• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas, Momentum, dan Keberuntungan

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 143-150)

130

S

iapa yang tidak tahu “Laskar Pelangi” baik versi ce­ tak maupun layar lebar? Kisah masa kecil Andrea Hirata, karyawan Telkom Bandung, di Pulau Belitong yang ditulisnya dalam beberapa pekan itu bak mantra baru yang menyihir semua orang, tua, muda dan re­ maja, entah itu penikmat sastra maupun orang yang baru pertama kali membaca novel. Pembacanya terbuai oleh gaya bertutur Andrea, dan terinspirasi oleh bagai­ mana pria lulusan Universitas Sorbonne, Prancis ini mengisahkan pendidikan di bangku sekolah dasar.

Sementara versi bukunya diapresiasi pembaca de­ ngan sangat antusias, sebanyak 1,5 juta penonton men je­ jali pemutaran perdana versi film itu di bioskop­bioskop dalam dua pekan. Adapun Andrea yang baru pertama kali menulis novel itu tak kurang langsung melejit sebagai novelis papan atas.

Itu semua sepertinya mimpi yang menjadi kenyataan atau kebetulan, sebagaimana banyak diungkap bahwa kolega Andrea—teman di kantornya yang mengirimkan naskah itu ke Penerbit Bentang, Yogyakarta—sebagai kunci novel terbaik itu bisa dibaca jutaan orang. Tetapi

Mizan

Kombinasi yang Pas:

Kualitas, Momentum, dan

Keberuntungan

Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 131

bila menyebutnya sebagai keberuntungan, Haidar Bagir­ lah yang tampak sebagai pemilik pintu yang berse dia membukakan gemboknya. “Ketika ke Yogya, saya ditun­ jukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan. Sudah dengan judul Laskar Pelangi,” kenangnya.

Haidar sekarang adalah CEO Mizan Group, induk usaha yang menaungi Penerbit Bentang. Dia berkata, keberhasilan buku Andrea itu adalah gabungan antara buku yang berkualitas, hadir di saat yang tepat, dan faktor keberuntungan yang jelas­jelas tidak bisa dimungkiri.

Lepas dari segala gemerlap kesuksesan buku ter­ bitannya itu, tampaknya ketiga kombinasi sukses itu adalah dejavu Mizan ketika didirikannya bersama Ali Abdullah, dan Zaenal Abidin pada 1983 di Bandung. Ketiganya adalah anak­anak muda, aktivis Islam masjid yang tengah menikmati arus besar perubahan paradigma Islam di Indonesia, dan lebih memilih menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku­buku. Bedanya mereka dengan cepat menangkap bahwa kegemaran mencari referensi baru untuk berdiskusi mengenai Islam adalah peluang bisnis masa depan.

Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, Haidar, Ali, dan Zaenal merintis Mizan—dengan dukungan modal dan manajemen dari dua mentornya, Abdillah Toha dan Anis Hadi. Buku terbitan perdana mereka adalah Dialog

Sunnah-Syi’ah yang langsung membetot mata pembaca

muslim, lantaran sentimen anti­syiah yang tengah me­ landa umat.

Pada tahun pertama, menyusul Dialog

Sunnah-Syi’ah langsung terbit enam buku terjemahan lain karya

ideologis yang menggugah, Ali Syariati, Murtadha Muthahari, dan Muhammad Husain Thabathai. Buku­ buku itu, bersama 22 terbitan lain pada tahun kedua membuat Mizan langsung tercatat sebagai penerbit

M . M A ’R U F 132

bermutu, lantaran menerbitkan buku dengan bobot ke­ ilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mizan bukanlah pioneer dalam urusan menerbit­ kan buku­buku bertema pemikiran Islam. Ada Pustaka Salman (1980) yang telah lebih dulu populer setelah menerbitkan karya­karya populer Fazlur Rahman, dan Edward Said. Di Yogyakarta, tahun 1983 juga muncul Shalahudin Press yang juga lahir dari rahim aktivis masjid Salman di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Keempatnya—bersama Gema Insani Press (1986) adalah penerbit yang muncul karena permintaan, seperti halnya paradoks hukum ekonomi demand created own supply.

Dekade itu, kalangan terpelajar Islam, terutama di kampus­kampus “sekuler” tengah jengah dengan per­ tikaian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang tak

Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 133

kunjung padam. Pun, depolitisasi kampus dan Islam oleh kebijakan Orde Baru justru membuat mereka ke­ ranjingan mencari pelampiasan aktualisasi nilai­nilai di luar dunia politik. Lebih­lebih keberhasilan revolusi Islam di Iran 1979 menggulingkan rezim Syah Pahlevi dukungan Amerika Serikat telah membakar semangat revolusioner kaum muda Islam Indonesia. Alhasil buku­buku impor intelektual dan ulama Timur Tengah laris manis—antara 1984 sampai 1987 ribuan buku­ buku Islam beredar di pasaran—dan itulah momentum kejayaan pertama yang tidak pernah mereka lupakan.

Tetapi bisnis penerbitan tidak pernah bisa dijalan­ kan dengan mudah, terutama untuk bangsa dengan rerata minat baca rendah. Lebih­lebih menemukan pe­ nulis bermutu yang sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mizan misalnya harus berburu pe­ nulis, jemput bola dan memesan sebuah naskah untuk diterbitkan—belum lagi, porsi keuntungan yang lebih besar justru diperoleh agen penjual.

Ini misalnya dilakukan Haidar ketika harus berburu penulis lokal di Yogyakarta saat merintis usahanya— ini masih dilakukan sampai sekarang oleh anak­anak usaha Mizan. Seperti dituturkan Hernowo—staf redaksi pertama Mizan—yang mengenang bagaimana pada ta­ hun kedua Mizan lahir, Haidar menyambangi dirinya di rumah adiknya di Jalan Nyai H.A. Dahlan dan meng ­ utarakan niatnya untuk mendatangi para tokoh inte­ lektual di sana agar mau menulis untuk Mizan.

Strategi jemput bola ini cukup efektif, menemukan naskah­naskah yang sesuai karakter buku yang dise­ nangi Mizan. Adalah intelektual muslim macam Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan lain sebagainya menghiasi terbitan Mizan, dan memuncak pada 1986 dengan “Seri Cendekiawan Muslim” yang menggulirkan karya­karya pemikiran Islam lokal. Sebut saja, buku berjudul Merambah Jalan

M . M A ’R U F 134

Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendi.

Atau karya modernis Islam lain yang mewakili masing­ masing kelompok seperti Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif (Muhammadiyah), Alie Yafie dan Masdar F Mas’ud (NU), Deliar Noer dan Jalaluddin Rakhmat (Syiah). Pun penulis yang tidak lekat oleh paham ter­ tentu.

Tema­tema yang pas, disesuaikan dengan kebutuhan umat, menepis sikap sektarian, tampak membuat Mizan terus mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan bacaan pembaca.

Adalah fase di mana penerbit buku Islam angkatan 1980­an gugur satu per satu, karena masalah­masalah internal dan kekakuan atas “mazhab” yang dianut da­ lam memilih naskah terbitan. Menghadapi perubahan wacana, dan tren bacaan pola­pola adaptasi Mizan dila­ kukan tampak bisa menyelamatkannya dari situasi yang dihadapi oleh Penerbit Salman dan Shalahudin Press yang tenggelam oleh waktu.

Haidar memilih strategi merestrukturisasi organi­ sasi usaha, untuk menjawab kebutuhan akan perubahan. Dia memecah­mecah tim­tim redaksi yang awalnya men­ dapat bagian satu tema menjadi perusahaan terpisah. Jadilah Mizan Pustaka sebagai perusahaan yang kokoh dengan karya­karya kuat seperti Dunia Sophie, Sheila (Qanita), dan kini berjaya dengan serial anak­anak

KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) di bawah naungan

DAR! Mizan; sedangkan Al­Bayan (untuk tema­tema keislaman praktis)—suatu strategi untuk mengisi ke­ butuhan pasar yang berbeda, Hikmah Publishing (tema­ tema akhlak, kesalehan, dan spiritualitas), Pelangi Mizan yang mengeluarkan buku­buku referensi khusus seperti Ensiklopedia Balita yang tak lekang dimakan waktu, Lingkar Pena dengan kekuatan penulis­penulis lokalnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, dll,

Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 135

hingga Penerbit Bentang yang tengah sukses dengan novel Laskar Pelangi­nya.

Masih ada usaha lain yang bersifat mendukung seperti pendistribusian buku sendiri (Mizan Media Utama) yang kini telah menempatkan cabang di ber­ bagai kota­kota besar di Indonesia, usaha percetakan (Mizan Grafika Sarana), dan usaha penjualan langsung (Mizan Dian Semesta). Malah, kini, unit usaha yang tengah dikembangkan oleh Mizan Group adalah MP Book Point—sebuah toko buku yang dirancang berbasis komunitas dan bersifat terbuka—Mizan Production— unit usaha dalam bidang event organizing dan pro

duct-ion house—dan Mizan New Media—unit usaha baru

yang akan memastikan produk­produk Mizan dapat diakses dengan berbagai media dan pada berbagai kesempatan. Atas kemampuan mengelola ini, Haidar sempat diganjar “Top Ten The Best CEO 2008” versi Majalah SWA.

Di luar kemampuan adaptasi pada tuntutan zaman, boleh jadi posisi Mizan mengambil “mazhab” lah yang tampak di luar kasat mata menentukan keberhasilan­ nya. Mizan, “Kami tidak tertarik menerbitkan buku yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusi­ visme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang keagamaan,” katanya.

Bahwa, ada tujuan­tujuan yang lebih mulia ketim­ bang membanggakan diri atas sebuah buku kontroversial yang merusak tetapi laris di pasaran. Dalam buku 20 Tahun “Mazhab” Mizan, Haidar menjelaskan mazhab Mizan, yang selalu dipakai sebagai tolok ukur menye­ tujui sebuah naskah untuk diterbitkan sangatlah seder­ hana, yaitu arti kata Mizan itu sendiri: Timbangan. “Akhirnya, hampir­hampir tak perlu ditegaskan lagi

M . M A ’R U F 136 bahwa, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai

mazhab Mizan itu, maka ia selamanya akan tentatif,” kata Haidar.

Namun, akankah ketaatan akan mazhab ‘tengah’ ini akan terus dipegang teguh adalah waktu yang akan menjawabnya. Sebab, pendulum waktu saat ini tampaknya tengah memaksa Mizan berada pada pilihan antara bisnis dan idealisme. Meski tidak sama sekali mengesampingkan buku­buku serius dan ilmiah, Mizan kini lebih banyak menerbitkan buku­buku tradisional dan populer yang menekankan pada kesalehan pribadi dan sosial, serta self-help.[]

bagian 5

Duet-duet

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 143-150)