BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Perkembangan Karet
Pada tahun 1493 Michele de Cuneo melakukan pelayaran ekspedisi ke Benua
Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua Baru”. Dalam perjalanan ini
ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah. Pohon-pohon itu hidup secara
liar di hutan-hutan pedalaman Amerika yang lebat. Orang-orang Amerika Asli
mengambil getah dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang
didapat kemudian dijadikan bola yang dipantul-pantulkan. Bola ini disukai
penduduk asli sebagai alat permainan. Penduduk Indian Amerika juga membuat
alas kaki dan tempat air dari getah tersebut.
Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman
Hevea. Hasil laporan Ekspedisi Peru ditulis dalam buku oleh Freshneau tahun
1749 dengan menyebut nama tersebut, Freshneau juga menyertakan gambar dari
tanaman tersebut. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1751, De La Condomine
membuat usulan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tanaman
Hevea ini.
Pengenalan pohon Hevea membuka langkah awal yang sangat pesat kearah
zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Cara pelukaan untuk
memperoleh getah karet memang jauh lebih efisien dari pada cara tebang
langsung. Lagi pula dengan cara ini tanaman karet bisa diambil getahnya
berkali-kali.
Pengetahuan di bidang botani tanaman karet juga berkembang. Pada tahun
1825 diterbitkan sebuah buku mengenai botani tanaman karet atau Hevea
Brasiliensis Muell Erg. Nama ini diperkenalkan karena tanaman Hevea yang
Setelah tahun 1839 dicapailah babak baru yang membuat karet sempat
menjadi primadona daerah-daerah perkebunan di beberapa negara tropis. Pada
tahun itu Charles Goodyear menemukan cara vulkanisir karet. Goodyear
mencampur karet dengan belerang dan kemudian dipanaskan pada suhu 120o
-130oC. Dengan cara vulkanisir ini semakin banyak sifat karet yang dapat
diketahui dan dimanfaatkan.
Berawal dari penemuan Charles Goodyear, karet mulai banyak dicari
orang untuk dibuat aneka barang keperluan. Cara vulkanisasi memungkinkan
orang untuk mengolah karet menjadi ban. Menurut beberapa literature, Alexander
Parkes ikut pula mengembangkan cara vulkanisasi. Sedangkan yang memiliki ide
atau pencetus gagasan dibuatnya ban adalah Dunlop pada tahun 1888 dan
kemudian dikembangkan oleh Goldrich (Tim Penulis PS, 1999).
2.2. Perkembangan Industri Karet Indonesia
Indonesia yang sejak sebelum Perang Dunia II hingga tahun 1965 merupakan
negara penghasil karet alam terbesar, pernah menganggap bahwa : “Rubber is de
kruk waarop wij drijven” (karet adalah gabus dimana kita berapung). Walaupun
sejak tahun 1957 kedudukan kita sebagai produsen nomor wahid direbut oleh
Malaysia hingga sekarang, predikat pentingnya karet bagi perekonomian
Indonesia masih tetap menonjol setelah komoditi migas dan kayu.
Sebagai tanaman yang banyak dibutuhkan untuk bahan industri, karet
banyak diusahakan mulai dari luasan kecil yang hanya beberapa puluh atau
ratusan meter persegi hingga mencapai luasan ribuan kilometer persegi.
Secara umum pengusahaan perkebunan karet di Indonesia dapat dibagi
dalam beberapa kelompok seperti dibawah ini :
1. Perkebunan besar negara atau yang diusahakan oleh pihak pemerintah,
biasanya oleh PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan).
2. Perkebunan besar yang diusahakan oleh swasta.
Kendatipun demikian, karet yang mampu menghidupi hampir 1,5 juta
penduduk ini boleh dikatakan sebagai tanaman rakyat karena lebih dari 80% areal
penanaman karet diusahakan oleh rakyat.
Selain industri karet alam, belakangan ini karet Indonesia mulai mengacu
pada karet sintetis. Meskipun sebenarnya Indonesia bukan negara penghasil
minyak bumi terpaksa mencoba mengembangkan produk karet sintetis, terutama
untuk jenis Syrene Butadien Rubber (SBR). Jenis ini dikembangkan untuk
mengimbangi peningkatan impor. SBR digunakan untuk industri ban, terutama
untuk lapisan luarnya. Produksi karet sintetis Indonesia masih berskala kecil.
Walaupun masih berskala kecil, tetapi industri perkaretan Indonesia saat ini sudah
semakin maju dan diproduksinya dua jenis karet yang laris di pasaran (Spillane, J.
J, 1989).
2.2.1. Sifat Kimia Karet
Hasil utama tanaman karet (Hevea Brasiliensis) adalah karet. Apabila hevea segar
dicentrifuge pada kecepatan 32000 putaran per meneit (rpm) selama 1 jam akan
terbentuk 4 fraksi yaitu:
1. Fraksi karet
Terdiri dari partikel-pertikel karet yang terbentuk bulat dengan diameter 0,05
– 3 mikron. Partikel karet diselubungi oleh lapisan pelindung yang terdiri dari
protein dan lipida dan berfungsi sebagai pemantap.
2. Fraksi frey wessling
Fraksi ini terdiri dari pertikel – partikel frey wessling yang dikemukakan oleh
Frey Wessling. Fraksi ini bewarna kuning karena mengandung karotenida.
3. Fraksi serum
Juga disebut fraksi C (centrifuge cerum) mengandung sebahagian komponen
4. Fraksi bawah
Terdiri dari partikel-partikel lutoid yang bersifat gelatin mengandung
senyawa nitrogen dan ion-ion kalsium serta magnesium (Omposunggu, 1987)
2.2.2. Sifat Fisika Karet
Sifat fisika karet mentah dapat dihubungkan dengan dua komponen yaitu
viskositas dan elastisitas yang bekerja secara serentak. Viskositas diperlukan
untuk mengukur ketahanan terhadap aliran (deformasi). Terjadinya aliran pada
karet yang disebabkan oleh adanya tekanan/ gaya disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1. Terlepasnya ikatan di dalam atau antara rantai pliisoprene seperti
terlepasnya benang-benang yag telah dirajut. Hal ini terjadi pada stress
yang rendah/kecil
2. Terlepasnya seluruh ikatan rantai poliisoprene dan satu monomer dengan
monomer yang lain saling tindih akan membentuk lingkungan yang
Kristal.
Dengan demikian komponen viskositas adalah irreversible dan dihitung
sebagai aliran dingin (cold flow) dari karet mentah, seedangkan elastisitas
mengukur energy yang segera dikembalikan oleh karet setelah diberikan input
energy kepadanya. Elastisitas menunjukkan jarak diantara ujung-ujung rantai
poliisoprene (Omposunggu,1987).
2.2.3. Karet Alam SIR 20
Karet alam SIR 20 berasal dari koagulan (lateks yang mudah menggumpal) atau
hasil olahan seperti lum, sit angin, getah keping, sisa dan lain-lain, yang diperoleh
dari perkebunan rakyat dengan asal bahan baku yang sama dengan koagulum.
Langkah-langkah dalam proses pengolahan karet alam SIR 20 yaitu
dengan pemilihan bahan baku yang baik, koagulum (lum mangkok, sleb, sit angin,
getah sisa, dll). Kemudian dilakukan pembersihan dan pencampuran. Proses
peremahan, pengemasan bandela (setiap bandela 33 kg atau 35 kg) dan karet alam
SIR 10 siap untuk diekspor (Ompusunggu, 1987).
2.3. Jenis Karet 2.3.1.Karet Alam
Karet alam atau karet mentah memiliki sifat fleksibel harganya relatif ringan tapi
daya sambung atau daya rekatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan karet
sintetis bila dibuat perekat. Karet alam tidak bisa dipakai untuk menyambung
plastik. Perekatnya yang dibuat dari karet alam ini tidak tahan terhadap bahan
pelarut, minyak, bahan oksidasi, dan sinar ultraviolet, mudah sekali rusak bila
terkena panas. Tahan terhadap panas pada suhu 35o-40oC sebelum divulkanisir.
Jika divulkanisir akan tahan terhadap panas 70oC.
Karet alam larut dengan baik pada pelarut hidrokarbon. Perekat ini
berguna untuk benda yang ringan seperti kain, karet busa. Mengelupas pada beban
3 kg/cm2 pada suhu kamar.Bila karet alam ini divulkanisir ia akan menjadi tahan
panas dan kekuatan mengelupas sampai 6 kg/m2. Salah satu keunggulan dari
solusi karet alam tidak beracun, pelarut yang dipakai tidak menyengat tajam
dihidung dan tidak mudah terbakar, viskositas dari solusi ini kira-kira 25%.
Kelemahan karet alam terletak pada keterbatasannya dalam memenuhi
kebutuhan pasar. Saat pasar membutuhkan pasokan tinggi para produsen karet
tidak bisa menggenjot produksinya dalam waktu singkat sehingga harganya
cenderung lebih tinggi (Setiawan, D. H dan Andoko, A,2008).
Karet alam larut sedikit demi sedikit dalam benzene. Akan tetapi bilamana
karet alam divulkanisasi, yakni dipanasi sedikit belerang (sekitar 20%) ia menjadi
bersambung silang dan terjadi perubahan yang luar biasa pada sifatnya. Karet
yang divulkanisasi bersifat “regas” ketika diregang yakni melunak karena
rantainya pecah-pecah dan kusut. Namun, karet yang tervulkanisasi jauh lebih
tahan renggang. Kelarutannya berkurang dengan semakin banyaknya sambung
silang dan bahan regang. Kelarutannya berkurang dengan semakin banyaknya
disimpan dalam pelarut. Struktur karet alam dan gutta perca dilihat pada gambar
2.1.
H3C H H3C CH2 n
C=C C=C
H2C CH2 n H2C H
Cis – 1,4 Poliisopren (Karet Alam) Trans – 1,4 Poliisopren (Gutta Perca)
Gambar 2.1. Struktur kimia karet alam dan Gutta Perca
Berat molekul karet alam rata-rata 10.000 – 40.000. Molekul-molekul
polimer karet alam tidak lurus tetapi melingkar seperti spiral dan ikatan –C-C di
dalam rantai berputar pada sumbunya sehingga memberikan sifat karet yang
fleksibel yaitu dapat ditarik, ditekan dan lentur. Semua jenis karet adalah polimer
tinggi dan mempunyai susunan kimia yang berbeda dan memungkinkan untuk
diubah menjadi bahan-bahan yang bersifat elastis.
Komposisi kimia lateks sangat cocok dan baik sebagai media tumbuh
berbagai mikroorganisme sehingga setelah penyadapan dan kontak langsung
dengan udara terbuka lateks akan segera dicemari oleh berbagai mikroba dan
kotoran lain yang berasal dari udara, peralatan, air hujan dan lain-lain. Mikroba
akan menguraikan kandungan protein dan karbohidrat lateks akan menjadi
asam-asam yang berantai molekul pendek sehingga dapat terjadi penurunan pH. Bila
penurunan pH mencapai 4,5 – 5,5 maka akan terjadi proses koagulasi.
Sifat-sifat mekanisme karet alam yang baik dapat digunakan untuk
berbagai keperluan umum, seperti sol sepatu atau bahan kendaraan. Ciri khusus
yang membedakan karet alam dengan karet benda lain adalah kelembutan,
fleksibel dan elastisitas. Komposisi lateks dipengaruhi oleh jenis tanaman, umur
Adapun kelebihan yang dimiliki karet alam dibandingkan dengan karet
sintetis yaitu :
1. Memiliki daya elastis atau daya lenting yang sempurna.
2. Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah.
3. Tidak mudah panas (low heat build up).
4. Mempunyai daya arus yang tinggi.
5. Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking
resitence).
Penggunaan karet alam dalam pembuatan barang-barang karet “nonban”
hanya terbatas pada barang-barang karet yang bukan oil-extended dan heat
resistence (tahan terhadap panas). Karet alam merupakan “general purpose
rubber” sebagaimana halnya karet sintetis jenis SBR (Styrene Butadiena Rubber),
lebih banyak digunakan untuk pembuatan ban kendaraan bermotor, khususnya
ban-ban berat (heavy duty tires) seperti ban pesawat terbang, truk dan bis yang
berat serta ban radial (Ompusunggu, M, 1987).
2.3.2. Jenis-jenis Karet Alam
Jenis karet alam yang dikenal luas adalah :
1. Bahan olah karet (lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan lump segar).
2. Karet bongkah (block rubber).
3. Karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes dan pale crepes, estate
brown crepes, compo crepes, thin brwon crepes remmils, thick blanket crepes
ambers, falt bark crepes, pure smoke blanket crepes dan off crepes).
4. Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber.
5. Karet siap olah atau tyre rubber (karet ban).
6. Karet reklim.
7. Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak berbentuk
lembaran atau padatan lainnya(Ompusunggu,M, 1987).
2.4. Lateks
Lateks adalah merupakan suatu sistem koloid dimana terdapat partikel karet yang
dari 25-45% hidrokarbon selebihnya merupakan bahan-bahan bukan karet.
Komposisi karet bervariasi tergantung dari jenis klon, umur tanaman, musim,
sistem deres dan kondisi tanah (Zahara, 2005).
Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas
yang baik. Cairan getah ini belum mengalami penggumpalan baik itu dengan
tambahan atau tanpa bahan pemantap (zat anti koagulan). Beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas lateks, diantaranya adalah :
1. Faktor dikebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon dan lain lain).
2. Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prokoagulasi, musim kemarau
keadaan lateks tidak stabil).
3. Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (yang baik
terbuat dari aluminium dan baja tahan karet).
4. Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak, jangka waktu).
5. Kualitas air dalam pengolahan.
6. Bahan-bahan kimia yang digunakan.
7. Komposisi lateks. (Setyamidjaja, D. 1993)
Lateks kebun yang baik memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Lateks disaring dengan saringan berukuran 40 mesh
2. Tidak terdapat kotoran atau benda lain seperti daun atau kayu
3. Tidak bercampur dengan bubur lateks, air ataupun serum lateks
4. Warna putih dan berbau karet segar
5. Lateks kebun bermutu 1 mempunyai kadar karet kering 28% dan lateks
kebun bermutu 2 mempunyai kadar karet kering 20%. (Tim Penulis
PS,1999)
Lateks mengandung bahan-bahan karet dan bahan-bahan bukan karet, adapun
komposisi lateks segar dan lateks kering secara garis besar dipaparkan pada tabel
Tabel 2.1. Komposisi lateks segar dari kebun dan karet kering
Komponen Komponen dalam
lateks segar (%)
Komponen dalam lateks kering (%)
Karet hidrokarbon 36 92 – 94
Protein 1.4 2.5 – 3.5
Karbohidrat 1.6 -
Lipida 16 2.5 – 3.2
Persenyawaan organic lain
0.4 -
Persenyawaan anorganik
0.5 0.1 – 0.5
Air 58.5 0.3-1.0
Sumber : Dipetik dan dikompilasi dari Morton, M. Rubber Technology. Edisi ke 3.New York : Van Nostrand Reinhold, 1987.
Komponen-komponen bukan karet didalam lateks sangat mempengaruhi
sifat lateks, diantaranya ada yang berakibat bagus tetapi ada juga yang berakibat
buruk terhadap lateks.
2.4.1.Elemen-Elemen Getah Karet
Getah karet merupakan cairan berbentuk koloid yang mengandung zar-zat seperti
lateks, tepung, lemak, protein dan lain-lain. Molekul-molekul karet pada siang
hari terbentuk di bagian daun tumbuhan karet, dan bila hari menjelang sore, getah
dikirim ke bagian kulit pohon dalam bentuk polimer. Proses pengambilan getah
karet dilakukan pada pukul 4 sampai 6 pagi hari, karena getah karet berkumpul
pada pagi hari.
Getah dari pohon Hevea Brasiliensis (lateks) dapat diperoleh sekitar 200 –
400 ml, dan selain mengandung isopren, ia juga mengandung bermacam-macam
Tabel 2.2. Elemen Getah Hevea Brasiliensis (Hussudur,2011)
Elemen Prosentase Kandungan Terhadap Getah (%)
Prosentase Kandungan Terdahap Karet Kering
(%)
Air 59,66 -
Elemen karet 35,62 88,28
Protein 2,03 5,04
Ion-ion logam 1,65 4,1
Abu 0,7 1,74
Glukosa 0,34 0,84
Komponen-komponen buka karet di dalam lateks sangat mempengaruhi sifat
lateks, diantaranya ada yang berakibat bagus tetapi ada juga yang berakibat buruk
terhadap lateks.
2.4.1.1.Protein
Kandungan protein yang terdapat dalam lateks segar berkisar antara 1,0-1,5%
(b/v) dan sebagian dari protein tersebut teradsorbsi pada partikel karet, dan
sebagian larut dalam serum. Protein yang teradsorbsi pada permukaan partikel
karet berfungsi sebagai lapisan pelindung, dimana protein akan memberikan
muatan negatif yang mengelilingi partikel karet sehingga mencegah terjadinya
interaksi antara sesama partikel karet.
Namun dengan adanya mikroorganisme maka rotein tersebut akan terurai
sehingga lapisan pelindung partikel karet akan rusak dan terjadilah interaksi
antara partikel karet membentuk flokulasi atau gumpalan.
2.4.1.2.Karboidrat
Karbohidrat yang terdapat dalam lateks adalah sukrosa, glukosa, galaktosa dan
fruktosa. Ini merupakan sumber energi dan media yang baik bagi pertumbuhan
Asam lemak ini menurunkan kemantapan mekanik dan pH lateks. Jika pH
sampai pada titikisoelektrik maka lateks menggumpal. Untuk menghindarkan
aktivitas mikroba biasanya ditambahkan bahan pengawet sepeti amonia, natrium
sulfit dan formaldehid (Ompusunggu,M, 1989).
2.4.1.3.Ion-ion Logam
Ion-ion logam seperti ca2+ dan Mg2+ yang terdapat di dalam lateks dapat
menetralkan muatan negatif dari partikel lateks dan menyebabkan terganggunya
kemantapan lateks serta rusaknya kestabilan sistem koloid lateks. Pecahnya
partikel koloid lateks akan menyebabkan terbentuknya flokulasi dan lateks
menggumpal. Oleh karena itu kandungan ion logam dari lateks sebaiknya rendah
karena selain dapat mengganggu kemantapan serta kestabilan sistem koloid lateks
(Ompusunggu,M, 1989).
2.4.2 Sistem Koloid Lateks
Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloid stabil, yaitu tidak terjadi flokulasi
atau penggumpalan selama penyimpanan. Kemantapan lateks disebabkan partikel
karet dikelilingi oleh lapisan pelindung yang terdiri dari protein dan fosfolipid
dalam air. Dengan menambahkan bahan pengawet primer yaitu amonia maka
fosfolipid akan terhidrasi menghasilkan asam lemak dan bereaksi dengan amonia
membentuk sabun amonia. Sabun ini diserap oleh partikel karet sehingga lateks
bertambah mantap selama penyimpanan. Disamping itu, protein juga terhidrolisis
membentuk polipeptida dan asam amino yang larut dalam air.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah sebagai
berikut:
1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air
(serum) misalnya asosiasi komponen-komponen bukan karet pada
permukaan partikel karet
2. Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri
Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang
pada lapisan luar (lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel
koloid.
Lapisan pelindung lipida, protein, dan lapisan sabun asam lemak tersebut
bertindak sebagai pelindung partikel karet dengan molekul air menghasilkan
sistem dispersi koloid yang mantap. Jika terjadi pembentukan gel, flokulasi, dan
koagulasi maka hal ini menunjukkan bahwa stabilitas koloid lateks terganggu atau
rusak (Ompusunggu,M, 1989).
2.4.3. Kestabilan Lateks
Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil, yaitu tidak terjadi
flokulasi ataupun penggumpalan selama penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kestabilan lateks tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fasa air
(serum), misalnya assosiasi komponen-komponen bukan karet pada
permukaan partikel-partikel karet.
2. Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri.
Faktor yang dapat menyebabkan sistem koloid partikel-partikel karet menjadi
tetap stabil, yaitu :
1. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi
gaya tolak menolak antara partikel karet tersebut.
2. Adanya interaksi antar molekul air dengan partikel karet, yang
menghalangi terjadinya penggabungan partikel-partikel karet tersebut.
3. Energi bebas antara permukaan partikel karet yang rendah.
Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang
teradsorpsi pada permukaan partikel karet (lapisan primer) dan lapisan protein
pada lapisan luar (lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel
koloid. Penambahan bahan pengawet amonia dan bahan pemantap amonium
Lapisan pelindung lipida, protein dan lapisan sabun asam lemak tersebut
bertindak sebagai pelindung partikel karet dengan molekul air menghasilkan
sistem dispersi koloid yang mantap.
Jika terjadi pembentukan gel, flokulasi dan koagulasi maka hal ini
menunjukan bahwa stabilitas koloid lateks terganggu atau rusak. Menurut
Blackley, stabilitas koloid dapat dirusak (destability) dengan cara sebagai berikut :
1. Menurunkan energi potensial partikel koloid lateks yaitu dengan cara :
a. Menurunkan kelarutan stabilizer dengan menambahkan penggumpalan
(coaservant)
b. Menetralkan muatan listrik dari partikel koloid lateks dengan
menambahkan ion-ion yang polaritasnya berlawanan dengan muatan
partikel koloid lateks tersebut.
c. Menambahkan zat yang dapat mengadsorpsi lapisan pelindung
partikel koloid (Colloidal stabilizer adsorpsed), sehingga disini terjadi
persaingan antara pengadsorpsi (Coaservant precipitates) dengan
partikel karet terhadap bahan pemantap.
2. Menaikkan energi kinetik partikel, dengan cara pengadukan (mechanical
stirring).
Menurut Van Dalften, jika energi kinetik partikel semakin naik dan gaya
tolak muatan antar partikel akan terlampaui sehingga daya tarik antar permukaan
semakin besar dan frekwensi tumbukan semakin tinggi mengakibatkan dua
partikel atau lebih jadi bersatu (coalesent) membentuk flokulat atau gumpalan
(Darussamin,dkk, 1985).
2.5. Penggumpalan Lateks
Prakoagulasi merupakan pembekuan pendahuluan tidak diinginkan yang
menghasilkan lump atau gumpalan-gumpalan pada cairan getah sadapan. Kejadian
seperti ini biasa terjadi ketika lateks berada di dalam tangki selama pengangkutan
menuju pabrik pengolahan. Hasil sadapan yang mengalami prakoagulasi hanya
dapat diolah menjadi karet dengan mutu rendah seperti karet remah jenis SIR 10
Prokoagulasi terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang terkandung
dalam lateks berkurang. Bagian-bagian koloidal ini kemudian menggumpal
menjadi satu dan membentuk komponen yang berukuran lebih besar. Komponen
koloidal yang lebih besar ini akan membeku. Inilah yang menyebabkan terjadinya
prokoagulasi (Tim Penulis PS, 1999).
Untuk mencegah prakoagulasi, pengawetan lateks kebun mutlak
diperlukan, terlebih jika jarak antara kebun dengan pabrik pengolahan cukup jauh.
Zat yang digunakan sebagai bahan pengawet disebut dengan zat antikoagulan.
Syarat zat antikoagulan adalah harus memiliki pH yang tinggi atau bersifat basa.
Ion OH- di dalam zat antikoagulan akan menetralkan ion H+ pada lateks, sehingga
kestabilannya dapat tetap terjaga dan tidak terjadi penggumpalan. Terdapat
beberapa jenis zat antikoagulan yang umumnya digunakan oleh perkebunan besar
atau perkebunan rakyat diantaranya adalah amoniak, soda atau natrium karbonat,
formaldehida serta natrium sulfit.
Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena hilangnya muatan -
muatan pada partikel karet, sehingga daya intereaksi antara karet dengan
pelindungnya menjadi hilang. Partikel karet yang telah lepas akan bergabung
membentuk gumpalan. Penggumpalan karet di dalam lateks kebun dapat
dilakukan denganpenurunan pH sampai mencapai titik isoelektrik, yakni kondisi
saat muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif sehingga
elektrokinetis potensial sama dengan nol (Sirait, 2007).
Lateks segar dengan pH 6,4 – 6,9 yang bermuatan negatif akan bermuatan
netral dengan penambahan asam hingga titik isoelektriknya pada ph sekitar 4,7 –
5,1 sehingga daya interaksi karet dengan pelindungnya menjadi hilang.
Selanjutnya partikel-partikel karet yang sudah bebas tersebut akan menyatu
membentuk gumpalan. Oleh karena itu, bahan koagulan harus merupakan
senyawa asam (Departemen Pertanian, 2007).
Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks
hasil penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan. Hal ini
bersentuhan dengannya. Selain dari kemungkinan terjadinya pengotoran lateks
oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran tersebut dapat pula
menyebabkan terjadinya prokoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks
sampai di pabrik untuk diolah.
Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan.
Dalam keadaan tertentu, pada saat penggumpalan lateks biasa juga menggunakan
obat anti koagulasi (anti koagulan) untuk mencegah terjadinya prokoagulasi. Akan
tetapi pemakaian anti koagulan ini harus dibatasi sampai batas sekecil-kecilnya,
karena biayanya cukup besar dan kadang-kadang lateks yang dibubuhi
antikoagulan memerlukan obat koagulan (misalnya asam semut) yang terpaksa
kadarnya harus dinaikkan. Penambahan asam yang berlebihan dalam proses
koagulasi juga dapat menghambat proses pengeringan (Setyamidjaja,D, 1993).
Penambahan larutan asam penggumpal dilakukan secara sekaligus dan pH
penggumpalan diusahakan sekitar titik isoelektrik lateks yakni pH 4.4 – 5.3 agar
didapat penggumpalan yang baik dan karet alam yang dihasilkan memiliki sifat
serta mutu yang baik pula (Safitri, 2009).
Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena tidak saling
berdekatannya muatan partikel karet, sehingga daya intereaksi karet dengan
pelindungnya menjadi hilang. Partikel karet yang sudah bebas akan bergabung
membentuk gumpalan. Penurunan muatan dapat terjadi karena penurunan pH
lateks. Penggumpalan karet didalam lateks kebun (pH±6,8) dapat dilakukan
dengan penambahan asam, dengan menurunkan pH hingga tercapai titik
isoelektrik yaitu pH dimana muatan positif protein seimbang dengan muatan
negatif sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol. Hubungan antara pH
Titik isoelektrik
Gambar 2.2. Hubungan pH dengan muatan listrik
Titik Isoelektrik
Titik Isoelektrik adalah suatu nilai pH dimana protein memiliki jumlah muatan
negatif yang sama dengan jumlah muatan positifnya, atau dengan kata lain protein
bermuatan netral atau tidak bermuatan. Pada nilai pH yang lebih rendah dari titik
isoelektriknya, protein memiliki muatan positif, dan pada nilai pH yang lebih
besar dari titik isoelektriknya, protein akan bermuatan negatif.
Nilai titik isoelektrik suatu protein memberikan pengaruh penting pada
sifat biokimia protein tersebut yang dapat dimanfaatkan pada proses pemurnian
dan elektroforesis. Pada elektroforesis, jika pH larutan penyangga (buffer) lebih
besar daripada titik isoelektriknya, maka molekul protein akan bermigrasi menuju
kutub positif. Sementara jika pH buffer lebih rendah daripada titik isoelektriknya,
maka molekul protein akan bermigrasi menuju kutub negatif. Dan jika pH buffer
sama dengan titik isoelektrik, maka protein akan diam di tempat atau tidak
bermigrasi sama sekali (Triyono, 2010).
Proses penggumpalan karet didalam lateks juga dapat terjadi secara
alamiah akibat kegiatan mikroba. Karbohidrat dan protein lateks menjadi sumber
energi bagi pertumbuhan mikroba dan diubah menjadi asam-asam lemak etiris
(asam formiat, asam asetat dan propionat). Semakin tinggi konsentrasi asam, pH
lateks akan semakin menurun dan setelah tercapai titik isoelektrik karet akan
menggumpal. Dalam pembuatan lump mangkok untuk bahan olah SIR 20 atau
SIR10 penggumpalan secara alamiah sering dilakukan. Lateks dibiarkan
menggumpal selama 24 jam, kemudian besok harinya dipungut. Lump mangkok
harus dideres setiap harinya, agar variasi mutu bahan olah lump tersebut tidak
terlalu besar (Shinzo, 2015).
2.6. Asam Formiat
Asam formiat adalah cairan tidak berwarna, berbau tajam, mudah larut dalam air,
alkohol dan eter. Asam formiat memiliki titik didih 100,80C dan titik lebur 8,40C.
Asam formiat terdapat dalam badan semut merah, dalam beberapa macam
tumbuh-tumbuhan dan dalam jumlah kecil juga terdapat dalam air keringat
manusia (Sanir, I, 1997).
Dalam industri asam formiat dibuat dari karbon monoksida dengan uap air
yang dialirkan melalui katalis (oksida-oksida logam pada suhu sekitar 2000C dan
tekanan besar). Asam formiat digunakan dalam industri lateks untuk
menggumpalkan lateks, industri tekstil, dan sebagai fungisida (Riawan, 1990)
2.7. Cermai Atau Cerme (Phyllanthus acidus)
Cermai, ceremai, cereme atau cerme adalah nama sejenis pohon dengan buahnya
sekali. Buah yang masam ini dikenal pula dengan nama-nama lain seperti
ceureumoe (Aceh), chermai (Mal.), karmay (Ilokano, Fil.), mayom (Thai.) dan
lain-lain. Dalam bahasa Inggris dinamai Otaheite gooseberry, Malay gooseberry
dan beberapa sebutan yang lain. Nama ilmiahnya adalah Phyllanthus acidus.
dan renggang. Sepintas, pohon cerme bukan tidak mirip dengan pohon
di rantingnya seperti daun majemuk menyirip.
Bunga-bunganya berkelamin tunggal atau ganda, merah, berbilangan 4,
keputihan menyerupai lilin, berdiameter hingga 2,5 cm, bergantungan sendiri atau
dalam untaian. Daging buah keputihan, masam dan banyak berair, di tengahnya
terdapat inti yang keras dengan 4-6 butir biji.Pohon cerme kerap ditanam sebagai
peneduh atau penghias halaman dan taman. Pohon ini dapat tumbuh di daerah
tropis dan subtropis. Cerme dapat dibiakkan melalui biji atau stek.
Pohon ini berasal dari India, dapat tumbuh pada tanah ringan sampai berat
dan tahan akan kekurangan atau kelebihan air. Ceremai banyak ditanam orang di
halaman, di ladang dan tempat lain sampai ketinggian 1.000 m dpl (Orwa Et Al,
2009).
Nilai Kandungan Gizi Buah Ceremai per 100 gram adalah Energi 28 Kkal,
Air 91,7 gr, Protein 0,7 gr, Karbohidrat 6,4 gr, Serat Kasar 0,6 gr, Kalsium 5 mg,
Fosfor 23 mg, Thiamin 0,4 mg, Riboflavin 0,05 mg, Asam askorbat 8 mg
(Budiyanto, 2010).
Asam Askorbat
Asam Askorbat (2,3-didehydro-L-threo- hexono-1,4-lactone) merupakan salah
satu senyawa dari kimia yang akan membentuk vitamin C. Asam askorbat ini
memiliki bentuk bubuk kristal dengan warna kuning yang keputihan. Bila terpapar
udara, warnanya perlahan-lahan menjadi lebih gelap. Dalam keadaaan kering,
stabil di udara, tetapi dalam larutan akan teroksidasi dengan cepat. Larut 1/3
bagian dalam air dan 1/40 bagian pada alkohol, tidak larut dalam kloroform, eter,
dan benzena. Senyawa kimia ini akan larut jika berada di dalam air serta senyawa
ini juga memiliki sifat dari antioksidan (Wahyudi, 2008).
Asam askorbat juga mempunyai peran yang sangat penting sebagai
koenzim dan pendonor elektron di dalam reaksi organik enzimatik dioksigenase
seperti hidroksilasi pada karnitina, EGF atau mono- dan di-oksigenasi pada
berbagai neuro transmiter dan sintesis hormon peptida, nor-adrenalin, kolesterol
dan asam amino, serta dimetil asihiston dan asam nukleat, dealkilasi oksidatif
DNA. Meningkatkan kualitas asam suksinat, asam malat dan gliserol 3-fosfat di
2.8. Pengujian Mutu Lateks
2.8.1. Uji PRI (Plasticity Retention Index)
Platicity Retention Index adalah nilai dari sifat plastisitas (keliatan/ kekenyalan)
karet yang mentah yang masih tersimpan bila karet dipanaskan selama 30 menit
pada temperatur 140o.
Nilai Plasticity Retention Index adalah persentase plasisitas karet setelah
dipanaskan dibandingkan plastisitas sebelum dipanaskan yang ditentukan dengan
alat Plastimeter Wallace, dengan persamaan:
PRI = ��
�� X 100 % . . . . (1)
dimana : Pa = Plastisitas karet sesudah dipanaskan selama 30 menit (setelah
pengusangan).
Po = Plastisitas karet sebelum dipanaskan (sebelum pengusangan).
(Kartowardoyo. 1980)
Tujuan pengujian PRI dilakukan untuk mengukur degrandasi atau
penurunan ketahanan karet mentah terhadap oksidasi pada suhu tinggi, nilai PRI
yang tinggi (lebih dari 80%) menunjukan bahwa nilai ketahanan karet terhadap
oksidasi adalah besar. Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap
molekul karet, yang akan berakhir dengan pemutusan ikatan rangkap
karbon-karbon sehingga panjang rantai polimer semakin pendek.
Terputusnya rantai polimer pada karet mengakibatkan sifat karet menjadi
rendah. Bila nilai PRI diketahui, dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet
mudah menjadi lunak atau lengket jika lama disimpan atau dipanaskan. Hal ini
berhubungan dengan vulkanisasi karet pada pembuatan barang jadi, agar
diperoleh sifat bahan jadi karet.
Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang
digunakan dan proses pengolahan crumb rubber. Terdapatnya nilai PRI yang
rendah, disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi pada karet. Faktor-faktor
a. Sinar Matahari
Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang menggiatkan terjadinya
oksidasi pada karet apabila bahan baku lateks dan koagulum tekena langsung oleh
sinar matahari, hal ini ditandai dengan mengeringnya kulit permukaan lateks dan
koagulum.
b. Pengenceran lateks dan Koagulum (penggumpalan)
Pengenceran lateks dengan penambahan air yang terlalu banyak dan perendaman
dengan air yang terlalu lama yang tujuannya untuk mencuci kotoran-kotoran yang
melekat pada koagulum. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat-zat nonkaret
didalam lateks seperti terlarutnya asam-asam amino yang berfungsi sebagai anti
oksidasi dan dapat juga berfungsi sebagai bahan pemacu cepat pada pembuatan
barang jadi karet yang selanjutnya menurunkan PRI pada karet.
c. Zat-zat pro-oksidasi (tembaga atau mangan)
Kandungan ion-ion logam seperti Cu, Mg, Mn, dan Ca berkolerasi dengan kadar
abu didalam analisa karet. Kadar abu diharapkan rendah karena sifat logam
tembaga (Cu) dan mangan (Mn) adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion
merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang
melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi
dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah.
d. Pengering karet
Penguraian molekul karet oleh reaksi oksidasi dapat pula terjadi bila karet
dikeringkan terlalu lama dan temperatur pengeringan yang dipakai adalah 127oC,
dengan waktu pengeringan 2 - 4 jam tergantung pada jenis alat pengeringan.
Nilai PRI akan turun bila terjadi ikatan silang (Storage Hardening)
didalam lateks kebun dan diantara butiran-butiran karet hasil pengeringan. Ikatan
silang terjadi pada pembentukan gel secara perlahan-lahan sehingga
butiran-butiran karet menjadi melendir dan lengket-lengket. Hal ini akan menyebabkan
plastisitas karet Po karet, maka akan merubah nilai PRI karet sehingga menjadi
e. Nilai Po
Plastisitas awal (Po) menggambarkan kekuatan karet. Kegagalan pemenuhan
syarat Po dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bahan baku yang telah
mengalami degradasi akibat perlakuan yang tidak tepat seperti perendaman dalam
air, penggunaan formalin sebagai pengawet lateks kebun dan umur bahan olah
yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan nilai Po.
Nilai Po rendah juga bisa disebabkan oleh pengeringan pada suhu terlalu
tinggi (lebih dari 1300 C) dalam waktu yang lama dan pengeringan ulang karet
yang kurang matang. Pemeraman dapat menyebabkan karet menjadi keras dengan
disertai peningkatan nilai viskositas atau Po, serta penurunan PRI.
Nilai Po crumb rubber juga dipengaruhi oleh karakter bahan baku, yaitu
lateks kebun. Jenis bahan penggumpal berpengaruh baik terhadap nilai Po maupun
ketahan karet terhadap pengusangan (PRI).
2.8.2.Kadar Abu (Ash Content)
Penentuan maksimal dari kadar abu dimaksudkan agar karet yang dijual tidak
kemasukan bahan bahan kimia dalam jumlah banyak. Dalam pengolahan karet
memang beberapa bahan kimia dipakai misalnya natrium bisulfit atau natrium
carbonat. Banyaknya abu lebih dari 1,5% menunjukkan bahwa pengujian kurang
bersih (Kartowiryo, S, 1970).
Abu dari karet memberikan sedikit gambaran mengenai jumlah bahan
mineral didalam karet. Beberapa bahan mineral dalam karet yang meninggalkan
abu dapat mengurangi sifat dinamika seperti ketahanan retak lentur dari
vulkanisasi karet alam. Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor
seperti tanah yang mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan
membusuk). Kadar abu ini dapat tinggi akibat perlakuan yang tidak dianjurkan
misalnya penggumpalan dengan amonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet
keringnya tinggi.
Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar
digumpalkan tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi daripada
dengan pengenceran. Dengan kata lain, semakin encer lateks yang digumpalkan
makin rendah kadar abu abu karet yang diperoleh karena sebagian besar tercuci
bersama serum.
Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk melindungi konsumen terhadap
penambahan bahan bahan pengisi kedalam karet pada waktu pengolahan
(Kartowardoyo, S, 1980).
2.8.3.Kadar Karet Kering (Dry Rubber Content)
Menurut Purbaya, (2011) Kadar karet kering (K3) adalah kandungan padatan
karet per satuan berat (%). Umumnya lateks kebun hasil penyadapan mempunyai
K3 20-35%. Berdasarkan Maspanger (2004) kualitas karet dinilai dari K3, yakni
mutu 1 dengan K3 minimal 28% dan mutu II dengan K3 di bawah 28%. Menurut
Rivai (1994) metode yang paling sederhana untuk menentukan K3, yakni metode
gravimetri. Hubungan K3 diperoleh berdasarkan:
K3 = massa sesudah pengeringan x 100% . . . (2)
massa sebelum pengeringan
2.9. Syarat uji untuk berbagai jenis mutu SIR
Penilaian mutu secara spesifikasi teknis didasarkan pada hasil analisa dari
Tabel 2.3. Mutu Crumb Rubber dan penyebabnya
Cacat mutu Faktor penyebab
Vm tinggi • Koagulum asal lateks beraroma tinggi
• Ukuran remah besar
• Suhu rendah
• Remahan menggumpal
Po rendah • Blending kurang baik
• Proporsi karet lunak terlalu tinggi
• Suhu terlalu tinggi
• Drying terlalu lama
Ash tinggi • Bahan olah mutu rendah
• Tercampur tanah liat
• Burner kurang baik
Kadar kotoran
Tinggi atau bervariasi
• Blending kurang sempurna
• Pre- cleaning tidak efektif
• Bahan olah kualitas rendah
• Air pencuci kotor
• Jumlah pass di kreper kurang banyak
PRI rendah • Maturasi terlalu lama
• Bahan olah mutu rendah
• Karet teroksidasi atau terlalu lama terkena cahaya
Tabel 2.4. Spesifikasi karet SIR yang diubah (revised) sesuai SK Menperdeg No.
230/Kp/X/1972
Spesifikasi Standart Indonesia Rubber (SIR)
5 CV 5 LV 5 L 5 10 20 50
Kadar Kotoran (%,maks.)
0,05 0,05 0,05 0,05 0,10 0,20 0,50
Kadar abu (%,Maks.)
0,05 0,50 0,50 0,50 0,75 1,00 1,50
Kadar zat menguap (%,maks.)
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
PRI (min.) - - 60 60 50 40 30
Po (min.) - - 30 30 30 30 30
Indeks warna (Lovibond, maks.)
- - 6 - - - -
ASH-T (maks.) 8 8 - - - - -
Sari aseton - 6 - 8 - - - - -
Warna kode Hijau Hijau Hijau Hijau Coklat Merah Kuning
Dengan demikian hingga saat ini, semua karet remah SIR yang diekspor
harus memiliki persyaratan mutu seperti yang ditetapkan dalam surat keputusan
Menpardag tersebut.
Untuk mengamankan kualitas SIR, suatu produk SIR harus mendapat
pengawasan 4 macam laboratorium, yaitu laboratorium standard, laboratorium
control, laboratorium komersial, dan laboratorium pabrik.
Semua sarana penentu kualitas ini dimaksudkan agar SIR dapat bersaing
dengan produk karet bongkah yang berasal dari Negara produsen karet bongkah
selain Indonesia yang memiliki standar sendir-sendiri, seperti Standard Malaysian
Rubber (SMR) dari Malaysia, Standard Singapore Rubber (SSR) dari Singapura,