• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tetap Bagian Penting dari Sebuah Bisnis Besar

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 165-172)

152

J

alan penuh liku Ciputra menjadi konglomerat me­ rupakan satu dari sekian banyak kisah klise rata­ rata taipan keturunan Tionghoa di negeri ini. Biasanya dimulai dari prolog; merantau dari daratan China, atau ke kurangan sejak kecil karena lahir dari sebuah keluarga miskin. Tumbuh dewasa dengan tekanan dan kecurigaan sentimen anti China Orde Lama, hingga hidup di bawah ketiak penguasa Orde Baru. Sebagai epi log; saban tahun masuk daftar Forbes sebagai orang paling kaya. Tetapi apa yang membuat Ciputra berbeda adalah evolusi perjalanan hidupnya yang sempurna. Masa kecil nelangsa, berjuang menyelesaikan kuliah, merintis karier hingga menjadi pebisnis ambisius nan sukses. Lalu ditutup dengan taubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan, sembari mendermakan ilmu kewira­ usahaan.

Ciputra lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia bungsu dari tiga anak pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio yang memiliki toko kelontong yang sekaligus menjadi tempat tinggal di kota kecil bernama Bumbulan, sekitar

Ciputra Development

Bangku Kuliah

Tetap Bagian Penting dari

Sebuah Bisnis Besar

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

153

150 kilometer sebelah barat Kota Gorontalo. Sampai 1990­an kota itu masih cukup dikenal, namun setelah pemekaran Gorontalo, kota Bumbulan seperti hilang ditelan bumi. Dulu di situ ada objek wisata Pantai Bumbulan Indah. Ciputra kecil hidup dengan keindahan pantai itu.

Sebuah peristiwa menyedihkan terjadi pada ke­ luarganya saat Ciputra menginjak 12 tahun. Orang­ orang pribumi suruhan tentara Jepang tanpa penjelas an menyeret ayahnya dari rumah ke pantai, atas tuduhan sebagai mata­mata Belanda. Anak kecil itu ketakutan dan terguncang, ibunya histeris mengejar laju para penculik, tetapi gagal. “Ketika ayah akhirnya diseret ke kapal dia tidak melihat ke laut, tetapi ke arah kami. Itu lambaian tangan terakhir,” kenang Ciputra. Delapan bulan kemudian, beberapa orang yang juga diciduk kembali dan mengabarkan. Tjie Sim Poe telah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Kisah ini membekas dan memengaruhi hidup Ciputra.

Ciputra kecil sempat diasuh oleh tantenya dan mencatatkan kisah hidupnya seperti dongeng “bawah putih dan bawang merah”. Dia selalu kebagian pekerjaan yang berat atau menjijikkan, seperti membersihkan tempat ludah. Tetapi, ketika tiba menikmati es gundul— hancuran es diberi sirop—dia harus mengantre keluar­ ga tantenya kenyang. Kisah getir itu tidak membuat Ciputra kehilangan semangat menimba ilmu, dan malah keranjingan sekolah meski harus melewati dua kali du­ duk di kelas dua sekolah setingkat SD. Pertama pada za­ man Belanda, Ciputra yang nakal tidak naik kelas tiga, dan kedua saat Jepang menguasai Indonesia dirinya ha nya boleh belajar di sekolah khusus untuk anak ke­ turunan Tionghoa mulai kelas dua. Ciputra satu­satunya murid berumur 12 tahun di kelas dua kala itu.

Ciputra menempuh puluhan kilometer berjalan dengan telanjang kaki ke sekolah. Pagi buta memper­

M . M A ’R U F 154

siapkan makanan untuk semua ternaknya, dan tiba di rumah pukul 14.00. Bila langit menangis, bertam bah pula kesialan Ciputra. Agar baju sekolah itu tidak basah, dia menepi, melepas dan membungkusnya dengan daun woku—semacam daun palem yang besar. Kira­kira re­ maja, Ciputra sudah biasa berlomba lari dengan 17 ekor anjing miliknya untuk berburu babi dan rusa di hutan. Otot­ototnya kekar, dan tubuh itu menjadi atletis oleh didikan alam. Alhasil ketika SMA dengan mudahnya dia terpilih menjadi pelari 800 dan 1.500 meter, mewakili Sulawesi Utara dalam ajang Pekan Olah Raga Nasional ke II di Jakarta, Oktober 1951.

Sementara, ratusan kilometer dari pantai Bumbul­ an yang indah. Pada masa pergolakan kemerdekaan, sekitar tahun 1940­an, Budi Brasali yang lahir dengan nama Lie Toan Hong dan seisi rumahnya di sebuah desa daerah Purwokerto, Jawa Tengah, lolos dari jemputan malaikat maut. Sebuah bom meledak hebat tidak jauh dari rumahnya dan memanggang beberapa rumah te­ tangga beserta isinya. “Saya merasa, jiwa saya adalah hasil saringan yang diselamatkan Tuhan,’’ tutur Budi.

Mungkin kesamaan nasib itulah yang menjebol se­ kat identitas daerah ketiga pria rantau ini; Ciputra, Budi, dan Ismail Sofyan yang kelahiran Sigli, Aceh, menjadi te man karib di bangku kuliah. Keterbatasan dana mem­ buat ketiga mahasiswa ITB tingkat empat itu memutar otak untuk mengais rezeki di zaman kelangkaan uang. Mereka lalu menggagas sebuah perusahaan konsultan perencanaan bernama PT Perentjana Djaja pada 1959— berkantor di sebuah garasi. Pak Ci—panggilan Ciputra sekarang, Budi, dan Sofyan mencari order perencanaan pembuatan gedung, rumah, dan semacamnya. Pak Ci tampak paling lihai, dia bekerja penuh di perusahaan baru itu, dan setahun kemudian, nyambi di sebuah per­ usahaan kontraktor. Perusahaan PT Perentjana Djaja itu masih ada sampai sekarang

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

155

Saat itu, Presiden Soekarno tengah gencar­gencar­ nya membangun pelbagai monumen bersejarah. Berba­ gai mega proyek yang diprakarsai Soekarno menarik tiga lulusan ITB tahun 1960 itu merantau ke ibukota. Ciputra beserta istrinya, Dian Sumeler, tinggal di Kebayoran Baru. “Kami belum punya rumah. Kami berpindah­pindah dari losmen ke losmen,” tutur Dian.

Tidak diketahui dengan pasti bagaimana kemudian arsitek baru lulus itu bisa bertemu dengan pejabat sekaliber Gubernur DKI Jakarta, Soemarno, untuk ikut tender proyek pembangunan Pasar Senen. Tetapi dengan berbagai cara, akhirnya sebuah proposal proyek ber­ hasil melewati meja birokrasi untuk dibaca Soemarno. Pak Gubernur setuju, setelah terlebih dahulu dirapat­ kan dengan Presiden Soekarno. Syaratnya, Ciputra yang masih hijau bisa mengerjakan proyek itu bersama­ sama pengusaha ternama kala itu, Hasyim Ning dan AM Dasaat—Hasyim waktu itu dijuluki Henry Ford dari Indonesia. Selain itu, ada pula syarat menyertakan sejumlah saham atas nama milik pemerintah DKI, untuk kemudian mendirikan perusahaan patungan bernama PT Pembangunan Jaya dan menunjuk Ciputra sebagai pelaksana.

Selesai membangun Pasar Senen, nama Ciputra mu­ lai dikenal sebagai kontraktor, tetapi mulai benar­benar melambung setelah mampu mengubah kawasan rawa­ rawa di kawasan utara Jakarta menjadi salah satu dari 10 besar theme park di dunia. Pada mulanya, Ciputra hanyalah kontraktor kesekian yang mencoba mena war­ kan diri melanjutkan proyek pembangunan taman hi­ buran lengkap di Ancol yang sudah terbengkalai be berapa tahun. Proyek ini tersendat gara­gara manajemen taman hiburan impian terlengkap di dunia, Disneyland, tidak kunjung menyetujui permintaan untuk membangun satu theme park­nya di Jakarta. Niatnya, Soekarno ingin segera menonjolkan Indonesia di Asia lewat bangunan

M . M A ’R U F 156

megah—melengkapi Stadion Gelora Bung Karno, dan Monumen Nasional. Tetapi, jangankan investasi, pihak Disneyland tidak pula mengizinkan pemakaian nama untuk mega proyek itu. Ciputra mengambil tantangan tersebut dan pada akhirnya bisa menyulap rawa­rawa itu menjadi sebuah kawasan yang luas dan menjadi pusat hiburan terintegrasi pertama di Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol. Sekarang, Ancol memiliki jumlah pengunjung yang lebih banyak dibandingkan theme

park Disneyland yang dibangun di Hong Kong.

Sejak proyek fenomenal itu—setiap warga Jakarta dan orang Indonesia pastinya mengenal Ancol— Ciputra mulai merambah bisnis properti residensial. Ini me nempatkan dirinya sebagai pionir dalam bis­ nis pengembang di nusantara. Bekasnya sampai seka­ rang antara lain kawasan Pondok Indah, Bintaro Ja­ ya, dan Bumi Serpong Damai. Ciputra tidak hanya dikembangkan dengan fisik semata, tetapi meniupkan ruh yang membuat setiap bekas proyeknya itu punya karakteristik yang khas. Pondok Indah adalah kawasan elit, Bintaro Jaya dikenal sebagai perumahan dan ko­ mersial menengah atas yang terpadu, sementara Bumi Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri.

Dia kembali merangkul Sofyan dan Budi dengan mendirikan PT Metropolitan Development—dan se­ jumlah konglomerat untuk memasok modal. Selain Pondok Indah—dibangun oleh Metropolitan Kencana yang kemudian mendirikan Puri Indah—Metropolitan Development juga menggarap beberapa proyek pro­ perti, seperti Wisma Metropolitan dan Wisma World Trade Centre, Mal Metropolitan, dan Hotel Horison. Megapolitan Jakarta adalah buah tangan orang­orang ini.

Mengutip resep Purdi E. Chandra pendiri

Entre-preneur University, tampaknya resep BOBOL—berani

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

157

kangan ini, sudah dilakukan Ciputra waktu itu. Modal dengkul—yang penting—otak kreatif. Ciputra hanya menjual ide bahwa kawasan itu di masa depan adalah ikon perumahan mewah dengan segala kelengkapan kehidupan manusia seperti pusat belanja, perkantoran, fasilitas rekreasi, lapangan olahraga, hotel, fasilitas pendidikan, dan tempat ibadah. Inspirasi dan imajinasi ini ditawarkan kepada pemodal seperti Sudono Salim. Ini membuatnya bisa menjadi pemegang saham tanpa modal yang harus disetor di depan.

Catatan minus Ciputra sebagai kontraktor salah satunya seperti diberitakan Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 05/XXXI 01 April 2002 yang menulis ju dul besar, Janji-Janji Kosong Ciputra. Ini lantaran, Pantai Indah Kapuk (PIK) dituding sebagai salah­ satu penyebab banjir di Jakarta awal 2002. Majalah yang didirikan atas modal Ciputra itu—sekarang dia masih memilikinya—menulis kembali ucapan Ciputra 10 tahun sebelumnya. “Monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang .... Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan se­ gala nya: nama baik, moral, bank guarantee,” ujar Ciputra. Majalah itu mewawancarai Ciputra kembali pada April dan memperoleh jawaban. “Saya tak pernah mengatakannya,” aku dia. Kasus PIK adalah salah sa tu cacat yang tidak lepas hingga usia senja Ciputra. Dia mengaku capek mengomentari tudingan orang ten­ tang PIK, dan sekarang lebih memilih mencurahkan waktunya dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Salah satunya, aktif sebagai ‘guru’ tentang kewirausahaan di Universitas Ciputra.

Pada kerusuhan Mei 1998, dia menemukan dirinya adalah pebisnis yang terlalu serakah. Pengalaman krisis moneter yang hampir membuat bangkrut itu—Ciputra masuk 50 besar pengutang kakap di negeri ini—menurut

M . M A ’R U F 158

para karyawannya, membuat Ciputra sekarang memi­ liki karakter­karakter yang makin menyenangkan. Lebih sa bar, lebih ramah. “Sekarang saya tetap bekerja keras namun bedanya saya meminta pimpinan dan berkat Tuhan,” kata dia. Sebuah proyek amal pembangun­ an patung Kristus tertinggi di Asia di kota Manado, Sulawesi Utara dengan dana miliaran rupiah adalah bukti ia telah bertaubat. Patung setinggi 30 meter itu dibangun di kawasan pemukiman Citraland. Musium Rekor Indonesia mengakui tugu itu sebagai patung Kristus tertinggi di Asia—melampaui Patung Cristo Rei di ibukota Timor Leste, Dili—yang menjulang 27 meter itu.[]

159

P

embaca tidak hanya butuh berita terbaru, tetapi apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa tersebut. Mereka akan rewel pada perwajahan yang buruk, dan menginginkan sebuah tulisan yang enak dibaca tiba tepat waktu di depan pintu—tidak peduli sedang apa suasana batin wartawan. Majalah Tempo edisi perdana pasca pembredelan, Oktober 1998, tampil ngejreng dan tampak lebih muda. Meski petinggi dan pemodal tidak berubah—diperkirakan investasi awal sekitar Rp 6 miliar—hanya tampilan luarnya saja yang berubah.

Logotype di sampul depan berganti dengan huruf

Baeurbodoni, dan teks judul memakai keluarga huruf Franklin Gothic yang tampak lebih modern. Sementara garis merah di sekeliling halaman depan yang menjadi ciri khas majalah Time dan ditiru oleh Tempo lama, dihapus.

Setelah beberapa tahun terbit dengan wujud se­ perti hantu—lewat dunia maya di www.tempo.co.id karena dibredel—majalah Tempo versi cetak edisi per­ dana pasca pembredelan mengangkat laporan utama mengenai pemerkosaan perempuan Tionghoa pada

TEMPO

Bersatu Kita Teguh,

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 165-172)