• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIDANG ARSIP DAN MUSEUM"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

RISALAH

PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

DESA

JENIS RAPAT: RDPU

TANGGAL: 28 JUNI 2012

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

(2)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT PANITIA KHUSUS DPR RI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA Tahun Sidang Masa Persidangan Sifat Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Hadir : : : : : : : : : : : 2011-2012 IV Terbuka

Rapat Dengar Pendapat Umum Kamis, 28 Juni 2012

Pukul 13.30 WIB - 16.20 WIB

Ruang Pansus B, Nusantara II Lt. 3 DPR RI KHATIBUL UMAM WIRANU

MINARNI,SH

Masukan/tanggapan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Desa. PIMPINAN

1. Drs. H. Akhmad Muqowam

2. Khatibul Umam Wiranu, SH, M.Hum 3. Budiman Sudjatmiko

Anggota Pansus RUU tentang Desa : Fraksi Partai Demokrat:

4. Drs. H. Abdul Gaffar Patappe 5. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SE 6. Paula Sinjal, SH, M.Si

7. Ir. Nanang Samodra, KA, M.Sc. 8. Drs. Eddy Sadeli, SH

Fraksi Partai Golongan Karya: 9. Nurul Arifin, S.Ip, M.Si 10. Drs. Taufiq Hidayat, M. Si 11. H. Hardisoesilo

12. Ir. Ali Wongso Halomoan Sinaga

Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia: 13. Ganjar Pranowo

14. Arif Wibowo

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: 15. Hermanto, SE,MM.

16. Ir. Abdul Azis Suseno, MT. Fraksi Partai Amanat Nasional: 17. Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si

(3)

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan: -

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 18. H. Abdul Malik Haramain, M. Silakan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya: 19. Drs. H. Harun Al Rasjid

Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat: 20. Drs. H. Harun Al Rasjid

Undangan Pakar:

1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. 2. Prof. Erani Yustika, Ph.D.

3. Otto Syamsudin Ishak, MA 4. DR. M. Amin Lasaiba 5. Husni Muadz, MA, Ph.D.

(4)

JALANNYA RAPAT:

KETUA RAPAT (KHAIBUL UMAM WIRANU/F.PD):

Bapak-Bapak Para anggota Pansus RUU Pemda dan Desa yang saya hormati, Para narasumber yang hadir pada kesempatan hari ini;

Prof. DR. Heru Nugroho, belum datang?

Prof. DR. Aryahadi Dharmawan, oh belum Prof. ya? Mudah-mudahan Prof. Erani, belum hadir ya?

DR. Otto Syamsuddin Ishak juga belum hadir, oh sudah? Dari Aceh Pak ya?

DR. Moh. Amin Lasaiba, lasaiba illalah, tidak ada tempat hamparan yang luas kecuali hamparan Tuhan, kayaknya begitu artinya. Lasaiba,

Sdr. Muzni Muad, PHd. yang saya hormati, Dan para hadirin yang saya cintai.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, pada kesempatan hari ini kita akan mendengarkan beberapa narasumber yang sudah hadir disini, dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Desa. Mungkin pada sore hari ini kita fokus ke Desa dulu.

Hadir pada kesempatan hari ini anggota Pansus RUU Desa dari F.PD, semua yang tanda tangan ada 9 orang dari 30 anggota. Seperti yang kita bicarakan di ruang pimpinan tadi Pak, jadi 1 orang anggota DPR Itu ada pada jam yang sama itu bekerja untuk 4 rapat, begitu. Jadi kadang-kadang kita kesulitan membagi waktu. Tapi biasanya nanti hadir Insya Allah pada jam-jam berikutnya. Dari samping kiri Pak Abdul Wahab Dalimunthe, saya perkenalkan ini dari F. PD, mantan Wakil Gubernur Sumatera Utara. Kemudian Pak Nanang Samudra, ini birokrat dari NTB, birokrat karier, ini yang meniti di partai politik sekarang. Kemudian ada kamus berjalannya undang-undang F.PDIP, Saudara Arif Wibowo. Ini kamus berjalan ini Pak, terutama Undang-undang Politik, pakar Undang-undang Politik, mulai dari Pemilu, Dapilnya Jawa Timur, orangnya keras, hatinya sih lembut. Kemudian yang duduk disebelah depan kanan ini Pak Ketua Rancangan Undang-undang Desa ini, Pak Akhmad Muqowam. Karena anggotanya belum ada yang hadir, Beliau mengalah duduk disitu. Sebenarnya maqomnya disini, Pak Muqowam ini. Ini senior di Senayan ini, pada saat mungkin kita masih, saya masih aktivis, Beliau sudah disini. 9 kali ya? Kemudian senior juga, sebelah kanan kami, Bapak Ali Wongso Sinaga, dari F. PG, dan disamping kanan saya Saudara Budiman Sudjatmiko, tidak asing lagi, wakil ketua Pansus RUU Desa dan Pemda. Dan saya sendiri, Khatibul Umam, juga wakil ketua Pansus RUU Desa dan Pemda.

Pada sore hari ini saya kira kita fokus saja di Pansus RUU Desa, waktunya juga cukup banyak tersedia. Biasanya kita akhiri perbincangan ini sampai jam 16.00 WIB, maksimal. Ya masing-masing mungkin bisa membagi waktu, apa 15 menit atau 20, kemudian kita berdialog. Karena masing-masing fraksi akan merespon gagasan Bapak-Bapak sekalian, dan Rancangan Undang-undang ini datang dari Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri sehingga kewajiban masing-masing partai adalah mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah untuk disandingkan dalam perbincangan nanti. Tentu saja RUU Pemerintah bisa Bapak-Bapak anggap belum memenuhi syarat, tapi kita mungkin lebih fokus pada hal-hal krusial yang saya kira Bapak-Bapak sudah membaca naskah akademik, kalau memang dikirim. Selamat datang Pak Harun Al Rasjid, ini birokrat juga,sejak kecil sudah jadi birokrat. Dari F. Partai Gerindra, partainya Pak Prabowo, mantan gubernur dan tidak tahu, masih ingin jadi gubernur atau tidak. Kemudian selamat datang juga Pak Prof. Erani Yustika, PH.D. Selamat datang, terima kasih atas waktunya.

Baik, Bapak-Bapak sekalian,

Karena tidak ada Ibu ya, anggotanya tidak ada Ibu juga ini. Bapak-Bapak sekalian, kita urut saja, kesempatan pertama pada DR. Aryahadi, berturut-turut Prof. Erani dan seterusnya, mudah-mudahan bisa membagi waktu secara tepat dan dari meja Pimpinan hanya memberikan satu catatan bahwa Rancangan Undang-undang Desa ini sudah 3 kali Pak. Jadi di era tahun 1999-2004 itu pernah diajukan oleh Pemerintah dengan nama Rancangan Undang-undang Desa, dan ditolak oleh Parlemen. Pemerintahan Desa. Kemudian 2004-2009 diajukan oleh DPR atas nama Rancangan undang-undang Pembangunan Desa. Ditolak oleh Pemerintah. Nah yang ketiga kali ini, tanpa nama dulu, Rancangan Undang-undang Desa, itu saja, netral. Memang stakeholdernya banyak, banyak yang punya kepentingan atas

(5)

undang ini, tapi kita sepakat di Pansus ini, agar Desa lebih baik dari desa-desa sebelum ada undang-undang ini. Itu saja mukadimah dari meja Pimpinan, saya persilakan DR. Arya.

PAKAR (DR. IR. ARYA HADI DHARMAWAN, M.Sc.) Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama terima kasih kepada Pansus RUU Desa yang berkenan mengundang saya untuk duduk disini, sekedar untuk memberikan pikiran-pikiran yang mungkin selama ini berseliweran tentang RUU Desa, yang tadi Pak Umam mengatakan,yang tadi belum ada nama, apakah Undang-undang Desa atau undang-undang apa. Memang kalau dilihat didalamnya ini, tadi pagi saya sampai menonton bola Spanyol lawan Portugal, saya sempat ber-BBM, kami punya BBM RUU Desa. Tiba-tiba saya itu kaget, ada Pasal 70 sampai 74 itu. Dan itu mengagetkan saya. Dan itu sejak tahun 2006 ini mengawal teman-teman dari Kemendagri, menyusun Rancangan undang-undang ini. Dan setelah masuk di DPR memang kemudian tidak lagi kita mengawal, tapi kemudian tiba-tiba ada Pasal 70-74 yang saya anggap itu sebetulnya roh dan jasadnya almarhum RUU Pembangunan Desa, yang waktu itu pernah diajukan oleh, kalau tidak salah oleh Kementerian PU dan PDT,yang kemudian batal. Nah tiba-tiba kemudian masuk disini. Sehingga saya kemudian tadi pagi langsung BBM, ini sebenarnya RUU Desa atau RUU Desa plus? Atau RUU Pembangunan Desa? Ini memang kemudian menjadi agak merisaukan, begitu. Sekitar sebulan yang lalu kami di Yogya bersama Pak Otto juga, membahas tentang RUU Desa dari rumusannya DPD. Rumusannya agak berbeda, dan disana tidak ada kata perdesaan. Jadi khusus tentang desa.

Ibu-Bapak sekalian,

Saya ingin memulai begini, sebetulnya keresahan dari teman-teman di publik ya, dan akademisi, melihat undang-undang ini adalah jangan-jangan, semangat Undang-undang No. 5 Tahun 1979 ini muncul lagi. Ini yang sering saya dapatkan. Undang-undang No. 5 Tahun 1979 itu kan semangatnya penyeragaman. Dan kalau Bapak-Bapak lihat di pasal-pasal terutama tentang Pemerintahan Desa, itu hampir sama persis, sebetulnya. Adalah modifikasi ya, tetapi semangatnya tidak me-recognisi, ini yang teman-teman kebanyakan dari lembaga adat mengkritisi, tidak ada recognisi dari pengaturan-pengaturan tentang tata kelola masyarakat, tata pengaturan sosial kemasyarakatan yang berbasiskan adat. Kita punya Keret di Papua, punya ketemenggungan di Kalimantan, punya mungkin gampong di Aceh dan seterusnya. Itu rasanya malah tidak mendapatkan tempat yang pasti didalam RUU ini. Jadi keraguannya adalah, jangan-jangan ini came back Undang-undang No. 5 Tahun 1979.

Dan tadi yang lebih mengagetkan lagi, ada perdesaan. Saya ingin mengklarifikasi lebih dulu secara terminology sosiologis, kebetulan saya orang sosiologi. Kata “pembangunan desa, pembangunan perdesaan dan desa” ini multitafsir. Kalau kita bicara pembangunan perdesaan, itu kita bicara spasial, bicara ruang. Kalau kita bicara pembangunan desa, kita bicara pembangunan fisik. Fisik infrastruktur, fisik masyarakat dan seterusnya. Tetapi, undang-undang ini memberikan ketentuan, memberikan definisi pada Bab I Ketentuan Umum No. 5, Desa disini adalah kesatuan masyarakat hukum. Jadi saya tulis disini, ini adalah kesatuan masyarakat hukum, bukan spasial. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa di Pasal 70 -74, ada pengertian desa sebagai pengertian spasial. Ini kan ambigu jadinya. Ini saya takutnya kalau ini diundangkan, langsung masuk MK. Artinya, ada ketidakkonsistenan. Ini catatan-catatan saya secara cepat tentang undang-undang ini.

Kemudian, masih di Ketentuan Umum Bab I. Kalau kita mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum, maka konsekuensinya desa adalah menjadi hierarki pengambilan keputusan hukum. Jadi dia memproduksi undang-undang, setara undang-undang, namanya Perdes. Tetapi persoalannya kemudian, ketika itu dilepaskan, pertanyaan ini pernah terjadi, ketika itu Mendagri Pak Mardiyanto sewaktu kami membahas RUU Desa, tiba-tiba ketika Pak Mardiyanto menjadi menteri, saya masih ingat betul, Beliau di Sulawesi mengatakan, “RUU Desa ini akan memberikan peluang desa sebagai entitas pengambilan keputusan hukum, karena dia kesatuan masyarakat hukum, otonomi tingkat III”, kalau tidak salah begitu bunyinya, Beliau pernah mengatakan begitu. Nah, ramai di publik. Akhirnya, hilang memang isu itu, dan kita tetap stake pada kita punya otonomi terakhir ditingkat kabupaten saja. Jadi sebetulnya

(6)

kalau No. 5 ini kita ikuti, ketentuan umum, maka pertanyaannya sesungguhnya, masihkah kita ingin melepaskan desa menjadi sebuah entitas yang otonom? Sejauh mana dia otonom? Ini pertanyaan. Sehingga kemudian didalam diskusi-diskusi akademik, ketika desa membangun pemerintahan, karena dia kesatuan masyarakat hukum. Lalu pemerintahan dia itu sifatnya apakah sekedar local government, mewakili pemerintah diatasnya? Kalau episentrumnya adalah kabupaten, maka desa adalah satelit dari kabupaten, dia local government dari kabupaten, atau dia bisa menjadi self governing community, desa yang memerintah dirinya sendiri. Jadi jauh lebih otonom itu, kalau self governing community. Tapi faktanya sebetulnya, di desa-desa di kesatuan-kesatuan masyarakat di masyarakat Indonesia, banyak self governing community itu. Desa di Bali itu ada pakraman, itu self governing community. Basisnya adalah pura. Kemudian gampong di Aceh, kemudian negeri di Maluku, kemudian Keret di Ondoavi di Papua. Pertanyaannya adalah, kedudukan desa ini nanti seperti apa? Ini pertanyaan yang tidak pernah selesai didiskusikan ditingkat akademisi, Bapak-Ibu sekalian. Nah saya mengangkat satu isu itu sebagai satu hal yang mungkin perlu kita diskusikan dan sampai hari ini memang tidak pernah selesai.

Kemudian ijinkan saya, mungkin kurang sistematis, karena waktunya tidak begitu banyak. Saya ingin masuk kepada isu kedua, tentang persoalan ketika desa itu dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum, bukan sebagai ruang spasial. Maka kemudian memang, saya tidak masuk ke bab per bab, dan pasal per pasal. Saya hanya ingin menyoroti beberapa pasal yang memang menjadi interest saya, mungkin nanti teman-teman pakar yang lain bisa melihat pasal yang lain yang mungkin saya tidak sempat lihat.

Saya ingin masuk ke masalah penggabungan desa. Ibu-Bapak sekalian, kita sampai hari ini tidak tahu berapa jumlah desa di Indonesia. Karena katanya hampir tiap detik desa berkembang biak di Indonesia ini. Ada yang mengatakan 70 ribu, 77 ribu, tapi tidak pasti berapa sesungguhnya, karena terus berkembang. Nah isu tentang pengembangan, pemekaran dan penggabungan desa, ini isu yang krusial sebetulnya. Dan ini sudah baik diwadahi di Pasal 9. Tetapi begini, Ibu dan Bapak sekalian, di Pasal 9 itu dikatakan bahwa, kalau desa ingin digabung, ini ada moral hazard, Ibu-Bapak sekalian mungkin hasil studi kami, di selama beberapa tahun ini menunjukkan bahwa pemekaran wilayah kabupaten itu biasanya dimulai dari pemekaran desa. Dari pemekaran desa lalu pemekaran kecamatan. Kemudian setelah itu baru ada legitimasi untuk memekarkan kabupaten. Dari situlah kemudian terjadi apa namanya, euphoria pemekaran wilayah, yang kemudian waktu itu direspon dengan moratorium itu. Nah sebetulnya, di daerah-daerah pelosok di Indonesia, pemekaran desa ini ternyata tidak bisa dihentikan, sampai hari ini. Bahkan ada desa yang jumlah penduduknya tidak sampai ribuan, bahkan hanya Cuma puluhan begitu ya. Ini didaerah-daerah Papua, di daerah-daerah perbatasan. Nah dengan kondisi seperti itu, apakah betul kita bisa menamakan dia desa? Logikanya mestinya kalau memang Cuma penduduknya ratusan ya digabung sajalah begitu. Tapi ada Pasal 9 ini yang mengatakan bahwa penggabungan itu harus berdasarkan kesepakatan desa yang bersangkutan. Artinya memberikan otonomi yang begitu kuat pada desa untuk berinisiatif dan menentukan dirinya sendiri. Ini seolah-olah Negara menjadi tidak ada. Ini Pasal 9, menurut saya. Lalu pertanyaannya, Negara dalam mengatur desa ini dimana? Kalau ada desa yang penduduknya Cuma puluhan orang, apakah akan kita biarkan dia menjadi desa? Lalu kalau mereka mau digabungkan dan tidak mau, lalu Negara tidak bisa memaksa. Apa akibatnya ? Akibatnya adalah inefisiensi, inefektivitas, kerawanan, kemudian , apalagi didaerah-daerah perbatasan. Rawan sekali infiltrasi dari Negara-negara tetangga dan seterusnya. Itu komentar saya pada Pasal 9.

Saya lompat pada Pasal 15. Ibu dan Bapak sekalian, kalau kita mengatakan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum, maka disana seharusnya ada aktor yang merepresentasikan sebagai entitas hukum. Nah, Bab III ini memberikan, ada bab tentang Kewenangan Desa. Saya mengatakan bahwa terminology kewenangan desa, ini walaupun saya tahu masksudnya, desa diberikan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri, untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, di skala lokal. Tetapi terminology kewenangan desa, ini menjadi aneh, karena desa itu bukan aktor. Desa itu adalah kesatuan, entitas sosial, atau entitas spasial. Jadi saya melihat di Pasal 15, Pasal 16 dan seterusnya, di Bab Kewenangan Desa. Itu pertanyaan saya sangat banyak di sana. Sesungguhnya yang diinginkan oleh undang-undang ini, untuk berwenang mengatur dirinya sendiri itu siapa? Apakah disini pemerintahan desa, atau musywarah desa, atau siapa? Memang ada pertanyaan kemudian, kalau kewenangannya ini diberikan kepada Pemerintah desa, kita katakan saja bahwa ini adalah Rancangan undang-undang Pemerintahan Desa.Tetapi beberapa wacana yang selama ini bergaung, RUU Desa ini tidak ingin dikatakan sebagai RUU Pemerintahan Desa. RUU ini harus lebih luas dan lebih besar jangkauan dari sekedar pengaturan tentang Pemerintahan Desa. Artinya resources yang ada didesa itu bagaimana didistribusikan kembali, desa menjadi makmur kembali.

(7)

Asumsinya kan desa ini menghadapi persoalan kemiskinan, ketidakadilan dan sebagainya. Bagaimana desa bisa menjadi dirinya sendiri, diatas resources yang ada didaerahnya. Pertanyaan besarnya adalah, apakah ketika kewenangan desa ini diberikan kemudian desa bisa menyelesaikan segala persoalannya? Jadi pertanyaan-pertanyaan kita didalam diskusi-diskusi akademik selama ini diluar, desa ini menghadapi persoalan-persoalan yang luar biasa. Masalah pembanguna, perubahan sosial, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, ketidakadilan dan sebagainya. Lalu pertanyaannya, apakah dengan 1 RUU ini, semua itu akan selesai? Saya pernah mengatakan bahwa RUU Desa ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Karena sektoral sudah mengatur terlebih dahulu. Kalau desa berwenang mengatur hutan, hutan itu diatur oleh Undang-undang Kehutanan. Kalau desa sudah berwenang mengatur air, air sudah diatur oleh Undang-undang No. 7 Tahun 2004. Kalau desa ingin mengatur jalan, ada Undang-undang Jalan dan seterusnya. Sehingga kami pernah mengatakan, “kewenangan desa ini jangan-jangan ini pepesan kosong”. Di state oleh undang-undang, tapi tidak operasional. Pernah kami berdiskusi di Kemendagri, “okelah kalau begitu kewenangannya yang kecil-kecil sajalah”. Yang kecil-kecil itu apa? Pernah Pak Girsang, Direktur Pemerintahan Desa, “ya pokoknya mengatur misalnya pasar desa, mengatur tentang pelelangan desa, mengatur tentang pelabuhan desa yang kecil dan seterusnya”. Tetapi persoalannya kemudian, tidak sesederhana itu. Karena Undang-undang Tata Ruang, nah ini benturannya dengan Undang-undang Tata Ruang, Undang-undang Tata Ruang itu mengatur semua desa itu berada didalam satu bagian integral Tata Ruang, dan itu tidak bisa dipilah-pilah menjadi kecil-kecil, kalau makan ayam disuwir-suwir, begitu ya, menjadi kecil. Ini persoalan di pasal tersebut.

Kemudian ada persoalan-persoalan terminologis ya. Masih di persoalan desa sebagai, desa ini apakah menjadi sebuah organisme atau aktor, begitu ya? Ini di Pasal 20 dan Pasal 21, itu agak aneh, itu. Desa mempunyai hak. Sebetulnya yang mempunyai hak itu biasanya menempel pada manusia, aktor atau pihak atau kelembagaan. Tidak pernah ada kota mempunyai hak. Kalau kota mempunyai hak itu, mestinya kan, kotanya siapa, kan begitu? Kalau desa mempunyai hak atau desa mempunyai kewajiban, itu siapa? Ini Pasal 20-21 sekilas bagus begitu ya, kalimatnya, tetapi kalau nanti dioperasionalkan ini menjadi agak membingungkan.

Nah saya melihat Bab V dan yang paling banyak ini memang Bab V, banyak sekali pasalnya. Ini adalah pasal tentang Pemerintahan Desa. Sehingga memang tidak salah kalau beberapa kalangan mengatakan bahwa ini adalah Undang-undang Pemerintahan Desa. Sampai tentang seragam saja diatur disini. Jadi apakah memang sampai sedetail ini, ini pertanyaannya, sampai seragam segala diatur.

Ibu-Bapak sekalian,

Saya loncat ingin membahas tentang Bab X. Ini mohon maaf loncat-loncat karena waktunya cepat. Tentang BUMDes. Begini, diskusi kita lama sekali tentang BUMDes ini. Intinya begini, asumsinya, desa ini selama ini miskin, desa ini selama ini terbelakang, desa selama ini tidak bisa memberdayakan SD Inpres yang ada di desanya sendiri. Kalau ada jembatan roboh, kemudian ada sekolah roboh, desa kok tidak mampu sekedar mengecat atau mengganti atap atau apa. Kemudian asumsinya, berikan sebuah peluang desa berbisnis. Dengan itu kemudian akan ada economic empowerement. Ini adalah ingin menjawab, salah satunya, adalah keterbelakangan ekonomi desa. Tapi kemudian muncul pertanyaan pada Pasal 63 Bab X tentang Badan Usaha Milik Desa. Ini sering kita berdiskusi. BUMDes itu, apakah binatangnya, itu apakah sama dengan seperti PT, yang kapitalistik, profit maximization orientation, berorientasi pada keuntungan? Atau dia seperti koperasi, yang mengagungkan kolektivitas kehidupan sosial? Atau dia itu seperti yayasan yang sosial terus, dia nyari uangnya dimana, entah. Atau seperti BUMN atau BUMD yang kira-kira punya 2 muka antara agency, agent of development dan profit maximization. Atau BLU, atau apa? Pernah kami berdiskusi dengan orang-orang keuangan, di Perbankan. Seandainya undang-undang ini diundangkan dan ada namanya BUMDes, BUMDes itu kira-kira bisa apply kredit tidak ke Bank? Ternyata mereka ragu-ragu menjawab. Karena binatang ini, binatang BUMDes ini, ini binatangnya tidak jelas, begitu. Memang diskusi kita berkali-kali waktu membahas ini, ya pokoknya BUMDes itu BUMDes. Dia bukan PT, bukan koperasi, bukan yayasan, bukan BUMN, bukan BUMD. Jadi dia bukan-bukan. Wah ini organisasi bukan-bukan. Tapi yang jelas, dia ingin mensejahterakan rakyat desa. Jadi ini masih subject to debate, sekiranya ini menjadi undang-undang, nanti jangan-jangan lagi-lagi ini menjadi pepesan kosong. Memang sudah ada beberapa tempat, BUMDes mendeklarasikan memiliki BUMDes. Beberapa desa ada. Tetapi tadi, status hukum didalam konstelasi hukum bisnis, ini menjadi tidak begitu kokoh enforcementnya atau pengukuhannya.

(8)

Nah Ibu-Bapak sekalian,

Saya ingin mengakhiri dengan kritik saya pada Bab XI dan seterusnya tentang Kawasan Perdesaan dan Pembangunan Desa. Saya berulangkali, pada tahun 2007 dan 2008 kalau tidak salah, diundang selalu untuk membahas Undang-undang Pembangunan Desa, termasuk dengan DPD dan sebagainya yang kemudian undang-undang itu almarhum, karena disana sebetulnya mendefinisikan desa sebagai spasial. Nah pertanyaannya adalah, ketika ini mulai dimasukkan, pasal-pasal pada bab pembangunan kawasan perdesaan ini dimasukkan ke dalam RUU Desa, ini kemudian ada inkosistensi semangat dan roh, definisi desa, antara yang ada pada Bab XI dan seterusnya itu dengan Bab Ketentuan Umum, No. 5 tadi. Desa didalam RUU Ini dimaknai sebagai satu kesatuan masyarakat hukum, tetapi ada pasal-pasal yang mengandaikan bahwa desa itu adalah kesatuan ruang, kesatuan spasial yang a human, begitu kira-kira. Yang bisa diatur-atur, diintegrasikan dan seterusnya. Saya ingin mengatakan bahwa masuknya pasal-pasal ini terutama Pasal 70 – 74, ini menjadikan RUU yang tadinya sudah kita katakan RUU Desa, menjadi RUU apa, begitu ya. Apakah ini RUU Desa dan Pembangunan Perdesaan? Tapi kalau itu yang kita namakan, kemudian hongnya atau domainnya, ini bukan di Kemendagri nanti, mungkin di Kemendagri dan PU, dan mungkin Kementerian PDT. Nah ini yang punya gawe yaitu Kemendagri bisa kemudian agak kaget begitu ya. Tapi saya tidak tahu apakah ini memang dari Kemendagri, saya tidak tahu. Tetapi sampai tahun 2009-2010 ketika saya terakhir ikut mengawal RUU Desa ini bersama-sama dengan kawan-kawan di Kemendagri, itu rasanya Bab XI tentang Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan waktu itu tidak ada. Saya tidak tahu apa yang terjadi, kemudian ini muncul disini. Dalam catatan saya itu, saran yang saya berikan adalah sebaiknya kita konsisten, apakah ini akan menjadi RUU Desa, RUU Pemerintahan Desa, atau RUU tentang Desa dan Pembangunan Perdesaan. Jadi itu yang mungkin Pembuka saja, mohon maaf kalau melompat-lompat, karena dibatasi waktu.

Kami kembalikan kepada Bapak Pimpinan, terima kasih. KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak DR. Arya dari Institut Pertanian Bogor.

Sebelum dilanjut, perkenalkan ada yang hadir juga, ini Pak Rusli Ridwan, dari Fraksi PAN dan Pak Aziz dari F.PKS. Selanjutnya Prof. Erani Yustika dari Universitas Brawijaya. Kami persilakan.

PAKAR (PROF. ERANI YUSTIKA, Ph.D): Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh . Selamat siang dan salam sejahtera.

Bapak Pimpinan dan Para anggota Panitia Khusus DPR RI yang saya hormati,

Melanjutkan apa yang tadi disampaikan oleh Bapak Arya, saya terima kasih diundang disini sehingga bertemu dengan Pak Arya, sudah lama sekali tidak bertemu dengan Pak Arya disini. Jadi saya latar belakangnya dari ilmu ekonomi, sehingga nantinya mungkin lebih banyak memberikan penekanan terhadap bobot ekonomi dari RUU Desa ini.

Nah yang ingin saya garisbawahi, yang pertama begini, naskah akademik dari RUU Desa yang saya rasa sangat panjang itu yang saya lihat banyak pemikiran-pemikiran yang tidak didahului dengan induk yang barangkali sifatnya lebih ke ideologis, begitu ya. Jadi kalau kita ingin melakukan pembangunan, pada level makro atau mikro sekalipun begitu ya, maka seharusnya jenis kelamin dari ideology yang hendak kita taruh disitu itu secara eksplisit bisa dimunculkan, dan tentu saja kita memiliki ideology itu. Nah dari ideology tadi itu baru diturunkan dalam bentuk formulasi rumusan undang-undang, sampai kepada nantinya kita berbicara mengenai kebijakan yang dipilih. Nah Naskah Akademik dari RUU Desa ini dengan segala keterbatasan saya, saya tidak melihat ada spirit nilai-nilai itu. Sehingga gemuruh yang saya harapkan dari adanya keinginan dan komitmen besar untuk pembangunan desa, katakanlah, itu tidak muncul. Akibatnya, didalam rumusan pasal-pasal maupun ayat dalam RUU Desa tadi itu, hasrat untuk bisa

(9)

memberikan amunisi bagi desa untuk bisa melakukan pembangunan yang mensejahterakan masyarakat itu tidak tampak. Hanya uraian-uraian yang sifatnya sangat teknis administrative, yang saya kira itu tidak akan memberikan perubahan apapun jika dilaksanakan terhadap wajah desa Indonesia di depan, di masa yang akan datang. Nah ini yang menjadi dasar pikiran yang ingin saya sampaikan dalam forum yang sangat strategis ini. Kalau kita melihat, dalam pembangunan desa katakanlah, gemuruh desa yang terjadi pada sekian puluh tahun belakangan ini, maka kita akan sama-sama menyepakati adanya kenestapaan desa. Desa tidak ditempatkan sebagai salah satu wagus yang menjadi dasar dari gerak pembangunan ekonomi nasional. Desa tak lebih dianggap sebagai sebuah lokasi tempat dimana sumber daya ekonomi itu ada dan itu dibawa ke tempat lain, dalam hal ini kota maupun pinggiran kota. Sumber daya tadi itu bisa sumber daya manusia, warga, maupun sumber daya alam, sumber daya ekonomi secara keseluruhan. Sehingga kalau kita menyaksikan, katakanlah pembangunan ekonomi dengan segala label kelemahannya, tetapi ada publikasi keberhasilan yang disebut oleh Pemerintah, itu sama sekali adalah bukan cermin dari gemurh pembangunan ekonomi di pedesaan.

Nah oleh karena itu dengan dasar pemikiran semacam itu saya melihat, ada 4 problem utama yang harusnya bisa masuk dalam RUU Desa ini dan sebelumnya didahului dalam Naskah Akademik, secara lebih struktural. Perubahan-perubahan struktural semacam apa yang dibutuhkan untuk bisa menghidupkan desa yang akan datang ini? Yang pertama begini, satu, jadi kita menyadari bahwa suatu rumusan atau formulasi pembangunan ekonomi katakanlah, itu tidak mungkin bisa jalan kalau pada aspek politiknya tidak ada penopang, untuk itu. Nah pada sisi politik ini kita melihat bahwa suara warga di desa tidak pernah menjadi input penting dalam merumuskan bagaimana desa itu mesti dibangun. Nah pada arah politik tadi, itu mestinya harus ada ruang yang memungkinkan nantinya warga itu untuk bisa masuk secara intensif dalam merumuskan agenda-agenda yang hendak dibangun di desa tadi itu. Merumuskan persoalan, agenda settingnya, sampai kepada program-program pembangunan katakanlah, yang disepakati di desa tadi itu. Nanti ada beberapa pasal yang mungkin saya bisa masuk disana, begitu. Tapi inilah yang harus dilihat.

Yang kedua adalah soal administrasi. Kita mengetahui bahwa di pedesaan itu banyak sekali sumber daya yang dimiliki, tetapi tidak bisa dihidupkan menjadi gerakan ekonomi, karena secara administrasi, masyarakat desa mengalami persoalan. Katakanlah mereka memiliki lahan untuk perumahannya atau mungkin persawahan, tapi berapa persen sih yang sudah disertifikasi? Itu. Ketika lahan perumahan, kemudian lahan sawah, ladang dan seterusnya tidak mempunyai sertifikasi, maka itu menjadi asset mati yang tidak bisa digerakkan menjadi kegiatan ekonomi. Misalnya masuk ke dalam sektor perbankan dan seterusnya, menjadi agunan, begitu. Ada problem administrasi disini. Dari mulai prosedur pengurusan itu yang begitu panjang, maupun mahalnya biaya yang dibutuhkan oleh warga di desa untuk bisa membuat asset mereka itu menjadi hidup. Nah oleh karenanya juga harus didesain nantinya, bagaimana administrasi birokrasi di desa, itu bisa memudahkan dan menyederhanakan, memurahkan, untuk menghidupkan asset-aset yang mati, yang telah dimiliki oleh warga desa tadi itu. Ini satu aspek, pada administrasi.

Nah berikutnya adalah pada fiskal. Pada level Negara, boleh jadi kita bisa menggantungkan kegiatan ekonomi sebagian besar pada sektor swasta, investasi swasta, baik asing maupun domestic. Tetapi, pada level daerah, tidak mungkin kegiatan ekonomi desa itu bergerak dengan mengandalkan kekuatan pelaku ekonomi swasta atau masyarakat, tanpa ada induksi yang memadai dari anggaran desa itu sendiri, yang disini disebut sebagai APB Desa, atau apapun namanya disini. Jadi ketergantungan dari situ itu sangat besar, pada aspek fiskalnya. Oleh karenanya, ada kebutuhan untuk kita bisa melakukan reformasi fiskal tadi itu, yang membuat desa itu memiliki endomen fund yang bisa menggerakkan ke arah mana mestinya itu dilakukan. Tanpa ada garansi, tanpa ada topangan dari sisi fiskal itu tadi, sulit kita mengharapkan gerak tadi itu bisa lebih cepat.

Nah yang terakhir adalah soal lahan. Ada 2 problem penting disini, yang pertama adalah bagaimana masyarakat desa, warga desa, ditambah lagi dengan beberapa warga lain yang mungkin asalnya tinggal di perkotaan, tinggal di pinggiran kota, karena satu masalah kembali ke desa, hari ini hanya memiliki rata-rata kepemilikan lahan untuk petani itu dibawah 0,23 ha untuk di Jawa. Kalau di Indonesia, secara keseluruhan hanya dibawah 80%, hanya dibawah 0,5 ha, itu, petani. Nah, lahan tanah itu menjadi asset terpenting bagi warbga desa. Tapi dengan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan yang semacam itu, kita tidak bisa berharap akan ada daya …. Itu. Ini satu. Yang kedua, disisi lain sekarang,

(10)

penetrasi dari pelaku ekonomi, warga yang kebetulan tinggal di perkotaan, dengan kemampuan modalnya sedikit demi sedikit bisa mengambil alih kepemilikan warga di desa, sehingga ketika ada gerak sektor pertanian didesa, sebetulnya pemiliknya, bukan lagi orang desa, itu. Saya ingin nantinya ada keberpihakan dari Undang-undang itu untuk menyebut kata yang selama ini mungkin banyak kita hindari, mengenai reforma agraria, disini. Cuma nanti akan ada diskusi lebih lanjut, bagaimana itu harus dilakukan barangkali didalam Peraturan Pemerintah dan seterusnya, tetapi spirit ini dengan melihat struktur kepemilikan tadi itu mestinya harus masuk disini. Nah ini 4 soal yang menurut saya menjadi karakteristik terpenting dari apa yang ada di Desa itu.

Nah slide berikutnya, 2 slide berikutnya, minta tolong saya dibantu untuk masuk langsung ke slide No. 8. Yang ini, betul. Nah ini kerangka pikir yang saya bangun untuk memback-up apa yang tadi saya sampaikan. Jadi kalau kita betul-betul ingin melakukan perubahan yang mendasar di pedesaan lewat RUU ini, maka kerangka pikir ini yang mungkin bisa kita jadikan input. Ada yang disebut sebagai enabling environment, yang memungkinkan desa itu nanti memiliki ruang gerak untuk melakukan pembangunan, begitu. Pada sisi yang kiri ada yang saya sebut sebagai reform dari desentralisasi, yang sudah kita jalankan. Desentralisasi ekonomi maupun politik tadi itu. Kita punya desentralisasi dengan segala plus minusnya, itu memberikan arah baru bagi kita melakukan pengelolaan pembangunan termasuk di pedesaan. Tetapi, point-point dari desentralisasi itu perlu direform tadi itu juga, karena ada persoalan disini. Misalnya sampai seberapa jauh yang tadi disebut Pak Arya, kewenangan, otonomi, yang dimiliki oleh desa, untuk dalam beberapa hal, mengurus wilayahnya sendiri. Tadi berkaitan dengan kehutanan, berkaitan dengan air, berkaitan dengan tata ruang dan seterusnya, itu sampai seberapa jauh. Tetapi disini supaya konsisten dengan apa yang ingin saya sampaikan, pada aspek politik, administrative, kemudian fiskalnya serta lahan, reform itu perlu dilakukan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan desentralisasi politik dan ekonomi tadi itu. Yang sisi kanan adalah, ini berkaitan dengan reform pada level desa itu sendiri. Reform, sama tadi. Ada 2 disini yang ingin kita lakukan adalah peningkatan kapasitas lokal di desa tadi itu.Kalau di politik tentu bagaimana desa itu bisa mendesain partisipasi masyarakat, bukan hanya BPD disini, yang didalam Pasal 51 ayat b disebutkan secara eksplisit disana bahwa “musyawarah BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya setengah ditambah 1 dari jumlah anggota BPD. Tidak ada satu pun klausul disitu yang menyebutkan partisipasi warga. Meskipun partisipasi warga disitu sebenarnya sudah bisa diwakili oleh BPD. Tetapi itu jelas mereduksi dari apa yang pernah menjadi norma, yang pernah menjadi community characteristics dari desa dimasa yang lalu dengan institusi yang namanya misalnya Rembug Desa, begitu. Ini pada aspek politiknya. Administrasinya juga sama, nanti akan ada ini, dan seterusnya. Nah dari situlah kemudian, nanti akan membentuk yang disebut sebagai local governance, lokal desa tadi. Tata kelola desa yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan untuk bisa melakukan beberapa hal yang mendasar bagi perubahan pembangunan ekonomi di desa tadi itu. Itu kerangka pikirnya.

Saya akan langsung masuk saja kepada point-point yang perlu ditambahkan, begitu ya, didalam RUU Desa ini. Tentu saja ini masih berupa input, yang saya tidak tahu bagaimana nanti proses selanjutnya, untuk menggodok ini. Yang pertama, begini, tadi saya menyebut-nyebut soal aspek reformasi atau political reform untuk desa pada sisi governance desanya, kapasitas lokalnya tadi itu. Yang saya maksud disini adalah ada ruang bagi masyarakat dan bukan Cuma BPD, untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi keputusan desa. Termasuk dalam hal ini keputusan untuk formulasi pembangunan di desa. Nah institusinya tadi, tidak perlu harus seragam. Cuma saya merujuk, di masa lalu kita memiliki Rembug Desa atau sebutan-sebutan yang lain, yang karena adanya keseragaman, itu menjadi hilang, hari ini. Jadi partisipasi warga, partisipasi masyarakat desa, cukup diwakili oleh BPD. Dan bahkan, BPD pun sudah bisa jalan dengan kedatangan setengah plus 1 dari anggotanya tadi itu.

Yang kedua adalah, pada aspek administrasi tadi itu, saya menyebutnya mengenai reform tadi itu, sebetulnya harus ada kesadaran juga, sampai sejauh mana peran birokrasi di pedesaan terutama RT/RW dan seterusnya, itu dalam hal menjadi prosedur bagi warga desa untuk mengkapitalisasi asset yang selama ini dimilikinya. Tadi saya sebutkan soal sertifikasi lahan atau kepemilikan lahan. Sudah bukan hal yang rahasia begitu ya, bahwa untuk melakukan itu, masyarakat desa, petani ataupun profesi lainnya yang tinggal di pedesaan, untuk melakukan sertifikasi lahan, harus melewati prosedur dan ada biayanya, begitu. Disamping memakan waktu, tentu membebani masyarakat desa, dari segi keuangan tadi itu. Nah inilah yang mestinya kewenangan institusi semacam RT atau RW itu eksplisit disana sebagai bagian dari birokrasi administrasi pedesaan atau memiliki fungsi yang diluar itu, begitu. Nah ini yang jangan sampai

(11)

kemudian institusi semacam ini mengganggu secara administrasi tadi itu, untuk keperluan-keperluan yang sifatnya memiliki nilai ekonomis tadi itu.

Yang ketiga adalah, Pasal 33 yang ingin saya tambahkan adalah, pagu dalam bentuk Alokasi Dana Desa, itu menjadi penting. Karena kesadaran tadi itu, bahwa desa tidak mungkin bisa menggerakkan kegiatan ekonominya tanpa ada topangan dari Alokasi Dana Desa yang disebut disini APP Desa, misalnya disitu, didalam Pasal 53 ayat (2) ini.

KETUA RAPAT:

Pak Erani, tinggal beberapa menit dari 20 menit yang kita sediakan. PAKAR (PROF. ERANI YUSTIKA, Ph.D):

Baik.

Yang berikutnya, soal kepemilikan lahan. Disamping tadi isu mengenai reforma agraria, isu lainnya adalah soal, menurut saya harus ada batasan, sampai sejauh mana warga di luar desa tadi itu, boleh memiliki lahan di desa tadi itu. Sehingga gemuruh kegiatan ekonomi di desa mencerminkan apa yang ada didalam …. Itu. Jika memang klausul ini tidak layak, tidak pantas untuk masuk di level undang-undang, mungkin bisa….. Tapi menurut saya, batas 20% itu maksimal. Jangan sampai seperti sekarang, itu. Di desa, beberapa desa yang maju ekonominya, sektor pertaniannya, tapi itu bukan gambaran dari kepemilikan warga desa tadi itu, termasuk di dekat wilayah saya, di Batu itu misalnya. Itu bukan pencerminan dari kesejahteraan warga di Batu, terhadap kinerja sektor perekonomian yang bagus, karena lahannya sudah tidak dimiliki oleh warga desa tadi itu. Dimiliki oleh orang diluar desa tadi itu, orang Jakarta, orang Surabaya, diluar Jawa dan seterusnya.

Nah yang terakhir adalah, ini saya rasa penting. Ciri penting dari desa adalah adanya institusi,proteksi dan distribusi ekonomi. Dulu ada yang namanya lumbung desa dan seterusnya, yang memungkinkan hal-hal yang selama ini menjadi karakteristik perekonomian kota tidak terjadi. Itu harus diberi ruang lagi, dalam bentuk ini. Tadi Pak Arya ada menyebut soal pasar desa dan seterusnya, itu adalah bagian dari, saya rasa itu, tapi bisa dikembangkan lebih lanjut. Tapi institusi proteksi dan distribusi ekonomi itu merupakan hal yang seharusnya bisa dikembangkan lagi, diberi ruang gerak lagi. Saya rasa itu yang menjadi dasar dari pikiran saya untuk beberapa hal. Saya tidak langsung merujuk pada pasal-pasal atau ayat tertentu, kecuali beberapa hal yang tadi itu. Nanti mudah-mudahan ada waktu untuk kita mendiskusikan lebih lanjut.

Terima kasih, saya akhiri.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih Prof. Erani.

Hadir juga ini, anggota Pansus RUU Desa, Saudara Taufik Hidayat dari F. PG. Ada hal yang menarik dari Prof. Erani tadi, soal proteksi. Saya kira menarik juga kalau kita mampu membatasi yang bergerak di desa itu ya cukup koperasi sama BUMDes, dengan syarat-syarat tentu secara ekonomi bisa diterima oleh Perbankan. Cuma problemnya kan kapitalisasi sampai desa ini sudah luar biasa. Tapi menarik.

Selanjutnya Pak Otto Syamsuddin Ishak dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Mudah-mudahan tidak lebih dari 20 menit. Terima kasih.

(12)

PAKAR (OTTO SYAMSUDDIN ISHAK, MA): Terima kasih banyak.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera, selamat siang atau sore.

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya untuk menyampaikan sesuatu tentang Desa. Yang jelas, posisi saya, pertama, saya dari Aceh. Karena apa? Ketika ditanya, apakah Undang-undang Desa dibutuhkan di Aceh ? Jawabannya tidak, sebenarnya. Karena sudah ada leg spesialis, orang Aceh biasanya akan menolak semua undang-undang lain diatur dengan undang-undang lain, kalau diluar Otsusnya.

Yang kedua, saya ingin melihat dari perspektif sosiologi politik, sebenarnya ini. Karena memang selama ini saya melihat, desa itu menjadi kantong. Menjadi kantong permasalahan segalanya, seperti yang dirincikan oleh narasumber sebelumnya. Jadi saya tidak akan merincikan permasalahan lebih lanjut.

Hal yang penting saya kira dari Naskah Akademik yang saya pegang adalah ada 2 hal. Yang pertama, semangat recognisi dan proteksi. Itu saya sangat suka dengan itu, jadi memberikan pengakuan dan perlindungan. Yang kedua, ada semangat juga, tidak ingin mengatur secara menyeluruh pemerintahan desa. Jadi tidak ingin memberikan kerincian yang sangat detail tentang desa. Tapi seperti dikatakan oleh nara sumber sebelumnya, kita lihat justru menjadi sangat detail. Jadi ini agak kontradiksi dengan semangat yang ada di Naskah Akademik. Bahkan seragam pun ditetapkan, begitu kan? Bahkan lembaga, lembaga desa seperti BPD itu disebutkan sebagai nama dari lembaga itu. Sehingga ini teringat saya pada LKMD, LMD dan sebagainya. Sehingga lembaga-lembaga lokal yang bisa direformulasi atau ditransformasi menjadi sebuah lembaga yang cocok untuk fungsi itu, menjadi hilang. Seperti Lembaga Tuhapeut dan sebagainya, dan sebagainya, untuk daerah Aceh. Jadi saya kembali lagi berpegang pada recognisi, proteksi, dan semangat tidak ingin mengatur desa secara detail. Yang ketiga, saya cenderung membaca ini sebagai RUU Pemerintahan sebenarnya. Sebagai RUU Pemerintahan. Karena ini konsisten dengan Undang-undang lainnya yaitu tentang Otsus, mengatur tentang pemerintahan. Nah sekarang kita mengatur tentang Pemerintahan desa, kira-kira begitu. Jadi tidak mengatur segalanya. Oleh karena itu, cara berpikir saya adalah, bagaimana mengkonstruksi state building yang modern disatu pihak, dan tidak menghilangkan keunikan institusi yang lahir dari kreasi nation building yang bhineka. Jadi itu prinsip pokoknya. Sehingga republik mempunyai satu sistem pemerintahan yang demokratis pada semua level. Nah sekarang kita membicarakan tentang desa. Jadi semangatnya, state building pada level desa. Dari sini saya membaca perkembangan terakhir bahwa desentralisasi itu muncul dimana-mana, sekarang, semangatnya itu desentralisasi. Desentralisasi melahirkan identitas. Jadi orang mulai merumuskan identitasnya sendiri. Jadi kebhinekaan yang juga sekarang lagi menanjak itu, munculnya sejak ada desentralisasi. Nah ini perbedaan sistem politik kita pada dekade pasca reformasi 1998. Oleh karena itu sistemnya menjadi Asimetris. Jadi semuanya asimetris, sekarang. Jadi Aceh punya Otsus sendiri, Otsusnya itu beragam. Jadi ada Otsus Aceh, Otsus Papua beda lagi, dan ada Otsus untuk Jogyakarta, mungkin untuk keistimewaannya. Nah walaupun dalam hal desentralisasi sebenarnya otsus dan otda itu sama saja, hanya pada dekonsentrasi yang berbeda. Jadi ada 4 keistimewaan untuk Aceh, kali ini. Itu dekonsentrasinya disitu. Tetapi yang penting dalam konteks daerah otsus, mereka tidak ingin diganggu lagi oleh undang-undang pemerintahan lainnya. Itu semangatnya otsus, akibatnya. Jadi betul-betul ingin otonom, tidak ingin diganggu lagi. Leg spesialis ini betul-betul dia pegang secara politik. Oleh karena itu dalam berbagai masalah, misalnya dalam pasca pemilu 2009 misalnya pengaturan soal Tatib di DPR Aceh, tidak mau ikut dengan undang-undang lain, meskipun disitu belum komplit. Jadi semangat Otsus ini sangat kuat, ini harus diperhatikan dalam kita merumuskan undang-undang ini.

Nah apabila kewenangan untuk mekonstruksi formasi pemerintahan desa telah diberikan pada pemerintahan kabupaten/kota, jadi otda itu memberikan otonomi pada otda eh pada kotamadya dan kabupaten. Nah, kita masukkan lagi undang-undang ini. Apakah dia tidak bertabrakan, misalnya? Atau yang kedua, kemungkinan yang kedua, apabila kewenangan untuk mengkonstruksi formasi pemerintahan desa belum diatur oleh Otda, maka Undang-undang Desa ini justru tepat guna. Jadi misalnya kita masukkan lagi undang-undang ini, tabrakan atau tidak, atau memang tepat guna dengan adanya Undang-undang Desa ini. Nah, pertimbangan yang kedua adalah soal kebhinekaan. Akhir-akhir ini memang

(13)

semangat kebhinekaan ini muncul kembali, seperti saya katakan tadi, setelah desentralisasi, identitas muncul, semangat untuk merumuskan identitas diri dan kemudian dirumuskan lagi menjadi semangat kebhinekaan. Nah selama ini Undang-undang tentang Desa, sejak tahun 1970-an sampai 2000-an itu hampir seluruhnya itu mendestruksi ya. Atau karena melakukan penyeragaman, akhirnya mendestruksi kelembagaan yang ada, yang kayanya di Indonesia itu luar biasa. Hampir setiap daerah bisa berbeda. Mungkin kalau otonomi itu diberikan untuk mengatur desa pada tingkat II, maka mungkin hampir setiap antar tingkat II itu bisa berbeda, pengaturannya. Karena beda. Misalnya kabupaten saja, di Aceh itu ada Kabupaten Gayo, Alas itu berbeda dengan kabupaten di Aceh, ada di Melayunya, Tamiang dan sebagainya. Jadi berbeda. Jadi sangat kaya sebenarnya, kalau kita berikan otonomi pengaturan ini pada tingkat II dan kabupaten. Seperti dicontohkan bahwa ketika ada Undang-undang No. 5 Tahun 1979 sampai Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka ini mendestruksi semua institusi sejenis, karena masuknya LMD dan LKMD. Jadi hancur semua. Kemudian masuk BPD lagi. Jadi yang asli hilang, yang baru, stagnasi, macet, tidak berfungsi. Dengan ada Otsus, sekarang di Aceh, dikembalikan lagi lembaga ini. Tapi dia aslinya sudah hilang, sebenarnya. Jadi mereka hanya mengenal nama, artefaknya Cuma namanya saja. Tapi mekanisme pengaturanya itu tidak ada, sudah hilang. Juga akibat seperti yang muncul di Sumatera Barat. Orang memecah nagari menjadi desa-desa. Sekarang ada semangat, desa-desa dikembalikan lagi ke nagari. Di daerah, orang melihat soal finansial dari pusat. Karena kalau sedikit desanya, maka bantuan dari pusat akan sedikit. Oleh karena itu nagari dipecah menjadi banyak sejumlah desa, karena nagari lebih luas dari desa. Nah sekarang semangatnya, kembali lagi ke nagari. Dalam undang-undang ini, dalam naskah akademik terutama, itu saya melihat ada kecenderungan untuk terjebak didalam merumuskan desa itu, antara desa adat, desa administrasi, desa di kota dengan desa diluar kota. Jadi tipologi-tipologi itu yang mungkin lebih tepat kalau dianggap itu sebagai tipologi akademik sebenarnya. Tapi dalam konteks penyusunan pemerintahan ini, kita hanya menyusun model pemerintahan yang tepat untuk konteks Indonesia secara keseluruhan. Jadi sebenarnya kita tidak perlu terjebak, apakah desa itu desa adat, atau desa administrasi, atau desa ekonomi nantinya, sentra ekonomi, atau apapun, ya tidak masalah. Karena itu adalah pengembangan diri dari desa itu sendiri. Karena dia otonom, maka itu pengembangan diri dari desa itu sendiri. Jadi kalau masyarakatnya memang akan berkembang menjadi masyarakat ekonomi, ya dia akan mengembangkan desanya menjadi desa ekonomi. Kalau masyarakatnya memang seperti di Bali, memang kuat dalam nilai-nilai adat, dia akan mengembangkan desanya menjadi desa yang memegang kuat hal-hal yang berkaitan dengan adat. Jadi itu terserah kepada masyarakat desa itu sendiri.

Jadi sekali lagi, otonomi desa itu menjadi sangat penting. Dari pengalaman yang ada, otonomi desa itu menjadi sangat penting. Tapi seberapa besar otonomi itu diberikan kepada desa, melalui otonomi daerah yang ada pada kabupaten dan kota.

Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Maka saya ingin menyarankan, penyusunan Undang-undang Desa ini harus memperhatikan sejauh mana batas-batas penyeragaman yang dimungkinkan. Sehingga tidak mendestruksi kekayaan model formasi pemerintahan yang merupakan capital politik, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Jadi itu saja yang mau saya sampaikan, terima kasih banyak. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

WAKIL KETUA (BUDIMAN SUDJATMIKO/F.PDIP): Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya menggantikan Pak Umam yang sedang keluar sebentar. Untuk Prof. atau DR. Otto Syamsudin Ishak yang sudah menyampaikan soal persoalan keberadaan Undang-undang Desa yang berkaitan dengan pemerintahan yang disandingkan dengan keberadaan, salah satunya Undang-undang Otonomi Khusus yang berkait dengan Aceh. Ini suatu masukan yang luar biasa sekali,karena kita akan juga menghadapi dengan Undang-undang Otonomi Khusus Papua atau Undang-undang DIY yang sedang kita bahas.

Untuk selanjutnya kami minta DR. M. Amin Lasaiba, dari Universitas Pattimura Ambon, mungkin bisa memberikan masukan-masukan tentang kenyataan-kenyataan pedesaan di wilayah Maluku, yang

(14)

diharapkan juga memberikan pengayaan terhadap proses penyusunan undang-undang ini. Terima kasih, kami persilakan, DR. Amin Lasaiba, waktu 20 menit.

PAKAR (DR. M. AMIN LASAIBA): Baik, terima kasih.

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Pak Otto tadi tentang bagaimana keberagaman daerah Aceh, maka barangkali saya mewakili Maluku, yang dikenal sebagai negeri raja-raja, yang memiliki keragaman adat-istiadat antara satu desa dengan desa lainnya, dan hal ini menjadi permasalahan yang substansi ketika kita melihat definisi, ya saya tadi pada Pasal 1 tadi menjelaskan tentang suatu kesatuan hukum. Kita melihat bahwa Maluku, bukan hanya terdapat desa-desa adat yang dihuni oleh beragam atau kita istilahkan negeri, kalau tadi di Aceh, nagari ya Pak? Kalau di Ambon, Maluku, dikenal dengan istilah “negeri”. Tapi banyak juga suku-suku pendatang yang telah membuat perkampungan yang cukup besar disana. Barangkali hal itu menjadi pertanyaan mendasar, bagaimana merumuskan satu kesatuan entity daripada keberagaman adat-istiadat yang terdapat di Maluku itu sendiri.

Selanjutnya, saya tertarik dengan Pak Ardi tadi, karena background saya sebagai lulusan dari geografi, apakah penekanan ini secara fisikal atau secara spasial, dalam konteks yang telah dibahas tadi, dengan keragaman adat-istiadat yang cukup beragam. Selanjutnya, hal yang cukup menarik di Provinsi Maluku barangkali, disana cukup banyak daerah-daerah petuanan, yang telah dijelaskan didalam Pasal 1 tadi, tentang dusun. Namun, belum ada penjelasan-penjelasan yang lebih detail tentang bagaimana pembentukan dusun, pemekaran dusun dan selanjutnya, penggabungannya bagaimana dengan wilayah desa itu sendiri? Karena yang terjadi didaerah, ada beberapa dusun yang ingin dimekarkan, tapi bagaimana prosesnya?

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan desa yang lebih sejahtera dan mandiri, saya melihat bahwa Rancangan Undang-undang ini terlalu detail. Oleh karena itu maka jika Pemerintah berkeinginan untuk melimpahkan wewenang untuk mengurusi rumah tangga desa secara mandiri, atau otonomi asli, maka daerah diberikan ruang yang cukup luas agar dapat membuat Perda tentang Desa yang benar, berdasarkan asal dan adat-istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat setempat. Sehingga pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana pelimpahan kewenangan dari Pemerintah dalam pengaturan kewenangan disetiap desa tersebut.

Selanjutnya, urgensi dari ditetapkan rancangan undang-undang ini, itu memiliki implikasi yang kuat, bahwa pemerintah berkeinginan untuk memajukan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat didalamnya, sebab masalah penetapan desa dari perspektif sosio antropologis, persoalan yang mesti disikapi adalah substansi dari desa. Dengan demikian, rancangan undang-undang ini dinyatakan adanya pengakuan terhadap hak asal-usul, adat-tadisi dan sosial budaya masyarakat, karena faktanya pengaturan ini justru mengancam praktik demokrasi disetiap desa. Hal yang menarik bahwa, walaupun bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung untuk memilih pemimpinnya, namun realita pemilu, misalnya, ini bertentangan dengan sistem sosio budaya masyarakat yang ada didaerah masing-masing. Oleh karena itu, tidak jarang menjadi tempat kepala desa ,….. sumber konflik yang terjadi disetiap daerah. Ketentuan ini perlu disikapi oleh pemerintah, misalnya penjelasan dan klarifikasi yang objektif. Sebab berbagai kasus pemilihan kepala desa, saya lihat menjadi ajang perebutan kekuasaan dan legitimasi keluarga, bahkan dapat menimbulkan konflik internal disetiap desa. Hal yang perlu dilakukan adalah perlu diatur tata cara pencalonan dan pemilihan secara umum, sedangkan persyaratan materialnya barangkali dapat disesuaikan dengan kebiasaan, adat-istiadat dari masyarakat setempat.

Selanjutnya, menyangkut kewenangan asli. Desa merupakan isu penting yang menyangkut dengan kewenangan asli desa mengenai batas penentuan wilayah desa, dan selanjutnya ditentukan oleh siapa, itu pertanyaan yang mendasar. Karena implikasi sosio-yuridisnya yang perlu diperhatikan adalah pengaturan batas-batas wilayah yang tidak objektif berdasarkan data yang ada dapat menimbulkan konflik

(15)

yang terjadi di Kota Ambon atau Maluku secara umumnya. Hal ini karena Maluku yang kita kenal sering terjadi konflik-konflik sosial, bahwa isu-isu yang terjadi sekecil apapun dapat menyebabkan dampak yang luar biasa di Maluku. Apalagi masalah-masalah tanah adat, kepemilikan lahan, hal itu yang barangkali perlu dibuat, agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan yang lebih krusial.

Terkait dengan hal tersebut, maka Rancangan Undang-undang Desa perlu memasukkan peraturan-peraturan tentang Desa ataupun bentuk peraturan adat, ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga ketingkat desa, karena implikasi sosio-yuridisnya yang perlu mendapat perhatian adalah diperlukan tindak-lanjut beberapa hal yang berkaitan dengan pengaturan asset-aset desa, dengan memperhatikan makna desa sebagai suatu komunitas mengenai kepemilikan wilayah, terus masalah hak-hak adat dan kelembagaan adat.

Selanjutnya dalam Bab II mengenai Penataan Desa, Pasal 4 Rancangan Undang-undang ini menyatakan tentang perlunya penataan desa untuk mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan desa. Namun apa yang diatur dalam klausul penataan desa ini, hanya menyangkut pelaksanaan bagian urusan pemerintahan kabupaten yang dilimpahkan kepada desa, misalnya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya saing desa. Lalu bagaimana dengan bagian urusan Pemerintahan yang menjadi hak asal-usul desa dan sosial budayanya? Karena aspek penyelenggaraan urusan pemerintahan ini sudah diatur dalam RUU Ini, maka yang bisa diatur dan diurus berdasarkan hak asal-usul, tradisi dan sosial budaya ini, yang tersisa masalah adat dan budaya sama sekali dipisahkan dari masalah pemerintahan. Barangkali itu saja masukan dari kami.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih Saudara Muhamad Amin Lasaiba.

Pembicara terakhir, Pak Husni Muadz, dari Universitas Mataram, dipersilakan. PAKAR (M. HUSNI MUADZ, MA,Ph.D):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya ingin dalam kesempatan yang singkat ini, mengajak Bapak-Bapak, Ibu-Ibu untuk melihat dari angle yang agak-agak beda, dari yang mungkin pernah didengar selama ini dalam audiensi dengan yang lain walaupun dengan rekan-rekan kami ini.

Pertama, komentar umum dulu tentang RUU Desa ini. Saya melihat masih belum serius. Belum cukup radikal untuk bisa menjanjikan sesuatu akan terjadi didesa. Pertama, semangatnya ini masih bersifat pengaturan. Memang ini usulan dari Pemerintah ya, jadi yang mindset besarnya memang bagaimana mengatur, governing desa oleh pusat, ada daerah. Nah sekarang ini ada yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Yang kedua, nah ini, ada asas recognition, pengakuan dari Negara atau pemerintah terhadap desa. Nanti kalau kita definisikan desa dalam artian yang agak beda, ini logic terbalik, begitu. Jadi bukan recognition, justru eksistensi keberadaan Negara itu ada karena komunitas yang ada diseluruh desa. Jadi memberikan recognition itu, logicnya tidak dapat, begitu. Yang kedua, otonomi. Ini juga kalau kita bedah otonomi, mestinya yang sehat itu otonomi yang memang perspektifnya internal, bukan eksternal. Ini ada otonomi diberikan dalam bentuk legalitas. Lalu orang menjadi otonom. Kalau kita belajar sistem, living system atau sistem secara umum, otonomi itu adalah fungsi dari interaksi internal yang sehat dengan cara tertentu dari komponen-komponennya, jadi bukan sesuatu yang diberikan dari luar. Jadi saya tidak mengerti begitu, selama ini orang pakai otonomi, apalagi dalam rangka pemberian otonomi. Termasuk, ini, dalam rangka RUU ini, begitu. Yang ketiga, rakyat dilihat atau diharapkan, diperankan, ingin diperankan atau mestinya berperan dalam rangka governing tadi, bagaimana mereka berpartisipasi, itu bahasanya kan? Bagaimana mereka bisa memberikan control, bagaimana mereka bisa memberikan

(16)

akses. Nah ini kan jargon-jargon pembangunan modern, modernitas, jargon-jargon demokrasi, ya seperti ini. Tetapi semangat 1,2, 3,4 tadi, pengaturan, bagaimana Negara memberikan recognisi, memberikan otonomi, bagaimana rakyat harus diperankan, ya kan? Ini ada sesuatu yang missed. Ada sesuatu yang terbalik cara berpikirnya. Kalau kita lihat acuannya, perhatikan acuan dari Rancangan undang-undang ini. Hanya Pasal 18. Kalau hanya Pasal 18, cara melihat desa itu terutama mestinya melihat desa itu komunitas, manusianya. Tapi ini lebih ke persoalan bagaimana undang-undang Dasar mengakui keberadaan adat dan seterusnya. Sehingga aneh sekali, Rancangan Undang-undang Desa ini hanya mengacu kepada ini. Jadi ada suatu yang salah dalam cara melihat ini. the whole things.

Yang kedua, kesannya bersifat regulative. Ada sesuatu yang terjadi yang kurang pas sekarang kita atur dia supaya pas. Tadinya pasif, sekarang bagaimana supaya aktif masyarakatnya, bagaimana bisa berpartisipasi. Tadinya tidak otonom, sekarang kasih otonomi. Mestinya undang-undang, apalagi yang menyangkut desa, itu harus generative, harus prospektif, konstitutif, ke depan. Nanti saya ingin perkenalkan kepada Bapak-Bapak, Ibu-Ibu,mudah-mudahan menjadi bahan renungan, paling tidak, sebagai salah satu opsi isi dari Rancangan Undang-undang yang akan dibahas seterusnya. Dengan kata lain begini, jangan sampai ada kesan bahwa Rancangan undang-undang Desa ini, kreatif. Begitu kepala desa ribut dimana-mana ingin didengar, ini ingat lho, kepala desa ini, bukan masyarakat. Ini kepala desa, ya kan? Karena mereka ingin mendapat porsi seperti unit-unit diatasnya. Ada perlakuan, ada pembiayaan, ada macam-macam, priviledge yang mereka miliki, ada sekuritas yang ingin mereka dapatkan. Sehingga saya kuatir, kalau tidak kita rancang dengan perspektif yang benar, maka undang-undang ini lebih akan bersifat shifting the burden, hanya memindahkan beban, pemindahan beban. Yang tadinya orang demo ramai-ramai ….. dilevel kabupaten/kota, sekarang ini terjadi dimana-mana di desa. Sebagai orang yang besar di desa, dengan perjalanan bagaimana desentralisasi selama ini, saya optimis, mudah-mudahan tidak terjadi ya, akan terjadi pemindahan beban seperti itu. Apalagi nanti akan ada uang yang cukup banyak yang akan masuk ke desa, dengan kemampuan macam-macam, apalagi akses masyarakat sudah mulai dibuka, macam-macam itu. Nah satu hal sebenarnya yang missed disini, ya? Kalau kita bicara, jangan definisi desa dengan makna desa yang sekarang, yang stigmatig. “Oh itu disana, kalau kota, lain, tidak nama desa, namanya kelurahan”, misalnya. Mari kita lihat desa sebagai unit ruang dimana komunitas memang ada. Jadi ada ruang tempat komunitas Bangsa Indonesia itu memang ada. Jadi ada unit-unitnya, semacam blok-bloknya, itu yang disebut desa. Maka yang terjadi adalah, didalam masing-masing unit ruang itu adalah individu manusia. Jadi semua kita, termasuk kita ini adalah bagian dari memang ada didalam unit ruang itu. Nah kalau kita melihat perspektif desa dengan pengertian seperti itu, maka kita semua ini adalah orang desa. Kita memang ada didalam ruang, space yang ada di Indonesia. Artinya apa? Sebenarnya, kalau berbicara Undang-undang Desa sama dengan berbicara tentang agenda rakyat Seluruh Indonesia. Agenda manusia Indonesia. Jadi bukan masalah governing, bukan masalah bagaimana mengatur bagaimana Pemerintah, tapi isu berkaitan dengan manusia Indonesia. Nah oleh karenanya kalau perspektif ini bergeser, dengan melihat sekarang ini desa terkait dengan manusianya, dimana pengaturannya adalah 1 komponen dari agenda besar tentang komunitas yang ada, maka pertanyaan besarnya adalah, kalau sudah ada sejumlah komunitas hidup bersama disatu tempat yang sekarang kita sebut desa, mereka itu mau kemana? Apakah mereka disana hidup kebetulan, ditempat itu? Karena kebetulan resources hidupnya memang disana? Kebetulan nenek moyangnya hidup disana, terus tinggal disana, sehingga hidupnya adalah kebetulan? Atau ada agenda serius, ada sesuatu ingin dituju bersama. Jadi kalau kita lihat desa seperti itu, maka sebenarnya kita kalau bicara tentang apa yang disebut dengan the ideal state of social order, ada tujuan ideal yang ingin dicapai bersama-sama oleh satu komunitas, yang secara agrerat akan berarti, ideal bersama secara sebagai bangsa, dan itu ada di desa. Sehingga saya melihat, Undang-undang tentang Desa ini dalam perspektif seperti ini adalah undang-undang yang paling serius, dari semua undang-undang yang ada. Kalau yang lain saya lihat, agak sektoral. Sesuai dengan space, bidang-bidang tertentu. Tapi bicara Undang-undang dalam perspektif komunitas seperti ini, desa dengan definisi baru ini, maka kita berbicara tentang agenda pembangunan manusia Indonesia. Nah oleh karenanya tidak bisa desa sekedar direduksi menjadi seperti yang diusulkan oleh rencana undang-undang yang kita bahas sekarang ini. Jadi kalau tujuannya adalah ada satu ideal bersama yang ingin dicapai oleh masing-masing komunitas, ya kan? Apa tujuan bersama itu? Isinya mestinya akan terkait dengan amanat nilai-nilai yang ada didalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sehingga aneh sekali kalau rujukan dari Rancangan Undang-undang ini hanya pada Pasal 18. Semua isu berkaitan dengan HAM, misalnya, tentang pendidikan, tentang kesehatan, itu mestinya menjadi agenda disini. Langsung bisa dirujuk. Pasal 28 misalnya, dari itu, tentang bagaimana hak-hak individu, bagaimana kewajiban individu lain terhadap pemenuhan hak itu dan seterusnya. Itu menjadi isi dari proses dalam rangka menuju the ideal

(17)

state yang ingin dicapai oleh komunitas di masing-masing desa ini. Ini tidak dibahas sama sekali dalam Rancangan undang-undang ini. Implisit. Beberapa disana-sini hanya mengatakan, empowerment, pemberdayaan diri, dan seterusnya. Tapi kita mau kemana bersama, seperti apa? Nah oleh karenanya, biara mau kemana, kita bicara juga, karena reality kita dimana? Sekarang ini kita sedang berada dimana? Sebagai bangsa, sebagai komunitas. Ini bukan mendramatisir, saya ingin cerita. Ini Pak Harun mungkin sudah mendengar. Lima hari yang lalu, 6 hari yang lalu, ada Festival Seni Sekolah di Lombok. Empat ribu datang ke Lombok. Waktu dijemput pakai bis ini, tamu-tamunya, dari bandara ke luar, diluar bandara, tidak jauh-jauh amat, 50 meter dari tempat jual tiket, ticketingnya, 50-an orang, laki perempuan bawa parang, mencegat bis-bis yang ada. Daripada cerita diluar ini, disini juga kita bikin bersama, maksudnya. Apa? Mereka malak, minta uang kepada tamu dalam bis itu, Rp 1 juta, negosiasi mereka. Jadi setiap bis yang ada itu, dicegat seperti itu. Tidak berani dilawan, karena semua pakai senjata, berada ditengah-tengah jalan. Yang ingin saya katakan adalah, apa yang pernah kita lakukan terhadap mereka sehingga mereka tidak seperti itu ? Pertanyaan serius ini, apa yang pernah kita lakukan? Ada tidak sesuatu agenda sebagai Negara, bangsa ini, yang bisa menjamin tidak akan ada perlakuan seperti itu? Dan kondisi seperti ini dimana-mana, akan muncul. Kalau kita baca, TV dimana-mana, koran dimana-mana, perkelahian antar kampung, ya kan? Perampokan dimana-mana. Ini persoalan komunitas, yang selama ini hanya di address lewat Sektoral. padahal kalau kita kembali semua kita, kembali ke desa, kembali ke tempat komunitas kita masing-masing, lingkungan. Sebenarnya semua agenda pembelajaran bersama itu ada disana. Jadi yang ingin saya katakan begini, dari keadaan reality yang kacau-balau seperti itu, menuju the ideal state, ini diperlukan pembelajaran bersama terus-menerus menuju, jadi pembelajaran kolektif, individu, kolektif, menuju ke arah itu. Setiap hari. Nah ini yang diributkan ini hal-hal yang material, padahal dia adalah supporting dalam rangka bagaimana hidup yang aman, saling berterima, toleransi dan seterusnya. Ini kan …. Ruang medium, katalis, pembelajaran terus-menerus, di komunitas. Nah itu hampir tidak tahu siapa yang punya tanggung jawab sekarang itu. Kalau kita baca Rancangan Undang-undang Daerah, yang berkaitan dengan pelayanan dasar, sepertinya kita ini, bangsa ini, akan berbuat besar, begitu. Pendidikan, kesehatan, dengan infrastruktur yang ada. Hanya 20% dari komunitas ini yang memang, yang sakit 20%, statistiknya. Jadi kalau kita mau berbuat lewat sektor seperti itu, daya jangkaunya hanya sedikit. Pertanyaan besarnya, 80% ini siapa yang punya tanggung jawab, dalam rangka membuat kita sehat terus-menerus, itu pembelajarannya dimana? Tidak ada. Jadi kalau kita analis satu per satu, pendidikan, sangat terbatas yang bisa dijangkau. Padahal problem bangsa ini adalah problem yang ada di komunitas yang terus-menerus tanpa pembelajaran seperti itu. Nah saya berharap, Undang-undang Desa ini kalaupun memang mengaddress persoalan regulasi, pemerintahannya itu harus berada dalam konteks untuk menjamin terjadinya pembelajaran terus-menerus dari semua orang. Mulai dari individu, dari keluarga, sampai komunitas. Didalam Pasal 18 misalnya, ada hak tumbuh kembang anak. Sekarang saya ingin bertanya, kewajiban dari komunitas maupun orang tua, yang mengajarkan, siapa? Bahwa ada hak untuk tumbuh kembang anak, supaya gizinya sehat, siapa yang mengajarkan? Ya kan? Bagaimana berkomunikasi yang benar terhadap mereka, siapa yang mengajari? Tidak ada, kita biarkan saja selama ini. Tidak ada. Dan saya tidak melihat sedikitpun ini, kaitannya dengan ke arah itu.

Nah oleh karenanya, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,

Mudah-mudahan ini menjadi bahan renungan kita bersama, bahwa mumpung, saya bisa pahami kalau Pemerintah mengajukan, ya memang perspektifnya memang pengaturan. Tapi saya berbicara dengan anggota Dewan yang terhormat, mewakili rakyat, nah saya berbicara kira-kira, ini mewakili rakyat, ya kan, kebutuhan kita sekarang ini kalau kita ingin punya harapan ke depan, bahwa ada identitas kolektif bersama, yang kita sebut unity, diperlukan pembelajaran terus-menerus bagaimana hidup saling berterima. Sekarang ini untuk saling dengar saja, perlu belajar serius, untuk saling mendengarkan. Orang bicara kita serius mendengarkan, tanpa pikiran kita kemana-mana, itu juga perlu pembelajaran. Apalagi ini, kalau ada sentuhan-sentuhan yang membuat kita tersinggung. Diperlukan pelajaran toleransi, macam-macam. Jadi kehidupan ke depan itu imperative memerlukan pembelajaran kesadaran terus-menerus. Belum lagi tujuan pendidikan kita. Itu dalam rangka peningkatan iman, ketakwaan, akhlak. Ini dimana diajarkan ini? Siapa yang mau tanggung jawab? Apa diserahkan kepada mereka-mereka itu, yang selama sejak lahir sampai besar itu tidak pernah langsung terkait dengan pembelajaran itu, kalau kita serahkan ke masyarakat seperti yang ada sekarang. Nah dalam kondisi masyarakat yang seperti itu tiba-tiba dikasih otonomi, dikasih voice, disuruh mereka berbicara, kemampuan mereka menuntut, rusak mereka. Maka akan terjadi demo dimana-mana besok-besok itu. Itu yang disebut dengan shifting the burden, pengalihan beban yang selama ini di demo adalah di level kabupaten, nanti itu akan banyak demo ada di level desa. Dari kubu yang kalah ini

(18)

akan mengelompok sendiri, akan menyerbu, ya kan? Akan betul-betul melihat kesalahan-kesalahan yang terjadi yang dilakukan oleh desa. Nah hal ini akan secara terjadi alami, karena tidak ada pembelajaran untuk tidak, untuk bisa mencegah, untuk bisa toleran tidak seperti itu. Jadi kita ini pengalaman otonomi daerah yang kebablasan, tanpa persiapan, dalam artian pembelajaran seperti itu, maka sekarang ini tidak ada yang saling dengar. Untuk duduk dialog saja, tidak ada yang mau itu, termasuk mahasiswa. Susah itu, diajak dialog tidak mau, karena tidak seru kalau tidak berdarah-darah. Tapi ini semua karena kita memberikan instrument lebih dulu, pengaturan lebih dulu, tanpa ada pembelajaran menuju kesiapan apa yang disebut dengan self organizing dari dalam, otonomi, kesiapan otonomi dari dalam, syarat-syarat untuk itu tidak ada. Yang mestinya itu simultan diberikan. Dengan kata lain Bapak-Bapak, Ibu-Ibu yang saya hormati, dengan segala hormat, Rancangan Undang-undang ini, kalau mumpung ini, mumpung kita, jangan sampai kita cepat-cepat ingin menyelesaikan ini, karena memang ada reaksi, tuntutan untuk itu. Saya kuatir reaksi, tuntutan-tuntutan itu seperti itu sekarang ini lebih bukan representasi dari keinginan seperti tadi, tapi lebih kepada representasi keinginan kepala desa, yang ingin mendapatkan luxury lebih dari yang ada sekarang ini. Oleh karenanya mohon maaf, jangan sampai sikap kita reaktif, berkepala dingin untuk mencoba merancang dengan sebaik mungkin, terutama yang bisa menjamin mendorong ke arah itu. Kalau ini arah pikiran kita, maka implikasinya adalah undang-undang yang berkaitan dengan daerah, itu harus mengacu dalam rangka pembelajaran komunitas itu. Semua undang-undang berkaitan dengan sektor harus mengacu ke arah itu. dengan kata lain, Pemerintah dan Negara itu harus dalam rangka langsung gerakan dalam rangka pembangunan identitas kolektif unity bangsa kita, dan itu ada di level grass root. Jadi bukan seperti pembahasan yang ada di Rancangan Undang-undang ini, memberikan recognition. Bagaimana sih, Pemerintah ini ada, Negara ini ada karena masyarakat, kok sekarang memberikan pengakuan. Itu yang secara filosofis tidak dibenarkan itu, sekalipun bunyinya bagus, pengakuan, recognition. Recognition, jadi sebelumnya ya kita tidak mengerti, yang biasanya represif. Tapi idealnya, tidak, kita ada ini, karena mereka. Oleh karenanya kita ini bagaimana semua produk undang-undang itu sebenarnya dalam rangka convergen, menyiapkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang katanya, adil dan makmur, kelak, tapi ada pembelajaran yang terus-menerus sehingga sekarang ini. Kalau kita tidak menyentuh itu, maka akan terjadi pembiaran, sehingga kita harus siap-siap untuk tidak kaget, akan terjadi banyak hal yang tidak terduga-duga dalam komunitas.

Sekian.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih, Bapak DR. Husni Muadz.

Secara pribadi saya berkelana didunia filsafat Pak, secara ontologis itu terngiang-ngiang oleh bacaan-bacaan yang diingatkan oleh Bapak ini. Jadi kita harus merubah paradigma ini, Pak Taufik, menurut yang diingatkan Pak Husni tadi. Jadi undang-undang ini memang sedikit saya tahu kronologinya, memang Departemen Dalam Negeri sebagai leading sector dari pembikin Rancangan Undang-undang ini, memang pada posisi yang secara politis tertekan. Jadi berapa kali aksi, baik di depan parlemen maupun di depan Kantor Departemen Dalam Negeri, itu sampai, dan ini kejadian benar, Pak Husni ya, salah seorang Dirjennya kemudian membawa kertas bertuliskan seolah-olah itu Rancangan undang-undang setelah ditekan dia di Kantor Departemen Dalam Negeri oleh sejumlah kepala desa, kemudian dia lari kesini, kita terima Pimpinan DPR plus Komisi II, plus Badan Legislasi, kemudian tersiar di publik bahwa pemerintah sudah memberikan rancangan. Kemudian pada saat bersamaan, saya telepon Pak Dirjen didepan kepala desa yang masih ada di lokasi DPR. “Pak Dirjen, apa betul tadi Bapak menyampaikan Rancangan Undang-undang? Bukankah Rancangan Undang-undang itu diserahkan oleh Presiden secara resmi kepada DPR, melalui wakilnya, Saudara Menteri”, saya bilang. “Oh tidak, Pak Umam. Ini kan kita tidak enak ini ditekan-tekan terus, jadi ya sudahlah yang seperti rancangan itu diterima saja sama DPR”, begitu. Itu situasi yang menurut saya secara psikologis tertekan. Adalah wajar saya kira, dalam proses penyusunan ini tidak sempurna, antara naskah akademik dengan norma-norma yang tertuang didalam rancangan ini juga perlu kita kritisi. Jadi terima kasih Pak Husni, sudah memberikan peringatan yang cukup tajam kepada kita semua.

(19)

Catatan kami dari meja Pimpinan, satu untuk Pak Otto dari Aceh. Jadi ada ambivalensi juga, Pak Otto. Jadi di Papua itu undang-undang yang menyangkut 32 tentang Pemda, yang kemudian mengamanatkan Sekretaris Desa jadi PNS, itu diterima secara penuh di Papua. Kami tanya, ketika kita kunjungan ke Papua, dengan kepala kampung, “apakah Bapak-Bapak akan menerima undang-undang Desa ini jika nanti diundangkan secara nasional”, “oh kita akan mengacu kepada Undang-undang Desa secara nasional, kita juga menerima sekretaris desa jadi PNS”. Nah saya tidak tahu apakah Sekretaris Desa di Aceh itu juga PNS? Nah, seringkali orang-orang Papua juga, mana yang lebih menguntungkan. Kalau yang lebih menguntungkan Undang-undang nasional, itu diambil. Begitu ada pemilu yang “Tidak menguntungkan” mereka, DPRP atau MRP Papua, menolak. Itu juga problem, Pak Otto, sekedar catatan.

Diatas semua itu, terima kasih kepada semua pembicara. Dan giliran kami berikan kesempatan kepada para anggota DPR, dari F. PG atau F. PD dulu? Silakan, Pak Nanang dan seterusnya. Pak Nanang Samodra.

F. PD (Ir. NANANG SAMODRA, KA, M.Sc): Terima kasih Pimpinan.

Setelah mendengarkan dari apa yang disampaikan oleh teman-teman tadi, banyak hal-hal yang menggelitik. Tapi saya merasa belum banyak memperkaya upaya-upaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Jadi masih seputar kepada regulasi-regulasi, pendekatan politiknya masih banyak, pendekatan pemerintahannya masih banyak tapi yang langsung supaya kesejahteraan masyarakat desa itu lebih baik dari keadaan sekarang, itu belum banyak saya dengarkan. Saya berharap adanya semacam masukan-masukan, yang tujuannya goal human development itu bisa sampai kesana. Karena apapun yang kita kerjakan, kalau hanya berkutat kepada norma-norma atau teori-teori yang ada, tidak langsung kepada applied dilapangan, seringkali didalam perjalannya akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, barangkali ada masukan-masukan, kira-kira yang bisa langsung menohok, misalkan upaya-upaya untuk masyarakat desa itu bisa menjadi tuan rumah di tempatnya sendiri. Seringkali begitu datang pendatang yang lebih pintar, tuan rumahnya tergusur. Nah bagaimana mensiasati itu?

Kemudian hal yang praktis-praktis lagi, begitu pendatang tadi masuk, tanah-tanah langsung dikuasai, orang-orang setempat tergusur tidak tahu kemana dan bahkan tadi dikatakan, kepemilikan lahannya sudah tergusur karena dia pergi urban ke kota-kota. Hal yang demikian juga, masalah pendidikan. Sampai tingkat pendidikan apa saja yang kita pantas kita taruh di desa itu, sehingga orang-orang desa tidak perlu lagi pergi urban ke kota misalkan. Demikian juga dengan layanan-layanan kesehatan, apa kira-kira tipikal layanan kesehatan, apakah Puskesmas itu harus diperkuat, harus diapakan, sehingga mereka tidak perlu lagi berobat ke kota. Nah sekarang ini banyak saya melihat, dokter-dokter yang mempunyai keahlian-keahlian itu tinggal di Puskesmas-puskesmas yang menurut saya puskesmas itu cukup tidak harus dokter, karena sering kali kepala Puskesmas itu hadir rapat dimana-mana, hanya mengerjakan masalah administrative. Sedangkan tugas yang memang seharusnya mereka kerjakan tugas medisnya, seringkali tertinggal karena kesibukan-kesibukan mengurusi masalah administrasi Puskesmas. Nah hal ini sebenarnya ingin kami harapkan, tapi mudah-mudahan dari forum-forum yang berikutnya bisa kita harapkan. Namanya juga kita melihat dari berbagai sisi, pandangan teman-teman tadi masih belum seperti apa yang saya harapkan, mudah-mudahan di masa-masa yang akan datang atau melalui diskusi bisa kita cari titik temu.

Terima kasih Pimpinan. KETUA RAPAT:

Berikutnya, dari F. PKS, Pak Hermanto, sebentar Pak Rusli. F.PKS (HERMANTO, SE, MM):

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Referensi

Dokumen terkait

sel negatif terhadap Annexin V dan pewarna vital tidak mengalami apoptosis: translokasi PS belum terjadi dan membran masih utuh.

Tidak, itu kan berkembang di Tim Perumus, sementara yang kita bahas ini adalah rekap hasil dari Panja. Panja yang kita putuskan di Pansus. Nah kalau usulan baru Timus silakan

1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD mengamanatkan kepada MPR untuk memasyarakatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM.. Peningkatan tersebut antara lain adalah untuk belanja pegawai pusat dan daerah otonom serta belanja barang. Meningkartnya pengeluaran rutin

Dengan demikian undang-undang yang baru disahkan ini benar-benar berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya serta

an tingkat l:J:I. Sidang Dewan yang kami bormati, dengan demikian aele- sai sudah mata acara pertama dari Rapat Paripurna pada ha- ri ini, dan sekarang kita

Djadi umpamanja didalam dari pada rapat jang sah tadi, maka .keputusan jang diambil hal kita tadi, kalau jang setudju atau jang tidak setudju hanja 40 atau zelfs hanja 59,

Kami memberikan apresiasi yang setinggi -tingginya atas perhatian Pimpinan dan anggota Pansus DPR RI yang terhormat, yang dengan segala kesabarannya telah mendengarkan