iv
ABSTRAK
EFEK LARVISIDA INFUSA KULIT JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth) TERHADAP Aedes sp
Pengendalian nyamuk biasanya dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan insektisida, yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan insektisida alami yang bersifat toksik terhadap serangga tetapi ramah lingkungan. Kulit jengkol merupakan limbah yang mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, dan asam fenolat. Asam fenolat ini di dalamnya termasuk flavonoid dan tanin. Tujuan penelitian untuk mengetahui efek infusa kulit jengkol (IKJ) sebagai larvisida Aedes sp. Desain penelitian adalah eksperimental sungguhan dengan rancangan acak lengkap (RAL) bersifat komparatif. Penelitian menggunakan berbagai konsentrasi IKJ terhadap larva Aedes sp. Data yang diukur adalah jumlah larva mati setelah pengamatan 24 jam. Analisis data menggunakan ANAVA satu arah dan bila bermakna dilanjutkan dengan uji Tukey HSD α= 0,05. Hasil penelitian rerata larva mati kelompok II (IKJ 15%), III (IKJ 30%), IV (IKJ 60%), dan VI (Temephos 0.0001%) setelah 24 jam berturut-turut sebesar 0.83%, 22.50%, 55.83%, 95.83%, dan 99.17% berbeda sangat bermakna (p<0.01) dengan kelompok V (akuades) sebesar 0.00%. IKJ 60% setara dengan Temephos dan IKJ 30%. LD50 larvisida infusa kulit jengkol 24 jam adalah 29.59%. Kesimpulan : IKJ dosis 15%, 30%, 60% berefek larvisida terhadap Aedes sp.
Kata kunci : Pithecollobium lobatum, kulit jengkol, larvisidal, Aedes
v
ABSTRACT
THE EFFECTS OF JENGKOL SKIN INFUSION (Pithecollobium lobatum Benth) AS Aedes sp LARVICIDE
Mosquito control can be done chemically by using insecticides, which have a negative impact on the environment, so the research is necessary to find a natural insecticide that is toxic to insects but environmental friendly.Jengkol skin is waste which is containing alkaloid, terpenoids, saponins, and fenolat acid. Flavonoids and tannin are included in this fenolat acid. Research objective is to find out the effects of Jengkol skin infusion (JSI) against Aedes sp. Experimental comparative with Randomize Trial Design (RAL) was done using various concentrations of JSI against Aedes sp larvae, and the number of dead larvae was recorded after 24 hours. The data is analyzed using one-way ANAVA and if it is significant then followed by Tukey HSD with a=0,05. The mean of dead larvae group II (JSI 15%), III (JSI 30%), IV (JSI 60%), and VI (Temephos 0.0001%) after 24 hours are 0.83%, 22:50%, 55.83%, 95.83% and 99.17% and it is significantly different (p<0.01) against group V (akuades) of 0.00%. The effect of JSI 60% is same as Temephos and JSI 30%. LD50 of Jengkol Skin Infusion larvicide in 24 hours is 29.59%. It was concluded that JSI 15%, 30%, 60% have larvisidal effect against Aedes sp.
Keywords: Pithecollobium lobatum, jengkol skin, larvicide, Aedes
Irvan Amadeo Tarigan, 2010 Tutor I : Dr. Susy Tjahjani. dr,M.Kes
viii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
SURAT PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 3
1.3 Maksud dan Tujuan ... 3
1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah ... 3
1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ... 4
1.5.1 Kerangka Pemikiran ... 4
1.5.2 Hipotesis ... 4
1.6 Metodologi ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nyamuk ... 5
2.2 Aedes sp ... 6
2.2.1 Ciri-ciri Morfologi Nyamuk ... 6
ix
2.2.3 Taksonomi Aedes sp ... 9
2.2.4 Perilaku dan Siklus Hidup ... 10
2.2.5 Pengendalian Vektor ... 12
2.2.6 Aedes Sebagai Vektor Penyakit ... 12
2.2.6.1 Demam Berdarah Dengue ... 12
2.2.6.1.1 Etiologi DBD ... 13
2.2.6.1.2 Epidemiologi DBD ... 14
2.2.6.1.3 Tanda dan Gejala Penyakit... 14
2.2.6.1.4 Pengobatan DBD ... 16
2.2.6.2 Filariasis ... 17
2.2.6.2.1 Etiologi Filariasis ... 17
2.2.6.2.2 Epidemiologi Filariasis ... 17
2.2.6.2.3 Patologi Filariasis ... 19
2.2.6.2.4 Gejala Klinik Filariasis ... 19
2.2.6.2.5 Terapi dan Pencegahan Filariasis ... 20
2.2.6.3 Chikungunya ... 21
2.2.6.3.1 Etiologi Chikungunya ... 21
2.2.6.3.2 Epidemiologi Chikungunya ... 22
2.2.6.3.3 Gejala Chikungunya ... 22
2.2.6.3.4 Diagnosis Chikungunya ... 23
2.2.6.3.5 Pengobatan Chikungunya... 24
2.3 Jengkol (Pithecollobium lobatum Benth)... 25
2.3.1 Taksonomi Jengkol ... 25
x
BAB III ALAT, BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Bahan/Subjek Penelitian ... 29
3.1.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 29
3.1.2 Subjek Penelitian ... 29
3.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29
3.2 Metodologi Penelitian ... 30
3.2.1 Desain Penelitian ... 30
3.2.2 Variabel Penelitian ... 30
3.2.2.1 Definisi Konsepsional Variabel ... 30
3.2.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 30
3.2.3 Besar Sampel Penelitian ... 31
3.2.4 Prosedur Kerja ... 31
3.2.4.1 Persiapan Bahan Uji ... 31
3.2.4.2 Persiapan Hewan Coba ... 32
3.2.4.3 Cara Kerja ... 32
3.2.5 Cara Pemeriksaan ... 32
3.2.6 Metode Analisis ... 32
3.2.6.1 Hipotesis Statistik ... 32
3.2.6.2 Kriteria Uji ... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan Pembahasan... 34
4.2 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 39
xi
Daftar Pustaka ... 40
Lampiran ... 44
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Kandungan Biji Jengkol ... 26 Tabel 4.1 Jumlah Larva yang Mati Setelah 24 Jam ... 33 Tabel 4.2 . Uji Analisis ANAVA Jumlah Larva yang Mati Setelah
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Nyamuk ... 7
Gambar 2.2 Anatomi Larva... 8
Gambar 2.3 Instar Larva Aedes sp ... 9
Gambar 2.4 Siklus Hidup Nyamuk Aedes sp ... 11
Gambar 2.5 Siklus Penularan Virus Dengue... 13
Gambar 2.6 Stadium Demam Berdarah Dengue ... 15
Gambar 2.7 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti ... 18
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Perhitungan Dosis ... 43
Lampiran 2 Tabel Hasil ANAVA ... 44
Lampiran 3 Tabel Post Hoc Test ... 45
Lampiran 4 Tabel Homogenous Subsets ... 46
44
LAMPIRAN
Lampiran 1: Perhitungan Dosis
Perhitungan dosis infusa kulit jengkol (IKJ)
Penelitian yang dilakukan menggunakan variabel dosis IKJ 7.5%, 15%, 30%, dan
60%. Pembuatan dosis IKJ 60% dibuat dengan prosedur Farmakope Indonesia ed IV
tahun 1995 sebagai berikut :
Untuk membuat 400 ml IKJ 60% adalah sebagai berikut :
IKJ 60% yang dibutuhkan = 60 x 400 ml = 240 ml 100
kemudian + akuades hingga 400 ml
Untuk dosis 40%, 20% dan 10% dihitung dengan menggunakan cara yang sama.
Perhitungan dosis temephos
Dosis temephos 1 ppm yang digunakan dalam penelitian adalah 0,1 mg temephos
didalam 100 ml air, didapat dari :
1 ppm = 1 mg temephos didalam 1.000 ml air.
Berarti didalam 100 ml dilarutkan 0,1 mg temephos
= 0,1 mg temephos didalam 100 ml air
= 0.0001 g temephos didalam 1 L air.
45
Lampiran 2 : Oneway
Descriptives
% larva mati
4 95.8333 3.19142 1.59571 90.7551 100.9116 93.33 100.00 4 80.8333 8.33333 4.16667 67.5731 94.0935 70.00 90.00 4 30.0000 13.87777 6.93889 7.9174 52.0826 13.33 46.67 4 2.5000 3.19142 1.59571 -2.5783 7.5783 .00 6.67
4 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
4 99.1667 1.66667 .83333 96.5146 101.8187 96.67 100.00 24 51.3889 43.39368 8.85770 33.0653 69.7124 .00 100.00 IKJ 60%
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for
46
Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
47
Lampiran 4 : Homogeneous Subsets
% larva mati
Tukey HSDa
4 .0000
4 2.5000
4 30.0000
4 80.8333
4 95.8333 95.8333
4 99.1667
.995 1.000 .061 .982
Kelompok Perlakuan Kontrol
IKJ 7,5 % IKJ 15 % IKJ 30 % IKJ 60% Pembanding Sig.
N 1 2 3 4
Subset for alpha = .05
48
Lampiran 5 : Probit Analisis
DATA Information
16 unweighted cases accepted.
0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group.
MODEL Information
ONLY Normal Sigmoid is requested.
- - -
* * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 14 iterations.
Optimal solution found.
Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E.
dosisIKJ .06603 .00515 12.82418
Intercept Standard Error Intercept/S.E. -1.95348 .14644 -13.33967
Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 28.998 DF = 14 P = .010
Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits.
49
* * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies
50
* * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective dosisIKJ
51
60.00 50.00
40.00 30.00
20.00 10.00
0.00
dosis IKJ
2
1
0
-1
-2
P
ro
b
it
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyamuk merupakan vektor berbagai macam penyakit, yang dapat menularkan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), filariasis limfatik, chikungunya, yellow
fever, malaria, dan Japanese enchepalitis. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang
penting bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di berbagai wilayah
Indonesia. Oleh karena itu, penyebaran nyamuk harus dikendalikan mulai dari
perkembangan stadium telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa (Hendra Arif, 2008).
Kasus DBD cenderung meningkat terutama pada waktu musim hujan, baik
jumlah penderita maupun luas wilayah penyebarannya. Hal ini seringkali
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Seperti di Kabupaten Garut pada tahun
2009 tercatat 984 kasus DBD, di Kabupaten Kutai Barat tercatat 219 kasus, dan di
Kabupaten Purbalingga tercatat 126 kasus (Sigit Zulmunir, 2009).
Vektor penyakit DBD yang terpenting adalah Aedes sp. betina yang terinfeksi
virus dengue dari penderita penyakit DBD sebelumnya. Jenis nyamuk ini, terdapat di
seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah-wilayah dengan ketinggian di atas 1.000
meter di atas permukaan laut (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Jakarta, 2004).
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi insidensi DBD tersebut ialah dengan
mencegah nyamuk mencucuk manusia, dan atau memutus siklus hidup nyamuk
tersebut. Upaya pencegahan cucukan nyamuk Aedes sp dapat dengan menggunakan
cara fisik, kimiawi, ataupun alami. Cara fisik yang dilakukan adalah dengan
melaksanakan program 3M, yaitu menguras, mengubur, dan menutup semua tempat
kemungkinan terjadinya perkembangbiakan nyamuk. Dapat juga dengan cara
memasang kawat kasa pada ventilasi dan jendela rumah, penggunaan kelambu, dan
2
adalah dengan menggunakan insektisida dan repelen. Cara alami dapat menggunakan
tanaman pengusir nyamuk (Widodo Judarwanto 2007).
Upaya pemutusan siklus hidup nyamuk dapat dilakuakan pada stadium dewasa
atau stadium larva. Pembasmian nyamuk dewasa umumnya dengan menggunakan
cara kimiawi, yaitu dengan menggunakan insektisida atau pengasapan yang dikenal
sebagai foging. Sedangkan pembasmian pada stadium larva, dapat menggunakan cara
kimiawi atau cara alami yang biasa disebut sebagai larvisida. senyawa larvasida
kimiawi yang paling umum dan banyak digunakan adalah Temephos. Bahan ini tidak
mempunyai efek samping terhadap manusia, tetapi penggunaan yang terus-menerus
menyebabkan larva nyamuk Aedes sp menjadi resisten dan menyebabkan pencemaran
lingkungan. Oleh karena itu diperlukan bahan alternatif lain yang dapat digunakan
sebagai larvasida. Salah satunya adalah memanfaatkan larvasida alami yang berasal
dari tanaman. Larvisida ini harus bersifat toksik terhadap serangga akan tetapi ramah
lingkungan, tidak berbahaya bagi manusia, dan mudah digunakan. Penelitian sudah
banyak yang dilakukan untuk mencari bahan-bahan alami yang bermanfaat untuk
mengontrol pertumbuhan nyamuk. Walaupun efek yang dihasilkan berbeda-beda,
tanaman dapat digunakan sebagai bahan alternatif yang efektif sebagai larvasida dan
tidak berbahaya bagi manusia, hewan dan lingkungan. Contoh tanaman yang dapat
digunakan sebagai larvasida ialah zodia (Evodia suaveolens), sera wangi
(Cymbopogon nardus), lavender (Lavandula latifolia), Geranium (Geranium
homeanum), nilam (Pogostemon cablin) dan mimba (Azadirachta indica) Larvasida
alami dinilai lebih baik daripada larvisida sintetis, karena larvisida alami mempunyai
sifat tidak stabil, sehingga lebih mudah didegradasi secara alami (Cahyo Kusyogo,
2006; Moch Syakir, 2007).
Kulit jengkol mengandung bahan aktif seperti alkaloid, terpenoid, saponin, dan
asam fenolat. Flavonoid dan tanin termasuk turunan asam fenolat. Tanin terdapat di
berbagai tumbuhan berkayu dan herba, dan berperan sebagai pertahanan tumbuhan
dengan cara menurunkan aktivitas enzim pencernaan protease dan amylase pada usus
3
dapat mengikat sterol bebas dalam pencernaan makanan, di mana sterol berperan
sebagai prekusor hormon ekdison, sehingga dengan menurunya jumlah sterol bebas
akan mengganggu proses pergantian kulit pada serangga. Golongan ini terdapat pada
berbagai jenis tumbuhan dan dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan
penyerapan makanan bila dikonsumsi serangga (Arda Dinata, 2008).
Pada percobaan yang telah dilakukan oleh Diah Prastiwi Tanjung, senyawa aktif
ini menekan pertumbuhan larva nyamuk Aedes sp pada konsentrasi 9%, 18%, dan
36% (Arda Dinata, 2008).
Propinsi Jawa Barat menempati urutan pertama sebagai pengonsumsi jengkol
tertinggi di Indonesia. Orang Jawa Barat diperkirakan menghabiskan 100 ton jengkol
dalam sehari, dan hingga sampai saat ini belum ada upaya pemanfaatan limbah kulit
jengkol tersebut. Bila kulit jengkol teruji sebagai larvisida, pencemaran lingkungan
oleh kulit jengkol dapat dikurangi (Syarifah, 2007).
1.2 Identifikasi Masalah
Apakah infusa kulit jengkol berefek sebagai larvisida terhadap Aedes sp.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud penelitian adalah untuk mencari larvisida alami sebagai alternatif yang
lebih aman dan efektif untuk Aedes sp.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek larvisida infusa kulit jengkol
terhadap Aedes sp.
1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah
Manfaat akademis penelitian ini untuk menambah pengetahuan mengenai efek
larvisida alami khususnya dari kulit jengkol.
Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai efek kulit jengkol sebagai larvisida alami sehingga nyamuk Aedes sp dapat
4
1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 1.5.1 Kerangka Pemikiran
Kulit jengkol (Pithecolobium lobatum) antara lain mengandung golongan
senyawa aktif alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan asam fenolat (Arda Dinata, 2008).
Larva seperti halnya makhluk hidup, memerlukan makanan untuk berkembang
menjadi nyamuk dewasa. Senyawa tanin yang termasuk dalam golongan senyawa
aktif asam fenolat, dan saponin yang termasuk dalam golongan senyawa aktif
terpenoid masuk melalui mulut ke dalam tubuh jentik nyamuk bersama dengan
makanan dan air. Penetrasi senyawa ini terjadi di daerah usus tengah yang berfungsi
sebagai tempat absorpsi makanan. Adapun mekanisme keracunannya berupa
kerusakan pada jaringan epitel usus tengah yang mengabsorpsi makanan. Kegagalan
absorpsi tersebut mengakibatkan malnutrisi, sehingga pertumbuhan jentik terhambat
dan akhirnya terjadi kematian jentik (Arda Dinata 2008).
1.5.2Hipotesis
Infusa kulit jengkol berefek larvisida terhadap Aedes sp.
1.6 Metodologi Penelitian
Desain penelitian prospektif eksperimental sungguhan dengan Rancangan Acak
Lengkap ( RAL ) bersifat komparatif. Efek larvasida IDS diuji terhadap larva Aedes.
Data yang diukur adalah jumlah larva mati selama perlakuan 24 jam. Analisis
data persentase larva mati menggunakan ANAVA satu arah dengan α = 0,05, apabila
ada perbedaan, dilanjutkan dengan uji Tukey HSD. LD50 dihitung dengan Probit
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Infusa Kulit Jengkol (IKJ) mempunyai efek larvisida terhadap Aedes sp.
5.2 Saran
Penelitian ini merupakan pendahuluan, perlu dilanjutkan dengan:
1. menggunakan sediaan galenik selain infusa.
2. menentukan dosis toksik IKJ pada hewan percobaan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Aedes mosquitoes taxonomy. 2008. The Taxonomicon.
http://sn2000.taxonomy.nl/Taxonomicon/TaxonTree.aspx?id=28486. 10 September 2008.
Akhmad Hasan Huda. 2004. Selayang Pandang Penyakit-penyakit Yang Ditularkan Oleh Nyamuk.
www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo/200501031458-Selpandnyamuk.pdf.. 7 November 2008.
Arda Dinata. 2008. Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.
http://www.litbang.depkes.go.id/lokaciamis/artikel/nyamuk-arda.htm. 10 September 2008.
Arda Dinata. 2008. Pengendalian Vektor DBD.
http://artikel.prianganonline.com/cetak.php?id=274. 6 September 2008.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Jakarta. 2004. Demam Berdarah Dengue.
Cahyo Kusyogo. 2009. Dampak penggunaan ovitrap yang dibubuhi temephos terhadap angka larva nyamuk aedes aegypti.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=52&tpk=%22DENGUE%22. 27 Desember 2009.
Craig F. 2008. How Mosquitos Works.
http://animals.howstuffworks.com/insects/mosquito1.htm. 30 Oktober 2008.
Darsie. 2005. Mosquito Morphology.
41
Departemen Kesehatan Indonesia. 2007. Chikungunya.
http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task=viewarticle&arti d=171&Itemid=3. 23 November 2008.
Depkes. 2008. Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan. http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task=viewarticle&arti d=171&Itemid=3. 6 Oktober 2008.
Dodi Estiara. 2009. Foto Buah Jengkol Muda.
http://jepretanhape.wordpress.com/2009/07/05/foto-buah-jengkol-muda/. 4Juli 2009.
Eric M.T. 2008. Dengue. http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0103-40142008000300004&script=sci_arttext&tlng=en. 11 April 2008.
Fathi et al. 2005. Peranan Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Mataram.
www.journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-01.pdf. 6 November 2008
FKUI. 2002. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Hendra Arif. 2008. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/09/04/penyakit-yang-ditularkan-oleh-nyamuk/. 4 September 2008.
Hopp M.J, Foley J. 2001. Global-scale Relationships Between Climate and the Dengue Fever Vector Aedes Aegypti. Climate Change. Page 441-463
Jerry et al. 2006 . Source Reduction.
http://www.co.galveston.tx.us/mosquito_control/source_reduction.htm. 1 Oktober 2008.
Johsen, Mark. 2007. Mosquito Life Cycle.
www-aes.tamu.edu/Mosquitos/Mosquito%20Life%20Cycle.pdf. 5 Oktober 2008.
Khomsah. 2008. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
42
Moch Syakir. 2007. Ramuan Ajaib, Mengatasi Demam Berdarah Dengue Secara Alami..http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/162/pdf/Ramuan%20Aj aib,%20Mengatasi%20Demam%20Berdarah%20Dengue%20Secara%20Al ami.pdf. 7 Maret 2007.
Moser, Melanie. 2007. Genetic Code Of Parasitic Worm That Causes Elephantiasis Revealed.
http://www.sciencedaily.com/releases/2007/09/070920145417.htm. 21 September 2008.
Muchjidin Rachmat.2008. Tanaman Biofarmaka Sebagai Biopestisida.
http://ditsayur.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_docman&t ask=doc_view&gid=73. 6 November 2008.
Park, Ross. 2000. Dengue Fever Management Plan for North Queensland, Australia 2000-2005. CD-ROM. Queensland Government and Queensland Health.
Pipit. 2008. Tahukah Anda Tentang Jengkol ?. www.KabariNews.com/?32167. 11April 2008.
Polimalang. 2008.
http://www.polimalang.com/viewtopic.php?p=259&sid=19649ab076653f2 01f4fafd0c8e2b6d2
Potter. 2009. Mosquitoes: Practical Advice For Homeowners.
http://www.ca.uky.edu/ENTOMOLOGY/entfacts/ef005.asp. 3 Juni 2009.
Poudat, Abbas. 2007.
http://www.malaria.blogfa.com/8501.aspx. 20 November 2008.
PUSTEKKOM. 2005. Demam Berdarah Dengue. http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=245&fname=hal9a.htm . 6November2008.
Sigit Zulmunir. 2009. Garut KLB Demam Berdarah.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/07/brk,20090607-180499,id.html. 7 Juni 2009.
43
Susan Novitasari. 2009. Perbedaan kecepatan Kematian Larva Aedes Aegepti Strain Surabaya Dengan Pemberian Abate 1 SG. http://digilib.unej.ac.id/go. 7 Januari 2009.
Syarifah. 2007. Ketika Musim Jengkol Telah Tiba.
http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/ketika-musim-jengkol-telah-tiba/. 26 Desember 2007.
Waluyo et al. 2004. Parasitologi Medik (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
WHO, TDR. 2007. Laboratory Tests For The Diagnosis Of Dengue Virus Infection. http://www.tropika.net/svc/review/061001-Dengue_Diagnosis. 30 November 2007.
Widodo Judarwanto. 2007. Profil nyamuk aedes dan pembasmiannya. http://www.indonesiaindonesia.com/f/13744-profil-nyamuk-aedes-pembasmiannya/. 30 Januari 2007.
WUVCD. 2006. Mosquito life cycle.