ORARI eMag edisi September 2021 menurunkan berita utama mengenai keberhasilan Delegasi ORARI Pusat pada 18th IARU Region 3 Conference yang berlangsung tanggal 20 sd 23 September 2021 di Bangkok, Thailand yang dilaksanakan secara daring, terutama suksesi Chairman IARU Region 3 dari OM Wisnu Widjaja, YBØAZ kepada OM Wahyudi Hasbi, YD1PRY, serta mempertahankan beberapa Anggota ORARI di kepengurusan IARU Region 3 masa bakti 2021-2024.
Selain menurunkan berita mengenai 18th IARU Region 3 Conference, ORARI eMag edisi September 2021 juga menyajikan informasi mengenai kilas balik Peran Radio dalam perkembangan peradaban, informasi teknik mengenai radio NVIS dan pembuatan Balun, serta menyajikan informasi seputar sosok dari seorang dokter militer yang aktif mengabdikan diri untuk mengembangkan radio amatir di Indonesia, yang diharapkan prestasi dan karir pengabdian yang dicapainya dapat menginspirasi generasi sekarang.
ORARI eMag ORARI kali ini juga menyajikan informasi mengenai Staf Khusus ORARI Pusat yang diangkat bulan Juni 2021 mengisi posisi Staf Khusus yang kosong sepeninggal OM Faisal Anwar, YB1PR (SK), dan untuk mendukung Pengurus ORARI Pusat dalam melaksanakan kegiatan baik nasional maupun internasional.
ORARI eMag juga menyajikan komentar milineal tentang kiprah ORARI dalam komunikasi bencana, dan komentar mengenai kolaborasi kemanusiaan dengan Palang Merah Indonesia, serta menyampaikan sajian informasi berbagai kegiatan baik dalam bentuk Webinar maupun kegiatan lainnya dari ORARI Daerah dan ORARI Lokal yang disajikan dalam rubrik gallery kegiatan, dan juga disajikan informasi mengenai tata laksana pendirian stasiun radio amatir yang diperlukan oleh anggota baru ORARI yang terus bertambah dengan terselenggaranya UNAR secara rutin.
Kami terus mengupayakan agar ORARI eMag dapat menjadi media informasi, komunikasi dan edukasi yang lebih mendekatkan hubungan antar pengurus dan antara pengurus dengan anggota ORARI, serta dapat menjadi sarana informasi timbal baik mengenai kegiatan ORARI, baik di Pusat, Daerah maupun Lokal, dan kegiatan yang dilakukan oleh para anggota ORARI. Oleh karena itu, kami mengajak para pengurus dan anggota ORARI untuk ikut berkontribusi dalam bentuk berita, pemikiran, dan komentar agar kita dapat saling terhubung, dan masyarakat dapat lebih mengenal kegiatan serta kiprah ORARI.
Pemimpin Redaksi,
Suryo Susilo YBØJTR
Susunan Redaksi: Penasehat: Sugeng Suprijatna, YBØSGF Anna R. Legawati, YBØANA Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Suryo Susilo, YBØJTR Sekretaris Redaksi: Rheny Trie Oktania Ritman, YDØRHE Redaksi: • Gjellani J. Sutama, YB1GJS • Erdius Zen Chaniago, YBØQA • Titon Dutono, YB3PET • Dadang Djuhendi, YBØTD • Marliani Ingrid, YBØMAM • Emir Y. Amangku, YBØLBT • Hernandy R. Karli, YBØTOY • Linda Damayanti, YCØIXQ • Donny Himawan, YBØDYY • Ign. Tricahyo • Agus Siswantoro Kontributor berita/artikel: • Seluruh Orda/Orla se-Indonesia • Anggota ORARI dan Masyarakat Umum Design: Willy Keraf & Newin Alamat: Gedung Prasada Sasana Karya lantai 10, Jl. Suryopranoto no. 8, Jakarta 10150. Email: [email protected], website: www. orari.or.id , Telepon:+62216326788
Majalah Digital ORARI
Tabung radio diketemukan pada tahun 1906. Penemuan ini mendorong banyak orang untuk secara voluntarian mulai membangun stasiun radio menempati frekuensi yang ada dan langsung menjadi operatornya. Mereka bukanlah orang-orang profesional, tetapi adalah para amatir yang bekerja atas dasar hobi dan kesenangannya. Hingga tahun 1912, para amatir ini dengan bebas memanfaatkan frekuensi antara 1,5 MHz hingga 30 MHz (pita High Frequency (HF)) karena memang tabung radio yang dipakai saat itu hanya mempunyai frekuensi kerja dalam rentang itu. Setelah itu muncul demand untuk komunikasi maritim yang menghubungkan stasiun pantai dgn kapal yang ada ditengah laut, maka sejak saat itu baik orang yang membangun stasiun radio maupun operator radio ditangani lebih profesional dan tidak lagi bersifat amatir sukarela.
Dewasa ini dengan semakin majunya teknologi semikonduktor, maka frekuensi kerja radio menjadi semakin tinggi, namun pada saat yang bersamaan muncul layanan-layanan baru yang bersifat komersial misalnya layanan bergerak seluler yang setiap tahun menunjukkan tanda-tanda selalu haus terhadap pemakaian frekuensi baru dan ada kecenderungan untuk merebut alokasi frekuensi milik amatir radio, Perlu disadari bahwa frekuensi adalah
merupakan sumber daya terbatas. Alokasi frekuensi adalah nyawa dari amatir radio, oleh karena itu perlu perhatian khusus agar alokasi yang sudah ada, milik amatir radio ini harus dipertahankan bahkan kalau perlu malah harus ditambah.
Hal tersebut menjadi permasalahan sekaligus menjadi tantangan bagi keberadaan maupun kelangsungan hidup amatir radio sebagai pengelola radio pemancar ini. Sehingga mesti ada solusi bagi keberlangsungan komunikasi radio amatir. Situasi inilah yang akan menjadi salah satu bahasan hangat dalam konferensi IARU region 3, yang akan di selenggarakan di Bangkok Thailand di bulan September 2021, adapun penyelenggaraan konferensi IARU seperti biasanya suatu organisasi, akan membahas agenda-agenda rutin kegiatan ke-amatir-radio-an. Namun lebih dari pada itu, ada dua hal penting yakni: yang diharapkan dapat menjadi ajang konseptual maupun kontekstual mengenai masa depan eksistensi amatir radio menghadapi tantangan kemajuan teknologi yang tidak terelakkan, serta diharapkan dapat merumuskan langkah konkrit dalam bentuk strategi untuk menangkal ancaman eksistensi amatir radio yang salah satunya adalah permasalahan rebutan frekuensi dari layanan telekomunikasi lain (komersial)
RAdIO
AmAtIR
SebAgAI AlAt telekOmunIkASI dAlAm
PeRkembAngAn PeRAdAbAn”
“Tantangan
OPI
nI
/ed
It
ORIA
l
Selain itu, keberadaan Radio Amatir juga dihadapkan dalam tantangan terhadap menghadapi suatu keadaan darurat baik dalam skala kecil,
menengah dan atau besar, adapun unsur komunikasi adalah salah-satu komponen yang berperan menentukan terhadap berhasil atau kurang berhasil. Bahkan gagalnya suatu operasi 5 penyelamatan atau rescue dan pengerahan bantuan penanganan serta penanggulangan terhadap kejadian musibah atau bencana, tentunya kondisi tersebut memerlukan alat komunikasi yang cepat, tanpa hambat dan menyampaikan pesan yang dapat di pahami oleh masyarakat. Dalam situasi inilah radio amatir dapat mengambil peran efektif dalam rupa dukungan komunikasi bagi terjadi situasi yang emergency, namun demikian, nampaknya peran radio amatir dalam penanggulangan bencana diharapkan tidak hanya memberikan dukungan komunikasi saja, melainkan juga dapat berperan dalam melakukan komunikasi bencana, yakni menyampaikan pesan edukatif mengenai pencegahan bencana.
Bahwa Radio Amatir memiliki segmen yang luas untuk penyebaran informasi kepada masyarakat, bertujuan untuk menjadi penyambung informasi dari berbagai stakeholder kepada para penyintas, menjembatani komunikasi antar penyintas, dan membagikan informasi tentang program-program yang berhubungan dengan kebencanaan. Peran Radio Amatir tidak hanya
memberikan informasi pada saat terjadi
bencana, melainkan harus memiliki porsi yang berimbang dalam penyampaian pesan saat sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana dan sesudah terjadi bencana, disinilah tantangan amatir radio untuk dapat memberikan edukasi kepada masyarakat. Dalam mengimplementasikan peran tersebut, tentunya amatir radio tidak bisa bekerja sendirian melainkan dapat berkolaborasi dengan lembaga lainnya misalnya Palang Merah Indonesia yang sudah berpengalaman dalam penanganan situasi kebencanaan, dengan adanya kolaborasi dan sinergisitas Palang Merah Indonesia dengan amatir radio yang tergabung dalam ORARI, maka akan menjawab tantangan keberadaan Radio Amatir dalam penanggulangan bencana, bukan hanya berperan sebagai dukungan komunikasi saja, melainkan juga
melakukan edukasi kepada masyarakat melalui komunikasi bencana secara efektif, informative dan komunikatif.
Dari uraian tersebut, maka keberadaan Radio amatir dalam perkembangan peradaban, tentunya tidak hanya berfungsi sebagai alat telekomunikasi semata, maupun sebagai hobby semata, melainkan juga memiliki peranan
yang penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, dan tidak mengangkat informasi tentang hal-hal yang menakutkan kepada masyarakat, serta memberikan informasi untuk membangun sikap kewaspadaan dalam kehidupan masyarakat pada situasi apapun. Amin. Terima Kasih.
Se
jARA
h
menuju Medan, Penang dan Singapura) maupun alur barat (lewat Lautan Hindia, menyusuri pantai barat Pulau Sumatra menuju pelabuhan-pelabuhan Padang, Bengkulu sampai ke Batavia), untuk terus ke arah kawasan timur Nusantara. Sampai tahun 1913 stasiun-stasiun lain dibangun dan dioperasikan di Weltevreden, Situbondo, Kupang dan Ambon, dengan cakupan yang meliputi hampir seluruh kawasan Nusantara.
Stasiun radio pemancar, penerima dan relay kemudian di bangun di pinggiran kota Bandung, yaitu di Dayeuhkolot (pemancar), Rancaekek (penerima) dan Malabar (stasiun relay). Bahkan untuk ukuran sekarang, stasiun relay di kaki Gng. Malabar (persisnya di Pengalengan) tersebut termasuk ukuran “mega-project”, dengan beberapa buah perangkat arc transmitter berkekuatan 200 dan 2400 kW. Menjelang dasawarsa 20-an itu
“Kilas Balik Dunia Radio
di Indonesia”
Pengantar:
Suntingan ini merupakan daur ulang dan pengembangan dari artikel yang di tahun 2007 Penyunting siapkan sebagai masukan bagi TIM PENELUSURAN SEJARAH ORARI PUSAT yang sedang menyiapkan penerbitan Buku SEJARAH ORARI, yang hasilnya kemudian
didistribusikan kepada para Peserta MUNAS ORARI IX – 2011 di Grand Hotel SAHID di Jakarta [bam].
Periode awal era Radio di Hindia Belanda : Mengikuti kemajuan pesat di bidang telekomunikasi radio di Eropah dan Amerika, Pemerintah Hindia Belanda juga sudah menyadari pentingnya RADIO sebagai sarana penyampaian informasi dan berkomunikasi, baik untuk di dalam negeri maupun dengan negeri “induk”nya di Eropah. Stasiun “kawat oedara” (radio telegrafi) pertama dibangun di Pulau Weh (teluk Sabang, Aceh, selesai tahun 1911), tentunya dengan mempertimbangkan bahwa Sabang adalah pintu masuk ke perairan Hindia Belanda bagi kapal-kapal yang datang dari Eropah, baik melalui alur timur (masuk ke Selat Malaka,
komunikasi antara Nederland dengan Hindia Belanda hanya mengandalkan saluran kabel laut yang melintasi Teluk Aden yang dikuasai oleh Inggris. Timbul kekhawatiran Belanda atas keandalan dan keselamatan jaringan kabel tersebut, mengingat Inggris adalah musuh Jerman dalam PD-I, sedangkan Belanda sendiri ingin bersikap netral. Karenanya Belanda kemudian membangun beberapa stasiun Relay, antara lain di Srilangka, Sumatra, Malabar dan beberapa tempat lagi. Transmisi antara kedua negeri pada saat itu menggunakan rentang frekuensi rendah (LF, low frequency: 42.5 KHz) atau gelombang panjang (LW, long wave: 6100 mtr), karenanya diperlukan lahan berhektar- hektar untuk membentang antena seperti yang sampai sekarang masih bisa dilacak bekas-bekasnya di sekitar pinggiran kota Bandung itu.
Komunikasi ini cukup bersejarah karena selain komunikasi langsung jarak jauh (DX) yang pertama antara kedua negeri yang dilakukan di gelombang pendek, juga membuktikan ramalan mereka berdua bahwa pancaran di gelombang pendek jauh lebih efisien ketimbang pancaran di gelombang panjang ataupun medium. [Walaupun sehari-hari berurusan dengan pancaran di gelombang panjang, pada tahun 1916 de Groot mendapatkan gelar Doktor dengan judicium Cum laude dari TH Delft berkat disertasinya tentang kemungkinan komunikasi langsung di gelombang pendek antara kedua negeri, sedangkan Koomans (tahun 1934 diangkat jadi Profesor di TH Delft juga) dikenal sebagai salah satu pionir dengan berbagai
eksperimen pancaran radio-telefoni di band HF yang ditekuninya sejak tahun 1908]
Beentangan antena di lereng kaki gunung Malabar (bandingkan bentangnnya dengan luas area kompleks yang nyaris cuma berbentuk sebuah dot di pojok kiri bawah
Gedung stasiun relay Malabar (kiri), dan Plaket yang terpasang di dindingnya
Radio Siaran (broadcast) di zaman Hindia Belanda
Seperti disebut di depan jaringan stasiun relay di Sri Lanka dan Pengalengan tersebut dimaksudkan oleh Dinas PTT (Pos Telepon dan Telegraf) sebagai tulang punggung bagi jaringan
telekomunikasi dengan radio telegrafi (dan kemudian menyusul untuk
radiotelefoni juga) antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda. Mengikuti perkembangan di bidang radio siaran (broadcast) di negeri Belanda pada masa pasca PD-I, di samping stasiun-stasiun broadcast untuk jangkauan domestik, timbul juga keinginan
beberapa fihak untuk menyelenggarakan siaran yang ditujukan ke negeri- negeri jajahan Belanda di seberang lautan. Di Eindhoven (kota kedudukan Kantor Pusat Perusahaan PHILIPS), dilakukan berbagai eksperimen untuk dapat memancarkan siaran secara langsung ke arah timur
(maksudnya ke tanah jajahan mereka yang terletak di arah timur, yaitu Hindia Belanda).
Menyusuli hasil-hasil positif ini maka direncanakanlah untuk mendirikan Stasiun Radio yang menyelenggarakan siaran secara teratur. Yang paling berkepentingan dalam hal ini tentu saja perusahaan Philips, yang melihat terbukanya pasaran di Hindia Belanda bagi perangkat pemancar dan penerima radio produksinya; yang kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain yang juga mempunyai kepentingan di Hindia Belanda seperti NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij/ Perusahaan Dagang Belanda), Rubber Cultuur Maatschappij/ Perusahaan Perkebunan Karet) dan lain-lain.
Pada tanggal 18 Juni 1927 berdirilah PHOHI (Philips Omroep Holland-Indië), yang menyelenggarakan
dengan pertimbangan bahwa sistim antena untuk transmisi radio jangkauan jarak jauh (DX) memerlukan grounding yang baik, dan kondisi tanah di Huizen dianggap sangat sesuai untuk keperluan tersebut. Di Hindia Belanda sendiri segera sesudah beroperasinya stasiun relay di Malabar mulai bermunculan kelompok-kelompok pendengar baik dari orang-orang Belanda yang tinggal di sini maupun dari lingkungan Boemipoetra sendiri. Dari hanya sekedar kelompok pendengar, lama kelamaan timbul
keinginan untuk mendirikan stasiun radio siaran sendiri, yang tentunya bisa diisi dengan programa (acara) yang lebih sesuai dengan kondisi di negeri ini.
Di kota-kota besar, mereka ini mendirikan perkoempoelan (kelompok) radio siaran yang pada umumnya
beranggotakan tidak lebih dari beberapa ratus orang, yang secara patungan (bersama-sama) mengumpulkan dana untuk membiayai siaran-siaran mereka.
Kelompok-kelompok radio ini bergabung dalam Bond van Nederlands-Indische Radio Verenigingen/Perserikatan Perkoempoelan Radio Hindia Belanda.
Salah satu kelompok yang terbesar adalah BRV (De Bataviaasche Radio Vereniging/Perkoempoelan Radio Batavia) yang berdiri pada tanggal 16 Juni 1925 di Weltevreden (Jakarta Pusat sekarang). BRV mengudara dari studio-nya di Hotel Des Indes (sekarang kompleks Duta Merlin di Jl. Gajahmada), dengan siaran lokal (stadzender) pada gelombang 157.89 mtr dan “programa nasional” (archipelzender) pada
gelombang 61.66 mtr. Kalau BRV diawaki warga Belanda, radio siaran pertama yang diawaki Boemipoetra adalah SRV (Solosche Radio Vereniging), yang mulai mengudara pada tanggal 1 April 1933 di Solo.
Demikianlah pada pertengahan dasawarsa 30an itu sudah ada sekitar tigapuluh radio siaran di P. Jawa.
Pada tanggal 12 MAret 1927 A.S. de Groot, PK1PK seorang amatir radio dari Bandung dalam QSO-nya dengan sesama amatir radio S. Van Viegen (Callsign tidak ttercatat) dari kuningan (CIrebon) melaporkan telah menerima dengan baik pancaran (berupa suara penyiar dan music) dari stasiun percobaan PCJJ di Laboratorium Fisika Philips Eindhoven yang memancar di gelombang pendek 30.2 mtr(+/- 10 MHz).
Op 1 Juni Van Dot Jaar spark de koningin via deze zender tot het volk in Nederlands indie demikian dilaporkan oleh koran koran setempat dalam meliput event bersejarah siaran langsung dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda tersebut Kisah sukses dengan pancaran di gelombang pendek
tersebut kemudian disusul pada tanggal 1 Juni tahun itu juga dimana Ratu Belanda dengan duduk di depan mikrofon bisa menyapa rakyatnya di HIndia Beanda
Walaupun siaran-siaran radio partikeliran (istilah “swasta niaga” tentunya belum dikenal) ini secara resmi tidak diizinkan, namun diam-diam tampaknya fihak Pemerintah membiarkan saja sepanjang siaran mereka tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah kolonial, dalam arti tidak melakukan propaganda politik maupun propaganda keagamaan. Persyaratan lain adalah siarannya harus sejalan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, dan apa yang dikehendaki masyarakat itulah yang ditetapkan oleh Directeur van Verkeer en Waterstaat, fihak otoritas pada zaman itu.
(Catatan: Dalam jajaran pemerintah Hindia Belanda tidak ada jabatan Menteri, yang ada adalah Direktur, yang setingkat dengan jabatan Menteri pada umumnya. Urusan radio (baik untuk komunikasi maupun siaran) berada di bawah Directeur van Verkeer en Waterstaat/ Direktur Perhubungan dan Perairan). Keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk mempunyai jaringan penyiaran sendiri akhirnya tersalur dengan
berdirinya NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappi/Maskapai Radio Penyiaran Hindia Belanda). yang stasiun pertamanya mengudara pada 1 April 1934 dengan pemancar berkekuatan 1 kW dari Tanjung Priok. Siaran reguler baru dimulai pada bulan September 1934, dan setahun kemudian stasiun NIROM sudah berdiri dan siarannya bisa ditangkap di seluruh pulau Jawa.
Radio Amatir di zaman Hindia Belanda: Semangat kebangsaan yang kuat di kalangan Boemipoetra di akhir
dasawarsa 20-an men- dorong beberapa orang untuk merintis terbentuknya sebuah organisasi amatir radio bagi
warga Boemipoetra. Di tahun 1933 berdirilah NIVIRA (Nederlandsch
Indische Vereniging voor Internationaal Radio Amateurisme), yang merupakan organisasi amatir radio yang pertama bagi bangsa Indonesia, walaupun sebelumnya memang sudah ada
organisasi yang sama, tetapi khusus bagi mereka yang berkebangsaan Belanda atau yang disamakan.
Walaupun pada awalnya sebagian besar anggota NIVIRA adalah karyawan dan teknisi Jawatan PTT (Pos, Telepon dan Telegrap), organisasi ini tidak menutup diri bagi masyarakat biasa yang bukan pegawai PTT. Tercatat ada beberapa nama perintis kegiatan radio amatir di Indonesia yang pertama kali mendapatkan lisensinya di era NIVIRA ini, a.l. Rubin Kain PK1RK (terakhir YB1KW), B. Zulkarnain (kemudian YBØAU), dan Gunawan PK1GA (terakhir YBØBD). Ketiga beliau tersebut sudah lama SK/ Silent key (meninggal), masing-masing di tahun 1981, 1984 dan 1982.
Usia NIVIRA cukup pendek, berdiri tahun 1933 sampai akhirnya harus ditutup tahun 1943 waktu bala tentara Jepang masuk dan memerintahkan untuk menutup semua stasiun radio yang ada, sehingga selama pendudukan Jepang praktis semua kegiatan radio amatir terbungkam adanya. Baru pasca Proklamasi walaupun secara diam-diam beberapa orang Amatir Radio tersebut kemudian muncul kembali, bahkan ada di antaranya yang ikut aktip dalam “membidani” kelahiran PARI (Persatoean Amatir Radio Indonesia) yang dapat dianggap sebagai cikal bakal bagi terbentuknya ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia) di tahun 1968.
Callsign bagi Amatir Radio di Hindia Belanda.
Di seluruh dunia dimana pemerintah setempat melegalkan kegiatan Radio Amatir maka fihak otoritas akan
menerbitkan CALLSIGN (Tanda Panggil) bagi Amatir Radio yang telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya.
Callsign terdiri dari Prefix, Call Area dan Suffix, yang dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Prefix: Pada zaman Hindia Belanda dulu Prefix yang dialokasikan untuk Indonesia adalah PK, yang mengikuti Prefix untuk Negeri Belanda dan koloninya: PAA – PIZ The Netherlands PJA – PJZ The Netherlands Antilles PKA-POZ The Netherlands East Indies (Hindia Belanda) PPA –PYZ Brazil PZA – PZZ Suriname Prefix tersebut tetap berlaku sampai sekarang walaupun negeri-negeri tersebut sudah sejak lama MERDEKA dari penjajahan/kolonisasi Negeri Belanda.
2. Call area berupa angka 1 s/d 6.
3. Suffix yang terdiri dari 1-2 huruf, yang merupakan identitas pribadi yang melekat kepada penyandang callsign tersebut.
Gambar-gambar di atas adalah contoh QSL-cards (kartu – biasanya seukuran kartu pos biasa – yang dipertukarkan di antara sesama Amatir Radio untuk mengkonfirmasikan terjadinya QSO/ kontak radio di antara keduanya) dari zaman Hindia Belanda. Yang kelihatan agak berbeda dengan QSL-cards era ORARI adalah call area 5 yang di zaman itu dipakai di Borneo/Kalimantan, call area 6 yang mencakup dari Sulawesi sampai Nieuw Guinea/ Papua, yang berarti mengcover call areas 7, 8 dan 9 sekarang. Kemudian yang juga menarik dari era itu adalah dipakainya prefix JZ, yang pasca 1968 dipakai di lingkungan CB-ers/RAPI/KRAP
ERA PD-II :
Perang Dunia (PD) II yang melanda daratan Eropa sangat besar dampaknya kepada kondisi kehidupan di Hindia Belanda, terlebih-lebih sejak tanggal 10 Mei 1940 setelah kerajaan Belanda di serbu dan diduduki tentara Nazi Jerman. Masyarakat Belanda di Hindia Belanda seolah “kehilangan induk”, terutama sesudah Radio Hilversum dan PHOHI dibungkam oleh tentara Nazi.
Suasana ketidak pastian ini diperburuk setelah menjelang akhir tahun 1941
Radio Tokyo mulai melancarkan aksi propaganda dengan membawakan siaran yang bertujuan mengambil hati bangsa Indonesia dengan memutar lagu-lagu daerah dari segenap pelosok negeri. Mereka bahkan memulai siarannya dengan memperdengarkan Indonesia Raya. Mereka selalu menekankan bahwa Nippon adalah saudara tua rakyat Indonesia, dan pelan- pelan mulai menanamkan doktrin Asia Timur Raya, yaitu kemakmuran Asia timur di bawah kepemimpinan Tenno Heika (Kaisar Jepang).
Menyusul hancurnya pangkalan AL Amerika Serikat di Pearl Harbor oleh serbuan armada tempur Jepang pada 8 Desember 1941, propaganda Radio Tokyo segera di counter oleh pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan peringatan tentang kemungkinan penyusupan dinas intel Jepang dan sekutu-sekutunya di antara masyarakat. Untuk meng-counter siaran Radio Tokyo yang memberitakan suksesnya gerakan pasukan Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang ke arah selatan, lewat corong radio diberitakan kekejaman bala tentara Jepang dalam memperlakukan rakyat di negeri-negeri yang sudah ditaklukkannya.
Perang propaganda lewat radio ini berakhir (dengan kemenangan di fihak Jepang) setelah pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia (diwakili Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer) menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang pada tanggal 9 Maret 1942. Pada sore hari tanggal 5 Maret 1942 (empat hari sebelum menyerah) pemerintah colonial mengumumkan lewat radio bahwa Batavia dinyatakan sebagai kota terbuka. Dengan pengumuman ini diharapkan
tentara Jepang yang masuk ke Batavia tidak melakukan pengerusakan dan kekerasan baik terhadap sarana perkotaan maupun penduduknya.
Sore hari itu sebenarnya tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshimamura sudah
mendarat di Banten. Pergerakan tentara Jepang yang masuk lewat Banten, Tangerang, terus sampai ke Pesing di sebelah barat Batavia tetap dipantau dan disiarkan oleh radio BRV, yang sampai saat terakhir (Batavia jatuh) tidak sempat dihancurkan/dirusak oleh para operatornya (cara yang lazim dilakukan dalam upaya menyelamatkan sesuatu untuk tidak sampai jatuh ke tangan dan digunakan oleh musuh).
Pemancar BRV kemudian disita oleh tentara Jepang, untuk kemudian diperbaiki dan diperkuat untuk
dipergunakan sebagai alat propaganda mereka. Di lain fihak, para pejuang kita berusaha mengumpulkan sisa-sisa pemancar yang dapat diselamatkan, memperbaiki atau merakitnya kembali dan diam-diam terus melakukan siaran-siaran kontra propaganda secara clandestine (radio gelap).
HOSO KANRI KYOKU (Pusat Jawatan Radio) :
Di bidang radio dan telekomunikasi, hal pertama yang dilakukan tentara pendudukan Jepang adalah
memerintahkan penutupan semua radio siaran dan menyerahkan peralatannya kepada tentara pendudukan. PPRK (Perserikatan Perkoempoelan Radio Ketimoeran) dibubarkan, dan sebagai gantinya tentara Jepang membentuk wadah baru yang diberi nama HOSO KANRI KYOKU (Pusat Jawatan Radio).
Sebenarnya bagi pengelola radio-radio siaran tinggal ada dua pilihan: tetap bisa siaran, tetapi hanya merelay siaran Radio Tokyo atau menyiarkan berita-berita yang dikeluarkan oleh Domei (Dinas Penerangan tentara pendudukan), atau bubar, atau bagi yang masih ada nyali berarti diam-diam menyelamatkan perangkat siarannya untuk dipakai memancar sebagai stasiun radio gelap seperti disebutkan di atas. Stasiun radio yang jatuh ke tangan tentara Jepang langsung dialih fungsikan sebagai radio propaganda di bawah pengontrolan militer. Berita yang disiarkan selalu mengenai kemajuan tentara Jepang di medan pertempuran.
Untuk lebih mencapai sasaran, pada tiap perempatan jalan di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Purwokerto dll. dipasang pesawat radio (penerima) yang dihubungkan dengan alat pengeras suara, agar siarannya bisa didengar juga oleh masyarakat umum yang tidak mempunyai radio. Pemberangusan terhadap kebebasan berkomunikasi seperti ini dilanjutkan tentara
pendudukan Jepang dengan mendirikan HODOHAN, Badan Sensor yang pekerjaan utamanya adalah mendata kepemilikan radio di masyarakat dan melakukan penyegelan sehingga radio tersebut hanya bisa menerima siaran dari Radio Tokyo (dan stasiun-stasiun relainya), atau stasiun-stasiun yang sepenuhnya di bawah kontrol pengawasan ketat bala tentara Dai Nippon.
Penyiar Dan Teknisi Pribumi Bagaimanapun Pusat Jawatan Radio bentukan Jepang ini harus
memperkerjakan tenaga- tenaga pribumi
dalam mengoperasikan stasiun-stasiun radio milik mereka, terutama yang
mereka dapatkan sebagai hasil sitaan itu. Kebanyakan di antara mereka adalah memang bekas pemilik atau karyawan stasiun radio itu sendiri, yang mau bekerja kembali di bawah “penjajah baru” dengan berbagai motivasi.
Tentunya ada yang sekedar cari selamat, karena hanya dari situ mereka bisa mendapatkan nafkah di zaman perang yang serba sulit – namun ada pula yang lebih berwawasan untuk menengok kedepan, yang membayangkan bahwa cepat atau lambat kemerdekaan bisa direbut (atau diberikan, kalau menurut versi propaganda Jepang), dan
negara Indonesia merdeka nanti akan membutuhkan banyak tenaga dengan keahlian khusus seperti penterjemah, penyiar, markonis, teknisi elektronik, bahkan ahli pemecah sandi.
Program siaran radio yang
dianggap tidak ada muatan politik atau membahayakan posisi tentara Jepang, tapi yang justru bisa menjadi alat propaganda diberikan kepada orang Indonesia, antara lain siaran dalam bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Juga program siaran dengan muatan kesenian dan kebudayaan seperti musik keroncong, sandiwara/toneel, ketoprak atau ludruk dan berjenis kesenian rakyat lainnya dipercayakan pengelolaannya kepada pegawai berkebangsaan Indonesia.
Ternyata berbagai pengalaman yang ditimba dalam waktu yang relatip pendek (sekitar 3 tahun, atau seumur jagung) itu kemudian banyak yang bisa dimanfaatkan oleh para pemuda ini dalam ikut berperan untuk mempersiapkan kemerdekaan, seperti
saat-saat terjadinya kevakuman menyusul hancurnya Hiroshima dan Nagasaki akibat dijatuhkannya bom atom oleh Amerika yang mengakibatkan Jepang bertekuk lutut dan menyerah kepada tentara Sekutu. Beberapa nama yang di kemudian hari ternyata menonjol perannya di saat-saat peralihan (dan hari-hari pertama era kemerdekaan) di antaranya adalah Herawati Diah, Soerjo Dipoero dan Budiman.
Hari-Hari Terakhir Pendudukan Jepang Pada zaman di mana semua radio penerima milik penduduk disegel,
beruntunglah para pemuda yang bekerja di HOSO KANRI KYOKU itu. Di samping banyak menimba ilmu tentang seluk beluk dunia radio dan penyiaran mereka yang bertugas di bagian monitoring atau para markonis – walaupun dengan mencuri-curi -- dapat mendengarkan radio gelombang pendek (short wave) yang memang dikhususkan untuk
transmisi jarak jauh, bahkan antar benua. Hal ini membuat mereka lebih banyak tahu tentang apa yang terjadi di luar Indonesia ketimbang masyarakat umum di sekitarnya. Dari merekalah diam-diam para pejuang maupun politisi yang sedang bersiap-siap menyongsong datangnya kemerdekaan dapat
mengetahui dan mengikuti pergerakan tentara Sekutu, juga jalannya peperangan di Eropa – yang sejak memasuki
tahun 1945 memperlihatkan banyak kemunduran atau kekalahan fihak Axis (poros Nazi Hitler di Jerman dan Fasis Mussolini di Italia).
Semua ini tentunya menambah wawasan mereka dalam menyusun strategi perjuangan menuju
kemerdekaan. Menjelang pertengahan
tahun 1945, dengan memantau siaran BBC London atau VOA (Voice of Amerika) mereka dapat mengetahui kekalahan demi kekalahan tentara Jepang pada banyak front pertempuran. Puncaknya adalah pada tanggal 14 Agustus 1945 ketika kaisar Jepang, Tenno Heika menyatakan menyerah kepada pihak tentara Sekutu. Adalah pemoeda
Sjahrir*) memberitahukan berita tentang menyerahnya Jepang itu kepada
Bung Karno dan Bung Hatta setelah mendengar siaran radio gelombang pendek miliknya di Puncak, Jawa Barat.
*) Sjahrir atau Sutan Sjahrir (kemudian di zaman kemerdekaan sempat
menjadi Perdana Menteri) adalah adik seorang wartawan bernama Djohan Sjahrurzah yang bekerja pada koran Jepang Tohindo Nippon. Dengan posisi tersebut, dia mempunyai akses ke perangkat dan peralatan radio telegrafi untuk berhubungan langsung dengan Tokyo, termasuk sebuah radio penerima gelombang pendek yang diam- diam dipinjamkannya ke para “pemoeda.
Jasir Tansil - seorang teknisi radio, berhasil memodifikasi radio tersebut, sehingga walaupun juga mengalami penyegelan radio itu masih dapat menerima hampir semua pancaran di gelombang pendek, apakah yang berupa komunikasi telegrafis, telefoni maupun yang berupa siaran (broadcast). Radio inilah yang kemudian dipergunakan Sjahrir untuk mendengar siaran-siaran radio dari luar negeri.
Berita dari Syahrir ini dengan cepat menyebar luas, dan sangat mempengaruhi para pengambil keputusan dalam menentukan
langkah pada hari dan jam-jam terakhir menjelang diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Berita tentang kekalahan Jepang ini juga diteruskan melalui beberapa stasiun radio gelap yang saat itu beroperasi dari pinggiran Jakarta. Siaran-siaran radio gelap itu dapat diterima di luar Jawa, antara lain sampai di Payakumbuh (Sumatra Barat). Detik-Detik Proklamasi;
Di jaman pendudukan Jepang itu
Gunawan, pemilik bengkel reparasi radio di Jln. Salemba Tengah sering mendapat order dari Badan Sensor Bala Tentara Jepang untuk melakukan penyegelan radio milik masyarakat. Namun demikian, diam-diam disaat senggang Gunawan juga sering berkumpul dengan para pemoeda yang kebanyakan diantaranya adalah mahasiswa Kedokteran dan Hukum Universitas Indonesia di Jl Salemba Raya yang kost di rumah Gunawan dan sekitarnya, yang banyak di antaranya di kemudian hari menjadi tokoh nasional seperti Chairul Saleh.
Suatu hari di bulan Agustus 1945, Gunawan (yang didorong hobby othak-athiknya sebagai penggiat Radio Amatir dari sejak era NIVIRA dengan callsign PK1GA) tergerak untuk membuat sendiri sebuah mikrofon dengan memanfaatkan komponen-komponen bekas seperti bekas magnet dari dinamo lampu sepeda (Berco) dan membran dari aluminium foil bungkus rokok. Setelah ditest untuk meyakinkan bahwa bisa “bunyi”, mikrokofon homemade tersebut dimasukkan ke sebuah kotak aluminium kecil, dan jadilah mikrofon seperti yang bisa dilihat pada foto (kiri) di halaman berikut.
Pagi hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Bung Hatta minta tolong
pemoeda Soediro (kemudian hari jadi Walikota DKI Jakarta ke 3, periode 1953-1958) untuk mencari sound system yang nantinya digunakan saat upacara pembacaan text Proklamasi.
Soediro (yang kenal dekat dengan Gunawan) lalu mengirim mobil Bung Hatta untuk meminjam sound system milik Gunawan, yang kemudian dengan “dikawal” oleh Soenarto (saudara sepupu Gunawan, yang sekaligus bertindak sebagai operator) dibawa ke tempat kediaman Bung Karno dimana pembacaan text Proklamasi akan dilangsungkan. Tepat jam 10.00 pagi hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 berlangsunglah upacara bersejarah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di depan rumah Bung Karno di Jln. Pegangsaan Barat 56, Jakarta, seperti yang foto-fotonya sempat diabadikan oleh kakak beradik Alex & Frans Mendur seperti terlihay di bawah ini :
Sesudah pembacaan Proklamasi oleh Bung Karno tersebut memang mikrofon (dan perlengkapan sound system lainnya termasuk tiangnya) dikembalikan kepada Gunawan, namun keberadaan mikrofon tersebut sudah tidak bisa dilacak lagi sesudah pada sekitar Januari 1958 di-pinjam-untuk-tidak-kembali oleh Darmosoegondo, wartawan dan reporter senior RRI yang sebagai anggota
rombongan membawanya dalam
kunjungan Presiden Sukarno ke Jepang. Adapun tiangnya pada saat penyuntingan ini (mid 2017) masih disimpan oleh keluarga Ir. Gunarso (alm.), salah satu dari putra Gunawan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, pada keesokan harinya,
Sabtu 18 Agustus 1945, TANPA foto karena telah disensor Jepang. Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka, dan foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka. Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Alex dan Frans Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta, sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.
PEMBACAAN TEKS PROKLAMASI DI UDARA
Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera
menyebar secara luas. Pada hari itu juga, datang penyiar Des Alwi ke Kantor Domei untuk memberitahukan bahwa naskah proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi karena tidak ada bukti, mereka yang di Gedung Penyiaran belum berani menyiarkan. Beruntung tidak lama kemudian Waidan B. Palenewen Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin.
Ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis) supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang (anggota Kenpetai ?) ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara. Meskipun kemudian siaran berita proklamasi itu diperintahkan untuk dihentikan, Palenewen malah meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti.
Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa
menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar di kantor Domei disegel, para pemoeda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata berhasil membuat pemancar baru dengan bantuan para teknisi radio seperti Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng Raya 31 dengan callsign DJK 1, dan dari sinilah teks proklamasi yang berdurasi sekitar 1.5 menit tersebut akhirnya dapat diudarakan oleh Yusuf Ronodipuro dan Suprapto pada jam 17.30, dan dengan demkian berita proklamasi kemerdekaan dapat disiarkan ke seluruh dunia.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah (kemudian jadi Pimpinan Redaksi Harian Merdeka), Sayuti Melik (pemoeda yang mengetik teks Proklamasi), dan Sumanang (pernah menjadi Ketua PWI dan Menteri Perekonomian).
■ RRI (Radio Republik Indonesia
Pada tanggal 11 September 1945, hampir sebulan sesudah kapitulasi tentara Jepang Radio Siaran Bala Tentara Jepang di Jalan Merdeka Barat diserahkan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang kepada
Pemerintah Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah ini kemudian diabadikan dengan menetapkan 11 September sebagai Hari Radio, yang ditandai dengan kelahiran RRI (Radio Republik Indonesia), radio siaran resmi Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai pucuk pimpinan RRI duduk Dr. Abdurrachman Saleh (ex VORO) dan Maladi (belakangan pernah menjadi Menteri Penerangan). Di saat-saat kritis bagi eksistensi pemerintahan Republik dan RRI, pada bulan Oktober 1946 di Jakarta muncul siaran dalam bahasa Inggris dari Radio Batavia, yang bekerja di bawah Komando Pemerintahan Peralihan Inggeris.
(Catatan: Menyusul kekalahan Jepang, di bekas jajahan negara-negara Eropah dan Amerika di Asia Tenggara dibentuk SEAC (South East Asia Command/ Komando Asia Tenggara), dan untuk bekas Hindia Belanda oleh Pasukan Sekutu/Allied Forces ditunjuk tentara Pasca Perang Inggris sebagai Komando)
Bulan November 1946 didapat
kesepakatan antara fihak Belanda (yang membonceng di belakang Tentara Sekutu untuk masuk kembali ke Indonesia) bagi kerjasama antara Radio Batavia dengan RRI, sebuah k erja sama yang oleh Belanda terasa dipaksakan, karena RRI sudah sepenuhnya dikelola dan dioperasikan oleh bangsa Indonesia, sehingga pada bulan Mei 1947 Belanda mendirikan ROIO (Stichting Radio in Overgangstijd/Badan Radio di Masa Peralihan). Siaran ROIO lebih banyak dari dan ditujukan bagi anggota militer Belanda (NICA/Administrasi Sipil Hinda Belanda) yang saat itu kembali hadir di Indonesia dalam rangka apa yang mereka sebut sebagai aksi polisionil.
Dualisme di bidang penyiaran ini berakhir pada bulan Desember 1949
dengan berlangsungnya Penyerahan Kedaulatan (mungkin lebih tepat disebut dengan istilah Pengakuan Kedaulatan) dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia, dan dengan sendirinya ROIO diserahkan ke RRI Pasca Pengakuan Kedaulatan RRI masih melanjutkan programa siaran dalam bahasa Belanda, tetapi semakin lama semakin berkurang sampai akhirnya pada tahun 1957 terhenti sama sekali saat Presiden Sukarno mengkomandokan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk mengembalikan Nieuw Guinea (Irian Jaya, sekarang Papua) ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Rujukan dan acknowledgement:
1. Perpustakaan LKBN Antara (TNX to OM Saifudin Sofyan YDØNNX) 2. Laman OM Tomita Prakoso
YC1MTT
3. Berbagai catatan/masukan dari OM Gatot Dewanto YE1GD
4. Wawancara maya (dalam beberapa tahap lewat email dan WhatsApp.) Pakde Bam’s dengan Ir. Gunarno (putra dari Gunawan YBØBD/SK) 5. Laman www.yb0ebs dari OM Ben S
Samsu YBØEBS/SK
6. Laman www.marnette.home. xs4all.nl
7. Wikipedia
8. Terimakasih kepada OM Stanley Iskandar YBØAL/SK dan Ibu Lita Suryadi (ex karyawan Philips Indonesia) atas bantuannya dalam proses penerjemahan beberapa dari materi yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda.
Mengenang Mendiang,
(aktivis amatir radio)
“Sosok Amatir Radio
Segudang Prestasi & Karir
Yang Hidupnya Bersahaja”
SOSO
k
Mas Jos – panggilan akrabnya -- sudah menggeluti dunia elektronika, terutama radio dan telekomunikasi sejak usia belasan tahun, selagi masih siswa SMP dan SMA di tahun 60an. Di tahun-tahun awal ‘60an itu mas Jos sudah berani (menurut ukuran zaman itu) mengudara tanpa callsign atau identitas diri apapun, sampai kemudian di tahun tahun 1965 – 1967, berikut ini disampaikan sekilas informasi tentang siapa itu mas Jos?
Mas Jos terdaftar sebagai X2BP pada PARB (Persatuan Amatir Radio Bandung). Seiring dengan langkah-langkah penertiban yang dilakukan fihak otoritas di masa awal kebangkitan Orde Baru, pada kurun waktu 1967 – 1968
dengan kehadiran PARI (Persatuan Amatir Radio Indonesia) sebagai wadah para operator radio komunikasi dua arah (untuk membedakannya dengan mereka yang lebih senang berkecimpung di dunia broadcasting) callsign mas Jos berubah menjadi PK8YAQ (Prefix PK8 merujuk ke wilayah atau daerah Propinsi Jawa Barat).
Di era ORARI Mas Jos menyandang callsign YB1AJ, yang sejak 1972 – karena kepindahan as Jos ke Salatiga – dimutasikan menjadi YB2SV seperti yang kita kenal setidaknya hampir 40 tahun terakhir ini. Kalau di bidang kedokteran yang ditekuninya beliau dikenal
sebagai spesialis di bidang Radiologi, di Nama : dr. Jos Soejoso Soedmo Sp. Rad
Lahir : Semarang 24 April 1944
Istri : Dr. Iriana Karim Soejoso - YB2YL Anak : Shinta Winasis S.Si, MM - YD2KSV
Rena Widita MS, PhD - YD2LSV Ir. Mia Wimala MS
Ir. Alfi Duhita MM Yosi Nidita S, S,Si
• Pendidikan Tersier :
FK UNPAD, Bandung (MD/GP, 1972) FK UNDIP, Semarang (Radiologist, 1988)
• QTH :
Jl. Osamaki 50, Salatiga 50721 - QTH Loc OI52fq
lingkungan ORARI Mas Jos lebih dikenal sebagai “spesialis” untuk berbagai jabatan di DPP, baik di tingkat Pusat, ORDA maupun Lokal, seperti yang bisa dilihat pada daftar panjang berikut: DPP ORARI Pusat:
1. Tahun 1986–1991, 1991–1996, 2006 – 2011; DPP ORARI Daerah Jateng-DIY:
2. Tahun 1981 – 1985
3. DPP ORARI Daerah Jateng: tahun 1985–1990, 1990–1995, 1995– 1999, 1999–2004, 2004–2009, 2009-2014
Sebagai pelengkap pada rekam jejak Mas Jos sebagai “aktivis” radio amatir, waktu bertugas di Timur Tengah Mas Jos tercatat sebagai member pada the United Nations Middle East Amateur Radio Society (1976), demikian juga waktu bertugas di Dilli dan Bacau, Timor Timur - Mas Jos sempat mengudara sebagai YB2SV/9 (1980-1981).
Di “kampung” sendiri OM Jos pernah menjabat sebagai Ketua ORARI Lokal Salatiga (1979 – 1982). Pada scope nasional, kepengurusan ORARI Pusat di bawah Ketua Umum Soewondo YBØAT memberi Mas Jos mandat untuk menjadi Ketua pada Konvensi SEANET (South East Asia Net Convention) di Yogjakarta (1981), sedangkan pada kepengurusan ORARI Pusat di bawah Atmodjo
Brotoatmodjo YB2DAN beliau ditunjuk menjadi Liaison Officer untuk IARU (1982 – 1986).
Koleksi Wall paper:
Sebagai seorang amatir, hampir semua mode dari CW, voice AM/SSB/FM, EME, SSTV, RTTY, komunikasi satelit sampai dengan Dijimode telah beliau jajal dan akrabi. Demikian juga hampir semua
faset kegiatan radio, beliau jajal dan akrabi
Demikian juga hampir semua faset kegiatan radio amatir seperti SWL-ing, Kontes, DX-ing, Field Day, Ham-est, homebrewing, sampai eyeballing …. sehingga tidak mengherankan kalau koleksi wallpaper beliau dipenuhi dengan Award, Diploma, Sertifikat, Piagam dan sebagainya dari nyaris seluruh dunia bisa diamati sepertinya periode akhir dekade 70 sampai 80an merupakan kulminasi dari kegiatan Award hunting (perburuan Award) yang beliau lakukan: antara lain memperoleh penghargaan: OKINAWA (1975), DIPLOMA ARI (1975), FLANDERS FIELDS (1977), DIPLOMA DX (1977), WAC (1977), WPX (1977), WORKED THE BRITISH COMMONWEALTH (1977), OHH (1977), NKDXC (1977), IARU Region 1 (1977), AJD (1977), WAJA (1977), JERUSALEM (1977), WAS (1978), DXCC (1978). Di samping berbagai Award/Sertifikat/Diploma di atas berbagai kontes bergengsi yang beliau sempat ikuti (dan menang) adalah IARU Radiosport Championship: Zone Winner dengan 50 Multiplier, 1000 QSO (1976), Zone Winner (1977), Zone Winner (1978), 250 QSO (1980), ARRL DX CONTEST: First Place COUNTRY WINNER di tahun 1980 dan 1982. CQ DXWW CONTEST: COUNTRY AND ZONE WINNER (1977).
Penghargaan yang diperoleh mendiang Mas Jos antara lain : a. Dari LAPAN: atas keberberhasilan
dalam melakukan Tracking Telemetry roket LAPAN yang diluncurkan dari STASPRO Pameungpeuk Jawa Barat (2-3 Desember 1982).
b. Dari MENPARPOSTEL: atas prestasi dalam Membangun & Mengembangkan ORGANISASI (09
Juli 1987) Dalam kaitannya dengan SEANET, yang sangat membanggakan beliau adalah keberhasilannya
mengibarkan bendera ORARI (dan Merah Putih) di beberapa kali
Konvensi SEANET, dengan menyabet Top Scorer pada SEANET WORLDWIDE CONTEST selama beberapa tahun berturut-turut: Kuala Lumpur (1975), Bangkok (1977), Singapore (1978), Penang (2x masing-masing pada tahun 1979 dan 1984) dan Jogjakarta (1981),. Kemenangan
berturut-turut selama beberapa tahun sejak 1975 itu akhirnya dipuncaki dengan mendapatkan sebuah Trophy ”yang besar sekali” untuk katagori Overall Champion, yang diterimanya pada SEANET Convention di Singapore (1983).
Karir & Profesi:
Sepertinya perjalanan karir profesional OM Jos selalu berjalan seiring dengan malang melintangnya di dunia radio amatir. Karir profesionalnya diawali sebagai Asisten Dosen pada jurusan Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (1968-1974).
Pada masa-masa itu juga (1972) dr. Jos bergabung ke JanKes TNI/ AD (sekarang DIRKESAD = Direktorat Kesehatan TNI Angkatan Darat) dengan pangkat Letnan Satu, yang membawanya ke penugasan sebagai Kepala Biro pada Detasemen Medik TNI/AD di Salatiga. Pada saat terjadi konflik militer di Timur Tengah dr. Jos bertugas mendampingi Kontingen Garuda di bawah koordinasi UNEF (the United Nation Emergency Force di wilayah Suez, kota Ismailia, gurun Sinai serta Rumah Sakit Ma’adi di Kairo, Mesir dan RS Hadassah di Jerusalem.
Pada saat penugasan di Timur Tengah (1976) inilah OM Jos WKG PORT(ABLE) sebagai YB2SV/4U di Ras Sudr (Sinai, wilayah Israel) dan sebagai YB2SV/SU di Suez dan Ismailia (wilayah Mesir).
4U/YB2SV menggunakan radio Yaesu FT-101B, kebanyakan dari atas jeep utility UNEF dengan menggunakan antena Dipole. Contact stations di tanah air antara lain YBØCJ, YBØRS, YBØNZ, YB1HR, YB2AU, YB2AG, YB2CR, YB2CU, YB2MW dan YB2VE.
Stasiun2 tersebut mendapat “izin khusus” dari Hankam dan Detelri untuk menyelenggarakan “3rd party traffic” yang memungkinkan personil Pasukan Garuda yang bertugas di UNEF berkomunikasi lewat band amatir dengan keluarganya di tanah air (mirip
MARS/Military Auxiliary Radio System yang disponsori Dept. Hankam-nya AS). Kenangan dari tugas di Timur Tengah ini adalah QSO dengan Raja Hussein JY1 dari Jordania. Di samping pernah diundang untuk eyeball di istana beliau, atas ucapan selamat yang disampaikannya pada Hari Ulang Tahun ke 42 Sang Raja pada 1 Februari 1978 Mas Jos dapat menambahkan HIS MAJESTY KING HUSSEIN OF JORDAN JY1 Award pada koleksi wallpapernya.
Sebagai Dokter Tentara, dr. Jos
mendapatkan kenaikan pangkat berturut-turut sebagai Kapten (1978), disusul sebagai Mayor (1985), Letnan Kolonel (1991), dan terakhir sebagai Kolonel (1998) – yang dijalaninya sampai akhirnya pensiun di tahun 1999. Selama kurun waktu tersebut, karir pak Dokter sebagai profesional di bidang medis juga selalu mengalami peningkatan. Sesudah menamatkan kursus Keluarga Berencana tingkat Nasional (1975), pak Dokter menjadi Komandan/Kepala RS TNI/AD di Dili (1980), kemudian sebagai Karo KESKUREHAB (Kepala Biro Kesehatan Kuratif dan Rehabilitatif) pada Komando Medis TNI/AD Jawa Tengah (1981). Setelah selama 4 tahun mengikuti dan menamatkan pendidikan spesialisasi di bidang Radiologi di Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro di Semarang (1984 – 1988), selama setahun dr. Jos bertugas sebagai Kepala Bagian Radiologi di Rumah Sakit Dr. A.K. Gani di Palembang (1988 – 1989).
Melengkapi ilmunya di bidang Radiologi, dr. Jos mengikuti Asean Radiology course di Singapore (1986) dan Kursus Ultrasonography di Jakarta (1987) Pindah dari Palembang dr. Jos kemudian menjabat sebagai Kepala Tim
Rekruitmen Radiologi di AKABRI (Darat) di Magelang (1990 – 1999), dan selama di situ beliau sempat mengikuti kursus di bidang Interventional Radiology di National University Hospital, Singapore (1991).
Jabatan terakhir beliau adalah sebagai Kepala Departemen Radiologi RS TNI/ AD Dr.Soedjono di Magelang (1988 – 1999). Selepas masa pensiunnya, sampai hari-hari terakhirnya beliau masih tetap mengamalkan ilmunya sebagai Senior Radiology Specialist di Rumah Sakit yang sama.
Atas pengabdiannya kepada Negara dr. Jos pernah menerima medali Satya lencana Shanti Darma, United Nations Medal, Satya Lencana Seroja, serta Satya Lencana Kesetiaan 8 – 16 – 24 tahun.
Kegiatan lain :
Di bidang organisasi, disamping di ORARI beliau juga aktip di beberapa organisasi profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PDSRI (Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi) dan seabrek organisasi hobbiist maupun profesi lainnya .
Menghadap Panggilan Sang Khaliq : Namun sosok yang hidupnya bersahaja dengan segudang prestasi maupun karir maupun kegiatannya yang di dekasikan untuk kemanusian dan kemajuan radio amatir di Indonesia, maupun di masyarakat International ini, pada akhirnya tak mampu melawan takdir di panggil sang Khaliq, pada hari Rabu 20 Juni 2012 di kampong halamannya di Salatiga, Jawa Tengah, semoga jasa dan keteladanan Kolonel (Purn) dr Jos Sujoso Sudomo, dapat menginspirasi generasi sekarang dan di masa mendatang. Amin.
Proses pembuatan semua Balun tersebut adalah sama. Agar rekan-rekan dapat membuat Balun sendiri dan memasangnya pada antenna yang sudah dipersiapkannya, maka dengan memakai Balun, diperoleh beberapa kelebihan yaitu :
1. Performance antena Dipole dapat ditingkatkan. 2. Mengurangi TVI ( Interferensi keTelevisi ). 3. Mengurangi unbalance current.
4. Mengurangi radiasi yang tidak diinginkan.
Balun selain berguna untuk menghubungkan antenna yang balance dengan feeder line (kabel coax ) yang unbalance, juga sekaligus berguna untuk menyesuaikan
impedansi antara antenna dan feeder line, macam-macam ukuran Balun; Ada Balun 1: 1, ada Balun 1 : 4, Balun 1 : 6, Balun 1 : 9 , Balun 1 : 12 dan sebagainya, untuk itu perlu kami jelaskan mengenai balun sesuai ukurannya sebagai berikut :
1. Balun 1 : 1 digunakan jika impedansi antenna sama persis dengan impedansi feeder line. Balun 1 : 1 digunakan untuk antenna Dipole dengan kabel coax berimpedansi 50 Ohm seperti RG-8/U, RG-213, RG-58/U.
2. Balun 1 : 4 dan Balun 1 : 6 digunakan untuk antenna Folded Dipole yang
mempunyai impedansi sekitar 300 Ohm jika hendak dihubungkan dengan kabel coax berimpedansi 50 Ohm. Balun 1 : 9 atau Balun 1 : 12 digunakan untuk antenna Windom atau antenna jenis lain yang mempunyai impedansi sekitar 450 Ohm – 600 Ohm jika hendak dihubungkan dengan kabel coax berimpedansi 50 Ohm. Dengan Balun yang mempunyai perbandingan yang tepat, antenna apapun pada prinsipnya bisa dihubungkan ke kabel feeder ( coax ) kita sehingga matching bisa dicapai dengan lebih baik.
Balun bisa dibuat dari bermacam-macam material, seperti dari kabel coax, toroid,batang ferrite ( yang biasa kita temui pada Radio MW ) dan material-material lain. Yang paling mudah adalah membuat Balun dari batang ferrite atau Toroid.
Berikut ini Penulis akan menguraikan cara membuat Balun dari batang Ferrite. Perbandingan impedansi pada Input dan Output Balun adalah sama dengan perbandingan kwadrat jumlah lilitan Input dengan kwadrat jumlah lilitan Output, dengan rumusan sebagai berikut :
ZInput : ZOutput = ( N1 )2 : ( N2 )2
“Membuat Sendiri
Balun
Ditulis oleh : Ridwan Lesmana YBØPE
Murah Meriah”
AR
tI
Keterangan :
a. Untuk lilitan Input N1 bisa diambil 6 – 10 lilit, sedangkan untuk lilitan N2 harus kita hitung berapa jumlah lilitan yang dibutuhkan untuk membuat Balun yang diinginkan.
b. Kawat yang dipergunakan untuk membuat Balun adalah kawat email atau kawat berisolasi seperti NYA, Diameter kawat cukup 1 mm untuk TX berdaya sampai 150 Watt dan diameter kawat 1,5 mm cukup untuk menghandle daya sampai 500 Watt. Untuk TX berdaya 2000 Watt agar memakai diameter kawat yang lebih besar, misalnya 2mm. Makin besar diameter kawat e-mail, makin sulit untuk digulung. Pada artikel ini, Penulis akan menjelaskan cara-cara membuat Balun 1 : 1 secara detail. Untuk Balun 1 : 4 sebenarnya hampir sama pembuatannya. Perbedaannya hanya terletak pada wiring Balun tersebut.
Gambar : Balun 1:1
Bahan –bahan yang dibutuhkan untuk membuat Balun 1 : 1 adalah sbb : 1. Potongan pipa PVC diameter 1 ¼ inch sepanjang 15 – 18 cm.
2. Dop PVC diameter 1 ¼ inch sebanyak 2 buah. 3. 1 buah Batang ferrite panjang 10 cm.
4. Kawat e-mail atau NYA diameter 1,5 mm panjang sekitar 2 meter. 5. 1 buah Socket SO-239.
6. 4 buah Baut + Mur ukuran 3 mm panjang 10 mm untuk socket SO-239. 7. 2 buah kabel skun ukuran 2 mm untuk ujung kawat e-mail.
8. 2 buah Baut + Double Mur ukuran 5mm panjang 20 mm untuk output Balun. Usahakan Stainless. Steel.
9. 1 Buah Baut berbentuk Huk + Mur ukuran 4 mm untuk cantelan Balun (jika diperlukan ).
Perhatikan bahwa pada batang Ferrite akan terdapat 3 lilitan yang digulung secara bersama-sama. Akan sangat membantu jika ketiga ujung kawat diberi tape (perhatikan gambar di bawah ini) :
Jika setiap kawat mempunyai 8 lilitan, dan katakanlah ujung atas kawat pertama disebut a dan ujung bawahnya disebut a1, kemudian ujung atas kawat kedua disebut b dan ujung bawahnya disebut b1, lalu ujung atas kawat ketiga disebut c dan ujung bawahnya disebut c1, maka jika kita hubungkan a1 dengan b (sebagai GROUND pada socket SO-239 ) dan ujung b1 dengan c, akan kita peroleh sebuah Balun 1 : 1 dimana : • INPUT dari kabel coax dihubungkan pada ujung c1 (bagian tengah socket SO-239)
dan GROUNDnya dihubungkan ke pertemuan ujung a1dan b.
• OUTPUT BALUN diambil dari ujung a dan pertemuan ujung b1 dengan ujung c. • Kalau kita perhatikan Gambar skema Balun 1 : 1, maka :
• Jumlah lilitan N1 pada INPUT BALUN adalah 16 lilitan (8 lilitan + 8 lilitan), • Jumlah lilitan N2 pada OUTPUT BALUN adalah juga 16 lilitan (8 lilitan + 8 lilitan).
Dari Rumus sebelumnya, maka perbandingan impedansi antara INPUT BALUN dan OUTPUT BALUN akan menjadi :
ZInput : ZOutput = ( N1 )2 : ( N2 )2 = ( 16 )2 : ( 16 )2 = 1 : 1
Cara membuat Balun
1. Mula-mula ambil kawat e-mail diameter 1 – 1,5 mm.
2. Potong menjadi 3 buah kawat, masing masing sekitar 60 cm, kemudian pegang bersama-sama secara berdekatan dan sejajar. Sisakan sekitar 10 cm untuk sambungan.
3. Ambil 1 buah Batang Ferrite, kemudian secara bersamaan belitkan ketiga kawat e-mail tsb pada batang ferrite dengan kencang.- Lanjutkan sampai 6 – 10 lilitan. Dalam contoh gambar, Penulis membuat dengan 8 lilitan.
4. Biarkan sisa kawat e-mail untuk sambungan.
5. Ambil ARALDIT warna merah yang akan mengeras dalam waktu 5 menit setelah dicampur.
6. Campurkan kira-kira 5 pijitan ARALDIT warna putih dengan 5 pijitan warna merah. Aduk sampai rata dengan pengaduk yang disiapkan.
7. Oleskan campuran ARALDIT tsb pada lilitan kawat dan permukaan batang Ferrite sampai seluruh permukaan tertutup lem ARALDIT. Putar-putar batang ferrite dengan tangan sekitar 5 menit dan tunggu sehingga lem mengering.
8. Ambil 1 buah Dop PVC ukuran 1 ¼ inch.
9. Buat lubang ditengahnya untuk socket SO-239.
10. Buat juga 4 lubang baut diameter 3 mm untuk baut pemegang socket SO-239. 11. Bentuk lilitan kawat e-mail pada batang Ferrite dengan menghubungkan ujung a1
dengan ujung b dan ujung b1 dengan ujung c.
12. Kemudian, pada ujung kawat e-mail yang akan menjadi OUT Balun yang balance, pasangkan kabel skun.
13. Ambil pipa PVC panjang 15 cm, kemudian buat lubang dengan diameter 5 mm dibagian kiri dan kanan pipa PVC tsb. Lubang ini akan kita jadikan OUTPUT BALUN dan ujung antenna akan dihubungkan ke titik ini.
14. Dari arah dalam pipa PVC, masukkan 1 buah baut 4mm panjang 20 mm ke masing-masing lubang yang sudah dibuat. Beri mur dibagian luar PVC untuk memegang baut tsb.
15. Beri lem PVC pada bagian bawah pipa PVC dan bagian dalam Dop PVC yang sudah berisi Balun setengah jadi.
16. Secara hati-hati, masukkan Balun setengah jadi kedalam pipa PVC dari bagian bawah. Pastikan agar kedua
17. kabel skun terjepit oleh baut 4 mm yang sudah kita siapkan. 18. Tunggu sampai lem PVC mongering.
20. Pasang Huk + Mur ukuran 4 mm pada center Dop PVC bagian atas untuk
cantelan Balun. Jika antenna dipasang secara flat top, maka Huk + Mur tsb tidak diperlukan.
21. Beri lem PVC pada bagian atas pipa PVC dan pada bagian dalam Dop PVC. 22. Satukan kedua bagian tsb dan tunggu sampai lem PVC mengering.
23. Tambahkan masing-masing 1 buah Mur 4 mm untuk koneksi dengan ujung antenna.
24. Balun 1 : 1 Anda kini sudah siap untuk digunakan. 25. Hasilnya akan seperti gambar dibawah ini.
Tulisan ini bersumber dari :
• ARRL Antenna Handbook dari tahun ke tahun • Web site Talino IZ7ATH
I.Pendahuluan :
Bagi kebanyakan rekan sesama pengguna frekuensi, judul artikel ini barangkali terasa janggal, karena adagium yang lazim terdengar di antara mereka yang bekerja di band HF adalah: “bentangkan antena sepanjang dan setinggi mungkin, agar dapat menjangkau jarak sejauh mungkin!” Adalah kenyataan bahwa di YB-land ini memang belum lazim untuk memanfaatkan band HF untuk menjalin komunikasi jarak dekat dan sedang, taruhlah dalam radius 0-400 Km dari asal pancaran (yang bisa diandaikan misalnya sebagai TKP dari terjadinya bencana); karena untuk cakupan dengan jarak segitu umumnya rekans lebih mengandalkan pancaran di band V/UHF, apalagi kalau di area yang hendak dicakup sudah tersedia jaringan repeaters. Tulisan ini akan mengulas tentang pemanfaatan transmisi NVIS (Near Vertical Incidence Skywave) di band HF, yang setahu penulis selama ini masih kurang dimanfaatkan secara “sengaja dan maksimal” oleh rekans amatir di sini, walaupun dalam praktek sehari-hari banyak yang secara tidak sadar telah melakukannya. Di samping memperkenalkan konsep HF/NVIS, tulisan ini juga dimaksudkan sebagai pengingat (reminder) bagi sesama rekan Amatir Radio dan Penulis sendiri akan tugas utama seorang Amatir Radio, yakni sebagai pelaksana dukungan komunikasi radio dan penyampaian berita pada saat terjadi marabahaya, bencana alam serta penyelamatan jiwa manusia dan harta benda, serta sebagai cadangan nasional di bidang telekomunikasi.
II. Kenapa harus NVIS?
Pada saat terjadi bencana, di mana BESAR KEMUNGKINAN nyaris semua
infrastruktur di bidang telekomunikasi setempat lumpuh, ada beberapa kelebihan dari penggunaan transmisi HF/NVIS yang menjadikannya sebagai salah satu alternatif yang bisa dilakukan seorang atau sekelompok “insan” Radio dalam upaya mengembalikan fungsi komunikasi di dan dari kawasan yang sedang ditimpa bencana:
• INDEPENDENT (karena) TIDAK tergantung pada keberadaan infrastuktur telekomunikasi yang disediakan fihak lain seperti jaringan repeater dan/atau
“Transmisi HF/NVIS sebagai
back-up pada
KomDar/EmComm
(untuk cakupan jarak dekat dan sedang di band HF)”
h.bAmbAng SOetRISnO, Yb1kO
• Kemudahan OPERASIONAL: ramah LOKASI, dapat dioperasikan dari berbagai jenis contour dan topografi tanah, mis. : tanah datar/persawahan, bekas landasan terbang yang ditinggalkan/tak dapat digunakan karena bencana, area berbukit-bukit, hutan lebat, pegunungan kapur, lembah, pantai, kawasan rawa-rawa dsb. Juga karena tidak memerlukan tiang/mast yang tinggi maka instalasi dan operasi nya mudah dan bisa ditangani operatornya sendiri, tanpa harus mengandalkan bantuan orang lain.
• Kelebihan TEKNIS/Technical Advantages: 1. Teoritis tidak akan ada SKIP-zone 2. Relatif bebas fading/QSB
3. Less QRN sehingga relatif lebih bebas derau/noise, terutama man made noise yang kebanyakan berpolarisasi vertical.
4. Less QRM (relatif lebih bebas interfence dari sumber sinyal yang berada di luar area cakupan, terutama dari pancaran dengan low elevation angle).
5. Butir 3 dan 4 berarti S/N (signal-to-noise) ratio yang lebih baik
6. Meningkatnya S/N ratio memungkinkan dipakainya Rig/XCVR dengan Power kecil = less Power, yang berarti penghematan enerji.
7. Less Power (6) = less complicated = LESS costly initial investment.
Moda propagasi di band HF • Free Space = LOS (Line of sight) • Ground Wave: mengikuti garis lengkungan Bumi • Pancaran Ionosfer.
1. Long Distance (DX) Sky Wave
atau kalau dalam gambar yang teramat disederhanakan kedua pancaran ionosferik tersebut di atas dapat dilihat seperti pada gambar berikut:
III. NVIS/Near-Vertical Incidence Skywave Sebutan NVIS
Merujuk kepada pancaran radio di band HF, yang memancar dengan sudut pancaran (Take off atau Elevation Angle) yang nyaris tegak lurus (= near vertical), sehingga sinyal yang dipantulkan lapisan ionosfir jatuh kembali ke area yang berjarak sekitar 0-400 Km dari asal pancaran. Dalam praktek sehari- hari, tergantung frekuensi atau band yang dipakai sering terjadi pada jam-jam tertentu jarak segitu tidak bisa diliput dengan baik karena adanya SKIP ZONE: area yang terlalu jauh untuk rambatan ground wave, tetapi belum cukup jauh atau masih terlalu dekat untuk menerima pantulan sky wave dari ionosfir.
IV. Sejarahnya:
NVIS sudah dipakai sebagai backbone (tulang punggung) sistim komunikasi pasukan Nazi Jerman (yang memang mengandalkan komunikasi taktis di band HF) pada tahun-tahun menjelang dan selama Perang Dunia (PD)-II. Pasca PD-II tehnik NVIS kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh militer Uni Soviet dengan sebutan Zenith Radiation. Dengan kondisi geografis wilayah Uni Soviet (dan Blok Timur waktu itu) yang begitu luas -- membentang dari pantai Atlantik di barat sampai ke pantai Pasifik di timur -- komunikasi di band HF menjadi satu-satunya pilihan bagi sistim komunikasi mereka, baik di masa damai (jaringan pemerintahan) maupun di saat-saat ada clash militer (termasuk di era Perang Dingin sampai tahun 80-an). Di fihak lain, AS dan sekutunya (blok Barat) menggunakan HF/NVIS ini pada D-Day 6/6-1944 di Normandia, yang menandai awal serangan balik fihak Sekutu terhadap Nazi Jerman, tapi kemudian karena terlena dengan kemajuan di bidang komunikasi satelit (Satcomm) di dasawarsa 60-70an, fihak barat terutama AS seakan melupakan potensi sistim komunikasi di band HF untuk aplikasi militer , dan baru tergerak untuk memanfaatkan NVIS di saat Perang Vietnam hampir berakhir (paruh kedua dasawarsa 70- an), sesudah melakukan serangkaian uji coba di wilayah Vietnam dan Thailand. Adalah Lt Col David M. Fiedler dari US Army Signal Corps yang di tahun 80-an gigih memperju80-angk80-an (advocating) agar HF/NVIS dimasukk80-an dalam doktrin d80-an pelatihan bagi pelaku sistim komunikasi militer AS, … otherwise tactical commanders will be tied to LOS/line-of-sight communications and area system, which will not respond adequately to high-mobility battle situation.
V. HF/NVIS di lingkungan Amatir radio:
Awal dekade 90-an YL Patricia Gibbons WA6UBE (SK) dengan serangkaian eksperimen dan ujicoba yang kebanyakan dilakukannya dengan menggunakan perangkat alkom dem-deman/dump/surplus dari Signal Corps/PHB AS gigih sekali meng-sosialisasikan NVIS di lingkungan amatir, tetapi yang kemudian boleh disebut resmi memperkenalkan NVIS ke lingkungan ARRL adalah Mayor Edward J. Farmer (di lingkungan amatir lebih dikenal sebagai Ed Farmer AA6ZM, penyandang gelar Master di bidang Fisika dari California State University, pemegang 4 patent di bidang industrial control & communication systems terutama untuk aplikasi di bidang eksplorasi minyak dan gas) .
Lewat artikelnya di majalah QST edisi January 1995, untuk akhirnya mendunia karena pelanggan QST tersebar di seantero pelosok negara-negara anggota IARU/ International Amateur Radio Union.
Di Indonesia QST edisi January 1995 tersebut tentunya beredar juga, tetapi karena dalam bahasa Inggris maka penyebaran dan pemahamannya bisa dibilang mandeg di tangan para pembaca atau pelanggannya saja, sehingga pengetahuan tentang kiat NVIS ini “resminya” baru diperkenalkan oleh Wyn Purwinto AB2QV di depan para peserta Temu Kangen Lintas Generasi dan Sarasehan Tehnis Murnajati 2006, yang diselenggarakan atas kerjasama ORARI Lokal-Lokal Gresik, Surabaya Selatan, Sidoarjo Baru dan Malang pada bulan Juli 2006 di Diklat DepKes di Murnajati, Lawang, Jawa Timur.
VI. Parameter keberhasilan pancaran NVIS
Tergantung jarak yang hendak dicapai, tingkat keberhasilan dan efisiensi sebuah jaringan komunikasi radio selalu merupakan perpaduan antara pilihan yang tepat atas tiga faktor: Power Output (Po), pilihan Frekuensi dan Elevation (Take off) angle (untuk faktor ketiga ini ada yang menyebutkan sebagai Ketinggian Antena). Dalam ber-NVIS, faktor yang paling menentukan adalah Elevation Angle atau Sudut Pancaran, dan karena Sudut Pancaran ini antara lain juga ditentukan oleh tinggi rendahnya posisi Feedpoint antena, maka syah- syah saja kalau ada yang lantas menyebutkan bahwa
tinggi rendahnya bentangan antenalah yang merupakan salah satu faktor penentu tersebut.
1. ELEVATION ANGLE: Untuk mencakup liputan dalam radius 0 - 400 Km dari asal pancaran yang diperlukan adalah antena dengan Sudut Pancaran yang tinggi (High Elevation Angle), nyaris mendekati 900 . Pengertian High Elevation angle dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi kalau seseorang menyemprotkan (lewat slang) air ke langit-langit (plafond) kamar. Bertambah rendah sudut kemiringan semprotan, bertambah jauh pula jatuhnya air yang dipantulkan (oleh) langit-langit; sedangkan kalau slang diarahkan nyaris tegak lurus ke atas maka air akan dipantulkan kembali tidak jauh dari asal semprotan itu sendiri.
2. POWER OUTPUT/LEVEL: karena jarak yang harus di”jangkau” (dari titik asal pancaran sampai ke titik pantul di ionosfir) relatif lebih dekat (ketimbang jarak yang harus dijangkau sinyal dengan sudut pancaran rendah), maka Power Level yang diperlukan untuk ber-NVIS relatif juga lebih kecil (ketimbang Power untuk sinyal dengan “perjalanan” yang lebih jauh). Dalam praktek, untuk ber-NVIS Power Output sekitar 50 watt dianggap sudah cukup, malah untuk komunikasi taktis/ tactical (yang juga meliput jarak dekat & sedang) perangkat alkom yang tersedia di pasaran (baik untuk keperluan militer maupun sipil seperti patroli hutan, kegiatan eksplorasi di ladangladang minyak) kebanyakan cukup dengan output 20 watt saja (misalnya transceiver militer -- terutama dalam bentuk man/backpack -- seperti AN/PRC-74, PRC 1099A, Barret 2040, QMac HF90M, Codan 2110M (yang terakhir ini dipakai sebagai perangkat tactical standard di lingkungan NATO), berbagai versi manpack lawas dari Racal, Thomson CSF, Harris dsb., sedangkan di lingkungan amatir dikenal Tentec Argonout V dan SGC 2020.
3. FREQUENCY: Untuk pemakaian di lingkungan militer, maritim, dinas pemerintahan maupun komersial dipakai rentang frekuensi 2- 10 MHz. Biasanya dipakai 2 frekuensi: frekuensi tinggi untuk pemakaian di siang hari dan frekuensi rendah untuk malam hari, atau bila diperlukan komunikasi 24 jam PENUH maka diperlukan satu frekuensi tambahan sebagai frekuensi transisi. Frekuensi
persisnya ditentukan lewat prediksi MUF (Maximum Usable Frequency) dan/atau (terutama di lingkungan militer) prediksi ALE (Automatic Link Establihment), yang selalu berubah sesuai dengan musim, siklus bintik/noda matahari, jam (time of the day) serta berbagai fenomena alam lainnya. Untuk lingkungan amatir radio, hanya ada 2 band yang berada pada rentang frekuensi 2 – 10 MHz tersebut, karenanya hanya tersedia pilihan di band 40m untuk siang hari dan 80m untuk malam hari. Sebenarnya ada band yang ideal sebagai band transisi (katakanlah di pagi hari, saat band 80m sudah mulai tertutup tetapi 40m belum sepenuhnya terbuka, atau kondisi sebaliknya di sore hari), yaitu band 60m/5 MHz. Pada rig buatan pabrik, baik dari khazanah YAECOMALWOOD (YAEsu-iCOM-ALinco-KenWOOD) maupun dari pabrikan Amerika (seperti TenTec dan Elecraft) keluaran tahun-tahun terakhir, band 60m sudah ter-install pada produk mereka, walaupun pada beberapa merk hanya tersedia sebagai opsi, yang baru dipasang jika diminta saja, karena di beberapa negara di wilayah IARU (International Amateur Radio Union) Region
I dan II ada Regulator setempat yang sudah memberikan persetujuan untuk penggunaannya walaupun sifatnya masih sangat terbatas (misalnya on sharing basis, rentang frekuensi yang sempit, channelized, hanya untuk eksperimen dan sebagainya). Sebagai anggota IARURegion III, di Indonesia band 60m MASIH BELUM BOLEH dipakai karena masih harus menunggu ratifikasi oleh DPR-RI atas keputusan IARU Reg. III Conference (Bali, Oktober 2015) dan WRC-2015 (Geneva, November 2015 - lihat kopasan di bawah). Namun kemudian ada kesepakatan bahwa ketentuan-ketentuan yang sangat teknis diserahkan ke Kementerian Teknis, termasuk diantaranya ratifikasi keputusan WRC-2015 tersebut yang langsung disepakati dalam bentuk revisi pada TASFRI (Tabel Alokasi Spektrum Freuensi Radio Idonesia). Hal ini yang kemudian dikerjakan oleh Titon Dutono YB3PET (saat penyuntingan ini masih menjabat sebagai IARU Region 3 Monitoring System Coordinator), dan sudah diselesaikannya sebelum beliau balik ke
Surabaya pada Januari 2017 lalu (setelah 8 tahun bertugas sebagai staf regulator telekomunikasi di kantor KemKomInfo), sehingga pada saat penyuntingan ini Revisi TASFRI tersebut tinggal menunggu ditanda tangani oleh Menteri KomInfo saja (update 23 Februari 2017).
World Radiocommunication Conference 2015 Outcomes The ITU World Radiocommunication Conference recently (November 2015) held in Geneva Switzerland has resulted in modified Radio Regulations that will become an
international treaty in January 2017. Dale Hughes VK1DSH, who chaired a key working group, said there was a lot of interest in the new amateur service secondary allocation at 5 MHz. The amateur service gained 5351.5-5366.5 kHz with regional power limits of 15 watts to 25 Watts measured in effective isotropic radiated power (EIRP). It wasn’t easy as, in the beginning; there was a strong push for no such allocation from countries such as Russia, the RCC (which is a grouping of some former Soviet Union states), France, Iran and joining them later were Romania, Japan, Korea, Egypt and one African country. After lengthy talks a 15 kHz wide allocation with a power limit began to emerge. Although the opposition slowly changed, it was not until very late in the process that the final no-change position was withdrawn.