130
S
iapa yang tidak tahu “Laskar Pelangi” baik versi ce tak maupun layar lebar? Kisah masa kecil Andrea Hirata, karyawan Telkom Bandung, di Pulau Belitong yang ditulisnya dalam beberapa pekan itu bak mantra baru yang menyihir semua orang, tua, muda dan re maja, entah itu penikmat sastra maupun orang yang baru pertama kali membaca novel. Pembacanya terbuai oleh gaya bertutur Andrea, dan terinspirasi oleh bagai mana pria lulusan Universitas Sorbonne, Prancis ini mengisahkan pendidikan di bangku sekolah dasar.Sementara versi bukunya diapresiasi pembaca de ngan sangat antusias, sebanyak 1,5 juta penonton men je jali pemutaran perdana versi film itu di bioskopbioskop dalam dua pekan. Adapun Andrea yang baru pertama kali menulis novel itu tak kurang langsung melejit sebagai novelis papan atas.
Itu semua sepertinya mimpi yang menjadi kenyataan atau kebetulan, sebagaimana banyak diungkap bahwa kolega Andrea—teman di kantornya yang mengirimkan naskah itu ke Penerbit Bentang, Yogyakarta—sebagai kunci novel terbaik itu bisa dibaca jutaan orang. Tetapi
Mizan
Kombinasi yang Pas:
Kualitas, Momentum, dan
Keberuntungan
Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 131
bila menyebutnya sebagai keberuntungan, Haidar Bagir lah yang tampak sebagai pemilik pintu yang berse dia membukakan gemboknya. “Ketika ke Yogya, saya ditun jukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan. Sudah dengan judul Laskar Pelangi,” kenangnya.
Haidar sekarang adalah CEO Mizan Group, induk usaha yang menaungi Penerbit Bentang. Dia berkata, keberhasilan buku Andrea itu adalah gabungan antara buku yang berkualitas, hadir di saat yang tepat, dan faktor keberuntungan yang jelasjelas tidak bisa dimungkiri.
Lepas dari segala gemerlap kesuksesan buku ter bitannya itu, tampaknya ketiga kombinasi sukses itu adalah dejavu Mizan ketika didirikannya bersama Ali Abdullah, dan Zaenal Abidin pada 1983 di Bandung. Ketiganya adalah anakanak muda, aktivis Islam masjid yang tengah menikmati arus besar perubahan paradigma Islam di Indonesia, dan lebih memilih menyisihkan uang bulanan untuk membeli bukubuku. Bedanya mereka dengan cepat menangkap bahwa kegemaran mencari referensi baru untuk berdiskusi mengenai Islam adalah peluang bisnis masa depan.
Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, Haidar, Ali, dan Zaenal merintis Mizan—dengan dukungan modal dan manajemen dari dua mentornya, Abdillah Toha dan Anis Hadi. Buku terbitan perdana mereka adalah Dialog
Sunnah-Syi’ah yang langsung membetot mata pembaca
muslim, lantaran sentimen antisyiah yang tengah me landa umat.
Pada tahun pertama, menyusul Dialog
Sunnah-Syi’ah langsung terbit enam buku terjemahan lain karya
ideologis yang menggugah, Ali Syariati, Murtadha Muthahari, dan Muhammad Husain Thabathai. Buku buku itu, bersama 22 terbitan lain pada tahun kedua membuat Mizan langsung tercatat sebagai penerbit
M . M A ’R U F 132
bermutu, lantaran menerbitkan buku dengan bobot ke ilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mizan bukanlah pioneer dalam urusan menerbit kan bukubuku bertema pemikiran Islam. Ada Pustaka Salman (1980) yang telah lebih dulu populer setelah menerbitkan karyakarya populer Fazlur Rahman, dan Edward Said. Di Yogyakarta, tahun 1983 juga muncul Shalahudin Press yang juga lahir dari rahim aktivis masjid Salman di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Keempatnya—bersama Gema Insani Press (1986) adalah penerbit yang muncul karena permintaan, seperti halnya paradoks hukum ekonomi demand created own supply.
Dekade itu, kalangan terpelajar Islam, terutama di kampuskampus “sekuler” tengah jengah dengan per tikaian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang tak
Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 133
kunjung padam. Pun, depolitisasi kampus dan Islam oleh kebijakan Orde Baru justru membuat mereka ke ranjingan mencari pelampiasan aktualisasi nilainilai di luar dunia politik. Lebihlebih keberhasilan revolusi Islam di Iran 1979 menggulingkan rezim Syah Pahlevi dukungan Amerika Serikat telah membakar semangat revolusioner kaum muda Islam Indonesia. Alhasil bukubuku impor intelektual dan ulama Timur Tengah laris manis—antara 1984 sampai 1987 ribuan buku buku Islam beredar di pasaran—dan itulah momentum kejayaan pertama yang tidak pernah mereka lupakan.
Tetapi bisnis penerbitan tidak pernah bisa dijalan kan dengan mudah, terutama untuk bangsa dengan rerata minat baca rendah. Lebihlebih menemukan pe nulis bermutu yang sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mizan misalnya harus berburu pe nulis, jemput bola dan memesan sebuah naskah untuk diterbitkan—belum lagi, porsi keuntungan yang lebih besar justru diperoleh agen penjual.
Ini misalnya dilakukan Haidar ketika harus berburu penulis lokal di Yogyakarta saat merintis usahanya— ini masih dilakukan sampai sekarang oleh anakanak usaha Mizan. Seperti dituturkan Hernowo—staf redaksi pertama Mizan—yang mengenang bagaimana pada ta hun kedua Mizan lahir, Haidar menyambangi dirinya di rumah adiknya di Jalan Nyai H.A. Dahlan dan meng utarakan niatnya untuk mendatangi para tokoh inte lektual di sana agar mau menulis untuk Mizan.
Strategi jemput bola ini cukup efektif, menemukan naskahnaskah yang sesuai karakter buku yang dise nangi Mizan. Adalah intelektual muslim macam Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan lain sebagainya menghiasi terbitan Mizan, dan memuncak pada 1986 dengan “Seri Cendekiawan Muslim” yang menggulirkan karyakarya pemikiran Islam lokal. Sebut saja, buku berjudul Merambah Jalan
M . M A ’R U F 134
Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendi.
Atau karya modernis Islam lain yang mewakili masing masing kelompok seperti Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif (Muhammadiyah), Alie Yafie dan Masdar F Mas’ud (NU), Deliar Noer dan Jalaluddin Rakhmat (Syiah). Pun penulis yang tidak lekat oleh paham ter tentu.
Tematema yang pas, disesuaikan dengan kebutuhan umat, menepis sikap sektarian, tampak membuat Mizan terus mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan bacaan pembaca.
Adalah fase di mana penerbit buku Islam angkatan 1980an gugur satu per satu, karena masalahmasalah internal dan kekakuan atas “mazhab” yang dianut da lam memilih naskah terbitan. Menghadapi perubahan wacana, dan tren bacaan polapola adaptasi Mizan dila kukan tampak bisa menyelamatkannya dari situasi yang dihadapi oleh Penerbit Salman dan Shalahudin Press yang tenggelam oleh waktu.
Haidar memilih strategi merestrukturisasi organi sasi usaha, untuk menjawab kebutuhan akan perubahan. Dia memecahmecah timtim redaksi yang awalnya men dapat bagian satu tema menjadi perusahaan terpisah. Jadilah Mizan Pustaka sebagai perusahaan yang kokoh dengan karyakarya kuat seperti Dunia Sophie, Sheila (Qanita), dan kini berjaya dengan serial anakanak
KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) di bawah naungan
DAR! Mizan; sedangkan AlBayan (untuk tematema keislaman praktis)—suatu strategi untuk mengisi ke butuhan pasar yang berbeda, Hikmah Publishing (tema tema akhlak, kesalehan, dan spiritualitas), Pelangi Mizan yang mengeluarkan bukubuku referensi khusus seperti Ensiklopedia Balita yang tak lekang dimakan waktu, Lingkar Pena dengan kekuatan penulispenulis lokalnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, dll,
Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 135
hingga Penerbit Bentang yang tengah sukses dengan novel Laskar Pelanginya.
Masih ada usaha lain yang bersifat mendukung seperti pendistribusian buku sendiri (Mizan Media Utama) yang kini telah menempatkan cabang di ber bagai kotakota besar di Indonesia, usaha percetakan (Mizan Grafika Sarana), dan usaha penjualan langsung (Mizan Dian Semesta). Malah, kini, unit usaha yang tengah dikembangkan oleh Mizan Group adalah MP Book Point—sebuah toko buku yang dirancang berbasis komunitas dan bersifat terbuka—Mizan Production— unit usaha dalam bidang event organizing dan pro
duct-ion house—dan Mizan New Media—unit usaha baru
yang akan memastikan produkproduk Mizan dapat diakses dengan berbagai media dan pada berbagai kesempatan. Atas kemampuan mengelola ini, Haidar sempat diganjar “Top Ten The Best CEO 2008” versi Majalah SWA.
Di luar kemampuan adaptasi pada tuntutan zaman, boleh jadi posisi Mizan mengambil “mazhab” lah yang tampak di luar kasat mata menentukan keberhasilan nya. Mizan, “Kami tidak tertarik menerbitkan buku yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusi visme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang keagamaan,” katanya.
Bahwa, ada tujuantujuan yang lebih mulia ketim bang membanggakan diri atas sebuah buku kontroversial yang merusak tetapi laris di pasaran. Dalam buku 20 Tahun “Mazhab” Mizan, Haidar menjelaskan mazhab Mizan, yang selalu dipakai sebagai tolok ukur menye tujui sebuah naskah untuk diterbitkan sangatlah seder hana, yaitu arti kata Mizan itu sendiri: Timbangan. “Akhirnya, hampirhampir tak perlu ditegaskan lagi
M . M A ’R U F 136 bahwa, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai
mazhab Mizan itu, maka ia selamanya akan tentatif,” kata Haidar.
Namun, akankah ketaatan akan mazhab ‘tengah’ ini akan terus dipegang teguh adalah waktu yang akan menjawabnya. Sebab, pendulum waktu saat ini tampaknya tengah memaksa Mizan berada pada pilihan antara bisnis dan idealisme. Meski tidak sama sekali mengesampingkan bukubuku serius dan ilmiah, Mizan kini lebih banyak menerbitkan bukubuku tradisional dan populer yang menekankan pada kesalehan pribadi dan sosial, serta self-help.[]