• Tidak ada hasil yang ditemukan

2003 Kumpulan Kliping KKR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2003 Kumpulan Kliping KKR"

Copied!
335
0
0

Teks penuh

(1)

kliping

ELSAM

Wacana KKR_03 [lanjutan]

=============================================================================

Media Indonesia, Kamis, 2 Januari 2003

Harus Segera Lakukan Rekonsiliasi Nasional

JAKARTA (Media): Mantan Presiden Abdurrahman Wahid memperingatkan agar bangsa ini segera melakukan rekonsiliasi nasional untuk mencegah terjadinya revolusi sosial pada 2003 ini.

"Revolusi sosial akan terjadi karena adanya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin yang akan

menimbulkan konflik horizontal, Kita lihat di bandar udara, banyak pesawat dan banyak penumpangnya. Namun, yang miskin juga banyak," kata Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, kemarin.

Gus Dur mengharapkan revolusi sosial itu tidak terjadi dan harus dihindari. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara pemberian maaf kepada orang-orang yang sulit dibuktikan kesalahannya oleh hukum seperti para konglomerat hitam, dan mantan Presiden Soeharto.

"Beberapa pihak, seperti mantan Presiden Soeharto, perkumpulan Tionghoa, dan para sesepuh warga keturunan India juga mengharapkan revolusi sosial tidak terjadi," kata Gus Dur.

Tapi Gus Dur mengingatkan, pemberian maaf kepada konglomerat itu dengan catatan mereka memberikan 95% kekayaannya untuk membantu usaha kecil-menengah (UKM). Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga mencabut perkara perdata para konglomerat.

"Tetapi, perkara pidana bagi para konglomerat dilanjutkan atau tidaknya terserah kepada aparat hukum," tegas Gus Dur.

Forum Rekonsiliasi Nasional itu akan dilakukan 20 Maret mendatang oleh Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia. Rencana tersebut, tambah Gus Dur, sudah disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Gus Dur mengharapkan agat krisis multidimensi yang tengah dihadapi bangsa selama tujuh tahun ini dapat diselesaikan dengan cara berusaha menuju negara yang demokratis. Negara harus menempatkan setiap warga negaranya sama di muka hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Sementara itu, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR Rodjil Ghufron, dalam menanggapi Refleksi Akhir Tahun 2002 Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menilai pemerintahan Megawati belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam menjalankan agenda reformasi. Pemerintah belum maksimal dalam

melaksanakan penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN bagi aparat negara, pemulihan ekonomi nasional, reposisi militer dalam kehidupan politik nasional, dan sebagainya.

"Yang dilakukan pemerintah selama ini hanyalah upaya untuk menjaga keberlangsungan pemerintah semata dengan mengorbankan agenda reformasi tersebut," kata Rodjil.

(2)

kliping

ELSAM

Kompas, Sabtu, 04 Januari 2003

Pentingnya Komisi Nasional Sejarah

Oleh Asvi Warman Adam

BEGITU perjanjian damai Aceh ditandatangani awal Desember 2002, masalah yang menggayut adalah penyelesaian masa lalu di daerah itu.

Begitu dalam trauma yang menghantui korban pelanggaran HAM. Bagaimana menyelesaikan persoalan lama ini ? Maka, sebetulnya Presiden dan anggota kabinet membutuhkan masukan dari sejarawan. Itulah salah satu alasan penting dan mendesaknya pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Sejarah.

Bangsa Indonesia yang kini menjalani masa transisi amat membutuhkan "pelajaran" sejarah. Integrasi bangsa kini terancam: mengapa sampai terjadi hal demikian? Penjelasan tentang berbagai persoalan mendasar seperti hakikat bangsa dan proses yang telah kita jalani selama ini akan menerangi masyarakat dalam melangkah ke depan mengatasi krisis multidimensi. Selain itu, muncul perkembangan yang amat memprihatinkan ketika kekerasan terjadi tiap detik dan di mana saja. Sebetulnya sejak kapan kekerasan muncul di Nusantara?

Terutama sejak Indonesia merdeka, kita telah mengalami sekian lama gelombang kekerasan baik secara horizontal (antarmasyarakat) maupun vertikal (oleh negara). Bagaimana menyembuhkan trauma yang telah diderita korban kekerasan, terutama sejak peristiwa 1965 sampai kasus Aceh. Bagaimana memulihkan trauma yang dialami rakyat Aceh selama puluhan tahun akibat kekerasan TNI dan GAM. Masyarakat jelas tidak bisa melupakan masa lalu yang penuh kekejaman, yang menyakitkan. Dalam hal ini, selain Pengadilan HAM Ad Hoc, apakah perlu dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani berbagai kasus sejak Indonesia merdeka?

Kebingungan

Alasan lain pembentukan Komnas Sejarah adalah kebingungan masyarakat mengenai buku dan pelajaran sejarah. Setelah Soeharto turun takhta Mei 1998, bermunculan tulisan di media massa dan buku tentang sejarah masa Orde Baru yang berbeda dengan apa yang diajarkan selama ini di sekolah. Masyarakat, terutama guru dan siswa, bingung. Untuk mengatasi hal ini, Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan pedoman bagi guru mengenai aspek kontroversial dalam sejarah Indonesia. Namun, pedoman itu masih memiliki berbagai kekurangan. Direncanakan terbit buku standar Sejarah Nasional Indonesia sebagai pengganti buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis 1970-an. Penerbitannya diperkirakan baru selesai 2004. Dengan demikian, sampai 2004 akan ada kevakuman dalam pembenahan pengajaran sejarah di Indonesia.

Sementara itu, kurikulum baru (kurikulum berbasis kompetensi) telah dilansir Pusat Kurikulum Depdiknas dan akan diberlakukan 2004. Tetapi, sejauh ini kurikulum baru itu tidak banyak beda dengan kurikulum sejarah yang lama. Bukan hanya soal politik dan hukum yang mengandung aspek kesejarahan, bidang ekonomi pun tak luput dari dimensi historis. Ketika Soekarno diturunkan dari kursi kepresidenan, ia meninggalkan utang 2,5 milyar dollar AS. Namun, ketika Soeharto berhenti, utang yang diwariskan kepada bangsa ini 150 milyar dollar AS (utang pemerintah dan swasta). Utang itu akan ditanggung kita dan anak-cucu kita. Sebetulnya, kalau kita menengok sejarah, Prof Alexander Sacks di Paris tahun 1927 telah memperkenalkan konsep utang najis (odious debt). Utang yang dibuat rezim otoriter tidak ditanggung rezim penggantinya. Kita sebetulnya dapat meminta penghapusan atau pemotongan utang, seperti dilakukan dan diterima Pemerintah Filipina baru-baru ini. Bukankah Marcos dan Soeharto sedikit banyak memiliki kemiripan. Jadi, sejarah bermanfaat untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi bangsa kita kini.

Kelembagaan

(3)

kliping

ELSAM

Diusulkan agar Komnas Sejarah ada di bawah Presiden dan dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Komisi memiliki ketua, sekjen, dan beberapa anggota, dibantu sekretariat tetap. Masa keanggotaan empat tahun dan dapat diperpanjang hanya satu kali masa jabatan. Semua pengurus memperoleh gaji/honorarium bulanan yang jumlahnya setara dengan honorarium lembaga sejenis seperti KPKPN atau Komisi Ombudsman.

Mengingat lembaga ini memiliki tugas tidak ringan, ketua dan sekjen tidak dirangkap oleh pejabat struktural pada departemen/badan pemerintahan. Untuk memudahkan berurusan dengan lembaga pemerintah lainnya, sebaiknya kedudukan Sekjen Komnas Sejarah disesuaikan dengan model Sekjen Komnas HAM. Sekjen Komnas Sejarah harus seorang PNS (pegawai negeri sipil), kedudukannya disetarakan eselon satu.

Jumlah keanggotaan tidak usah terlalu besar, tidak lebih dari sepuluh orang, dibantu sekretariat tetap. Komisi yang ramping, tetapi bekerja sepenuh waktu akan lebih baik daripada lembaga yang besar tetapi hanya bisa rapat selepas jam kantor. Untuk pertama kali, para narasumber yang ditunjuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam rangka pembentukan Komnas Sejarah dapat diusulkan menjadi anggota Komnas Sejarah ditambah beberapa tokoh dari luar Jakarta.

Kemauan politik Presiden

Komnas Sejarah memberi masukan kepada Presiden mengenai berbagai persoalan sejarah dan persoalan masa lalu bangsa. Lembaga ini juga akan berperan dalam menjelaskan aspek sejarah yang kontroversial di tengah masyarakat. Di bidang pendidikan, in- stitusi ini akan memberi pertimbangan dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang selanjutnya akan menjadi pegangan pembuatan buku teks sekolah. Komnas Sejarah juga memberi masukan dalam penyusunan kurikulum nasional sejarah. Butir-butir yang diajarkan dalam pelajaran sejarah didiskusikan Komnas Sejarah.

Selain itu, dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial-politik masa lalu, Komnas Sejarah menyumbangkan pemikiran dan berpartisipasi dalam pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan Komnas Sejarah dan sejauh mana wewenang yang dimilikinya akan menjadi barometer kemauan politik Presiden dalam menangani masalah sejarah dan persoalan masa lalu bangsa Indonesia.

(4)

kliping

ELSAM

Suara Pembaruan, Jumat 10 Januari 2003

Pemerintah Didesak Susun RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk segera menyusun dan mengajukan ke DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain itu pemerintah juga didesak untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, usai bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/1) menjelaskan, RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi sangat diperlukan sebagai dasar bagi upaya-upaya rekonsiliasi Bangsa Indonesia.

Hal tersebut, lanjutnya, saat ini dirasa perlu setelah ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002. Sebab, salah satu kesepakatan pasca-Perjanjian Jenewa, adalah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui jalan rekonsiliasi dan adat.

"Dalam pertemuan tadi tidak secara khusus membahas soal Aceh. Tetapi kami sampaikan ke Presiden bahwa rekonsiliasi ini suatu cara yang mestinya dikedepankan. Dan untuk mendukungnya perlu segera dibahas dan diundangkan, yaitu UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," jelasnya.

Oleh karenanya, Komnas HAM menekankan supaya pemerintah mengambil prakarsa dalam penyusunan RUU-nya. Selanjutnya, Garuda mengatakan, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dua Konvensi Internasional, masing-masing mengenai hak sipil dan politik, serta mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. Maksud dari ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tersebut, menurut Garuda, untuk melindungi dan memperkokoh hak-hak masyarakat Indonesia di bidang ekonomi, sosial dan budaya. "Ini ada kaitannya dengan hak rakyat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon seperti yang terjadi sekarang," jelasnya.

(5)

kliping

ELSAM

Suara Pembaruan, Senin 13 Januari 2003

Kekuatan Lama Ganjal RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

TNI dan Golkar Menghambat Lahirnya UU KKR

JAKARTA - Presiden Megawati Soekarnoputri dinilai lamban dalam melaksanakan salah satu amanat MPR untuk segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ke DPR. Kelambanan itu disinyalir karena masih adanya kekuatan politik lama, seperti TNI dan Golkar, yang memang tidak menginginkan adanya UU KKR.

Demikian penilaian Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim, di Jakarta, Senin (13/1). Ifdhal yang turut dalam penyusunan draf RUU KKR mengungkapkan, draf itu telah diselesaikan sejak Pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Saat ini draf RUU KKR masih tertahan di Sekretariat Negara," ungkapnya. Secara terpisah, Wakil Direktur Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Robertus Robert menilai, Pemerintahan Megawati tidak melihat masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagai prioritas. "Pemerintah sekarang tampak sangat akomodatif terhadap TNI, sehingga mengabaikan masalah penyelesaian pelanggaran HAM," tandasnya.

Robertus menambahkan, tidak adanya agenda yang tegas dari pemerintah soal HAM, dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama yang tidak ingin mempertanggungjawabkan masalah pelanggaran HAM di masa lalu. "Kalau ini dibiarkan, saya khawatir di masa depan peristiwa-peristiwa serupa akan terulang lagi," ujarnya.

Menurutnya, rekonsiliasi tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. "Masyarakat korbanlah yang sepenuhnya bisa menentukan warna bagaimana penyelesaian HAM yang semestinya," tandasnya. Kendala

Ifdhal Kasim lebih lanjut mengungkapkan, saat Sidang Tahunan MPR 2002 lalu, MPR mempertanyakan kepada Presiden mengenai kelanjutan dari penyusunan UU KKR. "Saat itu Presiden Megawati menjanjikan akan mempercepat pembahasannya," katanya. Amanat pembentukan UU KKR sendiri dituangkan dalam Tap MPR No 5/2002.

Diingatkan, saat ini Pemerintah menghadapi sejumlah proses rekonsiliasi, sebagaimana yang akan dilaksanakan di Aceh dan Papua. "Proses rekonsiliasi itu kalau tidak ada dasar hukumnya, akan kehilangan substansinya, seperti menyangkut soal pertanggungjawaban di masa lalu," ujarnya.

Dia khawatir apabila proses rekonsiliasi dilaksanakan tanpa dasar hukum, akan mengarah pada upaya mengusung kepentingan politik pemerintah, tanpa menyentuh kepentingan riil masyarakat. "Kalau itu yang terjadi, kemungkinan proses rekonsiliasi dari pemerintah ditolak oleh masyarakat akan sangat besar. Jadi sebaiknya dasar hukum

rekonsiliasi itu cepat diselesaikan," tandasnya.

Menurut Ifdhal, lambannya Pemerintahan Megawati mengajukan RUU KKR ke DPR, antara lain adanya kendala struktural yang berasal dari pemerintahannya sendiri. Dia menyebut dua kekuatan politik lama, seperti TNI dan Golkar, yang menghambat lahirnya UU KKR.

"Sebab kekuatan politik lama itulah yang menjadi sasaran dari UU KKR itu nantinya. Pelanggaran-pelanggaran oleh pemerintah di masa lalu banyak dilakukan oleh TNI dan Golkar, dan UU KKR akan menuntut pertanggungjawaban atas semua itu," jelasnya.

Menghadapi realitas tersebut, lanjut Ifdhal, menyebabkan Megawati bersikap kompromi. "Harus diakui Mega butuh TNI dan Golkar. Dia ingin membangun stabilitas rezim, sehingga ada hal-hal yang terpaksa dikorbankan," ujarnya. Akan tetapi, sikap lamban Mega dalam menuntaskan RUU KKR, bisa kontraproduktif bagi pemerintahannya. Sebab masalah RUU KKR sudah diamanatkan oleh MPR.

"Seharusnya RUU KKR ini menjadi kepentingan politik Megawati dan PDI-P. Kalau sampai tidak diselesaikan, ada alasan konstitusional bagi MPR untuk memberikan rapor merah bagi Pemerintahan Mega. Ini tentu mengurangi kans untuk maju pada Pemilihan Presiden 2004," katanya. (A-17)

(6)

kliping

ELSAM

Media Indonesia, Rabu, 15 Januari 2003

Harus Ada MoU Pelanggaran HAM

JAKARTA (Media): Tiga lembaga terkait, yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus membuat kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (MoU) untuk menyamakan persepsi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebelum UU No 26/1999 diundangkan. "Ketiga institusi ini sangat berkaitan dengan usaha pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM terutama di masa lampau, sebelum diundangkannya UU No 26/1999. Anggota DPR yang diharapkan turut serta dalam usaha pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat adalah Komisi II. Alangkah baiknya jika Komisi II DPR terlebih dahulu memprakarsai penandatanganan MoU tersebut agar ketiga institusi itu memunyai satu persepsi," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada pers, seusai melakukan pertemuan dengan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Kejaksaan Agung BR Pangaribuan di kantor Komnas HAM, kemarin.

Dengan adanya MoU tersebut diharapkan antara institusi yang saling terkait tidak jalan sendiri dan tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Kalau tidak ada persamaan persepsi antarketiga institusi tersebut maka hasil penyelidikan satu institusi tidak akan tuntas karena tidak ditindaklanjuti oleh institusi terkait lainnya.

Seperti yang telah diatur, Komnas HAM merupakan komisi negara yang berhak melakukan penyelidikan pada kasus pelanggaran HAM, sementara Kejaksaan Agung adalah institusi yang berhak melakukan penyidikan. Kalau tidak ada kerja sama dan persamaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, maka penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sulit untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

"Pertemuan kami dengan BR Pangaribuan sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama yang baik antara Komnas HAM dan Kejaksaan. Komnas HAM adalah institusi yang melakukan penyelidikan, sementara Kejaksaan adalah institusi yang melakukan penyidikan, jadi seharusnya sudah harus memiliki persamaan persepsi," ujar Hakim Garuda.

Sementara itu, Pangaribuan mengaku terdapat perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terhadap beberapa pasal dalam UU No 26/1999. Demikian juga dengan DPR. Keputusan politis DPR yang menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti, Semanggi I dan II menjadi penghambat pengungkapan ketiga kasus pelanggaran HAM tersebut.

"Hal itu bisa dijadikan rujukan bagi orang-orang yang kita duga terlibat, karena mereka pasti tidak mau dipanggil untuk penyelidikan, begitu pula penyidikan akibat keputusan politis DPR tersebut," kata Pangaribuan.

(7)

kliping

ELSAM

Koran Tempo, Jumat, 17 January 2003

RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tertahan di Presiden

JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum juga ditandatangani

Presiden Megawati. Padahal, menurut Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul Gani Abdullah, draft itu sudah diserahkan ke Sekretariat Negara awal 2002.

"Saya menghubungi Setneg pekan lalu. Kata mereka tinggal menunggu tandatangan Presiden untuk selanjutnya diserahkan ke DPR," kata Gani kepada Koran Tempo kemarin.

Namun menurut Ifdhal Kasim, anggota tim perumus rancangan undang-undang itu, penghambat proses justru Setneg. Ia lalu menunjuk langkah Setneg yang beberapa waktu lalu mempertanyakan beberapa hal dalam rancangan. "Itu melampaui kewenangan mereka," kata Ifdhal.

Ifdhal mengatakan, Sekneg misalnya berkeberatan dalam pasal soal kompensasi dan restitusi terhadap keluarga korban dan korban. Dalam rancangan itu memang diatur soal pemberian kompensasi atau ganti kerugian dari negara kepada korban dan keluargan korban serta ganti kerugian kepada korban dan keluarga korban oleh pelaku atau pihak ketiga.

"Mereka mengatakan, negara tidak punya uang untuk membayar ganti rugi itu. Ini jelas bukan urusan Sekneg tapi ini urusan kewenangan negara pada rakyatnya," ujar Ifdhal.

Namun, menurut Gani, pasal kompensasi, rehabilitasi dan restitusi pada draft RUU KKR tidak mengalami perubahan. Perubahan, katanya, hanya menyangkut pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan sejumlah nama calon komisi ini untuk pertama kalinya.

"Jadi untuk pertama kali (pembentukan komisi) Presiden dapat mengusulkan calon anggota komisi. Kalau yang lain tidak ada perubahan," papar Gani.

Gani beralasan, UU ini begitu operasional langsung harus ditindaklanjuti dengan pembentukan komisi. Jika proses pengusulan nama datang dari masyarakat, kata dia, akan memakan waktu lebih lama.

Gani membantah rancangan ini memberikan kewenangan mutlak kepada Presiden untuk mengusulkan calon-calon yang disenanginya. Menurut dia, Presiden memiliki staf yang mengurusi masalah ini. "Lagipula ini kan untuk pertama kalinya. Kalau untuk pemilihan anggota komisi selanjutnya, masyarakat boleh ikut mengusulkan," ujarnya beralasan.

Selanjutnya, di DPR akan diadakan seleksi untuk memilih dari sejumlah nama yang diusulkan Presiden. Soal usulan presiden diterima atau ditolak DPR, Gani menolak berkomentar.

Pernyataan ini berbeda dengan draft akhir rancangan. Dalam dratt diatur bahwa Komisi Nasional HAM lah yang pertama kali berwenang memilih dan menyeleksi seluruh anggota komisi. Komnas HAM membentuk panitia seleksi untuk menerima usulan dari perorangan, kelompok orang, atau organisasi kemasyarakatan sesuai kriteria yang diatur RUU ini.

Hasil pilihan dari panitia seleksi diserahkan kepada Komnas HAM untuk diseleksi kembali. Hasil seleksi Komnas HAM kemudian diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Presiden sebagai Kepala Negara bertugas menetapkan nama-nama yang disetujui.

Direktur LBH Jakarta Iriantor Subiakto meragukan niat baik dalam perubahan pengusulan calon itu kepada presiden. "Ini tidak fair. Sebab, yang dipersoalkan adalah negara sebagai pelaku pelanggaran HAM."

Anehnya, kata Irianto, rancangan memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan calon anggota komisi dan kemudian menetapkannya. "Dari hulu ke hilir dia yang pegang. Niatnya apa?" ujarnya.

(8)

kliping

ELSAM

Koran Tempo, Jumat 17 Januari 2003

Komisi Pemberi Rekomendasi Pengampunan

Berikutsejumlayh pasal yang mengatur tugas, fungsi, dan keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Pasal 4

Komisi mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelangggaran hak asasi manusia yang berat dan melakukan rekonsiliasi.

Pasal 5

Komisi memiliki tugas:

1. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban 2. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat 3. Memberi rekomendasi kepada presiden dalam permohonan amnesti

4. Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam pemberian kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi. 5. Menyampaikan laporan tahunan dan leporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan

perkara yang ditanganinya kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

Pasal 27

1. Dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Lama telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, komisi wajib memberikan rekomndasi kepada presiden untuk memberikan amnesti.

2. Penryataan perdamaian wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani kedua pihak dan diketahui ketua komisi.

Pasal 29

(9)

kliping

ELSAM

Koran Tempo, Rabu, 22 January 2003

DPR: Lembaga Impunity Baru?

Satya Arinanto Pengajar FHUI, Analis Hukum Dan Konstitusi

Akhir-akhir ini berkembang perdebatan mengenai kelanjutan proses pemeriksaan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Sinyalemen ini muncul dari dua lembaga sentral yang memiliki kaitan erat dengan proses pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat, yakni dari Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan Agung.

Menurut kedua lembaga tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang disingkat TSS tersebut. Kejaksaan Agung dan Komnas HAM akan mengirim surat kepada DPR agar DPR mengkaji ulang keputusannya soal penyelesaian kasus TSS (Kompas, 15 Januari 2003).

Entah kebetulan atau tidak, sinyalemen tentang potensi DPR untuk berfungsi sebagai lembaga yang membebaskan atau mengampuni kesalahan (impunity) ini muncul setelah adanya pemberitaan media massa tentang pertemuan antara mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Pangab Wiranto dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada 13 Februari 2003 lalu. Menurut Sekretaris Jenderal/Panitera MA Gunanto Suryono, dalam pertemuan itu bisa saja dibicarakan persoalan penanganan perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan mantan presiden Soeharto yang kini sedang ditangani Komnas HAM. Hal ini berkaitan dengan fenomena bahwa Komnas HAM sudah membentuk tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan terhadap hal tersebut.

Menurut Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, tim ad hoc tersebut akan melakukan penyelidikan terhadap berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada era Soeharto, misalnya, peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965, kasus Komando Jihad. Hakim menyatakan bahwa tim itu akan menyelidiki sejauh mana duduk persoalan kasus-kasus tersebut. Fokusnya antara lain akan dilihat apakah berbagai pelanggaran HAM berat itu terjadi karena sebuah kebijakan atau bukan, serta siapa-siapa saja yang terlibat.

Kembali ke masalah kasus TSS. Sebagaimana kita ketahui, DPR telah pernah membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Ketua DPR Akbar Tandjung. Setelah beberapa kali pertemuan, panitia khusus menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus TSS tersebut. Kesimpulan inilah yang hingga saat ini dipergunakan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan yang

berkepentingan dengan kasus tersebut, untuk menghindari terjadinya penghukuman terhadap kasus tersebut.

Dalam konteks inilah telah lama muncul pemikiran bahwa DPR akan berperan sebagai lembaga yang berpotensi melakukan pembebasan dari hukuman atau pengampunan (impunity) baru. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk

melakukan proses seleksi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Menurut UU itu, jika DPR setuju, presiden kemudian dapat menerbitkan keputusan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Hingga saat ini baru ada dua kasus yang telah disetujui DPR dan diterbitkan keppresnya, yakni kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di eks Timor Timur, khususnya yang terjadi di Dili, Liquica, dan Suai. Kedua, kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Tanjung Priok pada September 1984. Di luar kedua kasus tersebut, sebenarnya pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM juga telah menyampaikan usulan pembentukan pengadilan HAM untuk kasus Aceh, namun hingga saat ini hal tersebut belum mendapatkan respons dari DPR.

Dalam kasus TSS, memang muncul sinyalemen bahwa kesimpulan DPR tentang kasus TSS--bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut--dikeluarkan dalam konteks kepentingan dari fraksi-fraksi non-TNI-Polri di DPR untuk menarik dukungan dari Fraksi TNI-non-TNI-Polri dalam rangka rencana penarikan mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid yang lalu. Rencana ini telah berlangsung dengan "sukses", sejalan dengan turunnya Wahid dari kursi kepresidenannya. Namun, dampak dari kesimpulan tersebut masih terasa hingga saat ini, yakni munculnya penilaian bahwa DPR berpotensi secara "legal" untuk menjadi lembaga impunity baru.

(10)

kliping

ELSAM

(11)

kliping

ELSAM

Suara Pembaruan, Kamis 06 Februari 2003

Mencari Model Rekonsiliasi Nasional untuk Cegah Disintegrasi Bangsa

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Judo Poerwowidagdo

KRISIS ekonomi dan moneter yang dimulai bulan Juli 1997 yang lalu, telah berkembang menjadi krisis politik, hukum, kepercayaan, krisis moral dan sebagainya sehingga dapat dikatakan telah terjadi krisis total dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal pula bahwa krisis total itu disebabkan terutama oleh adanya kebijakan-kebijakan (policies) pembangunan yang salah selama Orde Baru memegang pemerintahan.

Bukan saja kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional, tetapi juga kesalahan dalam kebijakan pemerintahan dan dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan-kebijakan pembangunan nasional dan pemerintahan itu telah menyimpang dari cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk membangun suatu masyarakat modern yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila.

Krisis total ini mengharuskan adanya reformasi total pula. Yang saya maksudkan dengan reformasi total adalah pembaruan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama dari segi-segi yang mendasar sebagai landasan kita hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh, suatu bangsa yang maju dan modern di tengah-tengah berbagai bangsa di dunia ini.

Reformasi total ini menyangkut kehidupan sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya, serta pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia. Dalam keadaan krisis total sekarang ini, di mana situasi politik dan ekonomi sangat tidak stabil atau sangat rentan, ditambah dengan praktik hukum serta peradilan kita yang mengalami banyak penyimpangan, telah terjadi berbagai kerusuhan-kerusuhan massal yang menyebabkan korban jiwa yang luar biasa banyaknya.

Memprihatinkan

Kerusuhan massal yang banyak terjadi di berbagai wilayah negara kita itu sangat memprihatinkan, karena telah mengakibatkan korban jiwa ribuan rakyat Indonesia dan mengakibatkan puluhan bahkan mungkin ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi di negara sendiri (internally displaces persons - IDPs). Dari kerusuhan atau keributan yang kecil antar-pribadi dapat berkembang menjadi kerusuhan massal yang melibatkan ribuan penduduk, dan dapat berkembang menjadi kerusuhan yang bersifat SARA.

Rupa-rupanya ada kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang memanfaatkan situasi konflik di dalam masyarakat sehingga berkembang atau sengaja dikembangkan menjadi konflik SARA yang meluas. Kerusuhan-kerusuhan sosial yang sangat memprihatinkan ini, termasuk yang direkayasa seakan-akan konflik yang bersifat SARA itu jelas-jelas membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, dan akan mengakibatkan disintegrasi bangsa.

Namun lebih dari itu, yang sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa, serta keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia adalah kesalahan-kesalahan ataupun kekeliruan-kekeliruan yang mendasar yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat selama negara kita merdeka, dan terutama selama Pemerintahan Orde Baru. Kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mengutamakan laju pertumbuhan ekonomi, yang mensyaratkan adanya stabilitas politik, dilakukan atau dilaksanakan dengan pendekatan keamanan (security approach).

(12)

kliping

ELSAM

Kenyataannya, pelaksanaan menyimpang dari hal-hal ini. Bukannya pendidikan politik dan demokrasi, tetapi yang dilakukan adalah indoktrinasi P-4 yang sangat tidak konsekuen dalam praktiknya. Bukannya iklim demokrasi yang dikembangkan, tetapi sebaliknya, yaitu iklim kekuasaan mutlak, mono loyalitas dan asas tunggal. Tidak ada toleransi perbedaan pendapat. Bahkan pelaksanaan pembangunan dipenuhi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Dengan pembangunan yang sentralistis (memusat di Pulau Jawa), terjadi ketimpangan-ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam pembangunan daerah.

Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial berbagai wilayah yang merasakan kesenjangan pembangunan itu sebagai ketidakadilan. Seperti wilayah-wilayah Sumatera serta Sulawesi dan Maluku semasa Orde Lama, dan Aceh, Papua Barat (Irian Jaya), serta Timor Timur semasa Orde Baru.

Sarana

Apabila kita mengingat perjuangan kemerdekaan bangsa kita melawan penjajah, melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda dan melawan kekejaman-kekejaman militer Jepang yang fasistis, kita tidak akan berhasil apabila kita tidak menggalang kesatuan dan persatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan. Tanpa persatuan dan kesatuan bangsa dan gerakan serta perjuangan itu, tentu kita belum dapat merdeka sekarang ini.

Kesatuan dan persatuan bangsa merupakan suatu syarat atau sarana untuk mencapai kemerdekaan bangsa kita. Bagi perjuangan kemerdekaan, maka kesatuan dan persatuan perjuangan merupakan suatu conditio sine qua non suatu kondisi yang harus ada. Kalau kita melihat sejarah bangsa kita mulai tahun 1908, tahun kebangkitan bangsa dengan berdirinya Boedi Oetomo dan tahun 1928, Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda, kita menyadari bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia sebagai alat perjuangan kemerdekaan kita itu telah membawa hasil nyata.

Tujuan persatuan dan kesatuan bangsa ini adalah untuk mencapai kemerdekaan, kebebasan bagi seluruh bangsa kita, seluruh lapisan masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke. Bahkan TNI pun tumbuh dari dan menyatu dengan rakyat, didukung oleh rakyat karena melindungi dan memberi ketenteraman kepada rakyat dan berjuang bersama-sama dengan rakyat. Dengan kesatuan dan persatuan bangsa, rakyat dan tentara nasional kita dapat mencapai kemerdekaan dengan maksud membangun masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kesatuan dan persatuan bangsa ini sebenarnya bukanlah merupakan tujuan akhir perjuangan kita, tetapi merupakan suatu alat dan strategi perjuangan, merupakan sarana perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Namun dalam perkembangan sejarah bangsa kita, telah terjadi sedikit pergeseran ideologi dalam hal ini. Kesatuan dan persatuan bangsa, seakan-akan telah merupakan dan dijadikan tujuan akhir itu sendiri, yang coute que coute harus

dipertahankan, yang bagaimanapun juga harus dipertahankan, apapun risikonya (at all costs).

Menurut pendapat saya, ideologi kesatuan dan persatuan bangsa sedemikian itu perlu direnungkan lebih dalam dan matang. Tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan, mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang nyaman, aman dan sejahtera. Masyarakat yang kita idam-idamkan adalah suatu masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual. Inilah tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa kita yang dapat kita capai dengan persatuan dan kesatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan.

Demikian juga perjuangan kita membebaskan Irian Barat (Irian Jaya/Papua Barat) menjadi bagian yang integral dari negara Republik Indonesia yang bebas merdeka dari penjajahan Belanda. Juga usaha dan perjuangan penyatuan Provinsi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia itu bertujuan untuk menjadikan rakyat di sana juga merdeka, bebas dari kolonialisme Portugal, maupun bebas dari cengkeraman komunisme, dan menjadikan rakyat Timor Timur juga hidup aman, sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila, bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya.

(13)

kliping

ELSAM

bersama Republik Indonesia, tidak mengalami kemajuan dan perkembangan daerah seperti di wilayah lain Republik ini, terutama tidak sama dengan Pulau Jawa.

Hal ini karena kebijakan pembangunan nasional Pemerintah Pusat yang sangat sentralistis. Mereka merasakan ketimpangan dan ketidakadilan pembagian hasil pendapatan daerah, sumber-sumber daya alam di wilayah mereka dengan pemerintah pusat. Sementara itu korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat pemerintah pusat dan daerah telah mentelantarkan rakyat di wilayah-wilayah itu serta menimbulkan rasa ketidakadilan, bahkan mungkin juga kebencian terhadap pemerintah pusat.

Pemerintah Pusat

Oleh karena itu kita melihat adanya konflik-konflik vertikal, dalam wujud gerakan separatisme dan bukan saja konflik horizontal dalam masyarakat. Gerakan separatisme tentu tidak dapat dibiarkan oleh pemerintah pusat, dan oleh karena itu wilayah atau provinsi itu diberlakukan sebagai DOM.

Apabila praktik-praktik ketidakadilan sosial semacam ini masih akan terus berlanjut, konflik vertikal semacam ini dapat diantisipasi akan terus muncul atau tetap berlangsung bahkan akan dapat merebak atau meluas ke wilayah-wilayah atau provinsi lain yang juga merasakan hal yang sama. Apabila hal ini terjadi, maka bahaya disintegrasi bangsa dan negara menjadi semakin besar, karena gerakan-gerakan separatisme akan menuntut pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(14)

kliping

ELSAM

Suara Pembaruan, Jumat 07 Februari 2003

Mengantisipasi Konflik dalam Masyarakat

Bagian Terakhir dari Dua Tulisan

Judo Poerwowidagdo

Konflik masyarakat cenderung untuk terjadi atau meledak apabila terdapat kesenjangan dalam unsur atau sumber-sumber konflik, yang dibiarkan terjadi tanpa ada penyelesaian. Unsur-unsur atau sumber-sumber-sumber-sumber konflik itu dapat di kategorikan dalam 6 hal, yaitu sumber daya alam (ketidakadilan dalam pembagian SDA), informasi (distorsi informasi, atau informasi yang salah/keliru, sengaja atau tidak), nilai-nilai (agama/budaya/adat/tradisi/moral/etis), kepentingan (perbedaan kepentingan), hubungan (hubungan primordialis) dan struktur (yang diskriminatif, tidak adil).

Kita juga dapat mengantisipasi bahwa suatu saat konflik itu akan meledak apabila terdapat unsur ataupun gejala sebagai berikut. Terdapat kelompok-kelompok penduduk yang masing-masing terpisahkan satu dari yang lain, berdasarkan identitas atau ciri kelompok itu, misalnya berdasarkan kelompok etnis, agama atau status sosial (identitas primordialistis).

Juga terdapat perbedaan kelompok-kelompok antara penduduk asli (setempat) dan kelompok-kelompok pendatang, yang berlainan etnis, agama atau status sosial ekonominya (hubungan primordialistis).

Selain itu, ada kesenjangan sosial antara kelompok-kelompok, baik dalam hal ekonomi, pendidikan maupun dalam hal kekuasaan. Di samping itu, ada kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi. Ada ketidakadilan struktural, misalnya pembedaan status dan privileges bagi kelompok tertentu. Ada pergerakan sosial ke atas dalam masyarakat dari masyarakat yang semula terpinggirkan (upward social mobility dari marginalized groups). Jalan yang paling baik untuk dapat menghindarkan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah mengurangi atau menyingkirkan gejala-gejala yang tersebut di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan social engineering, misalnya: * Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama di daerah atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.

* Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau dibaurkan. * Segala macam bentuk ketidak-adilan struktural harus dihilangkan atau dibuat seminim mungkin. Baik ketidakadilan sosial, ekonomi maupun politik.

* Kesenjangan sosial harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat-dapatnya dihapuskan sama sekali.

* Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia). Masyarakat Terpecah

Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik (conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini merupakan usaha peace making.

Dalam usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator "mengambil keputusan dan memberikan solusi atau

penyelesaiannya, yang "harus" ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.

Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan. Sebaliknya, mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator (fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama.

Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus "impartial", tidak bias, dsb.

(15)

kliping

ELSAM

Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan.

Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu:

a) Peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian masalah-masalahnya (isunya: persoalan tanah, adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu yang

diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.

b) Peace keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan memfokuskan penyelesaian selanjutnya

pada pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.

a) Peace building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan atau diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukanpun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun.

Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, banyak konflik atau kekerasan masyarakat yang sebenarnya bersumber pada masalah ketidakadilan sosial, budaya dan politik. Konflik-konflik ini sering berubah sifatnya atau berkembang menjadi konflik atau kekerasan yang bersifat konflik SARA. Ada konflik sosial yang berkembang menjadi konflik antarpemeluk agama yang berbeda. Sebenarnya tidak ada konflik agama atau konflik dengan kekerasan yang didasarkan pada ajaran agama, namun secara politis, konflik sosial, budaya dan politik di manipulasikan menjadi konflik antarumat beragama, atau bahkan konflik antara agama. Simbol-simbol agama sengaja dipakai untuk mempertajam perbedaan yang menimbulkan pertentangan dan konflik.

Jadi konflik antarumat beragama itu di Indonesia akhir-akhir ini rupa-rupanya sengaja dibuat atau direkayasa oleh kelompok tertentu atau kekuatan tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil. Ketidakstabilan masyarakat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis maupun ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya, karena konflik horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga menimbulkan bahaya separatisme dan disintegrasi nasional atau disintegrasi bangsa.

Sikap Terbuka

Untuk menghadapi masalah-masalah konflik dengan kekerasan yang melibatkan umat berbagai agama dalam suatu masyarakat, diperlukan sikap terbuka dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan mencermati serta menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan adanya saling pengertian dan pemahaman kepentingan masing-masing pihak, agar dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik sebagai prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang mungkin bertentangan.

Dengan jalan demikian maka kita akan dapat mengembangkan usaha-usaha rekonsiliasi bagi masyarakat yang mengalami konflik. Sebagaimana dikatakan oleh Archbishop Desmond Tutu dan mantan Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan, "without forgiveness there is no future for South Africa," artinya "tanpa adanya pengampunan, maka tidak ada masa depan bagi Afrika Selatan." Oleh karena itu, Afrika Selatan mengembangkan model

rekonsiliasi nasional dengan menerapkan dan melaksanakan undang-undang tentang Rekonsiliasi Nasional melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission - disingkat TRC).

Rekonsiliasi model Afrika Selatan ini perlu kita pelajari lebih baik dan mendalam, kita lihat apa kesamaan-kesamaan situasi antara Indonesia dengan Afrika Selatan yang dapat mendukung pelaksanaan rekonsiliasi nasional di Indonesia. Demikian juga perbedaan-perbedaan yang ada di antara Republik Indonesia dengan Republik Afrika Selatan yang mungkin menghambat atau yang menghalangi penerapan model ini di Indonesia. Saya yakin bahwa kita pun di Indonesia perlu memakai prinsip "pengampunan" seperti dianjurkan oleh Nelson Mandela dan Desmond Tutu di Afrika Selatan

Namun demikian langkah rekonsiliasi nasional itu harus juga menerapkan prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pedoman dalam membangun masyarakat Indonesia yang baru. Prinsip pokok atau prinsip utama, yang dapat juga kita sebut sebagai prima norma adalah "kemanusiaan yang adil dan beradab."

(16)

kliping

ELSAM

Mereka juga mengharapkan untuk diperlakukan dengan adil dan dihargai harkat dan martabat kemanusiaan mereka sama dengan warga negara lain di Indonesia. Kalau demikian maka bahaya disintegrasi bangsa akan semakin hilang dan akan lenyap dari bumi pertiwi.

Rekonsiliasi nasional model Afrika Selatan ini diterapkan Pemerintah Demokrasi Kulit Hitam (ANC) setelah tokoh-tokoh politik mereka mempelajari berbagai macam model rekonsiliasi di lain-lain negara. Mereka menolak model Jerman setelah Perang Dunia II, yaitu dengan melaksanakan pengadilan kejahatan perang (Nurenberg), yang menerapkan punitive justice atau "keadilan dengan penghukuman." Sebab baik Presiden Nelson Mandela maupun Ketua TRC Archbishop Desmond Tutu percaya bahwa "without forgiveness there is no future for South Africa." Dikhawatirkan akan terjadi balas membalas yang tiada habisnya.

Menolak

Mereka juga menolak rekonsiliasi nasional model Chili, yang menerapkan kebijakan blanket amnesty atau "pengampunan total" tanpa proses pengadilan sama sekali, karena hal ini menyebabkan impunity dan menyalahi prinsip keadilan. Perlu kita pahami bahwa masalah rekonsiliasi nasional di negara-negara itu khusus menyangkut pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh penguasa (pejabat negara) terhadap warga masyarakatnya. Persoalan di Indonesia tentu lebih kompleks. Banyak terjadi konflik-konflik nasional dalam sejarah kita. Kapan atau pada titik peristiwa sejarah yang mana kita mau mengadakan rekonsiliasi nasional itu? Apakah rekonsiliasi ini hanya menyangkut masalah pelanggaran HAM dan masalah politik saja?

Bagi saya, kita di Indonesia, tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah rekonsiliasi nasional hanya dengan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Kita perlu juga menyelesaikan masalah KKN secara nasional, dan mungkin melalui proses semacam TRC, atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetapi khusus untuk

menyelesaikan masalah korupsi dalam rangka rekonsiliasi nasional itu. Komisi sedemikian perlu mendapat kewenangan melalui undang-undang untuk memberi amnesti kepada siapa saja yang mengaku telah melakukan korupsi dengan terus-terang dan dengan jujur dan benar, serta bersedia mengembalikan sebagian besar hasil korupsinya ini untuk diserahkan kembali kepada negara.

Sebagai imbalannya maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dapat memberikan amnesti penuh. Sebaliknya, bagi mereka yang selama masa kerja Komisi Kebenaran dan Korupsi ini (mungkin selama 3 atau 4 tahun) tidak mau tampil dan mengakui tindak korupsi mereka di depan Komisi ini, akan dapat dikenakan tuduhan korupsi dan dituntut di muka pengadilan, dan harus membuktikan bahwa harta kekayaannya itu diperoleh secara sah atau legal, dan bukan karena hasil korupsi dan kolusi. Jadi diterapkan pembuktian terbalik. Si tersangka koruptorlah yang harus membuktikan bahwa harta bendanya di dapat dengan jalan legal dan bukan karena korupsi atau kolusi.

Apabila tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya di dapat secara legal, dan bukan karena korupsi, maka yang bersangkutan akan mendapat hukuman seberat-beratnya, misalnya penjara 20 tahun atau penjara seumur hidup atau bahkan dapat dikenakan hukuman mati dan/atau harta bendanya dirampas untuk negara. Semua ini harus dilakukan berdasar undang-undang yang perlu dibuat terlebih dahulu. Dalam hal ini memang diperlukan langkah yang berani dan drastis untuk dapat memberantas penyakit korupsi yang telah menyebar luas bagaikan kanker pada stadium akhir.

Apabila hal ini dapat dilaksanakan, maka dana hasil pengembalian korupsi ini dapat dipakai oleh negara (Pemerintah) untuk membayar lunas semua utang luar negeri maupun dalam negeri, dan dapat dipakai untuk menggerakkan dan meningkatkan pembangunan nasional, memperbaiki perekonomian bangsa dan menggairahkan lagi investasi baik dalam negeri maupun luar negeri. Hasilnya akan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Koruptor akan dapat hidup tanpa dibebani rasa salah secara moral/agama karena telah mendapat amnesti secara formal, dan masih dapat hidup dengan cukup, meskipun tidak berkelebihan. Koruptor yang membandel akan dapat hukuman yang setimpal beratnya.

Dengan demikian diharapkan ada perubahan mendasar dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rekonsiliasi nasional juga akan dapat dikembangkan dan dapat diharapkan lebih berhasil, kalau secara ekonomi juga dikembangkan keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

(17)

kliping

ELSAM

Media Indonesia, Jumat, 14 Februari 2003

RI Jadi Model Rekonsiliasi

JAKARTA (Media): The International Islamic-Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis di London, menjadikan Indonesia sebagai model bagi upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi dalam konflik antarumat beragama.

Ketua Dewan Eksekutif IICORR (Organisasi Islam-Kristen Internasional untuk Perukunan dan Pembangunan Kembali) The Baroness Cox of Queenburry dalam peluncuran LSM itu di Jakarta, kemarin, menyatakan upaya menjadikan Indonesia sebagai model tersebut merupakan salah satu pertimbangan diluncurkannya IICORR di Indonesia.

"Meski berbasis di London, IICORR diluncurkan di Indonesia karena pentingnya Indonesia di komunitas

internasional," kata The Baroness Cox of Queenburry dalam acara yang juga dihadiri Presiden Kehormatan IICORR Abdurrahman Wahid.

Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara, selain Sudan dan Nigeria, yang berpengalaman memiliki kehidupan harmonis antarumat beragama dalam waktu yang lama, namun pada tahun-tahun belakangan mengalami konflik antarumat beragama.

Namun, dalam konflik yang terjadi di Indonesia, IICORR mencatat keinginan yang kuat dari kedua pihak yang berselisih untuk mengakhiri pertikaian dan kembali membangun kehidupan yang damai seperti semula.

Abdurrahman Wahid dalam kesempatan itu menyatakan IICORR akan mengupayakan bantuan dana internasional bagi upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi di Ambon, Maluku, dan Poso. "Terutama untuk merehabilitasi tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah, dan sarana umum lainnya," kata Wahid yang akrab disapa Gus Dur.

IICORR sendiri didirikan untuk mengampanyekan hubungan yang harmonis di antara komunitas Islam dan Kristen di seluruh dunia, terutama di kawasan yang dilanda konflik antarumat beragama.

Program IICORR antara lain memberi bantuan kemanusiaan pada korban konflik, mendukung suara-suara moderat dari pihak-pihak yang bertikai, membantu merehabilitasi sarana ibadah, pendidikan, sarana umum lainnya, serta memfasilitasi penempatan kembali orang-orang yang terpisah akibat konflik ke komunitasnya.

Rasa dendam

Sementara itu, Rois Syuriah PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, keberadaan kelompok Islam radikal di Indonesia atau sering dikenal dengan sebutan 'Islam keras' tidak terlepas dari rasa dendam yang dalam atas perlakuan yang pernah dialami mereka selama ini.

"Selain faktor dendam politik, juga ada faktor ketidakadilan dan kesenjangan sosial," katanya dalam acara Kongres Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) di Mataram, kemarin.

Ia menjelaskan, menilik latar belakang para pelaku peledakan bom di Bali, terlihat bahwa kondisi kehidupan sosial mereka sangat minimal.

"Kondisi hidup yang kurang tersebut membuat mereka dan keluarganya mudah terpengaruh dan terpancing untuk terlibat dalam kelompok Islam keras tersebut," katanya.

Ia mengatakan, kalau kehidupan mereka cukup baik, tentunya keluarga itu tidak akan terjerumus melakukan tindakan yang sangat ditentang agama Islam. "Saat ini terdapat sejumlah kelompok yang memahami Islam secara tidak benar, dan tidak mempelajari kandungan Alquran secara benar."

(18)

kliping

ELSAM

Kompas, Jumat, 14 Maret 2003

Menkeh dan HAM:Jangan Selesaikan Masa Lalu dengan Dendam

Jakarta, Kompas - Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, saat ini hampir semua orang lebih memilih melampiaskan dendam akibat peristiwa masa lampau. Bila terus dibiarkan, hal itu menjadi kurang bagus buat negara dan masa depan bangsa Indonesia.

"Kita harus menuntaskan masalah masa lalu yang belum selesai. Tetapi kalau kita selalu diliputi dendam dan tidak pernah memikirkan langkah maju di masa depan, serta melupakan kesalahan di masa silam, itu kurang bagus buat bangsa ini. Kita harus mengambil pelajaran dari proses rekonsiliasi di Afrika Selatan," kata Yusril usai pertemuan dengan Menteri Kehakiman Afrika Selatan (Afsel) Panuell Mpapa Maduna di Jakarta, Kamis (13/3).

Menurut Yusril, proses rekonsiliasi di Afsel merupakan contoh baik untuk ditiru Indonesia. Meski sampai saat ini rekonsiliasi di negara itu berjalan rumit dan belum selesai, namun pengalaman rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan kulit putih sudah menunjukkan kemajuan luar biasa.

"Rekonsiliasi antarsesama mereka penting dijadikan bahan yang akan kita hadapi di sini, terutama tentang konflik etnik yang masih berlangsung. Kita bisa belajar dari jiwa besar mantan Presiden Afsel Nelson Mandela, walau dia disiksa selama 27 tahun di penjara, tapi setelah apartheid bubar mereka lupakan dendam dan mencoba membangun Afsel baru. Penduduk mereka kini memiliki hak yang sama," kata Yusril.

Panuell menambahkan, Afsel dan Indonesia sebenarnya masih sama-sama belajar sebagai dua negara yang masih baru berkembang.

Dia mengakui pertemuan dengan Yusril untuk membicarakan persoalan hukum dan HAM masih sangat singkat. Namun, dia berjanji untuk bekerja sama dalam banyak hal, terutama untuk menghadapi permasalahan di masa mendatang.

Yusril mengatakan, pertemuannya dengan pihak Afsel akan dilakukan secara intensif selama Panuell masih di Jakarta. Pada Kamis malam mereka melakukan diskusi membahas berbagai persoalan hukum.

(19)

kliping

ELSAM

Media Indonesia, Jumat, 14 Maret 2003

Rekonsiliasi Kultural Islam dan Budaya Lokal

M Khoirul Muqtafa, Koordinator Piramida Circle Jakarta

TULISAN Khamami Zada dengan tajuk 'Menggagas Islam Pribumi' yang dimuat Harian Media Indonesia awal bulan lalu (7/2) menarik untuk dikaji kembali. Dalam tulisan tersebut, Khamami menawarkan 'Islam Pribumi' sebagai alternatif baru gerakan Islam. Islam Pribumi ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam yang telah memberangus budaya lokal dengan dalih bidah serta menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.

Sebagai jawaban dari Islam otentik, Islam Pribumi mengandaikan tiga hal, demikian Khamami. Pertama, Islam Pribumi memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Kedua, Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, Islam Pribumi memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab berbagai problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.

Tulisan berikut bermaksud ikut urun rembuk diskusi tentang Islam Pribumi. Utamanya dalam konteks relasi agama dan budaya lokal sebagai titik tolak Islam Pribumi.

Signifikansi

Relasi agama (Islam) dan budaya lokal memang meyisakan tarik ulur persoalan yang kerap memancing ketegangan. Di satu sisi budaya lokal dianggap tak lebih sebagai 'parasit' bagi agama dan karenanya harus disingkirkan. Di saat yang sama agama pun dianggap sebagai 'momok' bagi budaya lokal yang siap mengancam dan memberangus eksistensinya. Agama dan budaya lokal kemudian ter(di)posisikan secara oposisi biner dan konfrontatif. Yang pertama, bersifat normatif dan yang kedua berbasis faktual. Yang pertama ranah yang didambakan dan, yang kedua, ranah aktualitas dan karenanya tak didambakan. Yang pertama enak didengar dan indah dimeditasi sedangkan yang kedua menyakitkan untuk dipandang dan mengerikan untuk diperkirakan. Tak pelak, budaya lokal semakin tidak mendapatkan tempat di ruang publik.

Nah, pada aras demikian, Islam Pribumi akan menemukan signifikansinya. Islam Pribumi hadir untuk

menyelesaikan persoalan dikotomis antara agama dan budaya lokal. Agama dan budaya lokal dipandang sebagai dua kekuatan yang menyatu dalam realitas sosial. Agama sebagai ajaran transendental atau --meminjam istilah Peter L Berger--ajaran-- langit mampu bersentuhan dan dipahami oleh umat manusia ketika ia mampu membumikan dirinya dalam realitas kultural. Dan, pada titik ini sebenarnya kebudayaan merupakan media yang menjembatani antara realitas langit (transendental) dengan realitas bumi.

Islam Pribumi juga bukan sinkretisme sebagaimana tecermin dalam tulisan Akh Muzakki ('Menakar Islam Pribumi', MI, 21/2). Karena ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman teks. Sedangkan sinkretisme sendiri adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam.

Menuju rekonsiliasi

Lebih jauh, Islam Pribumi akan menemukan bentuknya dalam rekonsiliasi kultural. Yakni rekonsiliasi yang mempertimbangkan hak-hak kultural masyarakat lokal. Terutama menyangkut relasi agama dan budaya lokal. Nah, sampai di sini persoalan orisinalitas dan otentisitas memang selayaknya ditinjau dan dibincangkan kembali. Dalam Islam, apakah yang menjadi rujukan dari otentisitas dan orisinalitas adalah Islam yang ada di Mekah yang disebut sebagai pusat (centrum). Sedangkan yang lain diposisikan sebagai marjin (periferi) dan harus nurut yang di

sentrum? Apakah ini juga berarti bahwa agama yang sudah 'terkontaminasi' oleh berbagai bentuk budaya lokal, yang tidak seratus persen seperti yang ada di centrum adalah kurang absah dan sudah menyimpang?

(20)

agama-kliping

ELSAM

agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Simak saja, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan drama politik biasa --seperti terbunuhnya Sayidina Hussein di tangan anak buah Yazid, yakni Muslim bin Aqil, di Kota Karballa-- kadang-kadang diangkat sebagai peristiwa agama yang diperingati setiap 10 Muharam (Abdurrahman Wahid, 2001). Karenanya 'orisinal dan otentik' mesti didekonstruksi dan dimaknai kembali secara lebih arif sesuai dengan kondisi yang melingkupinya sehingga keberadaan agama tidak akan menimbulkan ancaman bagi yang lain.

Rekonsiliasi kultural ini memungkinkan upaya untuk saling menopang dan melestarikan antara agama dan budaya lokal. Proses rekonsiliasi ini tidak berjalan secara 'koeksistensi' melainkan 'proeksistensi' yang terjelmakan ke dalam tindakan dan aksi-aksi yang jelas dalam kehidupan sehari-hari sehingga kolaborasi keduanya menjadikannya lebih acceptable dalam masyarakat.

Memosisikan agama sebagai sesuatu yang ideal, universal, dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin, sering melupakan kenyataan bahwa agama mengalami apa yang disebut Weber 'sistemisasi dan rasionalisasi': seolah-olah agama sama sekali tidak memunyai asal-usul sosial dan kulturalnya yang dengan demikian sisi-sisi manusiawinya. Jika demikian, maka apa yang saat ini sebagai agama, sakral, bukan mustahil ia semula hanyalah 'kebudayaan' yang telah menempuh perjalanan historis dan sosiologis sedemikian rupa, sehingga ia lalu masuk ke dalam ranah 'agama'. Maka sebenarnya, agama dan kebudayaan tidak berada di aras yang berbeda, tetapi keduanya berada di dalam ruang pengalaman manusia.

(21)

kliping

ELSAM

Kompas, Senin, 17 Maret 2003

Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Legitimasi bagi Demokrasi

Jakarta, Kompas - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu sama sekali bukanlah pelampiasan dendam sebagian masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah prasyarat dan tanggung jawab negara dalam menjalani transisi dan mengonsolidasikan demokrasi, sekaligus memberi legitimasi pada rezim baru pemerintahan.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim dan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Johnson Panjaitan secara terpisah di Jakarta, Sabtu (15/3). Keduanya menanggapi pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang

menyayangkan banyak kalangan yang memilih melampiaskan dendam atas berbagai peristiwa di masa lalu. Menurut Yusril, jika itu terus dilakukan, tidak bagus bagi upaya rekonsiliasi nasional (Kompas, 14/3).

Ifdhal mengemukakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu syarat untuk menuju demokrasi dan memastikan terjadinya konsolidasi demokrasi.

Pada rezim lalu telah terjadi pengabaian terhadap HAM dan hukum. Padahal, tegaknya hukum merupakan salah satu elemen penting hukum.

Pengungkapan kebenaran masa lalu sekaligus akan memulihkan relasi sosial antarkelompok masyarakat. Ifdhal menyebut contoh kelompok masyarakat bekas tahanan politik G30S/PKI yang berhadapan dengan kelompok lain. "Relasi sosial ini harus dipulihkan. Caranya dengan pengungkapan kebenaran. Ini bukan balas dendam. Tanpa penyelesaian terhadap masa lalu, legitimasi rezim baru akan terus dipertanyakan," katanya.

Masalah masa lalu, menurut Ifdhal, tak bisa dilupakan begitu saja. Masalah masa lalu justru harus selalu diingat. "Upaya melupakan masa lalu hanya akan menyimpan bom waktu. Katakan sebuah partai mencalonkan seseorang yang terlibat pelanggaran HAM masa lalu, maka ketika orang itu muncul, tentunya akan dipersoalkan," ujar Ifdhal. Dari perspektif korban, menurut Ifdhal, harus disadari ada hak korban untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth) dan hak untuk mendapatkan rehabilitasi.

"Korban Tanjung Priok punya hak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam peristiwa 12 September 1984. Korban kasus 27 Juli juga mempunyai hak untuk mengetahui siapa dan bagaimana sebenarnya kasus 27 Juli dan siapa yang harus bertanggung jawab," kata Ifdhal.

Menurut Ifdhal, pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu tidak melulu melalui jalan penghukuman. "Mekanisme paling relevan dan ikut memberi andil pada proses menjaga stabilitas rezim baru adalah mekanisme Komisi

Kebenaran. Itu bukan lembaga yudisial dan tak bisa dipertentangkan dengan pengadilan," ujarnya.

Komisi Kebenaran inilah yang mempunyai tugas untuk mengungkapkan kejadian masa lalu dalam sebuah periode waktu, bukan kasus per kasus. "Bahwa dalam proses pengungkapan kebenaran itu ada orang yang harus diproses hukum, itu soal lain," kata dia.

Distribusi keadilan

Adapun Johnson Panjaitan melihat pernyataan Yusril lebih terasa sebagai reaksi panik pemerintah dalam menjawab tuntutan masyarakat akan penegakan hukum dan HAM.

"Menteri Kehakiman dan HAM harusnya jujur dan tidak menutup-nutupi bahwa yang masih terjadi dan akan terus terjadi secara sistematis adalah setting pengingkaran distribusi keadilan terhadap korban pelanggaran HAM di masa lampau," ujar Panjaitan.

Panjaitan mengatakan, yang terjadi sejak 1998 hingga sekarang adalah perebutan kekuasaan dan beralihnya kekuasaan dari satu pemerintahan yang korup kepada pemerintahan yang tidak kalah korupnya.

Akibatnya, distribusi keadilan di masa transisi tidak memiliki desain komprehensif sesuai dengan tuntutan masyarakat.

(22)

kliping

ELSAM

Suara Pembaruan, Senin 17 Maret 2003

Indonesia Perlu Tiru Rekonsiliasi Afrika Selatan

JAKARTA - Pengalaman rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan sesudah runtuhnya rezim aparteid patut ditiru oleh Indonesia, khususnya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu penting untuk menghilangkan naluri balas dendam. Karena balas dendam akan menghambat pembangunan Indonesia di masa mendatang.

Hal itu ditegaskan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan usai bertemu dengan Menteri Kehakiman Afrika Selatan Panuell Mpapa Maduna di kantor Departemen Kehakiman dan HAM, Jalan Rasuna Said, Jakarta, pekan lalu.

"Pengalaman rekonsiliasi antara warga kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan setelah runtuhnya rejim apartheid menjadi pengalaman berharga untuk menyelesaikan berbagai persoalan etnik yang terjadi di Indonesia," tegas Yusril.

Menurut Yusril, proses rekonsiliasi yang berhasil dilaksanakan di Afrika Selatan membuat negeri itu bisa ditata menuju Afrika Selatan yang lebih maju. (A-21)

(23)

kliping

ELSAM

Kompas, Selasa, 18 Maret 2003

RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Masih Tertahan di Presiden

Jakarta, Kompas - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu lewat jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dipastikan belum akan terwujud dalam waktu dekat. Sebab, naskah akademis atau draf Rancangan Undang-Undang KKR yang sudah diselesaikan Departemen Kehakiman dan HAM sejak enam bulan lalu masih terus tertahan di Presiden.

Demikian disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Senin (17/3), usai seminar tentang Transitional Justice yang juga menghadirkan narasumber Menteri Kehakiman Afrika Selatan Panuell Mpapa (PM) Maduna.

"Pada sisi saya tidak ada ganjalan, draf sudah diserahkan ke Presiden. Saya tak tahu mengapa belum ditandatangani. Kalaupun ada yang kurang, harusnya Sekretariat Negara memberi tahu," katanya.

KKR adalah sebuah penyelesaian di luar jalur hukum untuk pelanggaran HAM masa lalu. Sedangkan penyelesaian jalur hukum dilakukan lewat Pengadilan HAM Ad Hoc seperti kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Kehadiran KKR adalah perintah UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun setelah dua setengah tahun UU itu berlaku, KKR belum juga terbentuk.

Berdasarkan informasi yang beredar, Presiden enggan membawa draf RUU KKR ke DPR karena masalah

kompensasi dan rehabilitasi korban. Bila KKR diwujudkan, dana kompensasi akan memberatkan keuangan negara. Menurut Yusril, kalaupun masalah dana menjadi ganjalan, jalan keluarnya harus tetap dicari.

PM Maduna menambahkan, KKR di Afrika Selatan, kompensasi tidak dilakukan secara langsung, tapi lebih banyak disalurkan untuk komunitas misalnya pendidikan, kesehatan, dan perumahan para korban.

Korban apartheid di Afrika Selatan ada dua kelompok. Dari sudut pandang luas, seluruh warga kulit hitam adalah korban. Sedangkan pandangan lebih kecil adalah korban langsung. "Untuk penyelesaian pelanggaran berat HAM langsung, kami mengutamakan pendekatan komprehensif. Uang bukan yang utama," kata Maduna.

Yusril mengungkapkan, obyek RUU KKR lebih diutamakan pada kejadian yang melibatkan orang banyak dan merupakan bagian dari sejarah bangsa. Kebenaran harus diungkap apa adanya, tapi pihak yang terkait sepakat saling memaafkan.

"Misalnya masalah Partai Komunis Indonesia. Sekarang ini seolah-olah PKI hanya menjadi korban pemerintah Orde Baru. Padahal, sewaktu PKI kuat, banyak juga korban dari Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Makanya lebih saling memaafkan, "ujar Yusril.

(24)

kliping

ELSAM

Republika, Selasa, 18 Maret 2003

RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Belum Ditandatangani

JAKARTA -- Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Hak Asasi Manusia yang telah diajukannya kepada presiden. Menurutnya, dia sudah mengirimkan RUU itu sejak enam bulan silam dan hingga kini presiden belum juga menandatanganinya.

"Jika memang ada masalah dengan RUU itu, seharusnya sekretariat negara (Setneg) memberi tahu dan kita

diskusikan bersama," ujarnya seusai berbicara dalam seminar tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Jakarta, Senin (17/3).

Di luar masalah birokrasi itu, menurut Yusril, juga perlu dipikirkan hal lain yang masih berpotensi menjadi hambatan. Dia menyebut salah satunya menyangkut dana kompensasi untuk korban pelanggaran HAM.

Saat soal dana ini muncul ke permukaan, dia memaparkan, belum-belum sudah ada suatu tuntutan dari suatu kelompok yang menyatakan diri sebagai korban kekejaman Westerling (pimpinan tentara Belanda, KNIL) di masa silam.

Soal lain yang masih menjadi ganjalan adalah kesiapan masyarakat Indonesia dengan ide rekonsiliasi itu sendiri. Dia menyebut sepertinya orang Indonesia masih sulit melakukan rekonsiliasi. Dia lalu mengambil contoh perseteruan antara sebagian kelompok Islam dan mantan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), yang hingga kini tidak kunjung usai.

Karena itu pula, saat ditanya model rekonsiliasi seperti apa yang hendak dianut Indonesia, dia mengaku tidak bisa memastikannya. Setiap model mempunyai nilai lebih dan kurangnya, atau dengan kata lain tidak semuanya cocok untuk Indonesia.

Menurutnya, Afrika Selatan sendiri yang selama ini dikenal sukses melaksanakan rekonsiliasi sebenarnya masih menghadapi banyak ganjalan. Dia menyebut salah satu contohnya yaitu masih berlangsungnya penyerobotan tanah milik orang kulit putih oleh orang kulit hitam.

"Untuk Indonesia, mungkin dapat menerapkan model ajaran Islam yaitu islah," lanjut Yusril.Di tempat yang sama, Menteri Kehakiman dan Pembinaan Konstitusi Afrika Selatan, PM Maduna, mengakui sulit penerapan rekonsiliasi itu.

Menurutnya, masih sulit meyakinkan sebagian warganya tentang pentingnya rekonsiliasi dan membangun masa depan daripada tuntutan kompensasi. Selain itu, lanjutnya, sentimen rasial masih kental di antara warga yang saling berbeda warna kulit. "Semua itu menghabiskan waktu, daya, dan tenaga," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyatakan Indonesia bisa belajar banyak dari pengalaman Afrika Selatan. Terlepas dari permasalahan yang mungkin masih ada di negeri Nelson Mandela itu, menurutnya, Afrika Selatan masih lebih maju dari Indonesia.

Salah satu penyebabnya, dia menyebut adanya niat baik pemerintah setempat untuk mengakhiri dendam kesumat antara warganya dan membangun negeri itu bersama-sama.

Abdul Hakim juga menyebut soal produk politik yang juga menunjang dilakukannya rekonsiliasi di negara itu.

Dia mengatakan selain ada figur pemimpin yang sangat disegani dan berwibawa di antara para warga yang plural, juga tersedia perangkat hukum yang memungkinkan dilakukannya rekonsiliasi dan mengakhiri pelanggaran HAM dan tindakan balas dendam atas perkara masa lalu.

(25)

kliping

ELSAM

Indonesia Pengadilan HAM pertama di dunia berdiri. Terlepas dari beberapa keputusan yang dihasilkan tidak memuaskan, Indonesia, menurutnya, masih lebih maju dari negara lain termasuk Amerika Serikat.

(26)

kliping

ELSAM

The Jakarta Post, March 18, 2003

Reconciliation bill held up in state secretary: Yusril

Muninggar Sri Saraswati, The Jakarta Post, Jakarta

An expected truth and reconciliation commission that would deal with the country's past human rights abuses out of court will not be established in the near future, an official has announced.

Minister of Justice and Human Rights Yusril Ihza Mahendra said on Monday that the bill on a truth and

reconciliation commission, which had supposedly reached the House of Representatives for deliberation, was stuck at the State Secretariat.

"I sent the bill six months ago. It was supposed to be deliberated by the House, but the State Secretary has not informed me if there is something wrong," he told reporters after a seminar on Transnational Justice, the Past Experiences of South Africa and Indonesia.

"Perhaps it has something to do with the several articles on compensation," Yusril said when asked about the reasons behind the bill's suspension.

He disclosed that some of the articles in the bill stipulate that the state has to compensate the victims of human rights violations in the past and that the perpetrators were to be granted amnesty.

"The State Secretary has to be wary if the government pays out compensation to millions of victims. But the draft does not specifically mention the amount of compensation as that is to be determined by the government," he said, adding that the government should have issued a special regulation about the compensation issue.

Yusril said that according to the bill, the establishment of the commission was mandatory in a bid to reconcile both sides in human rights cases, including the alleged mass killing during the 1965 coup by the banned Indonesian Communist Party (PKI).

"We are talking about an out-of-court settlement in a bid to reveal the real history here, no matter how painful it is. We all have to be able to forgive, otherwise, we wouldn't be able to move into a better phase," he said.

The incident claimed millions of lives, including the supporters and those who opposed the PKI.

Indonesia started drafting the bill two years ago following the establishment of Law No. 26/1999 on human rights trials, which mandates the establishment of a truth and reconciliation commission as an alternative to the court system.

Several experts have conducted comparative studies in several countries, including South Africa, in a bid to draft the bill.

South African Justice and Constitutional Development Minister Panuelle Mpapa Maduna shared his country's experiences with the seminar's participants, saying that the most important thing was learning how to assist the victims of human rights abuses.

"If we're talking about compensating the victims, money is

Referensi

Dokumen terkait

Namun, Allah Swt tidak melakukan pemaksaan itu, sebab pemaksaan keimanan seperti itu mencerminkan sifat “ al- qudrah ” dan “ al-qahhâr ” (kekuasaan dan pemaksaan) bukan

Teknik pijat remas dilakukan dengan cara meremas tubuh anak. secara lembut menggunakan satu atau

Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Tinggi Sekolah Dasar se-Gugus IV Kecamatan Pengasih Tahun Ajaran 2011/2012..

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan oleh Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah memenuhi seluruh kewajiban yang

Kunci dan pembahasan soal ini bisa dilihat di www.zenius.net dengan memasukkan kode 2187 ke menu

• Landasan dasar Kewirausahaan diajarkan di Perguruan Tinggi:.

dalam bentuk tiga dimensi (3D) yang bertujuan untuk menyampaikan informasi ruang. secara menyeluruh dan

Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik, Editor: Joshita Djajadisastra.. Jakarta: Penerbit