• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN KEBIJAKAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KELURAHAN BLIGO KECAMATAN BUARAN KABUPATEN PEKALONGAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN KEBIJAKAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KELURAHAN BLIGO KECAMATAN BUARAN KABUPATEN PEKALONGAN SKRIPSI"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENERAPAN KEBIJAKAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KELURAHAN BLIGO KECAMATAN

BUARAN KABUPATEN PEKALONGAN SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Oleh Putri Fitriani 3301416050

JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020

(2)

ii ii

(3)

iii iii

(4)

iv iv

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO

 Jadilah yang terbaik dimanapun kita berada dan berikan yang terbaik yang bisa kita lakukan (B.J. Habibie)

 Tidak ada gunanya memiliki IQ tinggi tetapi malas dan tidak memiliki disiplin.

Yang terpenting adalah kita sehat dan mau berkorban untuk masa dengan yang cerah (B.J. Habibie)

 Perjuangkanlah mimpi dan cita-citamu sampai ALLAH yang memutuskan untuk berhenti (Putri Fitriani)

PERSEMBAHAN

 Kedua orang tua saya yang sangat saya cintai. Ibu Eni Silvana dan Bapak Usni yang selalu mendoakan dan mencurahkan rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan saya.

 Adik perempuan saya satu-satunya, Syafrina Fitriani. Kebahagiaan dan cita- citamu menjadi motivasi besarku untuk segera menyelesaikan studi ini.

 Bapak Drs. Tijan, M.Si., dosen pembimbing yang senantiasa dengan sabar membimbing dan memberikan ilmu kepada saya dalam menyelesaikan studi ini.

 Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan, Pemerintah Kelurahan Bligo dan BKM Mandiri serta segenap informan yang telah membantu saya untuk membuat dan menyelesaikan karya tulis ini.

(6)

vi

 Teman-teman kos skyline Ramaudhita, Becik, Nurul dan Ika yang telah menjadi keluarga dan menemani susah senang perjuangan hidup di perantauan.

 Teman-teman program studi PPKn 2016 yang selalu membuat proses belajarku menyenangkan.

 Almamater Universitas Negeri Semarang yang saya cintai, yang telah memberikan ilmu untuk berorganisasi dan bertemu dengan orang-orang hebat selama empat tahun masa studi ini khususnya komunitas G2PM 2016, HIMA PKn 2017, DPM FIS 2018, keluarga PPL SMA Semesta Bilingual Boarding School, dan kelompok KKN Desa Karangsari.

(7)

vii SARI

Fitriani, Putri. 2020. Penerapan Kebijakan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan. Skripsi. Jurusan Politik dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Drs.

Tijan, M.Si. 138 halaman.

Kata Kunci: Kebijakan, penerapan, Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Besarnya jumlah penduduk Indonesia dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk membangun kawasan permukiman yang layak menyebabkan banyaknya kawasan kumuh yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu daerah yang tergolong kumuh yaitu Kabupaten Pekalongan khususnya Kelurahan Bligo. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kebijakan pembangunan lingkungan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang layak. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan masalah permukiman kumuh di Indonesia hingga mencapai 0%. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan; (2) mendeskripsikan faktor- faktor yang menghambat pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus penelitian ini adalah penerapan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dan faktor-faktor yang menghambat penerapan program KOTAKU di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan. Sumber data diperoleh dari informan, peristiwa dan dokumentasi terkait.

Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi.

Pengujian validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber. Analisis data menggunakan model analisis data interaktif melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan (1) program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo meliputi empat tahapan utama yaitu tahap persiapan yang berisi kegiatan sosialisasi dan pembentukan Tim Inti Perencanaan Partisipatif (TIPP), tahap perencanaan yang berisi penyusunan dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) tahap pelaksanaan pembangunan berupa pembuatan saluran air (drainase), jalan paving, Tempat Pembuangan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS 3R), sumur bor serta tahap keberlanjutan melalui pembentukan kelompok pengelola dan kelompok pemelihara pembangunan. Monitoring dan evaluasi program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo dilaksanakan pada setiap tahapan secara berkala oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan dan fasilitator kelurahan; (2) faktor-faktor yang menghambat penerapan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo adalah sumber daya manusia dari aspek pelaksana, masyarakat yang menolak program, dan tukang bangunan yang dinilai tidak efektif, serta faktor komunikasi yang mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan dalam internal Badan keswadayaan Masyarakat (BKM).

Saran yang dapat peneliti rekomendasikan yaitu (1) kepada Dinas Perkim LH Kabupaten Pekalongan menjalin koordinasi lebih intensif melalui koordinasi forum BKM dan rapat evaluasi koordinasi dengan fasilitator dan pemerintah desa/kelurahan, (2) kepada BKM Mandiri Kelurahan Bligo dan tim fasilitator perlu bekerjasama dengan pemerintah kelurahan dan melibatkan tokoh masyarakat serta perlu adanya pendampingan untuk menjamin kelancaran terlaksananya program secara efektif dan efisien.

(8)

viii ABSTRACT

Fitriani, Putri. 2020. The Implementation of Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Programs Policies in Bligo Village Buaran Subdistric Pekalongan Regency. Final Project.

Department of Politics and Civics. Faculty of Social Science. Universitas Negeri Semarang. Advisor is Drs. Tijan, M.Si. 138 Pages.

Keywords: implementation, Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) program, policy

The large population of Indonesia and the limited ability of the goverment to develop decent residential areas causes many slum areas in Indonesia territory. One of the slums areas is Pekalongan regency, especially Bligo village. Therefore, it is necessary to have an environmental development policy to improve the quality of the environment and the welfare of the community. Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Programs - slum area free - is the policy of the Ministry of Public Works and Public Housing as an effort to accelerate the handling of slum areas problems in Indonesia to reach 0%. The purpose of this research is to (1) describe the implementation of KOTAKU program policy in Bligo Village Buaran subdistric Pekalongan regency, (2) describe the factors that inhibit the KOTAKU Programs in Bligo village Buaran subdistric Pekalongan regency.

This study used a qualitative approach. The focus of this research is the implementation of Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Programs in Bligo village Buaran subdistric Pekalongan regency and the factors that inhibit this programs. Data sources obtained from informants, events and related documentation. Data collection techniques using interviews, observation and documentation. Data validity testing uses source triangulation techniques. Data analysis using an interactive data analysis model through stages of data collection, data reduction, data presentation and drawing conclusions.

The results of the research showed (1) Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Programs in Bligo Village covered four main stages namely the preparation stage which contains the socialization and formation of the TIPP, the planning stage which contains the preparation of plan for structuring the settlement environment document, the implementation stage of development in the form of making water channels (drainage), paving roads, TPS (3R), bore wells, and the sustainability stage through the formation of a management group and a group of development maintainers. Monitoring and evaluation of KOTAKU Programs in Bligo Village is carried out at every stage on a regular basis by Environmental Management Office of Pekalongan Regency and village facilitators. (2) Factors that inhibit the implementation of KOTAKU Programs in Bligo Village are the community resources that reject the program and communication that causes disharmony in the internal BKM.

Suggestions that researchers can recommend (1) The Pekalongan Regency Environmental Management Office establish more intensive coordination through coordinating the BKM forum and coordinating evaluation meetings with the facilitators and the village government, (2) to BKM Mandiri Bligo village and facilitating team need to work together with village administration and involve community leaders and the need for assistance to ensure the efficient and effective implementation of the program.

(9)

ix PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penerapan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak mendapatkan dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Bapak Dr. Moh. Solehatul Mustofa, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

3. Bapak Drs. Tijan, M. Si., Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang serta selaku dosen pembimbing.

4. Segenap dosen Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

5. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan, Pemerintah Kelurahan Bligo, pengurus BKM Mandiri Kelurahan Bligo dan segenap informan yang telah memberikan banyak informasi kepada penulis.

6. Ibu Eni Silvana dan Bapak Usni, orang tua penulis yang sangat penulis cintai 7. Keluarga besar Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, khususnya teman-teman

PPKn 2016.

(10)

x

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan untuk memperbaiki penulisan selanjutnya.

Semarang, April 2020

Penulis

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

SARI ... vii

ABSTRACT ... viii

PRAKATA ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Batasan Istilah ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Deskripsi Teoritis ... 11

1. Penerapan Kebijakan... 11

a. Pengertian Kebijakan ... 11

b. Unsur-unsur Kebijakan ... 13

c. Penerapan Kebijakan... 17

d. Tahapan Implementasi Kebijakan ... 26

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan ... 29

2. ProgramKotaTanpaKumuh(KOTAKU)... 31

a. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) ... 31

b. Tahapan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) ... 34

B. Kajian Penelitian yang Relevan ... 37

C. Kerangka Berfikir ... 45

(12)

xii

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Latar Penelitian ... 48

1. Jenis Penelitian ... 48

2. Lokasi Penelitian ... 49

3. Waktu Penelitian ... 49

B. Fokus Penelitian ... 50

C. Sumber Data Penelitian ... 51

D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ... 52

1. Wawancara ... 52

2. Observasi ... 54

3. Dokumentasi ... 55

E. Uji Validitas Data ... 55

F. Teknik Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Hasil Penelitian ... 61

1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 61

a. Kelurahan Bligo Kabupaten Pekalongan ... 61

b. Daerah Kumuh Kelurahan Bligo ... 64

c. Dinas Perkim LH Kabupaten Pekalongan ... 70

d. BKM Mandiri Kelurahan Bligo ... 77

2. Penerapan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Kelurahan Bligo 82 a. Bentuk-bentuk Program KOTAKU Kelurahan Bligo ... 82

b. Tahap-tahap Penerapan Program KOTAKU Kelurahan Bligo ... 94

c. Monitoring dan Evaluasi Program KOTAKU ... 108

3. Faktor Penghambat Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) ... 109

B. Pembahasan ... 115

1. Penerapan Kebijakan Program KOTAKU Kelurahan Bligo ... 115

2. Tahapan Kebijakan Program KOTAKU Kelurahan Bligo ... 125

3. Faktor Penghambat Kebijakan Program KOTAKU Kelurahan Bligo .... 130

4. Relevansi Penelitian dengan Prodi PPKn ... 132

BAB V PENUTUP ... 134

A. Simpulan ... 134

B. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 136

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 139

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Daftar Daerah Kumuh Kelurahan Bligo ... 64

Tabel 4.2 Pengurus BKM Mandiri Kelurahan Bligo Periode 2019-2022 ... 76

Tabel 4.3 KSM BKM Mandiri Kelurahan Bligo Tahun 2019 ... 77

Tabel 4.4 Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh Kelurahan Bligo ... 81

Tabel 4.5 Kegiatan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Kelurahan Bligo Tahun 2019 ... 91

Tabel 4.6 Rembug Warga Tahunan (RWT) desa/kelurahan di Kecamatan Buaran Tahun 2019 ... 114

(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Model Proses Implementasi Kebijakan ... 19

Bagan 2.2 Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier ... 23

Bagan 2.3 Tahapan Pelaksanaan Program KOTAKU ... 34

Bagan 2.4 Kerangka Berfikir ... 45

Bagan 3.1 Triangulasi Sumber ... 54

Bagan 3.2 Analisis Data Model Interaktif ... 58

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Kelurahan Bligo ... 60

Gambar 4.2 Industri Batik Rumahan ... 62

Gambar 4.3 Industri Kain Kasa ... 62

Gambar 4.4 Titik Daerah Kumuh Kelurahan Bligo ... 68

Gambar 4.5 RWT (Rembug Warga Tahunan) Kelurahan Bligo ... 77

Gambar 4.6 Saluran Drainase Hasil Program KOTAKU ... 84

Gambar 4.7 Jalan Paving Hasil Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) .... 86

Gambar 4.8 Sumur Bor (PAMSIMAS) ... 88

Gambar 4.9 Bangunan TPS(3R) ... 90

Gambar 4.10 Lembar Pengesahan RPLP Kelurahan Bligo ... 98

Gambar 4.11 Tampak Muka Dokumen RPLP ... 99

Gambar 4.12 Lokasi Peralihan Pembangunan Drainase ... 111

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing Skripsi ... 130

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian ... 131

Lampiran 3. Pedoman Penelitian ... 133

Lampiran 4. Instrumen Penelitian ... 135

Lampiran 5. Pedoman Lembar Observasi ... 150

Lampiran 6. Pedoman Wawancara ... 151

Lampiran 7. Pedoman Dokumentasi ... 162

Lampiran 8. Transkip Wawancara ... 163

Lampiran 9. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 207

Lampiran 10. Laporan Pertanggungjawaban BKM Mandiri Kelurahan Bligo Tahun 2019 ... 208

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan suatu daerah tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk di dalamnya. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah masalah kawasan permukiman. Salah satu masalah permukiman yang terjadi yaitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan kualitas lingkungan yang baik untuk masyarakat. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan untuk menyediakan kawasan permukiman yang layak. Tingginya pertumbuhan penduduk di suatu daerah, jika tidak diimbangi dengan kemampuan untuk membangun kawasan permukiman yang mencukupi dan memenuhi syarat maka akan menimbulkan permukiman yang kurang layak atau permukiman kumuh. Permukiman kumuh menurut Peraturan Menteri PUPR No 2 tahun 2016 merupakan satuan perumahan dan permukiman dalam lingkup wilayah kabupaten/kota yang dinilai tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yaitu mencapai sekitar 265 juta jiwa (https://www.bps.go.id:2019).

Hal ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap permasalahan kepadatan penduduk dan penyediaan kualitas lingkungan hidup yang layak. Salah satu permasalahan lingkungan hidup di Indonesia yang memiliki urgensi untuk

(18)

segera diselesaikan yaitu banyaknya kawasan permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa luas kawasan permukiman kumuh di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 38.431 Ha. Hal ini menjadi target penanganan Kementerian PUPR hingga tahun 2019 (https://www.pu.go.id:2017).

Permasalahan kawasan permukiman kumuh memerlukan upaya penyelesaian melalui pembangunan lingkungan untuk menciptakan kesejahteran masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki wilayah kumuh terluas di Indonesia. Luas wilayah kumuh Provinsi Jawa Tengah pada pendataan tahun 2019 menurut Sugihardjo (Kepala Balai Sarana Prasarana Permukiman Wilayah Jawa Tengah) mencapai 3.982,88 Ha (https://www.suaramerdeka.com:2019). Kawasan kumuh tersebut tersebar di 35 kabupaten/kota. Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 1.060/km2 (https://www.bps.go.id:2020). Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan terbatasnya lahan menjadi salah satu faktor utama penyebab munculnya kawasan kumuh di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, tingginya angka migrasi penduduk juga menyebabkan overkapasitas di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, penduduk yang tidak mendapat tempat tinggal akan tinggal di tempat yang seadanya sehingga kurang memiliki sikap peduli terhadap kondisi lingkungan sekitar.

Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu dari enam daerah kabupaten/kota yang memiliki kawasan kumuh terluas di Provinsi Jawa

(19)

Tengah. Berdasarkan SK Bupati Pekalongan Nomor 663/ 408 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Pemukiman Kumuh, luas kawasan permukiman kumuh di Kabupaten Pekalongan mencapai 671,84 Ha (https://www.pekalongankab.go.id:2019). Adapun sebaran kawasan kumuh tersebut dalam kajian RP2KPKP Kabupaten Pekalongan dapat dilihat pada tabel berikut.

No Kecamatan Luas Kawasan

Kumuh (Ha)

1 Watussalam 14, 30

2 Buaran Kedungwuni 96,41

3 Tirto 140,16

4 Pacar 54,27

5 Kampil 11,03

6 Wiradesa 26,45

7 Wonokerto 193,57

8 Pegaden Tengah 2,02

Sumber: RP2KPKP Kabupaten Pekalongan

Luasnya kawasan kumuh tersebut disebabkan oleh faktor kepadatan penduduk dan tingkat kerapatan bangunan yang tinggi serta terjadinya bencana rob di daerah pesisir. Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Pekalongan pada tahun 2018 tercatat mencapai 1.117/km2 (https://www.bps.go.id:2020). Kondisi tersebut membutuhkan kebijakan penataan lingkungan dari pemerintah setempat agar dapat terpecahkan. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kawasan permukiman kumuh yaitu dengan mencanangkan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).

Kecamatan Buaran merupakan kecamatan terkecil sekaligus terpadat di Kabupaten Pekalongan. Luas wilayah Kecamatan Buaran yaitu 9,54 km2. Berdasarkan profil permukiman kumuh dokumen RP2KPKP Kabupaten

(20)

Pekalongan, jumlah penduduk di Kecamatan Buaran pada tahun 2019 sebanyak 46.721 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 4.897 jiwa/km2. Tingginya tingkat kepadatan penduduk tersebut membuat Kecamatan Buaran menjadi salah satu episentrum kawasan permukiman kumuh di Kabupaten Pekalongan. Adapun luas kawasan kumuh Kecamatan Buaran berdasarkan dokumen RP2KPKP Kabupaten Pekalongan mencapai 96,41 Ha. Kawasan kumuh tersebut tersebar di beberapa desa/kelurahan yang menjadi pusat pengolahan industri seperti Desa Wonoyoso, Simbang Kulon, Kelurahan Bligo, Sapugarut dan Simbang Wetan. Adapun kawasan permukiman kumuh Kecamatan Buaran jika dilihat dari 8 indikator kumuh berdasarkan Peraturan Menteri PUPR No 2 Tahun 2016 yaitu kondisi bangunan masih terlihat buruk karena masih terdapat 2.678 rumah tidak layak huni atau 34% dari jumlah total bangunan, kondisi drainase lingkungan buruk karena mengalami sedimentasi dan banyaknya sampah karena saluran drainase masih tergabung dengan saluran limbah rumah tangga, kondisi sanitasi yang buruk karena masih menyatu dengan pembuangan air limbah, dan masalah persampahan karena belum memiliki alat pengelolaan persampahan sehingga masyarakat masih membuang sampah dipinggiran rumah dan sungai.

Kelurahan Bligo adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan yang masih memiliki daerah kumuh. Luas kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Bligo tercatat mencapai 21,84 Ha atau sekitar 33% dari seluruh luas kelurahan. Adanya daerah kumuh tersebut disebabkan karena tingkat kerapatan bangunan dan infrastruktur yang kurang baik, masalah

(21)

pengelolaan sampah yang belum memenuhi standar teknis dan kebutuhan akan penyediaan air bersih yang belum terpenuhi. Kelurahan Bligo merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk yang besar yaitu mencapai 4.192 jiwa.

Banyaknya penduduk dan kondisi tipologi wilayah menyebabkan adanya kepadatan bangunan disisi sebelah barat kelurahan. Kondisi tersebut tentunya menimbulkan berbagai masalah mengenai kawasan permukiman seperti kualitas saluran air, kondisi jalan dan masalah permukiman lainnya. Selain itu, Kelurahan Bligo berada di posisi yang strategis karena dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, pusat perdagangan dan menjadi pusat perkembangan home industri batik dan kain kasa. Kondisi tersebut juga membawa dampak negatif bagi lingkungan masyarakat berkenaan dengan pencemaran akibat limbah yang dihasilkan. Hal ini menjadi penyebab perlunya penerapan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo sebagai upaya untuk mengurangi daerah kumuh secara signifikan.

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan program kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kawasan kumuh.

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dilaksanakan di 269 kota/kabupaten di 34 provinsi yang menjadi “platfrom” atau basis penanganan kawasan kumuh dari berbagai sumber daya dan sumber pendanaan termasuk dari pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten, pihak swasta, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(22)

(RPJMN), Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan upaya pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan kawasan pemukiman kumuh dan mencegah timbulnya permukiman kumuh yang baru. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) mulai dilaksanakan pada tahun 2016 di kawasan permukiman kumuh yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Banyaknya kawasan kumuh di wilayah Kabupaten Pekalongan khususnya di Kelurahan Bligo menjadi pusat perhatian pemerintah daerah setempat sejak tahun 2016. Ayuningtyas dan Artiningsih (2019:88-89) mengatakan bahwa kondisi kawasan permukiman kumuh dapat diolah lebih lanjut dengan baseline 100-0-100 yang didapatkan dari Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) pada tingkat desa/kelurahan. Kawasan permukiman kumuh menjadi permasalahan publik yang membutuhkan suatu kebijakan mengenai penataan lingkungan. Penataan lingkungan yang tepat, sesuai dengan kondisi geografis dan sosial ekonomi masyarakat dapat melahirkan suatu kebijakan yang diterima oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu, Kabupaten Pekalongan menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang mencanangkan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) diharapkan mampu mengurangi kawasan kumuh di Kabupaten Pekalongan hingga mencapai 0%.

Kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kabupaten Pekalongan mulai dijalankan pada tahun 2016 di desa/kelurahan yang memiliki kawasan permukiman kumuh. Pemerintah daerah Kabupaten Pekalongan menargetkan berkurangnya kawasan permukiman kumuh melalui program Kota Tanpa

(23)

Kumuh (KOTAKU) mencapai 0% pada tahun 2021. Untuk mencapai target tersebut, perlu adanya penerapan kebijakan sesuai dengan peraturan yang ada agar dapat di implementasikan secara maksimal.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PENERAPAN KEBIJAKAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KELURAHAN BLIGO KECAMATAN BUARAN KABUPATEN PEKALONGAN.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penlitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan?

2. Apa sajakah faktor penghambat dalam pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan;

2. Faktor penghambat dalam pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan.

(24)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teorittis

Hasil penelitian ini secara teoritis hendak menjelaskan mengenai penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan dalam perspektif teori implementasi kebijakan (a model of the policy implementation process) menurut Van Metter dan Van Horn.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan

Hasil penelitian ini dapat digunakan Dinas Perkim LH Kabupaten Pekalongan sebagai masukan dalam menjalankan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) untuk mengutamakan koordinasi dengan semua pihak sebagai upaya untuk mengontrol pelaksanaan program KOTAKU.

b. Bagi Badan Keswadayaan Masyarakat Mandiri Kelurahan Bligo Hasil penelitian ini bermanfaat bagi Badan Keswadayaan Masyarakat Mandiri Kelurahan Bligo untuk lebih mempertimbangkan ketepatan pelaksanaan program KOTAKU dengan segala aspek baik kondisi lingkungan maupun masyarakat .

(25)

E. Batasan Istilah 1. Penerapan

Konsep penerapan (implementation) menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2004:65) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu/pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijaksanaan. Penerapan diartikan sebagai perbuatan untuk mempraktekkan teori, metode, dan hal lain guna mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penerapan adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) sebagai upaya untuk mengatasi masalah kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan.

2. Kebijakan

Kebijakan menurut Carl Friedrich (dalam Handoyo, 2012:10) adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu dan diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu berkaitan dengan adanya suatu hambatan seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan. Definisi tersebut akan digunakan untuk menganalisis penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) untuk mengatasi kawasan permukiman kumuh di

(26)

wilayah Kabupaten Pekalongan khususnya di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran.

3. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mempercepat penanggulangan masalah kawasan permukiman kumuh di Indonesia dengan membangun platform kolaborasi antara peran pemerintah dan partisipasi masyarakat (www.kotaku.pu.go.id). Adapun penelitian ini akan mengkaji bagaimana penerapan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dijalankan untuk mengatasi permukiman kumuh di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan khususnya pada bentuk-bentuk, tahapan-tahapan, dan monitoring evaluasi, serta faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan program tersebut.

(27)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis

1. Penerapan Kebijakan a. Pengertian Kebijakan

Kebijakan menurut Greer and Paul Hoggett (1999) ialah sejumlah tindakan maupun bukan tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik (dalam Handoyo, 2012:5). Pernyataan tersebut diperjelas oleh pendapat Carl Friedrich (dalam Handoyo, 2012: 5) yang mengatakan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu yang berkaitan dengan adanya hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Anderson (dalam Wahab, 2015: 8) merumuskan kebijakan merupakan langkah dan tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang atau sejumlah aktor yang berkaitan dengan adanya suatu permasalahan atau persoalan tertentu yang dihadapi. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang atau kelompok pemegang kepentingan untuk mencapai tujuan dan penyelesaian dari masalah tetentu.

Sementara itu, H. Hugh Heglo (dalam Abidin, 2012: 6) menyatakan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some end”

(28)

yang artinya bahwa kebijakan sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lain halnya dengan pengertian kebijakan dari Heglo, Jones (dalam Wahab 2015:8) memaknai kebijakan sebagai suatu “…’behavioral consistency and repetitiveness’

associated with efforts in and through government to resolve public problems” (… ‘perilaku yang tetap dan berulang’ dalam hubungannya dengan usaha yang ada dan melalui pemerintah untuk memecahkan masalah publik). Definisi tersebut menyatakan bahwa suatu kebijakan itu bersifat dinamis. Sementara itu, Hamdi (2014:37) mengatakan bahwa kebijakan adalah pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh seseorang, kelompok atau badan yang memiliki wewenang atau pemegang kekuasaan tertentu sebagai upaya penyelesaian masalah publik.

Kebijakan publik dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam menyelesaikan masalah-masalah publik. Merujuk dari beberapa ahli tersebut, Handoyo (2012:7) memaknai kebijakan publik sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk memastikan bahwa tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh publik dapat tercapai. Setiap kebijakan publik berkaitan dengan penggunaan kekuasaan tertentu dan berlangsung dalam latar (setting)

(29)

kekuasaan tertentu. Hal ini berarti dalam kebijakan publik terdapat pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Kebijakan publik dapat klasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Kebijakan umum dimaknai sebagai kebijakan makro, kebijakan pelaksanaan sebagai kebijakan meso dan kebijakan teknis berada pada level mikro (Handoyo, 2012:7).

b. Unsur-unsur Kebijakan

Kebijakan merupakan suatu sistem yang tersusun dari elemen atau sub-sub yang saling berkaitan. Oleh karena itu, suatu kebijakan yang baik harus didukung oleh elemen-elemen penyusun yang baik pula.

Abidin (2012: 25) dalam bukunya yang berjudul “Kebijakan Publik”

mengatakan bahwa dilihat dari segi strukturnya, suatu kebijakan setidaknya memiliki lima unsur sebagai berikut.

1) Tujuan Kebijakan

Tujuan merupakan unsur utama dalam kebijakan (Abidin, 2012:25). Hal ini dikarenakan, suatu kebijakan dibuat karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Tanpa adanya tujuan, maka tidak perlu adanya kebijakan. Tujuan kebijakan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria yaitu (1) diinginkan untuk dicapai; (2) rasional atau realistis; (3) jelas; (4) berorientasi kedepan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Jones (dalam Abidin, 2012:6) mengatakan bahwa tujuan yaitu sesuatu yang memang dikehendaki untuk dicapai bukan hanya sekedar diinginkan. Dari definisi tersebut, dapat

(30)

disimpulkan tujuan yaitu unsur penting dalam suau kebijakan berupa sesuatu yang hendak dicapai.

2) Masalah

Masalah merupakan salah satu unsur penting dalam kebijakan.

Oleh sebab itu, kesalahan dalam merumuskan masalah yang tepat akan berakibat pada kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan (dalam Abidin, 2012:27). Sementara itu, Winarno (2014:73) menyatakan bahwa masalah diartikan sebagai suatu kondisi yang menimbulkan adanya ketidakpuasan atau kebutuhan pada sebagian orang yang menginginkan perbaikan maupun pertolongan. Lain halnya dengan Subarsono (2013:24) yang mengatakan bahwa masalah publik dipahami sebagai kondisi belum terpenuhinya kebutuhan, nilai atau kesempatan yang diinginkan publik, dan pemenuhannya hanya memungkinkan melalui suatu kebijakan. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah merupakan suatu kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan atau kesenjangan dalam masyarakat yang membutuhkan upaya penyelesaian melalui kebijakan.

3) Tuntutan (demand)

Adanya tuntutan dalam kebijakan disebabkan oleh dua hal yaitu adanya kepentingan suatu golongan yang terabaikan dalam perumusan kebijakan sehingga dirasa tidak memenuhi atau merugikan kepentingan mereka dan adanya kebutuhan baru yang

(31)

muncul setelah suatu tujuan tercapai atau suatu masalah telah terpecahkan (dalam Abidin, 2012:28). Lain halnya dengan Winarno (2014:83) yang menjelaskan bahwa tuntutan dipahami sebagai upaya agar pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tuntutan adalah upaya yang dilakukan agar pembuat kebijakan melakukan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah publik.

4) Dampak (outcome)

Dampak merupakan tujuan lanjutan yang muncul sebagai pengaruh dari tujuan yang dicapai (Abidin, 2012:30). Sementara itu, Jones (dalam Abidin, 2012:6) mengatakan bahwa dampak yaitu sesuatu yang ditimbulkan dari suatu program dalam masyarakat.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dampak adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu program dalam masyarakat karena adanya pengaruh dalam mencapai tujuan kebijakan. Besarnya dampak yang ditimbulkan dari suatu kebijakan sulit untuk diperhitungkan. Hal ini dikarenakan: (1) tidak tersedianya informasi yang cukup; (2) sulit dipisahkan dengan kebijakan yang lain; (3) proses berjalannya pengaruh dari suatu kebijakan dalam bidang sosial sulit untuk diamati.

(32)

5) Sarana atau Alat Kebijakan (policy instrument)

Sarana atau alat digunakan umtuk mengimplementasikan suatu kebijakan yang meliputi kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis dan perubahan dari kebijakan yang terkait.

Berbeda dengan Abidin, James Anderson (dalam Abidin, 2012:23) mengatakan bahwa kebijakan publik selalu memiliki ciri khusus dari berbagai kegiatan pemerintah yang lain. Oleh karena itu, menurut Anderson suatu kebijakan publik setidaknya terdiri dari beberapa unsur berikut.

a) Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan harus memiliki tujuan yang artinya bahwa pembuatan suatu kebijakan tidak boleh hanya berdasarkan asal buat atau secara kebetulan ada kesempatan. Tanpa ada tujuan yang ingin dicapai, maka tidak perlu ada kebijakan.

b) Public policy consists of courses of action-rather than separate, discrete decision, or actions-performed by government official.

Suatu kebijakan tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dari kebijakan yang lain. Suatu kebijakan selalu berkaitan dengan berbagai kebijakan lain dalam masyarakat, dan berorientasi pada implementasi, interpretasi, dan penegakan hukum.

c) Policy is what government do-not what they say will do or what they intend to do. Kebijakan ialah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau dikehendaki untuk dilakukan oleh pemerintah.

d) Public policy may either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau larangan, dan juga dapat berbentuk positif atau anjuran untuk melakukan sesuatu.

e) Public policy is based on law and is authoritative. Suatu kebijakan harus berdasarkan hukum sehingga memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.

Selain para ahli diatas, Jones (dalam Abidin, 2012: 6) menjabarkan unsur-unsur kebijakan berkaitan dengan beberapa isi dari kebijakan itu sendiri meliputi:

(33)

(a) tujuan yaitu sesuatu yang sudah dikehendaki untuk dicapai bukan hanya sekedar diinginkan;

(b) rencana atau proposal yaitu alat atau cara tertentu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan;

(c) program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud;

(d) keputusan yaitu tindakan yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana serta melaksanakan dan mengevaluasi suatu program;

(e) dampak yakni sesuatu yang ditimbulkan dari suatu program dalam masyarakat.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, unsur-unsur kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah unsur-unsur kebijakan menurut Said Zainal Abidin. Adapun unsur-unsur kebijakan menurut Abidin (2012:25) yaitu (1) tujuan kebijakan; (2) masalah; (3) tuntutan; (4) dampak; (5) sarana atau alat kebijakan. kelima unsur tersebut akan digunakan untuk menganalisis penerapan kebijakan program kota tanpa kumuh sebagai upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan kawasan permukiman kumuh.

c. Penerapan Kebijakan

Implementasi dari segi bahasa dimaknai sebagai penerapan, pelaksanaan atau pemenuhan. Penerapan atau implementasi merupakan salah satu tahapan dalam kebijakan. Konsep penerapan

(34)

(implementation) menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2015:164) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu/pejabat maupun kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan.

Penerapan kebijakan berarti suatu tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok pemerintah atau swasta yang memiliki otoritas untuk menjalankan suatu kebijakan guna mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Handoyo (2012: 96) yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah kegiatan untuk menjalankan kebijakan, yang ditujukan kepada kelompok sasaran, untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat peneliti simpulkan bahwa penerapan kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok pemegang kepentingan untuk menjalankan suatu kebijakan agar mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan tersebut.

Penerapan atau Implementasi merupakan tahapan dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Hal ini didukung oleh Handoyo (2012:116) yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan tahapan dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang atau apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan oleh pihak pemberi otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau jenis keluaran yang nyata (tangible output).

(35)

Implementasikan kebijakan publik dapat dilakukan dengan dua langkah yaitu (1) langsung mengimplementasikan dalam bentuk program, (2) melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Handoyo, 2012:101). Ramdhani (2017:6) menyatakan bahwa keberhasilan penerapan suatu kebijakan dapat diukur dan dievaluasi berdasarkan enam dimensi yaitu (1) konsistensi, (2) transparansi, (3) akuntabilitas, (4) keadilan, (5) efektivitas, (6) efisiensi. Semakin kompleks permasalahan dalam kebijakan, maka membutuhkan analisis yang semakin mendalam serta memerlukan teori atau model yang relatif operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan antarvariabel yang menjadi fokus dalam analisis kebijakan. Adapun model-model implementasi kebijakan menurut para ahli yaitu sebagai berikut.

1) Model Van Metter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan yang relatif operasional adalah model yang kembangkan oleh Van Metter dan Van Horn (dalam Wahab, 2015:164) yang disebut dengan “a model of the policy implementation process” (model proses implementasi kebijakan).

Model ini menjelaskan bahwa konsep penting dalam proses penerapan kebijakan meliputi: (a) perubahan; (b) kontrol; dan (c) kepatuhan bertindak. Adapun hubungan antara kebijakan dan prestasi kerja yang akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan dapat ditinjau dari beberapa variabel, meliputi: (a) ukuran dan tujuan kebijakan; (b) sumber-sumber kebijakan; (c) ciri-ciri atau

(36)

sifat instansi pelaksana; (d) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan; (e) sikap para pelaksana kebijakan;

dan (f) lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Setiap variabel berkaitan dengan tujuan dan sumber-sumber kebijakan yang tersedia.

Pada akhirnya, titik pusat perhatian pada sikap pelaksana kebijakan akan menggambarkan orientasi mereka dalam mengoperasionalkan program kebijakan di lapangan.

Bagan 2.1 Model Proses Implementasi Kebijakan (Wahab, 2015: 166)

2) Model Daniel Mazmanian dan Paul. A. Sabatier

Model ini disebut A Frame Work for Implementatuon Analysis (kerangka analisis implementasi). Model ini mengartikan implementasi atau penerapan kebijakan sebagai upaya untuk mengindentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal dari seluruh proses impelementasi (dalam

Komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan

Standar dan tujuan kebijakan

ciri-ciri badan pelaksana

Kinerja Sikap

para pelaksana

Sumber- sumber

Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

(37)

Wahab, 2015:176). Keberhasilan implementasi kebijakan menurut model ini dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sebagai berikut.

a) Karakteristik Masalah (tractability of the problems)

Karakteristik masalah berarti mudah atau tidaknya suatu masalah dikendalikan. Karakteristik masalah dalam implementasi kebijakan dapat dilihat dari beberapa indikator, meliputi: (a) tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, (b) tingkat kemajemukan kelompok sasaran kebijakan, (c) proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, (d) cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

b) Karakteristik Kebijakan/Undang-Undang (ability of statute to structure implementation)

Karakteristik kebijakan dapat dimaknai sebagai kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi. Karakteristik kebijakan terdiri dari beberapa hal yaitu: (a) kejelasan isi kebijakan, (b) dukungan teoritis yang dimiliki kebijakan, (c) alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan, (d) keterkaitan dan dukungan antarinstitusi pelaksana, (e) konsistensi aturan pada badan pelaksana, (f) komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, (g) tingkat partisipasi kelompok luar dalam implementasi kebijakan.

(38)

c) Variabel Lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation)

Variabel lingkungan kebijakan berkenaan dengan berbagai variabel politik yang dapat mempengaruhi keseimbangan dukungan untuk mencapai tujuan dari kebijakan. Lingkungan kebijakan meliputi beberapa hal penting diantaranya: (a) kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, (b) dukungan publik terhadap suatu kebijakan, (c) sikap dari kelompok pemilih/constituency groups, (d) tingkat komitmen dan keterampilan dari implementator. Adapun variabel-variabel dalam proses implementasi kebijakan yaitu sebagai berikut.

1) Mudah/tidaknya masalah dikendalikan

Mudah tidaknya masalah dikendalikan dalam suatu kebijakan ditentukan oleh beberapa hal seperti (a) kesulitan teknis, (b) keragaman perilaku kelompok sasaran, (c) prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi, (d) ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi

Kemampuan kebijakan dalam menstrukturkan proses implementasi dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu (a) kejelasan dan konsistensi tujuan, (b) digunakannya teori kausal yang memadai, (c) ketepatan alokasi sumberdaya, (d)

(39)

keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana, (e) aturan keputusan dari badan pelaksana, (f) rekruitmen pejabat pelaksana, (g) akses formal pihak luar.

3) Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi

Variabel diluar kebijakan yang dapat mempengaruhi proses implementasi antara lain (a) kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, (b) dukungan publik, (c) sikap dan sumber yang dimiliki kelompok pemilih, (d) dukungan dari pejabat atasan, (e) komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat pelaksana.

4) Tahap-tahap proses implementasi (variabel tergantung) Tahap-tahap implementasi kebijakan dalam model ini meliputi: (a) output kebijakan, (b) kesediaan sasaran untuk mematuhi output kebijakan, (c) dampak nyata, (d) dampak output kebijakan, (e) perbaikan dalam UU.

(40)

Bagan 2.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier (Subarsoo, 2013:95)

3) Model G Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli

Model implementasi kebijakan menurut Cheema dan Rondinelli dapat digunakan untuk implementasi program-program pemerintah yang bersifat desentralisasi (dalam Subarsono, 2013:101). Menurut model ini, kinerja dan dampak suatu program dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu sebagai berikut.

(a) Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi penerapan kebijakan antara lain: tipe sistem politik yang dianut, struktur pembentukan kebijakan, karakteristik struktur politik lokal, kendala sumberdaya, sosio kultural, tingkat keterlibatan penerima program, adanya infrastruktur fisik yang cukup.

Mudah-tidaknya masalah dikendalikan

Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses

implementasi

Tahap-tahap dalam Proses Implementasi (Variabel Tergantung)

Kepatuhan kelompok sasaran

terhadap output kebijakan Output

kebijakan dari badan-badan pelaksana

Dampak nyata output kebijakan

Dampak output kebijakan sebagaimana dipersepsi

Perbaikan mendasar dalam undang- undang Kemampuan kebijakan untuk

menstrukturkan proses implementasi

(41)

(b) Hubungan antar organisasi

Hubungan antar organisasi pembuat kebijakan dapat dilihat dari beberapa hal seperti konsistensi sasaran program, pembagian fungsi antarinstansi yang pantas, standardisasi prosedur setiap tahap (perencanaan, anggaran, implementasi, evaluasi), konsistensi komunikasi antar instansi, efektivitas jejaring pendukung program.

(c) Sumberdaya organisasi untuk implementasi program,

Sumberdaya yang mempengaruhi implementasi program meliputi: kontrol terhadap sumber dana, keseimbangan antara anggaran dan program, ketepatan alokasi anggaran, pendapatan yang cukup, dukungan pemimpin politik pusat, dukungan pemimpin politik lokal, dan komitmen birokrasi.

(d) Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana

Karakteristik instansi kebijakan meliputi: ketrampilan teknis dan manajerial, kemapuan mengontol dan mengkoordinasi, dukungan dan sumberdaya politik instansi, sifat komunikasi internal, hubungan baik antara instansi dan sasaran program, kualitas pemimpin instansi, komitmen terhadap program, kedudukan instansi dalam hierarki sistem administrasi.

Dari beberapa model implementasi kebijakan menurut para ahli tersebut, adapun model yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis penerapan kebijakan program Kota Tanpa Kumuh

(42)

(KOTAKU) di Kelurahan Bligo yaitu model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn.

d. Tahapan Implementasi Kebijakan

Menurut Abidin (2012:73) terdapat 6 tahapan implementasi kebijakan agar tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai guna menyelesaikan permasalahan publik. Adapun 6 tahapan tersebut, meliputi:

1) Identifikasi dan Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan tahap untuk menemukan akar permasalahan yang akan diangkat menjadi isu masalah publik sehingga membutuhkan penyelesaian melalui suatu kebijakan.

Perumusan masalah dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu pengamatan, pengelompokkan, dan pengkhususan masalah (Abidin, 2012:88).

2) Agenda Kebijakan dan Partisipasi Masyarakat

Agenda kebijakan yaitu daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian khusus yang disebabkan adanya beberapa alasan untuk ditindaklanjuti atau diproses oleh pihak yang berwenang menjadi suau kebijakan (Abidin, 2012:95). Proses penyusunan agenda dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: (1) perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis, (2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda, (3) realisasi otonomi daerah, dan (4) tingkat partisipasi masyarakat.

(43)

3) Proses Perumusan Kebijakan

Proses perumusan kebijakan adalah tahapan yang menjadi salah satu penentu keberhasilan suatu kebijakan (Abidin, 2012:126).

Proses perumusan kebijakan yang demokratis dan partisipatif akan membuat kebijakan menjadi aturan yang diterima oleh masyarakat.

Proses perumusan kebijakan dipengaruhi oleh 2 faktor penting yaitu mutu kebijakan dilihat dari substansi dan adanya dukungan terhadap strategi kebijakan yang dirumuskan.

4) Analisis dan Perumusan Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi kebijakan adalah saran yang disampaikan kepada pihak yang berwenang dalam mengambil kebijakan untuk melakukan suatu tindakan agar mencapai tujuan yang dikehendaki (Abidin, 2012:129). Dalam menganalisis dan merumuskan rekomendasi kebijakan, ada beberapa nilai yang diperhitungkan yaitu efisiensi, efektivitas, kepatutan dan adil yang berkenaan dengan input, output dan outcomes atau dampak.

5) Pelaksanaan Kebijakan

Pelaksanaan (implementasi) kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan (Abidin, 2012:145).

Implementasi menjadi penentu agar suatu kebijakan dapat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.

(44)

6) Evaluasi Kinerja Kebijakan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kebijakan.

Evaluasi kinerja kebijakan secara lengkap meliputi tiga hal yaitu (1) evaluasi awal saat proses perumusan kebijakan sampai sebelum diimplementasikan; (2) evaluasi dalam proses implementasi; dan (3) evaluasi akhir setelah selesai proses implementasi kebijakan (Abidin, 2012: 165).

Berbeda dengan Abidin, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (dalam Wahab, 2015:167) mengemukakan bahwa implementasi suatu kebijakan publik setidaknya meliputi tiga tahapan utama yaitu sebagai berikut.

1) Tahap Persiapan Kebijakan

Tahap persiapan ini secara umum meliputi proses penggambaran rencana program dan penetapan tujuan, proses penentuan standar pelaksanaan kebijakan, dan proses menentukan anggaran yang akan digunakan serta waktu pelaksanaan.

2) Tahap Pelaksanaan Kebijakan

Tahap ini berisi pelaksanaan suatu program dengan melibatkan dan memanfaatkan struktur staf instansi pemerintah terkait, sumber daya, prosedur pelaksanaan, anggaran yang telah ditetapkan dan metode yang digunakan untuk menjalankan program.

(45)

3) Tahap Evaluasi Kebijakan

Tahap evaluasi meliputi tahapan ketiga dalam implementasi keijakan yang meliputi kegiatan (a) menentukan jadwal; (b) melaksanakan pemantauan; dan (c) melakukan pengawasan guna menjamin kelancaran program sekaligus mengambil tindakan yang sesuai apabila terapat penyimpangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan program.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, adapun tahapan implementasi kebijakan yang digunakan untuk menganalisis kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Bligo Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan dalam penelitian ini yaitu tahapan implementasi kebijakan menurut Brian Hogwood dan Lewis A. Gunn yaitu (1) tahap persiapan; (2) tahap pelaksanaan; dan (3) tahap evaluasi.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan

Keberhasilan suatu kebijakan tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi baik dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap evaluasi kebijakan. Edward III dalam Winarno (2012:177) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan yaitu sebagai berikut.

1. Komunikasi

Komunikasi yaitu alat atau sarana dalam suatu kebijakan yang digunakan untuk menyampaikan perintah dan arahan dari sumber pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Komunikasi

(46)

menurut Edward III (dalam Handoyo 2012:113) berkaitan dengan bagaimana kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada publik, ketersediaan sumber daya, sikap dan respon pihak yang terlibat dan struktur organisasi pelaksana kebijakan.

2. Sumber Daya

Sumber daya menjadi faktor penting dalam implementasi suatu kebijakan atau program tertentu. Unsur penting sumber daya dalam hal ini yaitu kecakapan pelaksana kebijakan untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif dan efisien (Handoyo, 2012: 113). Sumber daya dalam kebijakan meliputi pelaksana kebijakan dan fasilitas pendukung lainnya.

3. Disposisi

Disposisi diartikan sebagai sikap para pelaksana yang dilihat dari kemauan dan niat untuk melaksanakan suatu kebijakan serta menjadi motivasi psikologi bagi pelaksana dalam melaksanakan kebijakan. Disposisi menurut Edward III (dalam Handoyo 2012:113) diartikan sebagai kesediaan dan komitmen para implementator dalam mengimplementasikan suatu kebijakan secara efektif.

4. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi sebagai pelaksana kebijakan publik. Hal penting dalam struktur birokrasi yaitu bagaimana suatu

(47)

kebijakan dalam penerapannya tidak terjadi pecahnya birokrasi karena hal tersebut akan menghambat pelaksanaan suatu kebijakan publik (Handoyo, 2013:113).

Berbeda dengan Edward III, Van Metter Van Horn (dalam Winarno 2012:158), mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan atau program yaitu (1) ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, (2) sumber-sumber, (3) komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaa, (4) karakteristik- karakteristik badan-badan pelaksana, (5) kondisi ekonomi, sosial, dan politik, dan (6) kecenderungan para pelaksana.

Dari beberapa ahli tersebut, adapun faktor-faktor yang digunakan untuk menganalisis kebijakan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yaitu faktor-faktor menurut Edward III yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

2. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) a. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah salah satu upaya strategis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di Indonesia (www.kotaku.pu.go.id). Program KOTAKU dalam Surat Edaran No 40 Tahun 2016 Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR adalah program

(48)

nasional yang memiliki tujuan dan target secara jelas, membutuhkan sumber pembiayaan yang tidak hanya memadai dari segi jumlah tetapi juga terintegrasi dan saling melengkapi serta tepat waktu. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) mendukung “Gerakan 100-0-100” yaitu gerakan 100% akses universal air minum, 0% permukiman kumuh dan 100% akses sanitasi yang layak. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dijalankan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN yang mengamanatkan adanya pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan melalui penanganan kualitas lingkungan pemukiman.

Lain halnya dengan Irfani (2018:3) yang menjelaskan bahwa program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah program untuk mengatasi bertambahnya permukiman kumuh di Indonesia dan memfokuskan pada perwujudan permukiman layak huni mencapai 0 Ha kumuh tanpa penggusuran. Program KOTAKU merupakan suatu kebijakan untuk pengelolaan dan penataan lingkungan hidup.

Sementara itu, Purnaweni (2014:55) menyatakan bahwa upaya pengelolaan dan penataan lingkungan adalah upaya terpadu pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Secara umum, program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) memiliki tujuan untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan

(49)

dasar di permukiman kumuh untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.

Tujuan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tersebut dijabarkan lebih jelas yaitu (1) memperbaiki akses masyarakat terhadap infrastruktur permukiman sesuai dengan 7+1 indikator kumuh; (2) penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk mengembangkan kolaborasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder); (3) memperbaiki tingkat kesejahteran masyarakat melalui pengembangan penghidupan berkelanjutan.

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dicanangkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mempercepat pengurangan kawasan permukiman kumuh dan mencegah timbulnya kawasan permukiman kumuh yang baru. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat (UU No.1 tahun 2011). Sementara itu, UN- HABITAT (dalam Askari dan Gupta, 2016:117) mengatakan bahwa permukiman kumuh ialah sebuah permukiman yang saling berdekatan dimana rumah yang dimiliki oleh penduduk tidak memadai dan kurangnya pelayanan dasar.

Nursyahbani dan Pigawati (2015:269) mengungkapkan bahwa permukiman kumuh timbul karena pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan

(50)

ruang bermukim, dan adanya pembangunan yang tidak disertai dengan pengaturan serta pengendalian yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, Etty Soesilowati (2009: 19) mengatakan bahwa masalah permukiman kumuh tidak hanya masalah kurangnya jumlah lahan, tetapi juga menyangkut banyaknya rumah yang tidak bermutu dan lingkungan yang tidak sehat. Pertumbuhan kawasan kumuh memiliki dampak terhadap perekonomian dan regional yaitu adanya beban biaya transaksi yang tinggi, meningkatnya belanja transportasi karena infrastruktur tidak memadai dan adanya beban penyakit (Mahabir dkk, 2016:402).

Berbeda dengan pendapat diatas, menurut United Nations (dalam Balbim dan Krouse 2019:187) menyatakan bahwa permukiman kumuh menyangkut beberapa hal seperti kekurangan lahan perumahan, kurangnya akses peningkatan pasokan air dan limbah, daya tahan perumahan dan kurangnya penguasaan keamanan. Sementara itu, hasil survei nasional utama “pelayanan utama oleh public affairs” di India menyatakan bahwa percepatan pertumbuhan penduduk dan terbatasnya sumber daya keuangan di negara-negara berkembang dapat menimbulkan beban bagi infrastruktur dasar yang sudah lemah sehingga memicu timbulnya permukiman kumuh (dalam Swami, 2012:11).

b. Tahapan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Program Kota tanpa kumuh (KOTAKU) dijalankan melalui beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan keberlanjutan. Seluruh tahapan tersebut merupakan

(51)

kolaborasi antara pemerintah daerah dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa/kelurahan dengan masyarakat serta pihak lain yang terkait. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat Nomor 40 Tahun 2016, tahapan pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di tingkat desa/kelurahan dapat dipahami dengan skema berikut.

Bagan 2.3 Tahapan Pelaksanaan Program KOTAKU (SE DKCK No 40 Tahun 2016) 1) Tahap Persiapan

Tahap persiapan di tingkat desa/kelurahan dilaksanakan untuk membangun kontribusi dan kolaborasi antara pemerintah kecamatan, pemerintah desa/kelurahan, masyarakat dan pemangku kepentingan pembangunan. Tahap ini juga meliputi kegiatan penggalangan relawan untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan peningkatan kualitas pembangunan. Tahap persiapan pada dasarnya terdiri dari dua kegiatan yang utama yaitu sosialisasi dan pembentukan/penguatan TIPP.

I Persiapan

1. Sosialisasi awal

& RKM

2. Pembentukan/

penguatan TIPP

II Perencanaan 1. Membangun Visi 2. RPK

3. Pemetaan Swadaya 4. Penyusunan

(RPLP)

III Pelaksanaan 1. Implementasi

Kegiatan Lingkungan, Ekonomi dan Sosial

IV Keberlanjutan 1. Pengembangan

Kelembagaan

2. Integrasi perencanaan

V. Kegiatan yang Menerus dan Berkala

Monev Pengembangan Kapasitas (menerus):

pelatihan & sosialisasi

Operasional & Pemeliharaan Review Perencanaa

(52)

Kegiatan sosialisasi bertujuan untuk membangun kepedulian masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam upaya penataan permukiman desa/kelurahan melalui program KOTAKU. Pembentukan TIPP (Tim Inti Perencanaan Partisipatif) tingkat desa/kelurahan terdiri dari beberapa Pokja berdasarkan tujuh indikator kumuh sesuai kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan. TIPP di tingkat desa/kelurahan berfungsi sebagai lembaga perencanaan penataan permukiman.

2) Tahap Perencanaan

Tahap perencanaan adalah tahap untuk merumuskan kondisi lingkungan permukiman desa/kelurahan yang layak huni dan diinginkan oleh masyarakat di masa yang akan datang. Tahap ini dilaksanakan sesuai dengan visi dan misi permukiman tingkat desa/kelurahan untuk mencapai 0 ha permukiman kumuh. Rumusan kondisi permukiman layak huni dituangkan dalam dokumen RPLP.

Tahap perencanaan berupa kegiatan penyusunan dokumen rencana penataan lingkungan permukiman (RPLP).

3) Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan atau penerapan program KOTAKU di tingkat desa/kelurahan dapat berupa kegiatan sosial, ekonomi dan infrastruktur.

Tahap pelaksanaan harus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun dalam RPLP dan menjadi prioritas dalam penanganan permukiman kumuh di tingkat desa/kelurahan. Tahap ini hanya dapat

(53)

dijalankan setelah dokumen RPLP disahkan oleh pihak yang berwenang.

4) Tahap Keberlanjutan

Tahap keberlanjutan berarti tahapan setelah pelaksanaan dilapangan selesai dijalankan. Tahap keberlanjutan harus di upayakan dari awal proses persiapan, perencanaan dan pelaksanaan yang didalamnya terdapat tahap monitoring dan evaluasi di setiap tahapan.

B. Kajian Hasil Penelitian Relevan

Penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian-penelitian yang relevan. Adapun penelitian yang relevan yaitu sebagai berikut.

1. Penelitian Ruli As’ari dan Siti Fadjarani. 2015. Jurnal Geografi.Penataan Permukiman Kumuh Berbasis Lingkungan. Vol: 15 (1).

Penelitian ini menyimpulkan bahwa upaya penyelesaian masalah permukiman kumuh dilakukan dengan konsep lingkungan permukiman berwawasan lingkungan dan upaya keseimbangan penduduk dan daya dukung lingkungan setempat. Upaya yang paling tepat untuk mengatasi permukiman kumuh menurut penelitian ini adalah penataan lingkungan model Land Sharing, yaitu penataan ulang di atas lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat cukup tinggi.

Hasil penelitian terdahulu seperti pemaparan diatas terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah membahas upaya untuk menyelesaikan masalah permukiman kumuh. Perbedaannya yaitu penelitian terdahulu memfokuskan pada penyelesaian masalah

Gambar

Gambar 4.1 Peta Kelurahan Bligo (sumber: Pemerintah Kelurahan Bligo)
Gambar 4.3 Industri Kain Kasa (Sumber:dokumentasi peneliti)  b.  Daerah Kumuh di Kelurahan Bligo
Gambar 4.4 Beberapa titik daerah kumuh Kelurahan Bligo (sumber:
Tabel 4.3 KSM BKM Mandiri Kelurahan Bligo tahun 2019 NO  NAMA KSM  JENIS KEGIATAN  LOKASI
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Adapun prosedur daftar ulang bisa dilihat di Buku Panduan. Bagi calon santriwati yang dinyatakan diterima dan tidak melakukan daftar ulang pada waktu yang ditentukan

Setiap perusahaan yang memperkerjakan 100 tenaga kerja atau lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang

Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi mulai dari saat persemaian padi hingga padi siap dipanen, dan bahkan menyerang padi di dalam gudang

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sangat mendukung inisiatif pemerintah pusat terkait penanganan dan pencegahan permukiman kumuh melalui Program Kota Tanpa Kumuh

PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) TINGKAT DESA/KELURAHAN.. PROGRAM KOTA TANPA

P rogram Kota Tanpa Kumuh(KOTAKU) adalah program pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh yang merupakan upaya strategis Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman,

Pada tabel 4 dan gambar 3 merupakan hasil dari core flooding dengan pump rate 0.5 ml/menit (23.6 ft/day) untuk 4 larutan dan juga untuk 4 core, terlihat nilai RF setelah injeksi

Penggunaan perkataan yang sama tetapi berbeza makna antara dialek Melayu Patani dan bahasa Melayu baku dalam pengajaran bahasa Melayu di bilik darjah boleh mengelirukan