• Tidak ada hasil yang ditemukan

PE MAKALAH. _._H..,._..._ e ~. a, i" "lnm'aal dun l cnggrmiwnmnl ariwisata Kreat' bagal enggxat Hmmum Mm» uralmt lndonvsid" ifikdt mi dibcri an kcada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PE MAKALAH. _._H..,._..._ e ~. a, i" "lnm'aal dun l cnggrmiwnmnl ariwisata Kreat' bagal enggxat Hmmum Mm» uralmt lndonvsid" ifikdt mi dibcri an kcada"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

sebagai

PE

MAKALAH

Atas

partisipasi dalam

acara

yang

diselenggarakan

oleh

Mahasiswa Program

Studi

Diploma

1V

Pariwisata,

Universitas Udayana

L

I

NHNAR NAB

ON

A

A

x

\l

AIV

I'UR PAPFR

CrP|mmw

"lnm'aal

dun

l’cnggrmiwnmnl’ariwisata

Kreat'

bagal

enggxat

v

Hmmum

Mm»

uralmt lndonvsid"

4- :r

ifikdt

mi

dibcri

an

kcada

,. ' ' - .T

mwmmiw

I

m

-

asar,

08

Desember

201

7

1

u

“a,”

i"

‘e

_._H..,._.__.._

~.

.h

“1" av"

5

“'

"v"

"’5

(2)
(3)
(4)

Program Studi Diploma IV Pariwisata

SEMINAR NASIONAL

DAN CALL FOR PAPER

2017

INOVASI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA

KREATIF SEBAGAI PENGGIAT EKONOMI

MASYARAKAT INDONESIA

(5)

i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER 2017

PENYUNTING

Dr. Putu Sucita Yanthy SS.,M.Par

REVIEWER

Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.

Nyoman Jamin Ariana,M.Par

Ni Putu Ratna Sari, SST.Par. M.Par

AA Putri Sri, M.Si

TATA LETAK

Vidya Santosa

Willy Artha

DESIGN COVER

Kevin Piring

PENERBIT:

Jl. Dr R Goris No 7

Program Studi Diploma IV Pariwisata

Fakultas Pariwisata

Universitas Udayana-Bali

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu Om

Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,

Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan

rahmatnya sehingga seminar dan call for paper 2017 dengan tema Inovasi dan Pengembangan

Pariwisata Kreatif Sebagai Penggiat Ekonomi Masyarakat Indonesia yang diselenggarakan

oleh Mahasiswa Program Studi Diploma IV Pariwisata sebagai implementasi mata kuliah

MICE terlaksana dengan baik. Diwujudkan dengan menerbitkan prosiding yang memuat

sejumlah artikel dengan berbagai topik terkait kepariwisataan Indonesia dan Bali secara

khususnya. Buku prosiding ini terdiri dari artikel para pemakalah selingkung Universitas

Udayana serta para pemakalah dari luar daerah. Sebagai rasa syukur, perkenankan kami

mengucapkan terimakasih kepada seluruh pendukung kegiatan kami.

Semoga seminar dan prodising Call For Paper 2017, bermanfaat bagi kita semua.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Salam sejahtera bagi kita semua

Wassalamualaikum Warahmatulohi Wabarokatuh

Denpasar 11 Desember 2017

Ketua CFP 2017

(7)

1

DAFTAR ISI

1. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA LINTAS BATAS: STUDI KASUS PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA

Adhitia Pahlawan Putra ... 3 2. KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGENDALIKAN

AROGANSI LOCAL TOUR GUIDE DI PURA BESAKIH

Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2) ... 13 3. DAMPAK PEMBANGUNAN HOTEL BERKONSEP CITY HOTEL DI SUNSET ROAD

KUTA BALI

Komang Ratih Tunjungsari1, Komang Shanty Muni Parwati2, I Made Trisna Semara3 ... 22 4. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL DAN PROMOSI

PARIWISATA INDONESIA DI EROPA (STUDI KASUS DIASPORA BALI DI PERANCIS)

Nararya Narottama1, A.A. Ayu Arun Suwi Arianty2 ... 32

5. STRATEGI MENINGKATKAN PENJUALAN MAKANAN MENU ALA CARTE PADA

RESTORAN WARUNG BALI DI DESA WISATA SANGEH BADUNG

I Nyoman Tri Sutaguna1, Ni Made Ariani2 ... 46

6. RESIPROKALITAS WANITA DAN PENGEMBANGAN HOMESTAY DI KAWASAN

BROMO TENGGER SEMERU

Putu Gede Eka Darmaputra1,. Putu Diah Sastri Pitanatri2 ... 54 7. PARTISIPASI HOTEL-HOTEL BINTANG LIMA DALAM PENERAPAN GREEN

TOURISM DI KAWASAN ITDC NUSA DUA

Putu Ratih Pertiwi ... 62

8. PENGEMBANGAN KULINER LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARIWISATA

BERKELANJUTAN DI DESA SANGEH KABUPATEN BADUNG

Ni Nyoman Sri Aryanti1, Agus Muriawan Putra2 ... 67 9. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN HOMESTAY DI DESA

WISATA TISTA, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN TABANAN

Agung Sri Sulistyawati1, Fanny Maharani Suarka2 ... 87 10. PERILAKU WISATAWAN BERWISATA KULINER DI RESTORAN KAMPOENG

KEPITING TUBAN BALI

Ni Made Ariani1, I Nyoman Tri Sutaguna2 ... 100

11. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN WISATAWAN

BERKUNJUNG KE DESA WISATA BLIMBINGSARI JEMBRANA BALI

(8)

2

12. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI WISATAWAN

MANCANEGARA DALAM PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI WISATA DI BALI Ni Gusti Ayu Susrami Dewi1), Luh Gede Leli Kusuma Dewi2) ... 120 13. MEMBANGKITKAN SENI-BUDAYA DAN WIRAUSAHA RAKYAT DI DAERAH

PARIWISATA(Studi Kasus Peran LPD Desa Adat Kuta dan Kerobokan)

A.A Ngurah Gede Sadiartha ... 129 14. PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN WISATA MICE DI BATAM

I Wayan Thariqy Kawakibi Pristiwasa... 138 15. MENGEMBANGKAN UBUD SEBAGAI DESTINASI WISATA GASTRONOMI

Putu Sucita Yanthy1), Ni Nyoman Sri Aryanti2) ... 144 16. FENOMENA BUDAYA TRAVELLING WISATAWAN JEPANG KE BALI

Dian Pramita Sugiarti1), I Gede Anom Sastrawan2) ... 152 17. HOTEL `S GUEST ACTIVITIES SEBAGAI ALTERNATIF KEGIATAN LEISURE BAGI

WISATAWAN DI KAWASAN SEMINYAK BALI

Fanny Maharani Suarka1), Agung Sri Sulistyawati2) ... 159 18. PEMBANGUNAN PARIWISATA DI BALI : TRADE OFF PERTUMBUHAN EKONOMI

DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

Ni Made Tisnawati1), Nyoman Sukma Arida2) ... 168 19. POSITIF NEGATIF PARIWISATA: ANALISIS PERILAKU KONSUMTIF

MASYARAKAT BALI

(9)

3

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA LINTAS BATAS:

STUDI KASUS PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA

Adhitia Pahlawan Putra

Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana email: adhitiapahlawanputra@ymail.com

Abstrak

Wilayah perbatasan dijadikan daya tarik wisata berbagai negara di dunia. Setiap negara bersaing untuk mengembankan potensi pariwisisata di perbatasan. Indonesia merupakan destinasi wisata yang memilki perbatasan, baik darat maupun laut. Salah satu wilayah yang menjadi proyeksi kebijakan pengembangan adalah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Penelitian ini bertujuan memaparkan kajian tentang fenomena pariwisata lintas batas melalui identifikasi motivasi wisatawan dan peran stakeholder dalam pengembangan pariwisata perbatasan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulann data meliputi observasi, studi kepustakaan, dan wawancara. Berdasrkan hasil penelitian, elemen pariwisata lintas batas Indonesia-Papua New Guinea terdiri dari lima kategori yakni kerjasama, kolaborasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja. Sementara itu, motivasi yang mendorong arus perjalanan adalah motivasi budaya dan wisata belanja sedangkan sektor publik menjadi aktor yang berperan dalam pengembangan pariwisata di pos perbatasan Skow, Indonesia-Papua New Guiena.

Kata Kunci: Pengembangan,Pariwisata Lintas Batas, Indonesia-Papua New Guinea.

Abstract

The border region is used as a tourist attraction of various countries in the world. Each country competes to develop tourism potential at the border. Indonesia is a tourist destination that has border, both land and sea. One of the areas that the projected development policy is the border of Indonesia - Papua New Guinea. This study aims to explain the study of the phenomenon of tourism across borders through the identification of tourist motivation and the role of stakeholders in the development of border tourism. The research method used is qualitative. Based on the research results, the elements of trans-boundary tourism Indonesia-Papua New Guinea consists of five categories namely cooperation, collaboration, tourism development, political issues and shopping. Meanwhile, the motivation that drives the flow of travel are culture and shopping , while the public sector becomes an actor who plays a role in the development of tourism at the border post Skow, Indonesia-Papua New Guinea.

Keywords :Development, Cross Border Tourism, Indonesia-Papua New Guinea

1. PENDAHULUAN

Wilayah perbatasan telah menjadi daya tarik wisata untuk kebanyakan wisatawan. Di beberapa negara di dunia bahkan daya tarik wisata biasanya berdekatan dengan wilayah perbatasan dan menjadi motivasi atau atraksi utama perjalanan wisatawan (Timothy, 2001). Keinginan untuk merasakan sensasi melihat kondisi perbatasan merupakan faktor pendorong yang menarik minat wisatawan. Berkunjung ke perbatasan tidak hanya sekedar berwisata, namun untuk mendapatkan prestise berada di area tersebut.

Indonesia merupakan negara tujuan destinasi wisata yang memiliki wilayah perbatasan darat maupun laut. Wilayah perbatasan tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di wilayah perbatasan darat, terdapat lima Provinisi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Provinsi Papua – Papua New Guinea, Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat - Malaysia, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur – Timor Leste. Dari

(10)

4 kelima perbatasan darat tersebut, perbatasan Indonesia-Papua New Guinea adalah perbatasan yang menarik untuk dikaji dalam perpekstif pariwisata, ekonomi, sosial-budaya, dan politik.

Fenomena pengembangan perbatasan sebaga daya tarik wisata (cross border tourism) bukanlah hal yang baru. Dalam berbagai literarur mengenai pemanfaatan sektor pariwisata di wilayah perbatasan, terdapat beberapa negara yang menjadikan perbatasan sebagai daya tarik wisata seperti AS-Kanada, India-Pakistan, dan Korea Selatan- Korea Utara. Menurut Wolhuther dan Wintersteiner (2014) pariwisata adalah jalan untuk menciptakan perdamaian dan mewujudkan hubungan kerjasama pembangunan di level negara maupun non negara. Dengan berwisata aktor-aktor memiliki motif untuk menyaksikan keindahan alam dan keberagaman budaya. Melakukan pertukaran sosial dalam relasi antara tamu dan wisatawan. Menciptakan rasa saling memahami antara satu aktor dengan aktor sama lainnya.

Dalam konteks perdamaian, pariwisata membawa misi perdamaian karena dapat menyatukan setiap orang dengan latar belakang negara yang berbeda di destinasi wisata. Dari sudut pandang pembangunan ekonomi, pariwisata dapat mensejahterakan negara dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menyebutkan bahwa penyelengaraan pariwisata bertujuan untuk mempererat persahabatan antarbangsa, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu wilayah perbatasan yang telah dijadikan sebagai lokasi pengembangan pariwisata terletak di Distrik Muara Tami Kampung Skouw, perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Kampung Skow ditetapkan sebagai daya tarik wisata pada tahun 2013 oleh Pemerintah Kota Jayapura. Daya tarik wisata yang ditawarkan kepada wisatawan adalah bentangan alam, pantai, budaya, dan tugu perbatasan Indonesia – Papua New Guinea (Disparda Kota Jayapura, 2013).

Pariwisata lintas batas atau cross border tourism merupakan fenomena yang kompleks sehingga untuk memahamainya diperlukan identifikasi pada dua aspek. Pertama, motivasi dan pola perilaku wisatawan yang berkunjung ke area perbatasan. Kedua, peran stakeholder dalam pengelolaaan dan pengambangan pariwisata di perbatasan. Kerjasama pemangku kepentingan merupakan tuntutan utama dalam pengembangan pariwisata. Kerjasama diartikan sebagai hubungan bersifat kolaboratif dan saling mengutungkan di antara para aktor. Dalam konteks kebijakan pengembagan pariwisata, aktor-aktor yang berperan penting untuk mendukung kesuksesan destinasi wisata meliputi sektor pemerintah, sektor bisnis, wisatawan, akademisi, media dan masyarakat lokal.

2. TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata Lintas Batas

Pariwisata lintas batas atau Cross Border Tourism adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok individu untuk melintasi batas suatu negara atau negara tetangga dengan alasan dan tujuan tertentu. Suatu perbatasan dikatakan menjadi daya tarik wisata apabila memiliki atraksi dan keunikan, sehingga membuat orang melakukan perjalanan untuk mengujungi perbatasan tersebut. Berkaitan dengan Cross Border Tourism atau Pariwisata Lintas Bantas terdapat 5 kategori yang menjadi kajian para akademisi yaitu kerjasama, kolaorasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja.

1. Kerjasama

Sebagai pendekatan pertama, kerjasama lintas batas dapat didefinisikan sebagai hubungan formal dalam hal bantuan atau bantuan antara otoritas di kedua sisi perbatasan, biasanya pada subnasional tingkat (Perkmann, 2003). Sedangkan untuk Timothy (2001), kerjasama juga bisa informal dibentuk antara pemerintah daerah, perusahaan atau individu pada kedua sisi perbatasan, tanpa dukungan hukum yang diperlukan melalui perjanjian resmi, norma-norma atau peraturan. Jadi, kedua argumen dapat dianggap pelengkap, dan itu harus menambahkan bahwa hubungan formal atau informal dapat berubah jika perubahan politik terjadi.

2. Kolaborasi

Kolaborasi dapat dipahami sebagai langkah lanjutan setelah kerjasama telah ada diantara kedua belah pihak. Inilah sebabnya mengapa kolaborasi menempati posisi kedua dalam kategori. Menurut Timothy dan Kim (2013), pemahaman pasukan keamanan terhadap faktor politik dan ekonomi serta

(11)

5 kerjasama budaya akan membantu untuk memprediksi kolaborasi antara dua negara. Selain itu, faktor penting lain adalah kedekatan, fungsi dan kesamaan demografis.

3. Pengembangan Pariwisata

Pengembangan pariwisata telah dilihat sebagai kesempatan yang baik untuk meningkatkan ekonomi daerah lintas batas. Dalam studi kasus Niagara Falls, studi Jayawardena et al. (2008), menunjukan bahwa mengembangkan pariwisata di daerah lintas batas ini bisa sangat sulit karena ada kompetisi di antara semua pemangku kepentingan. Hambatan utama di perbatasan Amerika dan Kanada meliputi (i) masalah tapal batas dan masalah kemacetan lalu lintas ; (ii) kurangnya pendanaan jangka panjang yang cukup untuk inisiatif pengembangan perbatasan; (iii) kurangnya sumber daya terlatih manusia; (iv) penelitian pariwisata masih kurang; dan (v) persaingan sengit sedang berlangsung antara mitra industri.

4. Isu-isu Politik dan Perdamaian

Isu politik yang sangat penting ketika berhadapan dengan perbatasan, karena berkaitan erat dengan keputusan politik, konfrontasi politik, ancaman disintegrasi, perselesihan agama atau etnis. Menurut Park (2011), pariwisata dapat berfungsi sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan perdamaian dengan memperkuat legitimasi wacana nasional dan identitas nasional. Pariwisata dapat aktif berperan dalam merekonstruksi politik dan manajemen konflik (Guo et al., 2006).

5. Wisata Belanja

Adapun bentuk perjalanan ke daerah lintas batas, fakta bahwa mayoritas penelitian di daerah lintas batas menunjukan bahwa wisata belanja sebagai fokus utama dari studi mereka (Timothy & Tosun, 2003) yang melibatkan belanja untuk souvenir, belanja karena harga yang lebih rendah atau untuk pengalaman bersantap kuliner sehingga belanja dapat menjadi utama motivasi untuk perjalanan lintas batas.

Motivasi Wisatawan

Dalam konteks pariwisata, motivasi merujuk pada motive yang menyebabkan seseorang melakukan perjalanan. Menurut Mc intosh dan Goeldner (1986, dalam Soekadijo; 2000) motivasi wisatawan dibedakan menjadi empat yaitu:

1. Motivator fisik adalah motivasi yang berkaitan dengan aktivitas perjalanan secara fisik, misalnya olaharaga, rekreasi pantai, hiburan, dan motivasi lainnya yang berhubungan dengan kesehatan. 2. Motivator budaya adalah motivasi untuk mengetahui tentang budaya suatu daerah yang meliputi

musik, seni, ceirta rakyat, tarian, lukisan dan agama di daerah tujuan wisata.

3. Motivator interpersonal adalah moetivasi yang berkaitan dengan hasrat untuk menemui orang abri, mengujungi teman atau keluarga, menjauhkan diri dari rutinitas atau mencari pengalaman baru yang berbeda.

4. Motivator prestise dan status adalah motivator yang berkaitan dengan kebutuhan ego dan

pengembangan status sosial di masyarakat.

Stakholder Pariwisata

Stakeholder atau pemangku kepentingan adalah "Individu atau kelompok individu kelompok-kelompok yang memiliki hubungan saling ketergantungan" dan "setiap individu atau kelompok-kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktik atau tujuan organisasi" (Carroll 1993, dalam Timur 2008). Dengan demikian, stakeholder adalah setiap orang yang terlibat dalam domain pariwisata yaitu organisasi pemerintah (sektor public), pihak swasta (sektor privat), masyarakat lokal, akademisi dan media yang dapat mempengaruhi kebijakan pariwisata. Pemangku kepentingan yang mempunyai peranan dalam perumusan kebijakan pengembangan pariwisata di wialayah perbatasan merupakan tujuan utama dalam penelitian.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam studi pariwisata, studi kasus adalah salah satu metode kualitatif yang memusatkan secara intensif atau mendalam sebuah fenomena sebagai studi kasus. Metode studi kasus biasanya digunakan oleh para jurnalis untuk menginvestigasi

(12)

6 kehidupan nyata (real-life) pada kasus-kasus tertentu yang kompleks (Sue Beeton, 2005). Stake (1995), dalam Cresswell (1998) mengungkapkan terdapat empat bentuk analisis data kualitatif dalam studi kasus, yaitu pengumpulan kategori, intrepetasi langsung, pola dan kesepadanan, serta generalisasi.

Lokasi penelitian terletak di perbatasan Indonesia- Papua New Guinea, Distrik Muara Tami, Kampung Skouw Provisni Papua. Sumber data diperoleh secara langsung melalui observasi lapangan, wawancara, dan studi kepustakaan. Observasi lapangan bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai daya tarik wisata di perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Wawancara bertujuan untuk mengidentifikasi infroman melalui serangkaian tanya jawab secara langsung agar memberikan keterangan dan fakta-fakta yang menjadi temuan penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk membantu informasi terkait data penelitian yang didapat melalui dokumen kerjasama perbatasan Indonesia-Papua New Guinea dari Kementrian Luar Negeri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pariwisata Lintas Batas Indonesia–Papua New Guinea

Wilayah perbatasan telah dijadikan sebagai daya tarik wisata di dunia. Demikian halnya di Indonesia, wilayah perbatasan yang seringkali diartikan sebagai kawasan yang khusus diperuntukan untuk kegiatan militer kini telah bertransformasi sebagai tempat berwisata. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Indonesia untuk mempercantik wilayah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea di Skow, Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Dalam perspekif pariwisata, wilayah perbatasan dikatakan sebagai daya tarik wisata apabila memilki empat unsur utama yaitu atraksi, aksesibiltas, amenitas, dan. organisasi kepariwisataan. Atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukkan. Aksesibilitas (accessibilities) adalah tersedianya infrastruktur yang baik dan transportasi untuk menjagkau daya tarik wisata. Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan. Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan.

Dengan meninjau komponen daya tarik wisata di atas, perbatasan Indonesia – Papua New Guinea di Skow telah mempunyai unsur-unsur tersebut. Unsur atraksi dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, atraksi dari sisi Indonesia. Atraksi yang ditawarkan berupa atraksi alam dan buatan. Atraksi alam yang ditawarkan ialah bentangan alam seperti hutan, pegunungan, perbukitan, dan vegetasi alam. Sementara itu, atraksi wisata buatan adalah tugu perbatasan Indonesia – Papua New Guinea yang berdiri kokoh diantara wilayah Skow (Papua, Indonesia) dan Wutung (Sandau, PNG).

Kedua, atraksi dari sisi Papua New Guinea. Distrik Vanimo dan Wutung adalah dua wilayah distirk yang berbatasan langsung dengan Distirk Muara Tami, Skow. Vanimo merupakan distrik yang memiliki daya tarik wisata pantai yang berpasir putih (white sand). Apabila berada di tugu perbatasan, wisatawan dapat melihat dari kejauhan deburan ombak samudra Pasifik di pasir putih pantai Vanimo yang begitu memukau.

Berkaitan dengan aksesibilitas, perbatasan Skow tidak seperti halnya perbatasan Indonesia di daerah lain di Papua seperti Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Keerom yang masih sulit diakses. Perbatasan Skow, secara infrastruktur sudah tergolong baik dengan kondisi jalan aspal hingga titik perbatasan. Transportasi yang digunakan juga beragam, wisatawan dapat menggunakan taksi, ojek, dan mobil rental. Menjangkau perbatasan Skow hanya dibutuhkan kurang lebih sekitar dua jam dari Bandara Sentani, Terminal Abepura dan Ibu Kota Jayapura.

Fasilitas akomodasi yang terdapat di perbatasan Skow hanyalah rumah makan, dan tempat penukaran uang asing, sedangkan hotel dan agen perjlanan belum tersedia. Hotel hanya yang tersedia di Abepura dan Kota Jayapura. Kualitas hotel yang ditawarkan juga beragam tergantung pada fasilitas dan pelayanan yang diberikan. Sementara itu, agen perjalanan akan banyak ditemukan di Kota Jayapura dan beberapa di sekitar Abepura. Organisasi Kepariwisataan yang terdapat di Papua adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Papua. Sementara itum organisasi yang menunjang kegiatan wisata sekaligus mempromosikan wilayah perbatasan Skow adalah para komunitas kendaraan bermotor seperti Komunitas Avanza Papua yang seirngkali mengadakan touring

(13)

7 Pariwisata lntas batas belum banyak dikenal di aras lokal Papua dan masih kurang peminatnya. Hal ini dikarenakan suasana psikolgis masyarakat masih pada aktivitas yang dikatakan berwisata apabila berkunjung ke pantai atau ke daerah tujuan wisata popular di Indonesia seperti Bali dan Yogyakarta, sedangkan berkunjung ke daya tarik perbatasan bisa dikatakan bukan sebagai wisata. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan wisata di perbatasan diperlukan strategi kebijakan yang implementatif seperti promosi di hotel-hotel dan event olahraga maupun budaya di area perbatasan, sehingga dapat mendorong arus kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata tersebut.

Fenomena pariwisata lintas batas Skow Indonesia – Papua New Guinea juga akan dianalisis pade lima aspek yaitu kerjasama, kolaorasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja. Kelima aspek ini menggambarkan proses kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas di Skow, isu-isu politik yang menghiasi perbatasan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Papua New Guinea, serta wisata belanja sebagai fenomena dominan yang terjadi di Skow perbatasan Indonesia – Papua New Guinea.

1. Kerjasama

Pendekatan kerjasama wilayah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea (PNG) diatur melalui perjanjian bilateral diantara kedua belah pihak. Kedua negara sepakat untuk mengadakan perjanjian tentang pengaturan admnisitratif perbatasan pada tahun 1973 yang ditandantangani oleh Menlu Adam Malik dan perwakilan Britania Raya Mr. Michael T. Somare. Pada waktu itu, PNG masih berada dalam pemerintahan Britania Raya-Australia sehingga secara de jure belum memiliki pemerintahan yang berlandaskan asas hukum internasional.

Pada akhirnya, pembaharuan perjanjian bilateral diantara kedua belah pihak dilakukan pada tahun 1979. Pada perjanjian ini, PNG telah menjadi negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahan sendiri, sehingga diperlukan pembaharuan hukum yang dilaksanakan di Jakarta pada 17 Desember 1979. Substansi perjanjian tersebut berisi tentang pengaturan admnistratif bahwa kedua negara menepakan dua pos utama perbatasan yang berlokasi di Distrik Muara Tami, Skow, Kota Jayapura dan Distrik Sota, Kabupaten Merauke.

Gambar 1. Pos Perbatasan Skow Distrik Muara Tami, Jayapura, Sumber: Dokumentasi Penulis

Dua pos utama perbatasan inilah yang hingga saat ini memberikan layanan mobilitas warga kedua negara memasuki wilayah perbatasan untuk urusan bisnis, mengujungi relasi atau kerabat, dan transaksi perdagangan untuk kebutuhan ekonomi sehari-sehari.

1. Kolaborasi

Rangkaian lanjutan antara Indonesia dan Papua New Guinea setelah perjanjian tahun 1979 melahirkan perjanjian/trakat yang terus diperbaharaui sebagai implikasi perkembangan yang dinamis hubungan kedua negara, baik dilevel pemerintah maupun non-pemerintah. Pada awalnya, Indonesia – PNG sepakat menjalin hubungan diplomatik melalui Treaty of Mutual Respect, Friendship, and Cooperation di tahun 1986. Perjanjain ini berisi aspek normatif hubungan bilateral kedua negara untuk menghormati prinsip non-intervention dalam politik domestik. Secara eksplisit pengelolaan perbatasan tidak dituangkan dalam perjanjian ini, namun menjadi titik awal kolaborasi diantara kedua negara tanpa adanya pihak ketiga sebagaimana pada perjanjian pengaturan administratif perbatasan tahun 1973.

(14)

8 Pada tahun 1990, kepentingan bersama Indonesia – PNG untuk mengelola perbatasan semakin terlihat dengan disetujuinya Agreement on Border Arangements. Terdapat empat aspek utama dalam perjanjian ini.Pertama, aspek demografis untuk sensus desa-desa di wilayah perbatasan dan karatina penduduk. Kedua, aspek tapal batas untuk survey demaraksi dan pemetaan wilayah perbatasan.Ketiga, aspek pengelolaan perbatasan. Aspek ini meliputi pengaturan pelintas batas tradisional dan non-tradisional, perpindahan kewarganegaraan, kegiatan adat, hak atas tanah dan air, perdagangan, konservasi lingkungan (flora dan fauna), pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam, tata kelola transportasi, komunikasi, dan asuransi. Terkahir, aspek pertahahan dan kemanan yang menyangkut pertukaran informasi, navigasi, dan faslitas navigasi.

Memahami pentingnya keberlanjutan kerjasama kolaboratif, Indonesia-Papua New Guinea sepakat untuk menadantangani MoU Rencana Aksi tentang Penerapan Kerja Sama Komprehensif pada KTT 21 APEC di Nusa Dua Bali pada 7 Oktober 2013. Perjanjian tersebut menjabarkan secara rinci langkah-langkah yang mencerminkan kemitraan komprehensif antara kedua negara di bidang politik, keamanan, sosial, ekonomi dan hubungan antar masyarakat. Dalam konteks pengelolaan perbatasan, kerjasama kolaborasi difokuskan pada aspek mekanisme pengaturan antara lain sebagai berikut.

1. Kerjasama Konsultasi Perbatasan

a. Joint Border Committee, Border Liaison Meeting and Border.

b. Memfasilitasi pekerjaan Joint Technical Sub-Commitee on Survey, Demarkasi, dan Pemetaan Wilayah Perbatasan;

1. Kerjasama Tanggap Bencana Perbatasan: Meningkatkan kerja sama untuk meningkatkan efektivitas Search and Rescue dan Bantuan Darurat operasi di daerah perbatasan;

2. Kerjasama Perdagangan dan Investasi di Perbatasan

a. Menjaga kelangsungan perdagangan lintas batas di daerah perbatasan dan meningkatkan kerja sama antara kedua negara untuk memfasilitasi perdagangan perbatasan, antara lain melalui peningkatan sarana dan prasarana pasar perbatasan di kedua sisi perbatasan;

b. Proses untuk membentuk Joint Sub-commite on Trade, dan Investasi, dan Perdagangan di sepanjang wilayah perbatasan, dengan tujuan untuk mengintensifkan perdagangan yang saling menguntungkan sepanjang perbatasan bersama;

3. Kerjasama Konektivitas Perbatasan

a. Memfasilitasi pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur jalan internasional yang menghubungkan provinsi yang berbatasan kedua negara, yaitu Provinsi Papua, Indonesia dan Provinsi Sandaun Papua New Guinea:

b. Memfasilitasi proses negosiasi untuk halal transportasi lintas batas melalui Nota Kesepahaman tentang Trans-Border Crossing;

c. Membentuk suatu perusahaan Joint Sub-commite on Telecommunication dan sesuai nota kesepahaman yang relevan, dalam rangka meningkatkan sistem komunikasi dan jaringan di wilayah perbatasan bersama;

d. Menyediakan fasilitas navigasi di perairan batas Fly River Bulge

4. Kerjasama Imigrasi, Kesehatan, dan Fasilitas Karantina di Perbatasan

a. Memfasilitasi proses negosiasi untuk Nota Kesepahaman tentang kerjasama dan pertukaran informasi Pabean;

b. Memfasilitasi studi kelayakan bersama tentang pembentukan Border Posts, dengan maksud untuk mengatur entry dan exit point untuk gerakan manusia, hewan, tumbuhan, barang, kendaraan, dan kapal melintasi perbatasan;

c. Mempercepat proses negosiasi atas 2 (dua) nota kesepahaman, masing-masing pada kesehatan dan bio-security dan sistem rujukan kesehatan dan jaringan surveilans epidemiologi; 5. Kerjasama Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Area Perbatasan

a. Mempromosikan saling kerjasama dalam masalah yang berkaitan dengan penggunaan dan konservasi sumber daya alam, seperti air bersih, satwa liar, dan pohon-pohon hutan, di daerah yang berdekatan dengan perbatasan;

b. Memfasilitasi penyediaan Nota Kesepahaman untuk melindungi lingkungan di daerah perbatasan, dan kemudian membentuk suatu perusahaan joint Sub-Komite Lingkungan.

(15)

9

2. Pengembangan Pariwisata

Secara historis, pengembangan pariwisata di wilayah perbatasan dapat ditinjau dari kebijakan Presiden disetiap masa pemerintahan. Hal ini dikarenakan setiap pemimpin memiliki proyeksi kebjijakan yang berbeda, khususnya dalam konteks kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti dalam kebijakan pengembangan pariwisata, proyeksi kebjakan lintas batas Skow Indonesia Papua New Guiena terjadi dalam dua tahapan.

Pertama, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang merencanakan proses pengembangan proyek. Tahapan pada masa SBY hanya pada tataran perencanaan dan komitmen yang tertuang dalam kerjasama komprehensif antara Indonesia dan Papua New Guinea yang ditandatangani di Bali tahun 2014, namun tahapan implementasi belum terlaksana. Kedua, Jokowi menjadi pemimpin yang mengesekusi proyek pengembangan pariwisata lintas batas. Kebjiakan membangun dari pingggiran pemerintahan Jokowi pada akhirnya menjalankan komitmen di masa pemerintahan sebelumnya. Pengembangan Skow adalah satu dari tujuh pengembangan pariwisata lintas batas di Indonesia. Pengembangan tersebut dapat terlaksana berkat sinergi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

Pengembangan perbatasan Skow juga dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura tahun 2013-2025 sebagai wilayah pengembangan sektor perdagangan, pertanian dan pariwisata. Secara eskplisit, pengembangan sektor pariwisata tertuang dalam Rencana Kerja Pemernitah Daerah Kota Jayapura tahun 2015. Wilayah pengembangan meliputi kampung Skouw Yambe, Skouw Sae, Skow Mabo, dan Moso. Pengembangan ini bertujuan untuk meningkatkan indeks transaksi perdangangan, kesejahteraan masyarakat, dan interaksi atau pertukaran antara penduduk Papua dan PNG.

2. Isu-Isu Politik

Kedekatan geografis antara Papua dan Papua New Guinea membuat negara ini tidak bisa lepas dari kepentingan nasional Indonesia. Pada titik inilah, negara yang tidak lepas dari Indonesia dalam masalah domsetik sepert konflik lokal yang mencuat menjadi isu internasional ialah Papua New Guinea. Isu self-determination yang digaungkan kelompok anti integrasi merupakan persoalan mendasar di wilayah perbatasan Indonesia-Papua New Guinea. Sebab, PNG adalah negara terdekat yang dijadikan wilayah pelarian kelompok anti integrasi.

3. Wisata Belanja

Sebagaimana diketahui bahwa fakta perjalanan ke daerah lintas batas, mayoritas menunjukan bahwa wisata belanja sebagai fokus utama karena perbatasan dijadikan sebagai pusat perdagangan antara penduduk disekitar wilayah perbatasan. Pos perbatasan Skow merupakan wilayah yang dikunjungi penduduk asal Distirk Wutung dan Distrik Vanimo untuk berbelanja kebutuhan sandang dan papan. Mereka berbelanja di pasar Skow pada hari Selasa dan Kamis.

(16)

10 Gambar 2. Wisatawan Belanja asal Vanimo , Sumber: Dokumentasi Penulis

Salah satu penduduk asal distrik Vanimo, Tonggoh Hapta mengatakan bahwa hasrat yang mendorong dirinya berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar Skow karena tiga hal. Pertama, akses. Akses dari Vanimo menuju Skow lebih dekat ketimbang harus menuju ke Sandau atau Ibu Kota PNG, Port Morestby. Kedua, harga. Harga kebutuhan lebih murah dibandingkan berbelanja ditempat lain, termasuk di Provinsi Sandau. Ketiga, kemudahan. Penjaga pos perbatasan memberikan kemudahan untuk bagi para pelintas batas tradisioma; serta tersedianya penukaran uang Kina di pasar Skow dan pedagang juga menerima uang Kina.

“…Saya datang ke Skow karena akses jalan dari Vanimo dekat, coba bayangkan

kalau saya harus ke Port Moresby berapa biaya yang harus dikeluarkan. Barang juga lebih murah di Skow, misal harga buah pinang satu karung 400 ribu, sedangkan di PNG 700 ribu sampai 1 juta 200 ribu‖ (Wawancara tanggal 22 Nopember 2016) Motivasi Wisatawan

Pos perbatasan Indonesia-Papua New Guinea menujukan fenomena perjalanan wisata yang menarik. Motivasi wisatawan yang berkunjung di pos perbatasan Skow dapat dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, motivasi belanja. Segmen utama arus perjalanan ke perbatasan adalah pelintas batas tradisonal yang mengadakan kegiatan transasksi ekonomi di Pasar Skow. Kedua. Motivasi budaya. Motivasi pada segemen ini adalah wisatawan mancangeara. Hasrat yang medorong wisatwan mancanegara melewati perbatasan biasanya bertujuan untuk menyebrang ke Provinsi Sandau sebab mudah dijangkau dari Bandara Sentani ketimbang dari Port Moresby, Papua New Guinea.

Gambar 3. Wisatawan befoto di tugu perbatasan, Sumber: Dokemuntasi Penulis

Sebagai contoh, Claudia Israilev wisatawan asal Tucuman Argentina menjadikan Provinsi Papua sebagai daerah tujuan wisata dan transitnya. Cluadia menuturkan perjalanannya ke Papua

(17)

11 adalah untuk mengujungi Lembah Baliem di Wamena. Setelah itu, berkunjung ke Sandau dan Wewak di Papua New Guinea dengan melalui jalur perbatasan. Baginya, jalur perbatasan cenderung aman dan hemat daripada menggunakan jalur udara menuju Port Moresby (Wawancara, 23 Nopember 2016). Dalam sudut pandang pariwisata, perjalanan yang dikakukan oleh Cluadia dapat dikatakan sejalan dengan elemen dalam sebuah sistem pariwisata yang menyangkut daerah/negara asal wisatawan, daerah/negara tujuan wisata), dan tempat transit (Leiper, 1990).

Peran Stakholder

Peran stakeholder dalam pengembangan pariwisata lintas batas didimonasi oleh sektor publik atau Pemeritnah. Artinya, sektor non pemerintah seperti penguasaha dan pihak swasta belum memiliki peran dalam pengembangan perbatasan Skow. Sektor publik yang berperan terdiri dari dua, yaitu Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan pihak utama yang punya peran penitng dalam tata kelola Pos Skow. BNPP kemudian menggandeng kerjasama dengan berbagai stakeholder lembaga pemerintah lainnya seperti Kementrian Pariwisata, Kementrian Luar Negeri, dan TNI/Polri. Kementrian Pariwisata kemudian mengadakan program

Event Cross Border Tourism Wonderful Indonesia di Pos Skow. Program Cross Border Tourism telah

dilaksanakan sebanyak enam kali selama tahun 2016. Acara ini dinilai sukses karena berhasil meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Gambar 4. Event Cross Border Tourism Wonderfull Indonesia, Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut Suzana Wanggai selaku Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri penyelenggaraan Cross Border Tourism selain untuk mennigkatkan kunjungan di perbatasan, diharapkan juga akan menggerakan perekonomian masyarakat dengan adanya kegiatan seni dan musik seperti reagee dan dangdut, mob Papua, dan tarian adat Melanesia. Sementara itu, Hans B. Menanti selaku kepala seksi pengembangan prasana dan promosi pariwisata Provinsi Papua mengatakan Cross Border Tourism Wonderfull Indonesia merupakan agenda Kementrian Pariwisata untuk meningkatkan jumlah kunjungann wisatawan di perbatasan. Berdasarkan data kunjungan wisatawan pada bulan juni-Nopember 2016 mencapai 1300-1400 orang. Kunjungan ini berkat adanya event Cross Border Tourism yang diselanggarakan di Distrik Muara Tami, Pos Perbatasan Skouw (Antara New, 2016).

5. SIMPULAN

Kebijakan pengemembangan pariwisata lintas batas di pos perbatasan Skow dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahapan perencanaan dan tahapan implementasi. Tahapan perencanaan terjadi pada masa pemerintahan SBY, sedangkan tahapan impelemtasi dilakukan pada masa pemerintahan Jokowi. Motivasi yang mendorong wisatawan atau pelintas batas tradisional mengujungi perbatasan dilatarbelakangi oleh motif budaya dan wisata belanja. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Pemerintah Provinsi Papua adalah aktor dominan dalam kebijakan pengembangan pariwisata

(18)

12 lintas batas. Pada akhirnya, kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas Skow mempunyai tiga elemen penitng, yaitu kerjasama antara Indonesia – Papua New Guinea, kolaborasi stakeholder; Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Pariwisata, dan TNI, serta upaya mereduksi isu politik kemerdekaan Papua.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dihaturkan dengan kepada LPDP-Kementrian Keuangan dan pihak yang membantu terselsaikannya makalah ini. Terima kasih kepada LPDP yang telah mensponsori penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Dukungan dana LPDP juga telah membantu penulis melaksanakan perjalanan ke perbatasan Indonesia-Papua New Guinea di Disrtik Muara Tami, Kampung Skow, Propinsi Papua. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Prodi Kajian Pariwisata Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, Sekretaris Prodi Prof. Syamsul Alam Paturusi, dan Staff admin Ibu Dayu dan I Nyoman Kariana.

DAFTAR PUSTAKA

Beeton, Sue. 2005. The Case Study in Tourism Research: a Multi-method Case Study. School of

Tourism and Hospitality, La Trobe University, 37-47.

Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. London: SAGE Publications

Guo, Y., Kim, S. S., Timothy, D.J. & Wang, K.C. 2006. Tourism and reconciliation between Mainland China dan Taiwan. Tourism Management, 27 (5), 407-420.

Jayawardena, C., White, A., & Carcmichael, B. 2008. Binational Tourism in Niagara: insights challeges and the future. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 20 (3), 347-359.

Leiper, Neil. 1990. Tourism Systems: An Interdisciplinary Perspective. Department of Management Systems, Business Studies Faculty, Massey University, Palmerston North, New Zealand. Seldjan Timur, Donald Getz, (2008) "A network perspective on managing stakeholders for

sustainable urban tourism", International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 20 Iss: 4, pp.445 – 461

Soekadijo, R.G 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage. Jakarta: Gramedia

Park, H. Yu. 2011. Shared national memory as intangible heritage. Annals of Tourism research, 38(2), 520-539.

Perkmann, M. 2003. Cross Border regionals in Europe:significance and drivers of regional cross border co-operation. European Urban and Regional Studies, 10(2), 153-171.

Timothy, D.J. 2001. Tourism and Political Boundaries. London, New York. Routledge.

Timothy, D.J., & Tosun, C.D. (2003). Tourists' perceptions of the Canada-USA border as a barrier to tourism at the International Peace Garden. Tourism Management, 24(4), 411-421.

Wohlmuther, Cordula & Wintersteiner, Werner.2014. International Handbook on Tourism and Peace. Centre for Peace Research and Peace Education: Klagenfurt University Press.

Dokumen

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwsataaa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura Rencana Kerja Pemernitah Daerah Kota Jayapura tahun 2015

Media

Antara News, Dipar Papua Target Seribu Pengujung Cross Border Wonderfull Indonesia. Diakses melalui http://www.antarapapua.com/berita/458062/dispar-papua-target-seribu-pengunjung-cross-border-wonderful 22 November 2016.

(19)

13

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM

MENGENDALIKAN AROGANSI

LOCAL TOUR GUIDE

DI PURA

BESAKIH

Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2)

Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Email: kusumasanjiwani@unud.ac.id

Abstrak

Penelitian ini berjudul "Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Mengendalikan Arogansi Local

Tour Guide di Pura Besakih“. Dilatarbelakangi oleh pengembangan Kawasan Suci Pura Besakih

sebagai Dayat Tarik Wisata. Pengelola Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya dikelola oleh masyarakat setempat, terjadi pergesekan yang cukup kuat antara local tour guide dengan travel agent

serta antara local tour guide dengan wisatawan. Keluhan demi keluhan dari wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara dan tour guide di Bali terhadap sikap local

tour guide (pemandu wisata lokal) di Pura Besakih semakin meningkat. Tindak arogansi ini

memberikan pencitraan buruk dan berdampak meluas pada daya tarik wisata serta usaha pariwisata lainnya yang berkembang di Kabupaten Karangasem pada umumnya serta pariwisata yang terletak di seputar wilayah Besakih pada khususnya. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Penelitian ini menggunakan penelitian empiris dan menganalisis permasalahan yang terjadi di lapangan dengan teori kewenanga, konsep kebijakan, dan asas desentralisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan pemerintah memberikan dampak yang sangat luas untuk pengembangan pariwisata dan mampu mengendalikan efek negatif yang sudah mengakar kuat di masyarakat untuk kelanggengan sebuah daya tarik wisata.

Kata Kunci: kebijakan pariwisata, hukum pariwisata,moratorium pariwisata

Abstract

Title of this research is “Bali Provincial Government Policy in Controlling Arrogance Arrogance of Local Tour Guides at Besakih Temple”. The background of this journal is started from the development of the Pura Besakih Sacred Area as a Tourist Attraction. The management of the Pura Besakih Sacred Area was initially managed by the community. There is a strong friction between local tour guide with travel agent and between local tour guide with tourists. So many complaints from foreign tourists and local tourists and tour guides in Bali against the attitude of local tour guide in Besakih temple. The arrogance provides poorly imaging and has an impact on tourism attractions and other tourism businesses that flourish in Karangasem regency in general as well as tourism located around the Besakih region in particular. The problem in this research is how the form of policy of provincial government in overcoming the action of boycott by travel agent for arogan action of local tour guide in sacred area of Besakih Temple? This research uses empirical research and analyzes the problems that occur in the field with theories of authority, policy concepts, and decentralization principles.The results of this research indicate that government policies have a very wide impact on tourism development and are able to control the negative effects that are already deeply entrenched in society for the sustainability of a tourist attraction.

(20)

14

1. PENDAHULUAN

Kabupaten Karangasem merupakan Kabupaten yang masih menjaga nilai keaslian atau autentik kebudayaan Bali, sehingga wisatawan yang berkunjung masih dapat merasakan Bali dimasa lampau. Pariwisata budaya yang mengakar kuat bersinergi dengan sangat apik antara spiritual dan konservasi. Kawasan pariwisata di pegunungan memadukan basis spiritual dengan basis budaya dan kawasan pariwisata di pesisir memadukan basis budaya dengan konservasi. Kabupaten Karangasem merupakan Hulu

Pulau Bali, dikatakan demikian karena Gunung Agung dan Pura Besakih berada di Kabupaten Karangasem. Gunung merupakan tempat beristananya para dewa menurut kepercayaan agama Hindu.

Pergeseran komoditi perdagangan dari industri barang menuju industri jasa di Indonesia telah membawa Pura Besakih menjadi salah satu daya tarik wisata budaya yang sangat diminati wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Mereka memandang bahwa Pura Besakih merupakan tempat untuk melihat secara langsung dan mempelajari sejarah Pulau Bali, aktivitas agama Hindu dan kebudayaan masyarakat di Bali, serta mempelajari filsafat/filosofi masyarakat Bali seperti Sad Kertih dan Tri Hita Karana.

Nilai ekonomi yang dihasilkan dari berkembangnya usaha pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya memberikan efek positif dan citra positif bagi Pura Besakih. Citra positif timbul saat pariwisata mampu bersandingan dengan Kawasan Suci tanpa mengurangi makna kesucian Pura, masyarakat menjadi semakin sejahtera dan peningkatan pendapatan untuk kehidupan. Hal ini tidak berlangsung lama, untuk beberapa tahun belakangan ini, keseimbangan tersebut mulai goyah. Pariwisata telah membawa efek negatif berupa semakin matrealistisnya masyarakat lokal. Isu pariwisata yang muncul adalah berkembangnya sikap kurang arogan dari local tour guide di kawasan suci Pura Besakih terhadap wisatawan yang datang berkunjung. Keluhan demi keluhan bermunculan dari wisatawan. Bukan hanya wisatawan mancanegara, bahkan wisatawan domestik juga mengalami perlakuan yang sama, termasuk tour

guide di Bali yang mengantar wisatawan mengunjungi Kawasan Suci Pura Besakih.

Pertama, local tour guide menetapkan penarikan donasi dengan tarif minimum yang cukup tinggi kepada wisatawan dan bersifat wajib untuk dapat memasuki kawasan suci Pura Besakih. Kedua, tour guide

diluar local tour guide dilarang memasuki kawasan suci Pura Besakih, wisatawan yang datang harus menggunakan jasa local tour guide dengan tarif jasa yang cukup tinggi. Beberapa keluhan yang disampaikan adalah 1:

1. Wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara harus membayar Rp.15.000 per-orang untuk tiket masuk dan Rp. 5.000 untuk setiap kendaraan roda empat saat melewati pintu tiket utama. Setelah melewati pintu tiket, wisatawan harus membayar lagi sejumlah uang dengan dalil uang kebersihan oleh oknum setempat;

2. Local tour guide bersikap arogan seperti melakukan pengusiran terhadap wisatawan yang

mempertanyakan kemana aliran dana uang tiket dan uang kebersihan. Local tour guide sering mengeluarkan perkataan sebagai berikut, “Kalau tidak mau memberi uang donasi untuk desa, silahkan pulang” untuk mengusir wisatawan;

3. Wisatawan mancanegara diperas sebesar Rp. 500.000 untuk bisa berkeliling di kawasan suci Pura Besakih oleh oknum local tour guide;

4. Pada bulan Februari 2016 donasi wajib untuk wisatawan nusantara adalah sebesar Rp. 200.000 dan wisatawan mancanegara sebesar US$ 50.

5. Kawasan Suci Pura Besakih pernah mendapatan aksi boikot dari travel agent di Bali karena dianggap tidak aman lagi untuk dikunjungi oleh wisatawan. Tour guide dan travel di Bali merasa gerah dengan tindakan local tour guide Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka mencoret Pura Besakih sebagai destinasi tujuan wisatawan dari paket yang mereka tawarkan. Apabila hal seperti ini terus terjadi maka otomatis Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan wisatawan sebagai daya tarik wisata. Isu-isu diatas menjadi suatu permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji. Perlu adanya social control dalam pengembangan pariwisata agar nilai – nilai kebudayaan dan spiritual tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Permasalahan tersebut dikaji dengan teori

1 http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160310114652-269-116495/ada-pungutan-liar-di-besakih-pariwisata-bali-tercoreng/

(21)

15 kewenangan sebagai pendelegasian kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yaitu pendistribusian tugas pengelolaan pariwisata yang sepenuhnya dipegang oleh daerah. Teori kewenangan didukung oleh konsep kebijakan dan asas desentralisasi sebagai penguatan pemahaman tentang pentingnya Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten bekerjasama dengan baik menyelesaikan isu-isu pariwisata yang terjadi di Provinsi Bali.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengeluarkan kebijakan pariwisata sesuai dengan asas Desentralisasi dalam menyelamatkan kawasan suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata. Urgensi penelitian ini adalah mengkaji isu pariwisata melalui kebijakan Pemerintah Daerah agar dapat memberikan option/pilihan dalam memecahkan permasalahan di masyarakat dan menyelamatkan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Menjaga kesucian Pura Besakih dari tindakan-tindakan negatif menjadi prioritas utama yang perlu segera dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.

2. METODE

Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris. Penelitian ini mengaitkan hukum dengan perilaku nyata manusia. Bahan Hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa bahan yang dihasilkan melalui wawancara secara mendalam dengan informan dan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum pelengkap meliputi, buku-buku literatur yang menjadi referensi terhadap tema yang diangkat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis bahan hukum menggunakan dua tahapan yaitu teknik analisis dan teknik evaluasi.

3. PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kawasan Suci Pura Besakih

Pura Besakih merupakan Pura yang terletak di Kaki Gunung Agung, tepatnya berada di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali dengan titik koordinat 8°20′31″LS 115°30′00″BT.

(22)

16

Gambar. 2 Sketsa Pura Besakih, Tapak Atas

Pura Besakih dikalsifikasikan menjadi tiga bagian yang disebut Tritunggal, mengambil filosofi Tri Murti. Tri Murti adalah tiga dewa utama yang ada dikepercayaan agama Hindu. Pura-pura yang termasuk kedalam Tritunggal tersebut adalah :

1. Pura Penataran Agung (posisi ditengah-tengah Pura Besakih) dengan bendera berwarna putih, tempat beristananya Dewa Iswara;

2. Pura Batu Madeg (pisisi di sayap kiri Pura Besakih) dengan bendera berwarna hitam, tempat beristananya Dewa Wisnu;

3. Pura Kiduling Kreteg (posisi di sayap kanan Pura Besakih) dengan bendera berwarna merah, tempat beristananya Dewa Brahma).

Gambar. 3 Sistem Arah Kardinal dan Topografis (Sumber David J. Struart-Fox)

Kawasan Suci Pura Besakih yang termasuk kedalam Pura Sad Kahyangan memiliki aturan dalam menjaga kesucian pura tersebut dimana kawasan tempat suci disekitar Pura Sad Kahyangan

dengan radius sekurang-kurangnya apeneleng agung setara dengan 5000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura (batas tembok terluar pura) ditetapkan untuk radius kesucian Pura Besakih di Kecamatan Rendang.

2. Pengelolaan Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih

Pengembangan dan pengelolaan Pura Besakih menjadi perhatian utama masyarakat Bali. Kawasan Suci Pura Besakih merupakan salah satu kawasan strategis Provinsi Bali. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem No. 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karangasem Tahun 2012 – 2032 menyatakan bahwa skala pelayanan Kawasan Suci Pura Besakih tidak hanya untuk Kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali pada umumnya namun juga untuk wilayah Nasional. Batas kata kepemilikan tersebut adalah menjaga dan melestarikan Kawasan Suci Pura Besakih dan melaksanakan ritual keagamaan yaitu agama Hindu.

(23)

17 Kawasan Pura Besakih secara teknis dikelola oleh Manajemen Operasional Pengelolaan Kawasan Pura Besakih. Yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih. Sesuai Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih mempunyai tugas; merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan Manajemen Operasional (MO) Pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, dan melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Bali. MO juga melakukan pengawasan terhadap local tour guide, pada tahun 2017 tercatat jumlah seluruh local tour guide yang ada di kawasan Kawasan Suci Pura Besakih adalah 416 local tour guide, dengan katagori remaja 20% dan dewasa 80%. Remaja disini termasuk anak-anak yang masih berstatus pelajar (SMA), ataupun anak putus sekolah. Dari 416 pramuwisata yang ada dikawasan Pura Agung Besakih hanya 252 local tour guide yang memiliki lisensi dan 164 local tour guide tidak berlesensi. Pramuwisata tersebut dibagi atas tiga regu, yang terdiri atas sift pagi, sift siang dan sift sore.

Local tour guide memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang menjadi acuan dasar bagi

mereka, tidak ada lagi local tour guide yang melakukan pemerasan terhadap wisatawan seperti yang dahulu terjadi. Karena dapat memberikan dampak yang sangat negative terhadap angka kunjungan wisatawan ke Pura Besakih. Bahkan insiden tersebut sempat meciptakan image buruk dimata wisatawan dan masyarakat umum. Berikut merupakan SOP yang dijalankan oleh pramuwisata Pura Besakih.

1. Mengetahui sejarah dan tata ruang Pura Besakih

2. Menguasai bahasa nasional dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris 3. Menggunakan pakaian adat yang sopan

4. Selalu menjaga nama baik Pura Besakih 5. Selalu menjaga kesucian Pura Besakih

6. Tidak mengenakan tariff kepada wisatwan diluar harga tiket masuk kecuali wisatawan memberikan uang tip secara sukarela

Apapila ditemukan pramuwisata yang melanggar aturan akan dikenakan sanksi, adapun sanksi yang berlaku bagi para pramuwisata antara lain:

a.Teguran/Peringatan b. Skorsing

c. Pemecatan

Jam operasional pramuwisata Pura Besakih yaitu menyesuaikan dengan jam operasional MO yaitu 12 jam setiap harinya, dari jam 07.00 sampai jam 17.00 dari hari seni sampai minggu.

Gambar. 4 Struktur Organisasi Badan Pengelola Kawasan Pura Besakih

3. Arogansi Local Guide (Pramuwisata Lokal) di Kawasan Suci Pura Besakih

Daya tarik wisata pura-pura di Bali merupakan daya tarik wisata budaya yang banyak menarik perhatian wisatawan. Kawasan Suci Pura Besakih diarahkan untuk menjadi bagian dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025. Kawasan Suci Pura Besakih berada dibawah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali. Penetapan tersebut masih

(24)

18 menjadi polemik di masyarakat dan Pemerintah Daerah, kekhawatiran Kawasan Suci yang dapat berlih fungsi pun semakin membuat resah.

Isu sikap local tour guide sudah santer terdengar semenjak tahun 2012 hingga sampai saat ini. Berawal dari segelintir oknum yang bertindak arogan, menjadi meluas dan rata-rata para local tour

guide melakukan praktik yang sama. Wisatawan asing memegang jumlah keluhan yang paling tinggi

terhadap perlakuan local tour giude di Kawasan Suci Pura Besakih. Keluhan wisatawan sudah sampai ke dunia internasional melalui report online, review online, dan berita-berita media online (media yang khusus mengulas tentang daya tarik wisata atau perjalanan wisata). Keluhan juga diutarakan pada pelaku usaha pariwisata baik di daerah yang berdekatan dengan Kawasan Suci Pura Besakih maupun diluar Kawasan Suci Pura Besakih. Bentuk-bentuk keluhan yang diutarakan wisatawan diantaranya :

1. Pemaksaan jumah donasi yang ditetapkan sebesar USD 250;

2. Perbedaan harga tiket masuk, antara IDR. 15.000 – 30.000 bagi wisatawan mancanegara tanpa ada patokan kriteria;

3. Pembelian tiket masuk tidak termasuk parkir, penyewaan sarung dan jasa pemandu wisata; 4. Pemaksaan menggunakan jasa local tour giude bagi wisatawan yang masuk tanpa pemandu; 5. Pelarangan guide luar untuk masuk ke areal Pura Besakih;

6. Wisatawan eropa sebagian besar dikenakan charges 10 EURO untuk jasa guide yang dinegosiasikan secara personal oleh local tour giud.

Banyak wisatawan yang sedih bahkan menangis sesampainya di usaha pariwisata berikutnya seperti rafting dan restaurant yang dekat dengan Pura Besakih. Sebagian pengusaha mengutarakan bahwa wisatawan kehabisan uang saat berkunjung ke Pura Besakih dan kejadian tersebut diluar ekspektasi atau harapan mereka. Dampak yang dapat terjadi apabila tindakan arogansi local tour guide masih terjadi di lapangan adalah :

 Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan sebagai Daya Tarik Wisata oleh wisatawan dan memasuki siklus decline pariwisata

 Citra negatif akan menyebabkan Kawasan Suci Pura Besakih mengalami krisis kepercayaan dari sektor pariwisata

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menyelesaikan Permasalahan Local Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih sebagai Daya Tarik Wisata

Pemerintah Provinsi Bali memegang kewenangan delegasi dari Pemerintah Pusat dalam mengurus rumah tangga pemerintahan khususnya dalam pengembangan sektor kepariwisataan daerah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Asas desentralisasi telah memberikan peluang bagi Pemerintah Provinsi Bali untuk merencanakan pengembangan pariwisata di Kawasan-Kawasan Strategis Pariwisata yang berada di bawah kewenangannya yang terdiri dari kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan dan kawasan warisan budaya.

Kawasan Suci Pura Besakih merupakan bagian dari Sad Kahyangan dan otomatis merupakan bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029. Pengelolaan, pengawasan dan perlindungan Kawasan Strategis Pariwisata merupakan kewajiban dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten sebagai Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 tentang Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih untuk menghadapi carut marutnya pariwisata di kawasan suci tersebut tetapi sampai saat ini berlum berhasil menekan arogansi local tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih.

Kebijakan pemerintah untuk sektor pariwisata harus memenuhi pembangunan empat pilar kepariwisataan sesuai dengan arahan Rencana Pembangunan Induk Pariwisata Daerah Provinsi Bali atau yang dikenal dengan RIPPARDA Provinsi Bali. Kebijakan pembangunan pariwisata adalah pembangunan empat pilar pariwisata yaitu terdiri dari:

1. Pembangunan destinasi pariwisata 2. Pembangunan pemasaran pariwisata 3. Pembangunan industri pariwisata 4. Pembangunan kelembagaan pariwisata

Empat pilar pariwisata merupakan pedoman pembangunan kepariwisataan yang dicanangkan untuk seluruh destinasi pariwisata yang ada di Provinsi Bali. Usaha pemerintah dalam mengeluarkan

(25)

19 Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih adalah untuk :

1. Menghentikan pelaku industri pariwisata yaitu local tour guide yang seluruh anggotanya adalah masyarakat lokal untuk melakukan tindakan arogansi (berhubungan erat dengan pembangunan industri pariwisata);

2. Menekan citra negatif dan mengembalikan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih untuk memulihkan krisis wisatawan (berhubungan erat dengan pembangunan pemasaran pariwisata);

3. Mengembalikan rasa aman dan nyaman serta kepercayaan wisatawan terhadap daya tarik wisata Pura Besakih (berhubungan erat dengan pembangunan destinasi pariwisata);

4. Manajemen Oprasional (MO) menjadi garda terdepan dalam pengelolaan Pura Besakih agar dapat membenahi manajemen Pura Besakih, dimana sebelumnya kurang terorganisir dengan baik (berhubungan erat dengan kelembagaan pariwisata).

Banyak faktor yang telah membuat pengusaha usaha pariwisata di sekitar Pura Besakih, masyarakat di lingkaran terdekat Desa Besakih, wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara, serta pemerhati dan pelaku pariwisata lainnya yang memiliki hubungan erat atau melaksanakan kegiatan pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih merasa resah dan putus asa. Bentuk-bentuk keresahan tersebut antara lain :

1. Keluhan wisatawan sebagian besar ditumpahkan kepada usaha pariwisata lainnya yang berada dekat dengan Desa Besakih (masih dalam lingkup Kecamatan Rendang) seperti usaha jasa makanan dan minuman, usaha wisata tirta (rafting), usaha penyediaan akomodasi (homestay), daya tarik wisata dan lain-lain. Pemerasan yang dilakukan local tour guide telah membuat wisatawan kehabisan uang tunai saat sedang melakukan perjalan wisata. Kekecewaan wisatawan ditampung dengan baik oleh pengusaha usaha pariwisata. Pengusaha usaha pariwisata harus bersusah payah menunjukkan hospitalitas yang baik kepada wisatawan serta harga yang menarik agar dapat menutup citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka merasa pendapatan mereka lambat laun mengalami penurunan seiring dengan menurunnya jumlah kunjungan wisatawan di Kawasan Suci Pura Besakih;

2. Tindakan pemerasan local tour guide yang dinilai sebagai tindakan arogan oleh wisatawan tidak dapat dikendalikan, begitu juga tentang pembayaran retribusi dan yang cukup banyak jumlahnya dan dipungut disetiap tempat. Manajemen Operasional Pura Besakih yang seharusnya memiliki kewenangan penuh terhadap penanggulangan pemerasan tersebut menjadi nampak bermain kucing-kucingan dengan oknum local tour guide. Sampai saat ini masih belum dapat diatasi dengan baik sehingga masih saja terjadi kecolongan terhadap tindakan pemerasan;

3. Masyarakat di desa-desa lainnya yang masih berada dalam satu kawasan Kecamatan Rendang selalu berusaha untuk mengajak para elit dan pemuka adat Desa Besakih untuk duduk bersama. Mereka mencoba mencari solusi atas isu-isu negatif pariwisata, tetapi hasilnya nihil.

Focus Group Disscussion (FGD) pada Tahun 2016 tentang Rancangan RIPPARDA

Kabupaten Karangasem yang diadakan di Restaurant Maha Giri, Rendang juga mengundang para pemuka adat, pengelola Pura besakih (sebelum ditetapkannya Majamenen Operasional Pura Besakih) dan elit Desa Besakih, tetapi hasilnya pun nihil. Tidak ada satu undangan pun dari Besakih yang datang untuk hadir dalam FGD tersebut;

4. Pengusaha pariwisata di kawasan pesisir, khususnya Candi Dasa, Tulamben dan Amed merasa sangat khawatir dengan isu-isu negatif serta citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Dampak dari hal-hal tersebut telah membuat wisatawan tidak melakukan kunjungan lagi

(repeater) ke Kabupaten Karangasem;

5. Masyarakat di Desa-Desa Wisata yang terdapat di Kabupaten Karangasem turut resah karena daya tarik wisata utama Kabupaten Karangasem adalah sebagai simbol utama dari daya tarik wisata lainnya. Sebuah simbol akan memberikan pencitraan pertama atau kesan pertama yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa dan keinginan untuk mengeksplorasi Kabupaten Karangasem.

Apabila sebuah daya tarik wisata sedang mengalami kejenuhan, krisis atau ketidakmampuan melakukan peremajaan management pengelolaan maka sesuai siklus perkembangan pariwisata, fase tersebut merupakan fase stagnasi (stagnation).

(26)

20 Gambar. 5 Siklus Pariwisata Menurut Buttler Pilihan dalam kelanjutan masa stagnasi dapat berupa :

1. Rejuvination (Peremajaan)

Menggali potensi baru atau mengembangkan produk baru dari sebuah daya tarik wisata untuk menghindari krisis. Membenahi sumber daya manusia, sumber daya budaya, sumber daya alam sebagai daya dukung utama sebuah daya tarik wisata.

2. Decline (Menurun)

Penurunan kunjungan wisatawan secara bertahap dan pada akhirnya sebuah daya tarik wisata akan ditinggalkan oleh wisatawan, usaha pariwisata dan investor. Daya tarik wisata tersebut tidak mampu untuk bangkit dan industri pariwisata yang telah berkembang secara spontan mengalami swicht off mode.

Fase Rejuvination (Peremajaan) yang dapat dilakukan untuk memberi efek jera pada local tour

guide adalah melakukan moratorium Kawasan Suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata.

Moratorium merupakan penangguhan, penundaan atau penghentian suatu kegiatan tertentu dalam periode waktu yang telah ditentukan. Ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah memberikan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka dapat dilaksanakan kebijakan moratorium. Pada masa moratorium, Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi kebijakan, seperti mengapa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan harapan? Atau mengapa kebijakan tersebut menyimpang jauh dan tidak sesuai dengan sasaran utama.

Moratorium Kawasan Suci Pura Besakih merupakan jalan terbaik untuk dapat menekan isu-isu negatif dan citra negatif yang selama ini selalu menghantui Kawasan Suci Pura Besakih dan berdampak meluas pada kawasan pariwisata dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karangasem. Moratorium yang dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat memberikan perubahan berupa :

1. Penataan dan pengedukasian Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya pengelola dari masyarakat Desa Besakih dan local tour guide untuk memperbaiki pola pikir dan pemahaman mereka tentang pentingnya citra positif pariwisata dan pembangunan destinasi pariwisata untuk pariwisata berkelanjutan;

2. Setiap local tour guide yang ingin menjadi tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih haruslah memiliki sertifikat sebagai pemandu wisata / tour guide dari pelatihan yang bersertifikasi agar dapat menjamin etika dan profesionalitas tour guide dalam memandu wisatawan;

3. Pembenahan pengelolaan ticket dan retribusi satu pintu untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan dan menghentikan tindakan pungli/pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab;

4. Memberikan batasan-batasan dan pengelolaan satu pintu bagi donasi yang diberikan oleh wisatawan. Pemberian donasi tidak dipaksakan atau bersifat tidak wajib untuk menghindari pungli/pemerasan. Pemberian donasi yang bersifat tidak wajib atau suka rela tersebut dicantumkan pada sebuah pengumuman yang dapat dibaca oleh wisatawan dan dibuatkan peraturan yang sah oleh pihak MO Pura Besakih;

Untuk dapat merealisasikan perubahan memerlukan waktu yang cukup lama karena merubah pola pikir sumber daya manusia jauh lebih berat dibandingkan hanya merubah sebuah struktur

Gambar

Gambar 4. Event Cross Border Tourism Wonderfull Indonesia, Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tabel 1 Rekapitulasi Kelas Menu Analisis Menu Restoran Warung Bali Periode Januari – Juli  2017
Gambar 1. Kondisi Homestay di Kawasan BTS. Hasil Penelitian 2017.
Tabel 2.Jenis-Jenis Kuliner Di Desa Sangeh
+7

Referensi

Dokumen terkait

(1990\ yang menyatakan bahwa pengaruh varietas terhadap variabel yang diamati disebabkan oleh adanya perbedaan faktor genetik yang dimiliki masing-masing varietas jagung

Mana-mana orang yang mempunyai apa-apa tuntutan undang-undang terhadap hak-hak adat bumiputera ke atas tanah atau mana-mana bahagian tanah tersebut dan yang mana

Bila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah yang

Untuk dapat melakukan instalasi sistem operasi jaringan Redhat Linux 9 dengan baik dan benar diperlukan pemahaman yang baik akan kebutuhan sistem dan kondisi yang ada. Tanpa

Setelah proses mixing selama 14 menit dan setelah dilakukan pengecekan terhadap spesifikasi adonan yang dihasilkan, maka akan diperoleh adonan yang siap untuk diolah

Çelenk ve Karakış (2007) tarafından yapılan araştırmada öğrencilerin % 59,3’ünün özümseyen öğrenme stiline sahip olduğu, öğrenme stilleri ile öğrenim

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, Xing Yi dan James Allan (2007) melakukan penelitian untuk menguji kinerja dari mesin pencari Indri dalam menangani

Misalkan dxe menyatakan bilangan bulat terkecil yang lebih besar daripada atau sama dengan