• Tidak ada hasil yang ditemukan

50 Great Business Ideas From Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "50 Great Business Ideas From Indonesia"

Copied!
341
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

adalah salah satu lini produk penerbit Hikmah yang menghadirkan buku-buku umum dan populer yang bertujuan meningkatkan motivasi, menggugah semangat,

(4)
(5)

50 Great Business Ideas from Indonesia

Gebrakan Perusahaan-Perusahaan Indonesia yang Mendunia

Karya M. Ma’ruf Copyright © M. Ma’ruf, 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved Penyunting: H. Sogir

Penyelaras Aksara: Ike Sinta Dewi, Indah N. Desain Sampul: Ade Fery Riantara

Penata letak: Alia Fazrillah Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)

Anggota IKAPI Jln. Puri Mutiara No. 72 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430 Telp. (021) 75915762-63 – Faks. (021) 75915759 http://www.mizan.com/hikmah E-mail: hikmahku@cbn.net.id, hikmah_publisher@yahoo.com ISBN: 978-979-3714-64-6 Cetakan I: Maret 2010

Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146

Ujungberung, Bandung 40294

Telp.: (022) 7815500 (hunting) Fax.: (022) 7802288 E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id

_________________________________________________________ JAKARTA: Telp. 021-7874455, Faks.: 021-7508945 ~ SERANG: Telp./Faks.: 0254-214254 ~ SURABAYA: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318 ~ MALANG: Telp./Faks.: 0341-567853 ~ BALI: Telp./Faks.: 0361-462214 PEKAN BARU: Telp.: 20716, 29811, Faks.: 0761-20716 ~ MEDAN: Telp./Faks.: 061-7360841 ~ PALEMBANG: Telp./Faks.: 0711-815544 ~ YOGYAKARTA: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527 ~ MAKASSAR: Telp./Faks.: 0411-873655.

(6)

v

Ucapan Terima kasih

U

ntuk mengatasi keterbatasan waktu, buku ini ba­

nyak memakai sumber­sumber sekunder, sehingga akan tampak kisah yang ditulis merupakan kompilasi dari berbagai sudut cerita yang dikemas ulang dari su­ dut pandang penulis. Beberapa konfirmasi secara tidak langsung telah dijawab oleh berbagai media dan sumber penulisan yang dikutip penulis. Karenanya, dengan sega la kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada media­media yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada perusahaan­perusahan atas infor­ masi yang telah diberikan.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa teman jurnalis yang memberikan sum­ bangan ide dan bahan tulisan. Irvin Avriano (Bisnis

Indonesia) atas tulisan mengenai dunia film Multivision,

Susi Susanti (copy editor Seputar Indonesia) dan Ahmad Wahid Fauzie (Kontan) mengenai cara­cara me­ nulis “yang lebih santai”, Andreas Ismar (Reuters) pe­ rihal ide­ide perusahaan yang patut dipertimbangkan dalam buku ini. Tak dapat dilupakan pula rekan­rekan

(7)

M . M A ’R U F vi

wartawan di desk ekonomi Harian Seputar Indonesia. Terakhir adalah penerbit Hikmah, Iqbal Santosa dan Hasanah Putri Melati yang sangat menentukan hasil akhir penulisan buku ini.

(8)

vii

Isi Buku

Ucapan Terima kasih — v

Bagian I: Lihatlah Bagaimana Mereka

Melakukannya

Edward Forrer

Temukan Bakat Anda — 2

Lion Air

Kalau Bisa Murah, Mengapa Harus Mahal? — 8

Bloop, Bloopaka, Endorse

Sepotong Kaos Akan Mahal Bila Dipakai Artis — 13

Sosro

Belajarlah dari Kesalahan — 19

Multivision Plus

Jangan Dengarkan Kata Orang — 25

Kapal Api

(9)

M . M A ’R U F viii

Bagian II: Orang-Orang Spesial; Para

Pionir

Aqua

Sebuah Kejadian Tidak Menyenangkan adalah Ide Bisnis yang Menggiurkan — 36

Detikcom

Jangan Latah dan Berhati-hatilah — 43

Kem Chicks

Paksalah Orang-orang Membeli Secara Sukarela — 50

National Gobel

Sebuah Ide Besar Perlu Bantuan Orang Besar — 57

4848

Jadilah yang Pertama — 62

C59

Percayalah, Ide Original Akan Lebih Laku — 66

Olympic Furnitures

Terbangkan Imajinasimu Setinggi-tingginya — 70

Bagian III: Biarkanlah Otak Anda Bekerja

Primagama

Sukses Harus Dimulai dari Bodoh dan Malas — 78

Es Teler 77

Yang Penting Heboh — 83

Sido Muncul

Orang Gila Sekalipun Tahu Jamu yang Enak — 90

Jawa Pos Group

Perlu 1000 Kesalahan untuk Membuat Koran yang Laris — 95

Ayam Bakar Wong Solo

(10)

Isi Buku ix

Bagian IV: Gagasan-gagasan Cerdas

Bagteria

Anda Tidak Hanya Membeli Sebuah Tas Tangan Anda Membeli Sebuah Karya Seni — 110

J.CO

Ini Donat Asli Lokal — 114

NCS

Lihatlah Bagaimana Komputer Mengubah Nasib Anda — 118

Hotline Advertising

Hidup ini Seperti Tumpeng — 121

B&B Inc

Anak Muda Selalu Ingin Bergaya — 126

Mizan

Kombinasi yang Pas: Kualitas, Momentum, dan Keberuntungan — 130

Bagian V: Duet-duet Maut ala Semar dan

Petruk

Purwacaraka Music Studio

Indahnya Musik Justru Karena Duet Bebunyian Alat yang Berbeda — 138

Kompas

The Dynamic Duo — 142

Ciputra Development

Bangku Kuliah Tetap Bagian Penting dari Sebuah Bisnis Besar — 152

TEMPO

Bersatu Kita Teguh, Bercerai Tetap Utuh — 159

ABC

Anak Muda Selalu Bisa Diandalkan — 167

CNI

(11)

M . M A ’R U F x

Bagian VI: Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Susi Air

Nurani Bisa Menuntun pada Jalan Bisnis Baru — 180

Java Musikindo

Hobi dan Bisnis adalah Kombinasi yang Dahsyat — 185

Maspion

Membeli Produk Lokal Juga Sebuah Sikap Nasionalisme, Bung! — 188

Log Zhelebour Production

Idealisme dan Komersialisme Rupanya Bisa Akur — 192

Bagian VII: Sedikit Rahasia itu Perlu

Wings

Stt... Ada Katuari di Dalam Sabunmu — 198

Mitra Adiperkasa

Siapa Kami, Bukan Urusan Anda — 205

Ceres

Darah Kami Cokelat — 211

Bagian VIII: Selalu Ada Jalan untuk

Berubah

Harvest

Periksa Kembali Diary-mu, Mereka Menyukainya — 218

Tung Desem Waringin

Belajarlah dari yang Terbaik — 225

Mustika Ratu

Alam adalah Sumber Kesehatan dan Bisnis — 233

Rudy Hadisuwarno

(12)

Isi Buku xi

Sahid Hotel

Menjadi Pegawai Negeri Sipil Tak Akan Membuatmu Kaya — 244

Martha Tilaar

Ada Hal-hal Positif yang Bisa Dikerjakan — 251

Bagian IX: Tidak Ada Pemenang Abadi

Matahari

Ada Orang yang Ditakdirkan Hanya untuk Mencipta — 258

Astra Internasional

Ada yang Lebih Bernilai daripada Angka-angka Triliunan — 264

MQ Corp

Sebuah Bisnis Berbasis Figur itu Seperti Mode — 273

Bakrie & Brothers

Dari Krisis ke Krisis; Bisnis adalah Komidi Putar Kawan — 281

Alfamart

Tunggulah Saat yang Tepat untuk Lepas dari Bayang-bayang — 289

Blue Bird

Jangan Remehkan Seorang Janda Sekalipun dalam Sebuah Kompetisi — 294

Indofood

Selalu Ada Kesempatan untuk Berubah — 300

Penulis: Never Too Old to Learn — 307

(13)
(14)

bagian

1

Lihatlah

Bagaimana

Mereka

(15)

2

P

astikan Anda sudah mengetahui apa sebetulnya

bakat Anda. Itu sangat perlu dan penting. Setidak­ nya ini pesan pendiri dan pemilik sepatu merek Edward Forrer asal kota Kembang yang kini memiliki penggemar fanatik di luar negeri. Dia pada mulanya adalah anak muda miskin, dan seperti lulusan SMA di Tanah Air yang tanpa keahlian, hanya memiliki satu pilihan; bekerja sebagai buruh kasar. Lalu, bagaimana dia bisa menyulap bakatnya menjadi bisnis miliaran rupiah?

Edward atau kerap dipanggil Edo pada usia 22 tahun masih seorang buruh bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Suatu hari, sebuah artikel di koran mengenai pengembangan talenta mengubah hidup Edo untuk selamanya. Artikel itu dibacanya ber­ ulang­ulang dan memaksanya berkontemplasi untuk waktu yang cukup lama guna menemukan sebuah bakat. Pencarian ini berakhir dengan temuan bahwa sejak sekolah dasar dia sudah sangat menyenangi pelajaran menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu­ satunya bakat yang dimiliki dan telah dilupakannya.

Edward Forrer

(16)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 3 Tidak sulit baginya menghidupkan bakat itu lagi dengan objek baru yang sudah tidak asing lagi, sepatu. Edo mengamati model­model sepatu di gudang tempat dia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Dia mereka­reka desain sepatu pertamanya. Bermodal memodifikasi bertumpuk­tumpuk sepatu yang sehari­ hari dilihatnya dengan sedikit tambahan imajinasi dan kreasi. Hasil desain sepatunya itu tampak lebih bagus. Bahkan, sang bos pun sebetulnya suka, tapi lebih memilih menolak tawaran agar desain itu diproduksi. Penolakan itu tidak membuat Edo jera. Dia tetap rajin membuat desain­desain baru untuk disimpan di laci meja.

Pada 1989, dia mengambil keputusan, setelah melihat tidak adanya peluang mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Anak muda ini nekat mengundurkan diri setelah 11 bulan bekerja. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama, tapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing. Ini keputusan yang cukup gila untuk orang miskin pada zamannya, menjual sepatu hanya dengan gambar! Yup, hanya itu pilihan yang tersedia, tanpa sepeser pun uang. Dengan sepeda kumbang, Edo memulai aksi penjualan

door to door, berkeliling kompleks menawarkan sketsa

sepatu, dari pintu rumah tetangga, kerabat, dan teman. Sial bagi Edo, cara penjualan nan unik ini malah dianggap aneh. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah­mentah. Menjual gambar benar­benar ide gagal. Terlebih lagi, Edo mensyaratkan uang muka untuk sebuah pesanan sepatu virtual itu, sehingga sejumlah ibu­ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.

Akhirnya Edo menemukan pelanggan pertama dari orangtua murid les privat­nya. Les ini dia buka untuk menutupi biaya hidup, setelah berbulan­bulan penjualan sepatu tidak membuahkan hasil. Mungkin karena belas kasihan, orangtua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar sejumlah uang muka untuk membeli

(17)

M . M A ’R U F 4

bahan kulit. Edo girang bukan main saat mengerjakan pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya meng­ antarkan sepatu untuk pemesan pertama. Sepatu itu sebenarnya tidak mudah dikerjakan, sebab Edo yang piawai mendesain, tidak begitu pintar mengesol sepatu. Karena itu, Edo terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit pinjaman. Produk perdana itu tidak lazim, tetapi orangtua anak didiknya itu puas.

Sepatu itu unik dan terkesan kokoh karena dibuat dengan tangan. Model baru yang tidak ditemukan di toko itu dengan cepat mengundang rasa penasaran orang. Dari arisan ke arisan, obrolan gosip ibu­ibu, produk sepatu customized Edo mulai menjadi buah bibir yang memicu serangkaian pesanan. Ide Edo me­ manfaatkan peluang kecenderungan sepatu pabrikan yang dibuat massal membuat rekomendasi sepatu yang eksklusif jatuh ke tangannya. Apalagi, Edo lebih senang bila konsumennya memberikan ide seperti apa bentuk sepatu yang diinginkan. Selama setahun, dari hanya lima order seminggu menjadi lima pesanan dalam se­ hari. Berbekal uang hasil pesanan sekitar Rp 200.000 pada 1990, Edo mulai merekrut dua orang karyawan dengan sebuah mesin jahit milik sendiri.

Pesanan semakin banyak karena konsumen mu­ lai berdatangan ke rumah sehingga Edo tidak lagi ber­ keliling dengan sepeda kumbang tuanya. Dia meng­ ubah ruang tamu rumahnya yang berukuran 2 x 2 meter menjadi sebuah bengkel kerja dan ruang pamer (show room). Usaha Edo terus berkembang dan dia berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung. Empat tahun kemudian, dia membuka gerai yang jauh lebih besar dan apik di Jalan Veteran No. 44, Bandung—sekarang menjadi kantor pusat Edward Forrer. Penjualan melalui sketsa lama­kelamaan ditinggalkan karena tidak sanggup lagi memenuhi padatnya jadwal produksi, kecuali untuk

(18)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 5 beberapa pelanggan tetap dan orang­orang cacat. Per­ ubahan pola produksi ini tidak memengaruhi penjual­ an karena Edo berjanji sepatu­sepatu itu masih dibuat dengan tangan dengan jumlah terbatas—hampir mus­ tahil Anda bertemu bawahan di kantor pada sebuah pesta dengan memakai sepatu yang sama.

Model yang unik dan eksklusif ini membuat sepa­ tu Edward Forrer yang tadinya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah justru berbalik. Gerai

distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang­

orang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis, orang­orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama lengkap Edo; Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia. Padahal, sepatu­sepatu itu dibuat di Bandung dengan sejumlah bahan baku dari luar negeri.

Sepatu itu laku keras, sehingga melecut koleksi produk yang semula hanya untuk wanita dewasa, ber­ tambah dengan sepatu ABG wanita. Sejak toko besarnya di Jalan Veteran dibuka, Edo memanfaatkan sisa­sisa bahan sepatu tak terpakai untuk memproduksi sepatu pria dan tas. Hingga lima tahun pertama, sepatu­sepatu itu masih kuat diproduksi sendiri, tetapi kemudian Edo kewalahan sehingga dipakai sistem pemasok dengan sejumlah standar ketat, mulai dari desain khusus, proses pengerjaan dan pilihan bahan baku berkualitas tinggi. Lambat laun, model produksi maklon ini justru mengembalikan Edo kepada khitahnya untuk cukup menempatkan sepatu Edward Forrer sebagai bisnis merek, bukan pabrik sepatu.

Edo membentuk tim kreatif desain sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini, sementara dia baru turun tangan bila diperlukan untuk memberi sentuhan terakhir pada sebuah desain baru. Meski ada saja karya­ wan yang mengeluh dengan sejumlah aturan besi, seperti

(19)

M . M A ’R U F 6

sanksi pemecatan bila ketahuan merokok di kantor, tim kreatifnya tidak pernah mati gaya. Manajemen luwes dan tegas ini justru cukup berhasil untuk memastikan keluarnya 2 model sepatu dan sandal baru untuk setiap 10 hari di setiap gerai Edward Forrer yang memasang poster We Innovate Everyday. Sejumlah cara cerdik, seperti tidak mau berurusan dengan bank untuk per­ modalan dan prosedur pembelian bahan baku dengan sistem menumpuk di gudang—40% di antaranya adalah impor—membuat bisnis Edo selamat dari krisis moneter 1997. Stok bahan baku kulit yang cukup banyak, pekerja melimpah, dan kurs rupiah terpuruk dengan sendirinya memukul para pesaing. Alhasil, di saat para produsen sepatu terkapar oleh krisis, omzet Edo justru meloncat tiga kali lipat lantaran untuk setiap sepatu dan sandal dengan kualitas bahan baku sama, tidak ada kenaikan harga.

Namun, karena sikap bisnisnya yang sangat konser­ vatif, baru pada 2003 Edo bisa memecah tabungan untuk membiayai ekspansi besar­besaran menambah gerai baru di berbagai sudut kota besar di Tanah Air dan luar negeri. Dimulai dari kawasan ramai di sudut­sudut kota Kembang, lalu menjalar ke seluruh kota besar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Uniknya, dia tetap enggan memakai jasa kredit bank dan lebih memilih mewaralaba gerai­gerai itu untuk mempercepat penetrasi pasar. Ide ini cukup berhasil berkat andil Hermana Yusuf, Direktur Waralaba Pemasaran yang masuk pada 1999. Lulusan Institut Kepariwisataan Nusantara ini menggodok konsep waralaba Edward Forrer dari nol dan sekarang sedang menggenjot penjualan on line via internet.

Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai pen­ jualan di luar negeri untuk mengawali kenyataan seba­ gai pembuat sepatu terbaik di dunia. Satu gerai ada di Malaysia dan Hawaii, dan dua di Australia yang

(20)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 7 dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri yang tidak diwaralabakan. “Saya ini pemimpi dan vi­ sioner. Saya selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.

Impian itu timbul dari masa­masa kecil yang diliputi kepedihan. Sering kali dia menyaksikan bagaimana ibu­ nya harus membujuk adik­adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut.

Sementara visi itu muncul saat pekerjaannya sebagai buruh sudah tidak memadai menopang statusnya sebagai kepala keluarga—Edo sudah menjadi tulang punggung keluarga ketika ayah dan ibunya bercerai. Kesengsaraan itu pula yang mungkin membuatnya sampai sekarang tidak pernah percaya pada prinsip bisnis, menunggu waktu yang tepat untuk memulai sebuah rencana besar. Edo lebih banyak menikmati hidupnya di Australia dan sesekali terbang ke Bandung untuk memecahkan masalah yang tak mampu dilakukan enam direkturnya.[]

(21)

8

M

enjual tiket pesawat seharga sepotong celana

jins—low cost carrier—bukan hal baru dalam bisnis maskapai penerbangan sipil. Bisnis ini pertama kali diperkenalkan oleh Southwest Airlines di Amerika Serikat, pada 1971. Tiga tahun beroperasi, pendirinya, Herb Kelleher selalu meraup untung dengan penerbangan jarak pendek antara satu hingga dua jam, tanpa makan. Konsep itu kemudian ditiru oleh banyak pebisnis lain, seperti Stelios Haji­Ioannu yang memulai penerbangan EasyJet dengan dua pesawat Boeing 737­200 di Eropa. Di Asia, jasa ini dirintis oleh eksekutif Warner Music Group Tony Fernandes, yang mengubah maskapai bang­ krut menjadi Air Asia, si penguasa langit Asia karena tarif murahnya.

Di Indonesia, awalnya itu adalah sebuah mimpi melihat kenyataan bepergian dengan pesawat terbang adalah milik orang­orang kaya—naik Garuda dan Merpati tentunya. Mimpi itu dibangunkan oleh dua bersaudara Rusdi dan Kusnan Kirana pada 20 Juni 2000 yang menjual tiket pesawat sama seperti tiket kereta api, kapal laut, dan bus.

Lion Air

Kalau Bisa Murah,

Mengapa Harus Mahal?

(22)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 9 Rusdi adalah pria yang rendah hati, berkumis tebal dan suka mengkhayal sejak sekolah dasar, terutama sebelum tidur. “Mengkhayal tentang sesuatu yang positif itu sangat berguna,” katanya yang mengaku impian bisa mendorong seseorang melampaui kemampuannya. Pria kelahiran 1963 ini mengenal bisnis perjalanan ketika bekerja di biro perjalanan sembari kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila. Setelah lulus, dia mempersiapkan bisnis travel agent­nya, Lion Tour. Sampai dengan 10 tahun kemudian, orang­orang mas­ kapai masih mengenal Rusdi sebagai pemesan tiket pesawat untuk konsumen biro perjalanannya. Orang­ orang mungkin tidak tahu dalam benaknya terpendam khayalan tingkat tinggi, memiliki sebuah maskapai yang bisa memberi diskon lebih, plus tarif lebih murah, sehingga banyak orang bisa bepergian ke Kalimantan atau Sumatera dalam beberapa jam saja.

Kesempatan itu datang ketika Departemen Perhu­ bungan membuat terobosan deregulasi industri pener­ bangan pada 1999. Bagaimana kemudian Rusdi bisa menemukan hitung­hitungan ala pedagang Pasar Glo­ dok untuk mendirikan maskapai murah tidak banyak diketahui—mungkin dari orang­orang visioner macam Kelleher dan Fernandes. Entah dari mana nyali itu da­ tang, pada mulanya, Rusdi memang benar­benar meng­ ajak para koleganya, sejumlah pedagang di Pasar Glodok untuk ikut menanam modal pada bisnis barunya ini. Ada yang tidak percaya, tetapi ada pula yang yakin bahwa penjelasan Rusdi memang masuk akal. Katanya, dengan memangkas banyak ongkos­ongkos siluman, bisnis yang rakus modal dan irit laba ini bisa sangat menguntungkan. Sebagian dari mereka kemudian turut memodali uang Rp 80 miliar untuk investasi awal Mentari Lion Airlines yang didirikan pada 2 September 1999.

Perusahaan itu sebagian sahamnya dikuasai Rusdi yang menjadi Presiden Direktur, merangkap sejumlah

(23)

M . M A ’R U F 10

kursi direktur dan selebihnya Kusnan yang tampak lebih berperan di belakang layar. Lion Air adalah nama yang mungkin sudah terpikirkan sejak lama, sama dengan Lion Tour yang masih dikelola. Ini tampaknya lebih kepada kesepakatan kakak beradik itu bahwa mereka memang berbintang Leo, sehingga mencontek kepala singa sebagai logo di ekor pesawat

Markas Lion Air pertama adalah sebuah rumah toko sewaan seluas 5 x 20 meter di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Hari bersejarah itu terjadi pada Juli 2000, setelah delapan bulan Rusdi dibuat lemas dan menangis oleh para pesaing yang tidak rela tarif­pesawat diobral. Menggunakan pesawat Boeing 737­200 sewaan, Lion Air terbang perdana dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng ke Bandara Supadio, Pontianak. Tahun pertama adalah kondisi yang paling sulit, terlebih orang dengan mudahnya memberi contoh Awair dan Indonesia Air yang gugur tak lama setelah resmi dioperasikan, meskipun didirikan oleh orang­orang yang lama berkutat di bisnis penerbangan. Satu­satunya pengalaman Rusdi di bisnis maskapai adalah mantan calo tiket di Terminal II Bandara Soekarno Hatta.

Setahun berjalan, cibiran itu berlalu dan berganti dengan isu keselamatan. Lion misalnya tidak memiliki keistimewaan dengan tarif murah itu, karena telah mengorbankan dana cadangan pemeliharaan setiap pe­ sawat. Para kritikus dan pesaing menganggap beberapa tahun lagi Rusdi tidak akan memiliki modal untuk peremajaan armada.

Rusdi adalah tipe orang yang tidak banyak cakap dan peduli pada gosip­gosip itu. Sejak awal semua sudah diperhitungkan sampai detail, termasuk menyelesaikan tingginya biaya dengan banyak ide brilian. Sekadar contoh, pemilihan rute penerbangan Lion Air ditentukan dengan cukup mencari data rekap lalu lintas sambungan telepon jarak jauh. Bila dirasa cukup sibuk dan masuk

(24)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 11 hitungan, Rusdi akan membukanya. Dana anggaran mini diakali dengan iklan­iklan yang bombastis—selain harga tiket itu sendiri—mulai dari tiket berhadiah mobil BMW hingga membayar penyelenggara Miss Universe dan Putri Indonesia untuk menggunakan Lion Air se­ bagai maskapai resmi. Tak lupa, janji We Make People

Fly yang benar­benar dipenuhi dengan tarif 10–20%

lebih murah dari pesaing.

Pernah, dia memerintahkan anak buahnya mema­ sang 500 spanduk di sepanjang jalan protokol di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, ketika hendak merintis jalur penerbangan Medan­Jakarta. Ditulis besar­besar, harga tiket Rp 500.000, jauh lebih murah dari tiket kapal laut yang Rp 600.000 dan maskapai lain yang Rp 1,2 juta. Kehebohan yang membuatnya diserbu orang yang sejak lama bermimpi naik pesawat. Rusdi yang serbabisa, mengerjakan sendiri pelbagai pekerjaan, mulai logo, desain pakaian pramugari dan yang terpenting promosi yang heboh.

Sementara itu rumusan­rumusan baku low cost

carrier, seperti tidak ada makanan untuk penerbangan

jarak pendek, atau mengganti nasi dengan roti guna menggerus biaya pembelian bungkus nasi (alumunium

foil) diterapkan. Segala cara dipakai untuk memangkas

ongkos­ongkos siluman, disertai kebijakan­kebijakan yang berbeda dengan para pesaing. Lion misalnya selalu membeli suku cadang secara tunai, memakai aplikasi reservasi sendiri, dan tentu saja terus mencari pesawat berbadan lebar. Secara bertahap, Rusdi mengganti Boeing 737­200 dan Yak 42 buatan Rusia ke jenis MD 82—produksi Mc Douglas yang kini milik Boeing— sehingga bisa memuat kursi lebih banyak.

Pada Agustus 2004, Lion Air sudah mengoperasikan 24 pesawat jenis Boeing 737­400, MD 82, dan Dash­8. Delapan burung besi jenis MD 82 tidak lagi dise­ wa, tetapi sudah dimiliki setelah melunasi cicilan

(25)

M . M A ’R U F 12

sebesar USD5 juta per pesawat. Tahun itu pula, Rusdi membuat banyak orang mulai curiga dari mana dia bisa mendapatkan banyak modal, setelah memesan 60 pesawat Boeing 737­900 ER—sebuah pemesanan ter­ banyak maskapai Indonesia yang pernah ada. Ini mem­ buat Lion mencatatkan diri menjadi pengguna pertama pesawat berkapasitas 158 kursi itu di dunia. Tiga tahun berselang, Rusdi datang ke International Paris Airshow 2007 di Le Bourget, Paris, dan memesan lagi 40 unit jenis pesawat serupa seharga USD3 miliar. Tahun lalu, di Singapore Airshow dia menambah 56 unit lagi sehingga total armada Boeing 737­900 ER yang dipesan Lion Air menjadi 178 unit.

Serangkaian kejutan ini kembali membuat Rusdi diterpa isu. Dia dikait­kaitkan dengan Singapore Airline sehingga bisa memiliki cukup banyak dana mendiskon tarif untuk menghancurkan industri penerbangan lokal. Atau juga isu peran keluarga Katuari si pemilik Wings Group, yang namanya dihubung­hubungkan dengan Wings Air, anak usaha Lion Air yang melayani rute Indonesia Timur. Bahkan, banyak orang yang mengira Rusdi sebenarnya merugi. Menanggapi hal itu, dia hanya berkata,“Kalau gue rugi, kenapa gue bayar pajak?”

Sekarang, Rusdi telah mewujudkan impiannya un­ tuk benar­benar membuat banyak orang terbang. Pada 2001 penumpang penerbangan nasional hanya 6 juta orang, kemudian melonjak hingga 34 juta pada 2007— tentu saja dibantu oleh banyak maskapai yang mengikuti cara kerja Lion Air.

Kesuksesan Lion Air sebagai pelopor low cost

carrier mendapat pengakuan melalui penghargaan

Best Brand Award 2004 dari Majalah SWA. Kini, Lion Air merupakan maskapai kedua di Tanah Air yang ter­ banyak membawa orang terbang, tepat di bawah Garuda Indonesia.[]

(26)

13

J

ika ditanya, manakah kawasan Tebet, Jakarta Selatan

yang paling macet? Orang­orang yang biasa melintasi jalanan di sana pastinya akan kompak menjawab, Jalan Tebet Utara Dalam. Beberapa tahun lalu, jalanan itu masih seperti kawasan pemukiman lainnya di Tebet yang sepi. Pengendara mobil dan motor dapat melewati nya tanpa banyak mengeluh. Kemacetan di jalan itu masih bisa ditebak, saat jam berangkat atau pulang seko­ lah SMP 115 dan lembaga bimbingan SSC. Sekarang, hampir setiap hari, terlebih akhir pekan, anak baru gede (ABG) dan remaja tanggung seantero Jabodetabek rajin menyerbu kawasan yang beralih fungsi menjadi tempat belanja dan hang out tersebut. Bahkan, karena sering macet, sopir Bajaj hanya bersedia melintasi kawasan itu jika ongkosnya dinaikkan.

Adalah A. Kardjono yang menemukan bisnisnya setelah puluhan tahun bekerja pada sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta. Dia mengajukan pensiun dini untuk menyemangati tiga anaknya yang sedang belajar memulai bisnis. Lima tahun berjalan, keluarga ini tampak kompak seperti kisah keluarga super hero

Bloop, Bloopaka, Endorse

Sepotong Kaos Akan Mahal

Bila Dipakai Artis

(27)

M . M A ’R U F 14

di film The Incredibles, tetapi dalam bisnis distribution

outlet (distro), restoran dan makanan siap saji yang

menguasai Jalan Tebet Utara Dalam.

Pasangan Kardjono dan FR Siwi dianugerahi anak­ anak berbakat wirausaha sejak kecil dengan kemam­ puan yang saling melengkapi. Martin Sunu Susetyo yang dipanggil Martin, ahli menemukan barang­ barang bagus yang akan disukai orang. Alumni Cabra College, Adelaide, Australia Selatan ini kreatif serta pandai bergaul sehingga pintar menemukan orang yang bisa menciptakan produk bagus, tetapi tidak bisa menemukan konsumen. Adiknya, Bertolomeus Saksono Jati—dipanggil Berto—memiliki insting manajer yang baik. Berto yang lulusan GS Fame Institute of Business, Jakarta ini paham soal pengembangan bisnis, keuangan, dan sumber daya manusia. Adapun si bungsu Theresia Alit Widyasari atau Sari, setelah menimba ilmu fashion

marketing di London, dia bisa memberi tahu mana

saja produk yang akan membosankan dan desain yang diinginkan konsumen. Tak lupa ibu mereka, Siwi, adalah koki terbaik yang dimiliki keluarga ini.

Martin pernah berbisnis sapi potong yang dida­ tangkan dari Solo dan kemudian distributor rokok. Keduanya gagal karena ditipu relasi dagang. Prestasi buruk juga diperoleh saat berbisnis tambak udang dan bandeng di Rengasdengklok. Sementara Berto pernah gagal merintis usaha distro di daerah Kelapa Gading, kedai martabak di kawasan Pulomas, serta lembaga pendidikan bahasa asing. “Setiap kali memulai bisnis, kami meminta bantuan Papa. Tapi, karena sudah berkali­ kali gagal, kami enggak berani untuk meminta bantuan Papa lagi,” kenang Sari.

Toh, karena tidak juga bisa menemukan orang yang mau meminjamkan modal, ketiga kakak beradik itu kembali kepada ayahnya. Supaya berhasil, mereka mengajak sang ayah ke Bandung, melihat bagaimana

(28)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 15 suasana pengunjung mendatangi distro yang mirip antrean penerima dana bantuan langsung tunai (BLT).

Kardjono terkesima dengan pemandangan itu. Mo dal Rp 50 juta untuk kesekian kalinya keluar dari pinjaman bank atas nama Kardjono. Dana tersebut digunakan untuk mendirikan distro bernama Bloop. Menurut Sari, Bloop (baca: Blup) terdengar mirip bebunyian ketika kita berendam di bathtube, lantas ada udara yang keluar dari dalam air. Selain melambangkan harapan hidup, bunyi blup juga mudah disebut dan diingat.

Bloop, yang dicetuskan Berto, semula berdiri di Kalimalang pada September 2003. Mereka memasok barangnya dengan sistem jual putus dari produsen kaos­ kaos pemasok distro di Bandung yang sudah terkenal seperi Cosmic, Ouval, dan Airplane. Setelah melalui masa­masa sulit dan nyaris gagal, Bloop menemukan titik terang setelah Berto menemukan tempat yang lebih strategis, yaitu di Jalan Tebet Utara Dalam. Jalan itu dilalui kendaraan dan dekat dengan tempat tinggal artis. “Kalau ada ATM, pasti pihak bank sudah menyurvei bahwa tempat itu memang ramai,” kata Berto.

Kepindahan ini adalah awal bagi mereka untuk mengundang lebih banyak pengunjung. Dalam hitungan bulan, kaus, baju, dan jaket­jaket laku keras. Untuk menahan distro yang bermunculan, dibuka gerai baru bernama Endorse yang memasang sandang usia remaja dan kuliahan, sementara Bloop yang sejak awal untuk konsumen anak­anak SMP­SMA tetap dipertahankan— pada akhirnya pemisahan ini gagal dan keduanya justru dibuat bersaing satu sama lain.

Awal 2004, Martin mulai memasarkan dagangan merek sendiri. Sekarang mereka menjual 200 merek dari berbagai clothing—pembuat, atau malah hasil kreasi karyawannya sendiri, termasuk milik Kardjono dan teman­teman pensiunannya. Selain Endorse, Bloop,

(29)

M . M A ’R U F 16

ada pula merek Major, dan Babo. Sepotong kaos dijual bervariasi antara Rp 75.000­200.000 dan setiap hari satu gerai bisa menjual sekitar 5.000 potong. Ini ditambah dengan order beli putus ribuan potong per bulan oleh pembeli dari pelosok daerah, plus masa panen setahun sekali menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Dengan cepat barang­barang Bloop dan Endorse menembus kawasan lain mulai dari ujung Sumatera hingga Timur Indonesia. Termasuk pembelian besar dari Singapura dan Malaysia lewat agen tunggal Bloop dan Endorse di sana.

Desain garmen yang dijual tidak melulu menunggu, tetapi diciptakan dengan riset mendalam untuk meng­ hasilkan baju, kaos, dan sepatu yang lebih modis dan variatif. Sari yang merangkap Direktur Pemasaran Bloop sering kali menyamar sebagai pembeli untuk mendengar komentar, kritik atau ungkapan jujur dari bisik­bisik antarkonsumennya. Dari info rahasia ini, dia mencipta­ kan desain­desain baru sesuai keinginan pembeli. Ka­ dang kala, digelar undian nonton konser di luar negeri atau Wow Factor Strategy yang menghebohkan—keti­ ka se dang berbelanja, konsumen diberi amplop berisi

voucher hingga Rp 1,5 juta tetapi harus dihabiskan

dalam lima menit. Promosi ini cukup efektif membuat para gadis­gadis histeris, dan rela menghabiskan waktu lebih lama di sana.

Desain kaos yang dipajang juga hanya bertahan tiga bulan untuk menjaga agar pengunjung tidak bosan. Bila tidak laku, disimpan di gudang dan diobral saat liburan panjang sekolah atau menjelang akhir tahun seharga pokok. Kardjono juga mewariskan kebiasaan ketika masih bekerja di perusahaan, dengan membuat forum setiap hari Rabu. Tetapi, promosi paling efektif justru muncul dari pergaulan luas Martin dan Sari dengan para selebritas Tanah Air. Mereka meyakinkan pembelinya bahwa kaos, jaket atau tas mereka itu adalah pakaian

(30)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 17 yang dipakai para pujaan remaja itu—tanpa banyak mengeluarkan ongkos promosi. Martin sering mengajak temannya yang artis nongkrong di distronya. Sebut saja Natalie Sarah, Nirina Zubir, Peggy Melati Sukma, Ichsan dan Dirly Indonesia Idol, termasuk sejumlah grup band seperti Ada Band, Peterpan, Naif dan Nidji. Sementa­ ra Sari cukup akrab dengan awak band Seventeen, D’Massive, artis Okky Lukman, Sandra Dewi, Tora Sudiro, dan Donnie vokalis Ada Band. “Produk kami dipakai oleh VJ MTV yang saat itu sedang naik, yaitu Nirina. Orang sering sekali datang ke toko dan mencari kaus yang dipakai Nirina,” ungkap Sari.

Lagipula, dengan banyaknya manajemen artis dan rumah produksi (production house) yang bermarkas di Tebet, tak sulit menemukan selebritas wira­wiri di sana. Ini sangat menguntungkan. Martin tidak perlu membayar mahal manajemen artis, karena kaos atau topi itu diberikannya secara pribadi. Terserah teman­ temannya itu mau memakainya ketika berjalan­jalan di mal, konser atau manggung di televisi atau tidak. Majalah­majalah mode yang memakainya untuk proper­ ti pemotretan turut membantu sebagai iklan gratis. Ini berlanjut ke rumah produksi macam MD Entertainment, Avant Garde, Sinemart, juga Extravaganza Trans TV ikut­ikutan bekerja sama untuk mendapatkan properti yang sedang naik daun.

Bisnis distro akan mati lima tahun lagi. Ini adalah jawaban yang diterima ketiganya saat merayu sejumlah teman untuk memodali Bloop, Endorse, dan sekarang bertambah Bloopaka. Mereka sudah membuktikan pre­ diksi itu salah. Setelah distro, Martin lantas memiliki ide untuk menyewa bekas warung steak di sebelah ge­ rai Bloop yang sudah tutup. Martin awalnya ingin membuka cafe yang dinamai DeJons Cafe untuk para pelanggan yang datang hanya sekadar kongkow. Ketika tidak kunjung ramai pada Februari 2006, cafe itu diubah

(31)

M . M A ’R U F 18

menjadi DeJons Burger yang menjual burger, dan dengan segera menjadi meeting point ABG Jakarta.

Menyusul pada Mei 2007 didirikan Rumah Makan Bebek Ginyo—yang pembukaannya dihadiri sejumlah artis. Ginyo adalah nama depan mendiang kakek Martin, Genyodihardjo, pembuat keris di Yogyakarta. Rumah makan baru itu diberi interior ala Jawa tempo dulu untuk menyasar konsumen yang lebih tua. Munculnya Bebek Ginyo secara tidak langsung membuat usaha keluarga ini seperti area belanja terintegrasi. Jika anak­ anak asyik memilih belanjaan di Bloop dan nongkrong di DeJons, para orangtua yang menunggu lebih memi­ lih waktu masuk restoran Ginyo sambil bernostalgia. Konsumen­konsumen tua itu dilayani ayah dan ibu Martin bersaudara yang lebih banyak terlibat untuk urusan ini. Mereka menyediakan lima menu, bebek goreng, bebek bakar, bebek kremes (dibalut tepung dan digoreng renyah), bebek balado (dibalut sambel cabe merah), serta bebek sambal hijau (dibalut sambal cabe hijau).

Sang ayah kini lebih berperan sebagai konsultan dan mediator bagi ketiga anaknya, dan merencanakan bisnis baru dengan hitungan setiap tahun satu. Sementara Martin sedang mempersiapkan waralabanya. “Kalau sudah menikah, kami ingin mempunyai toko masing­ masing yang lebih besar dengan nama Bloop. Pokoknya, kami ingin membuat Bloop seperti Topshop di Inggris atau Zara di Spanyol yang terkenal di seluruh dunia,” tutur Sari.[]

(32)

19

D

ua puluh tahun pertama, penjualan Teh Botol

Sosro tidak langsung laris manis se perti sekarang. Penemunya, Sosrodjojo pertama kali menjualnya pa­ da 1940, dalam bentuk kemasan teh kering siap saji bermerek dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Slawi, ke sejumlah pasar di sana. Ini mulanya adalah strategi menghadapi penjualan hasil panen daun teh perkebunan milik sendiri yang terus merosot harganya, sehingga Sosrodjojo berupaya menjualnya secara eceran. Teh siap seduh merek Teh Cap Botol, yang merupakan jenis jasmine tea—campuran teh hijau dan bunga me­ lati—itu sebetulnya terasa enak dan segar, hanya saja cara­cara meracik minuman yang buruk kerap kali menenggelamkan cita rasanya.

Ini mendorong anak­anak Sosrodjojo berkampanye mengenai takaran pas meracik teh yang enak. Hasilnya adalah sebuah kegagalan—karena pembeli rupanya tidak terlalu menganggap itu penting—tetapi dari situ keluarga ini justru menemukan ide penjualan yang lebih brilian, membotolkan teh! Kisah pembotolan Teh

Sosro yang sukses ini sendiri tampak seperti dejavu

Sosro

(33)

M . M A ’R U F 20

legenda pembotolan Coca-Cola oleh dua pengacara asal Chattanooga, Tennessee, Amerika Serikat, Benjamin Thomas dan Josephe Witehead pada 1899. Bedanya,

Coca Cola pada awalnya sudah dijual dalam gelas plastik

siap minum, dan dua pengacara itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan John Stith Pemberton— penemu ramuan Coca Cola.

Satu versi bercerita bila gagasan pembotolan itu diilhami oleh kebiasaan anak sekolah di Slawi yang kerap membawa minuman teh dalam botol. Namun, versi yang lebih resmi seperti dipasang dalam situs resmi Sosro menyebutkan ide pembotolan lahir dari beberapa kali kegagalan dalam mempromosikan teh itu ketika melakukan ekspansi penjualan ke Jakarta oleh anak­ anak Sosrodjojo pada 1953. Sosrodjojo mewariskan perkebunan dan pabrik teh itu kepada empat anaknya; Soetjipto, Soegiharto, Soemarsono (meninggal dalam usia muda), dan Surjanto.

Surjanto yang baru pulang dari sekolah di Jerman, diserahi tugas membantu memasarkan ke pasar­pasar dan pusat keramaian dengan program Cicip Rasa. Program itu adalah semacam demo menyeduh teh yang benar sekaligus memberikan bukti teh wangi adalah minuman yang enak. Secara rutin tim promosi yang dipimpin Soetjipto mendatangi tempat­tempat keramaian membagi­bagikan teh siap minum. Mereka mengendarai mobil dan memutar lagu­lagu, mengundang dengan pengeras suara bahwa ada pembagian teh gratis. Setelah banyak orang terkumpul, para staf mulai mendemokan cara menyeduh Teh Cap Botol dengan benar. Para penonton menyukai teh itu, tetapi menunggu segelas teh untuk 30 menit tampak bukan promosi yang bagus. Lagi pula, membuat teh tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga promosi itu menjadi tidak efektif. Orang­orang menjadi bosan dan tanpa apresiasi.

(34)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 21 Beberapa waktu kemudian, masalah itu diakali dengan memperpendek durasi demonstrasi menyeduh teh. Tidak ada jadwal merebus air dan menyeduh teh di lokasi. Air teh terlebih dahulu disiapkan di kantor, dan kemudian diangkut dengan panci­panci ke lokasi. Cara ini pada mulanya lebih efektif, tetapi masih menimbul­ kan masalah karena jalanan Jakarta yang berlubang membuat teh­teh dalam panci berceceran di kendaraan saat perjalanan. Baru pada cara ketiga ditemukan meto­ de paling jitu, dengan masukkan teh siap minum itu dalam botol­botol bekas limun yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Cara ini cukup sukses dan promosi dijalankan beberapa tahun tanpa menyadari ada potensi besar di balik pembotolan itu.

Lama­kelamaan konsumen justru ketagihan dengan teh siap minum yang ditawarkan dalam Cicip Rasa. Sopir dan orang­orang yang lalu lalang di sekitar Jalan Gajah Mada, Bandar Kemayoran, dan Pasar Senen, Jakarta Pusat yang tadinya malas mencicip lama­lama bergerombol ketika mobil promosi yang khas dengan lagu­lagu datang. “Lama­lama terasa lebih efisien kalau teh diseduh di rumah untuk kemudian disuguhkan kepada calon konsumen di pasar. Kebetulan, disajikan dalam botol­botol,’’ kata Soetjipto.

Pada 1969, keluarga Sosrodjojo memulai penjualan teh siap minum dalam kemasan botol. Botol­botol limun yang awalnya dipakai untuk promosi diberi label tulisan Teh Cap Botol Soft Drink Sosrodjojo, mendompleng merek teh seduh Cap Botol. Di masa masa awal, pem­ botolan dilakukan secara manual. Teh dimasukkan memakai gayung, memakai corong plastik dan desain botol yang dipakai masih sangat sederhana. Pada 1972, masih dengan botol yang sama, label Teh Cap

Botol diubah dengan penulisan “Cap” yang lebih kecil,

sepintas orang hanya akan membaca Teh Botol—seperti yang kerap dibicarakan orang. Tulisan Soft Drink juga

(35)

M . M A ’R U F 22

dihilangkan dan kata Sosrodjojo dipangkas menjadi Sosro dalam logo bulat merah.

Ketika pengiriman mencapai 100 krat per hari (satu krat berisi 24 botol) pada 1974, keluarga sepakat men­ dirikan Sinar Sosro, untuk mengelola pabrik pembotolan di kawasan Ujung Menteng (waktu itu masuk wilayah Bekasi, tetapi sekarang masuk wilayah Jakarta). Setiap jam, pabrik mampu mengemas 6.000 botol per jam. Desain botol diubah seperti yang ada sekarang. Usaha ini sekaligus memisahkan dari induk usaha Perkebunan Teh Gunung Slamet yang memiliki ribuan hektar ladang di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Soetjipto memiliki

cara unik memberi harga yang pas untuk setiap botol di tingkat agen dan eceran. Sebotol teh dihargai tidak melebihi harga parkir, Rp 25 ditingkat pengecer, dan pedagang kaki lima boleh menjual hingga dua kali lipatnya. Tetapi terobosan besar baru dimulai pada 1981 ketika mereka membagi­bagikan kotak pen dingin (cooler

box) di atas roda dorong

kepada para pengecer, mulai dari perempatan Coca­ Cola (sekarang ITC Cempaka Mas), sampai kawasan Pasar Senen. Teh yang dingin semakin menonjolkan kesegaran Teh Botol Sosro di tengah udara Jakarta yang panas. Hubungan manis antara penjual yang diberi margin keuntungan tinggi itu pada mulanya sebagai kompensasi setelah toko­toko besar masih menganggap aneh minuman teh dalam botol. Kedekatan dengan para pedagang kaki lima justru amat menentukan kesuksesan

(36)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 23 Sosro membangun rantai distribusi yang sedemikian tertata dan terukur tanpa preseden kehabisan stok. Di titik ini, jalur distribusi Sosro memiliki tiga jenjang; agen, sub agen, dan pengecer. Sejak awal, inventaris botol­botol perusahaan telah ditetapkan minimal dua kali lipat dari jumlah teh botol yang berada di tangan distributor, sehingga terdapat proporsi seimbang antara botol di pabrik dengan botol di pasaran. Demikian pula, tenaga­tenaga penjual ditempatkan secara proposional disesuaikan dengan jumlah truk pengangkut krat­krat yang menyalurkannya ke 400 pos distribusi di Tanah Air. Sistem distribusi yang dikelola oleh tujuh perusahaan pribadi milik sendiri itu hampir menyentuh seluruh level kabupaten dan kota di Nusantara sehingga akan sulit disabotase oleh pesaing. Dengan sistem itu, kecua­ li ditilep oleh pesaing, Teh Botol Sosro selalu ada keti­ ka diminta konsumen. Pada 1984, Sosro bisa menjual 40.000 krat teh botol dan kardus setiap bulannya. Mereka menguasai 80% pasaran minuman sejenis dan menyisakan 20% lainnya bagi 11 merek saingan.

Pangsa pasar Sosro nyaris tidak berubah, meski dikepung oleh merek­merek teh yang disokong per­ usahaan global legendaris, terutama Coca Cola dan

Pepsi. Keperkasaan Sosro menghajar soft drink merek

impor itu lebih tampak pada perebutan pengaruh di gerai­gerai makanan cepat saji (fast food). Kesan ini muncul setelah Rekso Nasional Food milik keluarga Sosrodjojo mengakuisisi Mc Donald. Ini pukulan telak bagi Coca Cola karena selama 18 tahun keberadaannya di Indonesia, restoran bermenu utama ayam itu hanya menyuguhkan minuman produksi Coca Cola. Di tahun lalu, Sosro telah mengalahkan Coca Cola Indonesia, yang di­back up penuh oleh Coca Cola Company. “Kami berada di atasnya,” kata Presiden Direktur Sinar Sosro Yoseph Sosrodjojo yang menyebut keuntungannya pada 2008 mencapai Rp 1,8 triliun.

(37)

M . M A ’R U F 24

Kekaisaran bisnis Sosrodjojo, yang kini masuk gene­ rasi ketiga, kuat, dengan taksiran aset lebih dari Rp 10 triliun. Hanya perpecahan di tubuh keluarga yang bisa menghancurkan bisnis tersebut. Sejak berdiri, kepemilikan perusahan tidak pernah keluar dari ling karan empat putra Sosrodjojo. Bahkan ketika ahli waris Soemarsono dan keluarga Surjanto melepas saham pada 1989 dan 1992, mereka hanya menjual kepada Soegiharto yang di masa tuanya menikmati 11,7% saham Sinar Sosro. Kini hanya dua putra Sosrodjojo yang menguasai Sosro, yakni Soegiharto bersama istri serta lima putranya dan Soetjipto bersama dua putranya.[]

(38)

25

O

rang seperti Raam Jethmal Punjabi akan sangat

rentan terhadap tudingan di balik moral masyarakat yang cenderung turun. Sinetron dan film­filmnya kerap dianggap telah menyebabkan keluarga Indonesia kehi­ langan rasionalitas dan menjadi naif akan kehidupan yang sebetulnya abu­abu, bukan hitam dan putih. Para kritikus akan sepakat bahwa sinetron­sinetron yang ditayangkan hampir 24 jam di layar kaca itu secara berlebihan telah mengeksploitasi cerita­cerita mistis, percintaan, dan religi. Tetapi, kritikus­kritikus tidak akan bisa mengelak bahwa Raam­lah orang terdepan yang menghidupkan industri film lokal dan menciptakan tren baru untuk tayangan hiburan di televisi.

Lahir di Surabaya 6 Oktober 1943, Raam mulai bekerja di sebuah perusahaan tekstil pada 1964 hingga akhirnya meninggalkan sama sekali bisnis kain itu pada 1969. Kisah hidupnya mengingatkan kita pada jalan cerita film Nuovo Cinema Paradiso (1988) karya Giuseppe Tornatore, yang menggambarkan kedekatan seorang anak dengan dunia film di negeri pizza, Italia. Salvatore, si anak kecil, menjalin hubungan pertemanan dengan

Multivision Plus

Jangan Dengarkan

Kata Orang

(39)

M . M A ’R U F 26

Alfredo, seorang proyeksionis bioskop dari sebuah kota kecil di Pulau Sisilia. Dari Alfredo­lah, Salvatore kecil mendekatkan dirinya pertama kali dengan dunia layar lebar hingga akhirnya menuai sukses menjadi sutradara film kenamaan di ibukota Roma. Beda halnya dengan Raam kecil yang tertarik dengan layar film ketika dirinya dekat dengan seorang penjaga pintu bioskop. Tak jarang Raam digratiskan masuk dengan imbalan pinjaman sepedanya. “Pernah sepeda saya dipinjam hingga tengah malam, sehingga saya terlambat pulang dan dimarahi,” ungkap Raam.

Ketertarikan itulah yang akhirnya mengikat batin dan menarik Raam ke dunia perfilman. Perjalanan hi­ dup Raam Punjabi, yang sekarang sudah tenar sebagai saudagar sinetron dan jagad perfilman, memang tak jauh dari kisah si anak penjaga gedung bioskop.

Langkah pertama Raam di ranah perfilman dimulai pada 1967, saat bersama Dhammoo Punjabi dan Gobind Punjabi mendirikan perusahaan importir film, Indako Film, dengan modal Rp 30 juta. Berselang tiga tahun, Raam yang tidak puas akhirnya mendirikan Panorama Film yang hanya bertahan tak lebih dari enam tahun. Rumah produksi itu bersama Aries Internasional Film, memelopori film nasional pertama yang menggunakan seluloid 70 milimeter, yaitu Mama (1972) karya Wim Umboh. Meski demikian, film itu tidak laku di pasaran dan mereka rugi jutaan rupiah. Namun, jiwa bisnis putra Jethmal Tolaram Punjabi dan Dhanibhai Jethmal Punjabi itu membuatnya tak kehabisan akal.

Kesuksesan baru menjumpai ketika Raam mengon­ trak Trio Warkop DKI; Dono, Kasino, dan Indro untuk memainkan skenario­skenario lucu yang kasar. Lelucon­ lelucon garing dibalut wanita­wanita cantik dengan berpakaian seksi, rupanya memicu orang kembali rajin pergi ke bioskop. Mengenai wajah­wajah rupawan yang mendominasi sinetron dan filmnya, barangkali ini terkait

(40)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 27 pengalaman unik di masa lalunya. Masih pada usia belasan, setelah ayahnya meninggal dunia, dengan restu sang ibu, Raam nekat pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Awal kehidupan di Jakarta dia lalui dengan menjadi pegawai toko kain di kawasan Pasar Baru. Setelah itu Raam mencoba berjualan sendiri dengan cara door to

door, menjual kemeja bermerek, dilanjutkan menjajakan lingerie alias pakaian dalam wanita. Berjualan lingerie

itu sering dianggap sebagai bagian dari kesukaan Raam pada segi­segi kecantikan wanita. Dalam kurun waktu 17 tahun awal kariernya sebagai produser, Ram telah

memproduksi lebih

dari 100 film, termasuk lewat PT Parkit Film yang didirikan pada 1981. Tetapi, kritikus

film sangat kejam

kepada Raam. Malah, dia acap kali dituduh sebagai perusak tren perfilman nasional dan gaya candanya dianggap semakin vulgar. Tokoh­ tokoh agama semakin keras bersuara pada beberapa seri Warkop akhir ‘90­an.

Sekitar 1989, kondisi perfilman Indonesia benar­ benar hancur oleh film­film impor yang membanjiri bioskop. Lagi­lagi Raam tidak kehilangan akal. Dia beralih ke dunia sinetron yang pada saat itu relatif baru bagi mayoritas penduduk Indonesia yang hanya mengenal TVRI dan siaran TV nasional negara tetang­ ga lewat parabola. Munculnya stasiun televisi swasta pertama, RCTI, membuat Raam melihat peluang yang lebih besar bagi perkembangan bisnisnya yang mulai suram. Itulah dunia sinetron yang mulai digelutinya

(41)

M . M A ’R U F 28

pada 1990 dengan mendirikan rumah produksi baru, Tripar Multivision Plus. Langkah itu terbukti dengan suksesnya serial sinetron komedi Gara-Gara. Setelah

Gara-gara yang memopulerkan nama Jimmy Gideon

dan Lydia Kandou, siapa yang tidak mengikuti sinetron

Lika-Liku Laki-Laki yang mengangkat kembali nama

grup Empat Sekawan, Jin dan Jun yang memperkenalkan Syahrul Gunawan, atau Tuyul dan Mbak Yul yang melambungkan nama Onni Syahrial?

Tak luput, sinetron drama yang menjadi langganan ibu­ibu rumah tangga setiap sore kala itu, seperti Pelangi

di Hatiku, Bela Vista, Saat Memberi Saat Menerima, Shangrila, Untukmu Segalanya, Tersanjung, atau Janjiku.

Memasuki era 2000­an, muncul rumah produksi sinetron lain yang mulai meramaikan sinetron. Namun, Raam memiliki strategi lain, dengan memasang judul­judul baru yang lebih menarik dan terus memasok sinetron baru dengan jumlah yang mencengangkan. Tercatat, sampai Agustus 2005, Raam telah memproduksi lebih dari 200 judul sinetron.

Hingga kini, tidak ada yang bisa menyaingi ke­ besar an Raam Punjabi dalam industri hiburan televisi, terutama film dan sinetron. Ini sempat membuatnya dijuluki kartel India dalam industri sinetron, karena setiap drama yang keluar di televisi itu tidak bisa lepas dari bayang­bayang keluarga Punjabi, dengan Raam yang berada di singgasana. Produksi sinetron Raam disertai beragam resep dan bumbu­bumbu yang tak jarang memicu konflik bagi sebagian orang. Mulai dari ide cerita yang dianggap menjiplak film maupun sinetron hingga pengandalan wajah­wajah rupawan.

Kritikus sosial menganggap sinetron­sinetron itu mu­ rah an dan hanya menjual mimpi serta kehidupan me wah kepada mayoritas pemirsa televisi yang miskin. Orang­ orang cukup mencemaskan fenomena dampak sinetron Raam yang dapat merusak moralitas generasi muda.

(42)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 29 Tetapi, pasar melawan opini ini dengan tinggi nya rating sinetron­sinetron tersebut, sehingga Raam mene mukan banyak alasan untuk menangkis kritikan yang ditujukan kepadanya. Baginya tidak ada rumah produksi yang memiliki tujuan dan niat merusak moral dan akhlak bang­ sa, serta merusak jalan pikiran orang. Dalam kamus nya, mimpi tersebut tidak jelas, tetapi merupa kan harapan yang dapat menjadi kenyataan. Harap an serta semangat itu yang ingin dibangkitkan Raam sehingga terlihat jelas dalam film­film yang di pro duk sinya.[]

(43)

30

A

pa persamaan sabun mandi dengan kopi? Tanya­

kanlah kepada Soedomo Margonoto, dan dia akan menjawab bahwa mengemas kopi bubuk dalam kemasan mungil seukuran sabun telah membuatnya menjadi kaya raya. Itu ditemukan pada 1975, ketika anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Go Soe Loet dan Too Goan Cuan itu tertarik dengan kemasan sabun mandi Lux yang berukuran segenggaman tangan. “Setelah saya amati, kok enak ya dijual satu per satu,” ujar dia. ””

Domo—panggilannya—mengujicobakan model ke­ masan itu pada bubuk kopi dengan bentuk kemasan contongan. Tiap contong diisi bubuk kopi dengan berat 100 gram, menyusul kemudian 250 gram, 500 gram, dan sachet.

Dari kemasan­kemasan kecil yang mudah diecerkan itu, Domo baru sadar bahwa orang­orang mungkin sudah lama suka dengan cita rasa kopi Kapal Api yang diproduksi sejak 1927. Alasan kopi itu tidak memiliki reputasi penjualan yang bagus tampaknya lebih karena kopi itu oleh ayahnya dikemas dalam karung seberat

Kapal Api

Rasa Bukanlah Segalanya,

Dibutuhkan Inovasi

(44)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 31 satu sak semen—kemasan kaleng seberat 50 kg—se­ hingga untuk membuat secangkir kopi tentu orang akan berpikir dua kali.

Konsumen betul­betul menyukai kopi Kapal Api dalam kemasan baru tersebut, tak pelak, Kapal Api langsung mengungguli merek­merek yang sudah mapan dan jauh lebih tua, seperti Kopi Kedung Laju, Kopi Cap

Gadis, Kopi Supiah, Kopi Wanita Utama, Kopi Gelatik,

dan Kopi Cap Oto Terbang.

Tetapi bagi Domo, yang kabarnya lebih menyukai kemeja seharga seratus ribuan, inovasi soal kemasan adalah satu dari beberapa ide yang membuatnya merajai sekurang­kurangnya 65% pasar kopi nasional.

Ayah Domo adalah pemain anyar dan harus ber­ simbah peluh untuk menjajakan kopi racikannya dari toko ke toko di Surabaya, Jawa Timur. Kopi merupakan minuman wajib waktu itu, dan di setiap daerah nyaris sudah ada orang yang memproduksinya. Tapi bagi perantau Go Soe Loet yang menyeberang ke Jawa— ia berasal dari Pulau Fujian, China Daratan—masih ada peluang untuk berjualan kopi. Tentu untuk kelas masyarakat yang susah, sehingga di antara tumpukan sayur­mayur dagangannya diselipkanlah kopi yang di­ campur jagung yang dapat dijual dengan harga lebih terjangkau. Kopi itu diberi merek HAP Hootjan, yang dalam bahasa Indonesia berarti kapal api. Merek itu diilhami dari jenis teknologi kapal bertenaga ketel uap yang membawanya ke Jawa. Meski bukan kopi kelas premium, mencatut nama kapal api yang waktu itu adalah teknologi terbaru bisa menutupi kekurangannya.

Usaha keluarga itu kemudian diserahkan kepada Domo yang sejak dini sudah rajin berjualan kopi dengan sepeda ontel berkeliling Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dan keluar­masuk kampung. Dia senang berbisnis kopi dan mulai paham tentang seluk­beluk kopi dan mesin produksinya. Pada 1975, Domo memulai

(45)

M . M A ’R U F 32

proyek ambisius untuk membangun pabrik kopi yang lebih modern. Mempercanggih mesin penggorengan, mempercantik kemasan eceran, promosi yang lebih agresif, dan memperbaiki pabrik adalah daftar utama restrukturisasi perusahaannya. Dia menyewa bangunan pabrik di Jalan Panggung IX/12, Surabaya, dan membeli mesin goreng lokal seharga Rp 150.000 serta mesin giling seharga Rp 10.000. Sementara waktu itu memecahkan masalah, tetapi lama­kelamaan tidak cukup.

Inovasi mencari teknologi modern pengolah kopi­ kopi Indonesia mungkin dimulai dari tangan Domo. Mula­mula dia membandingkan kopi Kapal Api dengan kopi kemasan asal Eropa dan mendapati aromanya jauh di bawah standar kopi olahan impor yang boleh jadi bahan bakunya dari Indonesia. Belakangan dia baru tahu dari Lembaga Ikatan Indonesia Jerman bahwa mesin pengolahan kopi miliknya sudah kedaluwarsa. “Begitu dapat kiriman, saya terkejut. Yang kami punya ternyata produksi tahun 1800­an,” kata Domo yang langsung mendatangi pameran mesin pengolahan kopi di Dusseldorf, Jerman pada 1978. Tetapi, dia tidak menyangka bahwa mesin ukuran sedang itu ternyata berharga Rp 123 juta, jauh dari yang dibayangkannya. Apa yang ada di benaknya seketika itu adalah mencuri metode kerja mesin mahal itu dan membawanya pulang ke Surabaya—Domo hanya mengingat detail mesin, karena pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera di area pameran.

Walaupun kemudian dia bisa membuat mesin baru rekaan dengan modal Rp 870.000 dan mampu mengolah kopi sebanyak 180 kg/jam, itu tidak menyelesaikan masalah. Aroma kopi hasil ide curian itu sama sekali tidak mirip dengan produksi mesin aslinya. Satu­ satunya jalan mencari pinjaman. Bank Pembangunan Indonesia—dan sejumlah koleganya—adalah pihak­ pihak yang menganggapnya sudah tidak waras dengan

(46)

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 33 proposal kredit untuk sebuah mesin penggilingan kopi seharga Rp 123 juta rupiah, yang buatan lokalnya hanya Rp 1,75 juta. Apalagi, produksi Kapal Api saat itu baru 200­300 kg/hari. “Ghendeng (gila) kamu, Domo. Kopi lokal saja pakai diproduksi dengan mesin Jerman,” kenangnya mengenai komentar orang kala itu.

Akhirnya, lewat serangkaian negosiasi panjang dengan Triasa, agen mesin itu, Domo memiliki mesin modern pertamanya. Berton­ton stok kopi kemudian berhasil diolah dengan mesin baru itu.

Domo memang banyak akal. Dialah pemilik pabrik­ an kopi pertama yang berpikir memasang iklan di televisi akan memberi efek luar biasa bagi penjualan. Pemirsa TVRI era 1980 pastinya masih ingat bintang lawak Srimulat, Paimo—dia memerankan wewe

gom-bel—yang dikontrak Domo mengiklankan Kapal Api.

Meski kemudian Departemen Perdagangan menghenti­ kan program niaga di TVRI, iklan kopi itu sudah ter­ lanjur terkenal dan pada akhirnya kebijakan ini justru menguntungkan, karena pesaing yang baru tersadar tidak bisa lagi mengikuti cara promosi baru ini. Iklan pendek itu kemudian mempermudah penjualan kopi

Kapal Api di Bandung, Semarang, Palembang, Medan,

Pontianak, Makassar hingga Denpasar. Pada 1985, kopi

Kapal Api mulai diekspor ke Timur Tengah dan menyusul

kemudian ke Taiwan, Hong Kong, dan Malaysia. Satu masa di mana Domo harus berpikir ekstra adalah ketika Sinar Sosro—produsen Teh Botol Sosro— ingin menjajal bisnis kopi bubuk setelah sukses merajai bisnis teh. Domo tampak khawatir dengan rencana itu, sehingga memburu penjualan merek baru, kopi

ABC, yang kemudian berhasil menghalau keluarga

Sosrodjojo nimbrung di bisnis ini. Pada 1992 Domo mengembangkan kedai kopi (coffee shop) Excelso untuk kalangan atas. Mula­mula hanya ada dua gerai, di Plaza Indonesia (Jakarta) dan Plaza Tunjungan II (Surabaya).

(47)

M . M A ’R U F 34

Kini, 36 gerai Excelso tersebar di beberapa kota besar Indonesia serta hadir di Vhina dan Taiwan. Namun, Excelso menghadapi persaingan serius dari kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, yang kini punya 62 gerai. Tampaknya ladang ini sulit dikuasai Domo kecuali dia kembali menelurkan inovasi yang brilian.

(48)

bagian

2

Orang-Orang

Spesial;

(49)

36

P

ada 1972, tidak ada yang sanggup mem bayangkan

bisa menjual sebotol air dengan banderol lebih mahal dari harga seliter bensin. Bagaimana mungkin menjual air, padahal setiap orang memiliki sumur di rumah? Adalah Tirto Utomo yang menemukan visi bahwa orang­orang masa depan akan lebih memilih mengeluarkan beberapa lembar pecahan ribuan untuk membeli sebotol air di jalan, daripada membawa air matang rebusan dari rumah. Tentu saja, ada kisah di balik visi itu.

Awal 1970­an, Tirto adalah pegawai Pertamina yang sedang berpikir keras mengenai cara terbaik meng­ hilangkan kesan buruk tamu­tamu penting sehabis berkunjung ke perusahaan pelat merah itu. Dia bekerja serabutan di bawah tekanan Jenderal Pattiasina, meng ­ urusi hubungan masyarakat, masalah legal, meng­ koordinir keamanan, menghitung gaji karyawan, hingga urusan pertunjukan orkes untuk sebuah pesta. Walaupun bukan pejabat penting, perannya banyak menentukan keberhasilan kontrak bagi hasil minyak dan gas yang di rintis Pertamina dengan perusahaan­

Aqua

Sebuah Kejadian Tidak

Menyenangkan adalah Ide

Bisnis yang Menggiurkan

(50)

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 37 perusahaan asing. Pekerjaan itu kerap membuatnya tidak bisa tidur nyenyak, harap­harap cemas karena sebuah kontrak penting rupanya ditentukan oleh hal­ hal kecil.

Pada 1971, sebuah negosiasi kontak bagi hasil minyak Pertamina dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat berantakan gara­gara insiden istri ketua dele­ gasinya sakit perut. Kemungkinan diare, karena dokter yang memeriksanya menemukan istri Reimond Todd itu mengonsumsi air yang tidak bersih. Negosiasi itu gagal total, lantaran Tood lebih memilih pulang ke negaranya untuk mencari pengobatan. Meski beberapa tahun kemudian kontrak itu berhasil diperoleh Pertamina, kejadian sangat memalukan itu membuat Tirto semakin berpikir keras. Ini bukan kali pertama dia mengantarkan para tamu pergi ke dokter.

Solusi baru muncul setelah diketahui orang­orang bule itu tidak biasa meminum air sumur yang direbus, tetapi air yang telah disterilkan. “Saya lalu berpikir, bagaimana menyediakan air bersih dalam botol yang praktis,” kata dia.

Dia mengumpulkan saudara­saudaranya untuk mempelajari bagaimana cara memproses air mineral dalam kemasan (AMDK) yang belum ada di Indonesia waktu itu. Sebetulnya ilmu itu tidak sulit diperoleh karena pekerjaannya yang berhubungan dengan orang­ orang asing banyak memberikannya kontak orang­ orang penting dari pelbagai bidang. Mulanya, Tirto yang tidak mengerti sama sekali akan proses pemurnian air mengutus adiknya, Slamet Utomo, untuk magang di Polaris, perusahaan AMDK yang sudah beroperasi 16 tahun di Thailand. Tidak mengherankan bila pada mulanya semua hal mengenai Aqua menjiplak Polaris. Mulai dari bentuk botol kaca ukuran 500 mililiter sampai merek mesin pengolahan air dan mesin pencuci botol serta pengisi air.

(51)

M . M A ’R U F 38

Tirto dan Slamet memulai proyek ambisius dengan membeli sebidang tanah bekas sawah di Pondok Ungu, Bekasi. Mereka menamai pabrik itu Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun dan jam kerja maksimal tiga jam sehari. Dua tahun berselang, Tirto berhasil menjual Aqua perdananya. Air­air itu dikemas dalam botol kaca ukuran 950 mililiter dan dijual seharga Rp 75—saat itu seliter (1.000 mililiter) bensin cuma dihargai Rp 46. Sasaran konsumen pertama adalah ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Jakarta. Keputusan ini tepat karena mereka relatif sudah paham pentingnya membeli produk Tirto. Di negeri asalnya, mereka sudah terbiasa membeli AMDK yang dikenal sebagai bottled water atau mineral water. Beda dengan penerimaan warga Jakarta yang justru menertawakan. “Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak orang yang menolak” kenang Willy Sidharta—menantu penunggu rumah Tirto yang diangkat sebagai sales dan perakit mesin pabrik pertama Aqua.

Soal nama, Tirto sempat ragu memberi nama perusahaannya dengan Golden Mississippi yang akan terdengar asing. Tetapi itu jelas lebih keren dan cocok dengan promosi kualitas air yang dijualnya sebagai pure

artesia water. Sementara untuk nama produk, awalnya

dipakai Puritas (asal katanya “purity”) dengan alasan bakal menunjukkan secara langsung makna kemurnian. Tetapi, konsultan asal Indonesia yang bermukim di Singapura, Eulindra Lim, berpikir lain. Menurut dia, nama Aqua mengandung asosiasi yang lebih tinggi terhadap imej air dalam kemasan botol. Lagi pula, lidah konsumen tidak mudah keselo mengucapkannya. Tirto setuju memakai nama temuan konsultannya itu.

Baru pada 1982, Tirto memutuskan mengganti bahan baku yang semula dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri, self flowing spring. Para konsumen diperkenalkan sebuah positioning baru,

(52)

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 39 tak perlu susah­susah mendaki gunung hanya untuk menengguk air yang murni dari sumbernya. Apalagi berbagai temuan klinis juga mendukung bahwa mata air pegunungan mengandung komposisi mineral alami yang sangat kaya nutrisi, seperti kalsium, magnesium, pota­ sium, zat besi, dan sodium. Tirto menganggap masalah bahan baku ini penting, meski sampai sekarang Aqua tidak pernah menggunakan mata air yang menyembur alami. Yang dilakukan adalah melakukan penelitian di sekitar mata air asli tersebut, baru ditentukan titik bor untuk sumur yang kemudian menjadi mata air buatan.

Olahraga dan Aqua tidak terpisahkan, seperti halnya Tirto dengan bulu tangkis, golf, dan renang. Promosi ini pas dan cocok dengan kampanye hidup sehat yang diusungnya. Iklan­iklan di layar kaca, cetak, hingga

sponsorship itu begitu efektif. Saking populernya, wa­

jar bila kemudian sampai sekarang orang menyebut air mineral sebagai Aqua. Nyaris tiada kegiatan olahraga level nasional dan internasional yang tidak digarap Aqua sebagai ajang promosi. Mulai dari Pekan Olahraga Nasional, Sea Games, Thomas & Uber Cup, World Cup, hingga World Golf Competition. Promosi paling spektakuler adalah mendatangkan pemain sepak bola legendaris asal Prancis, Zinedine Zidane.

Sejarah Aqua mungkin akan mencatat Tirto se­ bagai legenda. Tetapi di tangan orang cekatan di balik pengiriman­pengiriman Aqua yang tepat waktu, seperti Willy­lah Aqua bisa menjadi raksasa. Si perakit mesin pada masa­masa awal pabrik beroperasi itu menemukan sistem pengiriman kemasan galon yang diproduksi khusus untuk rumah tangga modern dan kantor­kantor. Sampai dengan diangkat menjadi Presiden Direktur pada 1977 (sampai 2004) tidak banyak yang tahu peran­ peran penting Willy dibalik kesuksesan membangun jaringan distribusi Aqua. Bekas pedagang roti dan buruh pabrik biskuit Nissin inilah yang membangun sistem

(53)

M . M A ’R U F 40

awal delivery door to door dan menjadi cikal bakal sistem pengiriman langsung Aqua. Konsep pengiriman kardus­kardus serta galon­galon Aqua memakai truk yang didesain khusus, kuat, dan disiplin itu membuat penjualan Aqua secara konsisten terus menanjak.

Willy mulai membangun armada pengiriman de­ ngan memisahkan bagian pengiriman pertama yang di­ tugasi membagi­bagikan dispenser gratis. Petugas bagi­ an pengiriman pertama ini dibekali pengalaman untuk bisa menjelaskan apa itu manfaat air mineral yang akan membuat peminumnya hidup lebih lama daripada air rebusan. Bagian ini lalu memberikan laporan dan data kepada bagian pengiriman rutin, apabila konsumen ber­ sangkutan sudah ketagihan. Prestasi ini membuatnya menjadi orang kepercayaan Tirto dan sudah dianggapnya sebagai saudara. Toh, walaupun Willy adalah manajer terbaik yang pernah dimiliki Tirto, hubungan keduanya tidak pernah semesra yang bisa dibayangkan orang. Sangat amat formal, berbeda dengan orang dekat lain yang bisa ikutan bermain golf atau ngobrol sambil ngopi atau berkunjung ke rumah Tirto.

Ketegangan keduanya berangsur­angsur mencair dan Willy dipercaya melakukan pelbagai ekspansi yang meroketkan angka penjualan menyentuh empat miliar per tahun. Ini setelah pendirian pabrik kedua di Pandaan, Jawa Timur, pada 1984 hingga mampu mendekati dua triliun rupiah. Efisiensi biaya lewat cara cerdas mendekatkan konsumen dengan sumber bahan baku membuat Aqua dengan cepat memiliki modal untuk mengembangkan konsep lisensi dalam ekspansi baru dengan masif. Lisensi itu dalam rangka ekspansi ke luar negeri tanpa ekspor, tetapi langsung mendirikan pabrik di Filipina dan Brunei Darussalam. Sementara ekspor air Aqua memakai kapal laut sudah dirintis medio 1987 dimulai dari Singapura, Malaysia, Maldives, Fiji, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Tahun itu pula

Referensi

Dokumen terkait