• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECEMASAN ADANYA GEGER BUDAYA PADA ELITE PASKA DITETAPKANNYA TANJUNG LESUNG MENJADI KAWASAN EKONOMI KHUSUS ( KEK ) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KECEMASAN ADANYA GEGER BUDAYA PADA ELITE PASKA DITETAPKANNYA TANJUNG LESUNG MENJADI KAWASAN EKONOMI KHUSUS ( KEK ) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Konsentrasi Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi

Oleh:

Riska Monica Putri 6662112279

KONSENTRASI JURNALISTIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Sesuatu akan menjadi kebanggaan

Jika sesuatu itu di kerjakan

Dan bukan hanya di fikirkan,

Sebuah cita

cita akan menjadi kesuksesan

Jika kita awali dengan bekerja untuk mencapainya,

(6)

DITETAPKANNYA TANJUNG LESUNG MENJADI KAWASAN EKONOMI KHUSUS ( KEK )

(7)

OF TANJUNG LESUNG SPECIAL ECONOMIC ZONE (SEZ)

Post-enactment of the tourist area of Tanjung Lesung as Special Economic Zones (SEZ) are the pros and cons of some among them academics, students, scholars and urban planning expert. Most authorities consider the establishment of Tanjung Lesung as KEK is a progress for the province of Banten and also can stimulate the economy, especially the people of Banten residents around Tanjung Lesung own. Partly considers the establishment of Tanjung Lesung as KEK are in a hurry and do not see the sociocultural aspects of the community around the area of Tanjung Lesung. The impact of the establishment of Tanung Dimples as KEK include rallies dilansakanakan the scholars throughout Banten who demanded the government to postpone the inauguration of KEK Tanjung Dimples because the process does not involve ulama audience. In this study, researchers using the theory of communication barriers between cultures and also the theory of social anxiety. In this study, the authors use descriptive qualitative research method with a phenomenological approach. The results showed that the psychological barriers become the bottleneck of the most influential in the process of communication between managers KEK with scholars who rejected KEK. In addition, physical barriers such as access to Tanjung Lesung away and also good road conditions makes it difficult to be effective communication between parties involved in the construction of the pros and cons of SEZ.

(8)

vii

berlimpah kepada Allah Subhanahuwwata’ala atas rahmat dan karunia-Nya

karena penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “ KECEMASAN

ADANYA SHOCK CULTURE PADA MASYARAKAT YANG

DITETAPKANNYA TANJUNG LESUNG MENJADI KAWASAN EKONOMI KHUSUS ( KEK ). Tidak lupa juga salawat serta salam penulis junjungkan

kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta para sahabatnya,

semoga rahmat dan karunia-Nya selalu dilimpahkan kepada-Nya. Skripsi penulis selesaikan yaitu untuk memenuhi tugas akhir yang diadakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu social dan Ilmu Politik di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjalanan dan proses yang sudah penulis lewati cukup

tidak mudah. Namun atas ijin Allah Subhanahuwwata’ala serta doa yang selalu

dipanjatkan, bimbingan serta dukungan yang penulis terima langsung maupun tidak dari semua pihak yang terlibat.oleh karena itu,penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain kepada :

1. yang pertama kepada orang tua yang penulis sayangi mamah, papah, nenek, dan kakek yang selalu mendukung lewat doa yang tidak pernah henti untuk saya pribadi.

(9)

viii

4. Bapak Ikhsan Ahmad, S.IP, M.Si selaku dosen pembimbing I yang begitu sabar dalam membimbing penulis dari awal hingga akhir.

5. Bapak Dr. Ing Rangga Galura Gumelar, M.Si selaku dosen pembimbing ke II yang sangat telaten dan detail dalam merevisi kesalahan-kesalahan dalam penulisan skripsi sehingga pada akhirnya benar.

6. Keluarga kecil suami dan calon anakku yang masih dalam kandungan terimakasih telah menemani perjalanan dan proses untuk mendapatkan gelar yang penulis perjuangkan untuk kalian berdua .

7. Para sahabat saya ceca yang selalu mendukung dari sejak awal saya masuk di bangku kuliah hingga makan, tidur, kita lakukan bersama-sama walaupun pada akhirnya mereka satu persatu lulus dukungan mereka tetap dating dan diberikan pada saya. Terimakasih ya Atang, Carlina, Khaerinisa, Dona, Reiza, Vina, Icha, Emak dessy, Cindy, Delia, Isal, Indri dan Rike.

8. Teman-teman satu kelas saya yang satu dalam berjuang bersama Yuda, Eki, Anton, Beni, Sabrina, Lena, Isti, Ibos, Novi, Okta, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

9. Serta semua pihak staf fakultas dan diluar kampus yang juga tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu .

Semoga semua yang kalian berikan kepada penulis dengan tulus dan Ikhlas

(10)

ix

(11)

x DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

LEMBARAN MOTO ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Identifikasi Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Kegunaan Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tinjauan Komunikasi Antar Budaya ... 10

2.1.1 Pengertian Komunikasi Antar Budaya ... 10

2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Budaya ... 12

2.1.3 Fungsi Komunikasi Antar Budaya ... 13

2.1.4 Pendekatan Komunikasi Antar Budaya ... 15

(12)

xi

2.2 Kecemasan ... 18

2.2.1 Pengertian Kecemasan ... 18

2.2.2 Faktor-faktor penyebab Kecemasan ... 20

2.2.3 Jenis-jenis Kecemasan ... 21

2.3 Geger budaya ... 23

2.4 Kawasan Ekonomi Khusus ... 31

2.5 Elite Masyarakat ... 36

2.6 Kerangka Berpikir ... 37

2.7 Penelitian Sebelumnya ... 39

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 42

3.1 Metode Penelitian ... 42

3.2 Paradigma Penelitian ... 43

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.3.1 Studi Pustaka ... 44

3.3.2 Wawancara ... 45

3.3.3 Observasi ... 45

3.4 Narasumber ... 46

3.5 Teknik Analisis Data ... 47

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 50

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 50

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 51

(13)

xii

4.2.2 Hambatan Psikologis Pada Masyarakat KEK ... 54

4.2.3 Hambatan Fisik Pada Masyarakat KEK ... 57

4.2.4 Hambatan Budaya Pada Masyarakat KEK ... 60

4.3 Analisis Data ... 63

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

5.1 Kesimpulan ... 90

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

4.2.1 Hambatan Teknis Pada Masyarakat KEK ... 52

4.2.2 Hambatan Psikologis Pada Masyarakat KEK ... 56

4.2.3 Hambatan Fisik Pada Masyarakat KEK ... 60

(15)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Pandeglang merupakan kabupaten yang memiliki potensi sangat baik dalam hal obyek wisata alam, religi, sejarah, serta seni budayanya. Potensi wisata tersebut harus dikembangkan dan dilestarikan sesuai perkembangan zaman pada saat ini serta mengikuti selera wisatawannya. Upaya dipromosikannya potensi wisata ini agar bisa membangkitkan dan menggerakan masyarakat umum untuk datang berkunjung menikmati keindahan panorama alam, pegunungan, maupun wisata alam lainnya yang tersedia di Kabupaten Pandeglang.

Disamping itu Kabupaten Pandeglang juga mempunyai tata letak geografis yang sangat strategis karena berdekatan dengan Ibu Kota Negara dan ibukota Provinsi Banten, Berdasarkan data dari Google Maps, jarak antara Kabupaten Pandeglang dan DKI Jakarta hanya 85 KM dan dapat ditempuh dalam waktu 1,5-2 jam. Hal ini memudahkan bagi para wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata yang berada di Pandeglang, kemajuan dunia wisata bagi Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang sangat penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat pelaku usaha pariwisata.

(16)

Berbicara pariwisata di Pandeglang tidak lepas dari wisata pantai Tanjung Lesung, dengan panorama pantai yang indah juga pasir yang putih yang ada dan terhampar luas. Tanjung Lesung adalah sebuah daerah di Kabupaten Pandeglang yang telah disahkan pada tahun 2012, oleh pemerintah Republik Indonesia di PP No. 26/2012 yang menerangkan tentang Penetapan aturan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung yang di ajukan oleh PT. Banten West Java

Tourism Development Corporation, sebagai badan usaha pengusul dan telah memenuhi kriteria untuk menyelenggarakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung. Selain itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 menjelaskan tentang batas wilayah atau zona untuk menyelenggarakan (KEK) juga para penyelenggara Kawasan Ekonomi Khusus tersebut.

(17)

Saat ini ada delapan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Tanjung Lesung – Banten, Sei Mangkei – Sumatra Utara, Palu – Sulawesi Tengah, Bitung – Sulawesi Utara, Mandalika – NTB, Morotai – Maluku Utara, Tanjung Api Api – Sumatra Selatan, dan yang terakhir Maloi Batura – Trans Kalimantan/MBTK – Kalimantan Timur. Dari 8 ( delapan ) KEK tersebut, yang sudah mulai beroprasi yaitu KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Lesung.

Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung melalui BAPPEDA (Badan Perencanaan Daerah) yang bekerjasama dengan PT. Banten West Java Tourism Development Corporation Telah mengupayakan adanya sosialisasi yang diberikan kepada khalayak yang di tujukan kepada masyarakat di Daerah Tanjung Lesung. Penyuluhan yang sudah beberapa kali telah dilaksanakan, dan sosialisasi pertama kali yang dilangsungkan pada tanggal 26 April 2012 di Op Room Sekretariat Daerah Kabupaten Pandeglang, yang dimana sosialisasi ini melibatkan peserta dari Badan, Dinas serta Kantor Pemerintahan yang berada di kabupaten Pandeglang. Tahapan awal sosialisasi yang di lakukan oleh pihak pemerintah Kabupaten Pandeglang belum mengarah kepada masyarakat setempat.

(18)

oleh Bupati, Sekretaris Daerah, SKPD Terkait, MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan), MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Pandeglang, Unsur Perguruan Tinggi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Lembaga Kepemudaan, tokoh masyarakat dan perwakilan warga desa.

Pada umumnya, sosialisasi – sosialisasi yang di lakukan oleh pemerintah Kabupaten Pandeglang dan PT. Banten West Java Tourism Development Corporation adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus ( KEK ) Tanjung lesung, Selain itu juga Membangun kesepahaman antar stake holder tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Tanjung Lesung.

Sebagai upaya diserminasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Tanjung Lesung; Menginformasikan tujuan, sasaran, manfaat dan perkembangan progres rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah dalam mendukung pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Tanjung Lesung Mendayaupayakan peran serta para penyuluh di Kabupaten Pandeglang sebagai upaya penguatan kapasitas sumber daya manusia.

(19)

dilakukan oleh Kesultanan Banten dan beberapa ulama Banten ini terkait adanya ke khawatiran yang di anggap akan merusak moral dan akhlak masyarakat dengan Banten yang terkenal Religius. Geger budaya dari segi religious inilah yang di khawatirkan oleh Kesultanan dan ulama Banten yang akan masuk lebih utama pada masyarakat Banten.

Selain surat terbuka, penolakan – penolakan tersebut juga dilakukan dengan cara berdemonstrasi. Berdasarkan berita yang dirilis oleh fesbukbantennews.com pada tanggal 23 Februari 2015 lalu, para ulama, kyai dan kenadziran Banten melakukan aksi demonstrasi dalam rangka menolak diresmikannya Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Berikut adalah kutipan pernyataan KH. Yusuf Al-Mubarok, juru bicara dewan ulama se-Banten berdasarkan berita fesbukbantennews.com1

“harus tau KEK ini peruntukannya untuk apa. Karena investor ini

banyak negatifnya. Jangan sampai nelayan kewalahan dengan usahanya dan jangan sampai pribumi hanya menjadi kacung di daerahnya sendiri”

Berdasarkan berita fesbukbantennews.com, para ulama dan kyai tersebut tidak diikutsertakan dalam musyawarah terkait peresmian Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sehingga menurut mereka harus dilaksanakan renegosiasi agar seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam penyelenggaraan Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Dalam pengertian yang umum elite itu menunjuk sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih yang khusus

1

(20)

dapat diartikan sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan. Dalam cara pemakaiannya

yang lebih umum elite dimaksudkan: “posisi di dalam masyarakat di puncak

struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran, dan pekerjaan-pekerjaan dinas”.

Dalam suatu kehidupan sosial yang teratur, baik dalam konteks luas maupun yang lebih sempit, dalam kelompok heterogen maupun homogen selalu ada kecenderungan untuk menyisihkan satu golongan tersendiri sebagai satu golongan yang penting, memiliki kekuasaan dan mendapatkan kedudukan yang terkemuka jika dibandingkan dengan massa.

(21)

Penulis juga mencari referensi lain tentang sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Tanjung Lesung atas penetapan daerahnya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Dan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan judul “Perencanaan strategi Humas Pemprov Banten pasca ditetapkannya

KEK Pariwisata Tanjung Lesung, Pandeglang”2

karya Iman Mukhroman dan Rangga Galura Gumelar penulis melihat bahwa berdasarkan penelitian tersebut Humas Pemprov Banten belum memiliki rencana strategis dan belum memahami rencana taktik PR dalam meminimalisir sisi negative dan menjadi control terhadap SKPD terkait dalam peningkatan dan pengembangan KEK Tanjung Lesung.

Dari masalah geger budaya yang dibuktikan dengan adanya konflik seperti penolakan melalui surat terbuka dan juga demonstrasi oleh beberapa pihak maka penulis menilai ada nya kecemasan yang tibul di masyarakat setelah ditetapkannya Tanjung Lesung menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sehingga penulis mengambil penelitian dengan judul “kecemasan adanya geger budaya pada masyarakat paska ditetapkannya Tanjung Lesung menjadi Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK)”

1.2 Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang permasalahan, maka rumusan masalahnya Kecemasan Adanya Geger budaya Pada Elite Paska Ditetapkannya Tanjung Lesung Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus ( KEK )

2

(22)

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis mengidentifikasikan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana hambatan- hambatan penyampaian pesan atau informasi terjadi karena adanya kecemasan masuknya Geger budaya ke masyarakat Banten?

2. Bagaimana usaha para instansi terkait untuk menindak lanjuti masalah hambatan teknis dalam mensosialisasikan KEK Tanjung Lesung ?

3. Bagaimana usaha para instansi terkait untuk menindak lanjuti masalah hambatan psikologis dalam mensosialisasikan KEK Tanjung Lesung ? 4. Bagaimana usaha para instansi terkait untuk menindak lanjuti masalah

hambatan fisik dalam mensosialisasikan KEK Tanjung Lesung ?

5. Bagaimana usaha para instansi terkait untuk menindak lanjuti masalah hambatan budaya dalam mensosialisasikan KEK Tanjung Lesung ?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana Geger budaya terjadi pada masyarakat yang ditetapkannya Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 2. Untuk mengetahui bagaimana hambatan- hambatan penyampaian pesan

atau informasi terjadi karena adanya kecemasan masuknya Geger budaya

(23)

3. Untuk mengetahui bagaimana usaha para instansi terkait untuk menindak lanjuti masalah penolakan yang dilakukan masyarakat Banten akibat kurangnya penyampaian pesan atau informasi mengenai KEK

4. Untuk mengetahui bagaimana usaha-usaha instansi dalam menanggapi adanya geger budaya pada masyarakat Tanjung Lesung

1.5 Kegunaan Penelitian 1.5.1 Kegunaan Teoritis

Peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusinya untuk bisa menguraikan permasalahan yang timbul di dalam masyarakat Banten mengenai adanya penolakan akibat kecemasan-kecemasan yang dirasakan masyarakat Banten dengan diresmikanya Tanjung lesung menjadi (KEK) Tanjung Lesung.

1.5.2 Kegunaan Praktis

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Komunikasi Antar Budaya 2.1.1 Pengertian Komunikasi Antar Budaya

Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang

bersangkutan dengan akal3. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal ini berarti bahwa seluruh tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kebudayaan karena sangat sedikit tindakan manusia yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar. Bagaimana manusia makan, minum, berjalan, berinteraksi dengan manusia lainnya itu semua berpengaruh pada budaya individu itu sendiri. Ada sarjana lain yang mengartikan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi di mana para partisipan yang berbeda latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan

3

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 hlm 8

(25)

dan perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada dalam situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.

(26)

2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Budaya

Tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi ketidakpastian tentang orang lain. Gudykunst dan Kim4 menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antrapribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap reaksi, yaitu:

 Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun

non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi)

Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang

muncul dari kontak awal tersebut

Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi

dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan seseorang.

Apabila individu dapat mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain maka ia akan mempunyai peluang yang makin besar untuk memahami orang tersebut. Selain tingkat ketidakpastian (uncertainty) maka seseorang akan menghadapi tingkat kecemasan tertentu ketika berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan lain. Kecemasan adalah suatu perasaan yang kurang menyenangkan, tekanan batin, perasaan bersalah atau ragu-ragu tentang orang

4

(27)

yang sedang dihadapi. Kecemasan mengandung suasana emosional yang tidak bersifat kognitif dan perilaku.

2.1.3 Fungsi Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antar budaya, sebagaimana dijelaskan dalam buku Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya karya Alo Liliweri5 bahwa fungsi komunikasi pada umumnya memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai fungsi pribadi yang meliputi identitas sosial, integrasi sosial, kognitif dan melepaskan diri. Serta memiliki fungsi sosial seperti pengawasan, menjembatani, sosialisasi dan menghibur.

Dalam proses komunikasi antar budaya, terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun identitas sosial. Perilaku tersebut dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal maupun non verbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui asal-isil suku bangsa, agama maupun tingkat pendidikan seseorang.

Selain sebagai identitas sosial, komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai integrasi sosial. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antara komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Salah satu contoh integrasi sosial adalah ketika kita menggunakan atribut-atribut yang berasal dari satu kebudayaan ketika kita berada di wilayah mereka. Seperti menggunakan lomar Baduy saatt berada di kawasan suku Baduy.

5

(28)

Komunikasi antarbudaya, sebagai sebuah kajian ilmu sosial tentu menjadi sumber pengetahuan bersama. Kita dapat mempelajari satu budaya dengan berinteraksi dengan masyarakat di budaya tersebut. Saling mepelajari kebudayaan menjadi satu fungsi dari komunikasi antarbudaya agar budaya yang ada dapat dikembangkan dan juga dilestarikan agar tidak hilang keberadaannya.

Fungsi terakhir dari fungsi pribadi komunikasi antarbudaya adalah sebagai jalan keluar. Konsultasi sebagai salah satu bentuk komunikasi menjadi hal yang penting dalam kounikasi antarbudaya. Dengan mempelajari budaya tertentu terkadang kita mendapatkan informasi dan juga inspirasi dari masalah yang kita hadapi.

Selain memiliki fungsi pribadi, komunikasi antarbudaya juga memiliki fungsi sosial salah satunya fungsi pengawasan. Dalam proses komunikasi

antarbudaya, fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan “perkembangan”

tentang lingkungan. Fungsi pengawasan ini biasanya dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam konteks kebudayaan yang berbeda.

Sebagai bentuk komunikasi lintas budaya, komunikasi antarbudaya berfungsi untuk menjembatani perbedaan komunikasi diantara komunikator dan komunikan. Fungsi tersebut terkontrol melalui pesan yang diberikan, tafsir yang digunakan dan makna yang sama.

(29)

lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali tampil perilaku non verbal yang kurang dipahami namun lebih penting daripadanya adalah bagaimana menagkap nilai-nilai yang erkandung dalam gerakan tubuh, gerakan imajiner dan symbol tertentu dalam kebudayaan tersebut.

Fungsi terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah untuk menghibur. Fungsi menghibur juga sering ditampilkan dalam proses komunikasi antarbudaya. Pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya selain berfungsi untuk memberikan gambaran seni, juga memiliki fungsi menghibur orang yang menontonnya. Salah satu bentuk hiburan dalam konteks komunikasi antarbudaya adalah tayangan Srimulat yang popular di layar televise Indonesia.

2.1.4 Pendekatan Komunikasi Antarbudaya

Dalam bahasa teoritis dikenal beberapa pendekatan terhadap komunikasi antarbudaya6, yaitu :

1. Pendekatan psikologis 2. Pendekatan interpretatif 3. Pendekatan kritis 4. Pendekatan dialektikal 5. Pendekatan dialog kultural 6. Pendekatan kritik budaya

Pendekatan psikologi sosial ini sebetulnya lebih didominasi oleh para penganut paham fungsionalis yang menekankan pendekatan yang bersifat etik.

6

(30)

Pendekatan ini memandang bahwa hanya peneliti yang bebas dan berada diluar objek penelitian yang akan menghasilkan kesimpulan yang objektif. Berbeda dengan pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretative mengharuskan peneliti berada di dalam objek penelitian. Asumsi dasarnya adalah bahwa keberadaan dan kehidupan merupakan kontstruksi dari sebuah realitas.

Perbedaan utama dari pendekatan kritis dengan pendekatan yang lain terletak pada macro context yang lebih menekankan pada konteks seperti realitas sosial, politik dan isu-isu ekonomi yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya, dan lebih khusus lagi meneliti hubungan kekuasaan diantara beberapa budaya. Pendekatan yang keempat adalah pendekatan dialektikal. Pendekatan ini merupakan gabungan dari ketiga pendekatan sebelumnya dan berasumsi bahwa sesuatu yang disebut realitas adalah dialektikal.

(31)

2.1.5 Hambatan Komunikasi Antarbudaya

Menurut Hafied Cangara dalam Pengantar Ilmu komunikasi, mengatakan bahwa hambatan komunikasi ialah adanya hambatan yang membuat proses komunikasi tidak berlangsung sebagaimana harapan komunikator pada penerima.7

Hambatan komunikasinya sebagai berikut: 1. Hambatan Teknis

Hambatan teknis terjadi jika salah satu alat digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi pengajaran yang ditransmisi melalui saluran mengalami kerusakan (chanel noise)

2. Hambatan Psikologis

Hambatan psikologis terjadi karena adanya hambatan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan dalam diri individu. Misalnya rasa curiga penerima pada sumber, situasi berduka atau karena gangguan kejiwaan sehingga dalam penerimaan dan pemberian informasi tidak sempurna 3. Hambatan Fisik

Hambatan fisik ialah hambatan yang disebabkan karena kondisi geografis. Misalnya jarak jauh sehingga sulit dicapai, tidak adanya sarana kantor pos, kantor telepon, jalur transportasi dan sebagainya

4. Hambatan Budaya

Hambatan budaya ialah hambatan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam berkomunikasi.8

7

(32)

2.2 Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb dalam artikel Fitri Fauziah & Julianti Widuri9 kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak

8

Ibid hal 156

9

(33)

menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis.

Namora Lumongga Lubis10 menjelaskan bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya.

Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, dan penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut11. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk

2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa

10

Namora L Lubis, Pengantar Psikologi untuk kedokteran, 2009 hal 14

11

(34)

atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut Savitri Ramaiah ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya yaitu :

a. Lingkungan

Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.

b. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.

c. Sebab-sebab fisik

(35)

2.2.3 Jenis-jenis kecemasan

Kecemasan merupakan suatu perubahan suasana hati, perubahan didalam dirinya sendiri yang timbul dari dalam tanpa adanya rangsangan dari luar. Mustamir Pedak12 membagi kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan yaitu:

a. Kecemasan Rasional

Merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek yang memang mengancam, misalnya ketika menunggu hasil ujian. Ketakutan ini dianggap sebagai suatu unsur pokok normal dari mekanisme pertahanan dasariah kita.

b. Kecemasan Irrasional

Yang berarti bahwa mereka mengalami emosi ini dibawah keadaan keadaan spesifik yang biasanya tidak dipandang mengancam.

c. Kecemasan Fundamental

Kecemasan fundamental merupakan suatu pertanyaan tentang siapa dirinya, untuk apa hidupnya, dan akan kemanakah kelak hidupnya berlanjut. Kecemasan ini disebut sebagai kecemasan eksistensial yang mempunyai peran fundamental bagi kehidupan manusia.

Sedangkan Kartono Kartini13 membagi kecemasan menjadi dua jenis kecemasan, yaitu :

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan dibagi menjadi dua kategori yaitu ringan sebentar dan ringan lama.Kecemasan ini sangat bermanfaat bagi

12

Mustamir Pedak, Metode Supernol menaklukan stress, tahun 2009 hlm 30.

13

(36)

perkembangan kepribadian seseorang, karenakecemasan ini dapat menjadi suatu tantangan bagi seorang individu untuk mengatasinya.Kecemasan ringan yang muncul sebentar adalah suatu kecemasan yang wajar terjadi pada individu akibat situasi-situasi yang mengancam dan individu tersebut tidak dapat mengatasinya, sehingga timbul kecemasan. Kecemasan ini akan bermanfaat bagi individu untuk lebihberhati-hati dalam menghadapi situasi-situasi yang sama di kemudian hari.Kecemasan ringan yang lama adalah kecemasan yang dapat diatasi tetapi karena individu tersebut tidak segera mengatasi penyebab munculnya kecemasan, maka kecemasan tersebut akan mengendap lama dalam diri individu.

b. Kecemasan Berat

(37)

berat dan lama akan menimbulkan berbagai macam penyakitseperti darah tinggi, tachycardia (percepatan darah), excited (heboh, gempar).

2.3 Geger budaya

Proses individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam diri individu dan menjadi kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu itu disebut enkulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses dimana budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Individu mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar bukan melalui gen. Enkulturasi terjadi melalui orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan.

Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-invidu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock diperkenalkan oleh seorang antropolog yang bernama Kalvero Oberg pada tahun 1960. Kalvero Oberg memberikan definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut :

(38)

hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.

Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kejutan budaya adalah rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan tidak efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis yang bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap, yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaimana untuk menberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan dimana kita tidak perlu merespon.14

14

(39)

Culture shock adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Culture shock ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotipe dengan cara negative.15

Banyak definisi dari para ahli tentang culture shock, namun pada intinya, peneliti dapat menyimpulan bahwa culture shock adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru dimana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan culture shock sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dan sebagainya.

Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri (personality mal-adjustment) yang

15

(40)

merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sedangkan menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena ia harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan pengharapan budayanya yang lama tidak lagi sesuai. Meskipun gegar budaya sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya (yang identik dengan negara) asing, lingkungan budaya baru yang dimaksud di sini sebenarnya bisajuga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan (sekolah atau universitas) baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan (mertua, ipar, dan sebagainya). Bennet menyebut fenomena yang diperluas ini dengan sebutan transition shock, suatu konsekuensi alamiah yang disebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan baru dan berubah dalam berbagai situasi, seperti perceraian, relokasi, kematian seseorang yang dicintai, dan perubahan nilai yang berkaitan dengan inovasi sosial yang cepat, juga kehilangan kerangka rujukan yang dikenal dalam memasuki budaya lain.

(41)

memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian menimbulkan konflik dalam diri individu, dan menyebabkannya merasa tertekan dan menderita stres. Efek stres inilah yang disebut gegar budaya.

Ketika memasuki suatu lingkungan yang baru, seseorang tidak langsung mengalami gegar budaya. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa tahap. Peter S. Adler mengemukakan lima tahap dalam pengalaman transisional ini: kontak, disintregasi, reintegrasi, otonomi, dan independensi. Tahap kontak biasanya ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan kekagetan, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa. Setelah tahap “bulan

madu” ini, individu mulai memasuki tahap kedua yang ditandai dengan

kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual individu. Individu semakin jengkel, cemas, dam frustasi menghadapi perbedaan budaya itu. Lalu ia pun merasa terasing dan tidak mampu mengatasi situasi yangbaru ini. Kebingungan, keterasingan, dan depresi lalu menimbulkan disintegrasi kepribadian individu ketika kebingungan mengenai identitasnya dalam skema budaya yang baru itu terus meningkat.

(42)

dialaminya tanpa alasan yang jelas. Pada tahap transisi ini, individu akan mencari hubungan dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang sama. Munculnya perasaan negatif ini dapat merupakan tanda akan tumbuhnya kesadaran budaya kita yang baru, kalau seseorang masih bertahan. Kembali ke budaya lama merupakan pilihan lain untuk mengatasi dilema ini. Pilihan yang diambil seseorang bergantung pada intensitas pengalamannya, daya tahan, atau interpretasi dan bimbingan yang diberikan orang-orang penting disekitarnya.

Tahap otonomi dalam transisi ini ditandai dengan kepekaan budaya dan keluwesan pribadi yang meningkat, pemahaman atas budaya baru, dam kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya baru seseorang. Seseorang menjadi lebih santai dan mampu memahami orang lain secara verbal dan non verbal. Ia merasa nyaman dengan perannya sebagai orang dalam – orang luar dalam dua budaya yang berbeda. Akhirnya, menurut Adler pada tahap independensi, individu menghargai perbedaan dan kemiripan budaya, bahkan menikmatinya. Seseorang menjadi ekspresif, humoris, kreatif dan mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal terpenting ialah ia mampu menjalani transisi lebih jauh dalam kehidupan melewati dimensi-dimensi baru dan menemukan cara-cara baru menjelajahi keberagaman manusia.

Pada tahap inilah individu dapat menjadi manusia yang disebut “manusia

antarbudaya” yang memahami berbagai budaya, mampu bergaul dengan orang

(43)

kaku, namun terus berkembang melewati parameter-parameter psikologi suatu budaya. Manusia antarbudaya dilengkapi dengan kemampuan berfungsi secarafektif dalam lebih dari satu budaya dan memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan menunjukkan empati budaya.

Taft meringkas berbagai reaksi psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi :

 Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit

tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya.

 Perasaan kehilangan karena tercerabut dari lingkungan yang dikenal.

 Penolakan individu terhadap anggota-anggota lingkungan baru.

 Perasaan tak berdaya karena tidak mampu menghadapi lingkungan asing.

(44)

empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar budaya atau culture shock.16 Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan baru, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa di sekelilingnya begitu berbeda dengan lingkungan lamanya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.17

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain antagonis/memusuhi terhadap lingkungan baru. Rasa kehilangan arah, rasa penolakan, gangguan lambung dan sakit kepala, homesick pada lingkungan lama, rindu pada teman dan keluarga, merasa kehilangan status

16

Deddy Mulyana. 2006. Komunikasi Antarbudaya. hal 174

17

(45)

dan pengaruh, menarik diri menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka.18

Deddy Mulyana menyebut culture shock sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala culture shock

adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan melakukan analisis terhadap

culture shock berupa hambatan – hambatan komunikasi Menurut Hafied Cangara dalam Pengantar Ilmu komunikasi, mengatakan bahwa hambatan komunikasi ialah adanya hambatan yang membuat proses komunikasi tidak berlangsung sebagaimana harapan komunikator pada penerima.19 Hambatan tersebut menurutnya yaitu hambatan tekhnis, semantic, psikologis, fisik, kerangka berpikir, status sosial dan hambatan budaya. Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis hambatan-hambatan tersebut pada masyarakat Desa Tanjung Jaya, salah satu desa yang terkena dampak langsung dari dijadikannya kawasan Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

2.4. Kawasan Ekonomi Khusus

Kawasan strategis berdasarkan kerangka acuan kerja (KAK) Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Pandeglang adalah wilayah yang penataan

18

Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat. 2006.Komunikasi Antarbudaya. hal 175

19

(46)

ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan20. Kawasan ini merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap :

a. Tata ruang di wilayah sekitarnya;

b. Kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan/atau

c. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan definisi tersebut, ada kata kunci dalam kawasan strategis pada tiap lingkupnya, yaitu kawasan yang diprioritaskan karena memiliki pengaruh sangat penting. Dengan demikian, peranan kawasan strategis diharapkan dapat secara signifikan untuk memberi pengaruh positif bagi wilayah pengaruhnya. Misalnya, kawasan strategis ekonomi memberikan pengaruh peningkatan ekonomi bagi wilayah hinterland-nya. Nilai strategis tersebut diukur berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan sebagaimana dimaksud dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang ditetapkan dalam undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, salah satu jenis kawasan strategis Kabupaten, adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, antara lain kawasan metropolitan,

20

(47)

ekonomi khusus, pengembangan ekonomi terpadu, kawasan tertinggal, serta kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Penataan ruang kawasan strategis dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan dalam mendukung penataan ruang wilayah.

Saat ini ada delapan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Tanjung Lesung – Banten, Sei Mangkei – Sumatra Utara, Palu – Sulawesi Tengah, Bitung – Sulawesi Utara, Mandalika – NTB, Morotai – Maluku Utara, Tanjung Api Api – Sumatra Selatan, dan yang terakhir Maloi Batura – Trans Kalimantan/MBTK – Kalimantan Timur. Dari 8 ( delapan ) KEK tersebut, yang sudah mulai beroprasi yaitu KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Lesung.

(48)

mengalami kemajuan dan malah mengalami kemunduran. Saat ini, permasalahan yang terdapat pada Daerah Penyangga Kawasan Strategis Tanjung Lesung, diantaranya :

 Pada kawasan yang belum dilakukan penataan / pengaturan dengan baik,

 Penurunan vitalitas kawasan,

 Kegiatan perdagangan, seperti warung, kios dan pedagang kaki lima

(PKL) yang semrawut,

 Perkembangan kawasan yang tidak terkendali,  RTH (Ruang terbuka Hijau) belum terpenuhi,

 Akses/infrastrktur koridor jalan/pedestrian pada Kawasan belum tertata

dengan baik,

 Dan lain sebagainya.

Fungsi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah melakukan dan mengembangkan usaha dibidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.

(49)

kawasan wisata Tanjung Lesung. Kawasan pariwisata Tanjung Lesung memiliki potensi menarik yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan daerah.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bidang pariwisata di wilayah Banten Selatan (Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang) Provinsi Banten secara konseptual merupakan kawasan yang dipisahkan dari kawasan dengan peruntukan (zoning) lainnya, seperti kawasan perumahan dan sebagainya. Tujuan spesifik pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) bidang pariwisata ini adalah untuk menciptakan keunggulan kawasan (spatial competitiveness) terhadap kawasan-kawasan lain baik didalam negeri maupun diluar negeri sebagai sebuah kawasan-kawasan ekonomi yang dapat menarik minat bagi para investor (PMA / PMDN).

Semenjak ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Tanjung Lesung melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung, progres pengembangan kawasan ini sampai dengan saat ini dapat berjalan dengan baik meskipun harus diakui bahwa dalam beberapa hal dirasakan masih belum optimal.

Pada kegiatan sosialisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung yang diselenggarakan di hotel Sofyan Inn Pandeglang pada 09 Februari 2014 lalu, ketua panitia kegiatan sosialisasi menyebutkan siapa saja unsur peserta pada kegiatan sosialisasi tersebut.

(50)

penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan (bp4k) kabupaten pandeglang21”

Dari isi sambutan tersebut, Nampak dengan jelas bahwa peserta sosialisasi tersebut tidak melibatkan masyarakat sekitar kawasan yang terkena dampak Tanjung Lesung. Sehingga wajar saja jika masyarakat tidak mengetahui dan mengalami geger budaya (culture shock) karena tidak mengetahui apapun tentang KEK ini.

2.5 Elite Masyarakat

Dalam pengertian yang umum elite itu menunjuk sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih yang khusus dapat diartikan sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan. Dalam cara pemakaiannya

yang lebih umum elite dimaksudkan: “posisi di dalam masyarakat di puncak

struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran, dan pekerjaan-pekerjaan dinas”.

Dalam suatu kehidupan sosial yang teratur, baik dalam konteks luas maupun yang lebih sempit, dalam kelompok heterogen maupun homogen selalu ada kecenderungan untuk menyisihkan satu golongan tersendiri sebagai satu golongan yang penting, memiliki kekuasaan dan mendapatkan kedudukan yang terkemuka jika dibandingkan dengan massa.

21

(51)

Penentuan golongan minoritas ini didasarkan pada penghargaan masyarakat terhadap peranan yang dilancarkan dalam kehidupan masa kini serta andilnya dalam meletakkan,dasar-dasar kehidupan yang akan dating. Golongan minoritas yang berada pada posisi atas yang secara fungsional dapat berkuasa adan menentukan dalam studi sosial dikenal dengan elite. Elite adalah suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial.

Golongan elite sebagai minoritas sering ditampakkan dengan beberapa bentuk penampilan antara lain :

 Elite menduduki posisi yang penting dan cenderung merupakan poros

kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

 Faktor utama yang menentukan kedudukan mereka adalah keunggulan dan

keberhasilan yang dilandasi oleh kemampuan baik yanag bersifat fisik maupun psikhis, material maupun immaterial, merupakan heriditer maupun pencapaian.

Dalam hal tanggung jawab, mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan masyarakat lain. Ciri-Ciri lain yang merupakan konsekuensi logis dari ketiga hal di atas adalah imbalan yang lebih besar yang diperoleh atas pekerjaan dan usahanya.

2.6 Kerangka Berpikir

(52)

pemangku kebijakan serta pihak Banten West Java (BWJ) sebagai pihak yang ditunjuk untuk mengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tersebut. Terdapat 7 hambatan yang peneliti analisis dalam penelitian ini. Nantinya, masing-masing hambatan dapat menentukan bentuk-bentuk geger budaya (culture shock) yang terjadi di masyarakat yang terkena dampak langsung atas dijadikannya Tanjung Lesung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Gambaran besar penelitian tersebut peneliti gambarkan sebagai berikut:

Kecemasan geger budayapada elite masyarakat Tanjung Lesung

Kecemasan Budaya Pada Elite Masyarakat sekitar KEK Tanjung

Lesung Hambatan

Tekhnis

Hambatan Psikologis

Hambatan Budaya Hambatan

Fisik

Tanjung Lesung ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Kecemasan Rasional

Kecemasan Irrasional

(53)

2.7. Penelitian Sebelumnya

(54)
(55)

hambatan

komunikasi yang terjadi

Persamaan

Memiliki

metodologi yang sama.

Memiliki

metodologi yang sama.

Memiliki

metodologi dan teori yang sama

(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian mengenai kecemasan adanya geger budaya pada masyarakat paska ditetapkannya Tanjung Lesung menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini peneliti anggap sebagai metode yang paling tepat dalam meneliti tentang kecemasan adanya geger budaya pada masyarakat paska ditetapkannya Tanjung Lesung menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Menurut Strauss dan Corbin22, qualitative research adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan – penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur – prosedur statistik atau dengan cara kuantitatif lainnya. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, gerakan social, atau hubungan kekerabatan.

Sedangkan menurut Lexy J Moleong dalam bukunya metode penelitian kualitatif23 mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain lain secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata – kata dan bahasa,

22

Dr. Basrowi dan Dr. Suwandi, memahami penelitian kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Hlm

23

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Reamaja Rosdakarya, Jakarta, 2007, Hlm 6

(57)

pada suatu konsep yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Dalam metode kualitatif, realitas di pandang sebagai suatu yang berada di dalam dimensi banyak. Suatu kesatuan utuh, serta berubah-rubah, sehingga biasanya rancangan penelitian tersebut tidak disusun secara rinci dan pasti sebelum penelitiannya dimulai. Untuk alasan itu pula pengertian kualitatif sering di asosiasikan dengan tehnik analisa dari penulisan laporan penelitian24.

3.2 Paradigma Penelitian

Paradigma menurut Bogdan dan Biklen25 adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir penelitian. Sedangkan Capra26 mendefinisikan paradigma sebagai konstelasi konsep, nilai – nilai persepsi dan praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasikan dirinya.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma post positivistik dengan metode pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis menurut Rini Sudarmanti27 berhubungan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian dunia intersubyektif (dunia kehidupan). Fenomenologi bertujuan untuk menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sesuatu yang bermakna serta dapat merekonstruksi kembali turunan

24

A. Chaedar Alwasilah, pokoknya kualitatif, Dunia pustaka jaya, Jakarta, 2006, hlm 84

25

Moleong, Op Cit, Hlm 49

26

Ibid

27

(58)

makna dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubyektif individu dalam kehidupan sosial. Fenomenologi dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji dan peneliti bebas untuk menganalisis data yang diperoleh.

3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Studi Pustaka

Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik. Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan.

(59)

3.3.2 Wawancara

Wawancara dalam penelitian ini menjadi titik penting dalam pengumpulan data. Wawancara dengan tujuan mendapatkan data primer dalam penelitian ini adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud dari mengadakan wawancara itu sendiri, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba, dikutip dalam Basrowi dan Suwandi28 yakni, “untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, merekonstruksi kebulatan – kebulatan harapan pada masa yang akan datang, memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi dari orang lain baik manusia ataupun bukan manusia, dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh

penulis sebagai pengecekan anggota”.

Pada penulisan ini, untuk memperdalam lagi data yang diperoleh maka dalam penulisan ini akan menggunakan wawancara mendalam (Indepth Interview). Jenis wawancara ini dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari minat penulisan.

3.2.3 Observasi

Observasi menurut Lexy J Moleong29 merupakan pengamatan langsung oleh penulis dengan melihat secara seksama proses pembuatan tayangan Sport 7

28

Basrowi dan Suwandi, Op Cit, hlm 127

29

(60)

tersebut. Pengamatan dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, prilaku tak sadar dan sebagainya. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data.

3.4 Narasumber

Teknik yang penulis digunakan dalam penulisan kualitatif ini adalah

purposive sampling (teknik sempel bertujuan), karena sempel yang diambil relative kecil dan dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penulisan ini. Oleh karena itu penulis menentukan kriteria dasar dari orang-orang yang akan penulis pilih untuk menjadi narasumber dalam penulisan ini.

Narasumber tersebut ialah KH. Yusuf Mubarok selaku juru bicara dewan ulama se-Banten dan juga Tedy Fauzi Rahmat selaku Ka. Sie Perijinan administrator KEK dan juga satu pihak lagi dari pengelola Banten west Java. Dibawah ini adalah tabel data narasumber, berikut adalah identitasnya :

No.

Nama Informan

Instansi Jabatan

1.

KH. Yusuf Al Mubarok

Dewan ulama se-Banten

Juru bicara dewan ulama se-Banten (pihak yang menolak KEK Tanjung Lesung)

2.

Tedy Fauzi Rahmat

(61)

3. Abdul Aziz

Bappeda Pandeglang

Kasubid. Sumber Daya Buatan

4. KH. Odon

Yayasan PP Assyifa

Pengasuh (Pihak yang menerima KEK Tanjung Lesung)

5. Dzulkarnaen -

Tokoh masyarakat Desa Cikadu

3.5 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian diperlukan tahap-tahap penelitian yang memungkinkan peneliti untuk tetap berada dijalur yang benar dan memiliki langkah-langkah yang akan diambil dalam penelitian. Teknik analisis data dilakukan dengan langkah : 1. Penyeleksian data, pemeriksaan kelengkapan dan kesempurnaan data dan

serta kejelasan data. Memilah data yang didapatkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan penelitian dan dianggap relevan untuk dijadikan sebagai hasil laporan penelitian. Data yang diperoleh kemungkinan tidak sejalan dengan tujuan penelitian sebelumnya, oleh karena itu penyeleksian data yang dianggap layak sangat dibutuhkan. Penyeleksian data ini juga berfungsi sebagai cara untuk dapat memfokuskan pembahasan penelitian tertentu yang dianggap menunjang.

(62)

pembahasan dan berusaha untuk menyusun laporannya secara tersistematis menurut klasifikasinya. Klasifikasi ini juga membantu penulis dalam memberikan penjelaan secara lebih detail dan jelas.

3. Merumuskan hasil penelitian, Semua data yang diperoleh kemudian dirumuskan menurut pengklasifikasian data yang telah ditentukan. Rumusan hasil penelitian ini memaparkan beragam hasil yang didapat dilapangan dan berusaha untuk menjelaskan dalam bentuk laporan penelitian yang terarah dan sistematis.

4. Menganalisa hasil penelitian, tahap akhir yang diperoleh dan berusaha membandingkannya dengan berbagai teori atau penelitian sejenis lainnya dengan data yang diperoleh secara nyata dilapangan. Menganalisa jawaban atas penelitian yang dilakukan dan berusaha menguatkan yang ada.

5. Penarikan kesimpulan dan saran, tahap ini mengambil satu intisari yang diperoleh selama penelitian dilakukan. Dengan penarikan kesimpulan diharapkan seluruh penelitian dapat tercakup secara menyeluruh pada bagian ini. Agar mudah di mengerti dan dipahami.

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1 Lokasi Penelitian

(63)

3.6.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan. Terhitung dari awal bulan Mei sampai akhir bulan Oktober, mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga penyelesaian dengan perincian waktu yang telah direncanakan yaitu dari awal Mei hingga pertengahan Agustus untuk langkah observasi. Lalu dari Agustus hingga Oktober 2016 untuk langkah Penyusunan laporan penelitian.

Bulan Mei Juni July Agustus September Oktober Persiapan

Observasi

(64)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Pandeglang merupakan kabupaten yang memiliki potensi sangat baik dalam hal obyek wisata alam, religi, sejarah, serta seni budayanya. Potensi wisata tersebut harus dikembangkan dan dilestarikan sesuai perkembangan zaman pada saat ini serta mengikuti selera wisatawannya. Upaya dipromosikannya potensi wisata ini agar bisa membangkitkan dan menggerakan masyarakat umum untuk datang berkunjung menikmati keindahan panorama alam, pegunungan, maupun wisata alam lainnya yang tersedia di Kabupaten Pandeglang.

Disinilah perkembangan wisata Pandeglang harus ditingkatkan, diwujudkan dan dilaksanakan melalui beberapa program dan kegiatan pariwisata secara berkelanjutan agar terencana dan terarah tujuannya untuk mencapai sesuai dengan yang diharapkan. Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan juga mempunyai peranan penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Kawasan pariwisata Tanjung Lesung merupakan kawasan khusus dan telah didukung melalui Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pariwisata Tanjung Lesung, kawasan pariwisata terpadu dengan beberapa investor yang mengelola kawasan wisata Tanjung Lesung. Kawasan pariwisata Tanjung Lesung memiliki potensi menarik yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan daerah.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bidang pariwisata di wilayah Banten Selatan (Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang) Provinsi Banten secara

(65)

konseptual merupakan kawasan yang dipisahkan dari kawasan dengan peruntukan (zoning) lainnya, seperti kawasan perumahan dan sebagainya. Tujuan spesifik pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) bidang pariwisata ini adalah untuk menciptakan keunggulan kawasan (spatial competitiveness) terhadap kawasan-kawasan lain baik didalam negeri maupun diluar negeri sebagai sebuah kawasan-kawasan ekonomi yang dapat menarik minat bagi para investor (PMA / PMDN).

Tanjung Lesung sendiri berjarak sekitar 120 KM dari ibukota Jakarta atau dengan jarak tempuh sekitar 5 jam dengan kendaraan pribadi. Sedangkan dari pusat kota Pandeglang, jarak tempuh ke Paintai Tanjung lesung sekitar 3 jam. Setelah peresmian Tanjung lesung sebagai Kawasan EKonomi Khusus (KEK) oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 lalu, percepatan pembangunan dan infrastruktur terus dilakukan diantaranya pembangunan jalan tol Serang-Panimbang sepanjang 80 KM, reaktivasi rel kereta api Rangkas-Labuan dan juga pembangunan bandara Banten selatan.

4.2Deskripsi hasil penelitian

Gambar

Tabel 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Diagram Proses Pembuatan Tempe KEDELAI Pencucian Perendaman 1 malam kedelai rendaman Perebusan Pencucian Kedelai bersih Pemisahan Kulit Kedelai Kupas Pencucian

memenuhi persyaratan Pedoman KNAPPP 02: 2007 Persyaratan Umum Pranata Penelitian dan Pengembangan dan memenuhi persyaratan akreditasi lainnya PEDOMAN KNAPPP 02:2007

Komponen utama minyak gandapura adalah senyawa metil salisilat yang banyak digunakan dalam industri obat-obatan, bahan pewangi, serta industri makanan dan

Pengaruh Penambahan Sari Anggur (Vitis Vinifera L.) Dan Penstabil Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, Dan Organoleptik Es Krim. Jurnal Pangan

Pada hari ini pembimbing lapangan memberikan tugas untuk membuat bloger Kominfo Simalungun yang isinya tentang tugas dan fungsi Dinas Kominfo Simalungun,

Pengukuran dilakukan pada sefalogram dari pasien ortodonti RSGM-FKG Usakti usia 6-12 tahun berdasarkan 11 parameter analisis Steiner yaitu SNA, SNB, SND, ANB,

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui: (1) Besarnya biaya yang dikeluarkan per satu kali proses produksi pada seorang perajin tempe di Desa

memiliki efektivitas tinggi. d) Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai. e) Setelah melahirkan dan tidak menyusui. f) Setelah abortus atau keguguran. g) Tidak banyak