• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK-BENTUK GERAKAN SOSIAL TAREKAT DI KOTA PEKALONGAN

Dalam dokumen MONOGRAFI ALIRAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (Halaman 127-141)

TAREKAT HABIB LUTFI DALAM DINAMIKA KUB DI KOTA

J. BENTUK-BENTUK GERAKAN SOSIAL TAREKAT DI KOTA PEKALONGAN

Di bawah ini akan dipaparkan bentuk-bentuk gerakan sosial TQN di kota Pekalongan. Gerakan-gerakan sosial yang dilakukan oleh penganut TQN berjaring melalui tokoh pemerintah, agama, budaya, akademisi, hingga masyarakat tingkat bawah.

Semua gerakannya dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensinya, dan tentu juga dalam rangka memberikan kemanfaatan dan perbaikan sosial kepada masyarakat agar kehidupan sosial mereka menjadi lebih baik. Apa yang dilakukan penganut tarekat dengan menggerakkan kepedulian sosialnya semua atas dasar kasih sayang Allah. Berikut ini bentuk-bentuk gerakannya:

a. Pemahaman Ajaran Tarekat Kepada Masyarakat

Sebagaimana disinggung di atas, kota Pekalongan masyhur disebut sebagai kota religius yang salah satu sebabnya karena ketokohan Habib Luthfi . Beliau merupakan tokoh sentral tasawuf di kota batik tersebut, dengan dinobatkannya sebagai ketua Jam’iyyah Th ariqah Mu’tabarrah An-Nahdliyyah (JATMAN)

dan juga didaulat menjadi ketua forum Sufi sedunia serta sebagai Mursyid tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, dan tarekat Syadziliyah.

Menurut Habib Luthfi, orang yang benar-benar telah memahami dan mengenal Tuhan maka iaakan melihat apa yang disembah oleh pemeluk agama lainadalah Tuhan yang sama sebagaimana Tuhan yang disembah dalam agamanya.

Menurutnya, seseorang tidak boleh menyalahkan keyakinan orang lain yang berbeda hanya dengan menilainya dari sisi yang kasat mata. Akan tetapi, diperlukan penglihatan yang hakiki untuk melihat semua manusia, sehingga ia akan mengerti bahwa semua individu manusia, apapun agama dan keyakinannya, pada dasarnya adalah ciptaan Allah Swt (Wawancara Habib Luthfi , 2019). Bagi Habib Luthfi , hanya ada satu Tuhan di dunia meskipun terdapat beragam bentuk penyembahan oleh manusia.

Ajaran tarekat meyakini bahwa semua manusia adalah satu kesatuan yang semuanya dalam kasih sayang Allah, apapun agama dan keyakinannya. Pemaknaan tarekat yang dipahami oleh Mursyid TQN tersebut di atas juga dipahami oleh masyarakat kota Pekalongan. Seorang akademisi bernama A. Tubagus dalam Focus Group Discussion (FGD) misalnya menyatakan bahwa, masyarakat Pekalongan memahami agama bukan dengan cara bayani, akan tetapi dengan irfani dan burhani. Hal itu menjadikanmasyarakat Pekalongan memiliki keyakinan bahwa pada dasarnya semua yang disembah manusia adalah Allah, apapun agamaya. Tidak perlu adanya perselisihan antar pemeluk agama karena perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Yang hakiki dan yang tidak sudah menjadi jelas sebagaimana disinggung dalam QS. An-Nisa: 1 (Wawancara A.

Tubagus, 2019). Dalam kaitannya dengan ini, tokoh budayawan Zainul Muhibbin juga menyatakan, bahwa konsep beragama yang dipahami oleh warga Pekalongan merupakan pemahaman yang holistik, tidak hanya berhenti kepada kulitnya saja, akan tetapi pada makna esensial. Jika dikaitkan dengan perbedaan-perbedaan keyakinan, pemahaman ini cukup menjadi bekal bagi warga Pekalongan untuk saling hormat menghormati (Wawancara Zainal Muhibbin, 2019). Dalam FGD tersebut keduanya menyatakan, bahwa fakta masyarakat kota Pekalongan memahami kehidupan beragama secara esensial, holistik, irfani dan tidak hanya kulitnya, merupakan pemahaman yang didapat dari Habib Luthfi setelah mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang digelar di Kanzushalawat; majelis Habib Luthfi di kota Pekalongan. Pemahaman yang diutarakan oleh dua tokoh tersebut di atas merupakan sebuah pemahaman yang berawal dari refl eksi pemahaman tasawuf sosial dari seorang tokoh Sufi berkelas internasional; yaitu Habib Luthfi bin Ali bin Yahya.

Dengan merujuk kepada peranan Habib Luthfi yang merupakan Mursyid TQN di Pekalongan, dua orang yang merupakan masyarakat tingkat bawah, yaitu Bapak Joni dan Bapak Ayub Wicaksono pun menyatakan hal yang searti dengan apa yang dinyatakan oleh dua tokoh di atas, bahwa menurut keduanya, masyarakat Pekalongan telah memahami agama sebagai esensi, bukan hanya hanya kulitnya. Agama dipahami karena kesadaran diri serta dorongan setiap individu untuk menghamba kepada Allah Swt. Menurut keduanya, konsep demikian itu telah diaplikasikan secara nyata oleh Habib Luthfi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Pekalongan.

Dan pemahaman agama yang demikian dapat memberikan

dampak positif untuk terciptanya ketentraman di Pekalongan, seperti tiadanya konfl ik-konfl ik keagamaan (Wawancara Ayub Wicaksono dan Sudiro, dan Joni; Takmir Masjid Walisongo, 2019).

Dari penemuan fakta-fakta di atas tersebut dapat dikatakan bahwa ajaran tarekat yang mengajarkan cara beragama secara esensial bukan saja terhenti pada seorang tokoh tokoh tarekat;

Habib Luthfi dengan murid-muridnya, akan tetapi juga berjaring kepada tokoh-tokoh di bawahnya, bahkan hingga akar rumput (grass root). Ajaran-ajaran tarekat secara umum juga dipahami oleh masyarakat tingkat bawah di Pekalongan. Pemahaman esensial dari ajaran tasawuf sosial tersebut berkelindang ke berbagai elemen masyarakat. Sehingga secara tidak langsung masyarakat meyakini ajaran-ajaran tarekat tersebut. Habib Luthfi menginginkan dengan adanya pemahaman agama yang esensial, masyarakat dapat memperbaiki kehidupan mereka, sehingga tidak mudah untuk saling menyalahkan antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain yang berbeda. Pemahaman agama yang bermula dari ajaran tarekat sosial Habib Luthfi ini juga menjadi salah satu faktor penting tumbuhnya nilai-nilai kerukunan hidup di Pekalongan. Karena dengan memahami ajaran agama secara esensial, maka dapat berdampak positif kepada kehidupan masyarakat yang rukun antar berbagai golongan.

Pemahaman ajaran tarekat dalam berketuhanan dan berkeagamaan yang secara tidak langsung diajarkan oleh Habib Luthfi sebagai Mursyid TQN, tentu saja dalam rangka memperbaiki kondisi sosial keagamaan masyarakat kota

Pekalongan. Selain itu, agar ajarannya tersebut dapat meluas dan berjaring ke elemen-elemen masyarakat.

b. Menggerakan Ajaran Tarekat Melalui Kesalingan Antar Tokoh

Tarekat sosial bukan saja dipahami secara konseptual oleh masyarakat Pekalongan, namun juga bergerak masuk melalui kesalingan dan kepedulian sosial yang dipraktikkan pada kehidupan nyata dalam asosiasi antar penganut tarekat dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal itu misalnya kesalingan antar Habib Luthfi dan pemerintah ketika akan menggelar acara-acara kenegaraan dan kebangsaan. Dalam pada itu terbentuk kesalingan antar Pemkot dengan Habib Luthfi dimana pihak Pemkot meminta arahan Habib Luthfi terkait acara-acara kenegaraan yang akan digelarnya, seperti Kirab Merah Putih dan Hari Jadi Kota Pekalongan. Sebaliknya, Habib Luthfi dalam acara-acara keagamaan, seperti Maulid Nabi Nabi dan Isra Mi’raj di Kanzus shalawat, beliau menggandeng seluruh elemen, baik dari pemerintah, tokoh agama, tokoh budaya, tokoh politik, hingga masyarakat akar rumput (H. Marzuki, 2019). Kesalingan antar tokoh tersebut menemukan momentumnya bagi tokoh tarekat, Habib Luthfi , untuk memasukan ajaran-ajaran tarekat sosialnya, utamanya dalam mewujudkan keamanan hidup masyarakat Pekalongan. Hal itu dikonfi rmasi oleh A. Hasan, tokoh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dirinya menyatakan bahwa kerukunan umat beragama di Pekalongan adalah wujud konkrit ajaran sufi Habib Luthfi yang memandang semua manusia dengan menggunakan kacamata kemanusiaan dengan atas nama sesama manusia ciptaan Tuhan. Menurut A. Hasan,

seorang Habib Luthfi merupakan tokoh tarekat yang cerdik dalam membangun jejaring sosial dengan berbagai elemen masyarat dan pemerintah dalam rangka menciptakan kebersamaan hidup (Wawancara A. Hasan, 2019). Dalam pada itu ajaran tarekat sosial tentang kebersamaan ditanamkan. Membacanya dengan gerakan sosial, dapat dipahami bahwa gerakan tarekat menggunakan kesempatan kesalingan-kesalingan antar para tokoh (SDM) untuk memberikan kemanfaatan yang besar kepada masyarakat dan untuk meluaskan ajarannya, utamanya ajaran tarekat sosial hidup dalam kebersamaan.

Selanjutnya, jejaring tarekat juga dapat dibaca melalui kasalingan yang berlangsung antar pemuka agama dan masyarakat pada salah satu masjid bernama Masjid Wakaf, Pekalongan, yang sudah berdiri sejak 110 tahun yang lalu. Di Masjid tersebut tidak digunakan untuk salat Jum’at dalam rangka tetap menciptakan kerukunan antar warga setempat dengan warga lain yang ada di Masjid lain. Masjid Wakaf sudah terbiasa diisi oleh jamaah yang berbeda keyakinan, seperti NU dan Muhammadiyah, yang berbeda dalam dzikir setelah salat, dan berbeda dalam pelaksanaan salat tarawih dan qunut di antara para jamaahnya.

Hal itu merupakan kesepakatan sejak lama antara Habib Ahmad, para pengurus masjid dan masyarakat yang mewakafk an tanah untuk pembangunan masjid Wakaf dalam rangka menjaga kerukunan di kota tersebut. Menurut Abu Bakar sebagai Takmir Masjid tersebut, terjaganya budaya yang baik itu tidak lepas dari pengaruh Habib Luthfi yang setiap bulan juga mengisi pengajian di Masjid. Dalam pengajiannya Habib Luthfi selalu menekankan arti saling menghormati dan menjaga harmonisasi antar sesama, baik internal atau eksternal umat beragama (Wawancara Abu

Bakar Al-Athas, 2019). Dalam konteks ini, gerakan sosial TQN menggunakan momentum kesalingan para tokoh yang sudah terbangun di “Masjid Wakaf ”. Ajaran tarekat sosial dimasukkan dalam setiap diadakannya pengajian bulanan dimana tokoh tarekat; Habib Luthfi menjadi penceramahnya. Ajaran tarekat dalam posisi ini lebih kepada ajaran-ajaran kebersamaan dan kerukunan antar sesama makhluk Allah Swt. Tidak lain, Habib Luthfi berpesan demikian karena demi ketentraman warga kota Pekalongan, khususnya jamaah Masjid yang terdiri atas berbagai kelompok Islam.

Dari fakta kasalingan-kesalingan di atas, penulis menangkap sebuah gerakan sosial TQN dalam setiap adanya kesempatan terjalinnya kesalingan antar tokoh tarekat dengan elemen-elemen masyarakat, baik pemerintah, tokoh agama, tokoh budaya, dan bahkan masyarakat umum tingkat bawah. Dalam pada itu gerakan sosial TQN menggunakan momentumnya untuk mengajarkan nilai tarekat sosial, utamanya nilai-nilai kesadaran penciptaan kepada sumber daya manusia yang memiliki pengaruh di kota Pekalongan, yaitu bahwa semua manusia dari berbagai golongan semuanya adalah ciptaan yang sama, yaitu Allah. Sehingga tugas semua manusia adalah menghamba dengan baik dan maksimal, bukan untuk saling membenci, apalagi saling menjatuhkan. Melalui kesalingan yang terbentuk tersebut di atas, jejaring tarekat berkelindang masuk untuk memberikan kemanfaatan dan “mengkampanyekan”

ajaran-ajaran kebaikan sosialnya di masyarakat.

c. Membangun Branding Kerukunan, Upaya Memperluas Jaringan

Sebagai Mursyid TQN di Pekalongan, Habib Luthfi pernah menyatakan dan mengkampanyekan arti pentingnya tasawuf (tarekat) dalam melerai pertumpahan darah di dunia.

Menurutnya, pertikaian antar bangsa, suku, dan sebagainya yang terjadi di belahan dunia perlu diobati dengan pembersihan hati, nafsu dan pola pikir yang jernih (NU Online, 2019). Pernyataan Habib Luthfi merupakan manifestasi ajaran tarekat sosialnya yang mengedepankan arti penting peduli terhadap dunia sosial, demi memperbaiki kondisi umat manusia. Sikap yang diutarakan oleh Habib Luthfi sarat akan perngharmonisan hal-hal duniawi dengan ukhrawi. Penggunaan kata “pembersihan hati” dan

“nafsu” bukti konkrit bahwa beliau hendak menyatukan hal-hal dohir dengan hal-hal-hal-hal batin dan kemudian dihubungkan dengan Allah Swt. Hal demikian itu merupakan salah satu ciri dari ajaran tarekat sosial.

Ajaran tarekat sosial TQN di kota Pekalongan berkembang melalui branding-branding kerukunan. Pada itu peran tarekat sebagai basis kerukunan didengungkan baik oleh tokoh tarekat atau oleh sumber daya manusia yang terkoneksi dengannya.

Seperti misalnya menurut Wakil Wali Kota Pekalongan, Bapak Achmad Afzan Arslan, kondusifi tas Pekalongan dari konfl ik keagamaan salah satu peran pentingnya adalah karena ketokohan Habib Luthfi . Hal konkrit yang beliau lakukan ialah menggelar acara-acara besar, seperti kirab merah putih, maulidan, perayaan ulang tahun, dan Isra Mi’raj, dengan mengundang berbagai elemen masyarakat, bahkan yang berlatar belakang agama di luar Islam. Agenda yang digelar bukan sekadar

serimonial belaka, akan tetapi memiliki esensi yang cukup penting dalam kehidupan warga Pekalongan yang beragam, yaitu menyemai kerukunan (Wawancara Wakil Walikota, 2019). Melalui pendekatan ini, ajaran tarekat pun tidak disia-siakan untuk masuk dan diyakini oleh banyak orang. Karena dengan brandingkerukunan yang dibangun, tarekat mudah untuk dipahami dan diimplementasikan masyarakat. Selain agar ajarannya berkembang, juga dalam rangka berkontribusi perbaikan bangsa dari perpecahan.

Bukti lapangan lainnya bahwa, Habib Luthfi dikenal berperan penting dalam merawat kerukunan di Pekalongan sebab beliau menjadi rujukan dalam kegiatan-kegiatan yang pelakunya berasal dari masyarakat multi etnis dan multi agama.

Hal ini dikatakan oleh salah satu santri beliau, Ibad Niam, yang menyatakan bahwa acara-acara kenegaraan yang diadakan oleh TNI-Polri disowankan terlebih dahulu kepada Habib Luthfi , bahkan terkait teknisnya. Selain itu, para pemuda dari berbagai latar belakang etnis dan agama pun diberikan panggung dalam acara-acara besar, sehingga bagi minoritas, merasa dihormati dan dianggap setara dengan mayoritas (Wawancara Niam Ibad, 2019). Jika kita kembali pada ajaran tarekat sosial yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, tarekat mengajarkan kepentingan dunia yang dilapisi dengan kepentingan akhirat.

Melalui kerukunan antar pemuda multi etnis tersebut ajaran tarekat juga disosialkan di kota Pekalongan, meskipun tidak secara simbolik.

Peranan tokoh tarekat dalam membingkai kerukunan di kota Pekalongan juga nampak dalam eksistensi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di kota Pekaongan. Menurut Marzuki,

ketua FKUB, pada mulanya eksistensi FKUB di Pekalongan menghawatirkan karena desakan masyarakat yang menuntut untuk dibubarkannya organisasi antar agama itu, dengan diasumsikan bahwa FKUB mengajarkan percampradukan akidah-akidah dalam berbagai agama. Bahkan tidak jarang ia sendiri dituduh kafi r dan murtad karena menghadiri acara-acara di Gereja dan tempat ibadah non muslim lainnya. Namun setelah melihat tauladan yang dilakukan Habib Luthfi , dengan mengumpulkan tokoh-tokoh agama di Pekalongan dalam suatu acara, serta dorongan langsung olehnya untuk tetap bergerak menjaga FKUB, ketua FKUB tersebut merasa semakin didukung untuk terus menyuarakan kerukunan. Dan akhirnya, warga di akar rumput pun semakin mudah untuk memahami keberadaan FKUB, bahkan berkat dorongan Habib Luthfi , masyarakat mengikuti apa-apa yang menjadi visi FKUB, yaitu membumikan kerukunan (Wawancara Marzuki, 2019). Habib Luthfi memandang bahwa semua agama pada dasarnya hanya memiliki Tuhan yang satu. Tuhan atau agama yang dianut manusia dengan perbedaannya hanyalah hasil ide manusia, dan bukan yang esensial. Dengan memanfaatkan kesempatan hidupnya FKUB di Kota Pekalongan, tarekat sosial termanifestasikan dalam bentuk menjaga kerukunan antar sesama manusia ciptaan Tuhan.

Untuk menguatkan keterangan-keterangan para informan terkait Habib Luthfi dan peran tarekatnya di Pekalongan, khususnya dalam memasukannya lewat kegiatan kerukunan umat beragama, penulis mengkonfi rmasi langsung kepada beliau mengenai cara yang tepat dalam merawat kerukunan di Pekalongan. Menurutnya, ada tiga hal penting untuk dapat menciptakan dan merawat kerukunan umat beragama di

Pekalongan, yaitu melihat semua orang dengan kacamata kemanusiaan, menjadikan semua manusia sebagai saudara sebagaimana semuan orang adalah keturunan Adam dan memahami konsep tauhid yang utuh, yaitu ketuhanan untuk semua manusia. Menurutnya, kita tidak boleh menyalahkan agama-agama orang lain, meskipun kita tidak membenarkannya.

Prinsipnya adalah kita tetap meyakini bahwa apa yang semua orang sembah itu sebenarnya Allah Swt. Untuk menciptakan kerukunan biasanya juga beliau menjamu para tamu di sela-sela acara dengan makan bersama, ngobrol tentang kebersamaan di Pekalongan dan hal positif lain (Wawancara Habib Luthfi , 2019).

Masyarakat kota Pekalongan merasa nyaman dengan keberadaan tokoh tarekat Habib Luthfi yang mengajarkan arti pentingnya kesamaan dalam kehidupan. Melalui kegiatan-kegiatan yang esensinya memupuk kerukunan umat beragama, ajaran tarekat masuk untuk memperkuat eksistensinya dan dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi manusia seluas-luasnya.

d. Mendakwahkan Tarekat Melalui Budaya-Budaya Lokal Gerakan tarekat yang dikenal di kota Pekalongan bergerak bukan saja melalui pemahaman konseptual masyarakat, jejaring kesalingan antar tokoh, ataupun dalam kesempatan membranding bahwa tarekat mampu menciptakan kerukunan, tapi juga bergerak melalui budaya-budaya lokal. Budaya-budaya lokal yang berada di kota Pekalongan menjadi objek dalam rangka memperluaskan ajaran tarekat sosial, yang berupaya untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat seluas-luasnya.

Ditegaskan oleh Ahmad Mudzakir, Kepala Kemenag Kota Pekalongan, bahwa kebersamaan, saling hormat-menghormati

yang sudah menjadi budaya masyarakat Pekalongan, tidak bisa dilepaskan dari peran ketokohan Habib Luthfi sebagai tokoh TQN (Wawancara A. Mudzakir, 2019).

Dalam salah satu budaya lokal di kota Pekalongan, yaitu makan Kue Lopis serentak di kota Pekalongan, ajaran tarekat sosial TQN diperjuangkan. Sebelum memotret seperti apa bentuknya, perlu dipaparkan dahulu apa kue tersebut. Kue Lopis adalah kue yang dibuat dengan bahan dasar Ketan. Biasanya dibuat oleh masyarakat Pekalongan secara bersama-sama dan kemudian dibagikan secara serentak di seluruh warga kota tersebut pada bulan Syawwal. Dalam pembuatannya itu, ada satu kue Lapis raksaksa dengan ukuran 5x4 meter. Dalam perayannya, kueLopis besar itu kemudian dipotong oleh Wali Kota sebagai penanda pembukaan budaya makan kue Lopis di setiap hari kedelapan bulan Syawwal. Dalam pembagian itu setiap orang, suku apapun diberikan, dengan tujuan menciptakan kerukunan antar perbedaan yang ada. (Wawancara Joni, 2019). Kue Lopis ini konon terkait erat dengan amalan puasa Syawal-nya KH Abdullah Siraj di daerah Krapyak sejak tahun 1855. Dan ada pula yang menyatakan sebagai inspirasi pidato presiden Soekarno di tahun 1950 di Kebon Rajo, Pekalongan (Rosidin, 201615).

Menurut Joni, seorang Takmir Masjid di kota Pekalongan, budaya lokal tersebut terus dipertahankan dengan dukungan Habib Luthfi . Sehingga dengan adanya budaya lokal makan kue Lopis itu masyarakat kota Pekalongan bersatu dan rukun (Wawancara Joni, 2019). Di sinilah hemat penulis, ajaran tarekat sosial TQN dalam bentuk pemberian manfaat yang besar bagi masyarakat dalam budaya lokal makan Kue Lopis, baik manfaat lahir atau bathin, menjadi branding agar ajaran tarekat sosial diyakini dan

dipahami oleh masyarakat luas. Melalui budaya lokal tersebut di atas, aliran tarekat menemukan momentum terbaiknya untuk memperluas ajaran sosialnya melalui “kerukunan”.

Selanjutnya, gerakan tarekat berkelindang melalui budaya lokal kepanitiaan acara-acara yang diisi oleh berbagai pemuda lintas agama. Dikatakan oleh Ni’am Ibad sebagai pemuda kota tersebut, di Pekalongan sudah terbiasa mengadakan acara-acara – sekalipun acara islami – dengan kepanitiaan pemuda yang beragam etnis dan agamanya. Tidak berhenti di situ, oleh Habib Luthfi , mereka pun diminta untuk menampilkan penampilan apapun yang dapat merangkum beragam latar belakang panitia di panggung acara, sehingga kerekatan satu sama lain terjalin dengan baik. Dalam itu, kepanitiaan acara-acara juga sering diarahkan oleh Habib Luthfi untuk menggelar acara di makam-makam Pahlawan yang ada di kota Pekalongan, tujuannya yaitu untuk menghormati jasa-jasa orang yang telah nyata berjuang untuk negeri. Habib Luthfi selalu berfi kir apa-apa kegiatan yang ada di Pekalongan harus berjalan secara bersama-sama oleh warga Pekalongan (Wawancara Niam Ibad, 2019). Membaca pernyataan Ni’am Ibad, branding kebersamaan dan kerukunan menjadikan tawaran Habib Luthfi mudah diterima dan dijalankan oleh pemuda-pemuda lintas agama melalui budaya kepanitiaan lintas agama. Ajaran yang diajarkan dalam bentuk menghormati keragaman dan menghormati jasa pahlawan, menjadi salah satu gerakan memasukan nilai-nilai tarekat sosial, yang tujuannya untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi banyak orang, tanpa melihat perbedaan keyakinan dan agamanya.

Budaya lokal selanjutnya yang menjadi pintu masuk ajaran-ajaran tarekat sosial TQN di kota Pekalongan adalah

acara-acara keislaman yang diisi dengan berbagai kegiatan, bukan saja dengan tilawah Alquran, tetapi juga dengan tari-tarian, joged, dan atau penampilan Guitar, yang dapat diperankan oleh warga pekalongan dengan latar belakang agama apapun. Hal itu dilakukan untuk menciptakan kerukunan antar semua golongan.

Menurut Zainal Muhibbin, budaya lokal tersebut memiliki nilai-nilai ajaran toleransi yang diciptakan untuk merawat kerukunan di Kota Pekalongan. Menurutnya juga, kegiatan-kegiatan tersebut bermula dari ketokohan Habib Luthfi , dimana beliau juga menyukai dan mempraktikkan kegiatan-kegiatan budaya, seperti memainkan piano di malam hari. Menurutnya, Habib Luthfi begitu apik dalam mengharmoniskan budaya dan agama dalam menciptakan kerukunan (Wawancara Zainal Muhibbin, 2019). Penulis berpandangan bahwa dalam budaya lokal tersebut di atas ajaran tarekat sosial TQN menggunakan momentumnya untuk memperluas ajaran sosialnya. Ajaran tarekat sosial yang masuk melalui budaya-budaya lokal ini adalah ajaran tarekat sosial untuk menciptakan kemanfaatan bersama di kota Pekalongan, seperti keamanan, dan saling mernghargai satu sama lain.

Selain melalui budaya-budaya lokal di atas, tarekat sosial yang bertujuan untuk menciptakan kemanfaatan bersama juga masuk melalui budaya lokal Festival Cap Go Meh di Jalan Blimbing, acara Ulang Tahun Klenteng dan acaraPeck Jung, yang diadakan sewaktu-waktu dengan mengundang berbagai elemen masyarakat dan tokoh agama. (Wawancara Zainal Muhibbin, 2019).Dikatakan oleh tokoh Kristen dalam acara FGD, budaya-budaya tersebut hingga saat sekarang tetap lestari, dan orang Kristen tidak merasa keberatan atau takut adanya intimidasi

dari kelompok lain, sebab secara tidak langsung mereka telah dibacking oleh seorang tokoh Habib Luthfi (Wawancara, 2019).

Dari sinilah tokoh tarekat memasukkan ajaran-ajaran tarekat sosial berupa kebersamaan dan kerukunan yang kemudian menjadi keyakinan masyarakat kota Pekalongan. Apa yang branding itu dalam upaya mewujudkan kebersamaan dan kerukunan yang merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Karena dalam ajaran tasawuf, kerukunan

Dari sinilah tokoh tarekat memasukkan ajaran-ajaran tarekat sosial berupa kebersamaan dan kerukunan yang kemudian menjadi keyakinan masyarakat kota Pekalongan. Apa yang branding itu dalam upaya mewujudkan kebersamaan dan kerukunan yang merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Karena dalam ajaran tasawuf, kerukunan

Dalam dokumen MONOGRAFI ALIRAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (Halaman 127-141)