• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang Penting Heboh

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 96-103)

83

S

ukyatno Nugroho akan dikenang sebagai pen jual es teler terhebat sepanjang masa. Tetapi, dia bukanlah pencipta adonan minuman es berisi potongan buah alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan kelapa encer dengan pemanis berupa sirup itu. Bukan pula mertua Sukyatno, Ny Murniati Widjaja yang resepnya menjuarai lomba es teler Majalah Gadis pada Maret 1982. Es teler itu diciptakan oleh Tukiman Darmowijono, pedagang es campur dengan gerobak di Jalan Semarang, Jakarta Pusat, pada 1980­an. Es kreasi Tukiman itu laku keras, sehingga anak­anak muda yang sangat menggemarinya menambahi dengan istilah “teler”—seperti akibat mengonsumsi narkoba.

Sementara Sukyatno mulai berjualan es teler pada 7 Juli 1982 bermodalkan uang Rp 1 juta dan resep mertuanya yang memenangi lomba itu. Ini adalah bisnis keluarga yang melibatkan istrinya, Yenny Setia Widjaja, dan kedua mertuanya; Murniati Widjaja dan Trisno Budijanto. Dagangannya digelar di emperan pusat per­ belanjaan Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat dan mulai buka pukul lima pagi hingga larut malam. Sampai

Es Teler 77

M . M A ’R U F 84

beberapa tahun kemudian dia masih menjual Es Teler

77—angka itu disebut sebagai angka keberuntungan—

dengan berpindah­pindah tempat, karena kerap ada razia penertiban pedagang kali lima.

Bermodal nekat, pada 1987 Sukyatno membuka waralaba (franchise) Es Teler 77 di Solo dan Semarang, Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. “Penghasilan tidak cukup, baru tujuh cabang, tiap hari tekor, tidak punya deposito, orang edan enggak?” katanya—bela­ kangan dia mengakui penjualan hak pemasaran itu gara­gara kebutuhan mendesak untuk membiayai se­ kolah anak­anaknya. Tetapi, kenekatannya itu justru membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai pembuka jaringan waralaba makanan di Indonesia, karena fast

food seperti Kentucky Fried Chicken dan McDonald’s

dari Amerika Serikat baru masuk ke Indonesia pada 1979 dan 1991. Sukyatno sebenarnya tidak mengerti sama sekali apa dan bagaimana sistem waralaba, seperti masalah pembagian hak atas keuntungan dan posisi­ nya sebagai pemilik. Dia mengetahuinya sepenggal­ sepenggal dari literatur franchise yang kala itu masih berbahasa Inggris. Untungnya, Sukyatno yang hanya berkemampuan bahasa Inggris lulusan SMP masih bisa mengerti dari bagan dan skema di lembaran buku­buku itu.

Tetapi, bagaimana kemudian dia bisa menaikkan derajat dagangan es campur kelas emperan menjadi minuman elite konsumen perlente adalah keyakinannya yang amat kuat terhadap kekuatan imej. Sukyatno amat yakin apa pun produknya bisa sangat dahsyat bila disertai kemampuan­kemampuan mengarahkan persepsi konsumen. Ini memaksanya mula­mula fokus hanya menjajakan menu es teler dan secara bertahap sejak 1994 memindahkan gerai­gerai Es Teler 77 ke plaza, atau mal. Pun, untuk membedakan diri dari penjual kaki lima—dia berdalih untuk melindungi penjual es teler kaki lima—

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

85 Es Teler 77 mematok harga esnya lebih mahal. Karena

gengsi pula—dan ini demi imej—Sukyatno hanya butuh waktu lima menit untuk menyetujui proposal anaknya Andrew Nugroho untuk membuka gerai di gedung megah Wisma BNI lantai 46 dan 47, di Jalan Jenderal Sudirman. “Padahal biaya yang saya keluarkan itu sama dengan beribu­ribu juta kelapa selama berpuluh­puluh tahun saya berjualan es teler, baru bisa untuk modal satu restoran (di sana). Saya orangnya edan, ini tempat tertinggi di Indonesia, berarti Juara Indonesia juga, pasti bisa membuat nilai plus,” tuturnya pada 2003.

Simbol­simbol prestisius itulah ciri khas Sukyatno dalam memopulerkan Es Teler 77. Dia adalah jenis manusia heboh yang paling banyak masuk catatan Museum Rekor Indonesia (Muri). Orang­orang pasti­ nya tidak lupa bagaimana Sukyatno merancang ide unik lomba lukis anak­anak tuna netra (Anda bisa mem­ bayangkan hasil lukisan itu!) di Manado yang membuat Sukyatno dan Es Teler 77 ditulis oleh media serta masuk rekor Muri sebagai lomba pertama kategori itu. Atau saat membuat lomba membuat gado­gado khusus untuk istri tukang becak di Jakarta, dengan dalih ingin membantu orang­orang menemukan resep terbaik gado­ gado—seperti dia menemukan resep mertuanya.

Entah apa pula hubungan es teler dengan kekerasan Israel di Timur Tengah, tetapi Sukyatno bisa­bisa saja memanfaatkan momentum masalah itu. Kali ini, dia mengumpulkan ratusan anak tuna netra untuk menye­ rukan perdamaian dalam tiga bahasa dari “warung es”­nya. Tidak lupa, kampanye dilengkapi dengan su­ rat kepada kantor Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Puluhan sensasi yang dia ciptakan memang masih pada batas normal, tetapi beberapa ide publikasi itu tampak lebih efektif sebagai iklan gratis di media massa. Gagasan dan ide­ide pro­ mosi tampaknya memang sudah dipakai Sukyatno

M . M A ’R U F 86

sejak menandai tenda Es Teler 77­nya dengan “Juara Indonesia”, mengutip kemenangan mertuanya yang di­ anggap sebagai perlombaan kelas nasional itu. Slogan ini kemudian ditambah menjadi “Juara Indonesia­ Singapura­Malaysia­Australia”, saat gerai Es Teler 77 muncul di tiga negara tersebut.

Namun, belakangan banyak klaim­klaim itu tam­ pak seperti bluffing tanpa ukuran yang jelas dan dapat di pertanggungjawabkan—untungnya tidak ada yang menempuh jalur hukum. Pengamat wirausaha Bondan Winarno adalah salah satu sahabat Sukyatno yang cukup kritis mengulas isi buku 18 Jurus Sakti Dewa

Mabuk Membangun Bisnis yang dalam sampulnya

ditulis karya Sukyatno—tetapi anehnya ghost writer buku itu juga dicantumkan. Buku yang tercatat Muri sebagai buku pertama yang sudah dicetak empat kali pada saat peluncurannya itu mengandung banyak para­ doks—setiap cetakan rupanya diborong perusahaan­ perusahaan, termasuk Es Teler 77. Buku itu menceritakan bagaimana kerasnya hidup Sukyatno memulai usaha di Jakarta dan memaparkan 18 jurus baru untuk menjadi wirausaha sukses.

Bondan menyebut klaim peringkat ke­40 di antara 50 murid di saat menjadi siswa SMP yang selalu dipakai Sukyatno untuk menunjukkan betapa bodohnya dia ketika sekolah tetapi bisa sukses di kemudian hari tampak sumir. “Seingat saya sebagai orang seusia dia, pada masa itu belum ada kebiasaan untuk melakukan pemeringkatan di sekolah,” kata Bondan. Pun, di salah satu halaman buku itu, Sukyatno mengklaim jurus “77P­nya lebih ampuh dari pada konsep pemasaran 4P­ nya Philip Kotler, tanpa disertai penjelasan. Apa pun itu, Bondan menyebut buku bisnis yang ditulis dengan gaya buku silat tetapi kerap tidak nyambung itu merupakan contoh keunikan sahabatnya.

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

87

Walaupun begitu, Sukyatno tidak terbukti hanya pintar membuat pengakuan­pengakuan menghebohkan. Beberapa persoalan bisa dipecahkan dengan sempurna, seperti komplain­komplain konsumen yang langsung ditanggapi. Dia pernah mengalami bahwa tempat yang lebih mewah tidak selalu sesuai dengan ekspektasi, karena menu tunggal es rupanya tidak dapat menarik pekerja kantoran mampir ke gerainya pada jam ma­ kan siang. Pada 1997, masalah ini dipecahkan dengan menggabungkan gerai mi tek­tek miliknya dengan Es

Teler 77 sehingga menu semakin lengkap. Sekarang, ada

menu­menu lain seperti mi ayam, mi baso, nasi goreng, roti bakar, pisang bakar, dan bahkan Es Teler 77 telah mengubah gerainya menjadi gerai restoran, bukan lagi sekadar penjual es. Sejak penggabungan menu, Es Teler

77 juga mulai melakukan serangkaian penyempurnaan

sistem franchise, standardisasi mutu dan menyiapkan pusat pelatihan untuk calon rekanan.

Orang yang dikenal dengan humor­humor segar ini juga tidak banyak mengalami kesulitan merangkul banyak pewaralaba. Bisa diduga, ini berkah dari fleksi­ bilitas mengejar pertumbuhan gerai­gerai. Tidak ada ketentuan tunggal mengenai cara­cara pembeli waralaba membuat adonan Es Teler 77, dan Sukyatno kerap kali malah menyarankan investornya yang jauh dari Jakarta, menambah takaran­takaran pemanis, atau mencampur adonan dengan tepung lokal. Mungkin, berkat keluwesan itulah Es Teler 77 bisa dengan cepat memiliki cabang di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja lebih dari 3.000 orang.

Tetapi, dari bukunya bisa diketahui, kesuksesan Sukyatno diperoleh setelah melalui kesulitan­kesulitan hidup. Ini dimulai ketika Sukyatno diungsikan oleh ayahnya ke rumah pamannya di Jakarta. Pamannya yang sengaja tidak mengarahkan Sukyatno untuk kembali bersekolah—seperti keinginan ayahnya—diakuinya se­

M . M A ’R U F 88

bagai guru wirausaha. Sukyatno muda justru menjadi tukang catut keliling barang kelontong, seperti kancing baju, sisir, obat China, produk kimia, elektronik, pompa air, hingga kondom. Inilah kalimat yang dia kenang sepanjang hayatnya, ”Kalau kamu datang sekali enggak bisa, datangi seribu kali. Kalau itu saja kamu enggak bisa, berarti kamu goblok,” kata Sukyatno menirukan nasi­ hat pamannya. Penghasilannya sebagai perantara tran­ saksi itu dilanjutkan dengan membuka biro bangunan dan percetakan.

Pada 1978, pengalaman pahit kembali menempanya. Sebagai pemborong, dia memenangkan tender pem­ bangunan rumah dinas sebuah departemen. Namun, ketika bangunan sudah hampir jadi, penduduk kampung sekitar berniat mengeroyoknya, karena ternyata tanah tempatnya membangun berstatus sengketa. Kerugian itu membuatnya tertimbun utang yang tidak sedikit, hingga membayar sekolah ketiga anaknya saja dia tak mampu. Semasa menjadi tukang catut itulah Sukyatno me­ nemukan cintanya di hati Yeni Setia Widjaja, pedagang elektronik di bilangan Kota. Hubungan yang singkat itu berlanjut ke pelaminan pada 1971. Pernikahan itu dikisahkan mampu membawa keberuntungan pada Sukyatno yang juga percaya pada keberuntungan sesuai dengan kombinasi angka kelahiran. Kombinasi hari lahirnya pada 3 Agustus ’48 dan istrinya pada 27 Januari ’53 dalam hitungan primbon menghasilkan formasi “Satria Wibawa”, yang artinya akan memperoleh ke­ muliaan dan keluhuran. Pernikahan pembawa keber­ untungan itu membuahkan tiga orang anak; Felicia, Andrew, dan Fredella.

Setelah menyerahkan bisnisnya kepada tiga anak ­ nya, penyandang gelar doktor honoris causa ini meluang­ kan waktu berceramah di banyak universitas tentang bis nis franchise, dan lebih memilih di belakang meja. Dan ketika Sukyatno mengembuskan napas terakhir,

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

89

kedekatannya dengan banyak lapisan masyarakat mem­ buat banyak orang merasa kehilangan—ratusan rang­ kaian duka cita dari semua kolega dipasang berderet mulai dari ruas jalan di samping rumah duka, pelataran parkir, hingga lantai tiga gedung di kawasan Pluit Jakarta—termasuk mantan Presiden, Abdurrahman Wahid yang secara khusus menyampaikan ucapan belasungkawa. Ketika meninggal di usia 59 tahun, pada 11 Desember 2007, Sukyatno mewariskan hampir 300 gerai Es Teler 77 di empat negara dan sejumlah jaringan bisnis kepada tiga anaknya.[]

90

S

ido Muncul bila diartikan dalam bahasa Inggris adalah dreams come true, atau impian yang terwujud. Entah

ada hubungannya atau tidak nama merek itu dengan Irawan Hidayat, namun ketika mewarisinya pada 1972, usaha jamu yang baru berkembang itu sudah di ambang kehancuran. Padahal, Irawan yang pernah bekerja di sebuah perusahaan farmasi sejak lama mengimpikan sebuah pabrik jamu yang setara dengannya. Namun, berbekal ketidaktahuan dan keberuntungan, Irawan yang sampai sekarang diabadikan gambarnya dalam setiap kemasan jamu Sido Muncul—logo ibu menggendong bayi pada kemasan jamu Sido Muncul itu adalah Irawan kecil yang digendong neneknya—akhirnya mampu mewujudkan impian masa mudanya.

Irawan masih “bau kencur” ketika usaha jamu yang dirintis Nyonya Rakhmat Sulistio—nenek Irawan— pada 1940­an di Yogyakarta, sedang terlilit utang yang nilainya lebih besar dibandingkan aset­aset pabrik yang dimiliki. Pabrik pertama yang baru didirikan pada 1951 menanggung utang bahan baku jamu yang bila dikalkulasi baru lunas dengan hasil penjualan jamu dua setengah

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 96-103)