• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasa Bukanlah Segalanya, Dibutuhkan Inovasi

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 43-48)

30

A

pa persamaan sabun mandi dengan kopi? Tanya­ kanlah kepada Soedomo Margonoto, dan dia akan menjawab bahwa mengemas kopi bubuk dalam kemasan mungil seukuran sabun telah membuatnya menjadi kaya raya. Itu ditemukan pada 1975, ketika anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Go Soe Loet dan Too Goan Cuan itu tertarik dengan kemasan sabun mandi Lux yang berukuran segenggaman tangan. “Setelah saya amati, kok enak ya dijual satu per satu,” ujar dia. ””

Domo—panggilannya—mengujicobakan model ke­ masan itu pada bubuk kopi dengan bentuk kemasan contongan. Tiap contong diisi bubuk kopi dengan berat 100 gram, menyusul kemudian 250 gram, 500 gram, dan sachet.

Dari kemasan­kemasan kecil yang mudah diecerkan itu, Domo baru sadar bahwa orang­orang mungkin sudah lama suka dengan cita rasa kopi Kapal Api yang diproduksi sejak 1927. Alasan kopi itu tidak memiliki reputasi penjualan yang bagus tampaknya lebih karena kopi itu oleh ayahnya dikemas dalam karung seberat

Kapal Api

Rasa Bukanlah Segalanya,

Dibutuhkan Inovasi

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 31

satu sak semen—kemasan kaleng seberat 50 kg—se­ hingga untuk membuat secangkir kopi tentu orang akan berpikir dua kali.

Konsumen betul­betul menyukai kopi Kapal Api dalam kemasan baru tersebut, tak pelak, Kapal Api langsung mengungguli merek­merek yang sudah mapan dan jauh lebih tua, seperti Kopi Kedung Laju, Kopi Cap

Gadis, Kopi Supiah, Kopi Wanita Utama, Kopi Gelatik,

dan Kopi Cap Oto Terbang.

Tetapi bagi Domo, yang kabarnya lebih menyukai kemeja seharga seratus ribuan, inovasi soal kemasan adalah satu dari beberapa ide yang membuatnya merajai sekurang­kurangnya 65% pasar kopi nasional.

Ayah Domo adalah pemain anyar dan harus ber­ simbah peluh untuk menjajakan kopi racikannya dari toko ke toko di Surabaya, Jawa Timur. Kopi merupakan minuman wajib waktu itu, dan di setiap daerah nyaris sudah ada orang yang memproduksinya. Tapi bagi perantau Go Soe Loet yang menyeberang ke Jawa— ia berasal dari Pulau Fujian, China Daratan—masih ada peluang untuk berjualan kopi. Tentu untuk kelas masyarakat yang susah, sehingga di antara tumpukan sayur­mayur dagangannya diselipkanlah kopi yang di­ campur jagung yang dapat dijual dengan harga lebih terjangkau. Kopi itu diberi merek HAP Hootjan, yang dalam bahasa Indonesia berarti kapal api. Merek itu diilhami dari jenis teknologi kapal bertenaga ketel uap yang membawanya ke Jawa. Meski bukan kopi kelas premium, mencatut nama kapal api yang waktu itu adalah teknologi terbaru bisa menutupi kekurangannya.

Usaha keluarga itu kemudian diserahkan kepada Domo yang sejak dini sudah rajin berjualan kopi dengan sepeda ontel berkeliling Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dan keluar­masuk kampung. Dia senang berbisnis kopi dan mulai paham tentang seluk­beluk kopi dan mesin produksinya. Pada 1975, Domo memulai

M . M A ’R U F 32

proyek ambisius untuk membangun pabrik kopi yang lebih modern. Mempercanggih mesin penggorengan, mempercantik kemasan eceran, promosi yang lebih agresif, dan memperbaiki pabrik adalah daftar utama restrukturisasi perusahaannya. Dia menyewa bangunan pabrik di Jalan Panggung IX/12, Surabaya, dan membeli mesin goreng lokal seharga Rp 150.000 serta mesin giling seharga Rp 10.000. Sementara waktu itu memecahkan masalah, tetapi lama­kelamaan tidak cukup.

Inovasi mencari teknologi modern pengolah kopi­ kopi Indonesia mungkin dimulai dari tangan Domo. Mula­mula dia membandingkan kopi Kapal Api dengan kopi kemasan asal Eropa dan mendapati aromanya jauh di bawah standar kopi olahan impor yang boleh jadi bahan bakunya dari Indonesia. Belakangan dia baru tahu dari Lembaga Ikatan Indonesia Jerman bahwa mesin pengolahan kopi miliknya sudah kedaluwarsa. “Begitu dapat kiriman, saya terkejut. Yang kami punya ternyata produksi tahun 1800­an,” kata Domo yang langsung mendatangi pameran mesin pengolahan kopi di Dusseldorf, Jerman pada 1978. Tetapi, dia tidak menyangka bahwa mesin ukuran sedang itu ternyata berharga Rp 123 juta, jauh dari yang dibayangkannya. Apa yang ada di benaknya seketika itu adalah mencuri metode kerja mesin mahal itu dan membawanya pulang ke Surabaya—Domo hanya mengingat detail mesin, karena pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera di area pameran.

Walaupun kemudian dia bisa membuat mesin baru rekaan dengan modal Rp 870.000 dan mampu mengolah kopi sebanyak 180 kg/jam, itu tidak menyelesaikan masalah. Aroma kopi hasil ide curian itu sama sekali tidak mirip dengan produksi mesin aslinya. Satu­ satunya jalan mencari pinjaman. Bank Pembangunan Indonesia—dan sejumlah koleganya—adalah pihak­ pihak yang menganggapnya sudah tidak waras dengan

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 33

proposal kredit untuk sebuah mesin penggilingan kopi seharga Rp 123 juta rupiah, yang buatan lokalnya hanya Rp 1,75 juta. Apalagi, produksi Kapal Api saat itu baru 200­300 kg/hari. “Ghendeng (gila) kamu, Domo. Kopi lokal saja pakai diproduksi dengan mesin Jerman,” kenangnya mengenai komentar orang kala itu.

Akhirnya, lewat serangkaian negosiasi panjang dengan Triasa, agen mesin itu, Domo memiliki mesin modern pertamanya. Berton­ton stok kopi kemudian berhasil diolah dengan mesin baru itu.

Domo memang banyak akal. Dialah pemilik pabrik­ an kopi pertama yang berpikir memasang iklan di televisi akan memberi efek luar biasa bagi penjualan. Pemirsa TVRI era 1980 pastinya masih ingat bintang lawak Srimulat, Paimo—dia memerankan wewe

gom-bel—yang dikontrak Domo mengiklankan Kapal Api.

Meski kemudian Departemen Perdagangan menghenti­ kan program niaga di TVRI, iklan kopi itu sudah ter­ lanjur terkenal dan pada akhirnya kebijakan ini justru menguntungkan, karena pesaing yang baru tersadar tidak bisa lagi mengikuti cara promosi baru ini. Iklan pendek itu kemudian mempermudah penjualan kopi

Kapal Api di Bandung, Semarang, Palembang, Medan,

Pontianak, Makassar hingga Denpasar. Pada 1985, kopi

Kapal Api mulai diekspor ke Timur Tengah dan menyusul

kemudian ke Taiwan, Hong Kong, dan Malaysia. Satu masa di mana Domo harus berpikir ekstra adalah ketika Sinar Sosro—produsen Teh Botol Sosro— ingin menjajal bisnis kopi bubuk setelah sukses merajai bisnis teh. Domo tampak khawatir dengan rencana itu, sehingga memburu penjualan merek baru, kopi

ABC, yang kemudian berhasil menghalau keluarga

Sosrodjojo nimbrung di bisnis ini. Pada 1992 Domo mengembangkan kedai kopi (coffee shop) Excelso untuk kalangan atas. Mula­mula hanya ada dua gerai, di Plaza Indonesia (Jakarta) dan Plaza Tunjungan II (Surabaya).

M . M A ’R U F 34 Kini, 36 gerai Excelso tersebar di beberapa kota besar

Indonesia serta hadir di Vhina dan Taiwan. Namun, Excelso menghadapi persaingan serius dari kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, yang kini punya 62 gerai. Tampaknya ladang ini sulit dikuasai Domo kecuali dia kembali menelurkan inovasi yang brilian.

bagian 2

Orang-Orang

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 43-48)