• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN GUNUNGKIDUL (HUMAN DEVELOPMENT INDEX)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN GUNUNGKIDUL

(

HUMAN DEVELOPMENT INDEX)

2009

Kerjasama

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

dengan BPS KABUPATEN GUNUNGKIDUL

(4)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN GUNUNGKIDUL

(HUMAN DEVELOPMENT INDEX)

2009

No. ISSN : -

No. Publikasi : 3403.1005

Katalog BPS : 1156.3403

Ukuran Buku : 21,3 cm x 29,2 cm

Diterbitkan oleh : BPS Kabupaten Gunungkidul

(5)

SAMBUTAN KEPALA BADAN PERENCANAAN DAERAH

KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Perkembangan pemikiran dewasa ini melahirkan konsep bahwa pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik yang mencolok. Pembangunan yang sebenarnya lebih memperhatikan manusia yang menempatkan diri sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan.

Upaya pemberdayaan manusia secara komprehensif merupakan tujuan utama pembangunan serta menjadi indikator keberhasilan pembangunan itu sendiri. Buku ini membahas aspek pembangunan manusia sebagai sasaran pembangunan dengan maksud sebagai bahan evaluasi hasil pemberdayaan manusia yang telah dicapai.

Dengan terwujudnya publikasi ini, atas bantuan dan kerjasama semua pihak yang terlibat, saya ucapkan terima kasih.

Wonosari, November 2010 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Gunungkidul Kepala,

Ir. Syarif Armunanto, M.M.

NIP. 19590728 199003 1 003

(6)

KATA PENGANTAR

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan sebagai salah satu alat evaluasi aspek pemberdayaan penduduk dalam konteks pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. IPM memiliki tiga komponen utama yakni aspek kesehatan, pendidikan, dan kemampuan daya beli penduduk. Tercapainya kualitas ketiga aspek tersebut secara seimbang diharapkan mampu menempatkan manusia secara beradab dalam proses pembangunan. Sehingga pembangunan tidak hanya mengejar angka-angka target perkembangan namun juga mengandung unsur pemberdayaan penduduk baik secara ekonomi dan sosial.

Kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya publikasi ini, khususnya kepada Bappeda Kabupaten Gunungkidul atas kerjasamanya dalam penyusunan buku ini, kami sampaikan terima kasih.

Kritik dan saran untuk penyempurnaan publikasi ini di masa mendatang sangat diharapkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Wonosari, November 2010 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul

Kepala,

Drs. H a r j a n a

NIP. 19631026 199203 1 003

(7)

DAFTAR ISI

Sambutan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Pendahuluan ... 1

Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 4 Metodologi ... 5 Sumber Data ... 5 Metode Penghitungan ... 5

Komponen dan Indikator Penyusun IPM ... 5

2.3.1. Angka Harapan Hidup ... 5

2.3.2. Pendidikan ... 6

2.3.3. Konsumsi Riil per Kapita ... 7

2.3.4. Reduksi Shortfall ... 10

Deskripsi Obyek Kajian ... 12

Kondisi Geografis ... 12

Kependudukan ... 12

Ketenagakerjaan ... 15

3.3.1. Penduduk yang Bekerja dan Menganggur ... 16

3.3.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ... 17

3.3.3. Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha ... 19

3.3.4. Bekerja Menurut Status ... 20

3.3.5. Tingkat Pengangguran Terbuka ... 22

3.3.6. Tingkat Setengah Pengangguran ... 24

Potensi Ekonomi ... 27

Struktur Ekonomi ... 27

Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 29

(8)

Kesehatan ... 33

Usia Harapan Hidup ... 33

Angka Kematian Bayi ... 34

Angka Kesakitan ... 35

Fasilitas Kesehatan Masyarakat ... 36

Pendidikan ... 39

6.1. Fasilitas dan Sarana Pendidikan ... 39

6.2. Rasio Murid-Guru ... 40

6.3. Tingkat Partisipasi Sekolah ... 41

6.4. Angka Melek Huruf ... 43

6.5. Rata-rata Lama Sekolah ... 44

Posisi Pembangunan Manusia ... 45

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Konversi Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ... 6

Tabel 2.2. Daftar Komoditas yang Digunakan untuk Menghitung PPP ... 8

Tabel 2.3. Nilai Maksimum dan Minimum komponen IPM ... 9

Tabel 3.1. Gambaran Penduduk Kabupaten Gunungkidul, 2005 – 2009 ... 14

Tabel 3.2. Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 ... 26

Tabel 4.1. Kinerja Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 ... 32

Tabel 5.1. Indikator Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 ... 38

Tabel 6.1. Indikator Pendidikan Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 ... 44

Tabel 7.1. Indikator IPM Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 ... 47

Tabel 7.2. Perbandingan Nilai IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Daerah Lainnya di Provinsi D.I Yogyakarta dan Nasional, 2007-2009 ... 48

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 (Persen) ... 17 Gambar 3.2. Komposisi Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten

Gunungkidul, 2009 (Persen) ... 19 Gambar 3.3. Komposisi Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Kabupaten

Gunungkidul, 2009 (Persen) ... 21 Gambar 3.4. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009

(Persen) ... 23 Gambar 3.5. Jumlah Penduduk Bekerja <35 Jam per Minggu di Kabupaten

Gunungkidul, 2005-2009 (Persen) ... 25 Gambar 4.1. Peranan Sektoral PDRB Kabupaten Gunungkidul, 2009 (Persen) ... 28 Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009

(11)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan manusia yang berkualitas selama ini menjadi isu utama ketika berbagai pihak berbicara mengenai tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Komitmen ini tidak hanya menjadi isu regional atau nasional tetapi merupakan komitmen bersama seluruh masyarakat internasional seperti yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Developmnent Goals – MDG‟s). Komitmen yang disepakati para pemimpin dunia dalam KTT pada bulan September 2000 memuat delapan butir pernyataan sebagai berikut :

1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua

3. Mendorong kesetaraan dan pemberdayaan jender 4. Menurunkan angka kematian anak

5. Meningkatkan kesehatan ibu

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup

8. Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan

Dari butir-butir pernyataan di atas, tersirat bahwa penanggulangan kemiskinan dan upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas perhatian. Sasaran semua itu adalah manusia. Keberpihakan ini tentu saja tidak cukup tertuang dalam komitmen, namun memerlukan implementasi yang nyata.

Dalam lingkup nasional, pemerintah dewasa ini gencar melaksanakan program-program pembangunan yang menyangkut pembiayaan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat secara langsung khususnya bagi penduduk berpendapatan rendah. Program yang bersifat intervensi tersebut dianggap perlu mengingat terbatasnya akses penduduk miskin terhadap faktor-faktor produksi maupun layanan pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, Pemerintah menyalurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah dan membantu meringankan biaya sekolah bagi murid yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Di bidang kesehatan, pemerintah juga meluncurkan program asuransi kesehatan bagi keluarga miskin (Askes Gakin), sehingga masyarakat berpendapatan rendah dapat

(12)

memperoleh layanan kesehatan secara gratis di puskesmas ataupun fasilitas kelas III pada rumah sakit pemerintah.

Dalam lingkup daerah, ada empat arah Kebijakan Pembangunan yang akan ditempuh pemerintah Kabupaten Gunungkidul baik dalam jangka panjang maupun pendek. Keempat arah kebijakan tersebut adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penanggulangan pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Keempat arah tersebut juga telah dituangkan ke dalam sasaran pembangunan di semua sektor.

Kebijakan di atas sejalan dengan rekomendasi United Nations Development Programme (UNDP) terkait dengan kebutuhan pembiayaan yang lebih memadai bagi masyarakat miskin untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Secara eksplisit UNDP menyarankan bahwa Indonesia perlu memberikan prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan manusia dan bagaimana cara pembiayaannya. Ditambahkan pula bahwa pembangunan manusia merupakan hak azasi manusia yang sangat penting untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberlangsungan demokrasi dalam jangka panjang. Telah banyak kritik yang diserukan para pengamat maupun lembaga-lembaga internasional yang meneliti tingkat ketimpangan pendapatan karena peran pembangunan ekonomi yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun mengabaikan kesempatan bagi manusia untuk hidup lebih berkualitas.

Teori pembangunan yang utamanya berlandaskan pada ilmu ekonomi sedikit banyak telah mengantarkan kita kepada penilaian bahwa kesejahteraan penduduk dapat diukur dengan nilai tambah ekonomi yang dihasilkan, yang umumnya dihitung dengan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk skala nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk regional. Pada era 1970-an dunia mengenal indeks PDB (atau PNB) yang digunakan sebagai indikator tunggal untuk menilai besarnya kekayaan negara. Logikanya, semakin tinggi PDB suatu negara maka semakin besar pula penghasilan penduduk dan semakin sejahtera negara itu. Namun, ternyata ada kesenjangan antara skala PDB dengan kondisi nyata di lapangan. Beberapa negara mencatat indeks PDB yang cukup mengesankan, namun ternyata kemudian diketahui masih banyak penduduknya yang tidak bisa membaca. Stewart, Streeten, dan Hicks (1981) mulai merumuskan metode pengukuran kebutuhan dasar manusia, yang dipertegas oleh Amartya Sen (1985) melalui kritiknya terhadap skala GNP. Menurut Amartya, taraf hidup manusia tidak boleh hanya dipandang dari sekadar tingkat pendapatan, namun juga kualitas hidup yang dimilikinya. Akhirnya tahun 1995,

(13)

Mahbub Ul-Haq, ilmuwan Pakistan yang bekerja di UNDP mengembangkan indikator progres ekonomi baru yaitu Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan besaran agregat PNB, tingkat harapan hidup, serta kemampuan baca tulis dan lamanya sekolah. Skala IPM hingga kini digunakan di berbagai penjuru dunia sebagai tolok ukur kesejahteraan suatu bangsa.

Meskipun demikian, IPM juga tak lepas dari kritik karena indikator ini tak dapat mengukur dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembangunan. Karena sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan bahwa pembangunan adalah untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kepentingan generasi mendatang. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini yang diakibatkan oleh pembangunan akan menurunkan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Terlepas dari kritik di atas, pada bagian buku ini selanjutnya, kita akan membahas konsep IPM sebagai salah satu ukuran untuk melihat kualitas pembangunan manusia dengan mengabaikan isu atau kritik terhadap IPM.

IPM mencakup tiga aspek kebutuhan dasar manusia yakni kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Tiga aspek ini menunjukkan tingkat pembangunan manusia suatu wilayah melalui pengukuran penduduk yang sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berketrampilan, serta memiliki pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Pembangunan tiga aspek yang menjadi fokus perhatian dalam penghitungan IPM tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan sinergi diantara ketiganya. Diperlukan peran pemerintah sebagai penyusun kebijakan pembangunan dalam rangka memberi kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup melalui keterlibatan mereka dalam pembangunan.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan buku ini untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul melalui pengamatan pada aspek yang menjadi indikator dalam penghitungan IPM, yakni kesehatan, pendidikan dan pendapatan penduduk. Buku ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah serta pengguna data lainnya tentang posisi pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul.

(14)

BAB II. METODOLOGI

2.1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam pembahasan ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta beberapa data penunjang yang berasal dari dinas/instansi yang terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan instansi lainnya.

2.2. Metode Penghitungan

Metode pembahasan dalam buku ini merupakan kombinasi analisis deskriptif dan analisis induktif. Dalam penghitungan IPM dibutuhkan beberapa indikator utama, antara lain lamanya hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living). Dalam penghitungan, masing-masing indikator tersebut diukur dengan variabel yang mewakili komponen-komponen yang menyusun IPM. Komponen usia harapan hidup diukur dengan angka harapan hidup (e0), pengetahuan diwakili oleh angka melek huruf dan

rata-rata lamanya sekolah. Adapun komponen standar hidup diukur dengan nilai konsumsi riil per kapita yang disesuaikan dengan rumus Atkinson.

2.3. Komponen dan Indikator Penyusun IPM 2.3.1. Angka Harapan Hidup

Angka harapan hidup penduduk pada waktu lahir yang biasa dilambangkan dengan e0 adalah rata-rata jumlah tahun yang akan dijalani oleh sekelompok orang yang dilahirkan

pada suatu waktu tertentu jika pola mortalitas untuk kelompok umur tersebut bersifat tetap pada masa mendatang.

Penghitungan e0 dapat dilakukan dengan bantuan Life Table, namun hal ini belum

dapat dilakukan di Indonesia. Sistem registrasi penduduk masih belum dikelola secara baik dan berkesinambungan, sehingga data yang dibutuhkan yakni data kematian menurut kelompok umur tidak tersedia. Untuk itu, ditempuh alternatif penghitungan secara tidak langsung dengan menggunakan dua variabel yakni rata-rata anak yang dilahirkan hidup (live birth) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) untuk setiap wanita berusia 15-49 tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Penghitungan e0 dilakukan dengan perangkat

(15)

lunak Mortpak for Windows, Version 4.0. Angka e0 yang diperoleh dengan metode tak

langsung ini merujuk pada keadaan 3-4 tahun dari tahun survei.

2.3.2. Pendidikan

Dalam penghitungan IPM ada dua indikator bidang pendidikan yang biasa digunakan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lamanya sekolah. Angka melek huruf diperoleh dengan membagi banyaknya penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan seluruh penduduk berusia 15 tahun ke atas. Indikator ini menggambarkan tingkat kecerdasan dan kemampuan/kualitas dasar sumberdaya manusia dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis serta kemampuan untuk menyerap informasi dari berbagai media. Sedangkan rata-rata lamanya sekolah merupakan ukuran yang lebih nyata dalam mengukur kualitas sumberdaya manusia. Indikator ini merupakan kumulatif jumlah tahun yang ditempuh oleh seseorang dalam mengikuti pendidikan formal yang dihitung sampai jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan atau kelas/tingkat tertinggi yang pernah diduduki. Namun kelemahan dari ukuran ini masih belum mengakomodir kasus-kasus tidak naik kelas, putus sekolah yang kemudian melanjutkan kembali, dan masuk sekolah dasar di usia yang terlalu muda atau sebaliknya. Sehingga nilai dari jumlah tahun bersekolah terkadang menjadi terlalu tinggi (overestimate) atau bahkan terlalu rendah (underestimate). Lamanya sekolah dikonversi dari jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Konversi Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Lamanya Sekolah (tahun)

(1) (2)

1. Tidak/belum pernah sekolah 0

2. Sekolah Dasar 6 3. SLTP 9 4. SMA 12 5. Diploma I/II 13/14 6. Akademi/Diploma III 15 7. Diploma IV/Sarjana 16 8. S2/S3 18/21

2.3.3. Konsumsi Riil Per kapita

Untuk mengetahui standar hidup yang layak, indikator yang digunakan adalah konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan rumus Atkinson. Penghitungan

(16)

konsumsi riil per kapita diperoleh dari data pengeluaran konsumsi hasil pengolahan Susenas yang kemudian dideflasi dengan indeks harga konsumen (IHK) untuk memperoleh nilai konsumsi riil.

Untuk mendapatkan gambaran keterbandingan dan standarisasi antar daerah (dalam hal ini kota Jakarta Selatan dijadikan patokan karena memiliki rata-rata konsumsi tertinggi), maka nilai konsumsi riil per kapita yang diperoleh distandarkan dengan angka daya beli per unit (PPP/unit, PPP: purchasing power parity) dengan melibatkan 27 komoditas yang termasuk dalam keranjang komoditas (basket commodity).

Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :

Dimana :

Vi,j = total nilai pengeluaran untuk komoditas j di daerah ke -i

P9,j = harga komoditas j di kota Jakarta Selatan

Qi,j = volume komoditas j yang dikonsumsi di daerah ke -i

Adapun rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dinyatakan sebagai berikut :

D(i)* = D(i) jika D(i) < Z

= Z + 2 (D(i) - Z)1/2 jika Z < D(i) < 2Z

= Z + 2 Z1/2 + 3 (D

(i) - 2Z)1/3 jika 2Z < D(i) < 3Z

= Z + 2Z1/2 + 3Z1/3 + 4 (D

(i) - 3Z)1/4 jika 3Z < D(i) < 4Z

Dimana :

D(i) = konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan PPP/unit

Z = threshold atau tingkat tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan (biasanya digunakan garis kemiskinan). Dalam laporan ini nilai Z ditetapkan sebesar Rp1.500 per kapita perhari atau Rp 547.500 per tahun.

Dua puluh tujuh komoditas yang termasuk dalam keranjang komoditas dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut :

PPP unit

V

P Q

ij j j i j j

/

, , 9

(17)

Tabel 2.2. Daftar Komoditas yang Digunakan untuk Menghitung PPP

Komoditas Satuan Proporsi thd Total Konsumsi (%)

(1) (2) (3) 1. Beras lokal Kg 7,25 2. Tepung terigu Kg 0,10 3. Singkong Kg 0,22 4. Tuna/cakalang Kg 0,50 5. Teri Ons 0,32 6. Daging sapi Kg 0,78 7. Daging ayam Kg 0,65 8. Telur Butir 1,48

9. Susu kental manis 397 gram 0,48

10. Bayam Kg 0,30 11. Kacang panjang Kg 0,32 12. Kacang tanah Kg 0,22 13. Tempe Kg 0,79 14. Jeruk Kg 0,39 15. Pepaya Kg 0,18 16. Kelapa Butir 0,56 17. Gula Ons 1,61 18. Kopi Ons 0,60 19. Garam Ons 0,15 20. Merica Ons 0,13

21. Mie instant 80 gram 0,79

22. Rokok kretek 10 batang 2,86

23. Listrik Kwh 2,06

24. Air Minum Kubik 0,46

25. Bensin Liter 1,02

26. Minyak tanah Liter 1,74

27. Sewa rumah Unit 11,56

Total 37,52

Sebelum dihitung menjadi sebuah indeks komposit (gabungan), masing-masing komponen IPM dibuat dalam bentuk indeks dengan teknik penghitungan :

Dimana :

Xi : indikator ke-i (i= 1,2,3)

Xi Max : indikator maksimum Xi

Xi Min : indikator minimum Xi

Indeks X =

X - X

X

X

i

i i Min i Max i Min

(18)

Jadi masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan rasio selisih antara nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum yang bersangkutan. Standar nilai masing-masing komponen IPM dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Komponen Nilai Maksimum Nilai Minimum

(1) (2) (3)

1. Angka harapan hidup (tahun) 85 25

2. Angka melek huruf (%) 100 0

3. Rata-rata lama sekolah (tahun) 15 0

4. Konsumsi riil per kapita yang telah

disesuaikan (Rp/tahun) 732 720 *)

300 000 **)

360 000 ***)

Catatan :

*) Proyeksi pengeluaran riil per tahun untuk Provinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta)

pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan rumus Atkinson. Proyeksi ini mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama 1993-2018

**) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk Provinsi yang memiliki angka terendah

pada tahun 1990. Digunakan untuk penghitungan IPM tahun 1996

***) Untuk tahun 1999, nilai minimum ini disesuaikan menjadi sebesar Rp 360.000. Hal ini

dikarenakan dampak krisis ekonomi yang menurunkan daya beli masyarakat secara drastis. Penambahan sebesar Rp 60.000 didasarkan pada perbedaan antara ‟garis kemiskinan lama‟ dan „garis kemiskinan baru‟ yang diperkirakan sekitar Rp 5.000 per bulan atau Rp 60.000 setahun.

Selanjutnya IPM dihitung menggunakan rumus :

Dimana

X1 : indeks harapan hidup

X2 : indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata

lama sekolah)

X3 : indeks pendapatan standar hidup layak

Untuk memudahkan pemahaman penggunaan rumus-rumus di atas, berikut ini disajikan ilustrasi/contoh penghitungan nilai IPM Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009.

IPM

1

X

X

X

(19)

Angka Harapan Hidup = 70,88 Angka Melek Huruf = 84,52 Rata-rata Lama Sekolah = 7,61 Konsumsi Riil per Kapita = 623,09

Indeks Harapan Hidup = (70,88-25) / (85-25) = 0,7647 = 76,47 % Indeks Melek Huruf = (84,52-0) / (100-0)= 0,8452 = 84,52 % Indeks Lama Sekolah = (7,61-0) / (15-0) = 0,5127 = 50,73 % Indeks Pendidikan = (2/3 x 84,52) + (1/3 x 50,73) = 73,26 %

Indeks Daya Beli = (623,09-360) / (732,72-300) = 0,6080 = 60,80 % IPM = (76,47 + 73,26 + 60,80) / 3 = 70,18

2.3.4. Reduksi Shortfall

Reduksi shortfall adalah peningkatan nilai IPM dalam suatu periode relatif terhadap jarak nilai IPM awal periode ke IPM sasaran (=100). Jika ukuran ini bernilai negatif pada tahun tertentu berarti terjadi penurunan kualitas pembangunan manusia pada tahun tersebut terhadap tahun yang dijadikan perbandingan. Formula untuk menghitung reduksi

shortfall adalah :

dimana :

R : Reduksi Shortfall per tahun IPM(t0) : IPM tahun awal

IPM(t1) : IPM tahun terakhir

IPM(ref) : IPM acuan/ideal dalam hal ini = 100

n t ref t t

IPM

IPM

IPM

IPM

R

/ 1 ) 0 ( ) ( ) 0 ( ) 1 (

100

(20)

BAB III. DESKRIPSI OBYEK KAJIAN

3.1. Kondisi Geografis

Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi DIY yang berada di bagian tenggara dengan luas wilayah sekitar 1.485,36 km2 atau 46,63persen dari luas wilayah Provinsi DIY. Untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan, kabupaten ini secara berjenjang terbagi menjadi 18 kecamatan dan 144 desa. Wilayah bagian utara Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah dan bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Samudera Indonesia. Adapun di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman, yang keduanya juga merupakan bagian dari Provinsi DIY serta pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah).

Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Gunungkidul terbentang pada 70 15'

hingga 80 09' Lintang Selatan dan 1100 21' hingga 1100 50' Bujur Timur. Wilayah kabupaten

ini berada pada ketinggian antara 0 hingga 700 meter di atas permukaan air laut dengan topografi wilayah yang cukup bervariasi mulai pantai, dataran, hingga lereng dan berbukit-bukit. Berdasarkan penggunaannya sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan areal pertanian. Namun demikian, sekitar 90 persennya merupakan lahan kering tadah hujan yang pemanfaatan potensinya sangat tergantung dari curah hujan yang ada.

3.2. Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009 berdasarkan hasil proyeksi penduduk tercatat sebanyak 688.145 jiwa. Selama periode 2005-2009, jumlah penduduk mengalami pertumbuhan rata-rata 0,19 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, maka tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gunungkidul mencapai 463 jiwa/km2. Dilihat menurut komposisinya, penduduk Kabupaten Gunungkidul

terdiri dari 334.519 penduduk laki-laki dan 353.626 penduduk perempuan sehingga rasio jenis kelaminnya tercatat sebesar 94,60 persen. Hal ini berarti dari setiap seratus orang penduduk perempuan terdapat sekitar 95 orang penduduk laki-laki. Selama beberapa tahun terakhir rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten Gunungkidul berada pada kisaran 95 persen. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi adalah mobilitas penduduk laki-laki yang lebih tinggi dari penduduk wanita, terutama pada penduduk yang sudah berusia kerja.

(21)

Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia bagi para penduduk yang mulai memasuki usia kerja menyebabkan banyak penduduk laki-laki produktif yang ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan.

Berdasarkan kelompok umur penduduk, sebanyak 432.155 jiwa atau sekitar 62,80 persen merupakan penduduk yang produktif, yakni mereka yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Sedangkan sisanya, sebanyak 255.990 jiwa atau 37,20 persen merupakan penduduk yang secara teoritis menjadi tanggungan/beban kelompok produktif yakni kelompok umur muda (0-14 tahun) dan kelompok umur tua (65 tahun keatas). Selanjutnya dari komposisi penduduk tersebut dapat dihitung angka rasio ketergantungan (dependency ratio) yang menyatakan besarnya beban yang menjadi tanggungan kelompok umur produktif. Rasio ketergantungan pada tahun 2009 mencapai 59,24 persen, yang berarti bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 59 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif lagi. Namun demikian, ukuran ini masih sangat kasar karena hanya memandang penduduk dari sisi umur saja. Sementara sisi yang lain seperti status sekolah, status pekerjaan serta aktivitas sehari-harinya diabaikan.

Ditinjau menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, mayoritas penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berumur 15 tahun ke atas didominasi oleh mereka yang menamatkan tingkat pendidikan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 64,3 persen. Kelompok penduduk yang telah menamatkan pendidikan sampai tingkat SLTP jumlahnya sekitar 20,60 persen. Adapun mereka yang menamatkan pendidikan sampai SMA tercatat sebesar 11,70 persen dan selebihnya sekitar 3,40 persen adalah penduduk yang menamatkan pendidikan tingkat Diploma ke atas. Kecenderungan selama lima tahun terakhir memperlihatkan makin kecilnya proporsi penduduk yang hanya berpendidikan SD ke bawah, yakni dari 67,34 persen pada tahun 2005 dan berangsur turun menjadi 64,3 persen pada tahun 2009. Sebaliknya persentase mereka yang berpendidikan SLTP dan SMA menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Demikian pula proporsi penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma dan sarjana juga semakin meningkat dari 2,23 persen pada tahun 2005 menjadi 3,40 persen pada tahun 2009. Secara umum, fenomena ini mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan dalam bidang pendidikan selama beberapa tahun terakhir.

Namun demikian, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi DIY, Kabupaten Gunungkidul masih memiliki persentase penduduk yang menamatkan pendidikan sampai dengan tingkat SD yang terbesar. Hal ini menandakan secara relatif rata-rata tingkat

(22)

pendidikan penduduk Kabupaten Gunungkidul masih lebih rendah dibandingkan daerah lainnya. Kondisi ini membawa konsekuensi perlunya upaya lebih kuat untuk meningkatkan tingkat pendidikan penduduk baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Berdasarkan klasifikasi wilayahnya juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan seputar pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduknya. Hal ini terkait dengan belum meratanya persebaran fasilitas dan sarana belajar serta jumlah pengajar pada masing-masing tingkat sekolah.

Tabel 3.1. Gambaran Penduduk Kabupaten Gunungkidul, 2005 - 2009

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Jumlah Penduduk 1) 681 554 683 443 685 210 686 772 688 145

a. Laki-laki 333 908 328 002 333 648 331 439 334 519

b. Perempuan 347 646 355 441 351 562 355 333 353 626

2. Penduduk menurut Kelompok Umur

a. 0 - 14 157 480 146 248 141 595 151 159 155 521

b. 15 - 64 437 015 454 355 441 671 442 281 432 155

c. 65 ke atas 87 059 82 840 101 984 93 332 100 469

3. Rasio Beban Ketergantungan 55,96 50,42 55,15 55,28 59,24

4. Tingkat Pendidikan (%)

a. SD ke bawah 67,34 68,05 68,49 60,23 64,30

b. Tamat SLTP 19,58 17,37 18,03 19,37 20,60

c. Tamat SMA 10,84 11,41 11,16 16,67 11,70

d. Diploma/Universitas 2,23 3,17 2,33 3,73 3,40

Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul Catatan : 1) Jumlah penduduk menggunakan data hasil proyeksi

3.3. Ketenagakerjaan

Sasaran yang ingin dicapai dalam bidang pembangunan sumberdaya manusia adalah memperluas kesempatan berusaha bagi penduduk, baik di sektor formal maupun sektor informal. Sasaran ini dapat dicapai jika terjadi keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar kerja. Kenyataannya, kedua faktor tersebut tidak pernah mencapai keseimbangan, sehingga terjadi akumulasi pencari kerja baik karena ketiadaan lapangan pekerjaan atau karena ketrampilan yang dimiliki para pencari kerja tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Pilihan bekerja pada sektor informal

(23)

tak dapat dihindari karena terbatasnya penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Di samping itu, masih besarnya porsi tenaga kerja tidak trampil (unskilled labor) turut memicu pertumbuhan sektor informal, karena hanya sektor ini yang bisa menampung mereka.

Tekanan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pasca krisis ekonomi berdampak besar pada pertumbuhan lapangan kerja. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat di satu sisi dengan tingginya penawaran tenaga kerja di sisi lain menyebabkan upaya penciptaan kesempatan kerja bagi penduduk menjadi terganggu.

Berdasarkan konsep dari International Labour Organization (ILO), penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) dibagi menjadi dua golongan yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Termasuk dalam kelompok angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (menganggur). Sedangkan bukan angkatan kerja mencakup penduduk yang berstatus sekolah, mengurus rumah tangga, pensiunan dan lain-lain. Konsep bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan tujuan memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan dan dilakukan paling sedikit selama satu jam berturut-turut dalam satu minggu. Sedangkan pengangguran didefinisikan sebagai penduduk usia kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha atau sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja atau mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.

Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dibahas dalam publikasi ini mengkaitkan beberapa hal, diantaranya adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran, kualitas tenaga kerja yang tersedia serta daya serap masing-masing sektor ekonomi.

3.3.1. Penduduk yang Bekerja dan Mengganggur

Berdasarkan estimasi hasil Sakernas tahun 2009, jumlah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Gunungkidul mencapai 581.532 jiwa atau 84,51 persen dari seluruh penduduk. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penduduk berusia kerja meningkat sebanyak 0,55 persen sebagai akibat dari perubahan komposisi penduduk menurut usia.

Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua golongan, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang statusnya bekerja dan pengangguran terbuka. Jumlah penduduk bekerja di Kabupaten Gunungkidul dari hasil

(24)

estimasi Sakernas tahun 2009 tercatat sebanyak 415.756 jiwa. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah penduduk bekerja menurun sebesar 0,68 persen. Secara umum penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh berpindahnya status sebagian penduduk yang bekerja ke dalam kelompok bukan angkatan kerja karena alasan mengurus rumah tangga, sekolah atau yang lainnya. Hal ini banyak terjadi pada penduduk bekerja yang berstatus sebagai pekerja tak dibayar/pekerja keluarga yang umumnya memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang tumbuh sebesar 4,20 persen, terlihat elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja masih bernilai positif (0,15). Karena nilainya kurang dari 1 maka dikatakan inelastis, artinya kalau pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Gunungkidul tahun 2009 naik 1 persen, hanya akan menyerap tenaga kerja 0,15 persen.

Jumlah penduduk yang menganggur pada tahun 2009 tercatat sebanyak 17.038 jiwa. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah pengangguran mengalami kenaikan sebesar 19,62 persen. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan pertambahan angkatan kerja baru yang siap masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Fenomena umum yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan adalah jumlah penduduk menganggur yang masih cukup besar. Laju pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah (rata-rata dibawah 5 persen) diduga sebagai penyebab banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung dalam pasar kerja. Pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga dapat memacu pertumbuhan lapangan kerja baru. Adapun sektor swasta dapat membuka penanaman modal baru yang mendorong naiknya kapasitas produksi sehingga dapat menciptakan lowongan kerja baru.

3.3.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

TPAK merupakan rasio antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk yang berusia kerja. Angkatan kerja mencakup penduduk berumur 15 tahun ke atas yang berstatus bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun sementara sedang tidak bekerja dan pengangguran. Secara umum indikator ini menunjukkan persentase penduduk yang terlibat aktif dalam dunia kerja dan yang membutuhkan pekerjaan (aktif secara ekonomi).

(25)

76,88 78,58 73,02 74,84 74,42 60 70 80 90 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 3.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 (Persen)

TPAK Kabupaten Gunungkidul selama periode 2005-2009 menunjukkan pola yang fluktuatif dengan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2005, TPAK tercatat sebesar 76,88 persen dan terus menurun hingga menjadi 74,42 persen pada tahun 2009. Secara umum, TPAK sebesar 74,42 persen pada tahun 2009 ini menggambarkan besarnya jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian. Fenomena menurunnya TPAK selama periode tersebut menunjukkan pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk berusia kerja. Penyebab utamanya adalah banyak penduduk yang sudah masuk usia kerja lebih mementingkan untuk melanjutkan sekolahnya. Gejala ini ditunjukkan oleh meningkatnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang SMA. Tidak sedikit juga diantara penduduk usia kerja yang memilih aktivitas mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya.

Dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi DIY, TPAK Kabupaten Gunungkidul tercatat yang paling tinggi, dengan demikian elastisitas permintaan tenaga kerja di daerah ini juga relatif lebih tinggi. Kondisi ini bisa disebabkan oleh desakan ekonomi sehingga banyak penduduk yang telah berusia 15 tahun ke atas cenderung langsung masuk ke pasar kerja untuk memperoleh penghasilan atau membantu memperoleh pendapatan dengan tujuan membantu orang tua atau sebagai pekerja keluarga. Lebih lanjut, gejala ini juga mengisyaratkan bahwa proporsi penduduk yang berusaha untuk memperoleh jenjang

(26)

pendidikan lebih tinggi (tingkat partisipasi sekolah di tingkat SMA) di Kabupaten Gunungkidul masih lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi DIY.

Membahas masalah kualitas pekerja, dapat kita cermati dari komposisi mereka yang bekerja ditinjau dari jenjang pendidikan yang mereka tamatkan. Pada tahun 2009, kelompok penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang hanya berpendidikan SD ke bawah yakni sekitar 59,83 persen. Komponen tertinggi berikutnya adalah mereka yang berpendidikan SLTP dan SMA masing-masing sebesar 20,03 persen dan 15,57 persen. Sedangkan sisanya, hanya sekitar 4,57 persen penduduk yang bekerja mengenyam pendidikan sampai tingkat diploma/universitas.

Mencermati tingginya proporsi penduduk bekerja yang berpendidikan SD kebawah berimplikasi pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh penduduk. Pengembangan usaha yang membutuhkan tenaga terampil dan skill yang tinggi tentu akan sulit dikembangkan di daerah ini karena pasar kerja yang tersedia tidak akan bergeser secara drastis dari kondisi saat ini. Persoalan masih rendahnya tingkat pendidikan pekerja, akan mempengaruhi produktivitas kerja yang cenderung lebih rendah, sehingga balas jasa yang diterima juga rendah. Dampak akhirnya adalah kesejahteraan sulit terangkat walau mereka telah berusaha untuk bekerja secara maksimal.

Upaya untuk lebih meningkatkan kemampuan kerja mereka dapat ditempuh dengan berbagai program, antara lain melalui pelatihan ketrampilan serta pengetahuan untuk berusaha secara mandiri/wiraswasta dengan menggunakan ketrampilan dasar yang telah dikuasai. Berusaha secara mandiri merupakan pilihan yang realistis karena mereka akan sulit bersaing untuk bekerja di lapangan kerja formal yang umumnya mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang lebih tinggi. Upaya sinkronisasi antara kebutuhan dunia kerja terhadap pekerja dengan tingkat ketrampilan yang dimiliki oleh pekerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan juga perlu mendapat perhatian serius.

3.3.3. Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha

Struktur perekonomian Kabupaten Gunungkidul masih didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini tercermin dari dominannya sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja yakni mencapai 61,87 persen pada tahun 2009. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran menyerap tenaga kerja sebanyak 12,30 persen. Selanjutnya adalah sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan masing-masing menyerap tenaga kerja sebanyak 10,06 persen dan 3,38 persen.

(27)

Perdagangan, Hotel dan Restoran 12,30% Industri 3,38% Pertanian 61,87% Lainnya 12,39% Jasa-jasa 10,06%

Gambar 3.2. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Gunungkidul, 2009 (Persen)

Perubahan komposisi pekerja menurut sektoral ditandai oleh turunnya andil sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2005, sektor pertanian mampu menyerap 62,69 persen tenaga kerja. Selama lima tahun terakhir, daya serap tenaga kerja semakin menurun hingga mencapai 61,87 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki kecenderungan yang semakin meningkat dalam menyerap tenaga kerja. Sementara sektor industri dan jasa-jasa relatif stabil dalam menyerap tenaga kerja.

Kecenderungan tingginya mobilitas pekerja antar sektor sangat dipengaruhi oleh kualitas pekerja dan faktor musiman. Ini terjadi pada pekerja yang memiliki ketrampilan terbatas dengan status sebagai buruh atau pekerja lepas yang banyak terjadi di sektor pertanian. Kelompok ini terdiri dari pekerja yang bisa berganti pekerjaan tergantung permintaan tenaga kerja yang tersedia. Pekerja di sektor pertanian umumnya memiliki mobilitas tinggi untuk berganti pekerjaan dan tergantung musim tanam komoditas pertanian. Ketika musim kering, umumnya pekerja sektor pertanian melakukan mobilitas kerja karena tidak mungkin mengandalkan dari hasil pertanian yang sebagian besar diusahakan di lahan kering/tadah hujan. Berganti lapangan usaha lainnya atau berusaha bekerja pada sektor informal di kota menjadi pilihan sambil menunggu musim tanam kembali. Keterbatasan pilihan dan posisi tawar yang lemah mendorong mereka berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang bersifat temporer yang umumnya banyak tersedia di sektor informal.

(28)

3.3.4. Bekerja Menurut Status

Status bekerja menunjukkan posisi seseorang dalam suatu wadah dimana seseorang atau sekelompok orang sepakat untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi dengan mekanisme kerja dan tujuan yang disepakati bersama. Posisi ini juga memperlihatkan kemampuan baik manajerial maupun ketrampilan seseorang ketika berperan di dalam kelompoknya. Jika seseorang tak ingin melibatkan diri pada kelompok tertentu, dia dapat memilih mengelola usaha sendiri dimana dia berperan sebagai manajer sekaligus pekerja.

Secara umum kualitas penduduk yang berstatus bekerja di Kabupaten Gunungkidul masih relatif rendah. Hal ini tercermin dari besarnya persentase penduduk yang berstatus sebagai pekerja tidak dibayar atau pekerja keluarga. Jumlahnya mencapai 29,06 persen dari seluruh penduduk yang bekerja pada tahun 2009. Sejalan dengan itu, jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu oleh pekerja tidak dibayar/pekerja tidak tetap juga cukup tinggi, yakni sekitar 39,10 persen. Sebagian besar diantaranya melakukan kegiatan usaha pada sektor pertanian atau sektor perdagangan, hotel dan restoran yang umumnya bekerja membantu kepala rumah tangga tanpa memperoleh bayaran/upah.

Buruh/Karyawan/Peg awai 24,21% Pekerja Tidak Dibayar

29,06%

Berusaha Sendiri 6,48%

Berusaha dengan Buruh Tidak Tetap

39,10%

Berusaha dengan Buruh Tetap

1,15%

Gambar 3.3. Komposisi Penduduk Bekerja menurut Status Pekerjaan di Kabupaten Gunungkidul, 2009 (Persen)

Penduduk bekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai juga cukup banyak, yakni mencapai 24,21 persen. Sedangkan jumlah penduduk yang berusaha sendiri sekitar 6,48 persen. Umumnya mereka memiliki keterbatasan ketrampilan dan kemampuan secara ekonomi. Sehingga bekerja secara mandiri bagi mereka merupakan alternatif untuk dijalani karena kesulitan bersaing dengan pekerja lainnya. Disamping itu, sektor formal lebih

(29)

memilih untuk menampung pekerja dengan ketrampilan dan kemampuan yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka ”terpaksa” bekerja pada sektor pertanian maupun sektor informal yang lainnya.

Kelompok penduduk bekerja yang memiliki jiwa kewirausahaan relatif lebih tinggi adalah mereka yang berstatus bekerja dengan dibantu oleh pekerja dibayar. Persentase penduduk dalam kelompok ini terbilang kecil, hanya 1,15 persen dari seluruh penduduk bekerja yang ada pada tahun 2009. Jika dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya proporsi ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Belum kondusifnya perekonomian dunia akibat lonjakan harga BBM yang naik dua kali selama 2005 dan melambatnya pertumbuhan ekonomi DIY karena dampak bencana gempa bumi 27 Mei 2006 menyebabkan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan usahanya menjadi terganggu. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada pengusaha yang berskala kecil dan mikro yang memiliki keterbatasan modal maupun akses yang rendah kepada dunia perbankan, sehingga kemampuan untuk membangun usaha kembali membutuhkan waktu yang cukup panjang.

3.3.5. Tingkat Pengangguran Terbuka

Permasalahan umum yang sering dijumpai dalam bidang ketenagakerjaan di semua wilayah/negara di dunia adalah tingkat pengangguran yang cenderung tinggi. Tingginya angka pengangguran mempunyai implikasi sosial yang sangat luas, karena akan semakin besar pula potensi kerawanan sosial yang ditimbulkan. Sebaliknya, semakin rendah angka pengangguran maka stabilitas sosial dalam masyarakat akan semakin baik. Indikator yang digunakan untuk mengukurnya adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT). TPT dihitung dari perbandingan antara penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja yang berstatus menganggur dengan jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja pada periode tertentu.

TPT Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009 tercatat sebesar 3,94 persen, lebih tinggi dibandingkan TPT tahun 2008 yang sebesar 3,29 persen. Selama lima tahun terakhir TPT relatif stabil, berada dalam kisaran 3-4 persen. Masih relatif tingginya angka TPT ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam penciptaan lapangan kerja baru, sehingga mereka yang siap untuk bekerja tidak tertampung oleh bursa tenaga kerja. Akumulasi pencari kerja yang tidak tertampung akan semakin besar dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera dipecahkan, dalam beberapa tahun mendatang akan terjadi akumulasi yang semakin besar yang dapat berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

(30)

Di masa mendatang program pembangunan untuk menciptakan peluang ketersediaan lapangan pekerjaan serta upaya memberi ketrampilan bagi penduduk agar berusaha mandiri perlu diprioritaskan melalui program pendidikan ketrampilan bagi penduduk usia kerja. Peran pemerintah sebagai regulator kebijakan hendaknya diarahkan pada upaya yang memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru dengan memberi insentif serta pembinaan yang berkelanjutan bagi usaha-usaha tersebut.

3,83 3,9 3,93 3,29 3,94 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 3.4. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 (Persen)

Untuk mengetahui kualitas penduduk yang menganggur dapat dicermati dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Sekitar 45,33 persen penduduk yang mencari kerja berlatar belakang pendidikan SMA. Komposisi terbesar berikutnya adalah penduduk yang berlatar belakang pendidikan SLTP, yakni sebesar 32,51 persen, dan penganggur yang berlatar belakang pendidikan SD ke bawah sekitar 12,95 persen. Sisanya sebesar 9,21 persen merupakan penduduk menganggur yang berpendidikan tinggi (Diploma ke atas).

Besarnya persentase penduduk menganggur yang berpendidikan SMA ke atas lebih banyak disebabkan karena terbatasnya jumlah kesempatan kerja yang tersedia, sehingga mereka terpaksa menunggu untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian pergi ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Kenyataan ini menuntut perlunya kebijakan khusus dalam memilih jenis investasi untuk pembukaan lapangan kerja baru di Kabupaten Gunungkidul. Jika pemerintah lebih

(31)

berorientasi pada lapangan usaha yang relatif padat modal dan menuntut pekerja dengan kualitas tinggi maka dikhawatirkan banyak pencari kerja yang tidak dapat memenuhi spesifikasi keahlian yang diminta.

Diamati berdasarkan usianya, sebagian besar penduduk yang menganggur didominasi oleh mereka yang berusia produktif. Sebanyak 98,52 persen merupakan penduduk yang berusia 15-34 tahun. Mereka inilah yang terlibat aktif untuk mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha baru.

3.3.6. Tingkat Setengah Pengangguran

Selain masalah pengangguran terbuka, hal yang cukup menarik pula untuk dicermati adalah masalah penganggur terselubung atau yang biasa dikenal dengan istilah setengah pengangguran. Penganggur tipe ini adalah mereka yang berstatus bekerja namun memiliki jam kerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Dengan profil ketenagakerjaan yang didominasi oleh pekerja yang berpendidikan relatif rendah, maka bekerja di bawah jam kerja normal berimplikasi pada produktivitas yang rendah. Kondisi ini tidak dapat dielakkan karena umumnya mereka bekerja hanya membantu pekerjaan kepala rumah tangga atau sebagai pekerja tidak dibayar. Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini juga sangat rentan terpengaruh kondisi makro perekonomian, sehingga jika tidak mendapatkan perhatian serius dari semua pihak kelompok ini sangat potensial menambah jumlah pengangguran terbuka.

Persentase penduduk yang tergolong sebagai pengganggur terselubung di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009 tercatat sekitar 21,22 persen. Profil penganggur terselubung sebagian besar bekerja di sektor pertanian yakni sekitar 77,25 persen, disusul mereka yang bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 6,04 persen. Jika dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, sebanyak 59,73 persen penduduk yang termasuk dalam kelompok penganggur terselubung berpendidikan SD ke bawah. Sebanyak 18,54 persen hanya berpendidikan setingkat SLTP. Sebagian besar penduduk yang termasuk dalam kelompok ini berusia di atas 60 tahun, jumlahnya mencapai 29,7 persen dan merupakan penduduk yang kurang produktif secara ekonomi.

(32)

37.04 33.27 45.04 30.73 21.22 20 30 40 50 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 3.5. Jumlah Penduduk Bekerja <35 Jam per Minggu di Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 (Persen)

Berdasarkan fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa penganggur terselubung tersebut didominasi oleh anggota rumah tangga yang membantu kepala rumah tangga di sektor pertanian yang umumnya sebagai pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar (46,18 persen). Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin perempuan (57,4 persen) dan bekerja untuk sekedar membantu kepala rumah tangga dalam meringankan beban ekonomi keluarga. Dalam gambaran budaya agraris hal itu merupakan hal yang wajar.

Meski terjadi penurunan selama beberapa tahun terakhir, proporsi pekerja yang bekerja kurang dari jam kerja normal di Kabupaten Gunungkidul relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi DIY. Hanya Kabupaten Kulonprogo yang memiliki besaran penganggur terselubung yang hampir sama dengan Kabupaten Gunungkidul. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa ketergantungan ekonomi kedua daerah ini yang masih tinggi kepada sektor pertanian diikuti dengan produktivitas pekerja yang rendah. Hal ini disebabkan besarnya pekerja yang hanya berstatus membantu pekerja kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga lainnya sebagai pekerja tak dibayar.

(33)

Tabel 3.2. Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Penduduk Usia Kerja (15 Th ke Atas) 534 988 537 196 565 409 578 348 581 532

2. Angkatan Kerja 411 306 422 152 412 889 432 845 432 794

a. Bekerja 395 542 405 680 396 671 418 601 415 756

b. Pengangguran Terbuka 15 764 16 472 16 218 14 244 17 038

3. TPAK (%) 76,88 78,58 73,02 74,84 74,42

4. Tingkat Pengangguran Terbuka(%) 3,83 3,90 3,93 3,29 3,94

5. Bekerja Kurang dari 35 Jam Seminggu (%) 45,04 37,04 33,27 30,73 21,22

6. Bekerja Menurut Lapangan Usaha (%)

a. Pertanian 62,69 65,40 64,89*) 63,36 61,87

b. Industri Pengolahan 4,72 6,18 3,01 3,60 3,38

c. Perdagangan, Hotel & Restoran 14,41 10,96 12,33 12,56 12,30

d. Jasa-Jasa 7,35 6,45 7,30 6,74 10,06

e. Lainnya 10,83 11,01 12,46 13,74 12,39

7. Bekerja Menurut Status (%)

a. Berusaha Sendiri 12,25 10,09 7,07 7,06 6,48

b. Berusaha Dgn Buruh Tdk Tetap 31,63 32,59 38,31 36,07 39,10

c. Berusaha Dgn Buruh Tetap 1,37 0,75 0,55 1,95 1,15

d. Buruh/Karyawan/Pegawai 26,52 23,98 22,45 23,45 24,21

e. Pekerja Tidak Dibayar 28,24 32,59 31,62 31,47 29,06

Sumber : Sakernas, BPS Kabupaten Gunungkidul

(34)

BAB IV. POTENSI EKONOMI

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan agregat nilai tambah aktivitas perekonomian di suatu wilayah selama waktu tertentu. Angka PDRB yang dibagi dengan jumlah penduduk menghasilkan nilai PDRB per kapita. Indikator ini sering digunakan sebagai salah satu ukuran untuk melihat taraf hidup atau tingkat kemakmuran suatu daerah atau negara. Akan tetapi, banyak kritik yang menyatakan PDRB per kapita belum sepenuhnya dapat mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. PDRB per kapita hanya merupakan suatu agregat yang belum tentu dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Bahkan tidak menutup kemungkinan pendapatan tersebut sama sekali tidak dinikmati oleh penduduk, karena nilai tambah yang tercipta tersebut langsung ditransfer ke wilayah lain. Hal itu mungkin terjadi jika faktor-faktor produksi dikuasai oleh orang/lembaga yang bukan berasal dari daerah bersangkutan.

4.1. Struktur Ekonomi

PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Gunungkidul selama periode 2005-2009 menunjukkan trend yang semakin meningkat, dari 3.855,09 milyar rupiah pada tahun 2005 hingga mencapai 5.987,78 milyar rupiah pada tahun 2009. Namun demikian, angka tersebut belum menggambarkan kondisi riil perkembangan perekonomian, karena masih dipengaruhi oleh faktor inflasi/perubahan harga. Nilai PDRB atas dasar harga konstan 2000 Kabupaten Gunungkidul pada periode yang sama juga menunjukkan tren yang semakin meningkat, dari 2.726,39 milyar rupiah pada tahun 2005 menjadi 3.199,32 milyar rupiah pada tahun 2009. Nilai PDRB inilah yang menunjukkan perkembangan riil kinerja perekonomian Kabupaten Gunungkidul selama periode tersebut.

Secara umum, perekonomian Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2009 masih didominasi oleh sektor pertanian. Sektor ini menyumbang sekitar 35,82 persen dari nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor perekonomian. Sumbangan terbesar berikutnya dihasilkan oleh sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Masing-masing memberikan sumbangan sebesar 16,95 persen dan 14,87 persen. Adapun sumbangan sektor industri pengolahan tercatat sebesar 9,80 persen.

Dibandingkan dengan struktur perekonomian pada periode sebelumnya, terdapat kecenderungan semakin menurunnya peranan/andil yang dimiliki oleh sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Gunungkidul. Secara alamiah jika ekonomi tumbuh secara wajar maka sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta

(35)

sektor jasa-jasa akan tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan sektor pertanian yang merupakan resourced-based economic. Dengan demikian, secara alami andil sektor pertanian akan menurun secara gradual seiring berkembangnya dinamika perekonomian. Sedangkan sektor perekonomian yang memiliki sumbangan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun adalah sektor jasa-jasa serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Perdagangan, Hotel dan Restoran 14,87% Industri 9,18% Pertanian 35,82% Lainnya 23,18% Jasa-jasa 16,95%

Gambar 4.1. Peranan Sektoral PDRB Kabupaten Gunungkidul, 2009 (Persen)

Masih tingginya ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian, seyogyanya membuat pemerintah harus memperhatikan kesinambungan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja selama belum ada sektor lain yang dapat dikembangkan untuk menyerap limpahan pekerjanya. Di samping itu, penerapan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian juga diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Apalagi diketahui selama ini sektor pertanian menjadi limpahan pengangguran terselubung atau pekerja keluarga yang secara teoritis memiliki produktivitas yang rendah. Sehingga upaya untuk mendorong pertumbuhan sektor ini membutuhkan peningkatan produktivitas yang nyata.

Di masa mendatang, pengembangan sektor lainnya untuk menampung kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian perlu diperhatikan. Secara teoritis pengalihan ini tidak akan menyebabkan turunnya output sektor pertanian. Dengan asumsi marginal produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang rendah bahkan nol, maka relokasi tenaga kerja juga akan mendorong naiknya produktivitas pekerja sektor pertanian sehingga peluang

(36)

meningkatkan kesejahteraan penduduk yang bekerja di sektor pertanian makin terbuka. Kondisi ini diduga tidak akan berlangsung lama mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 disebabkan perlambatan pertumbuhan yang terjadi pada seluruh sektor ekonomi, namun sektor pertanian tidak terlalu mengalami tekanan yang berat sehingga andilnya terlihat meningkat.

4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan perubahan nilai PDRB atas dasar harga konstan 2000. Pengaruh perubahan harga/tingkat inflasi sudah dihilangkan, sehingga nilai pertumbuhan yang diperoleh merupakan penambahan kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan dan bukan penambahan nilai yang disebabkan oleh perubahan harga.

Selama periode 2005-2009, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gunungkidul mengalami perubahan yang cukup berfluktuasi. Laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan perbaikan kinerja selama periode 2000-2005, dari 3,38 persen pada tahun 2003 menjadi 4,33 persen pada tahun 2005. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada akhir tahun 2005 sangat mempengaruhi kondisi perekonomian selama tahun 2006. Kenaikan harga BBM ini memiliki implikasi langsung terhadap kenaikan harga barang-barang kebutuhan rumah tangga, sehingga daya beli masyarakat juga menurun. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi sedikit melambat hingga menjadi 3,82 persen pada tahun ini. Perlambatan ini juga dipengaruhi oleh dampak bencana gempa bumi yang terjadi di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta, termasuk sebagian wilayah Kabupaten Gunungidul. Kerusakan berbagai faktor produksi yang terkait langsung dengan kegiatan produksi akibat gempa bumi juga menyebabkan sebagian pelaku ekonomi membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan pemulihan kegiatan ekonomi. Disamping itu, kondisi makro ekonomi yang melemah pasca gempa juga tidak dapat dilepaskan oleh image pihak luar yang menganggap ekonomi DIY lumpuh pasca gempa sehingga ekspektasi ini menyebabkan rendahnya aktivitas ekonomi.

(37)

4.33 3.82 3.91 4.39 4.20 2 3 4 5 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009 (Persen)

Namun demikian, selama tahun 2007-2008 kinerja perekonomian Kabupaten Gunungkidul menunjukkan tren yang semakin menguat. Laju pertumbuhan ekonomi selama tahun 2009 mencapai 4,20 persen dan sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,39 persen. Masih membaiknya kembali kinerja perekonomian dipicu oleh menguatnya pertumbuhan sektor pertanian, yakni mencapai 5,91 persen. Sampai saat ini, sektor pertanian masih sangat mendominasi perekonomian Kabupaten Gunungkidul. Pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi didorong oleh peningkatan nilai tambah pada sub sektor tanaman bahan makanan hingga mencapai 8,18 persen. Komoditas bahan makanan seperti padi, kedelai dan ubi kayu mengalami pertumbuhan produksi yang cukup signifikan selama tahun ini. Sektor ekonomi yang lain masih mengalami pertumbuhan positif, walaupun jika dilihat dari angkanya sebagian besar sektor cenderung melambat.

4.3. PDRB Per kapita

PDRB per kapita menyatakan rata-rata nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh setiap penduduk di suatu daerah dalam waktu setahun. Salah satu komponen dalam nilai tambah tersebut adalah upah dan gaji yang diterima masyarakat sebagai balas jasa tenaga kerja. Jika PDRB per kapita meningkat, secara hipotesis pendapatan masyarakat juga akan

(38)

meningkat. Ukuran ini sering dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat.

Secara nominal, PDRB per kapita Kabupaten Gunungkidul terus mengalami peningkatan dari Rp 5,656 juta rupiah pada tahun 2005 menjadi Rp 8,701 juta rupiah pada tahun 2009. Rata-rata setiap tahun PDRB per kapita nominal meningkat sebesar 10,77 persen per tahun selama lima tahun terakhir. Peningkatan tersebut mengisyaratkan terjadinya peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Peningkatan pendapatan ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat. Namun demikian, PDRB per kapita nominal ini belum menggambarkan kenaikan kesejahteraan masyarakat secara riil.

Untuk melihat perubahan secara riil, PDRB per kapita dihitung berdasarkan nilai atas dasar harga konstan tahun 2000. Nilai PDRB per kapita atas dasar harga konstan selama periode 2005-2009 juga menunjukkan tren yang semakin meningkat. Pada tahun 2005, nilai PDRB per kapita riil mencapai 4,000 juta rupiah dan terus meningkat menjadi 4,649 juta rupiah pada tahun 2009. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2009 tumbuh sebesar 3,98 persen. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana PDRB per kapita tumbuh sebesar 4,15 persen.

Tabel 4.1. Kinerja Ekonomi Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PDRB atas dasar harga berlaku

(milyar Rp) 3 855,09 4 412,84 4 872,12 5 502,21 5 987,78

2. Struktur Ekonomi (%) 100 100 100 100 100

a. Pertanian 35,00 35,54 34,03 35,07 35,82

b. Industri 11,47 10,93 10,06 9,54 9,18

c. Perdagangan, hotel & restoran 14,38 13,95 14,81 14,62 14,87

d. Jasa-jasa 17,01 17,37 18,25 17,30 16,95

e. Lainnya 22,15 22,22 22,85 23,47 23,18

3. PDRB atas dasar harga konstan

2000 (milyar Rp) 2 726,39 2 830,58 2 941,29 3 070,30 3 199,32

4. Pertumbuhan ekonomi (%) 4,33 3,82 3,91 4,39 4,20

a. Pertanian 4,47 4,80 1,58 5,27 5,91

(39)

c. Perdagangan 3,54 3,16 8,36 4,34 4,43

d. Jasa-jasa 3,30 2,99 3,62 3,07 2,20

e. Lainnya 5,95 3,65 6,87 5,22 3,71

5. PDRB Per kapita (Rp) 5 656 326 6 457 294 7 110 408 8 011 695 8 701 236

6. PDRB Per kapita atas dasar

harga konstan (Rp) 4 000 253 4 141 979 4 292 535 4 470 621 4 649 134

(40)

BAB V. KESEHATAN

Pembangunan bidang kesehatan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan penduduk yang ditandai dengan kemampuan yang lebih besar untuk melaksanakan pola hidup sehat. Untuk itu, terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh, merata dan terpadu serta dapat terjangkau oleh sebagian besar masyarakat menjadi sangat penting. Proses pembangunan kesehatan yang baik akan ditandai oleh kemudahan masyarakat dalam mengakses serta memperoleh layanan kesehatan serta meningkatnya kemampuan ekonomi untuk belanja kesehatan. Upaya pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah maupun swasta dimaksudkan untuk menjangkau masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan.

Indikator yang dapat mengukur pencapaian pembangunan kesehatan, diantaranya adalah usia harapan hidup dan angka kematian bayi (infant mortality rate - IMR). Disamping itu, ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi indikator tersebut seperti: angka kesakitan, lamanya sakit serta rasio ketersediaan fasilitas kesehatan.

5.1. Usia Harapan Hidup

Indikator ini menunjukkan kondisi dan sistem pelayanan kesehatan masyarakat, karena mampu merepresentasikan output dari upaya pelayanan kesehatan secara komprehensif. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa jika seseorang memiliki derajat kesehatan yang semakin baik maka yang bersangkutan akan berpeluang memiliki usia lebih panjang atau mempunyai angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan indikator yang cukup efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada khususnya. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan di suatu wilayah akan disertai oleh peningkatan usia harapan hidup penduduknya, namun sebaliknya semakin rendah usia harapan hidup di suatu wilayah mencerminkan buruknya kualitas pembangunan kesehatan. Angka harapan hidup menggambarkan perkiraan rata-rata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu.

Usia harapan hidup penduduk Kabupaten Gunungkidul selama periode 2005-2009 menunjukkan tren yang semakin meningkat. Pada tahun 2005, usia harapan hidup penduduk mencapai 70,4 tahun, dan terus meningkat menjadi 70,88 tahun pada tahun 2009. Secara umum, angka ini menunjukkan usia rata-rata yang akan dijalani oleh seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2009 adalah mencapai 70,88 tahun. Peningkatan

(41)

usia harapan hidup ini secara tidak langsung menunjukkan adanya perbaikan kualitas kesehatan penduduk. Program perbaikan kualitas kesehatan penduduk terutama pada kelompok yang berpendapatan rendah selama beberapa tahun terakhir dilakukan melalui program Askeskin (asuransi kesehatan bagi keluarga miskin). Program intervensi ini diharapkan dapat menaikkan kualitas kesehatan penduduk secara umum dengan sasaran utama mereka yang memiliki daya beli rendah terhadap pelayanan kesehatan.

Sebagai perbandingan, usia harapan hidup rata-rata secara nasional pada tahun 2009 sekitar 70,70 tahun, sedangkan di Provinsi DIY sekitar 73,11 tahun. Dengan demikian, rata-rata angka harapan penduduk Kabupaten Gunungkidul masih berada di bawah rata-rata penduduk DIY, namun jika dibandingkan dengan rata-rata Indonesia, angka harapan hidup kabupaten ini berada sedikit di atas rata-rata nasional.

5.2. Angka Kematian Bayi

Indikator ini dapat menunjukkan dimensi sosial dan kesehatan masyarakat dengan bertitik tolak pada pandangan bahwa penduduk yang rentan terhadap perubahan sosial ekonomi dan kualitas lingkungan adalah mereka yang berumur kurang dari satu tahun. Kualitas kehidupan bayi sangat tergantung dari kondisi sosial ekonomi orang tua atau orang yang mengasuh, dengan kecenderungan bahwa semakin baik kondisi sosial dan ekonomi orang tua, makin besar pula peluang seorang bayi memperoleh kualitas hidup lebih baik serta berumur panjang.

Angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2005 diperkirakan sebesar 28 orang untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Artinya bahwa dari 1000 anak yang terlahir dengan menunjukkan tanda-tanda kehidupan, 28 diantaranya meninggal sebelum genap berumur setahun. Pencapaian angka kematian bayi selama beberapa tahun terakhir di Kabupaten Gunungkidul diperkirakan relatif tetap dengan jumlah kasus kematian bayi kurang dari 30 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Yang perlu dicatat bahwa upaya menurunkan angka kematian bayi memerlukan waktu yang relatif panjang serta kebijakan yang konsisten dengan keberpihakan terhadap kesehatan ibu dan anak.

Dibandingkan dengan angka kematian bayi secara nasional yang mencapai 48 kasus bayi meninggal setiap 1000 kelahiran hidup, pencapaian ini telah jauh lebih baik. Di masa mendatang diperlukan berbagai terobosan program di bidang kesehatan untuk memperkecil AKB yang telah dicapai saat ini, khususnya pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak keluarga-keluarga tak mampu, karena mereka memiliki keterbatasan dalam menyisihkan biaya untuk

Gambar

Gambar 3.1.  Tingkat  Partisipasi  Angkatan  Kerja  (TPAK)  Kabupaten  Gunungkidul,  2005-2009 (Persen) ......................................................................
Tabel 2.1. Konversi Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan  Pendidikan tertinggi yang ditamatkan  Lamanya Sekolah (tahun)
Tabel 2.2. Daftar Komoditas yang Digunakan untuk Menghitung PPP
Tabel 2.3. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian Aryzki (2019) menyatakan bahwa ada hubungan Tingginya risiko terkena hipertensi pada pendidikan yang rendah, kemungkinan disebabkan kurangnya

Pemberitaan mengenai artis Jepang yang mengisi acara Hai Day 2014 mencangkup level media Nasional, karena beberapa waktu belakangan ini komunitas penyuka music Jepang

Subvariabel dalam penelitian ini adalah personal hygiene yang meliputi personal hygiene rambut, mata, telinga, gigi dan mulut, kulit, serta kuku siswa di SDN

Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Guthrie, Petty, dan Ricceri (2006) yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang ada di Australia dan Hongkong menunjukkan

Variabel - variabel yang diamati yaitu analisa pH, viskositas, spesific gravity, kadar padatan, kadar formaldehida bebas dan analisa senyawa dengan menggunakan

jalapa L pada kultur sel HeLa dengan waktu inkubasi 24 jam seperti ditunjukkan pada tabel 1, dapat dilihat bahwa persentase kematian sel HeLa baik pada fraksi protein

Skripsi yang berjudul “ Pergerakan Nitrat pada Lubang Resapan Biopori Sebagai Indikator Pencemaran Air “ ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar di mayor

Nilai kondisi batas diperlukan pada batas hulu, yaitu sungai dan batas terbuka. Pada batas terbuka digunakan parameter elevasi muka air, temperatur dan salinitas, sedangkan