TAREKAT HABIB LUTFI DALAM DINAMIKA KUB DI KOTA
H. HABIB LUTHFI, TOKOH SENTRAL TAREKAT DI PEKALONGAN
Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, yang memiliki nama lengkap Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Keputran, pada Senin pagi tanggal 27 Rahab tahun 1367 H, bertepatan dengan 10 November 1947 M. Beliau merupakan putera pertama dari sembilan bersaudara. Ayah beliau bernama Ali Hasyim, seorang ulama kharismatik, dikenal sebagai ulama yang saleh, arif dan bijaksana serta dihormati oleh masyarakat pada saat itu (Solehuddin, 2010:27). Sedangkan Ibundanya bernama Nurlaela binti Muchsin Mulahela, yang merupakan wanita salehah dari keluarga dan cucu kanjeng pengeran Bupati Pekalongan yang bernama Tan Jan Ningrat, yaitu Bupati keempat Pekalongan;
Tumenggung Suryodirjo. Istri beliau bernama Salma Hasyim yang dikaruniai lima anak, yaitu Muhammad Bahauddin Al-Alawi, Fatimah Nikmatul Alzaenabi, Ummu Hani Al-Fatiwi, Fatimatuzzahroh Al-Muhammadi dan Muhammad Syarif Hidayatullah Al-Husaini bin Yahya (Bustomi, 2017:41). Kediaman beliau beralamat di Jl. Noyontaan, gang 7, kota Pekalongan, dimana sejak lahirnya beliau diasuh oleh seorang ibu bernama Zainab binti H. Umar. Kediaman Habib Luthfi sendiri tidak pernah sepi dari tamu-tamu yang datang untuk bersilaturrahmi dan meminta doa kepadanya. Begitupun gerbang dan pintu rumahnya selalu terbuka 24 jam dan dibebaskan bagi siapapun yang hendak mencari keberkahannya, atau bagi siapapun yang sekadar ingin beristirahat.
Habib Luthfi sendiri mulai belajar Islam dengan membaca dan memahami Alquran dari guru-gurunya yang berjumlah 150 orang. Pada usia 4 tahun beliau meninggalkan keluarganya untuk menuntut ilmu di Indramayu, Jawa Barat. Dan setelah rampung, beliau pun pulang ke Pekalongan untuk kemudian meneruskan pendidikan sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Dari sekolah inilah beliau banyak belajar kedisiplinan dan komunikasi antar sesama temannya. Pada tahun 1959 Habib Luthfi melanjutkan studinya di pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon, kemudian di Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu baru melanjutkan ke Makkah, Madinah dan sejumlah negara lainnya. Dari guru-gurunya beliau mendapatkan ijazah khas dan ‘amm dalam dakwah dan nasyru al-syari’ah dalam berbagai disiplin ilmu, serta beliau pun mendapatkan ijazah untuk membaiat orang lain (Khanafi , 2013:342). Pada tahun 1965 M hingga 1967, sebagai seorang remaja, kehidupan Habib Luthfi banyak dihadapi oleh situasi masyarakat yang belum aman dan belum memahami Islam, yaitu bertepatan pada G 30 S PKI, dimana masyarakat terkungkung dalam paceklik pada segala bidang. Beliau bersama teman-temannya mulai mendobrak dan mengajarkan masyarakat untuk mengenal Islam, dan mulai berdakwah dimulai di Kampung Kwijan, Desa Keputran. Kemudian pada tahun 1960 hingga 1962 beliau menjadi pengajar di Madrasah Al-Ma’ruf, desa Kliwet, kecamatan Kertasmaya, Indramayu, yang jumlah muridnya dari kelas 1-6 berjumlah 26 orang. Setelah beliau lama mengajar, murid-murid sekolah tersebut bertambah hingga 380 orang, serta beliau pun diangkat menjadi kepala sekolah (Solehuddin, 2010:30).
Habib Muhammad Luthfi meninggalkan masa mudanya yang penuh dengan pengalaman yang dilakukannya. Pada tahun 2011, beliau diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia ( MUI) di tingkat Jawa Tengah. Kemudian pada tanggal 26 Februari 2002 beliau diangkat menjadi Rois ‘Amm Jam’iyyah Ahl Th arekah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) (Buathomi, 2017:41).
JATMAN merupakan organisasi keagamaan yang berada dalam naungan Nahdlatul Ulama (Banom). Jatman, yang diketuai oleh Habib Luthfi , bertugas khusus mengawasi tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia. Organisasi tersebut didirikan pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1377 H, bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 1975 M, di Pondok Pesantren Tegalreho, Magelang, Jawa Timur. Organisasi yang dipimpin oleh Habib Luthfi ini memiliki lima misi, yaitu pertama, membentuk manusia seutuhnya secara lahir dan batin yang dapat mengembangkan serta dilihat oleh Allah Swt dengan memiliki rasa khauf, zuhud, syukur, sabar haya dan khusyu. Kedua, mengucapkan berlakunya syariat Islam Ahlussunah wal Jamaah secara konsisten dalam bidang syariah, thariqah, hakikah dan ma’rifah.
Ketiga, menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Th ariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyyah melalui kegiatan khususiyah dan thariqiyah. Keempat, meningkatkan, mengembangkan, mempercepat, memperingati dan memelihara ukhuwah thariqah nahdliyyah sesama pengamal tarekat melalui sikap tasamuh antar aliran. Dan kelima, meningkatkan ilmu nafi ’ dan amal salih lahir dan batin menurut ulama salihin dengan baiat yang sahih (Mulyati, 2010:87).
Sejak setelah Habib Luthfi menjabat Rais ‘Amm Idarah ‘Aliyah JATMAN, beliau banyak melakukan perubahan, seperti penataan administrasi, menghidupkan idarah syu’biyah (Pengurus Cabang) yang vakum, pendataan thariqat-thariqat di desa-desa, pemisahan JATMAN dengan politik, mensosialisasikan JAMTAN ke semua kalangan, dekat dengan pemerintah, Polisi dan TNI, aktif mengkampanyekan kecintaan pada tanah Air dan mengajak kalangan muda untuk bertarekat. Menurut Habib Luthfi , peran tarekat untuk kehidupan perdamaian sangat penting. Karena perpecahan dan permusuhan yang terjadi di dunia Islam pada waktu sekarang disebabkan banyaknya prang yang tidak memiliki hati dan nafsu yang bersih. Hanya tarekat yang dapat menjadi obat kekacauan dunia saat ini. Selain itu menurut Habib Luthfi ,tarekat dapat menghantarkan kepada kemanusiaan, sehingga antar manusia dapat saling mengenal, menghormati antar suku dan bangsa, serta terbentuklah perdamaian. Hal lain terkait pentingnya tarekat, menurutnya tarekat perlu bersosialisasi, sehingga seorang Sufi harus menjalin kebersamaan dengan pemerintah, kepolisian dan TNI agar dapat menjaga fungsi negara supaya menciptakan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia (www.suaranahdliyyin.com).
Aktivitasnya yang dilakukan sejak masa muda hingga sekarang memberikan petunjuk kepada kita bahwa Habib Luthfi adalah sosok yang peduli kepada umat. Dalam dirinya menunjukkan bahwa tanggung jawab atas orang lain menjadi prioritasnya. Cintanya kepada keadaan nasib orang lain tertanam dalam pribadinya dari dahulu hingga sekarang.
I. TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DAN AJARAN SOSIALNYA
Membaca tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di kota Pekalongan menjadi relevan dengan Habib Muhammad bin Luthfi bin Ali bin Yahya. Karena pada faktanya, beliaulah tokoh Sufi yang dikenal di kota tersebut, bahkan di tingkat nasional dan internasional. Mengutip pernyataan Ahmad Syafi ’i Mufi d, Habib Luthfi merupakan salah satu MursyidTh ariqah Al-Qadiriyah wa Al-Naqshabandiyah (Mufi d, 2006:251), dan juga salah satu Mursyid tarekat-tarekat yang selainnya. Di sini,penulis akan memfokuskan pada satu tarekat saja, yaitu Tariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN), karena tarekat tersebut adalah tarekat paling awal yang Habib Luthfi ikut berbaiat kepadanya. Lebih spesifi k lagi, penulis memfokuskan pada ajaran-ajaran sosial TQN. Habib Luthfi sendiri mendapatkan ijazah TQN dari Sayyid Ali Ibn Umar. Sayyid Ali Ibn Umar mendapatkan ijazah dari Syaikh Khalil Bangkalan. Dan Syaikh Khalil Bangkalan sendiri merupakan salah satu Khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang merupakan pencetus TQN (Mashar, 2016:242). Dan salah satu amalan TQN yang dipraktikkan Habib Luthfi adalah Majelis MANISAN di Pekalongan, yang dihadiri ribuan ibu-ibu.
Sebagaimana sudah disinggung, TQN dicetuskan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibn Abdul Ghafar Sambas. Ia sendiri lahir di Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1802 M, dan pada usia sembilan belas tahun ia belajar di Makkah dan menetap di sana hingga ia wafat pada tahun 1872 M (Mulyati, 2010:36). Beliau belajar tasawuf kepada banyak guru, seperti Syaikh Daud ibn ‘Abd Allah ibn Idris Al-Fatani (1842 M),
Syaikh Muhammad Arsyad Banjari, Syaikh Shamad Al-Palimbani dan Syaikh Syamsuddin. Dari gurunya yang terakhir ini ia banyak mengikuti corak tasawufnya. Hingga ketika beliau selesai belajar, Syaikh Syamsuddin mendaulatnya sebagai Syaikh Mursid Mukammil (Mulyati, 2010:37). Syaikh Ahmad Khatib Sambas mengamalkan dua tarekat secara bersamaan, yaitu Naqsabandiyah dan Qadiriyah, yang itu berbeda dengan guru-gurunya yang melakukannya secara sendiri-sendiri.
Salah satu rangkaian amalan TQN, sebagai tarekat gabungan, tersusun sebagaimana dua tarekat dasarnya, yaitu Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Salah satu amalannya adalah pengamalan zikir nafi wal ithbat, dimana seorang penganut TQN harus menggerakkan kepala dan membayangkan zikir itu ditarik melalui alur badan. Lafaz la ditarik dari pusar ke otak, ilaha dari otak ke bahu kanan, dan ilallah dari bahu kiri dan dihujamkan ke arah jantung (latifah al-qalb). Alur gerak dari pusar ke otak hingga berakhir di jantung adalah unsur dari tarekat Qadiriyah, sedangkan terkait lataif adalah unsur Naqsabandiyah. Zikir tersebut dapat dilakukan dengan cara keras (jahr) sebagaimana tarekat Qadiriyah, dan dapat juga dilakukan dengan cara tanpa suara (sirr) sebagaimana ajaran tarekat Naqsabandiyah (Mulyati, 2010:178).
Selain memiliki amalan sebagaiamana contoh di atas, TQN juga memiliki ajaran-ajaran yang bersifat sosial. Menurut Abu Bakar, sebagaimana dikutip Firdaus dalam penelitiannya, pokok-pokok ajaran tarekat sosial tersebut ada lima, yaitu tingginya cita-cita, menjaga segala yang haram, memperbaiki khidmat kepada Tuhan, melaksanakan tujuan hidup yang baik dan memperbesarkan arti karunia Tuhan (Firdaus, 2017:195).
Menurut ajaran ini, siapa yang tinggi cita-citanya maka martabatnya akan naik, siapa yang menjaga hal yang haram maka Allah jaga martabatnya, siapa yang memperbaiki khidmat Allah maka akan kekal dalam petunjuk dan siapa yang membesarkan Allah akan mendapatkan tambahan nikmat-Nya. Sedangkan bentuk-bentuk kesalehan sosial lain, yang memiliki kaitan dengan ajaran tarekat ini dalam dunia sosial, yaitu amanah/
jujur, tolong-menolong, sedekah, persaudaraan Islam, dan menghindar dari hal-hal yang subhat (Firdaus, 2017:195-197).
J. BENTUK-BENTUK GERAKAN SOSIAL TAREKAT DI