Ibnu Hasan Muchtar, dkk.
MONOGRAFI ALIRAN
KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI
Monografi Aliran Keagamaan Islam di Indonesia
© Ibnu Hasan Muchtar, dkk. 2020.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
All rights reserved
x + 282 hlm; 145 x 205 mm Cetakan I, Desember 2020 ISBN: 978-623-6925-20-1
Penulis:
Ibnu Hasan Muchtar | Wakhid Sugiyarti Ahsanul Khalikin | Reslawati Raudatul Ulum | Elma Heryani
Adang R Nofandi Editor:
Sri Wulandari Desain Cover:
Nurhata Layout:
cetakjogja.id
Diterbitkan oleh:
Litbangdiklat Press Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI Jalan MH Th a mrin No. 6 Jakarta 10340
Telp. 021 3920425 Dicetak oleh:
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
SAMBUTAN
PUJI syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah buku Monografi Aliran untuk Kerukunan di Indonesia ini dapat diselesaikan. Monografi ini, merupakan salah satu kegiatan rutin Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, yang bertujuan untuk menghimpun hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilaksanakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan terkait tema Aliran dan Kerukunan pada Umat Beragama di Indonesia:
model-model Penyelesaian Permasalahan dalam Kelompok Aliran Keagamaan di Masyarakat, untuk kemudian ditulis kembali secara mendalam dengan menggunakan persfektif atau tinjauan berbagai disiplin ilmu.
Sehubungan dengan hal tersebut, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan telah melakukan menyusun monografi secara komprehensif dengan analisis secara teliti, cermat dan mendalam, agar dapat menjadi bacaan dan panduan yang dapat digunakan oleh berbagai pihak terkait yang membutuhkan dan agar pimpinan dapat secara baik dan bijaksana dalam menanggapi permasalahan yang muncul terkait dengan persoalan tersebut, sehingga monografi ini sesuai dengan target yang ingin dicapai. Adapun targetnya adalah a) tersusunnya himpunan naskah mengenai monografi aliran
dan kerukunan di Indonesia yang berisi tentang model-model penyelesaian permasalahan dalam kelompok aliran keagamaan di masyarakat yang telah diklasifi kasi; b) terwujudnya laporan akhir hasil monografi aliran untuk kerukunan di Indonesia yang merujuk pada model-model penyelesaian permasalahan dalam kelompok aliran keagamaan di masyarakat; dan c) tersusunnya rekomendasi untuk bahan penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama (researcher based policy).
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, di antaranya Dr. Add. Aziz, MA (selaku narasumber sekaligus pendamping dalam penyusunan monografi tersebut), Rida ( MUI Pusat) selaku narasumber, dan para peneliti di lingkungan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, yang telah memberikan pemikiran cerdasnya dalam memberikan masukan pada naskah monografi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada panitia yang telah bekerja keras untuk mempersiapkan dan menyukseskan acara hingga pembuatan laporan akhir.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalam,
Jakarta, 2 November 2020
Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan
Prof. Dr. Muhammad Adlin Sila, Ph.D.
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah, atas berkat, hidayah, dan inayah- Nya, penelitian ini pada akhirnya dapat diselesaikan juga. Proses panjang yang menguras banyak energi berbuah karya Monografi Aliran Keagamaan Islam di Indonesia.
Sesuai dengan judulnya, buku ini adalah kumpulan sari pati hasil penelitian dengan tema besar Moderasi Beragama. Masing- masing peneliti fokus pada satu persoalan berbeda, tentang persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kajian penelitian berangkat dari masalah sosial-keagmaan yang ada di sejumlah daerah: mengurai benang kusut relasi aliran keagamaan di Indonesia. Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi referensi tentang kehidupan keagamaan yang moderat dan harmonis
Adapun judul dan penulisnya yaitu: “Menjaga Harmoni Sunni-Syiah di Kabupaten Bondowoso” oleh Wakhid Sugiyarto;
“Gerakan Purifi kasi Majelis Tafsir Al-Qur`an (MTA) dalam Membangun Kerukunan di Surakarta” oleh Reslawati; “Tarekat Habib Lutfi dalam Dinamika KUB di Kota Pekalongan” oleh Elma Haryani dan Lufaefi ; “Jamaah An-Nadzir” oleh Saprilla dan Raudatul Ulum; “Gerakan Keagamaan Jemaah Tabligh di Tomboro, Magetan Tahun 2019” oleh Ahsanul Khalikin;
“Pelajaran dari Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus Implementasi Paradigma Baru Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)” oleh Ibnu Hasan Muchtar; “Kelompok Aliran dan Kerukunan Keagamaan Masyarakat di Indonesia: Relasi Khilafatul Muslimin dan Masyarakat di Sumbawa Barat” oleh R. Adang Nofandi.
Kekurangan dan kekhilafan dalam buku ini adalah keniscayaan: tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, saran dan kritik dari para pembaca yang budiman sangat diharapkan, untuk meningkatkan kadar kualitas buku ini.
Demikian, semoga buku ini bermanfaat.
Selamat membaca.
PROLOG
BEGITU banyaknya aliran keagamaan Islam di Indonesia.
Kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari konteks lokal dan konstalasi sosial-politik yang melatarinya. Di satu sisi, perihal itu bisa dipandang sebagai khazanah keagamaan, menegaskan bahwa Islam sebagai agama rahamah li al-‘alamain. Namun pada sisi lain, kerap kali, antara satu kelompok dan kelompok lain saling berhadapan, hingga berujung pada konfl ik horizontal.
Aliran keagamaan di Indonesia kemunculannya sejak beberapa abad silam. Tradisi tasawuf barangkali yang dianggap paling “berpengalaman” akan hal itu. Dalam tradisi tasawuf, terdapat batas tegas antara kelompok yang dianggap “legal”
dan “ilegal”, yang dikenal dengan terminologi muktabarah.
Kemunculan setiap tarekat, sebagai lembaga tasawuf, dilatari oleh kebutuhan masyarakat pada masanya. Keberhasilannya ditandai dengan jumlah pengikutnya yang besar.
Kerangka besar dari sekian banyak aliran keagamaan di Nusantara dikelompokkan menjadi Sunni dan Syiah.
Kedua kelompok tersebut, dalam dinamikanya di tengah arus kebudayaan Nusantara, satu sama lain saling beririsan.
Identifi kasi atas unsur tradisi keagamaan tertentu memerlukan kajian diakronik, antara lain dengan pendekatan fi lologi. Dari
jejak fi lologi dapat ditangkap keterkaitan unsur-unsur yang terdapat dalam kelompok keagamaan tertentu.
Buku Monografi Aliran Keagamaan Islam di Indonesia menampilkan tujuh kajian berbeda, dalam bingkai aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia. Pertama, “Menjaga Harmoni Sunni- Syiah di Kabupaten Bondowoso” oleh Wakhid Sugiyarto. Kedua, “Gerakan Purifi kasi Majelis Tafsir Al-Qur`an ( MTA) dalam Membangun Kerukunan di Surakarta” oleh Reslawati. Ketiga, “Tarekat Habib Lutfi dalam Dinamika KUB di Kota Pekalongan” oleh Elma Haryani dan Lufaefi . Keempat,
“Jamaah An-Nadzir” oleh Saprilla dan Raudatul Ulum. Kelima
“Gerakan Keagamaan Jemaah Tabligh di Tomboro, Magetan Tahun 2019” oleh Ahsanul Khalikin. Keenam, “Pelajaran dari Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat: Studi Kasus Implementasi Paradigma Baru Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII)” oleh Ibnu Hasan Muchtar. Ketujuh, Kelompok Aliran dan Kerukunan Keagamaan Masyarakat di Indonesia: Relasi Khilafatul Muslimin dan Masyarakat di Sumbawa Barat” oleh R. Adang Nofandi.
Ketujuh artikel di atas adalah ikhtiar dari para peneliti dalam mengeksplor perkembangan aliran keagamaan saat ini, melalui proses kajian yang cukup panjang. Titik bidikanya pada relasi antara satu kelompok keagamaan dan kelompok keagamaan lainnya serta antara satu kelompok keagamaan dengan masyarakat sekitar. Diharapakan hasil dari kajian penelitian ini dapat melengkapi ketersediaan referensi tentang aliran keagamaan di Indonesia pada umumnya.
DAFTAR ISI
Sambutan ... iii
Kata Pengantar ... v
Prolog ... vii
Daft ar Isi ... ix
• Menjaga Harmoni Sunni- Syiah di Kabupaten Bondowoso Wakhid Sugiyarto ... 1
• Gerakan Purifi kasi Majelis Tafsir Al-Qur`an ( MTA) dalam Membangun Kerukunan di Surakarta Reslawati ... 69
• Tarekat Habib Lutfi dalam Dinamika KUB di Kota Pekalongan Elma Haryani dan Lufaefi ... 93
• Jamaah An-Nadzir Saprilla dan Raudatul Ulum ... 143
• Gerakan Keagamaan Jamaah Tabligh di Tomboro Magetan Tahun 2019 Ahsanul Khalikin ... 179
• Pelajaran dari Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus Implementasi Paradigma baru Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII))
Ibnu Hasan Muchtar ... 201
• Kelompok Aliran dan Kerukunan Keagamaan Masyarakat di Indonesia; Relasi Khilafatul Muslimin dan Masyarakat di Sumbawa Barat
R. Adang Nofandi ... 253 Indeks ... 281
MENJAGA HARMONI SUNNI- SYIAH DI KABUPATEN BONDOWOSO
Wakhid Sugiyarto
”Sesungguhnya orang-orang kafi r, sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan (klarifi kasi-pen) atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. “
(QS.Al-Baqarah 6-7)
A. PENDAHULUAN
Reaksi terhadap gerakan Syiah ( mazhab Ahlulbait) sudah telanjur luar biasa gemuruh pasca Revolusi Iran tahun 1979.
MUI Pusat menggelar seminar tentang Syiah di tahun 1982 di Istiqlal. Sejak saat itu kajian tentang ajaran Syiah terus berlangsung hingga kini, yang hasil intinya adalah sesat dan waspada terhadap Syiah. Gerakan anti Syiah terus bergerak sambung menyambung dengan propaganda sektariannya yang massif. Buku khas anti Syi’h, tabloid, agitasi, tabligh akbar yang gemuruh, demo anti Syiah dan penyebaran berbagai pamfl et dan spanduk mendelegitimasi Syiah dapat ditemukan di berbagai
kota di Indonesia.1 Semua bentuk persekusi verbal maupun non verbal itu mereda sejak tahun 2017. Deklarasi Amman yang mengakui delapan mazhab dalam Islam makin diketahui Muslim sedunia, gagalnya pemberontak menggulingkan Bashar al Asad dan gagalnya koalisi Saudi di Yaman bisa jadi nerupakan sebabnya. Propaganda pembantaian terhadap kaum Suni Suriah mendorong pengumpulan dana bagi jihadis untuk berangkat ke Suriah. Belakangan ini, propaganda gagal meyakinkan umat Islam dan tidak didengar, karena terkuaknya maksud lain dari pemberontakan di Suriah. Di Yaman koalisi Arab Saudi (18 negara) sesumbar menghabisi pemberontak Houthi hitungan minggu, ternyata sudah 5 tahun tak berhasil. Kegagalan di Suriah dan Yaman sungguh memalukan, telah membuat semangat gerakan anti Syiah mereda. Gerakannya tinggal sporadis menjelang dan selama bulan Asyura, seperti menjadi ibadah rutin tahunan anti Syiah seperti Idzul Fitri atau Idzul Adha. Di bulan Asyura komunitas Syiah menolak lupa dengan memperingati dibantainya Imam Hussain bersama anak dan kemenakan atau kerabatnya sebanyak 36 orang dan lebih dari 70 orang pengikutnya di Karbala, maka anti Syiah berusaha melupakan peristiwa memilukan di Karbala, dan itu pasti mustahil. Persekusi terhadap komunitas Syiah di setiap bulan Asyura seperti drama ulang kedzaliman Yazid pada Ahlulbait di era modern. Resistensi terhadap Syiah sebelum dan selama perang Suriah dan Yaman sangat dahsyat dibandingkan terhadap gerakan keagamaan transnasional manapun. (Wakhid Sugiyarto, 2016).
1 Beberapa tahun lalu di sepanjang jalan raya Solo – Tawangmangu terdpat banyak sepanduk yang isinya mendeligtimasi Syiah (sesat, bukan Islam, merusak akidah dsb)
Pada tahun 2016 peneliti berkesempatan ke Iran, ke- mudian mengunjungi Hauzhah Qom (lembaga pendidikan calon Hujatullah dan Ayatullah), perpustakaan keagamaan terbesar di dunia di Kota Qom, Universitas Jamiul Mustafa dan perpustakaanya, Teheran University dan perpustakaanya, lembaga pencetakan mushaf al Qur’an, Universitas Mazhab- Mazhab dalam Islam, lembaga pendekatan Mazhab, ke sinagog, gereja Armenian, kuil Zoroaster, dan bertemu dengan para pelajar Indonesia di Iran. Penulis mendapat hadiah beberapa mushaf al Qur’an dan direktori masjid Suni lengkap dengan imam, nama masjid, alamat, nama jalan dan no telponnya.
Data jumlah masjid Suni 14.000 buah untuk 8 juta jiwa penganut mazhab Suni. Sementara Syiah yang 63 juta jiwa hanya memiliki 9.000 buah masjid. Penulis juga ke Sanandaz ibukota Provinsi Kurdistan yang mayoritas bermazhab Syiáh, kemudian observasi ke Universitas Imam Syafi ’i Sanandaz, perpustakaan dan seterusnya. Penulis juga berkesempatan menyampaikan pidato menjelang salat jum’at di sebuah masjid jami’ yang telah berumur 490 tahun (Kurdistan; 85% Suni). Di berbagai tempat di Iran itu, penulis selalu klarifi kkasi terhadap 20 masalah yang dipersoalkan sebagian umat Islam Indonesia dan mendapat jawaban sangat memuaskan. Jawabannya intinya sama dengan temuan para peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan tahun 2016 di 23 kabupaten kota diseluruh Indonesia.
Hubungan Syiah dan Suni sangatlah harmonis dan kaum Suni bangga menjadi bagian dari Republik Islam Iran. Tidak benar ada pembunuhan ulama-ulama Suni dan pembongkaran masjid-masjid Suni. Penulis memperoleh kertas fatwa dengan
stempel masih basah dari Ayatullah Uzma Sayyid Nazeer Kareem Sirozi (maroji’ Syiah terbesar di Iran) tentang larangan kaum Syiah menghujat simbol-simbol keagamaan yang dihormati kaum Suni (para sahabat besar). Rekomendasi yang penulis sampaikan setelah itu salah satunya adalah mengirim tokoh- tokoh anti Syiah ( MUI Pusat) ke Iran agar tahu bagaimana Syiah di Iran dan relasinya dengan kaum Suni, yang ternyata menolak untuk diberangkatkan (Wakhid Sugiyarto, 2016)
Gerakan anti Syiah sangat bergemuruh, gaduh dan diikuti dengan persekusi verbal maupun non verbal. Sepanjang persekusi sejak tahun 1980-an hingga hari ini, sikap pemerintah masih ambigu dan bingung memposisikan diri di antara tekanan kelompok propagandis sektarian anti Syiah dengan konstitusi Indonesia. Posisi Syiah diambangkan dan pembicaraan tentang Syiah dihindari, bahkan hasil penelitianpun ditunda dipublikasikan. Paska persekusi anti Syiah di Sampang, Menteri Agama Surya Darma Ali, pernah menyesatkan Syiah dalam suatu pertemuan demi partai tertentu, MUI Pusatpun menjadi pemantik semakin kencangnya gerakan anti Syiah, meskipun tidak nyata-nyata menyesatkan Syiah. Dengan metodenya sendiri, MUI melakukan kajian terhadap buku-buku Syiah tanpa terklarifi kasi satupun dari ulama-ulama Syiah Indonesia.
Kajiannya diberi judul Mewaspadai Penyelewengan dan Penyimpangan Syiah di Indonesia (MPPSI) dengan sampul merah putih (simbol nasioalisme). Ketika Ahlubait Indonesia (ABI) sebagai perwakilan resmi komunitas Syiah dan sah secara konstitusi bermaksud memberi klarifi kasi terhadap buku MPPSI ternyata ditolak MUI sampai hari ini. Sudah 3 (tiga) kali Ahlulbait Indonesia (ABI) mengirim surat kepada MUI Pusat
untuk klarifi kasi isi buku MPPSI dan ditolak. Akhirnya terbitlah dua buku yang terkenal, yaitu buku putih “ Syiah menurut Ulama yang Muktabar” dengan sambutan Prof. Dr. Quraish Shihab dan buku kuning “ Syiah menurut Syiah” dengan sambutan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin sebagai jawaban yang menyeluruh terhadap buku MPPSI. MUI telah gagal menjadi bapak umat Islam yang baik tetapi telah berprestasi membangun kebencian terhadap Syiah (ABI, 2014). Sementara itu MUI Jawa Timur dengan tegas malah menerbitkan fatwa sesat Syiah yang menjadi landasan Gubernur Jawa Timur untuk menerbitkan peraturan gubernur tentang larangan aktifi tas komunitas Syiah.
Apakah sikap pemerintah pusat dan MUI Pusat yang gamang dan ambigu, yang ditegaskan MUI Jawa Timur dan Pemerintah Jawa Timur diikuti umat Islam? Pengabaian telah terjadi, salah satunya di kabupaten Bondowoso. Berdasarkan latar belakang di atas, naskah ini akan menjelaskan bagaimana masyarakat menjaga konstitusi, menjaga harmoni dan relasi Suni Syiah, hingga Bondowoso tetap damai paska kekerasan tahun 2006 di Jambesari. Naskah ini disarikan dari berbagai observasi, kajian, diskusi, pembacaan literatur, Forum Group Disccusion (FGD), penelitian pribadi (dengan triangulasi data) dan lainnya.
B. SYIAH TUMBUH SYIAH DIHADANG
Salah satu hal yang selalu dilakukan para penulis ketika menulis gerakan Syiah Indonesia adalah mengutif buku sejarawan Aceh, A. Hasyimi, Agus Sunyoto dari Laboratorium IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya, desertasi Zulkifl i atau lainnya. Dengan berbagai perbedaan periodisasi masuknya Islam di Nusantara, selalu akan terdapat narasi bahwa persebaran
Syiah di Nusantara2 diyakini Hasyimi sudah berlangsung lama, sehingga banyak simbol-simbol dan tradisi Syiah mempengaruhi nama-nama orang, pola ritual dan tradisi keagamaan (Hasyimi;
1986 dan 1989), meskipun Azurmadi sangat meragukannya, karena dianggap tidak ada bukti yang valid. Azumardi justru menyatakan telah terjadi internasionalisasi mazhab Suni melalui Bengali dan Malabar (Azumardi Azhra, 1994). Tetapi Azumardi Azhra tidak dapat menjelaskan bagaimana tradisi berbau Syiáh bisa merata di seluruh Indonesia. Selama berabad-abad, tidak terdengar adanya orang Syiah di Nusantara, meski tradisinya telah membumi dan tidak diketahui sebagai tradisi itu berbau Syiah. Bahkan Kitab-kitab Syiah yang dibaca di kalangan mahasiswa IAIN dan pesantren tidak disadari sebagai kitab- kitab Syiah. (Naquif Alatas, 1990).
Pertumbuhan mazhab Syiah dan kosakata Syiah baru fenomenal setelah revolusi Islam di Iran tahun 1979, dan menjadi Republik Islam. Figur Ayatullah Uzma Imam Khomeini sangat diidolakan kaum muda dan mahasiswa Muslim dinamis seluruh dunia. Gambarnya dipajang di mana-mana, menyaingi artis-artis papan atas waktu itu. Buku-buku karya Ali Shari’ati, Muthahari, Alamah Th abathabai, Mullah Sadra dan sebagainya diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia ada juga majalah
“Yaum al Quds” dari kedutaan Iran. Buku-buku itu kemudian membanjiri toko-toko buku, dan semua dibaca dengan penuh minat para mahasiswa dinamis. Jadi sejak revolusi Iran, secara
2 Nusantara adalah konsep budaya yang meliputi hampir seluruh masyarakat Asia Tenggara kini, sementara Indonesia adalah konsep untuk nation atau negara toritorial.
pelan tetapi pasti, semua menjadi terbuka, apalagi setelah beroperasinya teknologi komunikasi internet secara massal mulai tahun 2000-an, keingintahuan mahasiswa dinamis terhadap mazhab Syiah menguat.
Revolusi Iran yang fenomenal itu menjadi jendela pembuka dunia untuk membongkar pemahaman lama kita tentang Syiah, starting point pertumbuhan Syiah, hidupnya kembali pola beragama Ahlulbait dan menandai masa kebangkitan Islam abad 15 Hijriyah. Kosakata Syiah berhasil menjadi rising star dan menjadi alternatif kalangan muda dinamis, yang haus ilmu pengetahuan agama, merindukan kebenaran, keadilan dan keteladanan (Robitul Firdaus, 2012). Dengan literasi Syiah yang
“berhamburan” di toko-toko buku, maraknya berbagai kelompok kajian theologi dan berbagai peranggkat ilmu pengetahuan keagamaan itu serta lahirnya revolusi digital (internet), maka gerakan Syiah juga dapat dipandang sebagai gerakan pemikiran.
Pertumbuhan dan gerakan Syiah Indonesia yang fenomenal dimulai dari Bangsri, Jepara tahun 1982 oleh Abdul Qadir Bafaqih di pesantren Al Khairat bersama 300 orang pengikutnya (Ahmad Syafi’i, 1983), yang kemudian disusul berdirinya puluhan yayasan pendidikan Islam, pesantren, penerbit buku dan tumbuhnya ratusan majelis taklim di seluruh Indonesia dan terus bertambah. Klimaksnya adalah pendirian ormas Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan Ahlul Bait Indonesia (ABI) di tahun 2000-an. Sampai ditahun 2019 kedua ormas keagamaan ini sempat memiliki kepengurusan sampai 33 tingkat provinsi dan 200-an tingkat kabupaten kota, tetapi sebagian harus non aktif akibat berbagai tekanan sosial dan psikologis (Syamsuddin, 2019).
Gerakan Syiah yang sekaligus juga gerakan intelektual itu, terus bergerak di kota-kota besar dan kecil yang ada perguruan tinginya. Mereka memfasilitasi kehausan ilmu pengetahuan agama kalangan muda kampus yang dinamis. Diklat-diklat gratis tentang teologi dan fi lsafat, membaca al Qur’an, fi kih dan tafsir, disediakan dengan instruktur yang fasih bicara dalil Suni Syiah.
Di Yogyakarta misalnya, ada Rausyan Fikr (Reslawati, 2016), di Medan ada Yayasan Abu Th alib (Wakhid Sugiyarto, 2016), di Bondowoso ada YAPI dan Al Kairiyah (Imam Syaukani, 2007), di Bangil ada YAPI (Ahmad Rosidi, 2008), di Jember ada al Hujjah (Asnawati, 2016) di Malang ada Al Kautshar (Muchtar, 2016), di Jakarta ada Mulla Sadra (Elma Hariyani, 2016) di Bandung ada Muthahari (Wakhid Sugiyarto, 2008) dan Al Jawaad (Nuhrison, 2009) dan sebagainya. Semua Yayasan itu menawarkan pemahaman baru tentang teologi, fi lsafat, tradisi pemikiran Islam Syiáh, tafsir, hadits dan sebagainya. Karena itu, orang-orang yang menjadi Syiah umumnya adalah orang-orang dinamis, serius mencari kebenaran, rajin membaca, diskusi dan kegiatan akademis lainnya, bukan orang-orang yang suka taklid buta. Di Sumatra Utara misalnya, terdapat puluhan ribu anggota dan simpatisan Syiah yang sebagian besar adalah sarjana dinamis (petinggi ANAS Medan mengatakan lebih dari 20 ribu orang Syiah di Sumatra Utara) dan merupakan generasi awal komunitas Syiah. Kalaupun ada generasi kedua, itu pasti baru anak-anak umur belasan tahun (Wakhid Sugiyarto, 2018).
Para peneliti Puslitbang Bimas Agama yang melakukan penelitian di 23 kabupaten kota di tahun 2016 dan beberapa daerah sebelum tahun 2016 itu, hanya menyakini bahwa jumlah penganut dan simpatisan Syiáh di Indonesia cukup banyak.
Sayangnya, tidak ada satupun peneliti yang mampu memperoleh data berapa sesungguhnya jumlah penganut Syiáh di Indonesia.
Akan tetapi, kalau kita percaya pada data yang disampaikan oleh inteljen Polri yang pernah diundang di Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, jumlah mereka cukup mencengangkan, karena inteljen dari Polri itu menyajikan data sekitar 5 juta orang3. Sementara itu, ustadz Syamsuddin (PP IJABI) memberikan informasi bahwa komunitas Syiáh dan simpatisan yang tergabung di ormas IJABI, ABI, dan yang tidak mau bergabung dengan kedua ormas, hanya bisa memberi perkiraan sekitar 3 juta. Kesimpulan yang dapat ditarik dari informasi ini adalah bahwa jumlah penganut Syiáh dan simpatisannya di Indonesia seperti fenomena gunung es. Kelihatan sedikit, tetapi sesungguhnya begitu banyak. Sangat mungkin bahwa mereka ini sedang ramai-ramai melakukan strategi taqiyah, yaitu untuk menyelamatkan jiwa dan keyakinannya, bukan munafi k seperti dinyatakan banyak orang. Boleh jadi mereka menyatakan diri, untuk apa terus terang mengaku sebagai penganut Syiáh kemudian mengalami persekusi, intimidasi verbal maupun fi sik bahkan boleh jadi mengalami kesulitan dalam hidup sehari-hari.
Oleh karena itu, taqiyah sebagai strategi menjadi niscaya, toh berkeyakinan adalah hak pribadi yang berhubungan langsung dengan Sang Khalik.
Menghadapi kondisi seperti ini, anti Syiah membangun berbagai dukungan dari masyarakat Muslim, hingga lahirlah tim-tim kecil anti Syiah yang cair dan rajin berpropganda
3 Pertemuan para peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan dengan 2 orang intljen dari Polri, Maret 2016.
membangun persepsi, narasi anti Syiah, ujaran kebencian dan melakukan propaganda sectarian secara masif. Mereka juga melakukan tour keliling ke berbagai wilayah Indonesia (esafet/
seperti pasar malam/kaki lima keliling), untuk melakukan tabligh akbar provokatif, bedah buku tanpa dihadiri ahli Syiah penganut madzhab Syiah, membagi selebaran dan famlet, memasang spanduk-spanduk di berbagai daerah dengan pernyataan negatif tentang Syiah dan yang pasti juga membagi gratis buku MPPSI.
Seperti kata Sumanto, Syiah dikepung dari seluruh penjuru angin. Jadi, gerakan Syiah telah memasuki tahap berbahaya secara sosiologis karena gerakan anti Syiah mulai mendapat sambutan dari sebagian umat Islam sambil menunggu bukti apakah semua kampanye anti Syiah itu benar. Sementara itu, komunitas Syiah intelektual pun sedang membawa gerakan ke kondisi pemahaman keagamaan yang sensitif yaitu ke ranah fi kih.
Buku berkaitan dengan akidah Syiah dan fi kih Ja’fari diterbitkan dan dapat ditemukan di semua tokoh buku besar atau bisa pesan langsung ke agen atau distributor dan penerbitnya di berbagai kota. Mulailah nampak perbedaan fi kih di kalangan Muslim (Nur Syam, 2009). Tetapi kondisi umum di seluruh Indonesia, semua usaha anti Syiah itu berhenti di stadium satu saja jika mengacu pada kerangka teori Bromly, yakni latent tension karena Muslim Indonesia umumnya adalah Muslim moderat yang tidak suka konfl ik dan kekerasan. Di beberapa tempat, sempat memasuki stadium dua dan tiga yaitu kekerasan verbal yang disebut nascent confl ict (pidato agitasi demo menolak Syiah, tabligh akbar) dan kekerasan seperti di Bondowoso dan satu-satnya yang masuk stadium empat adalah di Sampang Madura (pengusiran/
mengungsi/eksodus), (Imam Syaukani, 2006) seperti kaum
Ahmadi di Lombok, atau Rohingya di Burma, dan Muslim Suriah ke berbagai negara Eropa. Komunitas Syiah di Sampang disingkirkan karena para elit keagamaan di Kabupaten Sampang Madura tidak rela wilayahnya jadi tempat pusat perkembangan Syiah. Komunitas Syiah Sampang akhirnya tercerabut dari tanah adat dan akar budayanya sendiri akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi. Para elit agama Sampang Madura menolak kembalinya para pengikut Syiah yang telah mengungsi di Sidoarjo, kecuali bertobat, artinya kembali menjadi Suni. (Ali Umaidi, 2012).
Menurut Sumanto al Qurtubi4, kegaduhan keagamaan yang berpusara pada mazhab Syiah atau mazhab Ahlulbait ini memiperlihatkan gemuruhnya dinamika kehidupan keagamaan dan politik Muslim global, yang ujung-ujungnya adalah pertarungan politik antara rezim Arab Saudi dan Republik Islam Iran dalam memperebutkan hegemoni Timur Tengah. Seluruh negara Timur Tengah adalah blok Arab Saudi, kecuali Yaman, Suriah, Lebanon dan Irak. Dalam pergolakan di Yaman dan Suriah, rezim Arab Saudi menggunakan isu Syiah agar dapat banyak dukungan karena hanya dengan isu sektarian itulah rezim Arab Saudi dapat membangun koalisinya menghadapi Iran.
Sementara itu, dalam semua lini, Iran telah jauh meninggalkan bangsa Arab, seperti misalnya dalam hal militansi rakyat membela negara dan pemimpinnya, jumlah penduduk yang lebih banyak, ilmu kedokteran yang maju, pertanian serta ilmu pengetahuan sain dan teknologi persenjataan yang telah jauh lebih maju dan
4 Sumanto al Qurtubi adalah guru besar di King Abdul Azis University, Riyad, Arab Saudi
sebagainya. Masyarakat Timur Tengah sendiri lebih menyukai Iran dari pada para raja dan pemimpinya yang dianggap sebagai boneka Amerika. Iran disukai bangsa Arab karena tinggal Iranlah satu-satunya bangsa dunia ketiga dan negara Islam berani berdiri tegak setegak-tegaknya di hadapan adikuasa Amerika Serikat. Di samping itu, komitmennya terhadap bangsa Palestina juga diketahui bangsa Arab dengan jelas, karena 70% birokrasi Palestina dibiayai oleh Iran. (Sumanto al Qurtuby, 2015; Dina Sulaiman, 2017) Oleh karena itu, kegaduhan keagamaan yang berpusara pada mazhab Syiah ini, memang menjadi sangat seru di Indonesia, karena keterlibatan asing dalam pendanaan dan gagasan anti Iran.
Akibat kegaduhan yang tiada henti, akhirnya MUI Pusat dengan metodenya sendiri melakukan kajian yang bertajuk
“Mewaspadai Penyelewengan dan Penyimpangan Syiah di Indonesia (MPPSI)”. Sayang, seluruh isi kajiannya tidak satupun terklarifikasi dengan ulama Syiah Indonesia (Tim Penulis Ahlulbait Indonesia (ABI), 2014). MPPSI ini juga disalahpahami sebagian umat Islam sebagai fatwa, sehingga berubah menjadi pegangan bagi kalangan intoleran untuk melakukan anarkisme dan inkonstitusional (KH. Alawi Nurul Alam al Bantani, 2014).
Buku MPPSI ini telah dikritisi Tim penulis Ahlulbait Indonesia dan dinyatakan memiliki kelemahan dalam beberapa aspek dan sangat berbahaya, yaitu pertama, dari sisi kaedah ilmiah tidak memadai karena berisi kumpulan penggalan, kliping dan copy paste; kedua, dari sisi etika penulisan, buku MPPSI berisi tuduhan yang serampangan, provokatif, manipulatif dan banyak ujaran kebenciannya; ketiga, tuduhan yang ada dalam buku MPPSI hanyalah daur ulang dari tuduhan yang
sudah muncul ribuan tahun silam, meskipun di Indonesia ada tambahannya. Ketika ABI ingin mengklarifi kasi isi buku MPPSI itu, tidak direspon yang kemudian mendorong lahirnya buku putih “ Syiah menurut Ulama yang Muktabar” dan buku kuning
“ Syiah Menurut Syiah”. (Tim Penulis Ahlulbait Indonesia (ABI), 2014). Perbedaan metode mengutif hadits antara MUI Pusat dengan ulama Syiah telah mengakibatkan perbedaan semakin tajam. MUI Pusat merujuk hadit Syiah seperti merujuk hadits Suni, sementara ulama Syiah tidak. MUI Pusat mengabaikan fakta bahwa kitab-kitab besar mazhab Syiah tidak ada yang disebut sahih, tidak ada kitab Sahih Ushul al Kafi , Sahih Ma La Yadhuruhu al Faqih, Sahih al Tahzib, Sahih al Istibshar dan kitab Sahih Bihar al Anwar dan sebagainya.
MUI-pun telah menggelar berbagai seminar bertajuk Syiah, rakernas membahas Syiah, menerbitkan buku MPPSI dan mensosialisasikan ke seluruh Indonesia (Amin Jamaluddin, 2014; MUI Agustus 2014). Dengan tujuan yang sama, Yayasan Al Bayinat Surabaya sudah lebih lama menerbitkan buku “panas”,
“Export Revolusi Syiah ke Indonesia”, bermaksud mengingatkan pemerintah akan bahaya Syiah yang tumbuh pesat serta berbagai artikel anti Syi’ahnya dalam rangka mematangkan situasi menjelang kekerasan terhadap komunitas Syiah di Bondowoso tahun 2006 (Imam Syaukani, 2006). Dan sampai hari ini,
“boro-boro” komunitas Syiáh Indonesia melakukan revolusi membenahi ormasnya sendiri masih mendapat tantangan besar dan memang yakin seyakin-yakinnya, di Indonesia tidak akan ada revousli ala Iran. Zain Al Kaff (Al Bayyinat) menyatakan bahwa “Indonesia adalah buminya Ahli Sunnah wal Jamaah”, sebuah klaim yang mempertontonkan ketidakpahaman
mengenai wawasan kebangsaan (Pancasila, UUD 45, kebhinekaan, dan NKRI). Kemudian A. Sommad dari Makasar menyatakan, “ Syiah dapat meruntuhkan NKRI dan melawan Suni”. Sebuah tuduhan yang super ngawur, karena tidak ada yang bisa diandalkan Syiáh untuk dapat meruntuhkan NKRI.
Berbagai intimidasi dan kekerasan terhadap Syiah yang telah terjadi menjadi jalan dalam membangun logika fatwa sesat MUI Jawa Timur. Dialog Kepala Badan Litbang bersama para peneliti dengan MUI Jawa Timur, paska fatwa sesat, menjelaskan itu.
Munculnya fatwa itu diawali dari persetujuan MUI Kabupaten Kota di Jawa Timur untuk menerbitkan fatwa sesat5. Pimpinan daerahpun diseret untuk mengimplementasikan fatwa itu menjadi peraturn daerah agar melarang lembaga dan aktifi tas Syi’i. Kasus di Sampang misalnya, Bupatinya (Nur Cahyo) pura- pura tidak tahu Tajul bermadzhab Syiah, dan menyatakan tidak ada Syiah di Sampang, yang ada adalah ajaran sesat, jadi harus dilarang. Bupati ini “mbela-mbelain” anti Syiah, berharap dapat menang dalam Pilkada berikutnya 2013 dan ternyata kalah telak.
Ini harus dimaknai bahwa Muslim Sampang sesungguhnya tidak suka klaim kebenaran dan pemimpin yang tidak mengayomi masyarakat. Pemerintah Jawa Timur menindaklanjuti fatwa MUI Jawa Timur dengan menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang melarang komunitas Syiáh melaksanakan kegiatan di seluruh Jawa Timur. (Wakhid Sugiyarto, 2012, dan 2018)
5 Notulasi diskusi “Kajian Kebijakan” Kepala Badan Litbang, para peneliti dan Pengurus MUI Jwa Timur, Mei 2013 dan Makalah Wakhid Sugiyarto, Tanggapan Fatwa Sesat MUI Jawa Timur terhadap Madzhab Syiah, Mei 2913
Di Arab Saudi, komunitas Syiah mencapai 20 -25 persen dan mayoritas di Provinsi Najran, Ahsa, Qatif, Khobar, Dammam, Provinsi Ash-Syarqiyah dan terdapat minoritas besar di Madinah. Sementara Salafi Wahabi yang gaungnya begitu mendunia, ternyata hanya mayoritas di Provinsi Riyadh dan Qasim. Menariknya, menurut Sumanto, gerakan anti- Syiah tidak sevulgar dan segemuruh di Indonesia. Tidak ada agitasi anti Syiah, tabligh akbar anti Syiah yang gemuruh, demo anti Syiah, buku-buku anti Syiah, poster, spanduk, atau selebaran provokatif anti Syiah. Para khatib Jumat memang mengajak umat Islam menghindari praktek bid’ah dan khurafat. Khotbah seperti itu sebetulnya ditujukan kepada komunitas Syiah tetapi tidak pernah menyebut kesesatan Syiah. Yang sering menyebut Syiah terang-terangan sebagai sesat, rafidah, dan murtad adalah para ulama Wahabi ultrakonservatif. Mazhab Syiah dan tradisinya di Arab Saudi mungkin seperti Muslim dengan tradisi NU-nya di Indonesia yang sering menjadi sasaran pentaklitan, pembid’ahan, dan pengkhurafatan. (Sumanto al Qurtuby, 2015).
Dengan memahami dinamika sejarah sepanjang masa, maka semestinya anti Syiah mengambil pernyataan resmi dari Ahlulbai Indonesia atau IJABI sebagai representasi Syiah resmi Indonesia, dan itu menjadi lebih adil. Mendasarkan pada penjelasan akademisi Syiah yang menganut Syiah, jauh lebih baik sebagai cara bertabayun, bukan mendasarkan penjelasan dari musuhnya.
Sebab tidak ada kelompok musuh mampu menjelaskan kebaikan lawanya secara baik. Tuduhan bahwa menurut Syiah, Al- Qur’an yang ada sekarang ini telah mengalami distorsi (tahrif), misalnya, menurut pengakuan buku putih itu (halaman 34):
“Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada di
tangan Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Qur’an.” Jika kita mempelajari asal muasal tahrif dalam al Qur’an, akan diketahui bahwa asal muasalnya dari pandangan segelintir ulama Syiah kelompok Akhbari, antara lain dari Ni’matullah al-Jazairi dan Syaikh Nuri dengan kitabnya “Fashlul Khitab”.
Pada hari ini, kelompok Syiah Akhbari inilah yang sering membuat kekacauan dengan tokohnya Yasir Habib yang tinggal di London, sehingga disebut Syiah London. Jika kalangan anti Syiah mengambil pernyataan atau penjelasan dalam kitab Fashul Khitab dari kelompok Akhbari yang sangat minoritas di banding Syiah Ushuli ini, maka pasti yang ditemukan banyak keganjilan tentang Syiah (Candiki, 2016). Menisbatkan pemahaman Syiah Akhbari untuk menilai Syiah keseluruhan adalah kecelakaan.
Sama saja dengan pemahaman kalangan Salafi Wahabi juga tidak dapat digunakan untuk menilai Ahlu Sunnah secara keseluruhan. Oleh karena itu, menilai pandangan Syiah masa kini dengan hanya berdasar pada kitab induk hadis Syiah, seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini yang biasanya disetarakan dengan Shahih Bukhari bagi Ahlus Sunnah tentu saja tidak bias sebab tidak semua isi hadits dalam Al-Kafi adalah sahih. Al Khulaini sendiri tidak pernah menyebut kitabnya Sahih al Kafi , Sahih Bihar al Anwar dan sebagainya. Bagi mereka yang sedang serius studi ilmu hadis pasti akan tahu hal ini. Jika para propagandis anti Syiah membaca buku putih dan buku kuning terbitan Ahlul Bait Indonesia (ABI) itu, mungkin semua tuduhan dan negatif Syiah dapat terkklarifi kasi dengan baik. ABI dan IJABI adalah representasi Syiah Indonesia paling kompeten hari ini. Oleh karena itu mempropagandakan sesatnya Syiah dari bukunya Ibnu Taimiyah yang sudah ribuan tahun lalu itu tentu saja aneh dan
menggelikan. Untuk menyesatkan Syiah maka siapapun harus mempelajari siapa kelompok Akhbari atau Syiah tradisional dan siapa kelompok Syiah Ushuli atau Syiah rasional serta bagaimana komunitas Syiah membaca kitab besarnya. Syiah Akhbari dan Syiah Ushuli ini analog dengan Ahlul Hadits dan Ahlul Ro’yi dalam Suni. Jadi, tidak mudah sebenarnya menyesatkan mazhablain, ketika tidak memahami sudut pandang komunitas mazhab lain itu memahami ajaran mazhabnya, bagaimana kaum Suni mengutif hadits sahihnya tidak sama dengan kaum Syiah mengutip kitab besarnya. Tidak bisa menyesatkan Syiah dengan metode kaum Suni, apalagi tanpa metode pengetahuan, asal bicara atau menulis, karena akan ditertawakan intelektual yang paham tentang Syiah.
C. PERTUMBUHAN SYIAH BONDOWOSO DAN PENEN- TANGNYA
Lokus dari tulisan naskah ini adalah kabupaten Bondowoso, sehingga perlu dipaparkan secara khusus bagaimana Syiah muncul dan berkembang di Bondowoso. Bondowoso adalah salah satu pusat pertumbuhan Syiah di Jawa Timur, selain Pasuruan, Malang dan Jember. Sebagian masyarakat Muslim Bondowoso pernah melakukan kekerasan terhadap komunitas Syiah di tahun 2006. Seperti dijelaskan Imam Syaukani, keberadaan komunitas Syiah etnis Arab di Kampung Arab sudah sejak tahun 1900-an, bahkan cikal bakalnya adalah kedatangan Ghasim Baharmi di Bondowoso tahun 1800-an. Pada tahun 1830-an, datang pula Habib Muhsin yang meninggal pada tahun 1842-an. Habib Muhsin ini meninggalkan seorang isteri yang sedang mengandung. Pada tahun 1942 itu lahirlah anak laki-
laki bernama Habib Ahmad. Pada usia 14 tahun Habib Ahmad dikirim ke Yaman untuk belajar bahasa Arab dan agama Islam.
Pada usia 28 tahun, yang berarti tahun 1870 Habib Ahmad pulang ke Bondowoso. Ternyata sudah banyak etnis Arab tinggal di kampung Arab dan menjadi sebuah kampung yang popular di Besuki. Tidak berapa lama sampai di Bondowoso, Habib Ahmad mengajar banyak anak di rumah dan para santri datang ke kampung Arab untuk belajar agama. Santri-santri dan anaknya itulah yang sekarang menjadi para pemimpin berbagai pondok pesantren di Besuki (Imam Syaukani, 2007; Wakhid Sugiyarto, 2016; Habib M bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
Selain mengajar bahasa Arab juga mengajarkan fi kih Syafi ’i, meskipun akidah Habib Ahmad adalah Syiah Zaidiyah ( mazhab kelima dalam Suni), bersama dengan Habib Hasan bin Hafi dz bin Syaikh Abu Bakar pada tahun 1914, mereka mendirikan madrasah al Khairiyah yang sekarang menjadi yayasan pendidikan al Khairiyah. Habib Ahmad kemudian berhenti menjadi guru ngaji, tetapi menjadi guru agama sekaligus mengelola madrasah yang didirikan bersama Habib Hasan.
Mazhab Syiah Zaidiyah yang dianut oleh Habib Ahmad tidak berkembang karena tidak disiarkan kepada orang laing kecuali mereka yang ingin mengetahuinya. Perubahan masyarakat Kampung Arab menjadi pengikut Syiah Imamaiyah atau Syiah Dua belas Imam terjadi sesudah tahun 1948, di mana banyak anak kampung Arab belajar di Irak. Pulang dari Irak inilah para santri asal kampung Arab memulai publikasi mazhab Syiah Imamiyah.
Kemudian datanglah seorang Habib dari Yaman Hadramaut yaitu Habib Muh. al-Muhdhar bin Muh. bin Muhdhar membawa mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah yang wafat thn 1984
(96 tahun). Habib Muhammad adalah seorang penyair, sehingga banyak syi’ir yang diciptakannya, salah satunya adalah “khayr al madhzaib madzhab ahlal bayt”. Meskipun demikian tidak lantas Habib Muhammad dan pengikutnya melaksanakan ajaran Syiah secara furuiyah. Mereka bertaqiyah dan melaksanakan tata cara ibadat munurut madzhab Syafi ’i. Mereka hanya salat seperti madzhab Syiah jika di rumah atau bersama jamaah yang Syiah.
Mereka lebih mendahulukan akhlak dari pada fi kih, karena fi kih dapat menimbulkan masalah di kalangan masyarakat awam.
(Imam Syaukani, 2007; Wakhid Sugiyarto, 2016; Habib M bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
Pada tahun 1950-an, datanglah Habib Hamzah bin Ali al Habsyi (paman Muh. Bagier) bersama Habib Muh. Muhdhar berkeliling berdakwah keliling di wilayah Besuki (Bondowoso, Situbondo, Jember dan Banyuwangi). Habib Hamzah adalah ustadz yang sangat alim, karismatik dan memiliki karamah.
Meskipun keduanya berakidah Syiah tetapi tidak mengajarkan mazhab Syiah, malah menjelaskan pentingnya ukhuwah Islamiyah. Di kalangan keluarga para penghuni kampung Arab terutama yang mengaku dirinya sebagai Habib dikenalkan ajaran Syiah, seperti keyakinan bahwa Abu Th alib adalah mukmin.
Namun uniknya mereka tetap mengamalkan cara ibadah seperti dilakukan oleh kalangan Suni jika berkumpul dengan kalangan non Syiah. Ketika Sayyid Ali al Maliki (ulama Arab Saudi) datang ke Bondowoso dan minta diterjemahkan kitab “Insan kamil” (manusia paripurna) orang Bondowoso tidak mau, sebab dalam kitab itu disebut bahwa Abu Th alib adalah kafi r (Habib M. bagir al Habsy, wawancara 29/8/2019).
Keberadaan Syiah di Bondowoso (termasuk Indonesia umumnya) mengalami momentum setelah revolusi Iran. Setelah itu, Habib Hamzah secara terang-terangan menyatakan dirinya atau mengaku sebagai orang Syiah, tetapi sebagai guru agama tetap tidak mengajarkan ajaran Syiah kepada non Syiah, kecuali keluarga Kampung Arab. Pengakuan Habib Hamzah sebagai Syiah itu telah memancing perhatian masyarakat sekitar. Pada tahun 1995, Habib Hamzah membentuk Yayasan Ash Shadiq yang dipimpin sendiri. Habib Hamzah juga membuka pengajian rutin dirumahnya setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu. Habib Hamzah mengajar gramatikal bahasa Arab (nahwu) pada hari Senin, fi kih pada hari Selasa dan tafsir pada hari Rabu.
Murid-muridnya adalah anak-anak para kyai yang datang dari berbagai penjuru Besuki (Bondowoso, Situbondo, Jember dan Banyuwangi) yang sekarang memegang posisi penting di pesantren-pesantren besar. Meskipun Habib Hamzah sudah mengaku sebagai Syiah, tetapi tidak mengajarkan ajaran Syiah, dan konsisten mengajarkan kitab-kitab Sunni, hanya kemudian ditambahkan saja yaitu fi kih Jakfari ( Syiah). Misalnya ketika ia menjelaskan tatacara wudlu seperti dilaksanakan kalangan Suni, maka sekarang ia tambahkan cara wudhu cara Syiah, yang dipersilahkan untuk memilih. Ketika menjelaskan masalah aurat menurut Suni, maka kemudian ditambah dengan beraurat cara Syiah. Kebanyakan yang ikut pengajian adalah anak-anak kyai, sehingga penambahan yang berkaitan dengan ajaran Syiah itu tidak menjadi persoalan apa-apa dan tidak ada gejolak di kalangan Sunni. (Wakhid Sugiyarto, 2016; Habib M. bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
Kondisi kehidupan keagamaan yang tenang dan harmoninya relasi Suni Syiah itu terusik. setelah meninggalnya ustadz Hamzah tahun 2005. Sebagian ulama atau kyai yang merupakan santrinya mulai berbalik arah dengan melakukan propaganda anti Syiah.
Habib Hamzah yang wafat tahun 2005, telah memposisikan Syiah Bondowoso memasuki babak baru dalam kehidupan sosial keagamaannya sebab Habib Hamzah merupakan tokoh pemersatu komunitas Muslim Bondowoso dan sangat dihormati yang membuat segan semua orang yang tidak menyukainya.
Pengetahuannya yang luas tentang ilmu pengetahuan agama dalam semua mazhab, memiliki karamah dan tempat belajar semua anak kyai Besuki, telah memposisikannya sebagai ustdaz yang sangat disegani, bahkan oleh para kyai sekalipun. Di samping itu, posisinya sebagai Habib “masih keturunan Nabi (dzuriyat nabi) telah menambah wibawanya di tengah-tengah masyarakat Besuki. Para kyai di Bondowoso dan Besuki yang pernah menjadi santrinya, ketika santrinya datang pada dirinya cium tangan, tetapi ketika mereka datang ke Habib Hamzah, maka para kyai itulah yang cium tangan. Dalam tradisi masyarakat Suni, utamanya kalangan Nahdiyin di Besuki, kedudukan Habaib sebagai dzuriyat Nabi sangat terhormat. Meninggalnya Habib Hamzah membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak senang melakukan gerakan menentang keberadaan Syiah, bahkan melakukan kekerasan terhadap komunitas Syiah, seperti terjadi di Jambesari tahun 2006 (Imam Syaukani, 2007; Wakhid Sugiyarto, 2016; Ringkasan FGD 27/8/2019; Habib M. bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
Sebelumnya, segala upaya untuk menjelek-jelekan Syiah masih dilakukan sembunyi-sembunyi karena keulamaan
Habib Hamzah dan kewibawaannya yang luar biasa. Tuduhan kalangan anti Syiah sendiri memang bukan tanpa sumber rujukan, tetapi bersumber pada kitab babonnya Syiah. K.H.
Abdul Muis Turmudzi yang menjadi kyai karena mengaji kepada Habib Hamzah menegaskan bahwa semua tuduhan itu bukan rekayasa, tetapi dikutip dari kitab-kitab induk yang menjadi pegangan kaum Syiah sendiri, seperti Kitab Ushul al Kafi , Kitab Ma La Yadhuruhu al Faqih, Kitab al Tahzib, Kitab al Istibshar, dan Kitab Bihar al Anwar. Tentu saja Abdul Muis Turmudzi memanfaatkan kelemahan berbagai kitab yang belum diklasifi kasi seperti kutubusita itu. Menurutnya, lima kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang otoritasnya dapat disetarakan dengan kutubusitta dalam Suni. Dalam hal ini, KH.
Abdul Muis sepertinya tidak jujur dan memiliki kedengkian sehingga tidak peduli bahwa kitab babon Syiah itu memang tidak ada yang disebut kitab sahih, karena maksudnya ingin menghancurkan Syiah. Menurut informasi dari berbagai pihak, setiap ada kesempatan ceramah Kyai Muis dengan semangat selalu menyelipkan pesan agar tetap waspada terhadap Syiah dan sering berlebihan dalam pesannya, bahkan dengan kata-kata agitatif dan provokatif yang membakar emosi massa. Semasa hidup Habib Hamzah, Abdul Muis tidak berani seperti itu, karena Habib Hamzah adalah guru ngajinya sendiri. Entah ada kepentingan dan tujuan apa KH. Muis berperilaku seperti itu.
Hanya KH. Muis sendirilah yang tahu. Muh bagir al Habsyi menyatakan saudara saudara Syi’ahnya tak berusaha membela diri dan bahkan membiarkan saja tuduhan pejoratif terhadap Syiah itu berkembang karena merasa keyakinan Syi’ahnya ( Syiah Imamiyah) tidak seperti dituduhkan. Jadi, tidak ada gunanya
membela diri kepada orang sedang emosi dan dengki, bahkan menganggap tuduhannya salah alamat dan ketidaktahuan.
Habib bagir dan saudara Syi’ahnya hanya memberikan penjelasan secara detil apabila ada orang yang datang baik-baik ke rumahnya (Imam Syaukani, 2007; Wakhid Sugiyarto, 2016;
Habib M. bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
Sebelum kekerasan di Jambesari tahun 2006, Yayasan al Bayinat Surabaya telah mengeluarkan banyak selebaran yang menyerukan umat Islam agar memboikot penganut Syiah.
Caranya dengan, tidak menyalati dan menguburkan orang Syiah jika meninggal, tidak menjadikan orang Syiah sebagai imam, melarang menikah dengan mereka, tidak bergaul (duduk- duduk) dengan mereka (jangan menghadiri undangan mereka), tidak menjenguk orang Syiah yang sedang sakit dan sebagainya.
Selebaran itu beredar luas di masyarakat dalam rangka pematangan dan pemanasan menuju tujuan mengkapitalisasi kebencian agar terjadi kekerasan terhadap Syiah. Karena tidak lama setelah itu terjadilah kekerasan terhadap komunitas Syiah di Jambesari di tahun 2006. (Habib Muh. bagir al Habsy, wawancara 28/8/2019).
D. MAZHAB SYIAH DAN KEINDONESIAAN
Suka tidak suka gerakan Syiah di Indonesia jelas ada dan terus mendapatkan pengikut baru, namun tidak terlihat karena strategi taqiyahnya. Strategi taqiyah digunakan sebagai cara untuk nengamankan diri dan menjaga paham keagamaanya, di samping mendahulukan akhlak dari pada fi kih. Berbagai bentuk persekusi maupun kekerasan sepertinya tidak menyurutkan kalangan muda, utamanya mahasiswa dinamis untuk
mempelajari apa itu Syiah, bagaimana doktrin dan ajaranya, termasuk di mana saja kaum Syiah berdiaspora di seluruh dunia.
Kondisi keilmuan masyarakat Muslim Indonesia dalam melihat sesuatu yang sebagian masih cenderung hitam putih dan fi kiyah menjadi salah satu faktor mengapa komunitas Syiah seperti berstrategi taqiyah.
Dalam konteks internasional, sangat banyak usaha pendekatan mazhab. Pendekatan mazhab ini sudah dimulai sejak masa Hasan Al Bana dan Grand Al Azhar tahun 1940-an.
Usaha ini terus dilakukan secara berkelanjutan dalam berbagai pertemuan internasional (OKI) atau lainya. Pertemuan paling monumental adalah pertemuan tokoh Islam OKI 9 Januari 2006 (27 Ramadhan 1425 H) yang kemudian melahirkan Deklrasi Amman atau Risalah Amman. Risalah Amman ini oleh dibacakan Raja Abdullah II bin Al-Hussein di hadapan 200 ulama dari 50 negara. Pada tahun 2011 sebanyak 512 ulama dari 80 negara menandatangani Risalah Amman ini. Risalah Amman itu mengakui 8 mazhab dalam Islam, yaitu: mazhab Maliki, Hanafi , Syafi ’i, Hambali, Dzahiri, Ja’fariyah/ Syiah Imamiyah, Zaidiyah/ Syiah, dan mazhab Ibadiyah. Risalah Amman itu juga melarang umat Islam mentakfi rkan umat Islam penganut teologi Asy’ariyah, teologi Maturidiyah, dan kaum tasawuf.
Menghakimi salah satu madzhab fi kih dan teologi di atas sebagai kafi r, berarti orang itu sendiri kafi r. Utusan Indonesia dalam pertemuan internasional organisasi Islam internasional (OKI) ini adalah Menteri Agama Maft uh Basuni, Tuti Alawiyah, KH. Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin dan sebagainya total 8 orang. Di luar pertemuan ini, sangat banyak pertemuan yang dilaksanakan hampir setiap tahun di berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan tema besarnya berusaha keras perlunya saling
memahami, saling mendekati, dan mengakui satu sama lain.
Oleh karena itu agak ganjil jika MUI tiba-tiba mengeluarkan hasil kajian yang rasanya tidak menganggap Syiah itu sah menurut ulama internasional dan eksis di Indonesia. Sementara Syiah secara historis, fi kiyah, tafsiriyah, tasawuf, tradisi dan budaya sudah eksis dan menjadi bagian tak terpisahkan dari umat Islam.
(Wakhid Sugiyarto, 2016)
Realitas monumental lainnya bagi umat Islam Indonesia adalah pernyataan Syeikh Al Azhar 24 s.d 29/2/2016 di Istiqlal, MUI, istana Presiden, UIN Jakarta dan Malang, bahwa kaum Syiah adalah saudara Suni. Dua Syeikh Suni dan Syiah dari Iran ketika di Kementerian Agama, MUI dan Badan Litbang Agama, akademisi Mohammed Kashizadeh di Medan6 juga menyampaikan bahwa Suni Syiah itu bersaudara, dan hubungan Suni Syiah di Iran sangat baik (Wakhid Sugiyarto, 2016) Jadi apakah seluruh usaha yang dilakukan kalangan cendekiawan Muslim dan ulama dari berbagai negara itu belum cukup untuk menempatkan mazhab Syiah sebagai mazhab yang sama terhormatnya dengan mazhab Suni. Ini pertanyaan yang selalu harus diketahui oleh semua kalangan, utamanya para elit anti Syiah dari berbagai forum dan aliansi. Perbedaan tidak menjadi rahmat ketika dijadikan bahan pertengkaran dan menafi kan yang lain. Jika yang terjadi pertengkaran akademis di ranah akademis, maka itu menjadi hal yang biasa untuk kemajuan umat Islam sedunia.
6 Dalam pertemuan di Badan Litbang Kementerian Agama awal Juni 2016, dua Syeikh Suni dan Ayatullah Iran, telah menjawab semua tuduhan yang beredar di Indonesia tentang relasi Suni Syiah di Iran. Hal ini sudah sering penulis kutif dalam setiap tulisan tentang Syiah.
Umat Islam seluruh dunia harus mengakhiri sengketa sepanjang lebih dari satu meillenium ini dan memperhatikan berbagai usaha pendekatan mazhab serta fatwa rahbar Imam Ayatullah Uzma Ahmad Kamenei yang melarang siapapun, termasuk komunitas mazhab Syiah menghujat dan menghina para Sahabat yang dijunjung tinggi oleh umat Islam bermazhab Ahlu Sunnah. Dalam sebuah Muktamar Taqrib di Kairo, Syaikh Wahbah, guru besar Universitas Al Azhar menyatakan “Tilka ummatan qad khalat laha ma kasabat wa ‘alayha ma iktasabat’.
Mereka adalah kaum yang telah lalu, bagi mereka apa yang mereka lakukan. Sejarah kelam mestinya kita tinggalkan, demi menatap masa depan yang lebih toleran terhadap perbedaan.
Kita tidak tahu, apakah kalangan intelektual anti Syiah pura- pura tidak tahu berbagai deklarasi dan konferensi internasional tentang sahnya Syiah sebagai mazhab Islam.
Konstitusi Indonesia dengan sangat jelas memperlihatkan bagaimana negara memposisikan mazhab Syiah dalam konteks ke-Indonesiaan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam UUD
’45, Pasal 28E ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, kewarganegaraan, memilih tinggal di wilayah negara dan meningalkanya, serta berhak kembali”. Pada Ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28I ayat (2), “setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan bersifat diskriminatif ” dan Pasal 29 ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya”. Pasal ini selalu dikutif siapapun ketika bicara dan menulis berkaitan dengan kebebasan beragama di Indonesia. Konstitusi kita adalah bagian dari empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu ketika kalangan anti Syiah berperilaku inskonstitusional dan seperti tidak paham empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan, harus diingatkan dengan tegas agar kembali kepada komitmen kebangsaan tersebut. Memproduksi massal buku MPPSI, mencetak berbagai famlet dan selebaran secara masif, mendirikan ormas anti Syiah (ANAS), menerbitkan fatwa sesat, menerbitkan pergub dan perda larangan kegiatan tradisi keagamaan Syiah adalah bentuk penentangan langsungterhadap komitmen kebangsaan. Tidak mungkin bisa menjaga Pancasila, konstitusi, Bhineka Tunggal Ika dan menjaga NKRI dengan cara mlakukan hal di atas. Jadi mereka harus dikoreksi total jiwa ke- Indonesiaannya, agar kembali ke jati diri bangsa yang moderat dan selalu menjaga kegotongroyongan.
Hal seperti ini juga djelaskan dalam dalam buku “Moderasi Beragama” bahwa indikator beragama yang moderat bagi bangsa Indonesia adalah komitmen kebangsaan itu, yaitu empat dasar kesepakatan dasar dalam kehidupan kebangsaan.
Kemudian memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan, anti kekerasan dalam menyelesaikan masalah dan menghargai kebudayaan lokal. Kalangan anti Syiah sudah lupa dengan ketiga indikator moderasi beragama itu, sehingga masih ingin menyingkirkan yang lain (tidak toleran) dalam bentuk berbagai demo anti Syiah. Ingin bicara dengan argumen berlapis- lapispun, fakta telah menunjukkan bahwa kalangan propagandis
sektarian seperti tidak paham bagaimana beragama yang benar dalam konteks konstitusi Indonesia. (Abdul Jamil dan Aniek Farida, 2019) Mereka masih merasa bahwa konstitusi bisa
“dikangkangi” untuk memenangkan kepentingannya, walaupun nyata-nyata bertentangan dengan kesepakatan dasar kehidupan kebangsaanm, tolernsi dan anti kekerasan.
E. ORMAS ISLAM DAN AKADEMISI BICARA SYIAH Dalam konteks keormasan Islam dan cendekiawan Muslim Indonesia ternyata tidak ada satupun organisasi sosial keagamaan besar di Indonesia yang menyesatkan Syiah, seperti;
NU, Muhammadiyah, Al Wasliyah, Matlaul Anwar, Nahdhatul Wathan, Perti dan sebagainya yang menyesatkan Syiah. Jangan- jangan otoritas dan kapasitas ulama ormas keagamaan ini lebih kuat daripada otoritas dan kapasitas tim pengkaji Syiah di MUI.
Apalagi akademisi, intelektual dan tokoh-okoh Islam Indonesia ring satu, seperti; Quraish Shihab, Mustafa Bisri, Gus Dur, Amin Rais, Buya Safi ’i Ma’arif, Azurmadi Azra, Habieb Rizieq, Din Samsuddin, Said Aqil Siraj dan ribuan akademisi Muslim lainnya umumnya juga tidak menyesatkan Syiah. Kalangan anti Syiah memang berkewajiban menjelaskan kepada umatnya agar umat tidak berubah madzhab, tetapi tidak perlu menyesatkan yang lain. Al Bantani (PB NU) dalam buknya “Mengkritisi Fatwa- Fatwa Merah MUI dan DDII”, menjelaskan secara jelas bahwa NU tidak mungkin menyesatkan Syiah, karena semua intelektual NU tahu mazhab Syiah. Di samping itu ada pernyataan Aqil Siraj (semoga rahmat Allah tetap tercurah kepadanya) dan Gus Dur (semoga rahmat Allah tetap tercurah kepadanya) yang tidak menyesatkan Syiah. Karena itu empat kesepakatan dasar
kehidupan kebangsaan dapat menjadi jaminan hak konstitusional hidupnya mazhab Syiah bagi penganutnya.
Pengaruh berbagai usaha dalam konferensi internasional, kaum intelektual otoritatif dan ormas keagamaan besar yang tidak menyesatkan Syiah memang belum nyata, tetapi dalam realitasnya telah terjadi banyak perubahan yaitu semakin moderat. Suara-suara keras anti Syiah sudah kurang terdengar atau tidak didengar oleh umat Islam Indonesia yang tidak suka dengan provokasi, konfl ik dan kekerasan. Semakin banyak buku dan tulisan tentang Syiah beredar baik yang pro maupun anti Syiah dan pembacapun dapat membandingkan kualitas tulisan keduanya secara obyektif ilmiyah. Para elit agama dan akademisi juga makin obyektif dalam memahami Syiah setelah banyak membaca. Akademisi dan elit agama yang pernah atau sudah berkali-kali ke Iran, satu persatu menyatakan bahwa ajaran Syiah di Iran tidak seperti yang dituduhkan anti Syiah di Indonesia.
Usaha melengserkan Bashar al Ashad yang propagandanya membantai kaum Suni Suriah telah gagal, karena berita dan propaganda itu ternyata bohong dan fi tnah. Begitupun koalisi Arab Saudi yang sesumbar akan menyelesaikan Syiah Zaidiyah Yaman dalam hitungan pekan ternyata tidak terjadi. Sudah 5 tahun Arab Saudi bersama koalisinya ternyata gagal mencapai target kesombongannya. Banyaknya mahasiswa Suni Indonesia yang belajar di Iran, misalnya kemenakan KH. Mustafa Bisri, Rembang yang sedang kuliah di Isfahan, dapat menjadi bukti bahwa propaganda anti Syiah di Indonesia lebih banyak
bohongnya dari pada benarnya.7 Semua hal di atas secara pelan tetapi pasti mulai meruntuhkan argumen propagandis anti Syiah, yang tadinya sangat berharap menjadi argumen mematikan bagi propagandanya dalam mengobarkan gerakan anti Syiah.
Sekali lagi, apakah deklarasi Amman negara-negara anggota Konfrensi Islam Internasional (OKI) yang mengakui 8 mazhab dalam Islam, pernyataan para tokoh agama dan akademisi ring satu Indonesia yang pernah ke Iran, undangan raja Fadh terhadap Ahmadenejad untuk menunaikan haji, empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan dan sebagainya, belum cukup untuk menempatkan mazhab Syiah setara dan sama terhormatnya dengan mazhab Suni di Indonesia. Jadi memahami semua perspektif kiranya lebih baik, dari pada merasa benar sendiri, karena ahlinya menilai tidak menyesatkan. Universitas al Azhar adalah kampiun madzhab Suni internasional, dan ternyata tidak menyesatkan Syiah, justru menjadi pelopor dan ikut mengeluarkan paham Salafi Wahabi dari keluarga mazhab Ahlu Sunah wal Jamaah (deklarasi Grozni/Chechnya 2018). Penulis dibuat tidak mengerti oleh kondisi seperti ini. Mungkin ada baiknya para intelektual anti Syiah beramai-ramai berangkat ke Iran untuk membuktikan tuduhannya selama ini atau merespon permintaan IJABI dan ABI sebagai perwakilan resmi dan sah Syiah Indonesia untuk menyampaikan klarifi kasinya menurut ahli Syiah yang menganut Syiah. Bukan ahli Syiah tetapi anti Syiah. Sebab tidak ada ceritanya kalangan musuh dapat
7 Ketika berkesempatan ke Iran, penulis sempat wawacara dengan kemenakan Mustafa Bisri yang saat itu sedang kuliah di salah satu universitas di Isfahan.
menjelaskan baiknya musuh secara benar (kepleset salah melulu), sebaik apapun musuhnya. Dengan klarifi kasi itu diharapkan saling sesat menyesatkan Suni dan Syiah dapat berhenti. Semua energi yang dimilikipun dapat digunakan untuk menyelesaikan problmatika umat yang masih terlalu banyak.
F. MENJAGA HARMONI SOSIAL DAN RELASI SUNI SYIAH
Kajian MUI Pusat yang kontroversial “Mewaspadai Penyimpangan dan Penyelewengan Syiah di Indonesia (MPPSI) telah dicetak jutaan eksemplar dan dibagikan ke seluruh Indonesia, fatwa MUI Jawa Timur tentang sesatnya Syiah telah diterbitkan dan disebarkan ke seluruh Indonesia. Pemerintah Pusat yang ambigu, telah dimantabkan Gubernur Jawa Timur yang menindaklanjuti fatwa sesatnya MUI Jawa Timur dengan larangan kegiatan komunitas Syiah di Jawa Timur. Berbagai kelompok keagamaan, laskar dan berbagai forum keagamaan atau aliansi-aliansi yang jumlahnya bisa ribuan di seluruh Indonesia sudah menggelar berbagai aktifi tas membangun kebencian terhadap komunitas Syiah. Bahkan sudah ada aliansi nasional anti Syiah (ANAS) yang khusus mengkoordinir dan melaksanakan gerakan anti Syiah secara massif di berbagai kota besar di Indonesia. Aksi kekerasan verbal dan non verbalpun sudah digelar di berbagai wilayah di Indonesia. Namun apakah Muslim Indonesia sepakat dengan semua bentuk persekusi, penyesatan dan mendelegitimasi Syiah Indonesia?.
Di Bondowoso, yang pernah terjadi kekerasan terhadap komunitas Syiah, ternyata malah sebaliknya yaitu mengabaikan fatwa sesat MUI Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa
Timur yang melarang kegiatan komunitas Syiah di Jawa Timur. Komunitas Syiah Bondowoso dapat melaksanakan kegiatan keagamaan sesuai dengan tradisinya dengan baik dan aman sejak tahun 2007 hingga sekarang. Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso melindungi mereka sesuai amanat konstitusi, khusus pasal 29 UUD ’45 dan menjaga komitmen kebangsaannya. Pemerintah merasa tidak ada alasan untuk melarang komunitas Syiah untuk melaksanakan kegiatan tradisi keagamaannya yang sebenarnya sudah berjalan sejak jaman dulu, sejak ada komunitas Arab di Kampung Arab sendiri.
Melarang kegiatan komunitas Syiah Kampung Arab aneh karena seperti melarang tradisi keagamaan masyarakat Bondowoso yang sudah diamini masyarakat sejak ratusan tahun lamanya.
Ribut-ribut tentang masalah mazhab Syiah ini menjadi tidak relevan di Bondowoso. Gerakan anti Syiah yang terjadi seperti tiba-tiba ada yang mengendalikan dan menggerakkan, entah oleh siapa, karena sejak dulu tidak ada masalah di Bondowoso.
Namun sejak tahun 2000-an hingga tahun 2015-an tiba-tiba seluruh Indonesia ramai-ramai menggugat keberadaan Syiah, termasuk di Bondowoso. Setelah tahun 2016-an itu gerakan anti Syiah tiba-tiba mereda dan diam sejak tahun 2018-an, kecuali gerakan secara sporadis.
Pemerintah Daerah Bondowoso, termasuk Kementerian Agama waktu itu (2006) sampai hari ini menunjukkan peranya yang luar biasa dalam menjaga empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan (Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika) sehingga kegiatan Syiah tetap berjalan dengan aman dan damai. Pemerintah daerah telah menyimpulkan pandangan umum bahwa masyarakat Bondowoso adalah
masyarakat yang cinta damai dan tidak suka kekerasan, apalagi konfl ik, sehingga demo-demo anti Syiah semakin tidak disukai masyarakat. Apalagi masyarakat juga tahu bahwa para kyai di eks Karesidenan Besuki sebagian besar adalah santri alumni Kampung Arab. IJABI setelah kekerasan tahun 2006 itu telah mendirikan kepengurusan IJABI dan membangun masjid sendiri di Jambesari. Bupati Amin Said Husni yang memimpin Kabupaten Bondowoso selama dua pereode dan baru berakhir tahun 2019 ini dengan terang-terangan tidak melaksanakan Pergub Jawa Timur berkaitan larangan komunitas bermazhab Syiah melakukan kegiatan keagamaan. Menurutnya hal ini bertentangan HAM, demokrasi dan empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan atau komitmen kebangsaan. Keteguhan Bupati Bondowoso yang memegang HAM, demokrasi dan komitmen kebangsaan telah menyelamatkan komunitas bermadzhab Syiah dari persekusi dan kekerasan lebih lanjut.
Selama Amin Said Husni menjadi Bupati, komunitas bermadzhab Syiah bebas melaksanakan ibadah dan kegiatan keagamaannya, meskipun di awal pemerintahannya sempat masih ada demo- demo menentang kegiatan Syiah. Sementara selama 15 tahun terakhir resistensi kalangan anti Syiah sangat kuat di berbagai daerah. Dengan “tangan dinginnya” penolakan anti Syiah di Bondowoso dapat diredam. Bahkan sejak tahun 2010 sama sekali tidak ada demo penolakan anti Syiah dan kegiatan keagamaannya. Amin Said menjalankan dan menerapkan empat kesepakatan dasar dalam kehidupan kebangsaan sebagai cara mengelola pemerintahan yang baik. Sebagai anggota NU yang baik, ia seperti ormas yang diikutinya bahwa dukungan terhadap empat kesepakatan dasar dalam kehidupan kebangsaan sudah tidak perlu penjelasan dan lampiran.
Amin Said sangat tahu bahwa demo-demo anti Syiah dan kegiatan keagamaannya itu hanyalah kamufl ase dari kondisi kesulitan ekonomi masyarakatnya dan dikendalikan oleh pihak-pihak yang senang kekacauan. Karena itu Amin Said berusaha memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara meningkatkan produksi pertanian. Salah satu yang dilakukan adalah mengembangkan kembali produksi kopi sebagai produk unggulan. Usahanya cukup berhasil, hingga Bondowoso disebut
“Republik Kopi” karena kerberhasilan dalam mengembangkan produksi kopi. Bermitra dengan Perhutani, Bupati juga memberdayakan petani dengan penanaman kakau. Para petani dilatih dan dibina, diberikan alat dan diberikan pemodalan sampai dicarikan pasarnya. Di tangan Bupati Amin Said ini, Bondowoso berhasil mengekspor kopi ke Swis. Karena kualitas kopinya yang bagus, masyarakat ekonomi Eropa mengirim perwakilannya ke Bondowoso untuk melihat langsung kebon kopinya. Meskipun demikian Bupati Amin Said merasa belum berhasil karena industri pertanian belum sampai ke agro industri secara maksimal. Semua program pemberdayaan itu ditujukan untuk nilai tambah kehidupan petani sehingga tidak mudah diprovokasi melakukan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam peta konfl ik di Jawa Timur, Bondowoso termasuk wilayah yang menyimpan bara konfl ik anti Syiah, disamping, Pasuruan, Sampang8 dan Kabupaten Jember. Tetapi seperti
8 Informasi terakhir dari Bimas Islam, komunitas Syiah Sampang yang ditampung di Sidoarjo sebagian sudah sempat pulang ke Bluuren, tetapi balik lagi ke pengungsian karena rumahnya sudah hancur. Rumahnya sejak tahun 2012 sudah tidak ditempati, tentu saja hancur. Di samping itu
teorinya Bromley, bara api tidak sampai masuk ke tahap keempat, yaitu perang habis-habisan yang menyebabkab eksodus ataupun pengusiran seperti komunitas Syiah Kabupaten Sampang. Semua usaha provokasi anti Syiah “kempes” ditahap kedua, yaitu menunggu kebenaran informasi dari kalangan yang lebih independen. Dengan semakin kerasnya publikasi mazhab Syiah baik yang pro maupun yang anti Syiah, maka resistensi terhadap Syiah justru menurun. Buku-buku anti Syiah dalam kacamata banyak pembaca juga dibandingkan rasionalitasnya dengan buku-buku Syiah yang ditulis oleh akademisi Syiah. Ini mungkin terkesan seperti membela Syiah, tetapi semua pembaca dapat membandingkan sendiri bagaimana kualitas tulisan anti Syiah. Apalagi jika para pembaca paham kesepakatan Amman dan empat dasar kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan, maka buku-buku anti Syiah menjadi kontraproduktif dan tidak menarik didalami lebih lanjut.
Di Bondowoso, eksistensi Syiah sudah ada sejak lama, utamanya sejaknya masuknya komunitas etnis Arab di akhir tahun 1800-an. Etnis Arab telah membangun komunitas sendiri yang kini disebut kampung Arab. Di kampung Arab inilah mazhab Syiah mulai dikenalkan secara fi kih di lingkungannya sendiri. Meskipun demikian, kampung Arab merupakan pusat belajar dari para kyai generasi yang sebelum kyai sekarang pegang peranan di wilayah Besuki. Dengan mendahulukan akhlak daripada fi kih, para ulama kampung Arab ini tidak
ladangnya juga hancur menjadi semak belukar dengan pohonan sehingga sulit diolah menjadi lahan pertanian lagi. Pemerintah sepertinya harus membangun kembali rumah mereka agar bisa pulang dan membangun infarstruktur di wilayah komunitas Syiah Sampang itu.
mengajarkan madzhab Syiah di kalangan etnis nonArab. Mereka hanya mengajarkan mazhab Syiah di kalangan sendiri. Namun tradisi Syiah sudah jalan dan mendarahdaging di Bondowoso sejak keberadaan masyarakat Arab di Kampung Arab itu, termasuk di kalangan Nahdiyin. Tradisi Syiah sudah eksis sejak kemberadaan komunitas Arab tahun 1800-an itu, sehingga jika sekarang meributkan keberadaannya di Bondowoso menjadi aneh bin ajaib. (Imam Syaukani, 2009).
Selain Bupati Amin Said, Kepala Kemenag yang baru dua bulan diangkat (Solihul Kirom), maka beliau tidak terlibat dalam berbagai persoalan yang menimpa saudara-saudara komunitas Syiah di Bondowoso. Tetapi tahu bahwa Kepala Kantor Kementerian Agama (H.M. Kholil Syafi `i) yang dalam masa jabatannya terjadi kekerasan terhadap Syiah tidak menuruti kemauan kelompok intoleran untuk melarang kegiatan Syiah.
Sebagaimana Bupati Amin Said, Kepala Kandepag tahu bagaimana sebagai aparat pemerintah harus menegakkan empat kesepakatan dasar kehidupan kebangsaan. Dijelaskan bahwa ketika itu, orang-orang yang mengaku forum ulama Suni (Fokus) mendatangi Kantor Dep. Agama menyerahkan surat keberatan terhadap keberadaan IJABI. Surat tersebut ditandatangani beberapa pengasuh pondok pesantren dan 5 surat yang mengatasnamakan ormas keagamaan Islam NU. Kepala Kantor Dep. Agama waktu itu, H.M. Kholil Syafi `i, menjelaskan bahwa pihaknya tidak dapat mengambil langkah apapun atas tuntutan pelarangan berdirinya IJABI, sebab menurutnya organisasi yang baru tersebut sudah masuk lembaran negara dan sah untuk berkiprah di seluruh Indonesia. Di era demokrasi, pemerintah tidak mudah melarang, tetapi harus memberikan kebebasan
bagi setiap warga negara untuk berserikat dan berorganisasi. M.
Kholil waktu itu memberi saran kepada para ulama Sunni untuk menjaga jamaahnya agar tidak terpengaruh berbagai paham yang mungkin menyimpang. Fastabiqul khairat lebih baik dari pada berusaha melenyapkan yang lain.
Sementara itu, Muft iyatul Karimah, (Kasi Bimas Islam) menyatakan bahwa berdasarkan hasil Rakerpim pejabat Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, bahwa tingkat kerukunan umat beragama di Jawa Timur tahun 2018 menurun. Salah satu penyebabnya adalah karena kasus Syiah dan Suni di Kabupaten Sampang serta kekerasan di Jambesari Bondowoso yang sampai sekarang dianggap belum selesai.
Padahal di Jambesari masalah itu sudah selesai tidak lama setelah kekerasan terjadi (2006). Persoalan Jambesari tidak diperpanjang oleh komunitas Syiah, dan penyerangpun telah dimaafk an. Pemerintah, ormas keagamaan dan masyarakat telah menujukkan sikap yang moderat sehingga segera dapat menyelesaikan kasus Suni Syiah Jambesari dan Kampung Arab.
Dengan mediasi yang dilakukan tokoh-tokoh ormas keagamaan dan FKUB, masyarakat Jambesari sudah hidup rukun dan damai dan tidak lagi mempersoalkan si fulan adalah Sunni atau si fulan lainnya adalah Syiah. Tingkat kesadaran mereka sebagai Muslim moderat sudah semakin baik, sehingga tidak lagi mudah terprovokasi isu-isu miring yang sengaja dihembuskan kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat atas arahan pemerintah daerah, para tokoh agama, FKUB dan berbagai kelompok penggiat kerukunan tidak lagi mendengar provokasi dan agitasi anti Syiah. Masyarakat juga tidak datang jika ada pengajian akbar dengan para penceramah dari luar