LAPORAN FIELDTRIP
SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN
DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN BUMIAJI
BATU MALANG
Kelompok 1
Asiseten: Aditya Nugraha Putra, S.P
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2015
i DAFTAR KELOMPOK
Kelompok 1 :
Dwi Genius Samporna 135040118113004
Mukti Rahaayuningtyas 135040118113006
Vidia Oktaviasari 135040118113007
Monik Selvi Yuniari 135040118133003
Nur’Aisyah 135040118133002
Dotik Sukesmi 135040118133004
Thalia Eka Vatikasari 135040118133005
Rizki Nurmalasari 135040118133007
Saifudin Fidra Alim 135040118133008
Lilis Setioningsih 135040118133010
Reni Dwi Astutik 135040118133011
Mohammad Denny S. 125040118113017
M. Irfan Rizqiawan .P 125040118113023
ii DAFTAR ISI DAFTAR KELOMPOK ... i I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2
2.1 Waktu dan Tempat ... 3
2.3 Alur Kerja ... 9
2.3.1 Tahap Pra Survei ... 9
2.3.2 Tahap Pelaksanaan di Lapang ... 10
2.4 Persiapan Peta Kerja ... 11
2.6 Perizinan ... 11
2.7 Pengamatan Morfologi Tanah di Lapangan ... 11
2.8 Pengukuran pH Tanah ... 14
2.9 Evaluasi Lahan ... 15
2.9.1 Kemampuan Lahan ... 15
2.9.2 Kesesuaian Lahan ... 17
2.10 Analisis Kelayakan Usahatani... 20
A. Biaya Tetap ... 21
C. Break Even Point ... 21
D. R/C Ratio ... 22
E. B/C Ratio ... 22
III. Hasil dan Pembahasan Survei ... 23
3.1.1 Bahan Induk Tanah ... 23
3.1.2 Bentuk Lahan ... 25
3.1.3 Kemiringan Lahan ... 28
3.1.4 Penggunaan Lahan dan Vegetasi ... 30
3.1.5 a) Drainase, b) Kedalaman Efektif, c) Batuan Permukaan, d) Bahan Kasar, e) Erosi, f) Bahaya Banjir... 32
iii 3.3 Klasifikasi Tanah ... 41 3.4 Kemampuan Lahan ... 43 3.5 Kesesuaian Lahan ... 45 3.5.1 kesesuaian actual ... 47 3.5.2 Kesesuaian Potensial ... 48
3.6 Kelayakan Usaha Tani di Lokasi Penelitian ... 48
4.1 Kesimpulan ... 53
4.2 Saran ... 55
iv
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Praktikum Stela ... 3
Tabel 2. Alat dan Bahan ... 5
Tabel 3 kelas kemapua lahan ... 15
Tabel 4. Kelas Kesuaian Lahan untuk Padi Gogo ... 18
Tabel 5 Morfologi tanah dan simbol horizon ... 35
Tabel 6 hasil pemboran tanah ... 36
Tabel 7 hasil survei tanah ... 37
Tabel 8 Hasil Pemboran Tanah Minipit (3x pemboran)... 38
Tabel 9 klasifikasi tanah ... 42
Tabel 10 kemampuan lahan pada plot 1 ... 43
Tabel 11 kemampuan lahan pada plot 2 ... 44
Tabel 12 kelas kemampuan lahan ... 44
Tabel 13 kesesuaian lahan pada plot 1(Komoditas jagung) ... 45
Tabel 14 kesesuaian lahan pada plot 2 (Komoditas Sawi) ... 46
Tabel 15 kelas dan faktor pembatas ... 47 DAFTAR TABEL
v DAFTAR GAMBAR
NO. NAMA GAMBAR HALAMAN
Gambar 1. Peta administrasi lokasi survei ... 4
Gambar 2 Peta Geologi Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) ... 23
Gambar 3 Peta Bentuk Lahan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) ... 25
1 I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Survei tanah adalah metode atau cara mengumpulkan data dengan turun langsung kelapangan. Data yang diperoleh berupa data fisik, kimia, biologi, lingkungan, dan iklim. Kegiatan survei terdiri dari kegiatan dilapangan, analisis di laboratorium, mengklasifikasikan tanah kedalam sistem taksonomi atau sistem klasifikasi tanah, melakukan pemetaan tanah atau interpretasi atau penafsiran dari survei tanah dan ahli teknologi pertanian (Abdullah, 1996). Sementara Sitorus (1998) menyatakan bahwa evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses pendugaan potensi sumber daya lahan untuk berbagai kegunaan dengan cara membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut.
Dari dua pengertian tersebut maka survei tanah dan evaluasi lahan merupakan metode atau cara mengumpulkan data dengan turun langsung ke lapangan yang merupakan proses pendugaan potensi sumber daya lahan pada suatu daerah tertentu. Kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan pada praktikum ini adalah di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Lahan pada daerah ini memiliki tingkat kemiringan sekitar 10%, dimana tingkat kemiringan tersebut masuk kemampuan lahan kelas S2.
Tujuan survei tanah dan evaluasi lahan tersebut adalah untuk mengetahui kondisi fisiografi dan morfologi dari lahan yang ada di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Kota Batu, sehingga dapat diketahui kemampuan lahan, kesesuaian lahan, potensial dan kelayakan usahatani pada lahan Tulungrejo tersebut.
2 1.2 Tujuan
1. Untuk memahami dan menjelaskan pengertian dan membedakan satuan peta dan satuan taksonomi.
2. Untuk memberi nama satuan peta tanah pada berbagai kategori dan berbagai skala peta.
3 II. METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Waktu : Dilaksanakan Hari Sabtu, 17 Oktober 2015 Tempat : Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Berikut merupakan jadwal kegiatan yang dilaksanakan pada hari
tersebut:
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Praktikum Stela No Waktu
(WIB)
Durasi( menit)
Kegiatan
1 04.00-09.00 300’ Pemberangkatan asisten dan praktikan
2 09.00-09.45 45’ Materi Pendahuluan :
1. Penggunaaan GPS menuju titik pengamatan yang telah ditetapkan
2. Teknik membaca peta (google eart dan kontur, lereng, geologi, dan administrasi)
3.Pengamatan kondisi fisiografi 3 09.45-10.30 45’ Pembuatan minipit dan profil
tanah
4 10.30-11.15 45’ Identifikasi tanah
5 11.15-11.30 15’ Pindah ke titik selanjutnya 6 11.30-12.00 30’ Identifikasi tanah
7 12.00-12.15 15’ Pindah ke titik selanjutnya 8 12.15-12.45 30’ Identifikasi tanah
9 12.45-13.15 30’ Ishoma
10 13.15-14.15 60’ Klasifikasi tanah 11 14.15-14.45 30’ Kemampuan lahan
4 12 14.45-16.00 75’ Kesesuaian lahan aktual dan
potensial 13 16.00-16.15 15’ Penutupan
Gambar 1. Tempat: Pengamatan fieldtrip survei tanah dan Evaluasi Lahan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
5 2.2 Alat dan Bahan
Alat bahan yang digunakan pada praktikum ini merupakan alat yang digunakan pada saat kegiatan pra survei dan pelaksanaan. Jenis dan fungsi dari alat dan bahan disajikan pada table 1:
Tabel 2. Alat dan Bahan
No. Tahapan Alat/Bahan Fungsi
1. Pra Survei 1. Alat tulis Menggambar
bayangan berupa titik yang dihasilkan oleh stereoskop cermin untuk mengetahui tingkat kefokusan mata praktikan pada laboratorium.
2. Stereoskop cermin Untuk melihat dan mengidentifikasi land use dan landform yang ada di daerah Kediri 3. Foto Udara Sebagai bahan yang
akan dilihat pada stereoskop cermin 4. Mika bening Untuk menggambar
hasil delineai landform dan land use dari foto udara 5. Selotip Untuk menempelkan
6
yang akan
diinterpretasikan landform dan land use nya pada stereoskop cermin 6. Spidol OHP Untuk penulisan dan
deliniasi batas-batas landform pada mika bening
7. Mistar 50 cm Untuk menggaris bayangan yang didapatkan dari stereoskop cermin 8. Aplikasi ArcGIS Aplikasi software
untuk mengubah peta yang belum memilki koordinat menjadi peta yang memiliki koordinat dan skala
9. Komputer Untuk menjalankan aplikasi ArcGIS 2. Pelaksanaan 1. Modul Untuk memberikan
panduan tentang cara praktikum fieldtrip di lapang 2. Alat tulis Untuk mencatat
hasil fieldtrip di lapang
7 kemampuan lahan kemampuan lahan di daerah fieldtrip 4. Form kesesuaian lahan Untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan 5. Form fisiografi lahan Untuk mengetahui kelerengan, drainase, tingkat erosi, keadaan permukaan lahan, vegetasi dan penggunaan lahan 6. Morfologi Mengetahui ketebalan horizo, batas horizon, warna, tekstur, struktur, konsistensi, pori, karatan, gejala non redoksi morfik dan perakaran pada masing-masing horizon 7. Peta administrasi Untuk mengetahui lokasi fileldtrip berdasarkan peta administrasi
8. Peta Geologi Untuk mengetahui jenis tanah pada tempat fieldtrip 9. Peta lereng Untuk mengetahui
8 kelerengan dari tempat fieldtrip 10. Cangkul Untuk membuat
minipit tanah
11. Bor Mengebor tanah
untuk mengetahui horizon tanah dan sifat-sifat tanah pada lahan yang diamati.
12. Skop Untuk membuat
minipit pada lahan 13. Pisau Untuk membatasi
lapisan horizon pada minipit
14. Munsel Colour Chart
Untuk mengetahui sifat tanah berupa warna tanah
15. Plastik Untuk membungkus tanah sebagai sampel
16. Klinometer Untuk mengetahui kelerengan pada tempat fieldtrip 17. GPS Untuk menentukan
titik pengamatan pada saat fieldtrip 18. Botol air+air Untuk mengetahui
tekstur tanah 19. Sabuk profil Untuk
9 memperjelasbatasan-batasan horizon saat di dokumentasi 20. Meteran (roll meter) 2 meter Untuk mengetahui kedalaman minipit saat fieldtrip
21. PH meter Untuk mngethaui pH tanah yang dgunakan sebagai sampel
22. Kamera Untuk dokumentasi saat praktikum lapang.
2.3 Alur Kerja
2.3.1 Tahap Pra Survei a. Laboratotium SIG
Pemberangkatan dari UB kampu IV ke UB kampus Malang
Persiapan alat dan bahan di laboratorium
Pengamatan peta menggunakan stereoskop cermin untuk mengetahui gambaran dari land use dan landform pada
peta udara
Menginterpretasikan hasil landform dan land use yang sudah di delineasi
10 b. Laboratorium PJP
2.3.2 Tahap Pelaksanaan di Lapang
Menyalakan komputer dan membuka aplikasi ArcGIS
Mengambil data yang ada pada folder UB kampus IV
Merubah peta yang belum memiliki koordinat dan skala menjadi peta yang memilki koordinat dan skala pada
aplikasi ArcGIS
Mendelineasi peta yang sudah memiliki koordinat dan skala
Interpretasi dari delineasi yang sudah dilakukan
Berangkat dari UB kampus IV menuju ke lahan fieldtrip Bumiaji Identifikasi peta penggunaan lahan, kesesuaian lahan, geologi, dan
administrasi Pembuatan minipit
Pengamatan morfologi tanah
Pengamatan fisiologi tanah
Dokumentasi
11 2.4 Persiapan Peta Kerja
Peta kerja yang digunakan dalam survei lapang di Bumiaji ada empat macam yakni:
1. Peta Geologi 2. Peta Jenis Tanah 3. Peta Administrasi 4. Peta Penggunaan lahan
Keempat peta tersebut diperoleh dari tim asisten survei tanah dan evaluasi lahan 2015. Peta-peta tersebut sangat berfungsi untuk membantu memperlancar kegiatan fieltrip. Peta tersebut diperoleh dalam bentuh soft copy lalu kemudian diprint dalam kertas foto dan dibawa kelapang untuk membentu memperlancar kegiatan fieltrip. 2.5 Metode Penentuan Titik Pengamatan
Dalam mentukan titik pengamatan harus di tempat yang representative sesuai dengan tujuan kajian yang dilakukan. Beberapa hal yang penting dalam penentuan lokasi pembuatan minipit tersebut adalah :
1. Berada jauh dari lokasi penimbunan sampah, tanah galian atau bekas bangunan, kuburan atau bahan-bahan lainnya.
2. Berjarak > 50m dari pemukiman, pekarangan, jalan, saluran air dan bangunan lainnya.
3. Pada daerah berlereng, profil dibuat searah lereng. 2.6 Perizinan
Untuk perizinan dilakukan oleh asisten dosen dan asisten praktikum dari UB Malang, sehingga praktikan langsung ke lokasi fieldtrip untuk melakukan fieldtrip lapang.
2.7 Pengamatan Morfologi Tanah di Lapangan
Sifat yang diamati dalam morfologi tanah mencakup komposisi, bentuk, struktur dan susunan tanah, sifat dari tanah dasar, persebaran akar tumbuhan dan pori-pori tanah, translokasi ion dan
12 mineral, dan konsistensi tanah. Pengamatan biasanya dilakukan pada profil tanah yang dipotong secara vertikal dua dimensi dengan luas permukaan tanah tidak lebih dari satu meter persegi namun kedalaman dapat bervariasi.
13 Adapun langkah-langkah pengamatan morfologi tanah pada lahan adalah:
Siapkan alat dan bahan
Buat lubang minipit pada lahan yang akan diteliti
Buat batas berdasarkan kenampakan perbedaan-perbedaan yang terlihat jelas di tanah
Tusuk-tusuk bidang profil tanah menggunakan pisau untuk mengetahui konsistensi atau kepadatan keseluruhan profil.
Tentukan warna tanah, kepadatan dan tekstur tanah ,apabila sama maka perbedaan konsistensi, struktur, kenampakan redoksimorfik
dapat digunakan sebagai dasar penarikan batas horizon.
Setelah horizon ditentukan , letakkan meteran tegak lurus bidang profil tanah
Pasang sabuk profil, untuk menentukan jarak antar horizon tanah
Kemudian foto bidang profil yang diamati.
Tentukan tebal penampang horizon menggunakan meteran
Tentukan karakteristik tanah
14 2.8 Pengukuran pH Tanah
Tanah merupakan media tumbuh alami yang menyediakan makanan (unsur hara) bagi kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan (tanaman). Agar tanaman mampu berproduksi optimal berkesinambungan, kualitas tanah harus tetap dipertahankan. Kesalahan-kesalahan dalam pengolahan tanah dapat mengakibatkan kerusakan pada tanah, berakibat menurunkan produktifitas tanaman. Produktifitas tanah dalam menghasilkan produk pertanian sangat tergantung pada kemampuan suatu tanah dalam menyediakan unsur hara yang berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Reaksi tanah secara umum dinyatakan dengan pH tanah. Kemasaman tanah bersumber dari asam organik dan anorganik serta H+ dan Al3+ dapat tukar pada misel tanah. Sedangkan tanah alkalis dapat bersumber dari hasil hidroksil dari ion dapat tukar atau garam-garam alkalis seperti : Belerang dan sebagainya.
Nilai pH tanah merupakan ciri kimia tanah yang sangat penting dalam menentukan kesuburan tanah karena ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat berkitan dengan nilai pH tanah. Semakin tinggi nilai pH tanah berarti semakin basa tanah tersebut. Populasi dan kegiatan mikroorganisme di dalam tanah juga sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pengukuran pH tanah dapat dengan berbagai cara, yaitu menggunakan kertas lakmus, pH meter dan pH tester. Selain itu PH tanah juga digunakan untuk mengukur tingkat kesuburan dari tanah tersebut.
Pada praktikum yang dilakukan dengan menggunakan pH meter untuk mengukur PH tanah dengan terlebih dahulu mencampurkan tanah yang akan diukur dengan Aquades. Komposisi aquades dan tanah mengikuti aturan yang berlaku yaitu dengan perbandingan 1:1. Diaduk sampai jenuh (kapasitas lapang). Menancapkan pH meter, menunggu beberapa saat dan akan muncul
15 nilai perlahan sampai akhirnya berhenti (stabil). Angka pada kondisi ini merupakan nilai pH. Dan dilakukan untuk semua titik sampel. 2.9 Evaluasi Lahan
2.9.1 Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah penilaian lahan secara sistematik dan pengelompkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari. Data hasil pengamatan data kemampuan lahan dimasukkan dalam table kelas kemampuan lahan survei (Tabel. 2.9.1) dengan beberapa kriteria tertentu.
Tabel 3. Kelas Kemampuan Lahan Survei Tabel 3 kelas kemapua lahan
No Faktor Pembatas Hasil Pengamatan Kelas
1 Tekstur a. Tekstur Atas b. Tekstur Bawah 2 Lereng 3 Drainase 4 Kedalaman Efektif 5 Tingkat Erosi 6 Batuan/Kerikil 7 Bahaya banjir Kelas Kemampuan Lahan Sub Kelas Kemampuan Lahan
Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit. Pengelompokan Klas didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub Klas menunjukkan jenis faktor
16 penghambat. Tingkat terendah adalah Unit yang merupakan pengelompokan lahan yang mempunyai respon sama terhadap sistem pengelolaan tertentu.
Secara umum sistem ini menggunakan delapan Klas. Apabila makin besar faktor penghambatnya dan makin tinggi Klasnya maka akan semakin terbatas pula penggunaannya. Pembagian Klas-klas tersebut adalah sebagai berikut :
Klas I – IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpangsari
Klas V untuk tegalan atau tumpangsari dengan tindakan konservasi tanah
Klas VI untuk hutan produksi
Klas VII untuk hutan produksi terbatas Klas VIII untuk hutan lindung
Adapun penghambat yang digunakan adalah e (erosi), w (drainase), s (tanah), c (iklim) dan g (kelerengan). Pada klasifikasi ini dikenal prioritas penanganan penghambat berdasarkan tingkat kemudahan penanganannya. Pada kelas yang sama, bilamana mempunyai beberapa penghambat maka akan dipilih prioritas penghambat yang paling besar. Urutan prioritas penghambat tersebut adalah (dari yang paling mudah diatasi) e – w – – s – c – g. Jadi apabila hasil klasifikasi dalam satu unit lahan menunjukkan Klas IVe, IVw dan IVs, maka akan ditetapkan sebagai Klas IVs karena mempunyai jenis penghambat yang paling sulit ditangani.
Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL mengikuti standar yang ada. Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel kriteria atau disebut juga tabel matching. Kriteria ini kemudian digunakan untuk melakukan sortasi data karakteristik lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I antara lain adalah adanya teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman
17 tanah > 90 cm, lereng 0 – 8 % dan tidak ada batuan singkapan pada permukaan tanah.
2.9.2 Kesesuaian Lahan
Berbeda dengan klasifikasi ‘Kemampuan Lahan’ yang merupakan klasifikasi tentang potensi lahan untuk penggunaan secara umum, ‘Kesesuaian Lahan’ lebih menekankan pada kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu. Dengan demikian klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan akan saling melengkapi dan memberikan informasi yang menyeluruh tentang potensi lahan.
Pada prinsipnya klasifikasi kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Oleh karena itu klasifikasi ini sering juga disebut species matching. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu : sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub Klas pada klasifikasi kesesuaian lahan ini juga mencerminkan jenis penghambat. Ada tujuh jenis penghambat yang dikenal, yaitu e (erosi), w (drainase), s (tanah), a (keasaman), g (kelerengan) sd (kedalaman tanah) dan c (iklim). Pada klasifikasi kesesuaian lahan tidak dikenal prioritas penghambat. Dengan demikian seluruh hambatan yang ada pada suatu unit lahan akan disebutkan semuanya. Akan tetapi dapat dimengerti bahwa dari hambatan yang disebutkan ada jenis hambatan yang mudah (seperti a, w, e, g dan sd) atau sebaliknya hambatan yang sulit untuk ditangani (c dan s).
Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu maka unit lahan yang
18 mempunyai faktor penghambat c atau s sulit untuk diperbaiki keadaannya.
Prinsip klasifikasi kesesuaian lahan hampir sama dengan kemampuan lahan, yaitu: 1. Katagori Kelas diputuskan sesuai dengan Kelas kesesuaian terendah. 2. Pada kelas yang sama tetapi ada beberapa sub Kelas yang berbeda, semua sub kelas yang ada perlu disebut dan tidak ada prioritas.
Berukut adal tabel kriteria lahan berupa tanaman padi pada titik ke satu. Padi merupakan tanman yang paling dominan dari daerah lokasi survei.
Tabel 4. Kelas Kesuaian Lahan untuk Padi Gogo Persyaratan
penggunaan / karakteristik lahan
Kelas kesesuaian lahan
S1 S2 S3 N Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) 24 – 29 22 – 24 29 – 32 18 – 22 32 - 35 < 18 > 35 Ketersediaan air (wa) Curah hujan tahunan (mm) 50 – 400 400 – 550 550 - 650 > 650; < 50 Kelembaban (%) 33 – 90 30 – 33 < 30 > 90 Media perakaran (rc) Drainase baik, sedang, - terhambat, sangat Cepat
19 agak cepat, agak terhamba t terhambat Tekstur halus, agak halus, sedang
- agak kasar Kasar
Bahan kasar (%) < 15 15 – 35 35 – 55 > 55 Kedalaman tanah (cm) > 50 40 – 50 25 – 40 < 25 Gambut: Ketebalan (cm) < 60 60 – 140 140 - 200 > 200 Ketebalan (cm),
jika ada sisipan bahan mineral/ Pengkayaan
< 140 140 – 200 200 - 400 > 400
Kematangan saprik+ saprik, hemik+ hemik, fibrik+ Fibrik Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16 Kejenuhan basa (%) > 35 20 – 35 < 20 pH H2O 5,5 - 7,5 5,0 - 5,5 7,5 - 7,9 < 5,0 > 7,9 C-organik (%) > 1,5 0,8 - 1,5 0,8 - 1,5 Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) < 2 2 – 4 4 – 6 > 6
20 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) < 20 20 – 30 30 – 40 > 40 Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) > 75 50 – 75 50 – 30 < 30
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) < 8 8 – 16 16 – 30 16 – 50
> 30 > 50 Bahaya erosi sangat
rendah
rendah– sedang
berat sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan - F11 F12 - F13 > F13 Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) < 5 5 – 15 15 – 40 > 40 Singkapan batuan (%) < 5 5 – 15 15 – 25 > 25
Berdasarkan kriteria tersebut maka lahan ! dan lahan s2 yang telah diamati termasuk dalam kesesuaian lahan kelas s2, dimana kesesuaian lahan kelas s2 masih dapat digunakan untuk lahan pertanian, tetapi hasilnya tidak sebesar pada lahan kelas s1
2.10 Analisis Kelayakan Usahatani
Analisis kelayakan usaha tani merupakan penilaian terhadap suatu komponen yang digunakan dalam usaha tani, apakah layak atau
21 tidak untuk dugunakan. Adapun perhitungan dalam analisis kelayakan usaha tani antara lain:
A. Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, dan secara tetap dikeluarkan meskipun jumlah produksi banyak atau sedikit. Sehingga besarnya biaya tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi yang dijalankan.
B. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya variabel per unit konstan (tetap) dengan adanya perubahan volume produksi. C. Break Even Point
Menurut Soekartawi (2002) analisis BEP atau nilai impas adalah suatu teknis analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan, volume penjualan BEP dalam penelitian merupakan pengukuran dimana kapasitas riil pengolahan bahan baku menjadi output menghasilkan total penerimaan yang sama dengan pengeluaran BEP dalam unit dan dalam Rupiah yang dirumuskan sebagai berikut:
1. BEP Rp/unit Keterangan TC = total biaya Q = Total produksi 2. BEP Unit BEP Unit = Keterangan TC = total biaya (Rp) P = harga jual (Rp)
22 D. R/C Ratio
Menurut Kardiman (2006) R/C rasio merupakan metode analisis untuk mengukur kelayakan usaha dengan menggunakan rasio penerimaan (revenue) dan biaya (cost). Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam menerapkan suatu teknologi. Dengan kriteria hasil:
R/C > 1 berarti usaha sudah dijalankan secara efisien.
R/C = 1 berarti usaha yang dijalankan dalam kondisi titik impas/Break
Event Point (BEP).
R/C ratio < 1 usaha tidak menguntungkan dan tidak layak
Menurut Soetriono (2003) menyatakan bahwa secara sederhana dapat ditulis rumus perhitungan R/C rasio :
Penerimaan = PQ . Q Total Biaya = TFC + TVC R/C ratio = {( PQ . Q) / (TFC + TVC)} Keterangan : PQ = Harga output Q = Output
TFC = Total Biaya Tetap (fixed cost) TVC = Total Biaya Variabel (variable cost) E. B/C Ratio
Metode Benefit Cost Ratio (BC Ratio) merupakan perbandingan antara nilai sekarang dari penerimaan atau pendapatan yang diperoleh dari investasi dengan nilai sekarang dari pengeluaran (biaya) selama investasi tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Kriteria kelayakan apabila nilai BC Ratio > 1 dan dirumuskan dengan :
BCR = (∑ Nilai Sekarang Pendapatan) : (∑ Nilai Sekarang Pengeluaran)
23 III. Hasil dan Pembahasan Survei
3.1 Kondisi Umum Wilayah 3.1.1 Bahan Induk Tanah
Gambar 2 Peta Geologi Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) Bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan
PLOT2 PLOT1
24 berubah menjadi bahan induk, dan dengan adanya proses pelapukan lebih lanjut serta proses-proses pembentukan tanah lain, bahan induk berubah menjadi tanah dalam waktu yang lama (Jenny,1941). Informasi geologi diperoleh dari Peta Geologi dengan skala 1:100.000 Lembar Malang. Secara umum tanah yang berkembang di Kecamatan Bumiaji berasal dari bahan vulkanik hasil gunungapi yang dipengaruhi oleh Gunung Arjuno dan Gunung Anjasmoro di bagian utara, dan Gunung Panderman di bagian selatan.
Berdasarkan peta geologi yang telah tersedia, diketahui tempat yang digunakansurveitanahpada plot 1 (Lintang 667990, Bujur 9139436) ialah minipit tanah pada kode N2 yakni dengan kode formasi geologi “Qpat” yang artinya formasi geologinya berasal dari batuan gunungapi Anjasmara tua. Sedangkan pada plot 2 (Lintang 667792, Bujur 9138183) ialah pada daerah formasi geologi “Qpva” yang artinya berasal dari batuan gunungapi Anjasmara muda. Hal ini sesuai dengan Peta Geologi Lembar Malang, bahwa formasi geologi yang dijumpai di kawasan Kecamatan Bumiaji ada tiga, berturut-turut dari yang paling luas yaitu: 1). Qvaw (Batuan Gunungapi Arjuna Welirang), 2). Qpat (Batuan Gunungapi Anjasmara Tua),dan 3). Qpva (Batuan Gunungapi Anjasmara Muda) (Santosa et.al., 2005).
25 3.1.2 Bentuk Lahan
Gambar 3 Peta Bentuk Lahan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji) Menurut Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
26 bentuklahan merupakan bentang permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuk lahan dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi dan material penyusun (Zmit, 2013).
Kondisi geologi dan proses pembentukan lahan menghasilkan bentuk lahan yang dipengaruhi oleh proses vulkanisme. Berdasarkan reliefnya, bentuk lahan di Kota Batu dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1) jalur pelembahan sempit (Ac) dan jalur aliran lahar (Al), (2) dataran (P), (3) perbukitan (H), dan (4) pegunungan (M), dimana, berdasarkan posisinya pada suatu lereng dan kemiringan lerengnya, masih dapat dibagi lagi menjadi berbagai macam bentuk lahan. Sebaran masing-masing bentuk lahan disajikan pada Gambar 7.
Jalur perlembahan tersebar di seluruh lokasi merupakan hasil proses denudasional/ pengikisan dari bentuk lahan asalnya. Pada beberapa jalur, ditumpuki oleh sedimentasi lahar tua atau debris. Kedalaman, lebar dan bentuknya tergantung lokasi jalur ini. Di bagian lereng atas pegunungan umumnya cukup lebar dan dalam dengan lemah bentuk V. Di bagian dataran, tidak terlalu lebar, tidak terlalu dalam dan berbentuk U.
Sistem dataran dijumpai di bagian tengah, merupakan dataran vulkanik antar pegunungan yang terbentuk oleh berbagai bahan hasil letusan dan atau sedimentasi hasil erosi dan atau longsor dari kawasan perbukitan/ pegunungan di atasnya. Berdasarkan atas posisi dan proses pegikisan yang dapat dibagi lagi ke beberapa subsistem, yaitu: dataran bagian bawah (Pl), bagian tengah (Pm), bagian atas (Pu), dataran yang tertoreh (Pd) dan bagian dataran yang mengalami erosi berlebihan (Ps). Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan
27 memiliki amplitudo ketinggian antara 50 – 300m. Berdasarkan atas posisi dan kemiringan lerengnya dapat dibedakan atas: puncak/ punggung perbukitan (Hp), pereng perbukitan (Hs), kaki perbukitan (Hc), dan lereng perbukitan yang tertoreh (Hd).
Sistem Pegunungan berapi di bagian lereng atas kompleks pegunungan yang ada, yaitu Gunung Arjuna-Welirang, Anjasmara dan Kawi-Butak. Berdasarkan atas konfigurasi permukaannya, grup ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: Plato, spurs dan punggung gunung (Mp), kerucut gunung vulkanik pada bagian lereng atas (Mu), lereng-lereng gunung curam (Ms), bahan tertimbun akibat longsoran di gunung (Mc ), gunung tertoreh dengan punggung tajam sejajar (Md), Kerucut gunung vulkanik terisolir, curam sampai sangat curam (Mi), dan bekas longsoran tanah di gunung (Ml).
Bentuk lahan di Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji dipengaruhi oleh proses vulkanisme dari gunungapi Arjuna dan Anjasmara di sebelah utara dan Gunungapi Panderman di sebelah Selatan. Bentuk lahan sesuai lapisan tanah yang berasal dari batuan vulkanik yang disebut sebagai tanah Andisol. Diketahui bahwa pada plot 1 dan plot 2 jenis tanahnya ialah tanah Andisol. Hal ini sesuai dengan pernyataan vulkanisme adalah berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma yang bergerak naik ke permukaan bumi. Akibat dari proses ini terjadi berbagai bentuk lahan yang secara umum disebut bentuk lahan gunungapi atau vulkanik (Suhendra, 2009).
28 3.1.3 Kemiringan Lahan
Gambar 4. Peta Kelerengan Tempat Penelitian (Kec. Bumiaji)
Berdasarkan pada daerah penelitian yakni plot 1 yang merupakan dataran yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah plot 2 namun merupakan satu daerah yang memiliki kelerengan yang searah. Kemiringan lereng di daerah penelitian sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Lereng datar dijumpai pada dataran antar gunung api di bagian tengah, termasuk dataran sempit antara Gunung
29 Arjuna dan Anjasmara. Lereng terjal umumnya dijumpai pada tebing lereng hampir di semua lokasi.
Lereng datar sampai agak datar (<8%) sekitar 19.18% luas areal berada pada dataran vulkanik antar pegunungan. Lereng landai (8-15%) sekitar 16.8% luas wilayah pada dataran berombak di kaki perbukitan yang dimanfaatkan untuk lahan budidaya (tanaman pangan di Kecamatan Bumiaji dan Batu), dan sayuran dan atau buah-buahan di Kecamatan Bumiaji. Lereng agak curam (15-25%) sekitar 15.45% luas wilayah pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan yang budidaya tanaman pangan dan kebun campuran (Kecamatan Junrejo dan Batu) dan kebun apel dan atau sayuran di Kecamatan Bumiaji. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan praktikumsurveitanah dan evaluasi lahan ini berada pada kelerengan landai yakni berkisar 8-15% dan kelerengan agak curam yakni berkisar 15-25%, dan masing-masing penggunaan lahan disesuaikan dengan kelerengan lahannya. Pada lahan dengan kelerengan landai pada dataran yang berombak di kaki perbukitan penggunaan lahannya sebagai budidaya tanaman pangan, sayuran dan buah-buahan. Sedangkan untuk lahan dengan kelerengan agak curam pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan digunakan untuk budidaya tanaman pangan, kebun campuran, sayuran dan budidaya tanaman apel.
Sedangkan berdasarkan data kemiringan lereng yang didapat dari penggunaan alat klinometer pada kedua plot yakni plot 1 dan 2 diketahui kemiringan lahan di tempatsurveiDesa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji adalah 10% 50.
Berdasarkan kedua data yang berasal dari peta dan data penelitian diketahui terdapat perbedaan hasil. Hal ini dikarenakan pada peta pengukuran dilakukan secara meluas atau pada luasan daerah
se-30 Kecamatan, sedangkan pada hasil penelitian atausurveidilakukan pada satu titik atau melalui satu plot atau dua plot yang lebih fokus. Pada datasurveidiperoleh 10% hasil kemiringan lahan yang masih termasuk dalam hasil data dari peta yang terdapat dua hasil yakni pada lereng landai <8% dan lereng agak curam 15-25%.
3.1.4 Penggunaan Lahan dan Vegetasi
Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian, “suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan”. Penggunaan lahan itu sendiri merupakan bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 1989:207). Sedangkan Luthfi Rayes (2007:162) menyatakan bahwa penggunaan lahan adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, perkebunan atau daerah rekreasi.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik sampel plot pertama yaitu titik 1 N2, dilihat dari satuan peta lahan merupakan minipit tanah yang bertempat di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang terihat pada peta citra termasuk daerah lereng gunung Anjasmara. Hal ini sesuai dengan acuan kode formasi peta Geologi dimana titik1 N2 termasuk dalam daerah QPAT yaitu daerah batuan gunung api Anjasmara tua. Mengacu pada peta penggunaan lahan, titik 1 N2 (minipit) termasuk dalam penggunaan lahan agroforestri. Data ini sesuai dengan keadaan lapangan di titik 1 N2 daerah lereng gunung Anjasmara Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang. Sedangkan, pada titik sampel plot ke-2 dilihat dari satuan peta lahan
31 merupakan batas desa. Ttitik sampel plot ke-2 bertempat di wilayah desa yang sama yaitu Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malag apabila dilihat dari peta geologi termasuk dalam daerah QPVA yaitu daerah batuan gunung api Anjasamara muda. Mengacu pada peta penggunaan lahan plot titik ke-2 termasuk dalam penggunaan lahan perkebunan.
Vegetasi sebagai mosaik komunitas tumbuhan dalam lansekap dan vegetasi alami diartikan sebagai vegetasi yang terdapat dalam lansekep yang belum dipengaruhi oleh manusia. Vegetasi merupakan sekumpulan dari berbagai jenis tumbuhan yang mendiami suatu kawasan dan di antara individu - individu penyusunnya terdapat hubungan interaksi yang erat, baik antara tumbuhan itu sendiri maupun dengan hewan yang hidup dalam vegetasi itu, dengan demikian vegetasi bukan hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan saja melainkan membentuk suatu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh - tumbuhan (Marsono, 1997).
Pada titik ke- 1 N2 (minipit) ini masih termasuk pada vegetasi alami yakni hutan dengan kondisi iklim submontana altitude 1000-2000 m. Sedangkan untuk jenis vegetasi alami yang terdapat di sekitar daerah titik 1 N2 meliputi rumput, ilalang, ecaliptus (tanaman minyak kayu putih), pohon paitan, semak dan pohon juwek. Untuk lahan pertanian di daerah titik 1 N2 digunakan sebagai kebun campuran. Jenis tanaman yang ditanam disana adalah tanaman jambu dan kersen.
Melihat keadaan lapangan yang sebenarnya pada plot titik ke-2 vegetasi alaminya termasuk belukar dengan kondisi iklim submontana altitude 1000-2000 m. Untuk jenis vegetasi alami yang terdapat di sekitar kelerengan daerah titik ke-2 meliputi belukar, pohon jabon, semak, dan pohon sono. Sedangkan untuk lahan pertanian di daerah titik ke-2 adalah pertanian lahan kering. Dimana pada saat pengamatan
32 sampel tanah di titik ke-2 merupakan bagian lahan persawahan yang sedang diberokan, bekas penanaman bawang merah. Jenis tanaman yang ditanam disana selain bawang merah adalah sayuran seperti bunga kol yang di tumpangsari dengan tanaman apel.
Dari hasil pengamatan vegetasi tersebut, terlihat jelas bahwa ada perbedaan jenis vegetasi yang tumbuh di kedua sampel titik plot yang berbeda. Hal ini tentu terlihat jelas karena adanya perbedaan kelerengan di kedua daerah titik tersebut dimana pada plot titik ke-1 kelerengannya lebih tinggi dan lebih curam dibandingkan pada plot titik ke-2. Sehingga dengan mengacu pada perbedaan kelerengan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kelerengan juga mempengaruhi macam vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan banyaknya air tersedia bagi tumbuh-tumbuhan, sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut. Lahan yang mempunyai kemiringan dapat lebih mudah terganggu atau rusak,lebih-lebih bila derajat kemiringannya besar. Tanah yang mempunyai kemiringan >15% dengan curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan longsor tanah (Kartasapoetra,1990 dalam Andrian, 2014).
3.1.5 a) Drainase, b) Kedalaman Efektif, c) Batuan Permukaan, d) Bahan Kasar, e) Erosi, f) Bahaya Banjir
a) Drainase
Pada hasil pengamatan daerah survei di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik survei ke-1 N2, memiliki kelas drainase tanah yang baik, permeabilitas yang cepat yaitu > 6.0 cm/jam, dan memiliki kemampuan runoff yang cepat pula. Untuk pengelolaan air di daerah survei titik ke-1, berdasarkan pengamatan kami tidak ada.
33 Sedangkan untuk daerah survei titik ke-2, juga memiliki kelas drainase yang baik, namun untuk permeabilitasnya sedang yaitu 0.6-6.0 cm/jam, dan kemampuan runoff yang cepat serta terdapat pengelolaan air atau drainase buatan berupa embung yang diletakkan disamping lahan pertanian. Adanya embung, membuktikan bahwa di daerah survei titik ke-2 sudah menerapkan adanya teknik konservasi air.
b) Kedalaman Efektif
Kedalaman tanah efektif berpengaruh terhadap kepekaan tanah pada erosi. Menurut Hardjowigeno (2007:57), “Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman”. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menetukan banyaknya air yang dapat diserap tanah, dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Menurut Arsyad (1989:226) kedalaman tanah efektif diklasifikasikan sebagai berikut:
No. Kedalaman tanah (cm) Kelas
1. > 90 Dalam
2. 90 – 50 Sedang
3. 50 – 25 Dangkal
4. < 25 Sangat Dangkal
Sumber: Arsyad, (1989:226)
Dari hasil pengamatan survei di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Batu-Malang, pada titik survei ke-1 N2 kedalaman efektifnya adalah 1 m. Jadi, menurut Arsyad (1989:226) pada titik survei ke-1 ini termasuk klasifikasi kelas dalam, dikarenakan kedalaman efektifnya lebh dari 90 cm (>90 cm). Sedangkan, pada plot titik survei ke-2 diperoleh kedalaman efektif sebesar 30 cm. Jadi, mengacu pada klasifikasi kedalaman tanah efektif menurut Arsyad (1989:226) pada titik survei ke-2 ini termasuk dalam kelas dangkal.
34
c) Batuan Permukaan
Berdasarkan pengamatan pada survei titik ke-1 dan pada survei titik ke-2, tidak ditemukan batuan permukaan seperti kerikil, dikarenakan telah melapuk dan pada kenyataan kondisi lahan survei pada titik ke-1 telah digunakan sebagai agroforestri dan pada titik ke-2 telah digunakan sebagai lahan perkebunan dan lahan pertanian.
d) Bahan Kasar
Pada data pengamatan survei titik ke-1 dan titik ke-2 juga tidak ditemukan batuan kasar yang berupa kerikil.
e) Erosi
Menurut Sarief (1985:109), “Erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah dipermukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan dan aliran air permukaan”. Tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada di bagian atas lereng karena semakin ke bawah, air terkumpul semakin banyak dan kecepatan aliran juga meningkat, sehingga daya erosinya besar (Utomo, 1989:36). Lereng yang semakin curam dan semakin panjang akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan dan volume air permukaan semakin besar, sehingga benda yang bisa diangkut akan lebih banyak (Martono, 2004
dalam Andrian, 2014). Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat
bahaya erosi pada kemiringan lahan dengan cara pembuatan teras (Kartasapoetra, dkk, 1987 dalam Andrian, 2014).
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, di daerah survei titik ke-1 mengalami erosi alur dengan derajat yang ringan. Sedangkan untuk daerah survei titik ke-2 juga mengalami erosi alur namun dengan derajat sedang. Erosi alur terjadi ketika runoff masuk kedalam cekungan permukaan tanah, sehingga terjadilah pengangkutan sedimen.
35
f) Bahaya Banjir
Berdasarkan hasil dari survei tanah dan evaluasi lahan di daerah ini merupakan dataran tinggi yang berlereng. Sehingga pada plot titik ke-1dan titik ke-2 tidak ada bahaya terjadinya banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi.
3.2 Morfologi Tanah
Tabel. 5 ringkasmorfologitanahdansimbol horizon
besertapenjelasan. Plot 1
Tabel 5morfologi tanah dan simbol horizon
No Hasil Survei Tanah Titik N2 (Minipit)
1 Jumlah/Nomor Horison 1 2 3
2 Simbol Horison A1 A2 A3
3 Kedalaman Horison 0-32,33 cm 0-41,33 cm 0-52 cm 4 Perakaran Jumlah Sd Bi Ba Sd BiBa Sd Bi Ba
Ukuran HaSd Ha Ha Sd Ka Ha Sd Ka 5 Pori Halus Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba
Sedang Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Kasar Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba
6 Warna 10YR 6/2 10YR 5/6 10YR 3/3
7 Karatan Tidak
ditemukan
Tidak ditemukan Tidak ditemukan 8 Gejala Redoksi Morfik Tidak
ditemukan
Tidak ditemukan Tidak ditemukan 9 Gejala Non Redoksi
Marfik
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Tidak ditemukan
36 Ukuran >10 mm 5-10 mm 1-2 mm
Tingkat Kuat cukup Lemah
11 Tekstur Lempung liat berdebu Lempung liat berdebu Lempung berdebu
12 Konsistensi Lembab Sangat gembur
Lepas Lepas
Basah Tidak lekat Agak lekat Agak lekat 13 Plastisitas Tidak Plastis Tidak Plastis Sangat
Plastis 14 Horison Penciri Epipedon
Okrik
Epipedon Okrik Endopedon Kambik
Tabel. 6 Hasil Pemboran Tanah Minipit (4x pemboran) Tabel 6 hasil pemboran tanah
No Pemboran 1 2 3 4
1 Warna 10YR 4/4 10YR 4/6 10YR 6/6 10YR 5/8
2 PH 7,5 7,3 7,1 6,4
3 Tekstur Lempung berdebu
37 PLOT 2
Tabel 7 hasil survei tanah
No Hasil Survei Tanah Titik N2 (Minipit) 1 Jumlah/Nomor Horison 1 2 3 4 2 Simbol Horison A1 A2 A3 A4 3 Kedalaman Horison 9,67 cm 27 cm 51,67 cm 80 cm 4 Perakara n Jumlah Sd Bi Ba SdBiBa Sd Bi Ba Sd Bi Ba Ukuran HaSd Ka Ha Sd Ka Ha Sd Ka Ha Sd Ka 5 Pori Halus Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sedang Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Kasar Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba Sd Bi Ba 6 Warna 10YR 7/6 10YR 5/6 10YR 5/4 10 YR 5/6
7 Karatan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan 8 Gejala Redoksi Morfik Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan 9 Gejala Non Redoksi Marfik Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan 10 Struktur Tipe Remah
halus
sudut Sudut Sudut
Ukuran >10 mm 5-10 mm 10-20 mm 5-10 Tingkat cukup kuat kuat Kuat
11 Tekstur debu Liat
berdebu
Liat berdebu Liat berdebu
12 Konsisten si
Lembab lepas Lepas Gembur Teguh
38 Tabel 8 Hasil Pemboran Tanah Minipit (3x pemboran)
No Pemboran 1 2 3
1 Warna 10YR 3/6 10YR 3/3 10 YR 3/6
2 PH 6,3 6,3 6,2
3 Tekstur Liat berdebu Liat berdebu Liat berdebu
Pejelasan dari morfologi tanah dan symbol horizon, pada titik pertama atau plot satu terletak di bumiaji terdapat tiga horizon dan empat kali pengeboran. Horizon pertama memiiki kedalaman 32,33 cm. kedalaman di dapat dari hasil rata – rata tiga sisi minipit yaitu tepi kiri, tengah dan tepi kanan. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak dengan ukuran sedang. Pori yang ada kasar dan banyak. Warna pada horizon ini coklat cerah dan memiliki struktur butir >10mm serta kuat. Untuk konsistensi lembab sangat gembur dan konsistensi basah tidak lekat. Konsistensi basah di dapat dengan penambahan sedikit air untuk mengetahuinya. Sementara plastisitasnya tidak plastis dengan horizon penciri epipedon okrik.
Horizon kedua, symbol horizon nya A2 memiliki kedalaman 41,33 cm. Jumlah perakarannya biasa (Bi) dengan ukuran halus. Pori horizon kedua memiliki pori sedang dan banyak. Warna yang tidak beda jauh dari horizon pertama namun sedikit gelap. Sementara untuk strukturnya memiliki tipe remah, ukuran 5-10 mm dan tingkat 13 Plastisitas Tidak
Plastis
Agag plastis
Agag Plastis Sangat plastis 14 Horison Penciri Epipedon
Okrik Epipedon Okrik Endopedon Kambik Endopedon Kambik
39 kekuatan cukup. Tekstur tanah yang ada di horizon adalah lempung liat berdebu. Konsistensi lembab tanpa penambahan air adalah lepas dan setelah penambahan air atau konsistensi basahnya adalah agak lekat karena masih tertinggal di ujung jari. Plastisitasnya tidak plastis, di dapat dengan menggulung tanah yang sudah di beri air dan dirasakan dengan ibu jari dan telunjuk. Sementara horizon pencirinya epipedon okrik yang berada pada bagian atas.
Yang terakhir pada minipit ini yaitu horizon ke tiga. Dengan symbol A3, memiliki kedalaman horizon 52 cm. jumlah perakarannya adalah sedang dan memiliki serabut yang halus. Pori yang terdapat di horizon ini halus dan banyak/besar(Ba). Warna mulai agag gelap dan strukturnya remah dengan ukuran 1-2 mm dan kekuatan lemah. Sementara teksturnya lempung berdebu dan konsistensi lembab nya lepas. Untuk konsistensi basahnya agag lekat. Sementara plastisitasnya dan horizon pencirinya adalah sangat plastis dan endopedon kambik.
Titik kedua, juga terletak di bumiaji namun terletak sedikit bawah dari lokasi kedua. Memiliki empat horizon dan tiga pengeboran. Horizon pertama, kedalaman horizon pada horizon pertama 9,67. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran besar. Pori yang ada halus dan sedang. Warna pada horizon ini coklat kekuningan dan memiliki tipe remah halus dan ukuranya >10mm dan tingkat struktur pada horizon ini termasuk cukup untuk konsistensi lembab lepas dan konsistensi basah tidak lekat. Plastisitas pada horizon ini tidak plastis dengan horizon penciri epipedon okrik.
Horizon kedua, kedalaman horizon ini 27cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus serta cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 5-10mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab
40 lepas dan untuk konsistensi basah agak lekat. Plastisitas pada horizon ini agak plastisitas dengan horizon penciri epideon okrik
Horizon ketiga, kedalaman horizon ini 51,67cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus serta cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 10-20mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab gembur dan untuk konsistensi basah lekat. Plastisitas pada horizon ini agak plastisitas dengan horizon penciri epideon kambik
Horizon keempat, kedalaman horizon ini 80cm. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak berukuran sedang dan pori yang ada halus dan cukup. Warna pada horizon ini coklat kehitaman dan memiliki tipe sudut dan ukuranya 5-10mm dan tingkat stuktur pada horizon ini termasuk kuat untuk tekstur liat berdebu untuk konsistensi lembab teguh dan untuk konsistensi basah lekat. Plastisitas pada horizon ini sangat plastisitas dengan horizon penciri epideon kambik. Morfologi yang ada seperti karatan, gejala redoksi morfik, dan gejala non redoksi morfik tidak ditemukan pada kedua plot tersebut.
Setiap plot yang telah di identifikasi horizon mempunyai warna tanah, tekstur, struktur dan konsistensi yang berbeda. Warna tanah yang di temukan kedua plot tersebut adalah coklat terang dan coklat kekuningan dan semakin gelap. Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap.
Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang
41 sudah berkembang lanjut, dan (3) indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan.
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus. Berdasarkan atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu, dan liat maka tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur. Kelas kasar terdiri dari pasir dan pasir berlempung. Kelas agak kasar terdiri dari lempung berpasir dan lempung berpasir halus(Hakim, dkk. 1986).Kelas sedang terdiri dari lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, dan debu. Kelas agak halus terdiri dari lempung liat, lempung liat berpasir, dan lempung liat berdebu. Dan yang terakhir, kelas halus terdiri dari liat berpasir, liat berdebu, dan liat (Hardjowigeno, 2003).
3.3 Klasifikasi Tanah
SatuanPeta Tanah(1 angkatan) + penjelasan singkat Gambarp enampang tanah yang diamati dan table klasifikasi beserta uraian. Dari data yang didapat dari praktikum yang dilakukan pada plot 1 dan plot 2, diperoleh hasil berupa pada plot 1 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur lempung liat berdebu, struktur butir – butir dengan konsistensi kuat dan lekat plastis dengan warna 10 YR 4/4; pada horizon 2 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur lempung liat berdebu, struktur remah dengan konsistensi agak lekat dan plastis dengan warna 10 YR 4/6; pada horizon 3 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur lempung berdebu, struktur remah dengan konsistensi lepas dan plastis dengan warna 10 YR 6/6 .
Selanjutnya dari data yang didapat dari plot 2 didapati hasil pada horizon 1 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur debu , struktur remah halus dengan konsistensi lepas tidak lekat dan tidak plastis dengan warna 10 YR 7/6;pada horizon 2 diperoleh data berupa
42 jenis tanah dengan tekstur Liat berdebu, struktur sudut dengan ukuran 5-10 mm, dengan konsistensi lepas agak lekat agak plastis dengan warna 10 YR 5/6 ; hasil pada horizon 3 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur liat berdebu, struktur sudut dengan ukuran 10-20mm dengan konsistensi teguh lekat agak plastis dengan warna 10 YR 5/6; pada horizon 4 diperoleh data berupa jenis tanah dengan tekstur liat berdebu, struktur sudut denga ukuran 5-10 mm dengan konsistensi teguh lekat sangat plastis dengan warna 10 YR 5/6.
Tabel 9 klasifikasi tanah
Parameter Titik I Titik II
Ordo Andisol Andisol
Endopedon kambik Argilik
Epipedon Okrik Okrik
Permeabilitas Cepat Sedang
Pada pengklasifikasian jenis tanah dapat di uraikan dengan Urutan epipedon endopedon ordo dst
Tanah pada titik plot1 ini memiliki Ordo andisol dengan epipedon okrik karena warna value dan kroma 4 pada kondisi lembab dan 6 pada kondisi kering. Endopedon kambik karena memiliki tekstur yang berlempung. Plot 1 memiliki permeabilitas cepat sehingga tidak terjadi genangan. Sedangkan pada plot 2 termasuk ordo andisol epipedan okrik karena warna value dan kroma 4 pada kondisi lembab dan 6 pada kondisi kering. Endopedon argilik karena mengandung lebih banyak liat pada horison eluviasi dan terdapat selaput liat pada permukaan gumpalan struktur. Pada plot 2 ini memiliki permeabilitas sedang. Tanah pada titik plot 2 ini memiliki epipedon Molik . Endopedon Kambik Tanah ini dapat dimasukkan pada ordo Inseptisol. Dan permeabilitas pada plot 2 ini sedang.
43 3.4 Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah sifat lahan yang menyatakan kesanggupannya untuk memberikan hasil optimum dalam penggunaannya secara lestari tanpa menimbulkan kerusakan lahan atau kerusakan lingkungan. Menurut USDA (dalam Arsyad, 1989), kelas kemampuan lahan dibedakan menjadi 8 kelas. Kelas I, II,III, dan IV termasuk lahan yang dapat diolah atau digarap untuk tanaman semusim, sedangkan kelas V,VI, VII dan VIII termasuk lahan yang tidak dapat digarap.
Tabel 10 kemampuan lahan pada plot 1
No Faktor Pembatas Hasil Pengamatan Kode Kelas 1 Tekstur
Tekstur Atas Lempung Liat berdebu
T2 I
Tekstur Bawah Lempung Liat berdebu T2 I 2 Lereng 10 % l2 III 3 Drainase Baik d0 I 4 Kedalaman Efektif 1 m K0 I 5 Tingkat Erosi Ringan E1 I
6 Batuan/Kerikil 0 b0 III
7 Bahaya banjir Tidak pernah o0 I
Kelas Kemampuan Lahan III
Faktor Pembatas Tektur,erosi,batuan
44 Tabel 11 kemampuan lahan pada plot 2
No Faktor Pembatas Hasil Pengamatan Kode Kelas 1 Tekstur
Tekstur Atas Debu T3 I
Tekstur Bawah Liat berdebu t1 III
2 Lereng 10 % i2 III
3 Drainase Baik d0 I
4 Kedalaman Efektif 30 cm k2 IV
5 Tingkat Erosi Sedang E2 IV
6 Batuan/Kerikil 0 b0 b0
7 Bahaya banjir Tidak pernah o0 I
Kelas Kemampuan Lahan IV
Faktor Pembatas Kedalaman
efektif ,Erosi
Sub Kelas Kemampuan Lahan IV, k2. E2
Tabel 12 kelas kemampuan lahan
Plot Kelas Faktor pembatas
Plot 1 III Tekstur,erosi, batuan
Plot 2 IV Kedalaman efektif dan erosi
Berdasarkan hasil pengkelasan data-data pengukuran lapangan di tiap satuan lahan menunjukkan bahwa pada lokasi titik pertama mempunyai kelas kemampuan lahan III, sedangkan plot 2 juga mempunyai kelas kemampuan lahan III. Pada Plot 1 memiliki pembatas tekstur, erosi, batuan, sedangkan pada plot 2 mempunyai factor pembatas kedalam efektif dan erosi. Lahan tersebut merupakan kelas lahan yang masih dapat digunakan sebagai lahan pertanian
45 karena masih memungkinkan untuk berproduksi dengan sifat-sifat yang dimiliki. Namun untuk kedua lahan tersebut masih membutuhkan adanya pengolahan untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Menurut Rayes (2007), lahan yang memiliki kelas kemampuan lahan IV mempunyai kendala yang sangat berat sehingga membatasi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan pengelolaan yang sangat hati-hati atau keduanya. Kelas kemampuan lahan ini masih bisa untuk tanaman semusim, namun dengan pengelolaan yang hati-hati dan konservasi yang lebih sulit untuk diterapkan dan dipertahankan. Tanah didalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau suaka alam.
3.5 Kesesuaian Lahan
Tabel 13 kesesuaian lahan pada plot 1(Komoditas jagung) Persyaratan penggunaan/karakteristik lahan SPL 1 Data Kelas Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) 16 – 20 S3 Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) pada masa pertumbuhan
> 1600 S3
Kelembaban (%) > 42 S1
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase Baik S1
Media perakaran (rc)
Tekstur Halus S1
46 Kedalaman tanah (cm) >100 S1
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) 10% S2
Bahaya erosi Sangat rendah S1
Bahaya banjir (fh)
Genangan - S1
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) 0% S1
Singkapan batuan (%) 0% S1
KELAS KESESUAIAN LAHAN S3
FAKTOR PEMBATAS Temperature,
curah hujan SUB KELAS KESESUAIAN LAHAN S3 tc,wa
Tabel 14 kesesuaian lahan pada plot 2 (Komoditas Sawi) Persyaratan penggunaan/karakteristik lahan SPL 1 Data Kelas Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) 13 – 16 S2 Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) pada masa pertumbuhan
150 – 200 S3
Kelembaban (%) 40 – 80 S1
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase Baik S1
Media perakaran (rc)
Tekstur Halus S1
47
Kedalaman tanah (cm) 30 S3
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) 10% S2
Bahaya erosi Sangat rendah S1
Bahaya banjir (fh)
Genangan - S1
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) 0% S1
Singkapan batuan (%) 0% S1
KELAS KESESUAIAN LAHAN S3
FAKTOR PEMBATAS Rc, wa
SUB KELAS KESESUAIAN LAHAN S3rc,wa
Tabel 15 kelas dan faktor pembatas
Plot Kelas Faktor pembatas
Plot 1 S3 Tc, wa
Plot 2 S3 Rc, wa
3.5.1 kesesuaian actual
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala.
Plot 1Kesesuaian lahan aktualnya yaitu dengan komoditas jagung dengan faktor pembatasnya adalah temperature dan curah hujan. Pada kesesuaian lahan aktual termasuk kedalam kelas S3. Sehingga termasuk dalam kelas kurang sesuai.
Pada plot ke 2.Untuk kesesuaian lahan aktualnya masuk kedalam kelas S3 dengan komoditas sawi dan faktor pembatas
48 kedalaman tanah dan curah hujan sehingga kedalaman efektif dan curah hujan di daerah tersebut kurang sesuai untuk komoditas Sawi. 3.5.2 Kesesuaian Potensial
Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.
Pada plot 1 kesesuaian lahan potensialnya yaitu untuk komoditas jagung kurang sesuai dengan faktor pembatasnya adalah temperatur dan curah hujan. Faktor pembatas temperatur tersebut tidak dapat di perbaiki, sedangkan untuk faktor pembatas curah hujan dapat di perbaiki dengan sisitem irigasi pada tingkat pengelolaan sedang. Sehingga faktor pembatas dapat diatasi sehingga kelas kesesuaian lahan yang kelas aktualnya kurang sesuai (s3) manjadi agak sesuai (s2).
Untuk kesesuaian lahan potensial pada plot 2 dengan komoditas Sawi, dapat dilakukan pengolahan tanah pada daerah tersebut karena dilahan tersebut faktor pembatasnya adalah kedalaman efektif dan curah hujan. Faktor pembatas kedalaman efektif tersebut dapat di perbaiki kecuali pada lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya saat pengolahan tanah dengan tingkat pengelolaan tinggi, sedangkan untuk faktor pembatas curah hujan dapat di perbaiki dengan sisitem irigasi pada tingkat pengelolaan sedang. Sehingga faktor pembatas dapat diatasi sehingga kelas kesesuaian lahan yang kelas aktualnya kurang sesuai (s3) manjadi agak sesuai (s2).
3.6 Kelayakan Usaha Tani di Lokasi Penelitian
Berdasarkan data yang telah terlampir dalam lampiran analisis kelayakan usaha tani diperoleh data sebagai berikut:
49 a) Analisa Biaya Usahatani Plot 1 Komoditi Jagung
Diketahui : TVC = Rp 7.295.000 TFC = Rp 5.032.025 Total Cost (TC)
= Total Biaya Tetap (TFC) + Total Biaya Variabel (TVC) = Rp5.032.025 + Rp 7.295.000
= Rp 12.327.025 Total Revenue (TR)
Diketahui Produktivitas Jagung adalah 6 ton/Ha
Harga Jagung per November 2015 adalah Rp 4.500.000/ton Total Revenue (TR)
= Kuantitas (Q) x Harga (P) = 6 ton x Rp 4.500.000 = Rp 28.000.000 Keuntungan (π)
= Total Revenue (TR) – Total Cost (TC) = Rp 28.000.000 - Rp 12.327.025 = Rp 15.672.975,-
Analisis Kelayakan Usahatani Jagung di Plot 1 RC Rasio
= =
= 2,27 %
Berdasarkan hasil analisis RC Rasio diatas diketahui nilai RC sebesar 2,27. Nilai ini > 1 % sehingga dapat dinyatakan bahwa usahatani jagung di daerah Plot 1 Bumiaji tersebut Layak.
50 Analisa BEP BEP Penerimaan_Jagung
Berdasarkan hasil perhitungan BEP penerimaan didapatkan nilai impas harga jual (tudak untung atau rugi) sawi sebesar , apabila petani dapat menjual diatas nilai tersebut maka akan mendapatkan keuntungan, apabila petani menjual di bawah niali tersebut maka petani akan rugi. BEP Unit jagung
=
Berdasarkan hasil perhitungan BEP unit komoditas sawi didapatkan nilai impas jumlah prouksi (tidak untung atau rugi) komoditas sawi sebesar atau setara dengan 5,4 ton apabila petani dapat memproduksi diatas nilai tersebut maka akanmendapatkan keuntungan, apabila petani memperoleh produksi di bawah niali tersebut maka akan rugi.
b). Analisa Biaya Usahatani Plot 2 Komoditi Sawi Diketahui : TVC = Rp 15.400.000
51 TFC = Rp 3.350.950
Total Cost (TC)
= Total Biaya Tetap (TFC) + Total Biaya Variabel (TVC) = Rp3.350.950 + Rp15.400.000
= Rp 18.750.950 Total Reveneu (TR)
Diketahui Produktivitas Sawi 7 ton/Ha
Harga Jagung per November 2015 adalah Rp 3.500.000/ton Total Revenue (TR)
= Kuantitas (Q) x Harga (P) = 7 ton x Rp 3.500.000 = Rp 24.500.000
Keuntungan (π)
= Total Revenue (TR) – Total Cost (TC) = Rp 24.500.000 - Rp 18.750.950 = Rp 5.749.050
Analisis Kelayakan Usahatani Sawi di Plot 2 RC Rasio
= = = 1,3 %
Berdasarkan hasil analisis RC Rasio diatas diketahui nilai RC sebesar 1,3 %. Nilai ini > 1 % sehingga dapat dinyatakan bahwa usahatani jagung di daerah Plot 2 Bumiaji untuk budidaya Sawi Layak.
Analisa BEP
52 /ha
Berdasarkan hasil perhitungan BEP penerimaan didapatkan nilai impas harga jual (tudak untung atau rugi) sawi sebesar , apabila petani dapat menjual diatas nilai tersebut maka akan mendapatkan keuntungan, apabila petani menjual di bawah niali tersebut maka petani akan rugi. BEP Unit sawi
=
Berdasarkan hasil perhitungan BEP unit komoditas sawi didapatkan nilai impas jumlah prouksi (tidak untung atau rugi) komoditas sawi sebesar atau setara dengan 5,4 ton apabila petani dapat memproduksi diatas nilai tersebut maka akan mendapatkan keuntungan, apabila petani memperoleh produksi di bawah niali tersebut maka akan rugi.
53 IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Morfologi tanah dan symbol horizon, pada titik pertama atau plot satu terletak di bumiaji terdapat tiga horizon dan empat kali pengeboran. Horizon pertama memiiki kedalaman 32,33 cm. kedalaman di dapat dari hasil rata – rata tiga sisi minipit yaitu tepi kiri, tengah dan tepi kanan. Perakaran yang ada pada horizon ini banyak dengan ukuran sedang. Pori yang ada kasar dan banyak. Warna pada horizon ini coklat cerah dan memiliki struktur butir >10mm serta kuat. Untuk konsistensi lembab sangat gembur dan konsistensi basah tidak lekat. Konsistensi basah di dapat dengan penambahan sedikit air untuk mengetahuinya. Sementara plastisitasnya tidak plastis dengan horizon penciri epipedon okrik.
Horizon kedua, symbol horizon nya A2 memiliki kedalaman 41,33 cm. Jumlah perakarannya biasa (Bi) dengan ukuran halus. Pori horizon kedua memiliki pori sedang dan banyak. Warna yang tidak beda jauh dari horizon pertama namun sedikit gelap. Sementara untuk strukturnya memiliki tipe remah, ukuran 5-10 mm dan tingkat kekuatan cukup. Tekstur tanah yang ada di horizon adalah lempung liat berdebu. Konsistensi lembab tanpa penambahan air adalah lepas dan setelah penambahan air atau konsistensi basahnya adalah agak lekat karena masih tertinggal di ujung jari. Plastisitasnya tidak plastis, di dapat dengan menggulung tanah yang sudah di beri air dan dirasakan dengan ibu jari dan telunjuk. Sementara horizon pencirinya epipedon okrik yang berada pada bagian atas. Yang terakhir pada minipit ini yaitu horizon ke tiga. Dengan symbol A3, memiliki kedalaman horizon 52 cm. jumlah perakarannya adalah sedang dan memiliki serabut yang halus. Pori yang terdapat di horizon ini halus dan banyak/besar(Ba). Warna mulai agag gelap dan strukturnya remah dengan ukuran 1-2 mm dan kekuatan lemah. Sementara teksturnya lempung berdebu dan