perlu mengukur dan menilai berdasarkan indikator-indikator yang jelas sebagai landasan dalam melakukan pengukuran dan penilaian pendidikan karakter dengan menggunakan istumen asesmen yang ada.

D. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter

Terciptanya kelas berkarakter tentunya tidak akan dapat terlepas dari peran seorang guru untuk mewujudkannya. Guru merupakan pihak yang memiliki peran paling banyak dalam melakukan pengelolaan ruang kelas secara keseluruhan.

(51)

1. Membangun ikatan dan model karakter,

2. Mengajarkan akademik dan karakter secara bersama-sama, 3. Mempraktikan disiplin berbasis karakter,

4. Mengajarkan tata cara yang baik,

5. Mencegah kenakalan teman sebaya dan mengedepankan kebaikan, dan 6. Membantu anak-anak bertanggng jawab untuk membangun karakter

mereka sendiri.

Membangun ikatan model karakter interaksi antara guru dengan peserta didik merupakan yang dominan terjadi di sekolah. Paling banyak waktu peserta didik di sekolah dan dihabiskan bersama guru kelasnya. Oleh karena itu ikatan hubungan antara guru dengan peserta didik menjadi sesuatu yang menarik untuk dibangun. Bayangkan saja jika hubungan antara guru dan peserta didik tidak baik, maka yang dirasakan adalah kebosanan yang berkepanjangan. Jika kebosanan sudah menghampiri, maka dampak selanjutnya adalah muncul kurang bersemangat untuk belajar.

Oleh karena itu interaksi hubungan antara guru dan peserta didik perlu dibangun secara baik. Hubungan yang baik antara guru dengan peserta didik adalah dasar utama yang perlu diperhatikan untuk keterlaksanaan proses pembelajaran berikutnya. Beberapa hal yang perlu dilakukan guru adalah:

(52)

dapat memberikan cinta kepada peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak merasakan sedang berhadapan dengan oran asing ketika di sekolah. Guru perlu melakukan hak-hal yang biasa orang tua lakukan di rumah, misalnya memperhatikan peserta didik, menanggapi pertanyaan, memperhatikan keluh kesahnya. Pada intinya guru perlu melakukan beberapa peran orang tua di rumah kepada peserta didiknya. Pianta (dalam Lickona, 2012: 180) menjelaskan bahwa peran guru sebagai agen pertumbuhan moral yang harus mirip dengan peran orang tua.

2. Memotivasi peserta didik untuk melakukan yang terbaik. Agar peserta didik mau berperilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai karakter yang akan dibangun, maka salah satu yang harus dilakukan guru adalah memberikan motivasi yang baik, salah satu yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan reward dan punishment. Kehadiran reward (hadiah) dan punishment (hukuman) perlu untuk memotivasi peserta didik berperilaku yang baik. Akan tetapi dalam menggunakan hukuman dan hadiah untuk memotivasi peserta didik agar berperilaku baik, guru perlu diperhatikan agar tidak selalu mengedepankan kedua hal dalam bentuk fisik dan non fisik. Hadiah dalam bentuk fisik misalnya permen, cokelat, dan sebagainya. sedangkan yang berwujud non fisik adalah pujian, acungan jempol, dan sebagainya. Sementara untuk hukuman fisik, misalnya dijewer, dipukul, dan sebagainya.

(53)

terjadinya interaksi antara guru dengan peserta didik yang baik. komunikasi antara guru dan peserta didik dapat dilakukan melalui cara apapun agar menjadi lebih mudah. Guru perlu membangun suasana agar peserta didik dengan mudah mengemukakan pendapatnya jika ada hal yang ingin disampaikan. Penting kiranya guru perlu menciptakan suasanya yang menyenangkan agar peserta didik tidak merasa takut berbicara tentang berbagai hal yang akan disampaikan kepada guru. 4. Memberikan contoh yang baik untuk peserta didik. Sebagai orang yang

diidolakan peserta didiknya di sekolah, guru harus dapat memberikan teladan yang baik bagi peserta didiknya. Guru merupakan model yang akan diperhatikan peserta didik setiap gerak geriknya, dan kemudian peserta didik akan menirunya. Contoh yang dapat diberikan guru untuk menciptakan ruang kelas yang berkarakter, misalnya berbicara dengan kata-kata yang sopan, tidak menggunakan kekerasan, taat terhadap aturan, dan tidak membuang sampah sembarangan.

(54)

peserta didik pun dapat memberikan dampak positif dalam pengembangan karakter peserta didik. Menurut Nucci & Narvaez (Dilla Novi. TT) jika ditinjau dari perspektif filosofis, pendidik moral dan karakter memiliki peran utama dalam perkembangan moral peserta didik melalui "hiden curriculum" yang dimanifestasikan dalam lingkungan interpersonal sekolah dan ruang kelas. Kurikulum pendidikan karakter tidak harus secara eksplisit tertulis, tetapi dapat diinternalisasikan melalui kegiatan-kegiatan di dalam kelas. Peserta didik akan mengembangkan konsepsi mereka tentang perilaku yang baik dengan mengamati perilaku yang dilakukan guru di dalam kelas, dan melalui pembiasaan-pembiasaan yang mereka lakukan di kelas.

6. Mempraktikkan disiplin berbasis karakter. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan guru dalam menciptakan ruang kelas yang berkarakter untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter adalah dengan mempraktikan disiplin berbasis karakter. Lickona (2012: 175) menjelaskan bahwa kebanyakan sekolah menganggap bahwa disiplin adalah titik masuk bagi pendidikan karakter. Dengan berbekal nilai-nilai disiplin, maka akan menyebabkan nilai-nilai karakter lain berkembang dalam diri anak.

(55)

akan dapat terinternalisasi dalam diri masing-masing orang secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses yang idealnya dikembangkan dari waktu ke waktu untuk menjadi lebih baik.

Pada hakikatnya mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi dimaknai sebagi proses pembentukan karakter. Konsep Ki Hajar

Dewantara tentang “Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut

Wuri Handayani”, yang artinya di awal memberi teladan di tengah memberi semangat dan di akhir memberi dorongan dapat diaktualisasikan dalam pembelajaran untuk membentuk karakter peserta didik (Ki Hajar Dewantara, dalam Jurnal Arrifudiin, IS. (2017). Aktualisasi konsep Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diaplikasikan dalam jenjang-jenjang pendidikan.

Pada jenjang pendidikan menengah pertama dan atas (SMP/ MTs dan SMA/ MA), konsep yang relevan untuk membentuk peserta didik adalah “Ing Madya Mangun Karsa”. Artinya, pada jenjang ini guru merupakan fasilitator bagi peserta didik untuk memberi semangat belajar. Guru tidak mendikte atau menekan peserta didik, melainkan membakar semangat belajar keras para peserta didik. Ketika guru memfasilitasi atau mendampingi peserta didik dalam proses pembelajaran, maka peserta didik akan menginternalisasikan nilai-nilai karakter seperti rasa ingin tahu, belajar keras, disiplin, mandiri, dan sebagainya.

(56)

dari berbagai sumber seperti internet (e-journal & e-book), program televisi, gambar, audio, dan sebagainya. Semua sumber belajar tersebut berimplikasi pada perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator. Fungsi guru sebagai fasilitator lebih memungkinkan peserta didik untuk membentuk karakternya

sebagai generasi yang “melek media”.

Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh Moon (Arrifudiin, IS. (2017), yaitu sebagai berikut.

1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Of Instruction)

Sesuai dengan program yang diajukan oleh pihak Dapertemen Pendidikan Nasional dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dengan memerhatikan berbegai komponen dalam sistem pembelajaran. Jadi, dengan yang waktu yang sedikit atau terbatas guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efesien. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.

2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager Of Instruction)

(57)

didik untuk memperoleh hasil yang diharapakan. Selain itu guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadiannya sendiri

3. Guru sebagai pengarah pembelajaran

Disini hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini, guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Pendekatan yang dipergunakan oleh guru dalam hal ini adalah pendekatan pribadi, dimana guru dapat mengenal dan memahami peserta didik secara lebih mendalam hingga dapat membantu dalam keseluruhan PBM, atau dengan kata lain, guru berfungsi sebgai pembimbing.

4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator Of Student Learning)

Tujuan utama penilaian adalah untuk melihat tingkat keberhasilan, efektivitas, dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu, untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peserta didik, guru hendaknya secara terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu untuk memperoleh hasil yang optimal.

5. Guru sebagai Pembimbing

(58)

tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka, ataupun keinginannya. Semua hal itu memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain, terutama peserta didik. E.Hambatan-hambatan dan Kesulitan-kesulitan Pelaksanaan pendidikan

Karakter dan Penilaiannya di Sekolah

Menurut Barus, dkk (2017: 47) hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan pendidikan karakter dan asesmenya di Indonesia, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kesadaran para guru tentang pentingnya asesmen pendidikan sangat tinggi, namun kesadaran tersebut belum diikuti dengan langkah konkrit dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

2. Para guru mengaku ada perencanaan dan pelaksanaan yang rutin dari pihak sekolah tentang asesmen pendidikan karakter, namun sebagian besar tidak sampai pada tahapan pelaksanaan asesmen yang prosedural. Kebanyakan mereka terhenti pada merencanakan tetapi tidak sampai pada tahap implementasi dan analisis hasil.

3. Sedikit sekali guru yang membaca dan memahami isi Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP (Direktur Pembinaan SMP, Kemendiknas, 2010) yang disosialisasikan pemerintah. Sebagian besar mereka mengaku bahwa nilai karakter terpilih hanya sekedar tertempel pada RPP, namun sulit dilaksanakan dan dinilai.

(59)

yang benar, misalnya tanpa pencatatan data, sporadic, tidak rutin, berbasis perilaku negatife (pelanggaran tata tertib).

5. Meski sebagian besar guru mengandalkan observasi sebagai cara penilaian karakter peserta didik yang paling sering digunakan, meski mereka mengakui banyak kelemahan dari penggunaan observasi itu. 6. Sebagian besar guru pada 11 SMP dari berbagai kota di Indonesia

mengaku di sekolah mereka ada perencanaan pendidikan karakter yang operasional. Mereka juga mengaku dilibatkan dalam membuat perencanaan itu, namun hanya sedikit sekali guru yang merasa mampu melaksanakan rencana ini.

7. Sebagian besar (hampir 71%) guru mengaku kurang berhasil atau “gagal” mendaratkan perencanaan itu dengan hasil yang baik.

8. Sekolah-sekolah swasta memiliki keragaman dan lebih kaya dalam variasi kegiatan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah ketimbang sekolah-sekolah negeri.

9. Kehadiran Guru BK di sekolah-sekolah negeri belum difungsikan secara optimal sebagai saluran pendidikan karakter, sementara itu pada sekolah-sekolah swasta guru BK diberi jam bimbingan masuk kelas yang dapat

digunakan sebagai sarana dan kesempatan memberikan “Bimbingan

Karakter” bagi semua peserta didik di kelas.

(60)

peserta didik bertaqwa, berdoa, dan beribadah sebagai indikasi keberhasilan pendidikan karakter.

11. Sementara itu, kantin kejujuran sebagai sebuah gerakan yang menggelegar pada tahun 2010 bersamaan dengan masa pencanangan pendidikan karakter di sekolah, kini kehilangan momen, mulai terlupakan.

12. Banyak indikasi keberhasilan karakter yang dapat ditunjukkan para guru dalam survey ini, namun lebih banyak lagi noda hitam keprihatinan yang menandai ketidakberhasilan pendidikan karakter di sekolah. Masih banyak peserta didik berperilaku buruk, kurang sopan, melanggar peraturan/tata tertib, kurang jujur, tidak disiplin, masih ada peserta didik yang suka bolos, bersikap brutal dan menentang guru, putus sekolah karena kawin di usia dini, bahkan ada yang melakukan klitih merupakan sinyal ketidakberhasilan pendidikan karakter di SMP.

13. Jadi, maraknya perkelahian antar peserta didik, mengganasnya perilaku bullying dan “klitih”, makin menggilanya perilaku seks bebas dan aborsi

di kalangan remaja, bisa jadi merupakan sinyal “gagalnya” pendidikan

karakter di sekolah dan keluarga.

(61)

15. Pengakuan mereka telah melaksanakan asesmen pendidikan karakter secara rutin ternyata terbantahkan ketika pada bagian lain mereka mengakui bahwa frekuensi pelaksanaannya tidak menentu, tergantung kebijakan sekolah. Ditemukan inkonsistensi responsi mereka. Artinya, pelaksanaan asesmen hasil pendidikan karakter pada 11 SMP yang diteliti belum seperti yang diharapkan, masih terabaikan, belum dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip asesmen afektif yang benar. 16. Hanya sedikit guru yang dapat merumuskan secara tepat tujuan asesmen

pendidikan karakter, sementara sisanya (70%) merumuskan tujuan asesmen campur aduk dengan tujuan pendidikan karakter itu sendiri. 17. Sabagian guru menjelaskan bahwa perancangan asesmen pendidikan

karakter diserahkan kepada satu tim kerja, sementara sisanya mengaku tanggung jawab itu diserahkan kepada masing-masing guru dan sebagian besar guru mengakui tiada hasil/sulit melakukannya.

(62)

Yoga (Dilla Novi. TT) mengungkapkan beberapa kekeliruan dalam melaksanakan pendidikan karakter yaitu:

1. Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter merupakan mata pelajaran baru dan berdiri sendiri sehingga banyak menanyakan kurikulum, silabus dan buku. Padahal pendidikan karakter bukan mata pelajaran karena sesungguhnya sudah ada di dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan saat ini. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak membutuhkan kurikulum, silabus atau buku yang khusus.

2. Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter merupakan pengganti mata pelajaran PMP atau Budi Pekerti. Akibatnya banyak yang mencoba menyamakan metode pembelajaran seperti yang banyak dipakai yaitu metode ceramah dan catat. Padahal pendidikan karakter bukanlah mata pelajaran pengganti dan proses pembelajarannya bukan lebih ceramah tapi harus digali secara bersama sama oleh guru dan peserta didik.

(63)

4. Banyak guru yang beranggapan bahwa pendidikan karakter hanyalah pelengkap atau tambahan saja sehingga tidak perlu diprioritaskan seperti halnya dengan materi akademis. Padahal pendidikan karakter adalah inti dari suatu kegiatan pendidikan karena alangkah berbahayanya seorang peserta didik yang hanya berkembang dalam hal akademis tapi tidak dalam hal karakter

5. Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan karakter hanyalah sebuah pengetahuan semata (kognitif) sehingga tidak perlu usaha yang khusus dan terencana. Padahal pendidikan karakter adalah sebuah usaha yang holistik sehingga tidak hanya melibatkan sisi kognitif tapi juga sisi afektif dan psikomotor. Dengan demikian, seorang peserta didik dapat memahami lalu bisa merasakan dan pada akhirnya mau melakukan nilai-nilai yang dianggap baik.

(64)

ditanamkan dan dibiasakan. Pendidikan karakter hanya dapat diselipkan dalam mata pelajaran

Satuan pendidikan merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan (a) pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan di lingkungan satuan pendidikan. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi (Kemendiknas, 2010: 5).

Triatmanto (2010) menjelaskan bahwa pendidkan karakter di sekolah sudah cukup mapan, namun dalam pelaksanaannya guru masih mengalami tantangan. Tantangan tersebut dapat berasal dari lingkungan pendidikan itu sendiri maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berasal dari personal pendidikan maupun perangkat lunak pendidikan (mind set, kebijakan pendidikan dan kurikulum). Tantangan dari luar berupa perubahan lingkungan sosial secara global yang mengubah tata nilai, norma, dan budaya suatu bangsa, menjadi sangat terbuka. Perubahan itu tidak dapat dikendalikan dan dibatasi karena berkembangnya teknologi informasi.

F. Kajian Penelitian yang Relevan

(65)

Maria Titian Moi Lay (2017) dengan judul “ Keterlaksanaan Dan

(66)

47 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan jenis penelitian, prosedur penelitian deskriptif, tempat, subjek, dan objek penelitian, instrumen

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat campuran deskriftif kuantitatif dan kualitatif. Nazir (Prastowo, 2014: 157), mendefinisikan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek penelitian sesuai dengan apa adanya.

Mengenai penelitian kuantitatif. Sugiyono (2013: 14) berpendapat bahwa

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis dan bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

(67)

Keempat, analisis data dilakukan secara induktif. Kelima, metode penelitian kualitatif ini lebih menekankan pada makna yakni data dibalik yang teramati.

B.Tempat dan Subjek Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 10 SMP yang terdiri dari 5 SMP Negeri dan 5 SMP Swasta yang yang telah menjadi mitra Tim Peneliti PSHP (Barus, Widanarto, & Sinaga 2018). Sekolah-sekolah ini tersebar di beberapa wilayah baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Sebelum melakukan penelitian, peneliti yang dibantu oleh dosen pembimbing telah mengantongi MoU (Memorandum of Understanding), sebagai bukti kesepakatan dan mitra ketersediaan sekolah menjadi tempat dilakukannya penelitian. Berikut tempat penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti:

Tabel 3.1 Tempat Penelitian

No Nama Sekolah Alamat

1 SMP

FransiskusTanjungkarang

JalanMangga 1, Pasirgintung, TanjungkarangPusat, Lampung, 35113

2 SMP St. Aloysius Turi Donokerto, Turi, Sleman, Yogyakarta, 55551

3 SMP N 1 Yogyakarta Cik Di Tiro, no. 29, Yogyakarta, 55225

(68)

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah bapak atau ibu guru yang ada pada 10 SMP, diantaranya adalah kepala sekolah, guru mata pelajaran, dan guru Bimbingan dan Konseling di SMP. Subjek dipilih sebagai perwakilan dari sekolah yang menerapkan pendidikan karakter yang ada sehingga diperolehnya informasi melalui angket yang disebar. Jumlah subjek ada 39 orang guru. Berikut adalah daftar jumlah subjek yang menjadi sumber informasi.

5 SMP N 3 Wates JalanPurworejo Km.07, Sogan, Wates, KulonProgo

6 SMP N 31 Purworejo JalanBrigjendKatamso 24, Purworejo, 54114

7 SMP N 2 Barusjahe DesaSinaman, Kec. Barusjahe, Kab. Karo, Medan, Sumatra Utara, 22172

8 SMP Maria JalanGereja, no. 39, Padang, Sumatra Barat

9 SMP Pangudi Luhur Wedi DesaKarangrejo, Pandes, Wedi, Glodogan, Klaten Sel.,

KabupatenKlaten, Jawa Tengah 57426

(69)

Tabel 3.2 Subjek Penelitian

No Sekolah Subjek Penelitian Jumlah

1 SMP Fransiskus Tanjungkarang

Kepala Sekolah (1), Guru BK (1), Guru Mata Pelajaran (3)

5 2 SMP Raden Fatah

Cimanggu

Kepala Sekolah(1), Guru BK(1), Guru Mata Pelajaran(2)

4 3 SMP Santo Aloyius

Turi

Kepala Sekolah (1), Guru BK (1), Guru Mata Pelajaran (1)

3 4 SMP N 3 Wates Wakil kurikulum (1), Guru BK

(1), Guru Mata Pelajaran (2)

4

Guru Mata Pelajaran (2)

4 9 SMP Pangudi Luhur

Wedi

Kepala Sekolah (1), Guru BK (1), Guru Mata Pelajaran (2)

4 10 SMP N 2 Playen Guru B(2), Guru Mata Pelajaran

(2)

4

C.Waktu Penelitian

(70)

Tabel 3.3

Jadwal Pengambilan Data

D.Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2002: 197) yang dimaksudkan dengan teknik

pengumpulan data adalah “cara yang digunakan oleh peneliti dalam

pengumpulan dan penelitiannya”. Berdasarkan penegertian tersebut dapat

No Sekolah Waktu Penelitian

1 SMP Fransiskus Tanjungkarang 24 April 2018

2 SMP Raden Fatah Cimanggu 17 April 2018

3 SMP Santo Aloyius Turi 21 April 2018

4 SMP N 3 Wates 20 April 2018

5 SMP N 31 Purworejo 8 Mei 2018

6 SMP Negeri 1 Yogyakarta 18 April 2018 dan 19 April 2018

7 SMP Negeri 2 Barusjahe 28 April 2018

8 SMP Maria 23 April 2018 dan 24 April

9 SMP Pangudi Luhur Wedi 19 April 2018

(71)

dikatakan bahwa penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dalam penelitian. Siregar (2013:17) menjelaskan bahwa proses pengumpulan data primer dan sekunder dalam suatu penelitian merupakan langkah yang sangat penting, karena data yang telah dikumpulkan tersebut akan digunakan dalam pemecahan masalah yang sedang diteliti.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket. Menurut Sudaryono, Margono, & Rahayu (2013:30) angket atau kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung yakni peneliti tidak lagsung bertanya-jawab dengan koresponden. Angket (questionmatre) merupakan suatu daftar pertanyaan tentang topik tertentu kepada subyek, baik secara individu atau kelompok, untuk mendapatkan informasi tertentu, seperti preferensi, keyakinan, minat, dan perilaku.

2. Instrumen Pengumpulan Data

(72)

a. Angket terbuka

Pada instrumen ini, angket disajikan dengan petanyaan di mana responden sebebas-bebasnya dengan uraian yang lengkap berdasarkan kehendak, dan keadaan secara terbuka. Responden dapat menuliskan jawaban dengan kata-kata sendiri.

b. Angket tertutup

Pada instrumen ini, angket disajikan dalam bentuk pertanyaan yang telah mendapat pengarahan dari penyusun angket. Responden tinggal memilih jawaban-jawaban yang telah disediakan dalam kuesioner itu. Jadi jawabannya telah terikat, responden tidak dapat memberikan jawabannya secara bebas.

E.Validitas Instrumen

(73)

adalah ahli Bimbingan dan Konseling yaitu Dr. Gendon Barus, M. Si., dan tim dosen Penelitian PSHP 2018.

F.Teknik Analisis Data

Menurut Siregar (2013: 221) “analisis deskriptif merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu

sampel”. Analisis deskriftif ini menggunakan satu variabel sehingga tidak

berbentuk perbandingan atau hubungan. Metode ini digunakan untuk mengkaji variabel yang ada pada peneltian yaitu pelaksanaan pendidikan karakter dan hambatan-hambatannya. Rumus dasar yang di pakai adalah:

Keterangan P : Persentase F : Frekuensi data

N : Jumlah sampel yang diolah 100% : Bilangan tetap

(Waristo, 1992: 59)

Perhitungan deskriptif presentase dalam penelitian ini mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan skoring data angket

Gambar

Gambar 1 Komponen Karakter .......................................................................
Gambar 1. Komponen Karakter
Tabel 3.1 Tempat Penelitian
Tabel 3.2 Subjek Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh guru BK SMA di Sleman sudah sepakat menggunakan Panduan Operasional Pelaksanaan BK (POP BK) sebagai arah penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling di

Untuk itu diharapkan orang tua dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dimana orang tua diharapkan melakukan diskusi dengan anak, memberikan kasih sayang dan kehangatan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta memiliki tingkat kecenderungan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Peranan guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IX yang pernah memiliki motivasi

Berdasarkan penjelasan diatas hubungan loyalitas pada teman sebaya akan sangat berperan penting jika tidak seimbang dengan kontrol diri yang baik maka dari itu untuk

Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma dapat memberi pendekatan dan ruang yang lebih kepada mahasiswa untuk menjaga serta

Efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan diri dalam konteks belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efikasi diri siswa SMP kelas IX dan yang

Pernyataan “Dalam berkomunikasi, saya termasuk orang yang sulit dalam merangkai kata” menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa Bimbingan dan