• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Dynamic Duo

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 155-165)

142

B

agi orang­orang seperti Sri Mulyani Indrawati (menteri), Sofjan Wanandi (pengusaha), Anis Baswedan (intelektual) atau sebagian besar pembacanya,

Kompas memiliki ceritanya masing­masing. Menteri Sri,

ketika kecil tidak melewatkan karikatur Oom Pasikom, atau cerita bersambung seperti Musashi, dan Ronggeng Dukuh Paruk, meskipun waktu itu di Semarang, Kom­ pas pagi, sampai di rumahnya pukul empat sore. Atau bagaimana kritik Sofjan yang memandang terkadang kisah humanis—ini adalah julukan bagaimana

Kom-pas mengemas sebuah berita—hanya berhenti pada me­

nitikkan air mata dan mengundang rasa iba. Semen tara bagi Anis, ciri khas gaya penulisan yang mendidik, tidak sensasional, tetapi substansial adalah bagian penting yang membuat koran berusia 44 tahun ini paling laku.

Setiap orang memiliki pandangannya pada koran yang paling berpengaruh ini. Tetapi, kisah bagaimana

Kompas bisa tetap eksis sampai sekarang banyak di­

tentukan keadaan dan keberuntungan. Di antaranya kehati­hatian membuat berita—kebijakan redaksinya dinilai sebagai jurus kepiting—dalam mengatasi sensor­

Kompas

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

143

sensor Orde Lama dan tekanan Orde Baru, serta yang lebih penting kisah dua sahabat yang secara kebetulan mendapatkan berkah dari ide Jenderal Ahmad Yani mem bendung propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 25 Juli 1920, Peng Koen Auw Jong adalah anak seorang perantau dari Pulau Quemoy—kini Taiwan—yang ber­ nama Jong Pauw. Meski hidup berkecukupan sebagai anak juragan tembakau, Auw Jong dan 11 saudaranya dididik untuk hemat. Dikisahkan, mereka tidak boleh menyisakan sebiji nasi dalam piring setelah makan. Ketertarikan Auw Jong pada dunia jurnalis muncul saat merantau ke Jakarta untuk bersekolah di Hollandsche

Chineesche Kweekschool Meester Cornelis, yang ter­

letak di Jalan Bekasi Timur, Jakarta. Di Asrama Auw Jong tidak hanya melahap habis berita­berita koran dan majalah, melainkan dengan saksama memperhatikan isi tajuk rencana, dan gagasan­gagasan tulisan kolom. Penampilannya yang kurus, dengan kacamata tebal semakin membuatnya identik dengan pelesetan nama­ nya Auw Jong, yang bila diucapkannya dengan aksen Padang akan berbunyi ouwe jongen alias perjaka tua. “Ia sering terlalu serius menanggapi segala hal. Kalau melucu, leluconnya kering,” kata Oei Tjoe Tat, teman kuliah Auw Jong yang kemudian menjadi politisi di era Soekarno.

Guru jurnalis Auw Jong—dan sekaligus guru spi­ ritualnya—adalah seorang tawanan Jepang yang dibe­ baskan Sekutu pada 1945 dari Penjara Cimahi, bernama Khoe Woen Sioe. Selepas dari terali besi, Khoe yang sudah berumur 40­an beserta staf redaksi, kembali menghidupkan Harian Keng Po yang dibredel Jepang, sekaligus mendirikan majalah mingguan Star Weekly. Pria berpostur tubuh kecil dengan wajah agak masam— yang digambarkan Aw Jong berhati emas ini—merekrut

M . M A ’R U F 144

Auw Jong untuk bekerja di Star Weekly. Karier Auw Jong berjalan dengan cepat. Meniti sebagai penulis lepas dia kemudian diberi kepercayaan sebagai redaktur pelaksana Star Weekly, dan setelah lulus dari Fakultas Hukum—yang diambilnya ketika menjadi wartawan— diangkat menjadi pemimpin redaksi. Posisinya sebagai pimpinan media membuatnya memiliki kolega yang luas, mulai dari pejabat negara, politisi, ekonom, serta mulai aktif di pelbagai organisasi sosial warga Tionghoa.

Di luar kewartawanan, Auw Jong lebih dikenali seba­ gai aktivis asimilasi, terutama pascarencana pemerintah membuat undang­undang yang akan menganggap per­ anakan Tionghoa memiliki kewarganegaraan rangkap. Pemerintah memberi pilihan, kalau mau menjadi WNI, harus aktif menolak kewarganegaraan China. Dia sen­ diri kemudian mengubah namanya menjadi terdengar lebih Indonesia; Petrus Kanisius Ojong, disingkat PK Ojong—perubahan huruf Auw menjadi O kabarnya ka­ rena kesalahan penulisan sewaktu di sekolah. Aktivitas ini mempertemukannya dengan Jakob Oetama yang me miliki riwayat hidup hampir mirip dengannya. Pria ke lahiran Borobudur, 27 September 1931, itu selepas menamatkan SMA Seminari di Yogyakarta, menekuni profesi sebagai guru di Jawa Barat dan kemudian di SMP Van Lith Jakarta. Jakob yang anak pensiunan guru di Sleman adalah alumni Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta tahun 1959 dan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1960. Di­ sela­sela mengajar, Jakob juga bekerja sebagai redaktur mingguan Penabur.

Persahabatan Ojong dan Jakob semakin kental, karena mereka memiliki banyak pandangan­pandangan yang sama soal sejarah, kebangsaan dan masalah asi­ milasi. Keduanya digambarkan sebagai pribadi yang berbeda namun melengkapi. Jakob adalah sosok sangat teliti dan penuh perhitungan, sementara Ojong pin­

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

145

tar memainkan strategi dan mengelola sumber daya manusia. Pada awal 1960­an, Ojong dan Jakob masuk dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Jakob menjabat ketua dan Ojong sebagai bendahara.

Seiring kuatnya cengkeraman PKI di tubuh peme­ rintahan Soekarno, lambat laun tekanan pembredelan semakin besar. Majalah Star Weekly termasuk media yang terakhir diberangus oleh Soekarno, meski sudah menasional dengan tiras 60.000. “Wij zijn dood (kita semua mati),” kata Ojong, mengumumkan kepada anak buahnya sepulang dipanggil pihak yang berwenang, yang memang dikuasai PKI. Tetapi, isolasi pers itu juga membuat berbagai koran asing disensor sehingga warga Indonesia praktis buta informasi.

Ojong mencari gagasan bersama dengan Jakob untuk mencari celah yang lebih aman memiliki media baru. Diterima pasar, tetapi tidak bermain api dengan penguasa karena ongkos yang dibayar akan terlalu mahal; dibredel. Kebetulan, dunia internasional telah digegerkan oleh majalah berukuran 14 x 16,5 cm yang dibuat sepasang kekasih DeWitt dan Lila Wallace di Amerika Serikat, Reader’s Digest. Majalah yang diisi oleh hasil kliping setumpuk majalah bekas dan sebuah gunting itu sedang laku keras dan pada waktunya dapat mengalahkan oplah majalah bergengsi Time. Jakob dan Ojong sepakat membuat majalah seperti itu dengan nama Intisari.

Beritanya jauh berbeda dari yang ada, dan yang pernah di buat Ojong di Star Weekly, yaitu tentang artikel feature yang menyentuh dan jauh dari hiruk pikuk berita politik. Ini sekaligus menolong percetakan PT Kinta yang turun drastis setelah Star Weekly diberangus. Sebagai balasan, PT Kinta menyediakan bekas kantor Ojong yang lama dan mengurus administrasi dan sirkulasi. Pengurusan izin yayasan ke Komando Distrik Militer Jaya diserahkan kepada Jakob yang praktis

M . M A ’R U F 146

belum dikenal dan masuk daftar hitam Orde Lama. Akhirnya disepakati didirikan Yayasan Intisari, sebagai perusahaan penerbit Majalah Intisari dengan Pemimpin Redaksi Jakob dan Ojong sebagai pengasuh, disertai orang baru bernama Josephus Adisubrata. Teman baru ini dikenal oleh Jakob dan Ojong sebagai anak muda lulusan Universitas Leuven Belgia tahun 1962 yang fasih dan menguasai bahasa Inggris, Prancis, Belanda, dan Latin.

Intisari terbit perdana pada 17 Agustus 1963 dengan

cetakan hitam­putih tanpa kulit muka. Ukuran lebarnya sama dengan Reader’s Digest, hanya lebih panjang satu sentimeter, dengan tebal 128 halaman. Edisi perdana yang dicetak 10.000 eksemplar laris meski dijual seharga jual 60 perak untuk Jakarta dan 65 perak di luar Jakarta. Sampai di sini, Jakob dan Ojong belum berpikir kembali ke media politik, karena hanya dalam dua tahun pertama keduanya mampu menjaga oplah Intisari menembus angka 11.000 eksemplar. Intisari tidak ambil pusing dengan eskalasi politik yang semakin memanas setelah PKI terus merebut posisi kuat di samping Soekarno.

Kompas lahir dari gagasan Menteri/Panglima Ang­

katan Darat Jenderal Ahmad Yani. Militer yang mulai khawatir dengan propaganda koran­koran milik PKI seperti Harian Rakyat ingin mengimbangi kekuatan itu—selain sudah ada Berita Yudha yang paling laris waktu itu. Dia melontarkan gagasan kepada Frans Seda agar kalangan Katolik juga memiliki sebuah koran, agar menambah kekuatan melawan propaganda koran­ koran merah itu. Frans menanggapi serius ide itu dan membicarakannya dengan koleganya di partai Katolik, Ignatius Josef Kasimo. Keduanya kemudian mendekati Ojong dan Jakob yang sudah terkenal dengan majalah barunya dan sepakat merealisasikannya.

Yang terjadi kemudian, adalah kisah serupa Keng Po melahirkan Star Weekly, karena harian baru yang akan

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

147

diberi nama Bentara Rakyat itu menumpang fasilitas

Intisari, mulai dari mesin ketik hingga ruangan kantor.

Namun, proses perizinan tetap tidak diperoleh dengan mudah karena pihak aparat mensyaratkan koran itu harus punya 3.000 pembeli untuk bisa terus terbit. Ini hampir mustahil untuk koran baru, sebelum akhirnya Frans menemukan ide untuk pulang ke daerahnya, Flores, mengumpulkan 3.000 nama, lengkap dengan alamat dan tanda tangan.

Sementara nama Kompas disematkan Presiden Soekarno yang mendengar Frans akan menerbitkan koran baru. Soekarno menjelaskan, Kompas adalah na­ ma yang cocok karena itu adalah alat penunjuk arah, dan itu harapan ke depan kepada koran baru ini; agar mampu dijadikan pegangan. Dengan modal awal Rp 100.000 yang sebagian diperoleh dari Intisari, Kompas edisi perdana pada 28 Juni 1965 dengan moto Amanat

Hati Nurani Rakyat terbit. Pada masa awal, mereka

harus mengantre cetak bersama koran­koran yang su­ dah lebih dulu berlangganan cetak di Eka Grafika yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sehingga sering

kesiangan sampai ke pembaca. Sampai dengan me miliki

percetakannya sendiri, Kompas memiliki julukan, Komt

pas morgen, yang artinya besok baru datang. Salah

cetak dalam berita maupun iklan masih sering terjadi pada koran yang dicetak 4.800 eksemplar itu. Setelah satu bulan, mereka pindah ke percetakan Masa Merdeka milik BM. Diah, pemilik koran Merdeka. Percetakan yang digunakan ini lebih baik dan sudah memakai media rotasi, sehingga daya cetaknya lebih cepat.

Perkembangan Kompas ini memicu propaganda PKI yang berdalih Kompas—karena didirikan oleh unsur pimpinan beberapa organisasi Katolik—membawa misi katolik, sehingga Kompas tidak lain adalah singkatan dari Komando Pastor. Tetapi, Ojong dan Jakob tidak menanggapinya dengan frontal dan lebih memilih ber­

M . M A ’R U F 148

hati­hati dalam menulis, menjauhi sikap partisan, dan berpegang kepada fakta. Berita­beritanya malah lebih menekankan nilai human interest. Model penulisan berita ini membuatnya disukai banyak pembaca dari latar belakang yang berbeda.

Kompas membuat Ojong kembali bersemangat.

Sebelum pukul enam pagi dia sudah terlihat menjemput para karyawan dengan Opel Caravan. ”Jangan datang pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul tujuh,” katanya. Dua tahun pertama, pembaca Kompas menikmati tulisan Ojong dalam rubrik Kompasiana yang mengkritik pelbagai hal, baik situasi itu sendiri maupun pemerintah. Dia meneruskan gaya rubrik

Gam-bang Kromong di Star Weekly dengan tulisan sederhana,

kadang jenaka, tapi kritis, sehingga membuat rubrik itu cepat populer dan berpengaruh. Misalnya pada edisi per­ dana membahas mengenai kebebasan pers, mengkritisi korupsi pembuatan KTP, sampai topik perbandingan Orde Lama dan Orde Baru rupanya tidak mengubah tabiat pemerintah. Entah karena alasan apa—menurut Jakob alasan kesibukan—rubrik itu hilang.

Keputusan paling berat diambil pada akhir 1965, karena menjelang kudeta Gerakan 30 September, PKI yang semakin kuat memberi pilihan kepada semua me­ dia. Semua pimpinan media diminta untuk menentukan sikap menyatakan kesetiaan atau dibredel bila menolak. Untuk ini Ojong menolak berkompromi. “Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa hari lagi,” tegasnya. Keputusan ini benar karena pem­ berontakan itu gagal dan seluruh media yang mendu­ kung kudeta itu diberangus. Ini menguntungkan

Kom-pas karena jumlah media yang ada jauh berkurang.

Hasil audit SGV Utomo pada 1969 menyebutkan, ti­ ras Kompas melewati koran­koran lain di Indonesia, mengalahkan oplah harian paling laris waktu itu; Berita

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

149 Yudha. Hasil yang sebenarnya tidak begitu disukai

oleh Ojong, karena dengan status itu, Kompas menjadi perhatian sensor Orde Baru. “Biar orang lain saja yang tirasnya paling tinggi. Kita menjadi nomor dua terbesar saja,” katanya.

Pada 1971 Kompas mendidirikan percetakannya di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta. Mungkin, karena teringat masa kelam dibredel, dan juga modal yang semakin banyak ke usaha baru. Pada 1972, mereka mendirikan radio Sonora dengan program unggulan­ nya Anda Meminta Kami Memutar. Lalu dua rubrik di

Kompas mengenai anak­anak dan remaja disapih men ­

jadi majalah Bobo, dan Hai. Pada 1976, sempat didiri­ kan Gramedia Film. Perusahaan ini menghasilkan film

Suci Sang Primadona dan sempat diganjar Piala Citra. Kompas yang menjadi induk mulai membeli hotel­hotel

kecil di Bandung, Semarang, dan Bali yang kemudian disatukan dalam jaringan Hotel Santika.

Ojong meninggal secara mendadak pada 31 Mei 1980 di samping benda kesayanganya, buku. Setahun kemudian, Gramedia menerbitkan kumpulan artikel

Kompasiana dalam bentuk buku setebal 813 halaman.

Judulnya Kompasiana: Esei Jurnalistik tentang Berbagai

Masalah. Peninggalan lain yang kemudian menggurita

adalah Toko Buku Gramedia yang didirikan pada 1970. Awalnya hanya ingin menjual buku­buku paperbacks, namun setelah penerbit Gramedia didirikan pada 1974, Toko Buku Gramedia mulai menjual buku terbitan sendiri, dan lambat laun mengalahkan Gunung Agung.

Situasi yang lebih buruk dihadapi ketika topeng asli Orde Baru terbuka dengan kebijakan stabilisasi yang memberangus partai politik. Jakob yang menggantikan peran Ojong tampak lebih kalem dalam menghadapi perangai Soeharto yang menerapkan sensor lebih ketat. Sifat Jakob yang tidak seagresif Ojong tampaknya me­ nyelamatkan Kompas dari gelombang pembredelan ke­

M . M A ’R U F 150

dua yang terjadi pada Juni 1994. Waktu itu menimpa majalah dan tabloid mingguan, masing­masing Tempo,

Editor, dan Detik.

Ignatius Haryanto dalam Majalah Pantau edisi Juni 2002 menyebut keberhasilan Kompas melewati Orde Baru dengan sebuah artikel berjudul Jurnalisme Kepiting

Jakob Oetama. Ini mengutip wartawan senior Rosihan

Anwar yang pernah menyebut jenis jurnalisme Kompas ini sebagai “jurnalisme kepiting”. Kepribadian Kompas bergerak ala kepiting, mencoba melangkah setapak demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasa­ an memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa lang kah, jika kondisi tak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur beberapa langkah. Sesuatu kesimpulan yang kemudian ditolak oleh Jakob. Pendapat lebih keras di­ kemukakan Benedict R.O’G Anderson dari Universitas Cornell, yang menyebut Kompas sebagai koran yang sangat Orde Baru (“New Order’s newspaper par exel lence”). Itulah strategi Kompas untuk menyiasati risiko pembredelan, mengingat statusnya adalah pemimpin pasar. Tetapi Jakob mengatakan sikap berhat­hati itu ditempuh untuk sekadar menahan diri, menunggu waktu yang tepat yakni kebebasan pers. “Kami tidak hanyut sama sekali tapi juga jangan mati. Kalau mati percuma, media jadi tidak berfungsi,” kata Jakob.

Di bawah Jakob, sukses diversifikasi di awal 1980­ an membuat Kelompok Kompas Gramedia (KKG) men­ jadi kerajaan bisnis pers terbesar di Indonesia. Dengan 42 anak perusahaan yang bernaung di bawah payung KKG, omzet pada 2001 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kompas juga mengamankan diri dari sepak terjang Jawa Pos News Network milik Dahlan Iskan dengan terus memperkuat jaringan pers di daerah lewat label yang umumnya bernama depan Tribun.

Ba

gian 5 –

Duet-duet Maut ala Semar dan P

etr

uk

151

Jakob yang menurut para karyawannya sangat

ngemong dan tidak mengambil jarak dengan satpam

kantor ini memang menggaji para jurnalisnya jauh di atas rata­rata jurnalis koran lain. Kabarnya tertinggi dan hanya disaingi oleh koran Bisnis Indonesia.

Kom-pas sendiri di masanya telah mengalami dua kali per­

gantian pemimpin redaksi, Suryopratomo—yang kini menyeberang ke Media Indonesia, dan sekarang Rikard Bangun. Konon, ini sempat menimbulkan sedikit gesek­ an panas di level manajemen, namun ini masih bisa dilewati dengan keberadaan Jakob yang kini berusia 77 tahun.[]

152

J

alan penuh liku Ciputra menjadi konglomerat me­ rupakan satu dari sekian banyak kisah klise rata­ rata taipan keturunan Tionghoa di negeri ini. Biasanya dimulai dari prolog; merantau dari daratan China, atau ke kurangan sejak kecil karena lahir dari sebuah keluarga miskin. Tumbuh dewasa dengan tekanan dan kecurigaan sentimen anti China Orde Lama, hingga hidup di bawah ketiak penguasa Orde Baru. Sebagai epi log; saban tahun masuk daftar Forbes sebagai orang paling kaya. Tetapi apa yang membuat Ciputra berbeda adalah evolusi perjalanan hidupnya yang sempurna. Masa kecil nelangsa, berjuang menyelesaikan kuliah, merintis karier hingga menjadi pebisnis ambisius nan sukses. Lalu ditutup dengan taubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan, sembari mendermakan ilmu kewira­ usahaan.

Ciputra lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia bungsu dari tiga anak pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio yang memiliki toko kelontong yang sekaligus menjadi tempat tinggal di kota kecil bernama Bumbulan, sekitar

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 155-165)