• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA NENGGET PADA MASYARAKAT SUKU KARO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPACARA NENGGET PADA MASYARAKAT SUKU KARO"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

UPACARA NENGGET PADA MASYARAKAT SUKU KARO

(Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten

Simalungun)

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) ILMU SOSIAL DAN

ILMU POLITIK

OLEH

ERLINA SEMBIRING 0 4 0 9 0 5 0 1 4

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Lokasi Penelitian... 6

1.3.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang ... 6

1.3.2. Latar Belakang Sosial Budaya ... 9

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 10

1.5. 1.4.1. Tujuan Penelitian ... 10

1..2. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Tinjauan Pustaka ... 10

1.6. Metode Penelitian ... 14

1.6.1. Tipe Penelitian ... 14

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ... 15

1.6.1.1.Data Primer ... 15

1.6.2.1.a. Observasi Atau Pengamatan ... 15

1.6.2.2.b. Informan ... 15 1.6.2.3.c. Wawancara ... 16 1.6.2.2.1. Wawancara Mendalam ... 16 1.6.2.2.2. Wawancara Bebas ... 17 1.6.2.2. Data Sekunder ... 17 1.6.3. Analisa Data ... 17

BAB II MASYARAKAT KARO 2.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo ... 19

2.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo ... 21

(3)

2.3.1. Klen (Marga), dan Kampung Asal ... 23

2.3.2. Senoiritas ... 25

2.3.3. Asal Keturunan ... 26

2.3.4.Masyarakat Desa dan Kepeminpinanya ... 26

2.3.5. Sistem Politik ... 27

2.4. Sistem Budaya Masyarakat Karo ... 29

2.4.1.Sistem Kekerabatan ... 29

2.4.2.Sistem Kepercayaan ... 35

2.4.3.Prinsip Hidup Masyarakat Karo ... 38

2.4.4.Sistem Gotong Royong ... 39

2.4.5. Perkawinan ... 40

BAB III UPACARA NENGGET 3.1. Upacara Nengget... 47

3.2. Peralatan Dalam Pelaksanaan Upacara Nengget ... 48

3.4. Pelaksana Upacara Nengget ... 49

3.4.1. Kalimbubu ... 51

3.4.2. Anak Beru ... 53

3.4.3. Sembyak/Senina ... 56

3.5. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Nengget ... 59

3.6. Manfaat Pelaksanaan Upacara Nengget ... 62

3.7. Kedudukan Upacara Nengget Di Tengah-Tengah Pengobatan Modern ... 63

BAB IV STUDI KASUS DALAM UPACARA NENGGET 4.1. Keluarga Yang Berhasil Mendapatkan Keturunan ... 66

4.1.1 Keluarga G. Tarigan Dengan R. br Bangun ... 66

4.1.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget ... 68

4.2. Keluarga Yang Belum Berhasil Mendapatkan Keturunan ... 69

4.2.1. Keluarga M. Ginting Dengan B. br Sembiring ... 69

(4)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 76 5.2. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN

(5)

ABSTRAK

Erlina Sembiring, 2009. Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif Desa Saran Padang Kecamatan Dolok Silau Kabupaten Simalungun). Skripsi ini terdiri dari 5 bab + 80 halaman + daftar pustaka + lampiran.

Setiap kelompok masyarakat mempunyai berbagai jenis upacara kebudayaan dan upacara religi yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Proses dan pelaksanaanya juga berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali aneka jenis upacara kebudayaan yang terdapat di Indonesaia. Seperti halnya upacara nengget yang terdapat pada masyarakat Karo, upacara nengget adalah upacara yang dilakukan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan, upacara ini juga dapat dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya laki-laki atau perempuan.

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa Saran Padang. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget dan untuk melihat sejauh mana kebertahanan upacara nengget sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional yang berdampingan dengan pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa khususnya Kabupaten Karo.

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat istiadat sedangkan upacara merupakan wujud nyata aktivitas dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Dalam masyarakat tradisional kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa upacara tradisional yang memang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan (transformasi) tradisi. Setiap tindakan manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur-unsur secara keseluruhan bisa di dapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua suku bangsa di Dunia. Unsur-unsur ini di sebut dengan istilah unsur kebudayaan universal yang terdiri dari tujuh unsur kebudayaan.Salah satu kebudayaan universal adalah sistem religi (sistem kepercayaan) yang di dalamnya termuat sistem upacara, baik berupa upacara tradisional maupun upacara modern merupakan suatu pranata yang di perlukan. Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati karena di dalamya termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan mahluk lain (Koentjaraningrat,1981;203-204).

(7)

Seperti halnya pada masyarakat Karo, terdapat berbagai bentuk upacara yang berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Menurut Bangun (1986:41) walaupun masyarakat Karo secara resmi telah dimasuki oleh ajaran agama seperti agama Kristen Protestan, Islam, dan Katolik namun masih ditemui pada pemeluk agama tersebut adanya keterikatan kepada kepercayaan tradisionalnya, seperti kepercayaan pada roh-roh nenek moyang dan benda-benda yang mereka anggap keramat.Masih banyak ditemukan perjimatan, pergi ke goa-goa, penghormatan kepada roh-roh nenek moyang dengan berbagai jenis upacara, adanya pengobatan-pengobatan tradisional dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo tidak bisa meninggalkan kepercayaan tradisionalnya, meskipun mereka telah memeluk agama yang melarang hal-hal tersebut. Salah satu kepercayaan masyarakat Karo adalah Pemena, yang berarti : kepercayaan suku bangsa Karo terhadap suatu benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib terhadap roh-roh yang berdiam disuatu temapat yang mempunyai kekutan luar biasa.

Selain Pemena masih banyak jenis-jenis kepercayaan yang diyakini masyarakat Karo. Mereka masih meyakininya sampai sekarang dan masih ada sebagian yang masih dilaksanakan sampai sekarang meskipun sudah hampir punah seiring dengan kemajuan jaman. Nengget adalah salah satu jenis upacara yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat Karo. Nengget dilakukan dengan mengadakan kejutan terhadap keluarga yang sudah lama berumah tangga tetapi belum memiliki keturunan. Nengget juga bisa dilakukan terhadap keluarga yang suadah memiliki keturunan namun semuanya perempuan supaya keluarga ini memiliki keturunan anak

(8)

laki-laki. Kepercayaan ini sudah ada sebelum pangaruh kebudayaan Hindu di tanah Karo, namun sampai sekarang kepercayaan ini masih diyakini oleh beberapa orang.

Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget itu sendiri berarti mengadakan kejutan kepada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Dalam konteks Upacara, Nengget erat kaitannya dengan adat istiadat Karo, dimana di dalam adat nggeluh (adat orang hidup) Karo diatur berdasarkan merga silima ( lima marga pada masyarakat Karo yaitu : Tarigan, Sembiring, Ginting, Karo-karo dan Perangin-angin), rakut sitelu (tiga tingkatan silsilah dalam masyarakat Karo yaitu : kalimbubu, anak beru dan senina), dan tutur siwaluh adalah : delapan jenis tutur yang ada pada masyarakat Karo, diantaranya : puang kalimbubu, kalimbubu, senina , sembuyak, seninasipemeren, senina sepengalon/sendalanen, anak beru. Tutur adalah : tingkat hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya. Ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo yaitu: kalimbubu (pihak penerima wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak pemberi wanita). Peranan masing-masing yang telah diatur dan disesuaikan sedemikian rupa dan tidak semua orang perorangan bebas berbicara dengan orang. Ada aturan-atuaran yang telah dibuat, sebagai contoh seorang menantu laki-laki tidak bisa berbicara langsung dengan ibu mertuanya, hal ini adalah pantang atau tabu. Ketiga kelompok tersebut diatas memiliki peranan yang penting dalam pelaksanaan upacara nengget. Sebelum upacara nengget dilaksanakan maka terlebih dahulu

(9)

ketiga kelompok harus berembuk untuk membicarakan pelaksanaan dari upacara ini. Selain ketiga kelompok ini peranan dukun sangat diperlukan untuk menentukan apa saja yang harus disediakan dan hari baik apa yang akan digunakan sebagai pelaksanaan dari upacara ini.

Menurut Julianus (2006), ada berbagi jenis nengget berdasarkan fungsinya: Nengget, yang dilakukan menurut adat Karo. Dengan melakukan kejutan bagi keluarga yang belum memiliki keturunan dengan harapan agar keluarga ini memperoleh keturunan (laki-laki dan perempuan). Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara lainnya. Pelaksanaanya dilakukan ketika sedang menari keluarga yang tidak memiliki keturunan tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya atau rebunya dia, kemudian diosei (dipakaikan pakaian adat Karo secara terbalik) seperti pada acara nengget. Setelah diosei dilakukan acara menari. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang dilakukan pada acara memasuki rumah barunya, di depan pintu masuknya mereka dihalangi rebunya (turangkunya)1

, sambil berkata “Majera kam la mupus ?”( jeralah kau yang belum punya keturunan) maka yang oleh empunya rumah menjawab “ jera !”. Hal ini dilakukan sebanyak empat kali, dan pada hitungan yang ke-4 ini juga mempunyai makna yaitu selpat yang artinya: putus hubungan dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya maka mereka diperbolehkan memasuki rumah barunya. Sengget yaitu terkejut ini mempunyai proses yang mempunyai arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh jiwa atau tendinya ini bisa jadi kicat atau terjepit di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker, dan

(10)

sebagainya. Untuk melepaskan tendi ini maka biasanya jug dilakukan upacara melepas tendi ini seperti raleng tendi bisanya adalah manuk kahul (ayam persembahan) yang dilepas. Acara ini masih dipercayai orang Karo sebagai salah satu kegiatan upacara sekaligus sebagai sarana pengobatan bagi salah satu keluarga yang belum memiliki keturunan, pada masa lalu bahkan sampai sekarang. (http://www.tanahkaro.com/ simalem/ content/view/681/177/).

Pelaksana dari upacara nengget ini adalah dari keluarga pihak pemberi dara (kalimbubu). Kalimbubu ini sendiri berarti pihak pemberi dara, dan merupakan pihak yang harus benar-benar dihargai, dihormati dan juga dijaga perasaannya jangan sampai dia merasa sakit hati. Suku karo meyakini apabila kalimbubu marah karena merasa tidak dihoramati maka, hal itu akan mengakibatkan hal-hal yang tidak di inginkan misalnya, padi tidak tumbuh, tidak ada keturunan, anak sakit dan lain sebagainya. Kalimbubu sering juga disebut sebagai Dibata Idah yang artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu mempunyai perbedaan dari sukut/sembuyak, karena kalimbubu dibedakan secara berjenjang mulai dari atas sampai ke bawah. Selain kalimbubu, anak beru juga mempunyai peran yang penting dalam upacara ini, anak beru itu sendiri berati : pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga, golongan anak beru yang sama dengan kalimbubu dalam hal jenjang atau derajat berdasarkan keturunan. Oleh karena itu anak beru juga diberi nama sesuai dengan jenjang atau tingkatannya untuk dapat membedakan satu dengan yang lain.

Selain kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang lebih memiliki paranan yang sangat penting dalam upacara ini yaitu turangku atau rebu. Yakni

(11)

dalam upacara ini dia sangat memiliki peranan yang sangat penting. Turangku inilah yang nantinya akan menyiramkan air suci atau lau si malem-malem kepada keluarga tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari turangku ini tidak dapat saling bertegor sapa dengan mereka (keluarga yang disengget). Hal ini di pantangkan menurut adat karo yang disebut rebu.

1.2.Perumusan Masalah

Dalam kehidupan masyarakat Karo khususnya masyarakat Desa Saran Padang upacara nengget adalah salah satu upacara yang berkaitan dengan pengobatan tradisional yang sampai sekarang masih bertahan dan dipercayai oleh masyarakat setempat, walaupun pengobatan tradisional sudah hampir punah oleh pesatnya kemajuan jaman dan semakin berkembangnya pengobatan-pengobatan modern. Sehubungan dengan itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan upacara nengget dilakukan

2. Apa manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan upacara ini?

3. Mengapa masyarakat karo masih mempercayai upacara nengget dan mengapa upacara nengget masih bisa bertahan sampai sekarang, sementara pengobatan-pengobatan modern semakin mudah di jumpai di Kabupaten Karo bahkan di desa Saran Padang.

(12)

1.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Saran Padang , Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun. Pertimbangan memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya mayoritas suku bangsa Karo, dan upacara nengget masih tetap dilaksanakan walaupun tidak terlalu sering. Selain itu, alasan penulis memilih Desa ini sebagai lokasi penelitian karena penulis juga berdomisili di daerah ini.

1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa Saran Padang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebertahanan upacara nengget sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional berdampingan dengan pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa Kabupaten Karo.

1.4.2.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah wacana dalam memahami kehidupan masyarakat suku Karo terutama dalam pelaksanaan upacara nengget dan untuk memperoleh data yang akurat terhadap suatu objek, sehingga dapat memberi manfaat bagi masyarakat Karo khususnya yang masih meyakini dan melaksanakan upacara nengget ini.

(13)

1.5.Tinjauan Pustaka

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dimana dalam kenyataan hidup bermasyarakat. Kebudayaan mempunyai arti penting dalam mempengaruhi prilaku dan cara berpikir para anggotanya. Kebudayaan menurut Suparlan (1983) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapinya serta untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Sikap pada dasarnya berada pada diri seseorang individu, namun meskipun demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut (Suparlan dalam Koentjaraningrat, 1981:26).

Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia sebagai mahluk sosial, yang terlahir dalam bentuk upacara tardisional dengan berbagai jenisnya seperti, kelahiran, kematian, dan perkawinan. Umunya kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Upacara tradisional adalah upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu kala sampai sekarang dalam bentuk yang relatif tetapi dalam upacara tradisional merupakan kegiatan nasional yang melibatkan para warga masyarakat, dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan bersama (Koentjaraningrat, 1989:225).

Upacara tradisional banyak kita jumpai atau kita lihat dari lingkungan masyarakat yang ada di sekitar kita. Dalam kaitannya dapat terbaca melalui tingkah laku resmi warga masyarakat yang dilakukan dalam peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kekuatan supernatural atau gaib. Kekuatan itu dapat

(14)

berupa kekuatan roh-roh, mahluk-mahluk halus dan kekuatan sakti. Terutama mengenai mengapa manusia percaya kepada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari padanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dan cara-cara yang beraneka ragam untuk mencari hubungan denagan kekuatan yang dipercayainya (Koentjaraningrat, 1981:251).

Hal itu terjadi pada masayrakat Ndembu, Upacara merupakan ikatan utama antar orang dan antar kelompok. Menurut Victor Turner (1968:21) upacara-upacara di masyarakat Ndembu dapat digolongkan ke dalam dua bagian, diantaranya upacara krisis hidup dan upacara gangguan. Yang dimaksud dengan upacara krisis hidup di sini adalah upacara-upacara yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh manusia karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Sedangkan upacara gangguan adalah: masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti, berburu, ketidak teraturan reproduksi pada kaum wanita dan bentuk panyakit lainnya. Roh leluhur mengganggu mereka sehingga membawa nasib sial.

Upacara adat merupakan keperluan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan. Upacara adat itu sendiri merupakan rangkaian tindakan yang ditata oleh adat yang berlaku yang berhubungan dengan berbagai peristiwa (Subagyo, 1981:116). Sedangkan (Koentjaraningrat, 1977:241) berpendapat bahwa upacara timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap keramat.

(15)

Suatu upacara dapat dilihat sebagai suatu pertunjukan simbol, pertunjukan simbol ini biasanya dilakukan melalui berbagai bentuk pertukaran yang pada pokoknya melibatkan pihak pemberi dan pihak penerima. Namun pertukaran bukan hanya berbentuk sifat ekonomis tetapi juga bersifat menyeluruh., yang merangkum aspek-aspek kehidupan. Adapun aspek-aspek kehidupan tersebut adalah : politik, religi,seni, pengetahuan, pertukaran berdasarkan pada klasifikasi sosial dengan cara hubungan-hubungan sosial yang diperoleh baik melalui keturunan, perkawinan, maupun transaksi-transaksi sosial lainnya. Demikian juga melalui pertukaran mencoba mengupayakan kesehatan maupun keselamatan secara umum yang pada prinsipnya bersumber dari pikiran-pikiran tentang adanya hubungan sakral dari benda-benda yang dipertukarkan dengan kategori-kategori sosial (Mauss, 1992:225).

Memahami upacara berarti juga harus mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam upacara tersebut. Dalam hal ini simbol merupakan manifestasi yang nampak dari ritus tersebut, simbol-simbol selalu digunakan dalam ritus. Maka Victor Turner (1968) menegaskan bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam suatu upacara maka kita akan merasa sulit untuk memahami upacara tersebut dan masyarakat-masyarakatnya. Sedangkan untuk melihat konsep tentang upacara nengget dari sudut pandang orang Karo peneliti harus menguasai bahasa setempat. Sehubungan dengan penguasaan bahasa lokal, Malinowski mengisyaratkan kepada para peneliti, hanya melalui kominikasi dari warga masyarakat yang diteliti itulah seorang peneliti dapat memperoleh pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya (Malinowski dalam Koentjaraningrat 1987) Boas mengatakan “ jika tujuan kita

(16)

sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep kita” (Boas dalam Spradley 1997:28).

Beberapa penelitian yang pernah di lakukan berkatian dengan upacara tradisional diantaranya adalah : upacara tolak bala yang di lakukan Elisabet (1992). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Upacara tolak bala ini bertujuan untuk menolak, melenyapkan atau penawar bencana yang menimpa warga masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan, setelah melaksanakan upacara tolak bala akan tentram dan tenang. Selain upacara tolak bala masih ada lagi penelitian yang berhubungan dengan pengobatan tradisioanal seperti, upacara cawir bulung yang dilakukan Tarigan (1990). Upacara cabur bulung adalah perkawinan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tetapi tidak sama halnya dengan pasangan suami istri yang sah menjadi miliknya melainkan hanya sebagai “simbol”. Tidak semua orang Karo mengalami perkawinan tersebut. Upacara cabur bulung dilakukan karena anak yang akan di cabur bulungkan tersebut sering sakit-sakitan, mendapat mimpi buruk, sehingga terasa menggangu hidupnya. Menurut orang Karo, wajarlah bila upacara cabur bulung dilaksanakan agar anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi dan tidak lagi mendapat mimpi buruk (Tarigan 1990).

Sehubungan dengan upacara nengget ini menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti karena upacara nengget ini beda dari upacara-upacara lainnya yang ada pada masyarakat suku Karo.Pada masyarakat Karo banyak sekali jenis-jenis upacara yang dapat kita temui diantaranya: ndilo wari udan, erpangir kulau, ngarkari, muncang, dan masih banyak lagi. Perbedaan dari upacara nengget dari

(17)

upacara-upacara lainnya adalah terlihat bahwa pada upacara nengget segala sesuatu atau rencana pelaksanaanya sangat dirahasiakan dan apabila keluarga yang akan disengget tersebut mengetahui tentang rencana pelaksanaan nengget ini maka upacara ini dinyatakan batal. Karena jika upacara ini masih tetap dilaksanakan juga namun keluarga tersebut sudah mengetahui rencana pelaksanaan upacara tersebut maka upacara nengget ini dikatakan tidak berhasil dan sia-sia.

1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang upacara nengget. Yakni upacara tradisional masyarakat karo yang berkaitan dengan pengobatan tradisional yang sampai saat ini masaih mampu bertahan secara berdampingan dengan pengobatan modern. Menurut Whitney (1960), penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Ada dua macam data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

1.6.2.1. Data Primer

(18)

1.6.2.1.a. observasi atau pengamatan Dalam melakukan observasi2

Informan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu: informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Informan pangkal adalah orang yang mengetri suatu masalah, namun bukan ahlinya dan dari informan ini biasanya kita bisa bisa mendapatkan informasi lain. Informan kunci adalah orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah. Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang mengenali suatu masalah penelitian tetapi tidak begitu tahu akan penjelasan lebih dalam terhadap masalah yang dikaji. Spradley

atau pengamatan, peneliti perlu membuka dan menjalin kerjasama yang baik dengan para informannya. Hal ini bertujuan untuk menjalin kerjasama yang baik dengan para informan yang diteliti untuk melakukan suatu perubahan yang mengarah perbaikan, sesuai dengan kehendak dan kebutuhan. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan tempat penelitian sehingga data yang diharapkan dapat diperoleh secara akurat dan jelas. Dalam hal ini peneliti sudah pernah menyaksikan secara langsung proses dan pelaksanaan upacara nengget tersebut. Di sini peneliti dapat melihat bagaimana gambaran tentang pelaksanaan upacara nengget tersebut . Paling jelas peneliti dapat melihat adalah bagaimana keluarga yang belum memiliki keturunan dikejutkan dan disiram dengan air si malem-malem.

1.6.2.1.b.Informan

2

observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Karena itu obserfasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakn pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dinbantu dengan panca indera lainnya. Seseorang yang melakukan pengamatan tidak selamanya menggunakan panca indera mata saja tetapi selalu mengaitkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya seperti apa yang Ia dengar, apayang Ia cicipi, apa yang Ia cium dari penciumannya dan bahkan dari apa yang Ia rasakan dari sentuhan-sentuhan kulitnya (Bungin, 2002:115).

(19)

mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informasi yang baik, yaitu: 1. enkulturasi penuh, maksudnya informan mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya. Mefeka melakukan berbagai hal secara otomatis dari tahun ketahun. 2. keterlibatan langsung, maksudnya informan harus terlibat dalam suasanakebudayaan mereka dan menerapkannya setiap hari. 3. suasana budaya yang tidak dikenal. 4. waktu yang cukup, maksudnya pada saat melakukan wawancara waktu diharapkan sesuai dengan kondisi informan. 5. non analitis, maksudnya informna yang baik memberikan penjelasan berdasarkan konsep mereka, bukan konsep dari luar (Spradley, 1997:61-70). Dalam penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah para pengetua adat atau orang-orang yang dituakan di desa tersebut. Sedangkan untuk informan pokok adalah para keluarga yang sudah pernah melaksanakan kegiatan upacara nengget. Sedangkan untuk informan ke tiga adalah informan biasa yaitu warga masyarakat desa setempat.

16.2.1.c. wawancara

Ada dua macam wawancara yang dilakuakn dalam penelitian ini yaitu : wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara bebas.

1.6.2.2.1. Wawancara mendalam Wawancara mendalam3

3

wawan cara mendalam secara umum adalah proses memperolej keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang akan diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawncara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah ketyerlibatannya dalam kehidupan informan

dilakukan dengan pedoman wawancara atau interview guide yang di tujukan pada informan-informan kunci seperti tokoh adat, kepala desa, serta anggota masyarakat di lokasi penelitian yang pernah melakukan

(20)

upacara nengget. Fungsi dari interview guide ini hanya sebagai panduan bagi peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak lari dari pokok permasalahan.

1.6.2.2.2. Wawancara bebas

Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang dapat beralih dari satu pokok lain dan tidak terikat pada satu pusat pokok masalah sehingga data yang terkumpul bersifat beraneka ragam (Suyono1985;437). Dalam metode wawancara bebas, peneliti terlebih dahulu meneliti atau memasuki lapangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat supaya mendapatkan hasil wawancara yang baik. Data yang didapat dari wawancara dijadikan sebagai data tambahan sehingga data yang diperoleh sebelumnya menjadi lebih lengkap dan akurat.

1.6.2.2. Data Sekunder

Data sekunder di kumpulkan melalui perpustakaan seperti, melalaui buku (literatur), hasil-hasil penelitian, informasi dari internet dan catatan-catatan yang ada pada lembaga terkait seperti kantor kecamatan dan kantor lurah setempat. Data sekunder di perlukan untuk melengkapi data primer.

1.6.3 Analisa Data

Analisa data merupakan proses mengatur data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola. Setelah data-data diperoleh dari lapangan akan diteliti kembali, diedit untuk melihat kembali lengkapnya hasil wawancara dari daftar interview guide. Setelah data dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah diadakan reduksi data dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah

(21)

mengadakan keabsahan data. Pengolahan dan analisa data ini bertujuan untuk menghasilkan data yang lebih lengkap dan akurat.

(22)

BAB II

JENIS-JENIS UPACARA YANG ADA PADA MASYARAKAT KARO

2.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang

Desa Saran Padang merupakan desa yang subur, mempunyai tanah yang mempunyai unsur humus berwarna hitam dan juga banyak mengandung unsur hara, luas tanah dan tata guna Desa Saran Padang sekitar 292 Ha.Desa Saran Padang merupakan desa yang sudah maju dan desa yang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat. Pemanfaatan lahan desa Saran Padang terdiri dari: ladang seluas kurang lebih ± 82 Ha, kebun 22 Ha, pemukiman 75 Ha, pekuburan 1 Ha, tanah kosong 102 Ha, dan sisanya pegunungan. Tanah di desa ini sebagian bergelombang dan terjal, tanah yang datar atau areal yang lapang digunakan sebagai tempat untuk perumahan dan juga untuk perladangan.

Desa Saran Padang terletak pada ketinggian kurang lebih ± 1.200 -1500 dpl (di atas permukaan laut), dan curah hujan rata-rata antara 2400 mm – 2600 mm, dengan hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan seperti ini sanagat mempengaruhi kualitas pertanian di desa ini. Musim kemarau hanya terjadi pada bulan juli – agustus.Sedangkan kelembaban udara maksimum mencapai 95 % dan minimum 85 % . hal ini pula yang menyebabkan daerah ini pada siang hari dan malam hari terasa sangat dingin. Kelembaban udara sangat mendukung perekonomian pada sektor pertanian. Temperatur pada siang hari berkisar antara 24 – 27 °C dan pada malam hari berkisar antara 18 - 20°C. Desa Saran Padang mempunyai 4 dusun, masing-masing dusun I, dusun II, dusun III, dan dusun IV yang pemukimannya menyatu. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun,

(23)

yang berfungsi untuk mempercepat proses administrasi. Adapun batas-batas dari desa Saran Padang adalah sebagai berikut:

• Utara : pegunungan Bukit Barisan • Selatan : Desa Purba Tua

• Barat : Desa Paribuan

• Timur : Kabupaten Deli Serdang

Keadaan penduduk merupakan gambaran dari berbagai lapisan masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal di suatu tempat. Penduduk desa Saran padang terdiri dari 298 kepala keluarga (KK), dengan jumlah penduduk keseluruhannya 1.325 jiwa, yang terdiri dari 657 jiwa laki-lakidan perempuan 668 jiwa, dan mayoritas penduduk desa ini adalah suku karo dan simalungun. Demikan juga halnya dengan keyakinan yang dianut di Desa ini, mayoritas agama Kristen protestan, Katolik, dan hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam. Jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan 1.218, sedangkan untuk Katolik 96, dan untuk Islam hanya 39. Mayoritas penduduk Desa Saran Padang ini bertani dan hanya sebagian kecil saja yang berpropesi sebagai pegawai Negri dan Swasta. Masyarakat Desa Saran Padang mengenal berbagai sistem kesatuan hidup setempat. Beberapa kesatuan hidup setempat seperti : sopo, rumah atau jabu , kesain, dan kuta. Sopo adalah tempat untuk berteduh jika hari sedang hujan atau hari sangat terik. Sopo ini biasanya berada di ladang atau di sawah. Selain itu sopo juga dipergunkan sebagai gudang penyimpanan alat-alat untuk bekerja di ladang atau di sawah. Selain untuk kegunaan diatas sopo juga digunakan sebagai tempat tinggal para buruh tani yang berasal dari luar daerah ini dan kebanyakan beretnis jawa.

(24)

Jabu atau rumah adalah keluarga inti yang kecil. Bentuk yang lebih besar dari jabu adalah kesain atau pekarangan rumah yang merupakan kesatuan hidup. Kumpulan dari kesain membentuk satu kuta dan dalam satu kuta ada satu peminpin kuta yang disebut pangulu atau penghulu. Biasanya yang menjadi pangulu adalah orang yang bermarga tarigan karena yang bermarga tarigan ini diyakini sebagai oarang yang pertama kali mendiami atau membangun desa Saran Padang ini. Akan tetapi karena kemajuan jaman dan sudah bercampurnya suku bangsa yang mendiami desa ini maka kebiasaan itu hilang. Kondisi rumah bila ditinjau dari segi bangunan maupun dari segi kesehatan sudah cukup baik. Sebagian rumah sudah terbuat dari batu (permanen) dan sebagian lagi terdiri dari papan (semi permanen), dan pada umumnya bentuk rumah di desa ini sudah mengikuti bentuk rumah di kota. Tepat di tengah desa terdapat jambur atau losd yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat untuk melaksanakan upacara seperti pesata perkawinan, upacara kematian, dan juga sebagai tempat musyawarah Desa.

2.1.1. Latar Belakang Sosial Budaya a. Bahasa

bahasa yang digunakan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa daerah. Bahasa daerah yang digunakan antara lain bahasa karo, bahasa batak toba, dan bahasa simalungun. Masing-masing penduduk tau dan dapat menggunakan ketiga bahasa ini, baik anak-anak, pemuda-pemudi, hingga orang tua. Ketiga bahasa ini digunakn dalam segala aktivitas mereka untuk memperlancar komunikasi. Sedangkan bahasa indonesia hanya digunakan di

(25)

sekolah, bahkan pada kantor pemerintah setempat yaitu kantor kepala desa, bahasa yang digunakan pegawai kantor itu adalah bahasa daerah juga.

b. Seni

kesenian tradisional sudah jarang dilakukan sepenuhnya di desa ini, dimana rumah tradisional tidak dapat lagi ditemukan, pada saat pesta adat seni musik tradisional juga tidak digunakan lagi, kecuali untuk pakain ulos dan uis gara pada pesta adat. Bentuk rumah di desa sudah hampir sama bentuknya sehingga kita tidak dapat lagi membedakan rumah antar suku bangsa yang berbeda. Tata dekorasi di dalam rumah dan halaman juga hampir sama untuk keseluruhan.

c. Religi

Koentjaraningrat (1974:142) membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan. Agama adalah semua agama yang secara resmi diakui pemerintah, relegi adalah sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secera resmi seperti Konghucu, dan berbagai aliran kebatinan, sedangkan kepercayaan mempunyai arti yang khas ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun relegi. Walaupun Koentjaraningrat membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan, perbedaan ini hanyalah memudahkan pemahaman saja, sedangkan inti dari antara agama, relegi dan kepercayaan, sama yaitu percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan), sebagai Penguasa Tunggal. Menurut Rijoatmodjo (1953:110), pada suku Batak terdapat tiga tingkatan kepercayaan; tingkatan pertama percaya akan adanya Sang Pencipta Alam. Sang pencipta ini bersemayam di langit yang tinggi, tingkatan kedua, tempat berdiamnya Batara Guru, Soripada, Manggala Bulan, dan tingkatan ketiga tempat bersemayamnya para dewa dan ruh. Dalam masyarakat

(26)

Karo tingkatan kepercayaan ini, tingkat pertama disebut dengan Guru Butara, tingkat kedua disebut Tuhan Padukah ni Aji dan tingkat ketiga disebut Tuhan Banua Koling. Ketiganya disebut Satu Debata (Tuhan Yang Esa). Kepercayaan seperti ini disebut juga agama Pelbegu. Dalam pandangan Tambun (1953), agama Pelbegu ini banyak persamaannya dengan agama Hindu. Tetapi agama pelbegu ini bukanlah agama Hindu, kemungkinan agama pelbegu ini dipengaruhi agama Hindu besar sekali. Pandangan terhadap pelbegu ini kemudian berubah menjadi negatif, malah dianggap sebagai bukti dari sebuah kebiadapan. Pelbegu diidentikkan dengan "orang bodoh", orang bodoh yang tidak mengikut i aliran zaman, penduduk 'pedalaman yang dalam segala hal tertinggal' demikian kata Fischer (1954:122).

Agama Pelbegu disebut juga agama pemena. Pemena artinya adalah pertama. Agama pertama yang masuk ke Indonesia adalah agama Hindu, maka agama Hindu inilah agama universal yang pertama datang ke wilayah Nusantara termasuk Karo. Inti dari ajaran agama ini adalah selain percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, juga percaya masih ada kekuatan lain yang dapat membantu mereka selama hidup di muka bumi ini. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menekankan pemujaan kepada kekuatan yang dianggap langsung dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka selain ingin hidup aman aman dan damai di dunia, juga ingin selamat sampai ke akhirat. Dalam masyarakat Karo percaya akan adanya Yang Maha Esa, suatu bukti, suatu kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan di luar diri manusia, di luar kelompoknya. Kesadaran ini mereka ekspresikan ke dalam beberapa perbuatan dan kegiatan. Bentuk ekspresi

(27)

kepercayaan mereka ini adalah: Silan, silan ini adalah suatu kepercayaan yang menganggap pohon-pohon kayu yang besar atau batu yang besar dianggap ada mahluk halus sebagai penghuinya. Agar penghuninya tidak mengganggu, maka kepadanya disediakan persembahan. Pagar. Pagar adalah roh nenek moyang yang menjadi pelindung keluarga.

Pagar ini merupakan pemujaan penduduk kampung sebagai pengormatan kepada arwah leluhur. Letak pagar ini umumnya di sekeliling kampung. Buah Huta-Huta. Buah Huta-Huta sama dengan pagar, bedanya, Buah Huta- Huta ini lokasinya di tengah kampung. Ndilo Tendi, memanggil roh orang yang telah memanggil dunia untuk diajak berdialog dengan keluarganya, melalui perantaraan seorang dukun wanita. Erpangir Kulau. Erpangir Kulau adalah satu kebudayaan masyarakat Karo yang bersifat kepercayaan, fungsinya untuk membersihkan diri, agar terhindar dari berbagai kesulitan, malapetaka dan lain sejenisnya. Kegiatan ini dapat dilakukan perorangan maupun bersama keluarga.

Pelaksanaan kegiatan ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru Sibaso. Perumah Begu. Perumah Begu adalah salah satu kepercayaan. Dalam kepercayaan ini masyarakat Karo percaya orang yang telah meninggal dunia, rohnya dapat dipangggil dan diajak berdialog, melalui seorang dukun (Guru Sibaso). Untuk melaksanakan upacara, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan ada tahap-tahap tertentu yang harus dilalui. Nengget. Nengget adalah upacara yang dilakukan terhadap suami istri yang sudah lama berumah tangga, tetapi belum juga dikarunia anak. Atau kepada pasang suami istri yang jenis kelamin anaknya hanya wanita saja. Melalui upacara nengget (membuat terkejut), diharapkan ada perubahan, bagi pasangan suami istri yang belum

(28)

dikarunia anak, diharapkan akan mendapat anak. Bagi pasangan suami istri yang anaknya semua misalnya wanita saja, diharapkan akan segera mendapatkan anak laki-laki, sebagai penerus klen suaminya.

Ngarkari adalah upacara untuk menghindarkan keluarga dari kemalangan atau kesialan. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru Sibaso. Perselihi adalah upacara untuk menghindari kemalangan yang mungkin terjadi di `dalam sebuah keluarga. Ngulakken adalah upacara pengobatan dari sesuatu penyakit. Ngeluncang, adalah upacara pengobatan terhadap sesuatu penyakit yang dibuat oleh orang lain, atas bantuan si dukun, penyakit tersebut dikembalikan kepada sipembuatnya. Njunjungi Beras Piher adalah upacara ritual mengusir roh-roh jahat dari desa, sehingga masyarakat desa terhindar dari segala malapetaka. Selain tersebut di atas masyarakat Karo juga percaya kepada Jinujung. Jinujung adalah roh pelindung seseorang. Kemudian ada lagi yang disebut Guru, guru ini adalah orang yang mempunyai indra keenam, fungsinya selain sebagai "dokter" juga sebagai peramal. Demikian juga halnya di Desa Saran Padang masih meyakini berbagai upacara religi. Walaupun Di Desa Saran Padang ini sudah menganut agama modren namun penduduknya masih mempercayai atau melakukan ritual kepercyaan kuno, seperti melakukan upacara nengget untuk masyarakat karo.

2.2. Erpangir Ku Lau

Erpangir ku lau berasal dari kata pangir, yang berarti langir, oleh sebab itu erpangir artinya adalah berlangir. Pada tulisan ini penulis tidak membahas pengertian berlangir dalam keadaan biasa, misalnya : seperti mencuci rambut atau

(29)

keramas. Akan tetapi arti erpangir dalam upacara religius menurut kepercayaan tradisional Karo. Jadi, erpangir adalah suatu upacara religius berdasarkan kepercayaan tradisional suku Karo ( pemena ), dimana seseorang/keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan/tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu. Pada masa lalu Kebudayaan Erpangir Ku Lau merupakan kegiatan Sakral bagi masyarakat Suku Karo, yaitu mandi ke sungai dengan memberi sesajen agar kelak di kemudian hari diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Acara erpangir ku lau samapi saat ini masih ada di beberapa tempat yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan, membuat nama anak dan menolak penyakit yag dibuat oleh roh -roh jahat.

Erpangir merupakan suatu teknik penyembuhan pada orang Karo yakni penyembuhan yang dilakukan dengan upacara yang di dalamnya mengakup kesurupan, iringan mysik tradisional, nyanyian, penggunaan mantra, dan memberikan ramuan dibagian tubuh. Erpangir berfungsi untuk menolak bala atau menolak mara bahaya yang menimpa suatu keluarga atau individu. Adapun jenis bala yang ditolak dalam upacara erpangir ku lau ini adalah:

1) Berasal dari luar individu, yaitu perbuatan seseorang iri hati terhadap individu tersebut yang mungkin karena konflik atau masalah tertentu dan mungkin karena adanya gangguan dari mahluk halus.

2) Berasal dari diri individu itu sendiri, yaitu karena kelalaian-kelalaian dari individu. Sebagai contoh misalnya individu tersebut berguru kepada seseorang untuk memperoleh ilmu kekebalan tubuh. Kenyataannya yang diberikan oleh guru tempatnya berguru tersebut bukan hal yang baik

(30)

sehingga tubuhnya tidak dapat menerima ilmu tersebut dan menjadikannya sakit.

Selain fungsinya sebagai penolak bala, erpangir juga berguna untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam menyembuhkan penyakit erpangir tidak dapat dipisahkan dari praktek-paraktek penyembuhan yang ada pada masyarakat Karo.

2.2.1. Alsan-alasan Erpangir

Ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan upacara erpangir. Adapun alasan-alasan itu, adalah :

a) Upacara Terima Kasih Kepada Tuhan Atau Dibata

Dalam hal ini erpangir sebagai upacara terima kasih dan syukur kepada Dibata (Tuhan) yang telah memberikan rahmat tertentu. Misalnya : memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya.

b) Menghindarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi.

Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangir sebagai upaya untuk menghindarkan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat atau suatu mimpi yang buruk, atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.

c) Menyembuhkan suatu penyakit .

Erpangir adakalanya juga diadakan sebagai upaya untuk mengobati suatu jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang diserang oleh begu atau roh jahat.

(31)

Erpangir juga dilakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, misalnya agar cepat mendapatkan jodoh, mendpat keberuntungan, memperoleh kedudukan yang baiak, dan lain sebagainya.

2.2.2. Jenis-jenis Erpangir

Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis berdasarkan besar kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis upacara ini terkait dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat dalam upacara tersebut dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga berpengaruh kepada tempat pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini tidak sepenuhnya dipakai khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa kegiatan erpangir ku lau merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya kegiatan erpangir ku lau diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan, dan sebagainya. Jadi sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah pengelompokan berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk upacara erpangir ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk yang paling kecil, yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Adapun jenis-jenis dari upacara erpangir ku lau ini adalah :

1. Pangir Selamsam

Pangir Selamsam adalah suatu pangir yang paling kecil, pangir Selamsam biasanya disebut juga sebagai kerja singuda karena jenis upacaranya lebih kecil dan singkat, dimana peralatannnya hanya terdiri dari : rimo (jeruk purut), baja (getah kayu besi), minyak kelapa, dan sebuah mangkuk putih untuk tempat pangir. Pertama-tama mangkuk diisi dengan air putih, kemudian belah jeruk purut dan peras ke dalam mangkuk, lalu masukkan baja dan minyak ke dalam mangkuk

(32)

tersebut, maka pangir sudah jadi. Pangir selamsam ini biasanya dilakukan karena mendapat mimpi buruk. Upacara ini biasanya cukup dihadiri oleh sangkep nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga yang paling dekat saja, dimana peranan masing-masing individu tersebut sangat penting dalam proses adat yang berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu sedalanen seperti kalimbubu, anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat.

Dalam upacara pangir Selamsam ini, biasanya hewan yang disembelih cukup hanya hewan yang berkaki dua saja, misalnya ayam. Waktu dan pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada saat hari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari.

2. Pangir Sintengah.

Pangir sintengah adalah suatu sebutan untuk pesta atau upacara yang sifatnya menengah. Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang termasuk dalam kategori kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga melibatkan unsur-unsur sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota kerabat yang terlibat dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir melibatkan seluruh kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung. Namun dalam kerja sintengah unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya kerabat yang memang terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga tertentu. Hal inilah yang menyebabkan sehingga upacara ini dinamakan kerja sintengah.Hewan yang disembelih dalam upacara ini juga biasanya hewan yang berkaki empat, hewan yang dimaksud berkaki empat dalam hal ini adalah

(33)

kambing, lembu, babi, dan kerbau. Adapun perlengkapan yang diperlukan dalam pangir sintengah ini adalah terdiri dari : penguras, yakni ramuan dari air (air kelapa muda), jeruk purut, baja, minyak kelapa.

a. Empat jenis jeruk, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada.

b. Kudin taneh (kuali yang terbuat dari tanah), sebagai tempat penguras (pangir).

c. Dilakukan di lau sirang (di tempat air mengalir terbelah menjadi dua aliran).

d. Memakai pertolongan guru. 3. Pangir Mbelin (Agung)

Pangir mbelin disebut juga sebagai kerja (Pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu). Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya seperti memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut, dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan

(34)

peranan masing-masing dalam setiap upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari. Meskipun pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau dilangsungkan di Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di sungai.

Dalam kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang relatif kecil, yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang yang lebih besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini juga diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut. Dalam pelaksanaan pangir ini juga memerlukaan peralatan-peralatan sebagai berikut :

a. penguras

b. tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada

c. wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir). d. Dilakukan di lau sirang.

e. Diletakkan di atas sagak (corong bambu) dan disampingnya diberi janur (lambe).

f. Pada zaman dahulu jenis ini pangir diikuti dengan bunyi senapan. g. Erkata gendang (memakai alat musik Karo).

Pada umumnya setiap pangir, selalu dimantrai (itabasi) atau disebut imangmangi, tabas (mantra) ini biasanya diucapkan oleh guru dengan menembangkannya atau dinyanyikan. Tabas ini dipercayai mempunyai kekuatan magis untuk mempengaruhi atau menyembuhkan penyakit tertentu. Tabas (mantra) dalam bahasa Karo, dimulai dengan berbagai jenis kata pembukaan.

(35)

2.2.3. Peralatan dan makna peralatan dalam pelaksanaan erpangir ku lau Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melakukan upacara ku lau adalah : a. Lau (sungai)

Untuk melakukan upacara erpangir ku lau mutlak membutuhkan lau (sungai), karena bagi orang Karo pelaksanaan upacara ini harus di air yang mengalir. Air mengalir ini juga mempunyai makna membawa hal-hal yang tidak baik dalam tubuh seseorang. Sungai ini sendiri berbagai macam bentuknya, ada di sungai yang mengalir tunggal, ada di sungai yang membentuk beberapa anak sungai, dan ada juga yang dilakukan di sungai yang sudah dibangun menjadi tempat khusus sebagai tempat erpangir.

b. Pangir (air keramas untuk ritual)

Bahan utama pangir ini biasanya adalah rimo mukur (jeruk purut) dan lau (air), dan bahan-bahan dedaunan khusus yang diambil dari hutan, serta minyak wangi. Minyak wangi yang digunakan biasanya adalah minyak wangi cap air mata duyung. Banyaknya air pangir ini tergantung berapa banyak yang hendak ipangiri atau yang mau dikeramasi secara ritual. Biasanya pangir ini ditaruh dalam mangkuk mbentar atau mangkok putih yang terbuat dari bahan porselen dengan ukurannya relative kecil saja kira-kira seukuran dengan mangkok bakso. Namun apabila yang hendak erpangir berjumlah banyak, maka jumlah jeruk purut dan air yang dibutuhkan juga cukup banyak, maka tempat pangir ini juga biasanya di buat di dalam ember.

c. Guru (pembimbing atau pemimpin ritual).

Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar sampaii kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat

(36)

penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia. Dalam erpangir yang relative kecil, misalnya yang hanya dilakukan individu-individu saja, misalnya acara erpangir untuk membersihkan tubuh karena ada roh-roh tertentu yang berdiam dalam dirinya sebagai pelindung, misalnya begu jabu, maka kehadiran guru dalam acara erpangir tidaklah terlalu penting. Acara erpangir cukup dilakukan sendiri saja, karena dia sendiri telah mengerti apa permintaan roh-roh atau spirit yang ada dalam tubuhnya itu. Hal ini juga karena sebelumnya juga dia sudah melalui proses ipangiri oleh guru, sehingga dia juga dapat melakukan erpangir bagi dirinya

d. Gendang Karo (musik pada masyarakat Karo)

Gendang Karo yang dimaksud disini adalah perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring dalam pelaksanaan upacara tersebut. Orang Karo selalu menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Oleh sebab itu pada masyarakat Karo kata gendang tersebut mempunyai makna jamak. Setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut sesuai dengan konteksnya, yaitu: (1) gendang sebagai nama lagu: (2) gendang sebagai ensambel musik; (3) gendang sebagai instrument musik; (4) gendang sebagai repertoar; dan (5) gendang sebagai upacara. Gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku

(37)

lau adalah gendang sebagai ensambel musik. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen, yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrument musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu gitar tradisional Karo dengan senar dua buah dengan interval kwint; (2) keteng-keteng, yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas bamboo betung, dan dari badan bamboo itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3) mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih. Disamping ensambel musik gendang telu sedalanen tersebut, sering juga digunakan gendang blobat.

e. Si man pangiren (orang yang diupacarakan).

Siman pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan atau kemalemen ate.

f.Belo cawir

Belo cawir adalah sebutan untuk sirih yang sempurna, dalam arti daun sirih yang paling bagus. Sirih yang disebut cawir adalah tidak mempunyai robekan di daunnya, tidak berwarna bintik-bintik hitam, tidak daun sirih muda, tetapi cukup “tua”. Sirih yang bagus juga, serat sisi belakang daunnya biasanya berwarna ke merah-merahan, apabila warnanya hijau, maka itu tidak dikategorikan sebagai sirih, tetapi disebut gatap. Selain itu daun sirih ini juga

(38)

dilengkapi dengan perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan, yaitu mbako tabeh (tembakau), mayang (pinang yang sudah dibelah), kapur dan gamber (gambir). Kadang-kadang juga dibutuhkan rokok, rokok ini biasa sebagai persembahan kepada roh-roh yang diyakini datang di tempat upacara. Biasanya rokok tersebut dihisap oleh sang medium atau guru. Dan ini pertanda bahwa roh tersebut telah datang di tempat upacara. Sirih dan rokok seperti inilah yang dibutuhkan sebagai salah satu perlengkapan upacara erpangir ku lau. Orang yang mau dipangiri atau anggota kerabatnya juga biasanya memberikan belo cawir tersebut kepada sang guru untuk meminta tolong agar dibantu dan melaksanakan upacara erpangir tersebut.

g. Cimpa

Cimpa adalah kue tradisional khas karo yang terbuat dari tepung ketan di campur dengan gula. Cimpa ini biasa sebagai makanan, namun juga dapat dijadikan sebagai persembahan kepada roh-roh tertentu yang dianggap sakral dan keramat.

2.2.4. Waktu dan tempat pelaksanaan.

Untuk melakukan upacara erpangir ku lau, terlebih dahulu harus dirembukkan dengan guru si meteh wari telu puluh, yaitu dukun yang mengetahui hari yang baik dan buruk, yang mengetehaui kapan pelaksanaan upacara tersebut yang paling baik dilaksanakan sehingga hasilnya juga diharapkan baik. Pada masyarakat Karo hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir dapat dilihat berdasarkan sistem penanggalan orang Karo sendiri. Tidak semua hari dapat dijadikan sebagai hari untuk melakukan upacara erpangir. Namun ada hari-hari tertentu yang diyakini sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir

(39)

(berkeramas). Masyarakat Karo mempunyai sistem penanggalan sendiri yang disebut wari-wari Karo kelender Karo. Dalam Sistem penanggalan ini satu tahun dibagi menjadi dua belas bulan, satu bulan (paka) dibagi tiga puluh hari, satu hari dikelompokkan lagi menjadi bagian-bagian terkecil lagi yang tidak hanya mengenal malam, pagi, siang, sore dan malam, namun lebih rinci dari jam per jam. Berdasarkan hari-hari yang ada maka hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir adalah :

(1). Nggara si mbelin (2). Adatia turun

(3). Beras pati tanggkep (4). Cukera dudu (lau) (5). Belah purnama raya (6). Nggara enggo tula (7) Aditia turun

Ketujuh hari tersebutlah merupakan hari yang baik menurut kepercayaan sidekah atau kepercayaan orang zaman dulu kala, sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir Tempat upacara erpangir ku lau tergantung kepada jenis upacara itu sendiri. Jika upacara ini merupakan upacara kerja sintua, maka kegiatan erpangir sendiri biasanya dilaksanakan di sebuah sungai atau di sebuah tempat di luar kampung yang telah ditentukan, tetapi upacara selanjutnua biasanya diadakan di jambur (balai pertemuan).

2.2.5. Peserta Upacara.

Yang dimaksud peserta dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang terlibat dalam upacara erpangir ku lau tersebut. Yang menjadi peserta tentunya

(40)

adalah tergantung kepada jenis upacara yang dilakukan, besar kecilnya. Ini berdampak kepada siapa-siapa saja yang akan terlibat di dalamnya selain orang yang akan dipangiri. Jika upacara erpangir ku lau upacara kerja sintua maka seluruh kerabat dan orang-orang kampung biasanya akan ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun jika erpangir ku lau dalam skala yang relative kecil, misalnya kerja singuda maka biasanya yang terlibat hanya kerabat-kerabat dekat saja. Demikian juga jika erpangir dilakukan oleh individu-individu karena mempunyai silengguri, yaitu jinujung yang hubungannya lebih bersifat pribadi, maka pesertanya cukup individu yang mempunyai jinujung itu sendiri. Dan pelaksanaannya juga cukup singkat saja, bahkan lebih rahasia, dan tidak diketahui oleh masyarakat luas. Pelaksanaannya pun biasanya malam hari pada saat bulan purnama dan sebagainya.

2.2.6. Pelaksanaan upacara erpangir ku lau.

Upacara erpangir ku lau biasanya dilakukan pada pagi hari, atau disebut juga nangkih-nangkih matawari dalam bahasa Karo (naik-naik matawari) berangkat dari rumah ke sungai. Anak beru dari orang yang akan melaksanakan upacara tersebut membawa segala peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara tersebut. Tiba di sungai anak beru menggelarkan tikar untuk orang yang akan dipangiri sebagai tempat duduk. Beberapa anak beru yang lain membuat anjab (suatu tempat persembahan) yang terbuar dari bambu dengan kaki pencagak sebanyak tiga buah, sehingga berbentuk meja yang berbentuk segitiga. Sedangkan guru atau dukun membuat cagak (suatu tempat berdoa) dengan membuat gundukan pasir sungai sebesar mangkok porselin, kemudian ditancapkan sebuah

(41)

ranting kayu di pasir tersebut untuk tempat kepitan sirih dan diatasnya dan disebelahnya diletakkan mangkok berisi air ramuan jeruk purut.

Letak cagak dan ajab berdekatan, diatas ajab diletakkan berbagai jenis persembahan untuk roh-roh gaib antara lain : ayam, makanan, sirih, kelapa muda, dan kain putih. Kemudian guru membungkus kepalanya dengan kain putih dan berdiri menghadap cagak dengan tangan mengapit sehelai sirih dalam posisi menghormat sambil mengucap kata-kata persembahan kepada ro-roh gaib. Setelah itu guru meminpin upacara kemudian memotong jeruk dengan berbagai bentuk potongan yang kemudian dimasukkan kedalam sebuah baskom plastik yang berisi air yang diambil anak beru dari sungai. Setelah campuran air jeruk (pangir) selesai guru menyiram kepala yang akan dipangiri tersebut. Setelah selesai dipangiri orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut juga diberi kesempatan untuk meminum air pangir, dan setelah acara erpangir selesai maka bersiap-siap untuk kembali ke rumah. Saat mereka tiba di rumah mereka sudah disambut dengan gendang.

2.3.Upacara Tolak Bala

Upacara Tolak Bala sebagai upacara tradisional, merupakan bagian dari kebudayaan, yang melibatkan seluruh warga masyarakat pendukungnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tolak bala berhubungan dengan lingkaran aktivitas mata pencaharian npenduduk setempat, terutama menyangkut pertanian yang erat kaitannya dengan saat-saat tertentu pada musim menanam atau musim panen. Upacara tolak bala berasal dari kata “tolak” yang berarti kegiatan yang dilakukan manusia untuk menolak, mencegah, atau

(42)

menangkal segala bencana. Sedangkan kata “bala” ialah malapetaka atau bencana alam lainnya yang menimpa kehidupan warga masyarakat seperti wabah penyakit baik terhadap manusia, ternak maupun tanaman penduduk. Jadi pengertian tolak bala adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat setempat dalam upaya menolak, melenyapakan atau penawar bencana yang menimpa warga masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan setelah melakukan upacara tolak bala ini akan kembali tenang dan tentram serta hasil pertanian penduduk desa yang melaksanakan upacara tolak bala ini akan mendapatkan hasil yang baik juga. 2.3.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Tolak Bala

Pelaksanaan upacara tolak bala ini tidak terlepas dari sistem mata pencaharian penduduk yang sebagian besar bertani. Upacara tolak bala ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan dalam pelaksanaanya seluruh anggota masyarakat ikut ambil bagian dalam pelaksanaan upacara ini. biasanya pelaksanaan upacara ini diadakan pada tempat-tempat pintu masuk kampunng yang mempunyai simpang empat atau pada jalan utama masuk ke desa. Kepercayaan yang terkandung dalam upacara tolak bala ini merupakan kepercayaan tradisional, yang masih kuat pada masyarakat yang dilaksanakan untuk keselamatan kampung, menagkal wabah penyakit, dan meminta pertolongan pada kekuatan adikodrat agar mendapat rezeki.

Latar belakang dilaksanakannya upacara tolak bala berhubungan dengan alam kepercayaan mereka, bahwa ada sesuatu yang harus mereka laksanakan agar hasil dari pertanian mereka mendapatkan hasil yang baik. Dengan masukkya inovasi pertanian, teknik tradisional mulai ditinggalkan masyarakat, maka

(43)

orientasi masyarakat desa adalah meningkatkan hasil produksi pertanian sekaligus meningkatkan sistem perekonomian masyarakat.

2.3.2. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Tolak Bala

Sebagaimana lazimnya penyelenggaran upacara diperlukan persiapan dan perlengkapan upacara. Hal ini antara lain menyangkut petugas pelaksana upacara, pemberitahuan dan tempat pelaksanaan upacara tolak bala tersebut, serta alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut yang kesemuanya ini perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Musyawarah pelaksanaan upacara tolak bala ini biasanya diadakan pada pagi hari, hal ini dilakukan karena menurut kepercyaan penduduk desa dan pengetua-pengetua adat, apabila suatu pekerjaan itu dimulai pada saat matahari naik atau pada saat pagi hari maka akan membawa hasil yang baik. Demikian juga halnya pada upacara tolak bala ini hari pelaksanaanya tergantung pada hasil kesepakatan bersama dalam musyawarah. Pelaksanaan upacara tolak bala diadakan setelah satu minggu musyawarah tersebut, dan penetapan upacara tolak bala bisanya diadakan pada hari jumat petang sekitar jam 6.45 sore. Waktu penyelenggaraan upacara biasanya dilaksanakan pada saat petani mulai menanam padi.

2.3.3. Tempat Pelaksanaan Upacara Tolak Bala

Upacara tolak bala diadakan pada setiap pintu masuk kampung atau jalan utama masuk desa dan tempat-tenpat pemabndian umum. Alasan mengapa tempat ini yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara tolak bala karena tempat ini perlu dijaga acar roh-roh jahat segera menyingkir keluar dari desa, karena desa tersebut sudah dijaga oleh kekuatan suci dari Tuhan.

(44)

2.3.4. Pelaksana Upacara Tolak Bala

Adapun pelaksana dari upacara tolak bala ini adalah terbagi kedalam dua bagian yaitu pihak pelaksana utama dan pihak pembantu pelaksana upacara. Pihak pelaksana utama ini adalah seorang dukun yang cukup terkenal di Desa terebut, dalam pelaksanaan upacara ini dukun bertugas sebagai pemimpin jalannya upacara mulai dari awal sampai selesainya upacara tersebut. Selain itu upacara ini juga dibuka secara resmi oleh Kepala Desa. Sedangkan untuk pihak pembantu pelaksana terdiri dari orang tua desa atau pengetua adat yang tau banyak mengenai upacara tolak bala ini. dalam hal ini para petani juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam pelaksanan upacara tolak bala, karena dalam hal ini mereka lah yang meminta agar upacara ini dilaksanakan. Dalam upacara ini mereka memohon dan mengharapkan keberhasilan hasil pertanian mereka kepada Tuhan, dan mencegah timbulnya bencana apapun yang dapat mengaggu pertanian mereka.

2.3.5. Pelaksanaan Upacara Tolak Bala

Sebelum upacara dimulai dilakukan terlebih dahulu persiapan dengan menyusun petugas utama dan pembantu dalam penyelenggaraan upacara dan sekaligus membagi tugas apa yang harus dikerjakan dan apa-apa saja yang harus disediakan oleh masing-masing pihak. Setelah selesai pembagian tugas maka hari pelaksanaan upacara ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Tepat pada hari yang telah ditentukan maka seluruh warga dan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagi pelaksana upacara datang ke tempat pelaksanaan upacara.

Upacara tolak bala ini diawali dengan pembacaan doa setelah pembacaan doa ini selesai maka para petani membawa segala jeis hasil pertaniannya dan

(45)

ditaruh di tengah tempat upacara untuk didiakan, dan hadirin yang lainnya yang punya maksud lain dan harapan mereka ingin dikabulkan juga boleh turut membawa sesajen lain. Setelah acara doa pembukaan selesai, lalu para pemuka Desa terdiri dari para orang tua kampung yang sudah mengerti banyak tentang pelaksanaan upacara tolak bala mulai menyalakan obor dan membakar kemenyan dan merangkaikan tujuh kembang dan jeruk purut kemudian jeruk purut dipotong-potong lalu dimasukkan atau dicampurkan kedalam air dalam guci tanah liat. Maknanya sebagai obat penawar dan penangkal penyakit bagi yang mengusapkannya ke kepalanya. Air ramuan tersebut ditaburkan ke sekeliling tempat upacara berlangsung. Setelah semuanya selesai maka dilanjutkan dengan acara makan bersama, yang sebelumnya telah disediakan oleh kaum ibu dari rumahnya masing-masing secara sukarela. Acara makan bersama ini merupakan ahir dari pelaksanaan upacara tolak bala dan seluruh peserta upacara dapat kembali ke rumah masing-masing.

2.4. Upacara Caburken Bulung (Kawin Gantung)

Kata Caburken Bulung bersal dari dua kata yaitu Caburken dan Bulung, Caburken berarti tebarkan sedangkan bulung berarti daun. Jadi pengertian caburken bulung adalah tebarkan daun atau taburkan daun. Menurut masyarakat Karo upacara ini diberi istilah caburkan bulung karena upacara ini merupakan upacara perkawinan semasa anak-anak sehingga hanya bersifat simbolik saja. Walaupun ada harapan-harapan untuk kelak hidup bersama menjadi suami istri yang sebenarnya, upacara itu sendiri bukannlah merupakan suatu ikatan perkawinan. Dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua orang Karo dapat

(46)

melaksanakannya melainkan hanya orang yang yang bertutur impal4

4

Anak paman, perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat Karo.

saja yang boleh di caburken bulungkan. Upacara ini dianggap sah, namun setelah upacara cabur bulung ini mereka tidak hidup bersama layaknya suami istri. Hal inilah yang dimaksud dengan caburken bulung karena upacara ini diibaratkan dengan menabur daun di tanah, walaupun ditabur sebanyak-banyak mungkin tak akan mungkin tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya sepasang suami istri yang akan membentuk keluarga yang baru.

2.4.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung

Pelaksanannya pada mulanya ditujukan untuk memohon berkat atau pasu-pasu dari pihak kalimbubu. Pihak kalimbubu bagi oarang Karo merupakan pihak yang harus dihormatidan dianggap sebagai Dibata ni idah penjelmaan dari Tuhan yang nampak, jadai mereka harus selalu menghormati kalimbubunya. Selain disebabkan hal di atas upacara caburken bulung juga dapat dilaksanakan karena mimpi buruk tentang si anak. Misalnnya orang tuanya bermimpi anaknya hilang atau kawin dengan orang lain yang tidak dikenal, ataupun mimpi-mimpi lainnya yang dianggap mengganggu ketentraman hidup si anak. Jadi menurut kepercayaan orang Karo, datangnya mimpi buruk merupakan pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Sehingga harus dilaksanakan upacara caburken bulung untuk mengembalikan keadaan semula. Karena secara umum caburken bulung mereka anggap sebagai suatu upaya untuk mengikat tendi (roh) si anak dengan impalnya. Sehingga maut yang selama ini sudah hampir menjemput si anak (karena tendinya sudah pergi) tak akan berhasil karena tendinya sudah diikat dengan impalnya (seseorang yang dianggap lebih ideal dan berhak untuk mengawininya).

(47)

2.4.2. Waktu dan Pelaksana Upacara Caburken Bulung

Waktu merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, pemilihan waktu yang tepat akan membuat sesuatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang menjadi tujuan pelaksanaan akan tercapai. Sebaliknya pelaksanaan yang dilakukan tanpa perhitungan waktu akan kurang membawa hasil atau bahkan mungkin bisa menjadi sesuatu yang tak punya arti apa-apa. Waktu pelaksanaan upacara caburken bulung ini biasanya dilaksanakan pada hari budaha ngadep, karena hari ini dianggap hari yang baik dan akan membawa keberuntungan serta memberikan berkat.

Pelaksanaan upacara ini biasanya disarankan oleh orang tua dari anak yang sakit ataupun orang tua yang mengalami mimpi buruk. Waktu pelaksanaan upacara caburken bulung ditentukan oleh guru si meteh wari si telu puluh (guru yang tahu memilih hari baik diantara 30 hari yang ada). Pelaksanaan upacara caburken bulung dilakukan di rumah kalimbubu, hal ini dikarenakan karena pihak kalimbubu adalah pihak yang harus dihormati. Namun apabila pelaksanaan upacara ini dilakukan dengan mengundang semua kerabat jauh dan dekat (sangkep nggeluh) maka pelaksanaanya dilakukan di jambur (balai Desa). Pihak-pihak yang hadir dalam pelaksanaan upacara caburken bulung ini asalah, anak beru sebagi pihak dari laki-laki, kalimbubu, dan kerabat dekat lainnya yang mempunyai peranan penting dalam upacara ini.

2.4.3. Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung

Setelah semua kerabat yang di undang datang maka pelaksanaan upacara caburken bulung ini sudah dapat dimulai. Kedua anak yang akan dicaburken bulung tersebut mengenakan pakaian adat Karo sama halnya seperti pakaian adat

Referensi

Dokumen terkait

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan sistem kekerabatan pada upacara Erdemu bayu pada masyarakat Karo, struktur upacara Erdemu bayu pada masyarakat Karo, serta

Herlina : Makna Antarpersona Dalam Teks Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Karo, 2007 USU Repository © 2008... Herlina : Makna Antarpersona Dalam Teks Upacara Perkawinan

Secara geografis masyarakat karo terbagi berdasarkan dua wilayah,yaitu antaranya, karo gugung dan karo jahe.Namun dalam kontekss upacara kedua suku karo ini tetap juga

Nilai budaya dalam leksikon erpangir ku lau tradisi suku Karo mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai keharmonisan dan kedamaian, (2) nilai kesejahteraan, (3)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada awalnya masyarakat suku Karo menganut kepercayaan Pemena kemudian beralih menjadi Kristen setelah

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu Mengetahui dan mendeskripsikan mitos, makna denotatif dan makna konotatif yang terdapat di dalam tradisi upacara adat Karo

Penggunaan ensambel musik tradisional dalam upacara-upacara adat masyarakat Karo akan dijelaskan berdasarkan konteks upacara masyarakat Karo secara umum, yaitu upacara