TINJAUAN PUSTAKA
Roti Afkir
Roti merupakan makanan manusia yang praktis, yang memberikan
kebutuhan untuk pertumbuhan badan yang sehat. Bahan pokok dalam pembuatan
roti terdiri dari tepung terigu, ragi dan air. Tepung terigu dibuat dari gandum,
karena itu kandungan karbohidratnya cukup tinggi berkisar 70-73%, yang terdiri
dari amilosa dan amilopektin dalam jumlah yang sama (1 : 1). Sedangkan kadar
proteinnya secara umum terdiri dari glutenin dan gliadin (Astawan, 2007).
Roti afkir adalah roti yang sudah tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia
dikarenakan sudah melewati batas ketahanan roti tersebut. Roti afkir sudah tidak
memiliki nutrisi yang sama seperti roti yang belum afkir, dikarenakan roti afkir
sudah mengalami perubahan tekstur, aroma dan rasa. Oleh karena itu, roti afkir
dijual dengan harga yang murah berkisar Rp 1700 sampai Rp 2000 / kg nya. Roti
afkir tidak langsung dibuang karena dapat menjadi pakan alternatif bagi hewan
unggas ataupun hewan lainnya (Daghir, 1995).
Roti yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia mengandung
energi sebesar 215 kilokalori, protein 5,29 g, karbohidrat 44,95 g, lemak 1,9 g,
kalsium 15 miligram, fosfor 94 miligram, dan zat besi 1,24 miligram. Selain itu
di dalam roti coklat juga terkandung vitamin A sebanyak 2 IU, vitamin B1 0,06
miligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 g roti.
Kandungan nitrisi yang terkandung pada roti afkir tidak jauh berbeda dengan roti
Tabel 1. Komposisi nutrisi roti afkir
Jenis Nutrisi Kandungan
Energi metabolis (Kkal/kg) 2952u
Protein kasar (%) 6,47a
Lemak kasar (%) 24,34a
Serat kasar (%) 0,85a
Abu (%) 1,90a
Sumber : uLaboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNPAD ( 2007 ).
a
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Prodi Peternakan Fakultas Pertanian USU ( 2013).
Industri roti yang banyak berproduksi di Indonesia diperkirakan 25%
produksinya terbuang (tidak terjual) yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Selain untuk mengurangi sampah industri, hal ini juga dapat menekan biaya pakan
karena harganya murah dan roti sisa ini selalu tersedia tanpa dipengaruhi oleh
musim. Kandungan protein dalam roti cukup baik, amonia selanjutnya digunakan
untuk menyusun protein mikroba. Untuk keperluan tersebut maka mikroba
membutuhkan sumber energi, terutama yang berupa karbohidrat yang mudah
dicerna yaitu pati atau gula. Apabila perombakan amonia menjadi urea kalah
cepat, maka kadar amonia di dalam darah menjadi naik dan mengakibatkan
keracunan pada ternak yang akhirnya dapat mendatangkan kematian. Roti sisa
pasar mengandung energi yang tinggi sehingga diduga efisiensi pembentukan
protein mikroba lebih baik.
Roti sisa pasar atau dikenal dengan roti afkir dengan kandungan nutrisi
seperti tersebut di atas sudah termasuk baik bila dibandingkan dengan jenis-jenis
pakan ternak yang ada di pasaran atau bahan pakan konvensional. Kelebihan roti
sisa pasar yang lain adalah harganya murah, sehingga diharapkan dapat menekan
biaya pakan. Selain untuk menghemat biaya pakan, pemanfaatan roti sisa pasar
Itik Peking
Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami
perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik
peking dapat dipelihara di lingkungan sub tropis maupun tropis. Itik peking
mudah beradaptasi dan keinginan untuk terbang kecil sekali. Umumnya di
pelihara secara intensif dengan dilengkapi kolam yang dangkal (Murtidjo, 1996).
Menurut Ismail (1996), terdapat beberapa bangsa itik yang termasuk
dalam kategori itik pedaging sedangkan beberapa bangsa lainnya termasuk dalam
golongan itik dwiguna. Bangsa itik pedaging yang paling terkenal dan paling
umum dipelihara adalah itik peking, itik Aylesbury, itik Muskovi dikenal dengan
nama itik Manila.
Itik peking merupakan tipe pedaging yang popular disebut green duck. Itik
ini mempunyai kepala besar juga bundar, paruhnya lebar dan pendek, paruhnya
berwarna kuning akan tetapi ada yang berwarna putih. Leher gemuk pendek dan
tegak. Dada besar, bundar membusung. Kaki pendek berwarna kekuning-
kuningan. Sayap pendek dan kuat, warna bulunya putih (Samosir, 1994).
Dari golongan itik pedaging, itik peking mulai popular di Indonesia.
Produksi dagingnya dapat mencapai 3 sampai 3,5 kg pada umur 7-8 minggu.
Namun meskipun itik peking adalah itik pedaging, pemeliharaannya belum luas,
kemungkinan karena masalah harga saat itik dipasarkan (Anggorodi, 1995).
Itik peking bukanlah suatu jenis itik yang cocok untuk petelur, tetapi lebih
cocok jika itik ditertnakan untuk diambil dagingnya. Sebagai unggas pedaging
• Pertumbuhannya cepat
• Mudah dalam pemeliharaannya
• Hemat biaya
• Tahan terhadap penyakit
Kebutuhan Nutrisi dan Ransum Itik
Bahan makanan pada dasarnya mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh
untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi. Berdasarkan unsur – unsur yang
dikandung oleh bahan makanan perlu disediakan zat-zat nutrisi yang diperlukan
oleh ternak (Murtidjo, 1990).
Rasyaf (1992) menyatakan bahan – bahan makanan yang biasa dipakai
sebagai campuran ransum itik adalah jagung kuning, dedak, bungkil-bungkilan,
tepung ikan, daun petai cina, garam dapur, minyak, tepung darah dan lainnya.
Itik pada fase pertumbuhan membutuhkan banyak unsur gizi bagi
pertumbuhannya, sehingga susunan ransum yang digunakan harus dengan kadar
protein yang tinggi, energi metabolis, vitamin dan mineral yang tinggi. Setelah
masuk kedalam tubuh, unsur gizi digunakan terlebih dahulu untuk kebutuhan
hidup pokok. Jika unsur gizi yang ada ternyata melebihi kebutuhan hidup pokok
maka akan digunakan untuk pertumbuhan, produksi dan disimpan. Kelebihan
energi akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh (Rasyaf, 1988).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa selain pengaruh umur, kebutuhan akan
protein bervariasi menurut tahap pertumbuhan, tipe dan jenis ternak serta iklim di
daerah tersebut. Itik yang masih muda atau itik anakan membutuhkan protein
yang lebih tinggi karena tubuhnya membentuk sel-sel tubuh baru untuk menjadi
pertumbuhannya dibandingkan itik yang telah dewasa. Protein tersebut dapat
diperoleh dari beberapa jenis pakan ternak utama ataupun pakan ternak alternatif
lainnya.
Adapun kebutuhan ransum yaitu makanan dan air minum untuk anak itik
atau itik yang masih muda dan dalam pertumbuhan sel- sel baru dapat dilihat di
bawah ini :
Tabel 2. Kebutuhan makanan dan air minum untuk 100 ekor anak itik/hari Umur
Sumber : Murtidjo, 1996
Kebutuhan gizi untuk itik jenis itik peking ditunjukkan pada tabel 3 di
bawah ini :
Tabel 3. Kebutuhan gizi itik pedaging
Zat Unit 0-4 Minggu 4-6 Minggu
Protein % 20-21 19-20
Energi Kkal/Kg 2800-2900 2900-3000
Sumber: Supriyadi ( 2009 ).
Pada umumnya sumber utama zat- zat makanan dalam ransum unggas
adalah butir-butiran, bungkil – bungkilan, tepung ikan dan hasil ikutan jagung,
gandum dan beras. Sebagai tambahan terhadap bahan-bahan makanan tersebut,
sudah tentu hasil – hasil lain dalam jumlah yang lebih sedikit adalah berguna
Dedak Padi
Dedak padi adalah bahan ransum yang diperoleh dari pemisahan beras
dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil
ikutan dari penumbukan padi. Hal ini mempengaruhi tinggi atau rendahnya
kandungan serat kasar dedak (Parakkasi, 1990).
Tabel 4. Komposisi nutrisi dedak padi
Nutrisi Kandungan
Energy metabolis (Kkal/kg) 1630a
Protein kasar (%) 13a
Jagung sampai saat ini merupakan butiran yang paling banyak digunakan
dalam ransum unggas di Indonesia. Jagung merupakan salah satu bahan makanan
terbaik bagi unggas yang digemukkan karena jagung memiliki energi netto yang
tinggi (Anggorodi, 1995). Berikut komposisi nutrisi jagung di bawah ini :
Tabel 5. Komposisi nutrisi jagung
Nutrisi Kandungan
Energy metabolis (Kkal/kg) 3370a
Protein kasar (%) 8,6a
Bungkil inti sawit adalah hasil ikutan proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini
dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra,1997).
Tabel 6. Komposisi nutrisi bungkil inti sawit
Nutrisi Kandungan
Energy metabolis (Kkal/kg) 2810a
Protein kasar (%) 15,40a
Lemak kasar (%) 6,49a
Serat kasar (%) 9a
Abu (%) 5,18a
Sumber: a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak program studi Peternakan Fakultas Pertanian USU ( 2000 ).
Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan salah satu sumber protein yang penting di
Indonesia. Bungkil kelapa dapat memperbaiki defisiensi methionin dan lisin
sehingga bungkil kelapa merupakan bahan makanan yang potensial bagi unggas
(Anggorodi,1979). Komposisi nutrisi bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi nutrisi bungkil kelapa
Nutrisi Kandungan
Energy metabolis (Kkal/kg) 1540a
Protein kasar (%) 18,56a
Sebagai bahan makanan sumber protein asal tumbuhan, hingga kini
penggunaannya belum dapat digantikan oleh bahan sejenis lainnya. Bungkil
kacang kedelai ini produksinya di Indonesia boleh dikatakan minim. Bungkil
kacang kedelai merupakan limbah dari produksi minyak kedelai dan inilah yang
digunakan, jadi bukan kacang kedelai mentah biasa. Bungkil kacang kedelai ini
mempunyai kandungan protein yang berbeda sesuai kualitas kacang kedelainya.
Tabel 8. Komposisi nutrisi bungkil kacang kedelai
Nutrisi Kandungan
Energi metabolis (Kkal/kg) 2290a
Protein kasar (%) 40,10a
Lemak kasar (%) 5,43a
Serat kasar (%) 4,32b
Abu (%)
Sumber :aSiregar (2009) dan b Hartadi (2005)
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan sumber protein utama bagi unggas, karena bahan
ransum tersebut mengandung semua asam-asam amino yang dibutuhkan dalam
jumlah cukup dan teristimewa merupakan sumber lisin dan methionin yang baik.
Penggunaan harus dibatasi mencegah bau ikan (Anggorodi, 1985). Komposisi
nutrisi tepung ikan dapat di lihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi nutrisi tepung ikan
Nutrisi Kandungan
Energy metabolis (Kkal/kg) 2565a
Protein kasar (%) 55a
Lemak kasar (%) 8a
Serat kasar (%) 1a
Abu (%) 11,7b
Sumber :aSiregar (2009) dan b Hartadi (2005)
Minyak
Sumber energi paling tinggi untuk digunakan dalam ransum unggas adalah
lemak dan minyak yang diperoleh dari industri pengolahan daging, hasil ikutan
pembuatan sabun, pemurnian minyak nabati atau minyak nabati itu sendiri.
Minyak nabati memiliki nilai energi metabolis yang lebih tinggi dibandingkan
Konsumsi Ransum
Pertumbuhan ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum
yang dikonsumsinya, dimana dikemukakan oleh Wahyu (1992), bahwa konsumsi
ransum dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk makanan,
stress, besar badan dan produksi.
Ransum disebut seimbang bila mengandung zat – zat nutrisi yang
berkualitas dan kuantitas yang cukup untuk kesehatan ternak, pertumbuhan dan
untuk produksi. Tingkat energi dalam ransum akan menentukan banyaknya
makanan yang dikonsumsinya (Anggorodi, 1985). Tinggi rendahnya konsumsi
ransum tergantung oleh beberapa faktor yaitu besar tubuh ternak, aktifitas ternak,
suhu didalam dan di sekitar kandang, kualitas dan kuantitas ransum yang
diberikan serta pengolahannya (Siregar, 2009). Gellespie (1987)
disitasi Sinaga (1998) menambahkan temperatur lingkungan merupakan
pengaruh yang besar terhadap konsumsi harian. Konsumsi rendah bila
temperature tinggi dan meningkat bila temperatur rendah.
Tingkat konsumsi ransum banyak dipengaruhi oleh palatabilitas ransum,
sistem tempat pakan dan pengisian tempat pakan, kepadatan ternak perkandang.
Tingkat konsumsi dilain pihak juga dipengaruhi oleh nafsu makan dari ternak dan
juga kesehatan ternak (Wahyu,1992).
Pertambahan Bobot Badan
Kemampuan ternak untuk zat – zat makanan yang terdapat dalam ransum
menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan dari ternak
tersebut. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan
Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat kompleks, meliputi
pertumbuhan bobot badan dan semua bagian tubuh secara serentak dan merata
(Maynard et al, 1979), sedangkan menurut Ketaren (2002) pertumbuhan
merupakan pertambahan bentuk dan bobot jaringan tubuh.
Laju pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan bobot badan per
satu satuan waktu, dimana laju pertumbuhan ini akan meningkat sejak menetas
hingga mencapai umur dewasa kelamin dan kemudian laju pertumbuhan itu akan
menurun. Pada awal kehidupan, ternak mengalami pertambahan bobot badan yang
lambat diikuti suatu periode pertumbuhan yang cepat dan akhirnya menurun
kembali, sehingga pola umum laju pertumbuhan dengan menghubungkan
parameter satuan bobot badan dan umur mengikuti kurva
sigmoid (Ketaren, 2001).
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum dalam
satu minggu dengan pertambahan berat badan yang dicapai pada minggu itu. Bila
ratio kecil berarti pertambahan berat badan memuasakan atau ternak makan
dengan efesien (Rasyaf, 1996).
Sedangkan menurut Bharoto (2001) konversi ransum adalah perbandingan
antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada satu satuan waktu tertentu dengan
produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah telur) dalam
kurun waktu yang sama. Konversi ransum adalah suatu indikator teknis yang
dapat menggambarkan tingkat efesiensi penggunaan ransum. Semakin rendah
Angka konversi ransum akan baik bila hubungan antara energi dan protein
dalam ransum telah disesuaikan. Perbandingan tersebut bervariasi dipengaruhi
oleh sejumlah faktor seperti: umur, bangsa, kadar energi protein
ransum,temperatur dan kesehatan unggas (Leeson, 1991).
Angka konversi ransum menunjukan tingkat efesiensi penggunaan ransum,
jika angka konversi ransum semakin besar maka penggunaan ransum kurang