• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB III"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Film Indonesia dari Masa ke Masa

Mengapa industri film di Indonesia tak sedahsyat perkembangan industri film di negara lain? Apa yang terjadi dengan industri film di Indonesia? Semua itu pasti ada alasannya. Penting untuk menengok ke belakang, belajar dari sejarah bagaimana industri perfilman mulai muncul hingga perkembangannya pada saat ini. Tanpa trayektori yang jelas, sulit untuk mengungkap apa yang terjadi dengan industri film nasional.

Tanpa pemikiran kritis atas sejarah perkembangannya, film bisa menjadi alat untuk memanipulasi massa bahkan proses pembodohan secara kolektif. Sejarah menunjukkan film tumbuh sebagai kebutuhan kaum urban yang terbentuk dari kolonialisme dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Film di satu sisi, merupakan fenomena internasionalisasi dan perluasan wawasan, namun di sisi lain, dalam rangka pencarian identitas-etnis-politis-religius film dianggap sebagai sebuah ancaman (Sugiharto, B. dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Film sebagai salah satu media massa memiliki power yang serius, dan merupakan industri yang tetap bertahan dan bahkan makin berkembang melebarkan pangsa pasarnya, pasca krisis 1998 di Indonesia. Beberapa mass media bahkan menerima pendapatan dua kali lipat selama periode krisis tersebut (Hill, 2007, dalam Heryanto, A., 2014). Melalui sebuah penelitian, ditemukan bahwa 90% penonton Indonesia menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi untuk menonton hiburan, opera sabun (sinetron), film, dan

reality show; seperti dikutip sebagai berikut:

―over 90% of Indonesians (over 10 years old) account

(2)

soap operas, movies, infotainment, and reality shows, for which viewers spent the largest portion of their watching

time...‖ (Lim, 2011, dalam Heryanto, A., 2014:10)

Bagi para insan perfilman, film memberikan ruang berekspresi, menuangkan karya-karya indah dan inspirasi mereka. Bagi seorang Garin Nugroho misalnya, film seperti makanan yang harus dicoba dengan berbagai ―rasa‖, film adalah media untuk belajar. Sedangkan bagi Sheila Timothy, movie producer muda, film adalah media mass-art yang sekaligus personal. Di samping itu, film juga merupakan media berekspresi dengan begitu banyak creative chain

yang menantang.

Untuk memahami secara runut sejarah perfilman di Indonesia, berikut ini akan diuraikan perkembangan film Indonesia ke dalam dua tahapan yaitu ; (i) film Indonesia Sebelum Reformasi –dibagi lagi ke dalam tiga periode yaitu era Penjajahan, era Orde Lama, dan era Orde Baru --, serta (ii) film Indonesia sesudah/Pasca Reformasi, sesuai data sekunder berupa catatan perfilman di buku-buku dan website tentang film Indonesia yang ditemukan.

Sejarah Film Indonesia

Film Indonesia Sebelum Reformasi

Era Penjajahan (1900-1945)

Indonesia yang dikenal sebagai Hindia Belanda adalah negara jajahan yang menjadi tujuan berbagai negara kolonial pada periode 1500-an. Pembangunan jaringan transportasi kereta api di Jawa sekitar tahun 1850 sejalan dengan dinamika industri dan turisme yang tumbuh di dunia, mempermudah digelarnya berbagai seni pertunjukan tradisional seperti ludruk, wayang orang, dan komedi

stamboel. Keberadaan kereta api mendorong pertumbuhan komedi

stamboel untuk bisa berkeliling di Jawa, maka lahirlah perkumpulan-perkumpulan lain seperti Opera Srie Pertama, Opera Bangsawan,dan

(3)

merupakan sebuah pertemuan muktikultur yang dipengaruhi oleh beragam prospektif.

Sebelum muncul film bisu di tanah air, bentuk seni yang muncul secara tradisional mula-mula di tanah Jawa adalah wayang kulit, bahkan ketika film bisu mulai hadir pertama kali musik pengiring di bioskop dari wayang kulit tetap dipentaskan. Pada akhir abad ke-19 wayang orang mulai dipertontonkan di luar istana. Adalah seorang patron seni Tionghoa bernama Gam Kan di Surakarta yang memiliki hubungan dekat dengan Mangku Negara V. Pada saat itu (1885) raja memberikan izin pertunjukan wayang wong di luar istana pada 1885. Gam Kan menunjukkan sejarah kewirausahaan etnis Tionghoa di tengah perubahan yang melahirkan peluang baru dalam hal industrialisasi seni. Hal ini muncul bersamaan dengan internasionalisasi yang datang membawa banyak bentuk seni pertunjukan baru berikut cara menontonnya, mendistribusikan, menuturkan, serta teknologinya (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Tumbuhnya elemen-elemen modern melalui pendidikan, industri, perkenalan dengan budaya Barat di kalangan elite kraton memunculkan demokratisasi atau desakralisasi kesenian Jawa yang sebelumnya tidak bisa tampil di luar keraton. Sebuah kekagetan budaya menghadapi moderenisasi yang datang dalam beragam bentuknya, dari kereta api, telepon hingga berbagai seni lainnya. Istilah ―gambar idoep‖ menunjukan kehebohan di tengah hadirnya peradaban baru. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.

(4)

Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. (http://filmindonesia.org, diunduh tanggal 19 April 2015)

Personifikasi manusia Eropa dalam film-film tersebut menimbulkan banyak kritik dari orang Eropa terhadap pemerintah kolonial. Kritik tersebut didasarkan pada kecemasan akan terbentuknya citra negatif orang Eropa di mata pribumi. Ini disebabkan dalam film-film tersebut orang-orang Eropa dipersonifikasikan sebagai orang yang suka menyelesaikan masalah di luar hukum, jago berkelahi dan tembak-menembak, serta pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Konferensi sinematografi di Paris, Perancis yang membicarakan bahaya moral dan politik film di beberapa negeri jajahan menceritakan kekhawatiran yang sama yang dirasakan oleh penguasa kolonial di Hindia Belanda. Penonton dikhawatirkan tidak dapat memisahkan antara film dan kenyataan.

Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan perfilman pada tahun 1916 untuk pertama kalinya mengenai pembentukan komisi sensor di empat kota yakni Medan, Batavia, Semarang dan Surabaya. Peraturan itu semata-mata hanya menempatkan kekuasaaan peran individu dalam mengambil keputusan sebagai anggota komisi sensor film. Kriteria sensor terhadap sebuah film juga tidak ada dalam peraturan yang diterbitkan berikutnya pada 1925. Sistem sensor ini terus menjadi polemik, bahkan ketika rezim pemerintahan telah berganti. Mekanisme sensor yang begitu ketat membuat persentase film tidak lolos sensor meningkat dari tahun ke tahun (Arief dkk, 2010, dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).

Film cerita lokal yang pertama diproduksi berjudul ―Loetoeng Kasaroeng‖ (1926) diproduksi oleh ―NV Java Film Company‖. Diproduseri dan disutradarai oleh L. Heuveldorp, film ini merupakan film bisu pertama (silent) yang diproduksi di Hindia Belanda berlatar legenda Sunda.

(5)

Adalah Wiranatakusumah, Bupati Bandung saat itu, yang ingin mengembangkan kesenian Pasundan yang sebelumnya dipertunjukkan melalui sandiwara dan pementasan wayang. Film lokal berikutnya adalah ―Eulis Atjih‖ yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti ―Halimun Film Bandung‖ yang membuat ―Lily Van Java‖ dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi ―Setangan Berlumur Darah‖. Akan tetapi film-film tersebut bukanlah film lokal yang diproduksi pertama kali oleh bangsa Indonesia, hanya ide ceritanya saja yang diadaptasi atau dianggap bersumber (asli) dari Indonesia.

Film Loetong Kasaroeng menunjukkan percampuran antara wayang, sandiwara,dan film serta persoalan-persoalan daya hidup seni tradisi yang sangat dinamis. Pertunjukan besar pertama tanggal 5 Desember 1960 dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2 gulden Belanda untuk kelas 1, f1 untuk kelas 2, dan f 0,50 untuk kelas 3 (Biran, M.Y. dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015). Selang beberapa waktu mulai didirikan bioskop permanen di beberapa kota, seperti Jakarta dan Bandung. Bioskop menyasar segmen yang berbeda dari masyarakat kulit putih (Eropa), Tionghoa, dan pribumi. Para penonton lebih suka film cerita daripada film dokumenter. Ini sejalan dengan bentuk kesenian yang telah mereka kenal sebelumnya yaitu wayang orang dan komedi stamboel (pertunjukan keliling).

Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company

bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul ―Atma de Vischer‖. Selama kurun waktu enam tahun (1926-1931) ada

duapuluh satu film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, ―Filmrueve‖

(6)

Film pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945, memberi perspektif baru tentang kesadaran dan pentingnya pengetahuan tentang film, khususnya dalam hubungannya dengan film cerita. Penjajahan Jepang berusaha membuat film propaganda dengan tiga kebijakan penunjang: (i) pembuatan lembaga khusus produksi film cerita dan dokumenter yaitu Nippon Eigasha dan Nichei, (ii) pembuatan lembaga yang berisi tokoh-tokoh film Indonesia saat itu untuk membantu proses pembuatan, publikasi, dan penyebaran film, serta (iii) kebijakan yang mengatur upaya distribusi film baik melalui layar bioskop maupun pertunjukan keliling (Arief dkk, dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).

Ahli dari Jepang didatangkan ke Indonesia untuk membina perfilman. Bunjin Kurata, seorang sutradara film terkenal, ditempatkan sebagai pimpinan film cerita di Nippon Eigasha. Di lembaga ini, pribumi mendapat kesempatan memegang peranan penting seperti sutradara, juru kamera, editor, dan sebagainya. Ini adalah kesempatan baru karena sebelumnya di perusahaan milik Tionghoa dan Belanda semua posisi itu ―diharamkan‖ untuk orang pribumi. Nippon Eigasha mengharuskan semua pribumi yang menjadi karyawannya mengikuti pelatihan sehingga orang pribumi punya kesempatan untuk belajar membuat film dengan baik (Biran dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).

Pada awal era produksi film, produser Belanda lebih fokus pada representasi etnografis Hindia Belanda sebagai jajahan mereka (De Klerk, dalam Nogroho, G., dan Herlina, D., 2015). Sedangkan produser Tionghoa lokal lebih cenderung membangun representasi fiksional Hindia Belanda dengan dipengaruhi gaya film Hollywood dan Shanghai yang mereka impor pertama kali tahun 1924 (Arief dkk, 2010, dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

(7)

nyaris mustahil, berhubung penonton sulit didapat. Tahun tersebut ekonomi memang sedang depresi, ditambah lagi kemajuan teknologi dalam perfilman yang membuat film bisu menjadi film yang bisa berbicara, membuat film sulit diproduksi dan dipasarkan.

Situasi yang serba sulit tersebut tidak menyurutkan semangat pembuat film. Albert Balink membuat dua film bagus yang laku di pasaran yaitu ―Pareh‖ di tahun 1935, dan ―Terang Boelan‖ di tahun 1937, yang dibintangi oleh Roekiah dan Raden Mochtar. Film ini tidak saja disukai masyarakat pribumi yang mayoritas namun juga oleh orang Eropa dan Tionghoa. Film ini menjadi tonggak keberhasilan film-film berikutnya. Sebelumnya ada satu film berjudul ―Njai Siti‖ atau ―De Stem Des Bloeds‖ yang diputar 22 Maret 1930.

Sistem bintang film (Star system) mulai booming. Aktor-aktris drama panggung mulai merambah ke dunia film. Formula cerita seputar romansa, pemandangan indah, perkelahian, comic relief, dan lagu Melayu populer. Di saat yang sama, importir film dari Tiongkok punya strategi lain yaitu mendatangkan film bergenre laga (silat) dan mistik (siluman). Kedua strategi baru ini, yaitu film-film bernuansa romansa-laga-mistik berhasil mengembalikan minat penonton ke bioskop (Suwardi, 2009; Biran, 2009, dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Kehadiran teknologi baru yaitu film berbicara ini, membuat importir tidak bisa memutar film-film baru di bioskop seperti Glodok dan Mangga Dua di Batavia. Dimulailah investasi baru di beberapa bioskop bicara yaitu ―Thalia Talkie Jakarta‖, ―National Talkie Yogyakarta‖, dan ―Djambi Talkie‖. Dalam himpitan depresi ekonomi

(8)

Era Orde Lama (1945-1965)

Iklim kemerdekaan seharusnya memberi ―nafas baru‖ yang lebih segar dalam perfilman nasional. Namun demikian, ternyata situasi politik yang sering tidak stabil menyebabkan situasi kurang kondusif. Era pemerintahan Soekarno mencirikan kepentingan politik yang sangat berbeda yang berimplikasi pada kebijakan yang berbeda pula pada industri film. Pada era Soekarno, perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet turut mempengaruhi politik di Indonesia. Soekarno berpendapat, budaya populer seperti musik, sastra, dan film seharusnya mencerminkan identitas bangsa, sehingga semua aliran kebarat-baratan ditolak. Semangat nasionalisme yang diawali dengan kemunculan film ―Terang Boelan‖ menunjukkan berbagai upaya untuk melahirkan film yang serba Indonesia, baik dalam hal pemilihan artis, modal, ide cerita dan tema.

Diakuinya kemerdekaan Indonesia secara internasional (1949) dan perginya Belanda secara formal dari negeri ini, menempatkan situasi tahun 1949-1951 pada masa transisi. Pertumbuhan ekonomi mulai meningkat menjadi tujuh persen. Berbagai momentum perfilman nasional terjadi, mulai dari lahirnya Perusahaan Film Nasional (Perfini) dan Persatuan Indonesia (Persari) di tahun 1950. Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaluddin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) pertama pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya duet Usmar Ismail dan

Djamaluddin Malik

mendirikan PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia).

(9)

Singapura. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Film-film penting lainnya dalam periode ini adalah, ―The Long March‖ (Darah dan Doa, Umar Ismail, 1950), ―Si Pintjang‖

garapan Kotot Suwardi (1951), dan ―Turang‖ garapan Bachtiar Siagian (1957). Film ―Darah dan Doa‖ ini dianggap sebagai film asli pertama buatan Indonesia karena diproduksi oleh PERFINI dan yang mengerjakan semuanya orang Indonesia asli (pribumi), bahkan Usmar Ismail disebut Soekarno sebagai ―sutradara Indonesia yang sesungguhnya‖. Usmar Ismail sempat mengenyam pendidikan sinematografi di Amerika Serikat pada tahun 1952. Tahun 1956 ditandai dengan munculnya film musikal pertama di Indonesia yaitu film ―Tiga Dara‖.

Gambar 3.1. Film ―Darah Dan Doa‖ Gambar 3.2. Film ―Tiga Dara‖

Tahun-tahun berikutnya ketika perfilman Indonesia menghadapi krisis di tahun 1957, PPFI menutup studio-studionya dan kembali ke Jakarta. Pertumbuhan ekonomi turun dari 7% menjadi 1,9% per tahun. Di masa krisis ekonomi dan perseteruan berbagai partai politik di dalam negeri –ada 29 partai waktu itu—tidak menyurutkan Soekarno menjadi pemimpin Asia-Afrika melawan kolonialisme. Tahun 1955 Soekarno mampu menginisiasi konferensi

(10)

Asia-Afrika pertama di Bandung. Bersamaan dengan itu diselenggarakan pula Festival Film Asia Afrika (FFAA), tanggal pelaksanaan FFAA tersebut yaitu tanggal 30 April ditetapkan sebagai Hari Film Nasional di era Soekarno.

Tahun 1963 Soekarno mencetuskan ajaran Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) untuk membangun demokrasi terbuka terhadap beragam aliran, agama, dan ideologi. Pada tahun tersebut pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (PP) No. 11/1963 tentang larangan musik ―ngak-ngik-ngok‖ yang tidak lain

merujuk segala jenis musik Barat. ―Koes Besaudara‖ yang bersikeras menampilkan musiknya pada akhirnya harus mendekam di penjara Glodok selama beberapa waktu. Dunia sastra Indonesia pun mengalami berbagai polemik, perbedaan ideologi politik yaitu ―Perang Pena‖ yang terjadi antara seniman penganut paham realis-sosialis yang memiliki semboyan ―seni untuk rakyat‖ melawan ―seniman gelanggang merdeka‖.

Mengingat kondisi baru di republik yang sangat rapuh, inisiatif Soekarno untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam demokrasi terpimpin banyak mendapatkan tentangan dari dalam dan luar negeri. Amerika Serikat menjadi salah satu negara adidaya yang sangat takut partai komunis di Indonesia tumbuh menjadi satu partai terbesar. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang memakan korban jutaan jiwa menjadi puncak kekerasan yang bukan hanya simbolik, namun juga fisik, yang ditengarai diinisiasi oleh negara adidaya saat itu. Kejadian ini dipublikasikan dalam salah satu edisi majalah TIME tahun 1965 --belakangan dicoba-lukiskan oleh Garin Nugroho dalam filmnya ―Puisi Tak Terkuburkan‖ (tahun 1999). Pasca 1965 Indonesia menjadi mitra kuat AS dan sekutunya.

Era Orde Baru (1966-1998)

Pada era Soeharto, seluruh film karya sutradara yang berhubungan dengan LEKRA dilenyapkan, dan banyak aktifisnya yang dibuang ke Pulau Buru tanpa melalui proses peradilan. Data base

(11)

ekonomi dan politik menandai dibangunnya kekuatan militerisme di era Soeharto. Dengan politik panglima ini, sistem kontrol dan sensor diberlakukan terhadap berbagai aktifitas kehidupan termasuk perfilman. Semua organisasi film dan penyiarannya dikontrol melalui mekanisme di Departemen Penerangan. Sementara itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi media propaganda pemerintah serta strategi mengelola identitas serta nasionalisme Indonesia.

Jaman ini berhasil menelurkan para sutradara populer dengan ciri khas masing–masing. Sjuman Djaya salah satu sineas yang berasal dari dunia sastra, ia aktif berkegiatan di komunitas Seniman Senen, kemudian melanjutkan sekolah film di Moskow. Pertama memasuki dunia film ketika cerpennya yang berjudul ―Keroncong Kemayoran‖ diangkat ke layar lebar. Dia menjadi Direktur Film Departemen Penerangan. Ia mendirikan sendiri perusahaan filmnya, ―PT Matari Film‖. Contoh filmnya adalah ―Si Doel Anak Modern‖ dan ―Kerikil-kerikil Tajam‖. Ia adalah sutradara yang paling banyak memenangi Piala Citra. Semua filmnya menonjolkan keunggulan detail artistik yang tinggi seperti properti, komposisi warna, irama dramatis hingga penjiwaan para pemain.

(12)

Soeharto membawa Indonesia ke dunia internasional melalui PBB. Di dunia seni dan hiburan, seluruh buku dan bentuk seni atau pun sejarah yang berkaitan dengan Blok Timur dihapuskan dan dilarang diajarkan, disimpan, dan diedarkan. Buku–buku karya Karl Max dilarang beredar, dan lahirlah penulisan ―sejarah baru‖. Melalui Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Domestik, Indonesia mendapatkan banyak utang dari Dana Moneter Internasional (IMF). Liberalisasi ekonomi terjadi. Di bawah kendali Orde Baru, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Jika periode sebelumnya terutama tahun 1966 ditandai dengan hiperinflasi lebih dari 600 persen, maka memasuki dekade berikutnya laju inflasi dapat ditekan hanya 10 persen pada tahun 1970.

Meskipun pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat, namun pada era Orde Baru ini justru pembangunan budaya cukup ditelantarkan. Ada beberapa film tentang perjuangan revolusi dan para pahlawan, namun film-film yang mencirikan budaya bangsa sebagai identitas hampir tidak ada. Film-film asing menggempur perfilman nasional, tetapi pemerintah tidak ambil peduli. Era Orde Baru justru membuka keran impor film sebanyak-banyaknya. Tindakan pro-Amerika melalui impor film tidak terbendung lagi (Sen, 1994, dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015). Importir masuk pada puncak kejayaan Orde Baru terutama pada dekade 1980-an yang menunjukkan tidak kurang dari 700 film impor masuk ke Indonesia, suatu jumlah yang cukup fantastis. Dua puluh tahun sesudahnya hanya film dari AS yang diimpor dan diputar di bioskop Indonesia, yang dikelola oleh importir film sekaligus pengusaha bioskop di Indonesia.

Perhatian yang begitu minim terhadap budaya bangsa ini menurut Ariel Heryanto dalam bukunya ―Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture‖ adalah karena dominasi

paradigma tertentu selama Orde Baru dan sesudahnya yang membuat

hyper-nationalist and history amnesia, seperti kutipan berikut ini: ―on the one hand Indonesia‘s intellectual framework has

(13)

building and modernization, or the impediments to them – militarism, human right abuse, rampant corruption, violent ethno-religious conflicts, and lately Islamist militants.‖ (Heryanto, A., 2014:7,17).

Kurangnya pembelajaran serius tentang budaya populer Indonesia, menurut Ariel adalah karena perhatian lebih difokuskan pada budaya populer dalam hubungannya dengan modernisasi di Indonesia. Situasi negara-negara tetangga pada masa itu memang tidak jauh berbeda. Ada tiga alasan lain yang menyebabkan studi/penelitian tentang budaya populer di Indonesia sangat miskin dan sangat terlambat, yaitu karena : (i) lambatnya perkembangan industrialisasi di Indonesia, (ii) paradigma dominan (yang salah) yang selama ini dipelajari tentang sejarah Indonesia, dan (iii) bias maskulinitas dalam pembelajaran secara umum.

Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) bertugas untuk menentukan kebijakan, persetujuan atas naskah, penentuan artis, karyawan, biaya produksi, dan produser pelaksana. Konten film nasional sangat dibatasi, tidak boleh menampilkan kritik terhadap penguasa dan wajah buruk negeri ini. Tidak heran jika kemudian, tema-tema picisan yang berkutat pada kisah cinta, seksualitas (porno), dan kekerasan tumbuh subur. Badan sensor yang sebenarnya masih terikat dengan peraturan sensor lama membiarkan pelanggaran tersebut terjadi. Seluruh artis, produser dan sutradara yang berafiliasi dengan PKI tidak diizinkan berkarya lagi dan seluruh karya mereka dihancurkan. Semua orang yang ingin bekerja di dunia film harus menjadi anggota asosiasi profesi perfilman. Penerimaan anggota melalui proses selesksi yang memastikan mereka sama sekali tidak berafiliasi dengan PKI.

(14)

Sekitar periode itu, satu karcis bisa ditonton untuk dua orang. Ada film Jepang tentang pendekar buta bertongkat bermata satu ―Zatoichi‖, film Belanda tentang penyanyi kecil ―Hance‖, film koboy

Italia ―Django‖, atau pun film ―Primus‖ tentang lumba–lumba dari

Australia. Tidak heran jika pemeran Django, Franco Nero, Si Buta dari Gua Hantu (1970), dan ―Ratapan Anak Tiri‖ (1973) begitu populer. Namun, tetap saja film–film Hollywood, India, dan Hongkong yang mendominasi. Sensor lebih terbuka pada adegan seks sehingga banyak karya berbau seks laku di pasar. TVRI menjadi medium global baru. Anak–anak dibawa melanglang dunia dengan film–film seperti

Daktari, The Saint, Jungle Jim, Gentle Ben, Bonanza, dan Hawaii Five 0. Untuk pertama kalinya masyarakat mengenal iklan di televisi yang bertajuk ―Siaran Niaga‖.

Televisi nasional ini menawarkan satu bentuk budaya populer bagi masyarakat Indonesia. Siaran pertama yang menyiarkan peristiwa Asian Games merupakan awal perkenalan penonton Indonesia dengan dunia internasional. Pada tahun 1968, terdapat 40 persen acara TVRI produksi lokal dan sisanya merupakan produk impor. Selama 1969– 1981, TVRI menyiarkan tidak kurang dari 87 film serial bertemakan

superhero. Beberapa serial impor bertema keluarga juga disiarkan seperti ―Little House on The Prairie‖. Setelah 21 tahun mengudara, TVRI akhirnya berhasil membuat film serial bulanan yaitu ―Si Unyil‖

dan ―Si Huma‖. Bulan April tahun 1985, akhirnya TVRI juga berhasil membuat serial remaja berjudul ACI (Aku Cinta Indonesia). Wahyu Sihombing yang berangkat dari dunia teater memproduksi karya– karya drama televisi yang legendaris, yaitu ―Losmen‖ (1986) dan ―Dr. Sartika‖ (1989). Dedi Setiadi adalah sutradara film televisi yang karya-karyanya cukup fenomenal antara lain ―Jendela Rumah Kita‖(1988) dan ―Siti Nurbaya‖ (1991).

Keberadaan TVRI ini ditunjang oleh kehadiran teknologi satelit. Pada tahun 1986 pemerintah secara resmi mengumumkan kebijakan open sky yang mengijinkan lembaga swasta dan penduduk menggunakan antena parabola. Di akhir 1980-an, 15 transponder

digunakan untuk saluran non–Indonesia, termasuk siaran publik

(15)

menghasilkan pendapatan yang lumayan bagi pemerintah. Satu penelitian yang dipublikasikan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa meski hampir seluruh penduduk Indonesia (95 persen) menonton TVRI, tetapi di satu provinsi hanya 45 persen responden yang menonton TVRI. Omzet pemasangan iklan pada tahun 1971 berjumlah sekitar Rp 2,5 miliar dengan persebaran sebagai berikut: di surat kabar 49 persen, bisokop 13 persen, TVRI 11 persen, majalah 1,5 persen, radio 3,5 persen, luar ruang 9 persen, dan lainya 14 persen (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Di tengah gelombang persaingan asing yang sangat luar biasa, muncul perusahaan iklan modern milik orang Indonesia yaitu ―Inter Vista‖ yang didirikan oleh Nuradi. Siaran ―Manasuka Siaran Niaga‖ di TVRI ini menyediakan media periklanan yang baru. Aspek lain pertumbuhan industri iklan memberikan pengaruh pada beberapa aspek perfilman Indonesia yaitu: pertama, estetika iklan dalam aspek visual memberikan pengaruh cara masyarakat mengkonsumsi dunia sekitarnya serta menuntut film mampu berkompetisi dalam memikat masyarakat dengan kekuatan visual. Kedua, kemampuan iklan menggunakan teknologi terkini yang mahal memberikan kesempatan bagi tenaga profesional film Indonesia belajar teknologi baru.

(16)

Fenomena yang menarik dalam budaya populer di Indonesia adalah lahirnya majalah Aktuil bersama majalah anak muda dan hiburan lainnya seperti Varia Nada dan Top. Ciri khas Aktuil di antaranya adalah selalu terdapat poster di setiap edisinya, stiker kaos yang diseterika, hingga chord lagu–lagu populer. Setelahnya ada

majalah ―Hai‖ bagi kaum remaja dengan setting yang sama yaitu selipan poster dan stiker kaos serta chord lagu populer.

Banyak film Indonesia pada tahun 1970–1985 diadaptasi dari produk budaya populer, baik itu komik, novel, maupun musik. Film Indonesia tumbuh dalam globalisme dan seluruhnya dikontrol serta disensor oleh pemerintah era kepemimpinan Soeharto. Namun demikian, ini adalah era keemasan sejarah popularitas sinema Indonesia, seperti ―Kampus Biru‖ (1976), ―Ali Topan Anak Jalanan‖ (1977), ―Badai Pasti Berlalu‖ (1977), ―Catatan Si Boy‖ (1987), ―Pengemis dan Tukang Becak‖ (1978), dan ―Dua Tanda Mata‖ (1984). Di era ini beberapa sutradara membuat genre baru perfilman Indonesia, yaitu Wim Umboh dengan film drama cinta, Sjuman Djaya dengan film sosial, Teguh Karya dengan film artistik, Nya Abbas Akup dengan komedi satir, dan Imam Tantowi atau S. Badrun dengan film laganya (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Tahun 1985 harga minyak mulai turun dan utang luar negeri meningkat, budaya populer dan industri lokal mulai mati. Teknologi komunikasi global serta produk ekspresi, lalulintasnya semakin tidak bisa dikontrol oleh Soeharto. Periode krisis ini (1986) melahirkan film ―Seputih Hatinya Semerah Bibirnya‖ garapan Slamet Raharjo yang memulai karir sebagai aktor. Puncak era ini adalah film ―Tjoet Nja Dhien‖ (1986) karya Eros Djarot yang berhasil masuk Director Choice Cannes Film Festival.

(17)

menteri. Sensor pemerintah menyangkut tentang seks, kekerasan, dan perlindungan budaya bangsa. Namun peraturan tersebut tidak serta-merta mengisolasi masyarakat dari pengaruh budaya asing yang memasuki Indonesia melalui film. Salah satu contoh film terkait persepsi seks dan ideologi adalah ―Kanan Kiri Oke‖. Di tahun 1981 melalui suatu seminar, kalangan perfilman membentuk Kode Etik Produksi Film Nasional yang bertujuan menjaga susila manusia Indonesia.

Periode 1970–1985 ini adalah sekaligus periode ketidakpuasan terhadap rezim Soeharto yang berujung reformasi di tahun 1997. Saat itu, terjadi monopoli dalam peredaran film yang dilakukan oleh adik Soeharto, yaitu Soedwikatmono. Sempat terjadi perlawanan terhadap monopoli jaringan bioskop ―21‖ di bawah Soedwikatmono hingga dibawa ke meja hijau. Perlawanan ini didukung pula oleh kritikus ternama seperti JB Kristanto dan Marselli Sumarno. Di saat yang sama Fakultas Sinematografi IKJ dengan Gatot Prakoso sebagai inisiator mengusung film pendek independen. Kemudian, mahasiswa mulai memelopori gerakan sinema independen dengan memutar film ke berbagai daerah dan kelompok masyarakat dengan nama ―Sinema Gerilya‖ dan ―Sinema Ngamen‖.

(18)

Persetujuan baru tersebut memberikan dampak perubahan yang fundamental terhadap perfilman Indonesia melalui Undang– Undang Perfilman Tahun 1992. Cengkraman AS sungguh dasyat, bahkan MPEAA diperbolehkan membuka jaringan bioskop sendiri di Indonesia. Sejak 1992 tidak ada lagi proteksi pemerintah untuk melindungi penayangan film–film nasional di bioskop dan berakibat pada kehancuran perfilman nasional yang kian total. GATT pada tahun 1994 mengeluarkan pasal 21 yang memperbolehkan proteksi film sebagai bagian budaya yang dapat mempengaruhi kedaulatan budaya. Bioskop membutuhkan film untuk ditayangkan, sementara film lokal tidak punya cukup stok. Akibat monopoli yang luar biasa, produksi film merosot dan pengusaha bioskop di daerah perlahan sekarat. Ada beberapa pengusaha bioskop yang akhirnya menutup usahanya. Peredaran video legal dan bajakan mulai tumbuh.

Tabel 3.1. Produksi Film Nasional, Impor Film dan Kuota Film Impor (1986–1998)

TAHUN FILM NASIONAL FILM IMPOR KUOTA FILM

IMPOR

1986 63 179 180

1987 58 180 180

1988 53 180 180

1989 88 136 170

1990 112 112 170

1991 112 151 160

1992 41 150 160

1993 28 145 160

1994 34 160 160

1995 26 160 160

1996 34 151 160

1997 32 154 160

1998 4 61 160

Sumber : Kurnia (2009) dalam Garin, N. dan Herlina, D., 2015

(19)

Intinya, sensor adalah semacam alat pemerintah menyeleksi mana yang boleh ditonton masyarakat yang tidak membahayakan posisi penguasa saat itu.

Fungsi lembaga sensor sampai era 1990-an ketika undang-undang perfilman muncul, tak jauh berbeda dengan fungsi sensor di era Penjajahan, ketika Pemerintah Jepang melakukan pendidikan tentang Jepang sebagai penguasa Asia. Baru pada Pemerintahan Gus Dur (Presiden Abdurachman Wahid almarhum) fungsi lembaga sensor direvisi, posisinya dipindahkan dari Departemen Penerangan di era Orde Baru ke Departemen Pendidikan Nasional di era reformasi.

Yang menarik di era Orde Baru ini selain keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia sebagai satu-satunya lembaga pengontrol dan pengendali terhadap perfilman Indonesia, adalah hadirnya televisi nasional yaitu TVRI. TVRI juga memiliki peran penting terhadap pembentukan budaya populer. TVRI melakukan intervensi yang cukup besar pada pembentukan selera masyarakat terhadap tontonan. Pada dekade 1980-an TVRI masih rutin menayangkan beberapa film seri impor. Beberapa film impor yang paling disukai pemirsa adalah Remington Steel, ChiPs, dan Muppet Babies, ada juga serial film keluarga di Minggu siang yaitu ―Little House on The Prairie‖.

Sesudah kemunculan TVRI, pada tahun 1980–1990 budaya pop menemukan media baru yaitu video. Media tersebut membawa publik bisa terhubung dengan film dalam jarak yang semakin dekat, sekaligus menciptakan kemungkinan pola distribusi film yang baru. Pada era video yang sangat praktis dan murah, khususnya lewat perdagangan gelap, maka anak muda pelaku film Indonesia mampu mengakses film yang sebelumnya hanya bisa dibaca di buku–buku pelajaran atau ditonton di luar Indonesia. Film yang paling disukai adalah film superhero untuk anak–anak dan film silat mandarin.

(20)

turunnya produksi film nasional. Karena lebih murah dan praktis, penonton mulai lebih suka menonton film dari rumah. Kehadiran video ini juga menimbulkan masalah baru seputar hak cipta dan sensor. Media impor semakin membanjiri imaji penonton Indonesia.

Ironisnya, beragam format video dan laser disc sangat cepat mati dan berubah dalam waktu sangat pendek. Masuknya percepatan teknologi baru berkait film dari beragam format video, laser disc

hingga parabola dalam rentang waktu sangat pendek merefleksikan tidak adanya strategi pemerintah Indonesia terhadap standarisasi teknologi.

Pada 1970–1980 sebagian besar komik lokal dipengaruhi oleh aliran Amerika. Liberalisme perdagangan mendorong produsen komik Jepang menyebarluaskan terbitannya ke seluruh dunia. Popularitas komik Jepang semakin menjadi–jadi ketika versi kartunnya disiarkan di televisi swasta Indonesia. Pada tahun 1991 RCTI mulai menayangkan film kartun ―Doraemon‖. Ketika komik lokal bergeser oleh manga dan anime situasi yang rumit juga terjadi pada industri musik nasional. Musik barat yang mulai masuk di era 1970-an semakin mendapat tempat di hati masyarakat kelas atas Indonesia. Musik dijadikan penanda selera dan gengsi kelas sosial. Kontrol pemerintah sangat ketat di musik lokal, yaitu musik dangdut. Keberatan pemerintah terhadap musik pop kadang sulit dimengerti oleh masyarakat awam, salah satunya adalah kasus pelarangan lagu ―Hati yang Luka‖ (1989). Sensor yang ketat diberlakukan untuk budaya populer nasional, sedangkan produk asing dibiarkan masuk tanpa batas yang mengaliri jalur–jalur yang pada dekade sebelumnya dikuasai oleh produk lokal.

(21)

dengan judul ―Anak Seribu Pulau‖. Tahun 1997 John Hopkins University bekerja sama dengan TPI membuat film untuk televisi dengan tema pendidikan kesehatan. Industri televisi yang tidak pernah berhenti berproduksi di berbagai bentuk krisis menjadi pelarian pekerja film dari krisis film Indonesia. Film dalam periode ini tidak lagi menjadi anak emas industri hiburan.

Meski dalam kondisi sekarat, beberapa karya seperti ―Cinta dalam Sepotong Roti‖, ―Daun di Atas Bantal‖ karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan tahun 1990-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.

Film Indonesia Pasca Reformasi

Tahun 1997, para pemuda turun ke jalan, mereka melancarkan aksi protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang mencoba mempertahankan status quo. Mereka berteriak: ―Reformasi!‖, generasi

muda di negeri ini tak bisa tinggal diam menerima semua bentuk hegemoni kekuasaan, yang disertai kekerasan dan penindasan pada masa Orde Baru. Penculikan terhadap aktivis mahasiswa di beberapa Perguruan Tinggi ternama di Jakarta, tidak memadamkan semangat reformasi ini. Makin banyak putera daerah turun ke jalan dan berbondong-bondong ke Jakarta. Mereka ingin perubahan terjadi.

(22)

1997/1998, film ―Kuldesak‖ menandai munculnya film Indonesia dengan genre baru yaitu gabungan empat film pendek garapan ―Sinema Independen Indonesia‖. Terjadi perubahan dari segi cerita, yang lebih natural, karena dibuat oleh anak muda untuk anak-anak muda, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Film tersebut mendapatkan penghargaan di Forum Film Bandung (FFB) dan Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di tahun 1999.

Tahun 1999, biarpun hanya empat film yang diproduksi namun film-film itu diapresiasi dengan sangat baik, dua di antaranya adalah ―Petualangan Sherina‖ garapan Mira Lesmana dan Riri Riza, serta film ―Puisi Tak Terkuburkan‖ garapan Garin Nugroho. Film ―Petualangan Sherina‖ adalah film anak-anak pertama di layar lebar dengan isi/cerita yang segar dan natural, berhasil mendapat berbagai penghargaan di FFB, FFI, dan FFAP. Sedangkan film ―Puisi Tak Terkuburkan‖ adalah film Indonesia pertama dengan format beta cam digital, dan mendapat penghargaan di Silver Video Leopard Award, New York, dan Festival Film di Singapura tahun 2002.

Berselang sepuluh tahun kemudian terjadi aksi yang mengejutkan dari para insan perfilman yang menamakan dirinya ―Masyarakat Film Indonesia‖ (MFI). Tanggal 3 Januari 2007 mereka yang tergabung dalam MFI ini melakukan ―aksi protes‖ pengembalian piala Citra secara simbolik di ―Teater Kecil‖ Taman Ismail Marzuki,

Jakarta. Piala-piala yang dikembalikan adalah piala yang mereka peroleh pada tahun 2004-2006. MFI protes dengan hasil penjurian FFI 2006 yang menetapkan film ―Ekskul‖ sebagai film terbaik, karena film tersebut dianggap telah melanggar hak cipta. Mereka yang hadir dan mengembalikan piala-piala Citra-nya antara lain: Mira Lesmana, Riri Riza, Dian Sastro, Nikolas Saputra, Tora Sudiro, dan Chand Parwez (Manurung, E.M., 2008).

(23)

dibubarkan, yaitu Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) karena dinilai tidak melakukan tugasnya dengan baik. Film ―Ekskul‖ yang menjadi pemenang piala Citra tahun tersebut dinyatakan melanggar hak cipta karena menggunakan ilustrasi musik dari film yang lain. Mereka juga meminta agar Undang-Undang tentang Perfilman Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1992 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang baru (Kompas, 1 April 2007).

Riri Riza8 menyatakan sudah saatnya insan perfilman menyatakan sikap, karena pemerintah terlalu mengontrol perfilman, film sebagai produk budaya senantiasa dikekang penguasa dan tidak diberi kebebasan berekspresi. Kreasi dan kreatifitas para sineas juga kurang dihargai, terbukti dengan lolosnya film ―Ekskul‖ yang dianggap melanggar hak cipta ilustrasi musik sebagai film Indonesia terbaik tahun 2006. Kutipan wawancara dengan Riri Riza tentang ini adalah:

―Ketika fungsi film atau paradigma tentang film masih dilihat seperti masa Orde Baru --film harus begini, harus begitu, tidak boleh begini atau begitu, dsb-- itu berbahaya. Yang paling prinsip, adalah ini melanggar hak asasi, melanggar hukum yang paling utama yaitu UUD dan Amandemennya, yang mengakui kebebasan berekspresi, mengembangkan rasa seni....‖ (Wawancara dengan Riri Riza, 11 April 2007).

Di samping itu, MFI juga menyoroti peran lembaga pemerintah yang mengurusi perfilman yang dianggap masih sama dengan bentukan lembaga/departemen penerangan di era Orde Baru, yaitu Lembaga Sensor Film (LSF), dan Badan Pertimbangan Perfilman

8

(24)

Nasional (BP2N). MFI minta lembaga-lembaga tersebut dibubarkan dan diganti dengan lembaga lain yang melibatkan insan perfilman sebagai pelaku. MFI juga meminta pemerintah, yaitu DPR-RI, mencabut UU Nomor 8 Tahun 1992 yang mengatur perfilman Indonesia dan menggantinya dengan undang-undang yang baru. Mereka menilai sektor pendidikan hingga pencanangan strategi kebudayaan tidak dikelola dengan jelas dan baik oleh pemerintah (Kompas, 1 April 2007).

Riri Riza berpendapat bahwa Departemen Penerangan harus dibubarkan, dan memang sudah dibubarkan. Akan tetapi, spiritnya masih terlihat di Lembaga Sensor Film (LSF) yang mengeluarkan ijin peredaran dan penyiaran film Indonesia. Seharusnya, reformasi juga diberlakukan untuk lembaga-lembaga pemerintah yang menangani urusan dan kebijakan tentang perfilman di Indonesia. Hal ini tercermin dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

―Deppen yang memayungi itu kemudian dibubarkan, ada pemindahan area pemikiran dari film sebagai pertahanan ke arah Kesra atau Kebudayaan (sekarang disebut Parsenbud atau Budpar), tapi UU No. 8 Th 1992 tetap sama. Sepertinya, Budpar tetap menginginkan arah perfilman seperti yang dilakukan Deppen di masa lalu.‖ (Wawancara dengan Riri Riza, 11 April 2007).

Garin Nugroho, seorang movie-maker yang lebih senior, menekankan bahwa pada era Sesudah Reformasi politik berubah. Reformasi memberikan ruang bagi para movie-maker untuk berdialog. Mahasiswa bisa bawa poster, bisa protes pada penguasa, mereka punya ruang untuk menyampaikan sesuatu, masih lebih baik situasinya kini dibandingkan dulu di era Orde Baru. Jika dulu militerisme dan anarkisme yang berkuasa, maka sekarang yang lebih berkuasa adalah konsumerisme, benda-benda dan hiburan di sekeliling kita. Hanya saja, perilaku sensor tetap sama, ruang gerak untuk berkreativitas senantiasa dibatasi pemerintah. Berikut penggalan wawancara dengan Garin Nugroho:

(25)

perilaku sensor, yah hampir sama. Cuma dulu itu tidak bisa berdialog, sekarang bisa berdialog. Sekarang bisa protes, mahasiswa dating pun sekarang ngga apa-apa. Biar pun memang mereka yang tetap memutuskan... Dulu kan tidak, harus punya keberanian untuk melawan.‖ (Wawancara dengan Garin Nugroho, 5 Juni 2007).

Aksi MFI ini mendapat tanggapan. Deddy Mizwar yang kala itu menjabat sebagai ketua BP2N mengusahakan untuk menarik kembali semua piala Citra hasil penjurian FFI tahun 2006. Dewan juri kemudian dipilih kembali, dan memasukkan unsur sineas yang dianggap mumpuni seperti Garin Nugroho dan memintanya menyeleksi 29 film yang terpilih sebagai nominasi film terbaik pada tahun tersebut. Undang-undang perfilman yang digugat, kemudian ditindaklanjuti oleh anggota dewan, dan diganti dengan undang-undang yang baru yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Indonesia.

(26)

Hal lain yang berusaha diakomodasi dalam undang-undang perfilman yang baru adalah tentang kebijakan film-film yang mendominasi di bioskop yaitu film asing harus dikurangi. Dalam Pasal 32 UU No.33 Tahun 2009 dinyatakan bahwa, jam pertunjukan untuk film Indonesia di bioskop sekurang-kurangnya sebanyak 60% dari total jam penayangan film-film di bioskop tersebut selama enam bulan berturut-turut. Namun demikian, realisasinya masih jauh dari ketentuan dalam undang-undang tersebut. Film-film yang mendominasi mayoritas layar bioskop-bioskop di Indonesia masih tetap film-film asing, sedangkan film Indonesia diputar jauh di bawah angka 60% yang ditetapkan sebagai patokan dalam undang-undang.

Dokumentasi Film Indonesia Pasca Reformasi

Beberapa film Indonesia Pasca Reformasi yang dipelajari peneliti dengan cara membaca sinopsis atau menonton filmnya selama studi pendahuluan (2007) dan studi lanjutan (tahun 2014-2015), diuraikan pada Tabel 3.2. Tidak semua film ditampilkan di tabel, hanya 103 film saja. Dokumentasi film Indonesia ini diperoleh dari buku kaleidoskop perfilman Indonesia dan website film Indonesia.

Tabel 3.2. Dokumentasi Film Indonesia Tahun 1998-2015

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre 1999

Total 4 film

Puisi Tak Terkuburkan

Kisah nyata seorang penyair didong, Ibrahim Kadir (Ibrahim Kadir), ketika dipenjara tahun 1965 di Tanah Gayo, Aceh. Pengalaman-pengalaman selama 22 hari di dalam penjara itulah yang diceritakan, sampai saat ia dilepaskan karena ternyata salah tangkap. Film ini bagaikan potongan-potongan pengalaman yang sangat menekan dan sarat derita. Tugas Ibrahim --antara lain-- adalah mengarungi kepala rekan-rekan sepenjara yang entah dibawa ke mana, dan tak pernah kembali lagi. Ditembak mati, tanpa kejelasan

Produser : Garin Nugroho Sutradara : Garin Nugroho

(27)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre pengadilannya. Mereka yang dipenjara

juga tak tahu kapan giliran mereka untuk dieksekusi.

Petualangan Sherina

1,4 juta penonton

Sherina (Sherina Munaf) yang terkenal sebagai penyanyi anak-anak dimanfaatkan dalam film musikal ini. Karena ayahnya, Darmawan (Mathias Muchus), mendapatkan kerja pertanian sesuai dengan impiannya, Sherina ikut pindah ke Bandung Utara. Di sekolah baru, ia mendapat "musuh", Sadam (Derby Romero), yang ternyata anak dari "majikan" Darmawan, Ardiwilaga (Didi Petet). Hal ini diketahui Sherina saat berliburan ke rumah Ardiwilaga. Dalam kesempatan ini permusuhan kedua anak tadi berubah menjadi persahabatan, karena keduanya diculik oleh Pak Raden (Butet Kertaradjasa), suruhan Kertarajasa (Djaduk Ferianto), yang ingin menguasai tanah pertanian Ardiwilaga, untuk proyek propertinya.

Produser:

Kisah tiga generasi penduduk Tokyo. Seorang remaja, Maki (Sugiura Ikumi) ingin operasi mata agar lebih lebar dan cantik. Untuk itu ia bisa menjadi artis film porno. Ibunya, Rumi (Emiko Minami) marah karena menganggap hal itu memalukan, padahal kerja ibunya sendiri adalah geisha. Dalam kehidupan ini masuk Rudy (Harry Suharyadi), pegawai biro iklan dan pacar Maki. Rumi juga meminta Maki putus hubungan dengan Rudy yang pernah berpesta geisha dengan teman-temannya di tempat kerja Rumi.

(28)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ harus mencari uang sepulang sekolah. Mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk mengamen atau membantu membawakan barang belanjaan. Mereka tetap riang dan suka bernyanyi sambil berlari-lari, atau ketika menyembunyikan hasil kerjanya di kaleng yang kemudian dikubur di dalam tanah. Orangtua kandung Jojo, suami-istri Jefry, adalah orang kaya yang baik hati.

Produser :

Film ini menampilkan boneka sebagaimana serial "Si Unyil" di televisi. Tiga bersaudara usia Sekolah Dasar, Tobi, Andi dan Icha, suka bermain di laboratorium milik kakek mereka yang jenius. Salah satu karya kakeknya itu adalah mesin penjelajah dunia, yang bisa membawa penumpangnya pergi ke tempat-tempat yang mereka inginkan dalam sekejap mata. Setelah melalui kumparan waktu, mereka terdampar di pulau berbukit yang sepi. Ternyata di situ ada empat sekawan penjahat pembuat dollar palsu. Karena takut perbuatannya terbongkar, para penjahat itu berusaha mengenyahkan tiga bersaudara itu.

Sutradara :

(29)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre memberikan disket, hingga ia

dikejar-kejar tapi selalu luput.

Devina, sebagai penyebar dusta. Dalam pelariannya dia kelaparan dan sempat ngamen bersama anak lelaki, bertemu penjahat dll. Dia dititipkan di panti asuhan oleh ayah kandungnya, Budi (Deddy Mizwar), karena dituduh mencuri dan berbohong oleh ibu tirinya. Budi meninggal ditabrak mobil sehabis menengok Bunga. Pengurus panti asuhan sibuk mencari Bunga

Produser : dengan produser rekaman, Aswin, yang terpesona melihat gaya joget Tina. Tina dan Tono diusir dari rumah kontrakan. Tina dititipkan ke neneknya, di mana tinggal juga dua anaknya, Mak Wece dan Opang.Mak Wece dan anaknya, Ivi kesal dengan Tina, karena iri lebih diperhatikan oleh nenek mereka. Tina lalu diajak bergabung dengan kelompok Lenong Bocah. Tina jadi kaya raya, demikian pula Mak Wecek yang jadi manager Tina. Mak Wecek ternyata tetap iri dan ingin anaknya, Ivi, bisa rekaman. Mak Wecek lalu merancang penculikan Tina agar bisa dapat uang tebusan untuk membiayai rekaman Ivi. Penculikan gagal.

Produser : sangat pribadi tentang kesewenang-wenangan. Juga tentang suatu masalah yang keberadaannya meragukan, yaitu rasisme. Rasisme sulit dibicarakan secara terbuka

Sutradara : Tintin Wulia

(30)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre sehingga simbolisasi belaka film ini

cukup ambigus, sehingga inti cerita yang bisa didapat pada akhirnya bisa sangat subjektif - persis seperti yang biasanya terjadi dalam permasalahan konflik antar ras.

Catatan

Lolos seleksi dan atau penayangan di festival film:

 Eatcarpet, 2001-2003, SBS TV - Australia.

 16th Singapore International Film Festival (Singapura: 2003. Festival Fringe)

 19th Hamburg International Short Film Festival (Hamburg, Jerman: 2003. Special Program "Hati-Hati Film Pendek Indonesia")

 OK.Video, Jakarta Video Art Festival (Jakarta, Indonesia: 2003)

 7th Toronto Reel Asian International Film Festival (Toronto, Kanada: 2003. Special Program "Indonesia Unexpected")

 11th New York Underground Film Festival (New York, Amerika Serikat: 2004. "Sneak Attack" Programme)

 Cinematexas 9 (Texas, Amerika Serikat: 2004. International competition)

(31)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Wiryawan), Gita (Melanie Ariyanto), Gombal (Rony Dozer), Sani (Harry Panca), selalu penasaran mencari setan. Berbagai tempat yang didatangi tak dijumpai yang dicarinya. Sampai mereka mendapat kabar di daerah yang bernama Angkerbatu. Di sinilah berbagai pengalaman dirasakan mereka. Sementara Sani diam-diam berusaha bermain jelangkung, sebuah permainan yang konon bisa mendatangkan arwah. Sebuah film dengan kekuatan fotografi, editing, dan suara untuk membangun suasana ngeri.

Produser televisi ganteng Rio Danisworo (Marcell Siahaan) terjebak dalam sebuah lift yang macet bersama penulis muda cantik Renata Adiswara (Rachel Maryam). Bukannya panik, mereka malah saling kesetrum. Namun karena terburu-buru menghadiri pertemuan, Roi hanya sempat bilang akan jumpa lagi di lobby gedung. Lama menanti dan tak kunjung datang membuat Renata meninggalkan lobby. Ternyata pertemuan kebetulan membuat mereka saling penasaran dan berusaha mencari tahu.

(32)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/

Cinta (Dian Sastrowardoyo), 17 tahun, dipercaya mengelola majalah dinding sekolah bersama sahabatnya, Milly (Sissy Priscillia), Karmen (Adinia Wirasti), Alya (Ladya Cheryl), dan Maura (Titi Kamal). Mereka ini juga membentuk sebuah "geng". Kenyamanan persahabatan ini berubah ketika Cinta bertemu dengan Rangga (Nicholas Saputra), yang angkuh dan dingin, padahal mereka satu sekolah meski kehadiran Rangga tak terasakan. Rangga membawa Cinta masuk dunia "lain" dari yang dihidupinya selama ini.

Produser : Jawadwipa) mendapat tugas oleh guru kelas untuk menaikkan bendera pada upacara bendera pada hari Senin. Menjelang pulang ibu guru memberikan bendera pada Budi untuk dicuci terlebih dahulu. Di rumah Budi merendam bendera itu untuk esok harinya akan dicuci. Budi yang ketiduran, tidak sadar bahwa ember rendaman itu dipakai untuk mencuci bajaj milik tetangganya, Bang Ali (Sofyan D Surza). Budi panik ketika mengetahui benderanya hilang.

Produser :

Komunikasi non-verbal antara anak dan orang tua pada pagi hari di satu keluarga Indonesia.

Lolos seleksi untuk masuk dan ditayangkan pada festival:

- Jakarta International Film festival, Indonesia, 2003

- 7th Toronto Reel Asian International Film Festival, Canada, 2003

(33)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre - Cinemasia Amsterdam, 2004

-Experimento Film and Video Festival, 2004

- 17th Singapore International Film Festival, 2004

-Brazilian Student Film Competition, 2004

- 5th Short Shorts Asia, 2004

-9th Pusan International Film Festival, 2004

-30th Clermont Ferrand Intl Short Film Festival, France, 2007

Drama

Ketok

Suatu malam seorang ibu mendengar pintunya diketuk secara misterius beberapa waktu kemudian sang suami mengalami kasus serupa.

Lolos seleksi dan atau penayangan di festival film:

Exhibition, "Transit: 8 Views of Indonesia" at 24HR Art, The Northern Territory Centre of Contemporary Art, Darwin - and Umbrella Studios, Townsville (2003) - Australia.

Rotterdam and Cinema de Balie, (Lantaren Venster, Amsterdam, Belanda: 2003. "Indonesia Calling" Programme)

Screening at Indo-Cine-Club, (Nijmegen, Belanda: 2003)

Worms Festival V "House Light Television" at Plastique Kinetic Worms (Singapura: 2004, Exhibition)

Flying Circus Project 04 Process Showing, Theatreworks (Singapura: 2004)

Sutradara : Tintin Wulia

(34)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre

Institute of Contemporary Art (ICA) (London, Inggris: 2005. Insomnia Programme)

Yokohama Triennial (Yokohama, Jepang: 2005. Politics of Fun Programme)

Slambangric ketychuck

Sebuah film dokumenter tentang pintu-pintu warga Melbourne, Australia. Sebuah ensemble dari suara 24 pintu yang menampilkan cerita pemiliknya tentang pintu mereka. Sebuah eksperimen

Lolos seleksi dan atau penayangan di festival film:

16th Singapore International Film Festival (Singapura: 2003. Festival Fringe)

SBS TV (Australia: 2002-2004, Eatcarpet Programme)

9th Pusan International Film Festival (Pusan, Korea: 2004)

Flying Circus Project 04 Process Showing, Theatreworks (Singapura: 2004)

Festival Film Pendek Indonesia-Australia (Jakarta, Indonesia: 2004)

Institute of Contemporary Art (ICA) (London, Inggris: 2005. Insomnia Programme)

Yokohama Triennial (Yokohama, Jepang: 2005. Politics of Fun Programme)

Produser : Ariel Valent

Sutradara:

Tintin Wulia

(35)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Marsinah yang menjadi lambang perlawanan buruh karena dibunuh saat memperjuangkan hak-hak buruh di tempatnya bekerja, PT Catur Putra Surya (CPS), di Sidoarjo. Kasus ini belum jelas ujung pangkalnya ketika film ini dibuat dan diedarkan. Tidak mengherankan bila di akhir film itu muncul pertanyaan: kalau terdakwanya dibebaskan Mahkamah Agung, lalu siapa yang membunuh Marsinah. Film ini tidak mengisahkan secara langsung cerita tentang tokoh Marsinah itu, tapi berkisah seputar penangkapan dan pengadilan Kematian Marsinah terjadi di tengah campur tangan militer dan polisi dalam upaya mengatasi aksi protes itu. Di tengah carut-marut itu, kematian Marsinah tak cukup terjelaskan dalam film.

Rea (Marcella Zalianty) mengajak pacarnya, Zacky (Iqbal Rizantha), main jelangkung di rumahnya. Sahabat-sahabat Rea mengecam keisengan Rea. Rea tak mengindahkan peringatan mereka. Keisengan Rea berbuah petaka. Sejak itu mereka diganggu mahluk halus dengan cara berbeda-beda. Rea mencari jalan agar lepas dari gangguan hantu. Zul, kakak Zacky, yang juga terkena gangguan hantu.

Sutradara :

Seorang remaja, Arnold (Octavianus R. Muabuay) terpana melihat gadis (Lulu Tobing) berurai air mata turun dari kapal di dermaga sebuah kota di Papua. Ia terus mengikuti semua kegiatan gadis itu, hingga membuat cemburu sahabatnya, Sonya (Sonya S. Baransano). Kisah ini ditaruh dalam konteks pergolakan sosial-politik

(36)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre Menciummu

Sekali Saja

Papua yang ingin merdeka, meski boleh dibilang tidak ada hubungan antara kisah tadi dengan pergolakan politik di Papua, kecuali bahwa ayah Arnold adalah salah seorang aktivis pergerakan Papua. Tokoh sang gadis juga dibiarkan misterius hingga ke akhir film. Penonton tidak pernah diberi tahu apapun tentang gadis ini.

Catatan

Pengambilan gambar dengan video digital yang lalu ditransfer ke seluloid 35 mm. Karya ini berangkat dari cerpen "Sang Mahasiswa dan Sang Wanita" karya Laslo Kamondy. Mendapat penghargaan "special mention" dari Network for Promotion of Asian Cinema (NETPAC) dalam Seksi Forum Internasional Festival Film Berlin 2003.

Aronggear, Minus C Karoba,

Lulu Tobing

Drama

Arisan!

Ingin menggambarkan kehidupan manusia-manusia usia 30an tahun di Jakarta. Arisan menjadi ajang mereka berkumpul dan memperlihatkan kemapanan hidup mereka. Di balik itu, anggota arisan mempunyai masalah-masalah pribadi yang coba ditutupi. Tiga sahabat lama, Sakti (Tora Sudiro), Meimei (Cut Mini Theo) dan Andien.

Produser :

Sari Nirmolo, Dina Ponsen

Pemeran : Jajang C Noer, Rachel Maryam, Surya Saputra, Aida Nurmala, Cut Mini Theo, Tora S

(37)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ keluarganya yang harmonis. Pacarnya, Ergi adalah orang yang sangat sabar dan penuh perhatian. Yang ia keluhkan hanyalah ibunya yang sangat protektif. Semua itu berubah setelah hadirnya Adit, anak dari seorang teman bapaknya. Sifat Adit yang angkuh, judes dan cuek membuat Tita sangat kesal. Apalagi wajahnya yang ganteng menarik perhatian banyak orang. Mau tak mau Tita harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya menjodohkan mereka berdua. Semua itu bagai mimpi buruk bagi Tita.

Produser :

Sunil Soraya

Pemeran : Didi Petet, Titi Kamal, Yogi

Semuanya baik-baik saja. Kami sudah kehilangan jejak dari kehidupan manusia, tapi yakinlah, semuanya pasti OK.

Catatan

Lolos seleksi dan atau penayangan di festival film:

 OK.Video, Jakarta Video Art Festival (Jakarta, Indonesia: 2003)

 7th Toronto Reel Asian International Film Festival (Toronto, Kanada: 2003. "Indonesia Unexpected" Programme)

 "Indonesia Rising", Cinemasia Film Festival, Amsterdam (2003) - The Netherlands.

 3rd Short Crap Film Festival (Melbourne, Australia: 2004. International experimental)

(38)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre Singapore.

 4th Asian Film Symposium, Substation (Singapura: 2004)

 Flying Circus Project 04 Process Showing, Theatreworks (Singapura: 2004)

 Festival Film Pendek Indonesia-Australia (Jakarta, Indonesia: 2004)

 International Film Festival Rotterdam (Rotterdam, Belanda: 2005. S.E.A. Eyes)

 The Sesc - Saõ Paulo & "Borders" at Porte Allegro Museum of Contemporary Art, (Saõ Paulo, Brazil: 2005. World Social Forum)

 Institute of Contemporary Art (ICA) (London, Inggris: 2005. Insomnia Programme)

 Synch Festival (Yunani: 2005)

 Istambul Biennial (Turki: 2005)

 Yokohama Triennial (Yokohama, Jepang: 2005. Politics of Fun Programme).

2004

Total 31 film

30 Hari

Mencari Cinta

Kisah tiga sahabat, Keke (Dinna Olivia), Gwen (Nirina Zubir) dan Olin (Agnes), yang berkawan sejak SMA dan saat kuliah masih bersama-sama tinggal di rumah orangtua Olin. Suatu saat mereka tersadar belum punya pacar, dan mereka sepakat untuk mencari pacar.

Produser : Dimas Djayadining-rat

Pemeran : Revaldo, Agnes, Dinna Olivia, Nirina Zubir

(39)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ sahabat, Byan (Laudya Cynthia Bella), Ketie (Angie) dan Stella (Ardina Rasti) adalah korban dari keluarga berantakan. Bersenang-senang ke diskotik, dan mendapat uang dari oom-oom, bahkan dengan menjual keperawanan, menjadi hidup keseharian mereka. Byan sebagai tokoh utama tetap menjaga keperawanannya. Byan tak bisa mengikuti teman-temannya.

Produser :

Kisah diawali dengan gambaran masa kecil empat sahabat: Ardi, Nino, Apin, dan Damar. Ardi bercerita tentang dirinya dan ketiga kawannya. Empat sekawan ini menjadi saksi utama saat Obet, preman setempat, masuk penjara. Mereka tidak menyangka, masalah inilah yang mengubah banyak hal di masa depan. Terjadi perkelahian antara Obet dan keempat sahabat itu. Obet menusuk Apin hingga tewas. Damar yang selalu menjadi sosok nekad, mengambil langkah terakhir: peluru dari pistolnya menghabisi nyawa Obet dan sekaligus membawanya ke penjara.

(40)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/

Karena informasi dari internet, Choky (Thomas Y Nawilis) mengajak pacarnya berlibur ke sebuah danau yang konon memiliki legenda bahwa mereka yang datang bersama pacarnya akan abadi cintanya. Adiknya, Lola (Indri Satiya Handayani), yang baru putus cinta, dan punya firasat buruk, terpaksa ikut karena desakan ibu mereka. Rombongan ini mendapat halangan, mobil mereka mogok di pinggir hutan. Timbul masalah lain: Lola hilang. Liburan yang diharapkan menyenangkan, mendadak menjadi menakutkan.

Produser : Mina (Luna Maya) terpaksa menginap di rumah sakit, sambil membawa korban yang tertabrak. Berhubung rumah sakit penuh, dokter jaga, Azis (Andika), membuka bangsal 13, yang tak pernah terpakai, karena konon menyimpan misteri.

Produser :

Linda (Tamara Bleszynski) pergi melamar jadi reporter di sebuah stasiun televisi. Di jalan ia melihat seorang perempuan tewas, dan hampir tabrakan dengan seorang perempuan yang tanpa setahunya, menyelipkan mini disc ke tasnya. Mini disc itu ternyata rekaman kejadian perempuan yang tewas di jalan. Ia ke kantor dan melaporkan kejadian itu. Gambar di mini disc jadi tayangan berita dengan Linda jadi pembacanya. Si pelaku melihat tayangan itu dan berusaha menculik Linda.

(41)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Kejujurannya ini seringkali tidak bisa diterima oleh orang sekitarnya. Cintanya pada Indonesia dan dunia.

Produser: rumahnya. Ibunya kemudian meninggal. Banyu (Tora Sudiro) merasa bahwa semua itu kesalahan ayahnya yang gila kerja. Ia lalu pergi dari rumah. Sepuluh tahun kemudian, Banyu yang sudah dewasa, terdorong untuk menemui kembali ayahnya dengan niat menyelesaikan soal masa lalu yang masih menggayutinya.

Produser :

Ini sebuah kisah tentang kesempatan kedua. Ibel (Evan Sanders) adalah Iskandar), adik Iraz. Mereka jatuh cinta dengan cara yang berbeda. Dira selalu bersikap angkuh dan ketus. Sedangkan Ibel selalu bersikap penuh perhatian dan sayang pada Karra.

(42)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/

Realita Cinta dan Rock'n Roll

300.000 penonton

Ipang (Vino G Bastian) dan Nugi (Herjunot Ali) mencoba menemukan jati diri lewat musik dan menomorduakan urusan sekolah. Mereka ditemani Sandra (Nadine Chandrawinata), yang juga punya permasalahan sendiri. Ipang ternyata harus berhadapan dengan kenyataan: ia anak pungut. memiliki latar belakang berbeda-beda, membentuk band bernama Garasi. Mereka ingin menyajikan musik yang berbeda. Latar belakang yang berbeda tadi menjadi kerikil dalam kelanjutan hubungan awak band, meski musik mereka cukup diterima masyarakat/

Produser :

(43)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/

Menjelang hari pernikahan Abi (Richard Kevin) dan Alya (Bunga Citra Lestari), Abi menemukan buku harian Alya. Dari buku harian itulah, Abi mengetahui bahwa Alya masih mencintai Sani (Ben Joshua), pria dari masa Alya di SMU. Kondisi Alya yang sedang koma membuat Abi berniat untuk menemukan Sani.

Produser : tidak tahan dengan tingkah laku murid kelas 3A yang brutal dan semaunya. Semenjak ibu Grace masuk, Dinda (Adhitya Putri) disuruh pindah duduk, mengisi `bangku kosong' di depan meja guru yang biasanya selalu dikosongkan. Awalnya Dinda cuma kesurupan. Namun lama-lama banyak kejadian aneh

(44)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/

Kisah diawali pertemanan sejak kecil antara Rachel (Nirina Zubir) dan Farel (Irwansyah). Mereka tumbuh dewasa bersama. Ketika Farel bertemu Luna (Acha Septriasa), dan bercerita pada Rachel tentang rasa cintanya pada Luna, Rachel pun tersentak. Akhirnya Rachel berusaha keras agar cinta

Denias (Albert Fakdawer) adalah seorang anak laki-laki yang tinggal di kaki pegunungan Jayawijaya. Denias sekolah di sebuah pondok di atas bukit yang diasuh oleh Pak Guru (Mathias Muchus) yang datang dari tanah Jawa.

Produser :

(Nicholas Saputra) dan sepupunya Ambar (Adinia Wirasti) menghabiskan malam penuh keliaran sebelum paginya mereka pergi ke luar kota untuk menghadiri pernikahan saudara mereka. Karena ketinggalan pesawat, mereka lalu mengendarai mobil. Perjalanan menjadi tiga hari lamanya. Mereka tidak sadar bahwa tiga hari perjalanan itu akan berpengaruh pada kehidupan mereka selanjutnya.

(45)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ protektif terhadap Desi, yang berasal dari keluarga yang pecah dan punya penyakit leukemia. Vano selalu setia menemani mereka dan punya perasaan lebih terhadap Desi.

Produser :

Film ini dimaksudkan sebagai parodi terhadap film-film horor maupun kondisi sosial politik, bahkan dunia film Indonesia. selalu gonta-ganti pekerjaan. Ia sadar bahwa dirinya bodoh.

Ini cerita tentang 3 pemuda (Jojo,

(46)

Tahun

Judul dan Jumlah Penonton

Sinopsis & Keterangan

Pemain/ Sutradara/ Produser &

Genre

Enam

Mereka terperangkap dalam rumah bersama sosok hantu yang akan membantai mereka satu persatu.

Veruska,

Putri Patricia,

Christian Wibowo,

Barry Prima

Horor

Legenda Sundel Bolong

Imah (Jian Batari), penari ronggeng, jatuh cinta kepada Sarpa (Baim). Setelah menikah mereka memutuskan untuk pindah ke Desa Sindangsari dan memulai kehidupan baru karena banyak kejadian aneh di desa asalnya.

Produser :

Gope T Samtani,

Subagio Samtani

Sutradara : Hanung Bramantyo

Horor

Get Married

1.389.454 penonton

Mae (Nirina Zubir), Guntoro (Desta 'Club Eighties'), Eman (Amink), dan Beni (Ringgo Agus Rahman) adalah sahabat sekampung yang selalu kompak. Kisah lalu berputar pada Mae yang dianggap jadi beban hidup orangtuanya. Untuk meringankan beban, orangtuanya mencarikan jodoh agar segera kawin. Setiap calon yang datang selalu diganggu oleh sahabat-sahabat Mae. Terakhir muncul Rendy (Richard Kevin), ganteng, kaya, dan merasa tertantang dengan perjodohan ini. Persoalan muncul saat ketika Mae suka pada Rendy.

Produser :Chand Parwez Servia

Sutradara : Hanung Bramantyo

Gambar

Gambar 3.1. Film ―Darah Dan Doa‖               Gambar 3.2. Film ―Tiga Dara‖
Tabel 3.1. Produksi Film Nasional, Impor Film dan Kuota Film Impor
Tabel 3.2. Dokumentasi Film Indonesia Tahun 1998-2015
Gambar di mini disc jadi tayangan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penulis secara pribadi, tertarik untuk mengkaji film The Hunger Games, film karangan Suzzane Collins ini terkesan ingin memvisualisasikan sebuah potret yang

Dari pembuatan film dokumenter BMX Boyolali penulis dapat menyimpulkan bahwa, dengan adanya film dokumenter BMX Boyolali akan membantu masyarakat untuk mengetahui apa saja

Penelitian ini bertujuan untuk me nggambarkan citra Islam dalam Film “?” Tanda Tanya dengan menganalisis tanda-tanda yang terdapat pada adegan film tersebut kemudian

Di dalam sebuah sistem yang dibuat dari subsistem-subsistem yang seimbang, perilaku kolektif sebagai komponen utama gerakan sosial menyatakan ketegangan-ketegangan yang

Untuk menepis sinyalemen dan pernyataan banyak kalangan tentang hubungan “pela dan gandong sekedar sebagai simbol permuka- an”, yang dinilai tidak mampu mencegah konflik yang

Metode penelitian yang digunakan adalah metode linear strategy, sehingga film dokumenter ini, dapat digunakan untuk menginformasikan dan mengenalkan motif batik mbakau

Metode penelitian yang digunakan adalah metode linear strategy, sehingga film dokumenter ini, dapat digunakan untuk menginformasikan dan mengenalkan motif batik mbakau

television” John Fiske, yang membagi film menjadi beberapa level utama yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi1. Unit Analisa dan