• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rsud Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rsud Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013."

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara

berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009

dan 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien

rawat inap di rumah sakit. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan

menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika yang tidak rasional

berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak

dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

Jenis penelitian ini adalah non-ekperimental dengan rancangan

penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi yaitu pasien

anak yang dirawat inap periode Januari-Desember 2013 berumur 0-12 tahun,

didiagnosis positif demam tifoid, dengan penyakit penyerta, menerima terapi

antibiotika dan membaik. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi

rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.

Hasil yang diperoleh terhadap 40 kasus (60% laki-laki dan 40%

perempuan), pasien terbanyak adalah kelompok umur >5-12 (57,5%). Kategori

ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%), kategori

IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan

kategori IVB (4%). Adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional menurut

Gyssens sehingga diperlukan pengawasan untuk meningkatkan rasionalitas

penggunaan antibiotika.

(2)

ABSTRACT

Typhoid fever is one of the major health problems in developing countries,

including Indonesia. Based on the health profile of Indonesia in 2009 and 2010,

typhoid fever reaches 3

rd

of 10 ranks in main diseases of inpatient at the hospital.

The treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the

irrational use of antibiotics can effect of increasing in antibiotic resistance. The

purpose of this study is to find out the rational use of antibiotics on children with

typhoid fever based on Gyssens criteria in inpatient installation of RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta January-December 2013.

This research was non-experimental with evaluative descriptive study

which was retrospective. Inclusion criteria were pediatric in-patient 0-12 years,

positive diagnose typhoid fever, with complication, antibiotic prescription and

recovered. Gyssens method was used to evaluate the rationality of the use of

antibiotics on children with typhoid fever.

The results of the 40 cases (60% male and 40% female), most patients are

>5-12 age group (57,5%). Appropriate usage category of antibiotics by Gyssens:

category 0 (47,3%), category IIA (21,6%), category IIB (17,6%), category IIIB

(2,7%), IVA category (6,8%), and category IVB (4%). According to Gyssens,

there is the existence of irrational use of antibiotics so it needs supervision to

improve the rationality of the use of antibiotics.

(3)

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA

PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA

GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN

SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE

JANUARI-DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Disusun Oleh:

Hermina Aprilita Ajum

NIM : 118114171

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA

PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID BERDASARKAN KRITERIA

GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PANEMBAHAN

SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE

JANUARI-DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Disusun Oleh:

Hermina Aprilita Ajum

NIM : 118114171

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)

iii

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

Allah Bapa dalam Surga, Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu

membimbing, melindungi, memberkati, dan menyertai segala usaha saya

sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya dengan baik.

Bapa, Mama, nene Ancik Berahi, nene Uci Berahi, kaka Teddi, Jeni dan

Diana.

(8)

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul

“Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak

Dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens Di Instalasi Rawat Inap

RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember

2013”

ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan

proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1.

Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

membantu memberikan ijin pada penelitian ini untuk melakukan

penelitian di luar kampus.

2.

Staf Instalasi Rekam Medik RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

3.

Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing

(9)

vi

4.

Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr. I

Wayan Sudana yang telah memberikan izin kepada penulis dalam

melakukan penelitian ini.

5.

dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK dan ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt

sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran

yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

6.

Kedua orang tuaku Samuel Santosa Djun dan Maria Avelina Ngamal

atas Doa, kasih sayang, semangat, pengertian dan dukungan baik

moral maupun materi selama menjalani perkuliahan hingga

terselesainya skripsi ini.

7.

Nene Ancik Berahi dan Nene Uci Berahi atas dukungan Doa

8.

Kaka Teddi dan adik-adik saya Jeni dan Diana, yang selalu

memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9.

Sahabat dan teman-teman seperjuangan Rosi Sowi, Baptissa Dela,

Novi Seran, Rysa Pardede, Risna Hariani, Sherlly Mecilia, Rany

Willem, Regi Gregoria dan Wirna.

10.

Teman kecilku Sari Jebarus dan Tesa Siseng yang selalu

bersama-sama dari kecil hingga kuliah yang selalu memberikan motivasi.

11.

Rekan-rekan skripsi (Mira, Ratna dan Nova) yang selalu mendukung

dan kompak dalam penyusunan skripsi dari awal sampai akhir.

12.

Teman-teman FSM D 2011, FKK B 2011, dan seluruh angkatan

(10)
(11)
(12)
(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

ii

HALAMAN PENGESAHAN ...

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

iv

PRAKATA ...

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

ix

DAFTAR ISI ...

x

DAFTAR TABEL ...

xii

DAFTAR GAMBAR ...

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...

xiv

INTISARI ...

xv

ABSTRACT ...

xvi

BAB I PENGANTAR

A.

Latar Belakang ...

1

1.

Perumusan Masalah ...

4

2.

Keaslian Penelitian ...

4

3.

Manfaat Penelitian ...

6

B.

Tujuan Penelitian

1.

Tujuan Umum ...

7

2.

Tujuan Khusus ...

7

BAB II PENELAAH PUSTAKA

A.

Demam Tifoid ...

8

(14)

xi

C.

Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011) ...

21

D.

Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak ...

23

E.

Penggunaan Antibiotika Secara Rasional ...

25

F.

Evaluasi Penggunaan Antibiotika ...

27

G.

Keterangan Empiris ...

32

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Jenis dan Rancangan Penelitian ...

33

B.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...

33

C.

Subyek Penelitian ...

35

D.

Bahan Penelitian...

35

E.

Tempat dan Waktu Penelitian ...

36

F.

Instrumen Penelitian...

36

G.

Tata Cara Penelitian

1.

Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan ...

37

2.

Tahap Pengambilan Data ...

38

3.

Pengolahan Data...

38

H.

Tata Cara Analisis ...

39

I.

Keterbatasan Penelitian ...

41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Karakteristik Pasien Anak Dengan Demam Tifoid ...

42

B.

Profil Penggunaan Obat Secara Keseluruhan ...

47

C.

Profil Penggunaan Antibiotika ...

48

D.

Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Menurut Metode Gyssens 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan ...

72

B.

Saran ...

73

DAFTAR PUSTAKA ...

74

LAMPIRAN ...

79

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I.

Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011)

untuk demam tifoid...

17

Tabel II.

Profil penggunan obat secara keseluruhan pada pasien anak

penderita demam tifoid ...

47

Tabel III.

Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika ...

50

Tabel IV.

Durasi penggunaan antibiotika ...

52

Tabel V.

Distribusi kerasionalan penggunaan antibiotika berdasarkan

kategori Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013 ...

55

Tabel VI.

Distribusi hasil evaluasi penggunaan tiap antibiotika

berdasarkan kategori Gyssens di RSUD Panembahan

(16)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Diagram alur metode Gyssens ...

29

Gambar 2. Persentasi jumlah pasien laki-laki dan perempuan penderita

demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan

Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember

2013………..

42

Gambar 3.

Persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi

Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Januari-Desember 2013 ...

43

Gambar 4.

Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan

di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 ...

44

Gambar 5.

Persentasi jumlah pasien anak yang didiagnosis akhir

penyakit demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013 ...

46

Gambar 6.

Persentasi jenis antibiotika yang digunakan pada pasien anak

yang menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013 ...

48

Gambar 7.

Persentasi penggunaan terapi antibiotika tunggal dan

kombinasi pada pengobatan pasien anak dengan demam

tifoid di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Januari-Desember 2013 ...

49

Gambar 8.

Profil rute pemberian antibiotika pada pasien anak yang

menderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar diagnosis pasien anak dengan demam tifoid di RSUD

Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013 ...

80

Lampiran 2. Golongan Obat yang Digunakan Pasien Selama Rawat Inap ...

81

Lampiran 3. Rekam Medis 1 ...

83

Lampiran 4. Rekam Medis 2 ...

86

Lampiran 5. Rekam Medis 3 ...

88

Lampiran 6. Rekam Medis 4 ...

90

Lampiran 7

Rekam Medis 5 ...

92

Lampiran 8

Rekam Medis 6 ...

94

Lampiran 9

Rekam Medis 7 ...

95

Lampiran 10 Rekam Medis 8 ...

98

Lampiran 11 Rekam Medis 9 ...

100

Lampiran 12 Rekam Medis 10 ...

104

Lampiran 13 Rekam Medis 11 ...

105

Lampiran 14 Rekam Medis 12 ...

107

Lampiran 15 Rekam Medis 13 ...

110

Lampiran 16 Rekam Medis 14 ...

113

Lampiran 17 Rekam Medis 15 ...

117

Lampiran 18 Rekam Medis 16 ...

121

Lampiran 19 Rekam Medis 17 ...

124

Lampiran 20 Rekam Medis 18 ...

126

Lampiran 21 Rekam Medis 19 ...

128

Lampiran 22 Rekam Medis 20 ...

129

Lampiran 23 Rekam Medis 21 ...

132

Lampiran 24 Rekam Medis 22 ...

135

Lampiran 25 Rekam Medis 23 ...

137

Lampiran 26 Rekam Medis 24 ...

140

Lampiran 27 Rekam Medis 25 ...

142

Lampiran 28 Rekam Medis 26 ...

144

Lampiran 29 Rekam Medis 27 ...

146

Lampiran 30 Rekam Medis 28 ...

149

Lampiran 31 Rekam Medis 29 ...

152

Lampiran 32 Rekam Medis 30 ...

154

Lampiran 33 Rekam Medis 31 ...

156

Lampiran 34 Rekam Medis 32 ...

159

Lampiran 35 Rekam Medis 33 ...

162

Lampiran 36 Rekam Medis 34 ...

165

Lampiran 37 Rekam Medis 35 ...

166

Lampiran 38 Rekam Medis 36 ...

170

Lampiran 39 Rekam Medis 37 ...

171

Lampiran 40 Rekam Medis 38 ...

174

Lampiran 41 Rekam Medis 39 ...

176

(18)

xv

INTISARI

Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara

berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009

dan 2010, demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien

rawat inap di rumah sakit. Pengobatan demam tifoid dilakukan dengan

menggunakan antibiotika, namun penggunaan antibiotika yang tidak rasional

berpengaruh terhadap peningkatan resistensi antibiotika. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak

dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

Jenis penelitian ini adalah non-ekperimental dengan rancangan

penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi yaitu pasien

anak yang dirawat inap periode Januari-Desember 2013 berumur 0-12 tahun,

didiagnosis positif demam tifoid, dengan penyakit penyerta, menerima terapi

antibiotika dan membaik. Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi

rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.

Hasil yang diperoleh terhadap 40 kasus (60% laki-laki dan 40%

perempuan), pasien terbanyak adalah kelompok umur >5-12 (57,5%). Kategori

ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%), kategori

IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IIIB (2,7%), kategori IVA (6,8%) dan

kategori IVB (4%). Adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional menurut

Gyssens sehingga diperlukan pengawasan untuk meningkatkan rasionalitas

penggunaan antibiotika.

(19)

xvi

ABSTRACT

Typhoid fever is one of the major health problems in developing countries,

including Indonesia. Based on the health profile of Indonesia in 2009 and 2010,

typhoid fever reaches 3

rd

of 10 ranks in main diseases of inpatient at the hospital.

The treatment of typhoid fever is done by using antibiotics. However, the

irrational use of antibiotics can effect of increasing in antibiotic resistance. The

purpose of this study is to find out the rational use of antibiotics on children with

typhoid fever based on Gyssens criteria in inpatient installation of RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta January-December 2013.

This research was non-experimental with evaluative descriptive study

which was retrospective. Inclusion criteria were pediatric in-patient 0-12 years,

positive diagnose typhoid fever, with complication, antibiotic prescription and

recovered. Gyssens method was used to evaluate the rationality of the use of

antibiotics on children with typhoid fever.

The results of the 40 cases (60% male and 40% female), most patients are

>5-12 age group (57,5%). Appropriate usage category of antibiotics by Gyssens:

category 0 (47,3%), category IIA (21,6%), category IIB (17,6%), category IIIB

(2,7%), IVA category (6,8%), and category IVB (4%). According to Gyssens,

there is the existence of irrational use of antibiotics so it needs supervision to

improve the rationality of the use of antibiotics.

(20)

1

BAB I

PENGANTAR

A.

Latar Belakang

Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama

di negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid.

Demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella

typhi (Saraswati et al., 2012). Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan

masyarakat kita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat

kaitannya dengan kebersihan perorangan dan kebersihan makanan, lingkungan

yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang

kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Nani

dan Muzakkir, 2014).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 terdapat 17 juta

kasus demam tifoid per tahun di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai

600 ribu kasus. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6

juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam tifoid tinggi

(>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tenggara. Di

Indonesia, diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun

(Nani dan Muzakkir, 2014).

(21)

rawat inap di Rumah Sakit yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274

orang (Pramitasari, 2013).

Kasus tersangka deman tifoid di Indonesia meningkat dari tahun ke

tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk (Juwita, 2013). Insidensi

tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak (Riyatno dan Sutrisna, 2011).

Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid pada

kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3/100.000 penduduk (Sidabutar,

2010).

Demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit yang sangat popular

baik di kalangan petugas medis bahkan oleh masyarakat awam sehingga apabila

seorang anak mengeluh demam maka antibiotika akan menjadi pilihan untuk

mengobatinya. Penggunaan berbagai jenis antibiotika secara luas yang tidak tepat

akibat mudahnya mendapatkan obat tersebut di masyarakat, akan menimbulkan

peningkatan kejadian bakteri yang resisten terhadap antibiotika termasuk S. typhi

(Alam, 2011).

(22)

3

Pada penelitian ini mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika

pada pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pemilihan

metode Gyssens dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas

penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid dengan

mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi,

keefektifan, toksisitas, harga, spektrum, durasi pemberian, dosis, interval, cara dan

waktu pemberian (Kemenkes RI, 2011).

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) di Instalasi

Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta ditemukan ketidakrasionalan penggunaan

antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yaitu ketidaktepatan dosis

sebesar 70,98%, ketidaktepatan frekuensi pemberian sebesar 48,39%, dan

ketidaktepatan durasi pemberian sebesar 25,81%. Hasil penelitian ini menunjukan

bahwa masih ada penggunaan antibiotika yang kurang rasional pada pasien anak

dengan demam tifoid.

(23)

1.

Perumusan Masalah

Penelitian ini ingin melihat beberapa data di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013

meliputi:

a.

Seperti apa karakteristik pasien anak dengan demam tifoid?

b.

Seperti apa profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak

dengan demam tifoid?

c.

Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam

tifoid?

d.

Seperti apa kerasioanalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan

demam tifoid?

2.

Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan evaluasi kerasionalan

penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid yang pernah

dilakukan, antara lain :

(24)

5

Pada penelitian Rufaldi (2011), subyek penelitiannya hanya berfokus pada

pasien anak dengan demam tifoid tanpa penyakit lain dan atau komplikasi.

b.

Penelitian dengan judul “

Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak

Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Agoesdjam

Ketapang Periode Juni 2008-

Juni 2009” yang

dilakukan oleh Pratiwi (2010).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan

kajian yang diteliti. Pada penelitian ini menggunakan metode Gyssens untuk

mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid.

Pada penelitian Pratiwi (2010), menggunakan metode Drug Related Problem

(DRP) untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan

demam tifoid.

c.

Penelitian dengan judul “Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid Bagi Pasien

Anak di Istalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode

Januari 2000-

Desember 2001” yang dilakukan oleh Triana (2003). Penelitian

ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian

yang diteliti. Pada penelitian ini mengevaluasi penggunaan antibiotika pada

pasien anak dengan demam tifoid menggunakan metode Gyssens. Pada

penelitian Triana (2003), lebih ditekankan pada kajian penggunaan obat

demam tifoid bagi pasien anak.

d.

Penelitian dengan judul “Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene

Perorangan, dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Demam Tifoid di

Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012” yang

(25)

tersebut dalam hal waktu, lokasi, subyek, dan kajian yang diteliti. Pada

penelitian ini subyek penelitiannya berfokus pada pasien anak dengan demam

tifoid dan mengevaluasi penggunaan antibiotika menggunakan metode

Gyssens. Pada penelitian Artanti (2013), subyek penelitiannya orang dewasa

dan pokok kajiannya lebih ditekankan pada hubungan sanitasi lingkungan,

higiene perorangan, dan karakteristik individu dengan kejadian demam tifoid.

Berdasarkan

data-

data tersebut penelitian mengenai “

Evaluasi

Kerasionalan Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak dengan Demam Tifoid

berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta Periode Januari-

Desember 2013” belum pernah dilakukan.

3.

Manfaat Penelitian

a.

Mendapatkan data kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak

dengan demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens sehingga dapat digunakan

sebagai bahan evaluasi bagi tenaga medis di rumah sakit dalam meningkatkan

penggunaan antibiotika yang rasional. Khususnya bagi farmasis, dapat sebagai

bahan evaluasi untuk lebih berperan dalam meningkatkan kualitas penggunaan

antibiotika kepada pasien.

(26)

7

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan

demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

2.

Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan khusus terhadap data di

Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013 meliputi:

a.

Mengidentifikasi karakteristik pasien anak dengan demam tifoid.

b.

Mengidentifikasi profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien

anak dengan demam.

c.

Mengidentifikasi profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan

demam tifoid.

(27)

8

BAB II

PENELAAH PUSTAKA

A.

Demam Tifoid

1.

Defenisi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi (Butler, 2011), serta ditandai dengan adanya demam

yang berlangsung cukup lama (lebih dari 7 hari), gangguan saluran pencernaan,

penurunan atau gangguan kesadaran (komplikasi yang lazim disebut tifoid toksik)

(Purwadianto et al., 2014), serta dapat berpotensi parah dan mengancam nyawa

seseorang (Newton and Mintz, 2013).

Demam tifoid termasuk penyakit menular (Sharma and Malakar, 2013)

dan dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di

daerah tropis dan subtropis (Riyatno dan Sutrisna, 2011) tanpa air bersih atau

sanitasi lingkungan yang baik (Neil et al., 2012).

2.

Etiologi

(28)

9

Salmonella typhi memiliki 3 macam antigen yaitu sebagai berikut

(Nasronudin, 2007).

a. Antigen O (somatik) : terletak pada lapisan luar yang mempunyai

komponen protein, lipoposakarida (LPS) dan lipid serta sering disebut

endotoksin.

b. Antigen H (flagela) : terdapat pada flagela, fimbriae dan pili dari kuman,

berstruktur kimia protein.

c.

Antigen Vi (antigen permukaan) : terdapat pada selaput dinding kuman

untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein.

3.

Epidemiologi

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia terutama di negara-negara yang

sedang berkembang di daerah tropis yang kondisi sanitasi lingkunganya buruk.

Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan Oceania,

tetapi 80% kasus berasal dari Indonesia, Bangladesh, China, India, Laos, Nepal,

Pakistan, atau Vietnam. Di setiap Negara demam tifoid paling sering terjadi di

daerah tertinggal. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (3,6 per 1000

penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun (Brusch, 2014).

(29)

4.

Patogenesis

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi (Hatta et al., 2011). Jumlah kuman

yang dapat menginfeksi tubuh manusia bervariasi yaitu antara 1000 sampai 1 juta

kuman (Kaur and Jain, 2012). Kemudian kuman tersebut dapat bertahan terhadap

asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum

terminalis dan selanjutnya berkembang biak (Nelwan, 2012).

Bila respon humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di

lamina propia kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat bertahan hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke p

eyer’s patch

ileum distal dan

kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus toraksikus kuman

yang terdapat di dalam makrofag ini masuk dalam sirkulasi darah (mengakibatkan

bekterimia pertama yang asimtomatik) (Kaur and Jain, 2012).

(30)

11

5. Komplikasi

Menurut Guntur (2006), komplikasi yang sering terjadi pada penderita

demam tifoid adalah sebagai berikut.

a.

Tifoid toksin (demam tifoid ensefalopati)

Tifoid toksin adalah demam tifoid berat dengan gejala utama gangguan

atau penurunan kesadaran secara akut.

b.

Syok septik

Demam tifoid berat yang sering bersamaan atau akibat komplikasi demam

tifoid yang serius. Ditandai dengan gejala-gejala sepsis berat dan

kegagalan vaskular.

c.

Perdarahan dan perforasi usus

(31)

d.

Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi terapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.

Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri nyeri perut yang hebat,

dinding perut tegang dan nyeri pada tekanan.

e.

Hepatitis tifosa

Ditemukan ikterus hepatomegali dan nyeri pada perabaan. Terdapat

kelainan uji fungsi hati. Komplikasi seperti osteomielitis, arthritis, dan

peradangan organ lainnya juga dapat ditemukan. Ensefalopati tifoid

kadangkala ditemukan dan memerlukan penanganan khusus.

f.

Pneumonia

Dapat disebabkan oleh basil salmonelia atau koinfeksi dengan mikroba

lain yang sering menyerang paru. Didapatkan gejala-gejala klinis

pneumonia dan ditunjang dengan pemeriksaan foto polos toraks.

g.

Pankreatitits tifosa

Pada pemeriksaan klinis didapat nyeri perut hebat, mual dan muntah.

6.

Manifestasi Klinis

(32)

13

Secara umum penyakit ini ditandai dengan demam lebih dari 7 hari (bila

tidak segera diobati), gangguan pola buang air besar, mual, muntah, sulit makan,

sakit kepala, pusing, badan dan persendian nglilu-ngilu, batuk pilek, gangguan

pencernaan yang timbul berupa rasa tidak nyaman di perut, diare sampai susah

buang air besar (Cahyono, 2010).

Pada minggu pertama ditemukan gejala klinis dan keluhan seperti

demam, menggigil, sakit kepala, anoreksia, sakit tenggorokan, mialgia, psikosis,

dan kebingungan terjadi pada 5-10% kasus (Kaur and Jain, 2012). Terjadi juga

nyeri perut dan perut menjadi lembut, dalam beberapa kasus terjadi nyeri kolik

pada kuadran kanan atas, terjadi sembelit, batuk kering, malaise, dan delirium

(Brusch, 2014).

Pada akhir minggu pertama, demam akan meningkat dari 39°C sampai

40°C, timbul bintik-bintik merah seperti warna ikan salmon, blanching, truncal,

maculopapules dengan lebar 1-4 cm dan umumnya sembuh 2-5 hari (Brusch,

2014). Pada minggu kedua, perut menjadi buncit, splenomegali lunak, bradikardi

(Brusch, 2014), konstipasi atau diare dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien

(terutama anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi HIV) (Kaur and Jain,

2012).

(33)

7.

Diagnosis

Diagnosis demam tifoid atas dasar gambaran klinis penyakit sangat

penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini (Nelwan, 2012), namun

sulit karena gejala klinis yang muncul beragam dan umumnya serupa dengan

gejala klinis penyakit demam lain, seperti malaria dan demam berdarah (Mitra et

al., 2010). Dalam menentukan diagnosis pasti dari penyakit ini diperlukan

pemeriksaan laboratorium (Rachman et al., 2011). Pemeriksaan laboratorium

yang paling sering digunakan adalah hematologi, urinalisasi, feses, dan uji

serologis (Aziz and Haque, 2012).

(34)

15

setiap minggu. Bila pada minggu ke 4 biakan feses masih positif maka pasien

sudah tergolong karier (Kemenkes RI, 2006).

(35)

8.

Penatalaksanaan

Menurut Widoyono (2011), pada dasarnya pengobatan demam tifoid

memakai prinsip triologi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu sebagai berikut.

a.

Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah

bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan

keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan

perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar

dan kecil.

b.

Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet

(36)

17

c.

Pemberian antibiotika

[image:36.595.101.513.215.614.2]

Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam

tifoid. Terapi antibiotika lini pertama untuk pengobatan demam tifoid adalah

kloramfenikol, amoksisilin atau ampisilin dan trimetropim-sulfametoksazol.

Antibiotika lini kedua adalah fluoroquinolon seperti siprofloksasin,

norfloksasin, ofloksasin dan levofloksasin. Antibiotika alternatif lain yang

sering digunakan adalah sepalosporin (seperti seftriakson, sefotaksim,

sefiksim), aztreonam dan azitromisin (Purwadianto et al., 2014).

Tabel I. Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO untuk

demam tifoid (WHO, 2011)

Optimal Therapy

Alternative Effective Drugs

Susceptibility

Antibiotic

Daily

dose

mg/kg

Days

Antibiotic

Daily

dose

mg/kg

Days

Mild disease

Fully

sensitive

Ciprofloxacin

or Ofloxacin

15

5-7

Chloramphenicol

50-75

14-21

Amoxycilin

75-100

14

Cotrimoxazole

8-40

14

Multi drug

resistant

As above or

Cefixime

15

7-14

Azythromycin

8-10

7

15-20

7-14

Cefixime

15-20

7-14

Quinolone

resistance

Azythromycin

8-10

7

Cefixime

20

7-14

Rocephine

75

10-14

Severe illness

Fully

sensitive

Ciprofloxacin

or Ofloxacin

15

10-14

Chloramphenicol

100

14-21

Amoxycilin

100

14

Cotrimoxazole

8-40

14

Multi drug

resistant

As above or

Sefiksime

15

10-14

Rocephine

75

10-14

15-20

10-14

Cefotaxime

80

10-14

Quinolone

resistance

Rocephine

75

10-14

Fluoroquinolone

20

7-14

Cefotaxime

80

10-14

Azythromycin

8-10

7

(37)

antara 7-14 hari (Rampengan, 2013). Kloramfenikol tidak berkhasiat

mematikan kuman, sehingga sering kali timbul “pembawa basil”, juga dapat

mengakibatkan anemia aplastis fatal, serta resistensi dari obat ini sudah

seringkali dilaporkan (Tjay dan Rahadja, 2010). Dosis yang diberikan untuk

anak-anak sebesar 50-100 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam, dengan dosis

maksimal 4 g/hari untuk pemberian secara i.v (Lacy et al, 2009). Dosis untuk

bayi <2 minggu sebesar 25 mg/kg/hari diberikan setiap 4 jam dan bayi

berumur 2 minggu sampai 1 tahun diberikan dosis sebesar 50 mg/kg/hari

setiap 4 jam untuk pemberian secara i.v (Finch et al., 2010).

Amoksisilin atau ampisilin kurang efektif dalam menurunkan

demam dibandingkan kloramfenikol karena bekerja agak lambat yaitu setelah

5-6 hari baru demam akan hilang sedangkan kloramfenikol rata-rata 3 hari

(Tjay dan Rahadja, 2010). Amoksisilin/ampisilin diberikan karena

meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol (Utami, 2010).

Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 50-100 mg/kg/hari

diberikan setiap 6 jam dengan dosis maksimal 2-4 g/hari untuk pemberian

secara oral. Pemberian secara i.v untuk ampisilin dengan dosis yang

dianjurkan adalah 100-150 mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam dengan dosis

maksimal 2-4 g/hari selama 10 hari (Lacy et al., 2009).

(38)

19

tahun 240 mg diberikan setiap 12 jam, dan umur 6-12 tahun 480 mg diberikan

setiap 12 jam untuk pemberian secara oral (Finch et al., 2010).

Antibiotika lini kedua yang digunakan dalam pengobatan demam

tifoid adalah golongan fluoroquinolon seperti siprofloksasin, norfloksasin,

ofloksasin dan levofloksasin. Fluoroquinolon merupakan obat yang efektif

untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap

fluoroquinolon dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu

penurunan demam 4 hari dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari

2%. Fluoroquinolon tidak dapat diberikan kepada anak-anak karena dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012).

Pemberian sepalosporin generasi ke-3 seperti seftriakson,

sefotaksim, dan sefiksim. Seftriakson dengan dosis untuk neonatus sebesar

20-50 mg/kg/hari, anak umur >1 bulan 20-50 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan sampai

80 mg/kg/hari (Finch et al., 2010), untuk anak-anak 75-80 mg/kg satu kali

dalam sehari untuk pemberian secara i.v. selama 5-14 hari (Lacy et al., 2009).

Sefotaksim dengan dosis 40-80 mg/kg dalam 2-3 dosis (maksimum 1-2

g/hari) (Purwadianto et al., 2014). Sefiksim dengan dosis untuk anak-anak 20

mg/kg/hari (maksimum 400 mg), dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2

dosis untuk pemberian secara p.o. (Lacy et al., 2009).

(39)

dosis untuk anak >6 bulan sebesar 10 mg/kg/hari untuk 3 hari, untuk anak

dengan berat 15-25 kg sebesar 200 mg/hari untuk 3 hari, 26-35 kg sebesar 300

mg/kg untuk 3 hari, dan 36-45 kg sebesar 400 mg/kg untuk 3 hari untuk

pemberian secara p.o (Finch et al., 2010).

B.

Antibiotika

Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan

jamur yang memiliki khasiat untuk menghambat perkembangbiakan atau

membunuh mikroorganisme (Sutedjo, 2008). Antibiotika dapat bekerja secara

primer dengan menghentikan pembelahan sel (bakteriostat) atau dengan

membunuh mikroorganisme secara langsung (bakterisida) (Brooker, 2009).

Menurut Setiabudy (2007), berdasarkan luas kerjanya antibiotika

dibedakan sebagai berikut.

1. Antibiotika spektrum sempit

Antibiotika spektrum sempit efektif melawan satu jenis organisme.

Antibiotika berspektrum sempit bersifat selektif maka obat-obat ini lebih aktif

dalam melawan organisme tunggal dari pada antibiotika berspektrum luas.

2. Antibiotika spektrum luas

(40)

21

C.

Prinsip Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Permenkes (2011)

1.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotika

a.

Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotika

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotika.

b.

Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika

sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotika secara

tepat.

c.

Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat

Pemberian antibiotika secara bersamaan dengan antibiotika lain, obat lain

atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari

interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti

penurunan absorbsi obat atau penundaan absorbsi hingga meningkatkan

efek toksik obat lainnya.

d.

Faktor biaya

(41)

antibiotika oleh pasien sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan

terapi.

2.

Prinsip penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan definitif

a.

Antibiotika Terapi Empiris

Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan

antibiotika pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri

penyebabnya. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral. Lama pemberian

antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam, selanjutnya

harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi

klinis pasien serta data penunjang lainnya.

b.

Antibiotika Terapi Definitif

(42)

23

evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta

data penunjang lainya.

D.

Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak

Menurut Michael et al., (2008) ada beberapa faktor yang harus

diperhatikan dalam proses pemilihan obat khususnya antibiotika pada anak

diantaranya adalah sebagai berikut.

1.

Farmakokinetika

a.

Absorbsi

Kecepatan absorbsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada

cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Pada neonatus jumlah

obat-obatan yang diabsorbsi di usus sulit untuk diprediksi karena terjadi perubahan

biokimiawi dan fisiologis di saluran gastrointestinal berupa peningkatan asam

lambung yang diikuti dengan penurunan kecepatan pengosongan lambung dan

gerak peristaltik.

b.

Distribusi

(43)

secara tidak langsung akan mempengaruhi waktu paruh dan konsentrasi obat

di dalam sirkulasi sistemik.

c.

Metabolisme

.Hati merupakan organ terpenting dalam proses metabolisme obat di

dalam tubuh. Perbandingan relatif volume hati terhadap berat badan menurun

seiring dengan bertambahnya usia. Kecepatan metabolisme obat paling besar

terjadi pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak kemudian akan

menurun mulai pada usia anak sampai dewasa.

d.

Eksresi

Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus pada

proses ekskresi di ginjal kurang efisien dibandingkan kelompok usia anak

karena kelompok usia tersebut masih dalam tahap awal proses pematangan

organ.

2.

Pertimbangan efek terapi dan toksik

(44)

25

3.

Perhitungan dosis obat

Penentuan dosis obat pada anak-anak dianjurkan mengacu pada buku-buku

standar pengobatan anak dan buku pedoman terapi anak, agar didapatkan hasil

terapetik yang lebih dominan dan mengurangi efek toksisitas yang mungkin

muncul.

E.

Penggunaan Antibiotika Secara Rasional

Menurut WHO (2001), kriteria penggunaan obat yang rasional adalah

sebagai berikut.

1.

Tepat indikasi

Pemilihan antibiotika berdasarkan keluhan yang dialami pasien dan disertai

dengan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.

2.

Tepat dosis

Dosis obat yang diberikan berada dalam range terapi obat tersebut. Pemberian

dosis obat juga harus disesuaikan dengan umur, berat badan dan kronologis

penyakit yang di derita pasien.

3.

Tepat cara pemberian

(45)

4.

Tepat interval waktu pemberian

Rentang waktu pemberian obat harus sesuai dengan aturan pemakaian yang

telah ditentukan. Misalnya per 4 jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per

24 jam, dan lain-lain.

5.

Tepat lama pemberian

Pada kasus tertentu pemberian antibiotika memerlukan durasi/jangka waktu

tertentu. Tidak terlalu singkat atau terlalu lama. Misalnya selama 3 hari, 5

hari, 7 hari, 10 hari, 1 bulan, dan lain-lain.

6.

Obat yang diberikan harus efektif dan terjamin mutunya

Menghindari pemberian obat yang kedaluwarsa dan tidak sesuai dengan jenis

keluhan penyakit.

7.

Tersedian setiap saat dengan harga yang terjangkau

Jenis obat mudah didapatkan kapanpun diperlukan dan dengan harga yang

dapat dijangkau oleh pasien.

8.

Meminimalkan efek samping obat

(46)

27

F.

Evaluasi Penggunaan Antibiotika

Menurut Kemenkes RI (2011), evaluasi penggunaan antibiotika

bertujuan untuk.

1.

Mengetahui jumlah penggunaan antibiotika di rumah sakit

2.

Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit

3.

Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotika di rumah

sakit secara sistematik dan terstandar

4.

Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit

Berdasarkan Kemenkes RI (2011) tentang pedoman pelayanan

kefarmasian untuk terapi antibiotika, evaluasi penggunaan antibiotika dapat

dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat

dilakukan dengan penghitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed

days), untuk mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotika yang digunakan. Evaluasi

secara kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssen, untuk

mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotika.

Penelitian ini menggunakan metode Gyssen untuk mengevaluasi

penggunaan antibiotika yang rasional. Metode Gyssens dapat mengevaluasi

seluruh aspek penggunaan antibiotika seperti ketepatan indikasi, alternatif yang

lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit, lama

pengobatan, dosis, interval, rute pemberian dan waktu pemberian.

(47)

alur Gyssens akan terbagi dalam beberapa kategori. Kategori ketepatan

penggunaan antibiotika menurut Gyssens, yaitu sebagai berikut ini.

Kategori 0

= penggunaan antibiotika tepat/bijak

Kategori I

= penggunaan antibiotika tidak tepat waktu

Kategori IIA

= penggunaan antibiotika tidak tepat dosis

Kategori IIB

= penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian

Kategori IIC

= penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian

Kategori IIIA

= penggunaan antibiotika terlalu lama

Kategori IIIB

= penggunaan antibiotika terlalu singkat

Kategori IVA

= ada antibiotika lain yang lebih efektif

Kategori IVB

= ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman

Kategori IVC

= ada antibiotika lain yang lebih murah

Kategoti IVD = ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih

sempit

Kategoti V

= tidak ada indikasi penggunaan antibiotika

(48)
[image:48.595.102.492.98.692.2]

29

(49)

Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan

melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan

antibiotika (Kemenkes RI, 2011).

1.

Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI

Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada

halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapa dievaluasi. Diagnosis

kerja dapat ditegakan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila

data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan dibawahnya, apakah ada infeksi

yang membutuhkan antibiotika?

2.

Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V

Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di

bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat?

3.

Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA

Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif

lain yang kurang toksik?

4.

Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB

Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif

lebih murah?

(50)

31

6.

Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti

di kategori IVD

Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan pertanyaan di

bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang?

7.

Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA

Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu

singkat?

8.

Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB

Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis

antibiotika yang diberikan sudah tepat?

9.

Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIA

Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval

antibiotika yang diberikan sudah tepat?

10.

Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIB

Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute

pemberian antibiotika sudah tepat?

11.

Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIC

Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.

12.

Bila penggunaan antibiotikanya tidak tepat waktu, berhenti di kategori I.

13.

Bila antibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika

(51)

G.

Keterangan Empiris

(52)

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-ekperimental karena

observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada intervensi serta perlakuan

dari peneliti terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Rancangan

penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk

mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta

atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi,

kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan

(Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data

dilakukan dengan melakukan penelusuran data masa lalu pasien dari catatan

rekam medis pasien pada periode tertentu (Notoatmodjo, 2010).

B.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

(53)

diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak dibagi menjadi 2 yaitu demam

tifoid dan demam tifoid dengan penyakit lain dan atau komplikasi.

2.

Profil penggunaan obat secara keseluruhan pada pasien anak dengan demam

tifoid selama pasien dirawat inap meliputi antibiotika, antimikotika/antifungi,

obat gangguan saluran cerna, obat susunan saraf pusat, obat saluran

pernapasan, obat antihistamin, hormon, vitamin, mineral dan elektrolit.

3.

Profil penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid meliputi

jenis antibiotika, dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika, durasi

penggunaan antibiotika dan rute pemberian antibiotika.

a.

Jenis antibiotika adalah semua jenis antibiotika (antibiotika tunggal dan

kombinasi) yang diberikan pada pasien anak dengan demam tifoid yang

menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

b.

Dosis dan frekuensi penggunaan antibiotika. Dosis adalah jumlah obat

yang diberikan kepada pasien dalam satuan berat (g, mg, ug) atau satuan

isi (Liter, mL, UI). Frekuensi atau interval pemberian obat, misalnya per 4

jam, per 6 jam, per 8 jam, per 12 jam dan per 24 jam, dan lain-lain.

c.

Durasi penggunaan antibiotika adalah lama waktu (hari) pemakaian

antibiotika kepada pasien.

(54)

35

4.

Rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid

adalah rasionalitas penggunaan antibiotika yang dievaluasi secara kualitatif

menggunaakan metode Gyssens. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan

literatur sebagai referensi. Literatur yang digunakan adalah WHO (2011),

Purwadianto (2014), Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009),

Tjay dan Rahardja (2010), dan berbagai jurnal terkait.

C.

Subyek Penelitian

Pengambilan subyek dalam penelitian ini dipilih sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu semua pasien berumur 0-12 tahun yang

didiagnosis positif menderita penyakit demam tifoid, baik dengan penyakit

penyerta dan atau komplikasi atau tidak, di rawat inap, menerima terapi

antibiotika dan dinyatakan sembuh oleh dokter RSUD Panembahan Senopati

Bantul periode Januari-Desember 2013. Kriteria eksklusi yaitu rekam medik

pasien yang tidak lengkap dan diagnosis akhir pasien bukan demam tifoid.

D.

Bahan Penelitian

(55)

E.

Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Jl. Dr.

Wahidin Sudiro Husada Bantul, Yogyakarta. Waktu penelitian dilakukan pada

tanggal 15-31 Juli 2014.

F.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1.

Formulir untuk mengambil data

Penelitian ini menggunakan formulir yang memuat data rekam medis pasien.

Data-data rekam medis yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya

berisi nomor rekam medik, nama pasien, jenis kelamin, umur, tanggal

masuk/dirawat, gejala klinis, diagnosa penyakit, data laboratorium,

pengobatan yang diterima di rumah sakit tersebut seperti antibiotika dan

obat-obat lain, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama pemberian, cara

pemberian, dan lama pasien dirawat di rumah sakit.

2.

Diagram Gyssens

(56)

37

3.

Kategori Gyssens

Skala nominal 0-VI yang digunakan untuk mengkategorikan rasionalitas

penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens.

4.

Literatur sebagai referensi evaluasi

Literatur yang digunakan adalah WHO (2011), Purwadianto (2014),

Permenkes (2011), Lacy, Armstrong, Goldman, (2009), Tjay dan Rahardja

(2010), dan berbagai jurnal terkait.

G.

Tata Cara Penelitian

1.

Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan

Pada tahap ini dimulai dengan studi pustaka mengenai kerasionalan

penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid, lalu menentukan

permasalahan, cara menganalisis masalah, dan penyusunan proposal. Kemudian

menentukan Rumah Sakit yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu Rumah

Sakit Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Setelah itu mengurus surat

perizinan untuk mendapatkan izin penelitian, yaitu :

a.

Meminta surat pengantar penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma

b.

Mengajukan surat pengantar penelitian dari Fakultas beserta proposal ke

BAPPEDA Daerah Istimewa Yogyakarta

(57)

d.

Mengajukan surat ijin penelitian dari BAPPEDA Bantul ke RSUD

Panembahan Senopati

e.

Mendapatkan surat ijin melaksanakan penelitian di RSUD Panembahan

Senopati

f.

Pengambilan dan pengumpulan data di RSUD Panembahan Senopati

2.

Tahap pengambilan data

Data pasien diambil dari lembar rekam medik yang meliputi, nama

pasien, jenis kelamin, umur, tanggal masuk/dirawat, gejala klinis, diagnosa

penyakit, data laboratorium, pengobatan yang diterima di rumah sakit tersebut

seperti antibiotika dan obat-obat lain, dosis pemberian, frekuensi pemberian, lama

pemberian, cara pemberian, dan lama pasien dirawat di rumah sakit.

3.

Pengolahan data

(58)

39

H.

Tata Cara Analisis

Data rekam medik pasien yang telah diperoleh akan diolah dengan

metode statistika deskriptif dengan menghitung persentasenya. Data pasien akan

dikelompokan terlebih dahulu sebagai berikut.

a.

Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi

antibiotika berdasarkan jenis kelamin dengan menghitung jumlah pasien

laki-laki dan perempuan dibagi total kasus dikali 100%.

b.

Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi

antibiotika berdasarkan umur dengan menghitung jumlah pasien dibagi

total kasus dikali 100%.

c.

Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi

antibiotika berdasarkan jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid

tiap bulan dengan menghitung jumlah pasien yang sesuai kriteria per bulan

dibagi total kasus dikali 100%.

d.

Presentasi pasien anak dengan demam tifoid yang telah menerima terapi

antibiotika berdasarkan distribusi diagnosis akhir demam tifoid dilakukan

dengan menghitung jumlah pasien yang terdiagnosis demam tifoid dengan

penyakit lain dan atau komplikasi atau tidak dibagi total kasus dikali

100%.

(59)

f.

Presentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan jenisnya (nama generik) yang dilakukan dengan menghitung

jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%.

g.

Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan dosis dan frekuensinya

dengan menghitung jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%.

h.

Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan durasi dengan menghitung

jumlah antibiotika dibagi total kasus dikali 100%.

i.

Presentasi penggunaan antibiotika berdasarkan rute pemberiannya dengan

menghitung jumlah antibiotika tiap rute dibagi total kasus dikali 100%.

j.

Presentasi pasien demam tifoid yang telah menerima terapi antibiotika

berdasarkan kategori ketepatan penggunaan antibiotika menurut Gyssens

dibagi total kasus dikali 100%.

Selanjutnya dilakukan evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika

berdasarkan alur metode Gyssens.

Hasil evaluasi dikategorikan sebagai berikut.

Kategori 0

= penggunaan antibiotika tepat/bijak

Kategori I

= penggunaan antibiotika tidak tepat waktu

Kategori IIA

= penggunaan antibiotika tidak tepat dosis

Kategori IIB

= penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian

Kategori IIC

= penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian

Kategori IIIA

= penggunaan antibiotika terlalu lama

(60)

41

Kategori IVB

= ada antibiotika lain yang kurang toksik/lebih aman

Kategori IVC

= ada antibiotika lain yang lebih murah

Kategoti IVD = ada antibiotika lain yang spektrum antibakterinya lebih

sempit

Kategoti V

= tidak ada indikasi penggunaan antibiotika

Kategoti VI

= data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

I.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain.

1.

Penelitian ini menggunakan pendetakatan retrospektif yang memiliki

keterbatasan dalam hal kelengkapan dan dapat terjadi kemungkinan adanya

rekam medis yang tidak tidak jelas terbaca sehingga menjadi suatu kesulitan

tersendiri bagi peneliti dalam pembacaan rekam medis. Hal ini dapat

menimbulkan kesalahan interpretasi data dari peneliti sehingga menyebabkan

bias bagi hasil penelitian.

2.

Metode Gyssens yang digunakan untuk mengevaluasi kerasionalan

penggunaan antibiotika dalam penelitian ini tidak selalu dapat diselaraskan

dengan kondisi yang dialami pasien baik dari diagnosa awal sampai dengan

outcome terapi pasien. Sangat sulit jika hanya berpatokan dengan teoritis dari

buku-buku acuan tanpa mengetahui kondisi sebenarnya yang dialami pasien.

Banyak kasus yang bertentangan dengan alur dalam metode ini namun

outcome terapinya baik bagi pasien. Tujuan dari evaluasi menggunakan

(61)

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien

anak dengan demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 akan disajikan dalam empat

bagian yaitu karakteristik pasien anak dengan demam tifoid, profil penggunaan

obat secara keseluruhan selama pasien dirawat inap, profil penggunaan antibiotika

dan evaluasi kerasioanalan penggunaan antibiotika menurut metode Gyssens.

A.

Karakterikstik Pasien Anak Dengan Demam Tifoid

1.

Jenis Kelamin

[image:61.595.105.510.313.586.2]

Karakteristik pasien anak penderita demam tifoid berdasarkan jenis

kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Persentasi jumlah pasien laki-laki dan perempuan penderita demam

tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Januari-Desember 2013 (N=40)

Berdasarkan Gambar 2 di atas pasien anak penderita demam tifoid di

Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013, lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar

60% (24 pasien) dibandingkan dengan perempuan yaitu sebesar 40% (16 pasien).

60%

40%

Laki-laki

(62)

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi

(2011) diperoleh hasil bahwa proporsi pasien anak penderita demam tifoid lebih

banyak diderita oleh pasien anak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan

perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki memiliki aktifitas diluar

rumah lebih banyak, sehingga memungkinkan anak laki-laki beresiko lebih besar

terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan anak perempuan (Artanti, 2013).

2.

Umur

Penelitian ini menggunakan pasien anak yang berumur berumur 0-12

tahun. Anak dikelompokan berdasarkan tingk

at umur yaitu neonatus (umur ≤

1

tahun), balita (umur >1-5 tahun), dan anak sekolah (umur >5-12 tahun) (Wahab,

2011).

[image:62.595.101.517.248.611.2]

Karakteristik pasien anak penderita demam tifoid berdasarkan umur di

Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Persentasi kasus demam tifoid berdasarkan umur di Instalasi Rawat

Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember

2013 (N=40)

Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa persentasi kasus

demam tifoid berdasarkan umur banyak diderita oleh anak pada rentang umur

>5-12 tahun yaitu sebesar 57,5% (23 pasien), diikuti oleh anak pada rentang umur

2,5%

40%

57,5%

≤1 tahun 2,5%

(63)

>1-5 tahun yaitu sebesar 40% (16 pasien) dan anak umur

1 tahun yaitu sebesar

2,5% (1 pasien).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rufaldi

(2011) diperoleh hasil bahwa persentasi kasus demam tifoid banyak diderita oleh

anak pada rentang umur >5-12 tahun. Hal ini disebabkan karena kelompok umur

>5-12 tahun merupakan kelompok anak sekolah yang mempunyai kebiasaan jajan

di sekolah atau tempat lain diluar rumah yang kebersihannya tidak dapat dijamin

(Artanti, 2013).

3.

Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid pada bulan

Januari-Desember 2013

[image:63.595.102.514.267.669.2]

Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid pada bulan

Januari-Desember 2013 di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Jumlah pasien anak yang menderita demam tifoid tiap bulan di

Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode

Januari-Desember 2013

0

1

2

3

4

5

6

7

(64)

Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa proporsi teringgi

penderita demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta tahun 2013 berdasarkan bulan adalah bulan April 17,5% (7

kasus) dan terendah pada bulan Januari, Mei, Juni, dan Juli yaitu sebesar 2,5% (1

kasus). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rufaldi

(2011) di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Kasus demam tifoid pada tahun

2010 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta paling banyak terdiagnosis pada

bulan Maret 22,2% dan terendah pada bulan November 11,1%.

4.

Distribusi diagnosis akhir demam tifoid pada pasien anak

Diagnosis akhir demam tifoid dapat dilakukan dengan melihat

gejala-gejala klinik yang ada disertai hasil pemeriksaan penunjang laboratorium.

Diagnosis akhir penyakit demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD

Panembahan S

Gambar

Tabel I.  Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO (2011)
Gambar 1.  Diagram alur metode Gyssens .................................................
Tabel I. Terapi antibiotika yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid (WHO, 2011)
Gambar 1. Diagram alur metode Gyssens (Kemenkes RI, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan dari mesin pendingin berupa kerja kompresor (W in ), panas yang diserap evaporator (Q in ), panas yang dilepas kondensor (Q out ), dan COP

- Menyusun teks cerita moral/fabel, biografi, dan prosedur, sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat, baik secara lisan maupun tulisan - Menelaah dan

APBN yang diserahkan diserahkan kepada daerah dalam rangka kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. pelaksanaan otonomi daerah

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para responden telah melakukan prosedur auditing yang wajar dan memenuhi kriteria yang telah

Pada minuman rosela berkarbonasi yang disimpan pada refrigerator penurunan niai rata-rata mutu warna lebih kecil dibandingkan dengan yang lain dengan nilai slope -0.030,

Setelah data yang berbentuk nilai biner tersebut diterima oleh mikrokontroller maka data hasil output per frekuensi tersebut akan diletakkan secara berurutan di dalam memori

This study was aimed to carry out water- kefir fermentation for 27 hours to evaluate the affects of temperature on chemical properties changes of water-kefir

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa kini yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang