• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pers, Gosip, dan Kontroversi adalah Iklan Murah

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 115-123)

102

P

uspo Wardoyo menjadi musuh bersama nyaris seluruh perempuan saat memprakarsai Poligami Award 2003—penghargaan yang diberikan kepada laki­ laki yang memiliki banyak istri. Di luar keyakinannya bahwa itu dianjurkan agama, Presiden Masyarakat Poligami Indonesia itu begitu yakin salah satu kemajuan bisnis rumah makan Ayam Bakar Wong Solo adalah karena dia memiliki empat istri. Karena itu, dia santai saja dengan kampanye­kampanye poligami yang terang­ terangan menantang kelompok feminis, dan memicu serangkaian boikot terhadap rumah makannya. Sampai­ sampai istri Gus Dur, Sinta Nuriyah memprotes makanan yang dihidangkan pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Solo, pada 28 November 2004, gara­gara hidangan dipesan dari rumah makan milik Puspo.

Gagasan mendirikan organisasi untuk orang­orang yang terlibat poligami ini sebetulnya juga tidak disetujui komunitas poligami. Sahabat Puspo, Direktur Grup Rufaqa—holding dari Hawariyun—Mohamad Rizal Chatib termasuk yang menyayangkan hal itu. Tetapi, Puspo tidak ambil pusing dan terus berkampanye bahwa

Ayam Bakar Wong Solo

Pers, Gosip, dan Kontroversi

adalah Iklan Murah

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

103

suatu bisnis bisa sukses dengan banyak istri. Dia adalah bukti nyata bahwa polemik adalah promosi yang luar biasa. “Saya harus menciptakan konflik terus­menerus di benak orang supaya orang membicarakan saya. Ini positif dan paling efektif. Karena ada kebenaran, tapi tak semua orang berani mengungkapkannya,” ujar Puspo. Pada akhirnya, teori ini terbukti dan setiap orang yang membicarakan poligami, Puspo beserta Ayam Bakar

Wong Solo turut menjadi buah bibir, hingga keluar

negeri.

Sejak kecil Puspo yang anak pedagang daging ayam di pasar pagi Kota Solo sudah terbiasa menentang kelaziman. Puspo sendiri heran mengapa ayahnya yang hanya pedagang tetapi mampu menyekolahkan delapan anak sampai SMA—dengan empat di antaranya tamat perguruan tinggi, termasuk Puspo—justru berpikir Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah profesi yang hebat. Padahal, Puspo sebetulnya mengagumi profesi ayahnya yang menjual daging ayam ke pasar pada pagi hari, dan siang hingga malam membuka warung ayam di dekat kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Warung makan itu menyediakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, garang asem ayam, dan masakan ayam lain yang memiliki banyak pelanggan fanatik. Puspo kecil yang umur 13 tahun telah bangun pagi­pagi selepas shalat subuh. Membersihkan ayam untuk dimasak bersama saudara­saudaranya yang lain. Dia berhenti ketika jam sudah menunjukkan waktu berangkat sekolah. Ini membuatnya kehilangan banyak waktu untuk bermain­main, meski itu kemudian dibayar oleh kemampuan interaksi yang baik, karena rata­rata pembeli ayam di toko adalah pelanggan yang sama.

Dia kemudian benar­benar membuat orangtuanya bahagia setelah menjadi PNS guru pendidikan seni di SMA Negeri I Blabak Muntilan setelah lulus dari UNS. Mula­mula dia merasakan enaknya menjadi

M . M A ’R U F 104

PNS dengan gaji yang pasti setiap bulan dan mendapat kehormatan. Namun, setelah tiga tahun mengajar, dia tidak menemukan gairah dalam statusnya ini. “Hati kecil mulai gelisah. Kok rasanya mulai tidak cocok dengan panggilan jiwa saya, dan itu terus menghantui jiwa saya,” kenang Puspo. Banyak orang, termasuk teman dan handai taulan menganggap Puspo kehilangan akal sehat, ketika secara mendadak menyatakan telah menanggalkan status PNS dan memilih pulang kampung ke Solo untuk membuka warung ayam goreng di seputar pasar tradisional Kleco, Solo, pada 1986.

Masa­masa setelah itu adalah fase yang berat bagi Puspo karena gagasan memiliki warung ayam yang lebih laris daripada ayahnya rupanya tidak mudah. Perkembangan bisnisnya datar, karena kota kecil itu sudah dikepung oleh sedemikian banyak rumah makan yang rata­rata juga mengandalkan menu ayam. Orang­ orang telah mengenali Puspo sebagai orang keras kepala yang telah termakan oleh khayalan menjual sepotong ayam bakar biasa membuatnya jadi orang kaya.

Sampai suatu ketika Puspo bertemu dengan seorang perantau yang baru pulang dari Medan, Sumatera Utara. Tukang bakso itu bercerita bagaimana mudahnya menghabiskan dagangannya di sana. Peluang bisnis masih terbuka lebar, lebih­lebih untuk ayam bakar milik Puspo yang dipastikan bakal laku keras, karena belum ada makanan seperti itu di sana. Dengan enteng, tukang bakso itu juga mengatakan, pergi ke Medan tidak lebih jauh dari jarak Solo­Semarang. Angin surga itu begitu saja dipercayai oleh Puspo dan menemukan kembali obsesinya menjadi penjual ayam bakar. Lagi lagi ke­ putusan ganjil dia ambil dengan menyerahkan usaha lesehan ayam bakarnya kepada seorang teman dan per­ gi ke Jakarta. Tanah impian Medan juga membuatnya terpaksa menjilat ludah setelah terlebih dulu menjadi guru di Perguruan Wahidin di daerah Pelabuan Bagan

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

105

Siapi­api, Sumatera Utara, yang dijalaninya antara 1989– 1991 untuk mengumpulkan modal. Di situlah Puspo bertemu rekan sejawat Rini Purwanti dan menikahinya. Ketika memutuskan pindah ke kota Medan, Puspo dan Rini bermodal hasil tabungan bekerja dua tahun sebagai guru sebesar Rp 2,4 juta. Uang itu hampir habis untuk menyewa rumah kontrakan dan membeli sepeda motor. Hanya tersisa Rp 700.000 untuk modal kerja berjualan ayam bakar seperti di Solo, menyewa tempat di Jl. SMA 2 Padang Golf Polonia, Medan. Tempat ini ramai karena dekat dengan Bandara Polonia.

Mengapa tetap ayam bakar? Menurut Puspo bi­ dang itu merupakan wasiat langsung dari almarhum ayahnya. Tiga hari sebelum meninggal, dia berpesan kepada Puspo agar meneruskan profesi berjualan ayam bakar. Tekanan mental terhadap Puspo kembali datang, setelah istrinya yang diterima sebagai dosen di Politeknik Universitas Sumatera Utara merasa malu dengan status Puspo sebagai pedagang ayam bakar Puspo. “Mertua saya pernah pesan kepada istri saya, agar saya bertobat berdagang dan menjadi guru kembali,” ungkap Puspo.

Lambat laun, warung makan Puspo yang hanya menyajikan menu Ayam Bakar berkembang. Puspo hanya menjual nasi dan ayam bakar, dengan rata­rata penjual­ an tiga sampai empat ekor per hari. Ini dilakukannya sendiri hampir satu tahun, tanpa keterlibatan Rini. Dia mulai tampak berhasil—dan ini adalah sebuah awal— ketika telah merekrut dua karyawati pada 1992.

Suatu hari, salah satu karyawati itu berkeluh kesah kepada Puspo setelah rumah keluarganya akan disita karena terjerat utang kepada rentenir. Puspo dan istrinya kemudian merelakan sebagian tabungan sebesar Rp 800.000 untuk melunasi utang itu. Tidak lama berselang, Puspo didatangi seorang wartawan lokal dari Harian

Waspada. Belakangan diketahui, kuli tinta ini adalah

M . M A ’R U F 106

tulisan feature di rubrik profil berjudul Puspo Wardoyo,

Sarjana Membuka Ayam Bakar Wong Solo di Medan

dimuat di koran itu. Sepotong artikel itu pada keesokan harinya membuat 100 potong ayam di warungnya ludes terjual, dan omzetnya terus membengkak dari hari ke hari. Tahun itu, dalam sehari Puspo mengantongi pen­ dapatan Rp 350.000 “Dari sini saya sadar dampak pemberitaan,” kata dia. Selebihnya, kisah pelunasan utang rentenir itu dibakukan dengan menyisihkan 10% keuntungan untuk kegiatan sosial.

Puspo menikah lagi pada 1996 dengan Supiyati, gadis berusia 26 tahun yang bekerja sebagai karyawati di restorannya. Pernikahan ini tanpa sepengetahuan Rini, yang belum siap dimadu. Ibu enam anak ini menangis, sampai akhirnya menerima dan menemani Puspo dan madunya itu mencatatkan perkawinan ke kantor urusan agama. “Sebagai muslimah, saya menerima kehalalan poligami. Cuma, waktu itu saya belum siap,” tutur Rini.

Setelah Supiyati melahirkan seorang anak, Puspo lagi­lagi menikahi karyawatinya bernama Anisa Nasu­ tion yang saat itu berumur 24 tahun. Pernikahan ini ditentang orangtua Anisa, meski kemudian berlang­ sung mulus setelah Rini kembali turun tangan mendam­ pingi Puspo melamar Anisa. Pada 1999, rumah makan ayam bakar milik Puspo bertambah menjadi empat dan karenanya dia segera mengawini istri keempatnya, Intan Ratih atas pilihan istri keduanya. Intan adalah karyawan restoran Ayam Bakar Wong Solo cabang Semarang, Jawa Tengah. Korelasi kuantitatif inilah yang kemudian membuat Puspo mengeluarkan tagline “banyak istri banyak rejeki”. Sampai April 2003, dari keempat istrinya Puspo dikaruniai 10 anak, sementara restorannya beranak­pinak menjadi 26 cabang di kota­ kota besar di Indonesia.

Ba

gian 3 –

Biar

kanlah Otak Anda Bek

erja

107

Kisah sepotong artikel di Medan mendorong Puspo mulai mendalami cara kerja media. Dia mulai paham, untuk muncul ke media secara gratis tidak harus dengan membayar iklan yang mahal, melainkan mem ­ beri isu hangat kepada para jurnalis. Dia mulai me­ ngerti mengapa jurnalis rela menunggu puluhan jam agar tidak ketinggalan suatu peristiwa hangat. Dari sini, muncul ide untuk membuat sensasi, sekaligus—menurut keyakinannya—bagian dari dakwah. Jadi, sekali men­ dayung, mulai dakwah, bisnis dan ketenaran dapat terlampaui. Teori ini diterapkannya pada 2003 dengan merogoh kocek hingga Rp 2 miliar untuk biaya Poligami Award. “Ini puncak promosi saya,” ujar Puspo. Untuk program kampanye ini, Puspo membentuk sejumlah tim yang terdiri atas para wartawan di beberapa kota, antara lain Jakarta, Badung, Surabaya, Solo, Malang, Bali dan Medan. Setiap dua pekan tim itu rapat untuk menetapkan isu dalam satu bulan. Gagasan ini sendiri cukup berhasil, dan nama Puspo tiba­tiba meroket bah­ kan jauh di atas popularitas Ayam Bakar Wong Solo. Ini tentunya menjadi masalah. Dia lantas mengangkat isu mengenai sosok Puspo yang baik, sabar, penuh kasih sayang dengan keluarga, dan dermawan. Ini untuk meredam dendam kesumat kaum feminis, dan boikot terhadap produk Ayam Bakar Wong Solo yang mulai berdampak. Mungkin, ini kurang terpikirkan oleh Puspo, boikot itu lambat laun tampak memengaruhi bisnis ayamnya. Seorang blogger pada September 2007 menulis dengan judul Wong Solo Bangkrut? Penulis itu iseng mengirimkan SMS kepada sepuluh temannya dengan pertanyaan apa yang terlintas di benak Anda ketika melintas di depan Rumah Makan Ayam Bakar

Wong Solo. Enam di antaranya menjawab poligami.

Namun, lambat­laun masyarakat mulai lupa dan sekarang boikot itu tidak bergema.[]

bagian 4

Gagasan-Gagasan

Cerdas

110

N

ancy Go tidak pernah mengira Paris Hilton akan meluangkan waktu beberapa menit di stan kecilnya pada sebuah perhelatan Fashion Week di New York, Amerika Serikat. Apa yang membuat ratu pesta itu tertarik adalah tas­tas display Bagteria yang desainnya unik, beda dari yang lain. Sang selebritas menatap cukup lama untuk sebuah tas, menimbang­nimbang dan mengatakan ingin memilikinya. “Padahal, kami belum ada cadangan produksi lainnya, ya kami beri saja,” kata Bert, suami Nancy mengenang. Kisah manis itu tidak pernah terlupakan oleh suami istri Nancy Go dan Bert Ng sebab dari situ selebritis Hollywood lain mulai menunggu koleksi­koleksi terbatas Bagteria. Sekarang, Emma Thompson, Princess Zara Phillips, Martine McCutcheon, Audrey Tautou, dan Anggun C. Sasmi kerap kali dipergoki paparazzi menenteng tas

Bagteria. Paris misalnya langsung mengenakan tas itu

begitu dibeli, sementara Anggun menentengnya saat menghadiri Festival Film Cannes di Prancis.

Para pesohor dunia itu barangkali tidak tahu, se­ bagaimana banyak orang Indonesia tidak mengenal

Bagteria

Anda Tidak Hanya Membeli

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 115-123)