• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nurani Bisa Menuntun pada Jalan Bisnis Baru

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 193-198)

180

S

usi Pudjiastuti pertama kali dikenal publik bukan sebagai pengusaha yang mengundang decak kagum karena kegigihannya merintis ekspor lobster dari Pangandaran menggunakan pesawat pribadi ke Jepang. Perokok berat dan penyuka kopi pahit itu justru amat populer sebagai orang berhati emas saat bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004. Harian Kompas edisi Jumat, 14 Januari 2005 menulis dengan judul Perempuan Pemberani Itu Susi

Namanya. Majalah Gatra di hari yang sama menulis Nekat, dalam rubrik Apa dan Siapa. Beberapa media

lain juga menurunkan artikel feature yang tidak begitu berbeda.

Susi dan suaminya Christian von Strombeck, di­ kenal sebagai pahlawan karena kebaikan hati dan ke be­ raniannya, sebagai orang yang pertama kali men darat­ kan pesawatnya di Aceh untuk memberikan bantuan pribadi. Mereka berdua membuka isolasi Aceh yang porak­poranda oleh air bah dengan mendaratkan pesa­ wat Cessna di Bandara Tjut Nyak Dien, Meulaboh, pada 28 Desember 2004. Kisah ini mengharu biru, menyebar

Susi Air

Nurani Bisa Menuntun

pada Jalan Bisnis Baru

Ba

gian 6 –

Cinta Itu Dampakn

ya Luar Biasa

181

dengan cepat ke dunia maya dan menjadi inspirasi ba­ nyak orang. Keberhasilannya mengilhami pesawat ber­ badan kecil milik Polri dan TNI­AL untuk melakukan hal sama. Bahkan, Mike dan Joe, warga Amerika Serikat juga menerbangkan pesawat mereka dari Guam, AS ke Meulaboh untuk mengirimkan bantuan. Karyawan pesawat Cessna di AS juga menitipkan bantuan dana USD 50.000 untuk disalurkan ke korban lewat Susi.

“Saya katakan bahwa kami jauh­jauh datang tidak mau bunuh diri, apalagi mengorbankan pesawat seharga Rp20 miliar, kami mau membantu orang,” kata Susi saat mencoba meyakinkan Dirjen Perhubungan Udara yang semula tak memberikan izin mendarat. Susi dan suaminya akhirnya nekat dan berhasil mendarat di landasan sepanjang 550 meter dan lebar 10 meter, dengan sisi kanan­kiri yang retak akibat gempa. Kisah berani ini kemudian membuat banyak pihak mempercayakan penerbangan ke Aceh lewat pesawat Susi.

Susi sama sekali tidak bermaksud menjadikan pe­ nerbangan Tsunami di Aceh sebagai operasi bisnisnya. Meskipun, ASI Pudjiastuti Aviation, sebuah perusahaan pesawat carteran yang menaungi dua pesawat Cessna Grand Caravan telah didirikan sebulan sebelum tragedi itu terjadi. Awalnya adalah murni memberikan bantuan pribadi, kemudian membantu menerbangkan bantuan pihak lain dan relawan, tetapi selanjutnya banyak yang membayar untuk bantuannya ini. Bagi Susi, peristiwa ini membukakan peluang bisnis pesawat carteran yang masih perawan untuk geografis Indonesia yang berkepulauan.

Dia makin serius dengan menyediakan 15 pesawat yang melayani jasa carteran dan tujuh rute penerbangan komuter. Di Sumatera, dia membuka rute Medan ke Simeuleu, Medan­Meulaboh, Medan­Aek Godang dan Medan­Blang Pidie. Lalu di Kalimantan, Susie Air me­ layani rute Banjarmasin­Muara Teweh, Muara Teweh­

M . M A ’R U F 182

Palangkaraya dan Balikpapan­Sebuku. Pada 2006, Susi membuka cabang di Jayapura, dan kemudian Balik­ papan. Dalam waktu singkat, omzet Susi Air sudah Rp 40 miliar.

Susi adalah perempuan kampung yang tak ta­ mat SMA, namun sukses berbisnis hasil laut hingga m ampu membeli pesawat. Perempuan Jawa kelahiran Pangandaran 15 Januari 1965 itu memutuskan berhenti dari sekolah SMA Negeri I Yogyakarta untuk menekuni dagang, bermodal Rp 750.000 dari hasil menjual gelang, kalung, dan cincin miliknya. Ia memulai dengan berjual­ an bed cover. “Saya sempat tidak disapa oleh almarhum ayah selama dua tahun, gara­gara kecewa karena saya memilih berhenti sekolah waktu itu,” ungkap Susi.

Dia kembali ke Pangandaran setelah melihat ba­ nyak tangkapan laut dijual sangat murah oleh para ne­ layan. Susi mengumpulkan ikan, cumi, dan udang itu dari nelayan langsung untuk dijual ke pasar. Waktu itu dia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Dalam tempo setahun, produk ikan segar Susi sudah memasuki pasar Cilacap dan Jakarta, dari semula hanya Cirebon. Lama­kelamaan, dia dikenali sebagai Susi Gila dari Pangandaran karena aktivitasnya ikut dalam truk pengangkut lobster dari Pangandaran ke Cirebon, Cilacap, dan Jakarta, hingga kembali lagi ke Pangandaran. Tiap hari, aktivitas Susi dimulai pukul 15.00, di mana dia harus sudah siap berangkat ke Jakarta untuk menyetorkan ikan dan lobster ke restoran­ restoran. Di tengah jalan, dia mampir ke Cikampek untuk mengambil kodok. Sampai di Jakarta sudah malam. Setelah mandi, langsung balik ke Pangandaran. Susi pun kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa pabrik besar dan restoran di Jakarta. Dia mulai membina nelayannya sendiri dengan menyewakan perahu untuk mencari ikan dan mobil untuk pengiriman.

Ba

gian 6 –

Cinta Itu Dampakn

ya Luar Biasa

183

Lambat laun Susi kesal dengan konsumen pabrik yang seenaknya mengendalikan harga. Akhirnya dia mencari konsumen yang mau membayar dengan harga lebih tinggi. Pada 1996, dia mendirikan Andhika Sa­ mudra International (ASI) Pudjiastuti di atas tanah warisan untuk lokasi pabrik pengolahan ikan. Krisis ekonomi 1997 sempat membuat pembangunan pabrik ini sempat terbengkalai. Di lain sisi, bisnis ekspor Susi justru meroket karena nilai tukar rupiah yang turun hingga empat kali lipat. Hasilnya, dia bisa membangun pabrik kedua dengan investasi tak kurang dari Rp 35 miliar.

Pabrik ini bisa memproses dan menyimpan stok ikan maupun udang 15­20 ton per hari. Teknologi yang digunakan semuanya modern dan impor agar ikan, udang, dan lobster yang dikirim tetap segar. Ini membuatnya sangat dikenal oleh pembeli­pembeli dari Jepang yang selalu menginginkan ikan dengan tingkat kesegaran tertentu, dan tentu saja ramah lingkungan. Bagaimana Susi mempraktikkan pengolahan ikan yang ramah lingkungan pernah disadur majalah perikan­ an terbesar dari Autralia, Austasia Aquaculture. Saat itu, merek dagang Susi Brand mampu menguasai 56% impor lobster di Jepang, dan mulai merambah Singapura serta Hongkong. Untuk hasil laut yang lebih segar dan ramah lingkungan, para konsumennya di luar negeri rela membayar tiga kali lebih mahal dari harga ikan segar yang ditetapkan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Isu pemanasan global juga membuat Susi Brand direkomendasikan, karena semua proses pengolahan ramah lingkungan, bebas kimia, dan pemakaian amo­ niak untuk pendingin, bukan freon yang merusak ozon.

Pada 2000, Susi menemukan ide yang cukup gila didengarkan oleh bankir. “Saya dibilang gila saat meng­ ajukan kredit beli pesawat untuk mengangkut ikan dan lobster dari Pangandaran ke Jepang,” ungkap Susi.

M . M A ’R U F 184

Menurut dia, meski ikan dan lobsternya masih segar ketika keluar dari pabrik, proses pengangkutan dengan kapal yang lama membuat harga produknya turun di Jepang. Padahal, jika sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, harganya bisa dua kali lipat lebih mahal.

Misalnya, ikan laut yang biasanya dihargai USD 3 per kilogram (kg) menjadi USD 8. Berulang kali Susi memberi penjelasan itu kepada bank, tetapi sesering itu pula dianggap aneh dan bukan ide brilian. Baru setelah empat tahun bergerilya, ada bank yang akhirnya mau memberinya kredit. Akhirnya, lobster Susi terjual USD 7,8 per kg, mendekati harga tertinggi di Australia.

Saat ini setiap bulan perusahaannya mampu men­ jual hasil laut ke beberapa negara di Asia, Eropa, dan Amerika, antara 50­60 ton dan melonjak hampir dua kali lipat sejak merebaknya wabah daging sapi gila dan flu burung. Ekspor via pesawat ini dengan bangga di­ sebutnya mampu mendongkrak omzet dari USD 2 juta menjadi USD 5 juta dolar per tahun. Dengan alasan­ alasan harga dan penghargaan, sampai sekarang Susi lebih memilih menjual produknya ke luar negeri dengan porsi hingga 95% dari total produksi dengan produk utama lobster, udang, kakap, dan tuna.

Susi menikah dengan pria berkebangsaan Jerman, Christian, pada 1997. Pernikahan seolah takdir menuju bisnis penerbangan, karena suaminya adalah seorang pilot. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, Panji Hilmansyah, Nadine Pascale, dan Alvy Xavier. Susi dan Christian, sedang menghitung hari, membesarkan anak­ anaknya dan mengumpulkan uang pensiun sembari mengelola restoran sea food di kota mode Milan.[]

185

A

drie Nurmianto Subono sangat menikmati masa­ masa tinggal bersama pamannya, BJ Habibie, di Jerman Barat antara 1970­1978. Pamannya itu telah menetap di sana sejak kuliah hingga bekerja di sebuah perusahaan pesawat terbang. Adrie begitu menikmati dinginnya salju Eropa bukan karena bisa lebih bebas, tetapi karena bisa sering menonton konser­konser musik kesukaannya di sana. Hobi itu tidak bisa hilang meski dia kemudian kembali ke Indonesia untuk menekuni bisnis alat transportasi laut dan properti. Sialnya, amat mustahil menyaksikan konser­konser penyanyi dan band top dunia manggung di Indonesia. Alhasil, setiap perjalanan ke luar negeri, Adrie pasti mencuri waktu, menyelinap untuk menonton konser­konser. Almarhum King of Pop Michael Jackson adalah salah satu penyanyi favoritnya. Keinginan yang menggebu­gebu pada konser itu lambat laun mendorong Adrie pada peluang bisnis, yaitu menggelar konser musisi asing di Indonesia. Tetapi dia sama sekali tidak memiliki seluk­beluk bisnis ini. Promotor­promotor pertunjukan yang ada, baru sekelas lokal, dan tidak ada buku­buku manual untuk memulai sebuah konser.

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 193-198)