SYUKUR, SABAR DAN OPTIMIS
Kunci Menghadapi Kenyataan Hidup
H. Anang Rikza Masyhadi
ÞÇá ÑÓæá Çááå Õáøì Çááå Úáíå æÓáøã : ÚóÌóÈÇð
öáÃõãõæöÑ ÇáãÓáöã Åäøó ÃãÑóå ßáøõå ÎíÑñ Åäú
ÃÕÇÈóÊúå ÓóÑóÇÁñ ÔóßóÑó ÝßÇä ÎíÑÇð áå æ Åäú
ÃÕÇÈóÊúå ÖóÑóÇÁñ ÕóÈóÑó ÝßÇä ÎíÑÇð áå (ÑæÇå
ÇáÈÎÇÑì)
“Sungguh menakjubkan, sesungguhnya semua urusan orang muslim itu penuh kebaikan, jika mendapat kesenangan ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya; dan apabila ditimpa kesulitan ia pun bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya” (HR. Bukhari)
Allah S.w.t menciptakan manusia dalam keadaan yang lemah (dlo’îfâ). Seringkali kelemahan itulah yang menjadikan manusia selalu berkeluh-kesah dalam menghadapi kesulitan hidup. Surat al-Ma’ârij
ayat 19-21 dengan jelas sekali menyatakan, bahwa,
Åäøó ÇáÅäÓóÇäó ÎõáöÞó åóáõæÚÇð (19) ÅÐóÇ ãóÓøóåõ
ÇáÔøóÑøõ ÌóÒõæÚÇð (20) æÅÐóÇ ãóÓøóåõ ÇáÎóíúÑõ
ãóäõæÚÇð (21)
“Manusia diciptakan bersifat keluh-kesah dan kikir; apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.”
Watak dasar manusia seperti disebutkan dalam ayat itulah yang hendak diantisipasi oleh hadits di atas. Karena hidup di dunia ini tidak pernah lepas dari sunnatullah yang diantaranya tersimpul dalam dua hal; baik-buruk, senang-susah, bahagia-sedih, menang-kalah, berhasil-gagal, dan lain sebagainya, serta disebabkan oleh adanya watak dasar manusia yang selalu keluh-kesah, maka hadits di atas berfungsi untuk melindungi orang-orang muslim dari depresi moral dan goncangan jiwa akibat tekanan hidup serta tumpukan permasalahan yang melilitnya.
Ber-husnudzan kepada Allah tidak mungkin terjadi, jika seorang muslim tidak menghayati betul bahwa Dia tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia belaka. Demikian ditegaskan sendiri oleh Allah S.w.t dalam al-Qur’an.
ãóÇ ÃóÕóÇÈó ãöä ãøõÕöíÈóÉò Ýöí ÇáÃóÑúÖö æáÇ Ýöí
ÃóäÝõÓößõãú ÅáÇøó Ýöí ßöÊóÇÈò ãøöä ÞóÈúáö Ãóä
äóÈúÑóÃóåóÇ Åäøó Ðóáößó Úóáóì Çááøóåö íóÓöíÑñ (22)
áößóíúáÇ ÊóÃúÓóæúÇ Úóáóì ãóÇ ÝóÇÊóßõãú æáÇ
ÊóÝúÑóÍõæÇ ÈöãóÇ ÂÊóÇßõãú æÇááøóåõ áÇ íõÍöÈøõ ßõáøó
ãõÎúÊóÇáò ÝóÎõæÑò (23)
“Tidak ada sesuatu kejadian pun di muka bumi ini, dan tidak pula pada diri kamu melainkan telah tertulis dalam kitab (suratan) sebelum Kami (Allah) melaksanakannya. Sesungguhnya hal itu bagi Allah adalah perkara mudah. Supaya kamu tidak terlalu sedih atas apa yang luput darimu, dan supaya kamu tidak terlalu bergembira atas apa yang dikaruniakan Allah kepadamu. Allah tidak suka kepada orang yang terlalu angkuh dan membanggakan diri.” (Q, s. al-Hadîd/57:22-23)
Syukur
Bersyukur karena mendapatkan kesenangan, bagi seorang muslim adalah sebuah keniscayaan. Melalui Kekuasaan-Nya, Allah mendatangkan nikmat berupa kesenangan hidup kepada hamba-Nya. Saking banyaknya, nikmat Allah tersebut tidak dapat dihitung atau diperkirakan. “Jika kalian hendak menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan dapat memperkirakannya.” (Q, s. al-Nahl/16:18) Kesyukuran dan keikhlasan pada hakekatnya adalah untuk diri sendiri, bukan untuk kepentingan Allah, karena Allah tidak memerlukan kesyukuran itu. Dengan kesyukuran itu, kebaikan akan kembali kepada dirinya.
æÅÐú ÊóÃóÐøóäó ÑóÈøõßõãú áóÆöä ÔóßóÑúÊõãú
áÃóÒöíÏóäøóßõãú æáóÆöä ßóÝóÑúÊõãú Åäøó ÚóÐóÇÈöí
áóÔóÏöíÏñ (7)
Dan ingatlah, takala Tuhanmu mempermaklumkan : "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q, s. Ibrâhim /14:7)
Berkaitan dengan hal ini, sebuah riwayat hadits menyebutkan bahwa Allah S.w.t sendiri senang jika melihat jejak dan bekas limpahan nikmat-Nya atas hamba-Nya terus berlangsung.
Sesungguhnya Allah S.w.t senang Melihat bekas-bekas nikmat-Nya pada diri hamba-nikmat-Nya (HR Al-Hakim dan At-Tirmidzi)
Oleh sebab itu, ungkapan dalam redaksi hadits bahwa “Jika mendapat kesenangan ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya”, merupakan ungkapan yang sepenuhnya logis dan sesuai dengan kandungan makna ayat tersebut.
Sabar
Banyak yang salah kaprah dalam menafsirkan pengertian sabar. Sabar dipahami sebagai sikap narimo atau pasrah terhadap keadaan dan kesulitan yang melilit. Padahal, sabar adalah sikap seorang muslim dalam menerima kenyataan hidup setelah dirinya berusaha untuk menaklukannya. Sabar adalah sikap narimo tetapi yang didahului oleh perjuangan dan kerja keras (jihad), serta yang disertai dengan kesinambungan upaya yang terus-menerus.
Ëõãøó Åäøó ÑóÈøóßó áöáøóÐöíäó åóÇÌóÑõæÇ ãöäú
ÈóÚúÏö ãóÇ ÝõÊöäõæÇ Ëõãøó ÌóÇåóÏõæÇ æÕóÈóÑõæÇ
Åäøó ÑóÈøóßó ãöäú ÈóÚúÏöåóÇ áóÛóÝõæÑñ ÑøóÍöíãñ
(110)
Dan sesungguhnya Tuhanmu adalah Pelindung bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar. (Q, s. al-Nahl/16:110).
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáóÐöíäó ÂãóäõæÇ ÇÕúÈöÑõæÇ
æÕóÇÈöÑõæÇ æÑóÇÈöØõæÇ æÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó
áóÚóáøóßõãú ÊõÝúáöÍõæäó (200)
Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga. (Q, s. Alu Imrân/3:200)Dengan demikian, makna ungkapan “sabar” yang tersirat dalam hadits di atas ialah sabar sebagai hasil dari kerja keras dan perjuangan (jihad). Demikianlah sabar yang sesungguhnya, bukan sabar yang hanya retorika saja.
Ãóãú ÍóÓöÈúÊõãú Ãóä ÊóÏúÎõáõæÇ ÇáÌóäøóÉó æáóãøóÇ
íóÚúáóãö Çááøóåõ ÇáóÐöíäó ÌóÇåóÏõæÇ ãöäßõãú
æíóÚúáóãó ÇáÕøóÇÈöÑöíäó (142)
Perlu ditekankan di sini bahwa pengertian sabar tidak berlaku dalam hal menghadapi kebatilan dan kemungkaran. Seorang muslim bahkan dituntut untuk bangkit melawan setiap bentuk kebatilan dan kemungkaran dengan caranya sendiri seperti yang telah dituntunkan oleh agama.
Åä ßóÇÏó áóíõÖöáøõäóÇ Úóäú ÂáöåóÊöäóÇ áóæúáÇ Ãóä
ÕóÈóÑúäóÇ ÚóáóíúåóÇ
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita sabar (menyembah)nya. (Q, s. al-Furqân/25:42)
Hadits di atas mengajarkan kepada setiap muslim agar senantiasa ridha dengan segala ketentuan Allah. Keridhaan itulah yang dapat melahirkan sifat dan sikap sabar dalam menghadapi dinamika hidup di dunia beserta segala hiruk-pikuk di dalamnya. “Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur; dan jika ditimpa kesulitan ia pun bersabar.” Sikap sabar juga tidak mungkin tumbuh tanpa rasa ikhlas (ridha) atas apa yang telah menjadi ketetapan Allah. Sikap inilah yang menjadikan seluruh kehidupannya menjadi kebaikan.
Sedangkan amal perbuatan yang didasari keikhlasan ialah amal perbuatan yang diterima di sisi Allah. Keduanya saja tidak cukup, karena amal perbuatan dan keikhlasan memerlukan ilmu yang dapat berfungsi sebagai perangkat penuntun dalam beramal. Dengan kata lain, ilmu, amal perbuatan, dan keikhlasan harus teritegrasi menjadi satu kesatuan sikap seorang muslim, karena itulah keseimbangan hidup muslim dalam beribadah kepada Allah S.w.t Ali ibn Abi Thalib konon pernah menyitir sebuah ungkapan mutiara yang menarik berkaitan hal tersebut.
ÇáäóÇÓõ ßõáøõåõãú åóáóßóì ÅáÇøó ÇáÚÇáöãõæä.
æÇáÚÇáöãõæä
ßõáøõåõãú
åóáóßóì
ÅáÇøó
ÇáÚÇãöáõæäó. æÇáÚÇãöáõæäó ßõáøõåõãú åóáóßóì
ÅáÇøó ÇáãõÎúáöÕõæä.
Seluruh manusia akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu; dan orang-orang yang berilmu pun seluruhnya juga akan binasa, kecuali orang-orang yang beramal (mengamalkan ilmunya); orang-orang yang beramal juga akan binasa, kecuali orang-orang yang ikhlas.
Demikianlah makna dari ungkapan dalam hadits bahwa “apabila ditimpa kesulitan ia pun bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya”.
Optimisme
shalâh wa al-ashlah), yang memberikan kepada setiap muslim rasa, tujuan dan prakarsa kepada kemajuan moral.
Prinsip pengharapan kepada keutamaan atau sesuatu yang lebih baik di masa mendatang, yang disertai dengan ketabahan dan kesabaran menghadapi kegagalan hidup pada masa lalu, akan melindungi seseorang dari segala bentuk depresi moral. Rasulullah S.a.w, melalui sabdanya, mengajak kaum muslimin kepada kompetisi moral, untuk menunjukkan kekuatan dan keberaniannya dalam pemenuhan diri menghadapi semua bentuk frustasi dan kemelaratan. Mengeluh, menyiksa diri sendiri, asketisme, menghina orang lain, sikap putus asa dan lain sebagainya, semuanya itu tidak dikenal dalam Islam. Sebaliknya, melalui ungkapan yang sederhana itu, Rasulullah S.a.w sejatinya berharap agar umatnya senantiasa menggantungkan hidupnya pada rasa dan sikap optimis, sikap penuh pengharapan kepada Allah S.w.t.
Manusia tidak mengetahui baik-buruknya hal-hal yang akan datang; manusia hanya diwajibakan untuk senantiasa berusaha dan berdo’a memohon kebaikan dari Allah S.w.t. Maka di sinilah pentingnya seorang muslim untuk selalu bersikap optimis (tafâ’ul), karana ia sadar bahwa Allah, Tuhan Semesta Alam senantiasa bersama dirinya.
áÇ ÊóÍúÒóäú Åäøó Çááøóåó ãóÚóäóÇ
Janganlah bersedih, karena sesungguhnya Allah bersama kita.
(Q, s. al-Taubah/9:40)
Kontekstualisasi dari makna sabda Rasulullah S.a.w di bagian awal tulisan ini ialah, bahwa bangsa Indonesia baru saja menyelesaikan hajatan nasional berupa pemilihan presiden secara langsung tahap pertama. Pasti, ada yang menang, dan ada yang kalah: dua hal yang seharusnya menjadi hal “biasa-biasa” saja. Namun, baik kelompok yang menang maupun yang kalah, mereka sama-sama telah berhasil membangun kebersamaan, kerukunan, dan ketertiban umum yang ditandai oleh terselenggaranya pemilu yang aman dan demokratis. Adapun terjadi kekurangan dan kekeliruan teknis di sana sini, itu persoalan lain. Yang harus diingat oleh para elite negeri ini ialah bahwa rakyat kini telah melesat jauh menuju kepada kedewasaan politik dan kematangan bersosial. Dalam perspektif hadits di atas, maka justru rakyatlah kelompok yang paling memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang diajarkan Nabi.
kaum muslimin mau konsekuwen mengamalkannya: mau bersyukur, bisa bersabar dan tetap optimis menatap masa depan bersama, maka alangkah damainya negeri ini dan betapa tenteramnya menjadi bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.
Sumber: