• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup ini Seperti Tumpeng

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 134-139)

121

T

iga baris kata, Bersama Kita Bisa, mampu mem­ buat mantan menteri yang dipecat menga lahkan presidennya pada pemilihan umum presiden 2004. Se­ mentara pilihan kata tidak lazim seperti Coblos

Kumis-nya, juga manjur memoles wakil gubernur incumbent

yang susah tersenyum, mengatasi pesaing baru yang tampak lebih ramah dan didukung partai di basis pe­ milihnya—Partai Keadilan Sejahtera—pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2007.

Itulah yang dikerjakan Subiakto Priosoedarsono dan istrinya Aan Anggraeni di Hotline Advertising, sebuah perusahaan pembuat iklan yang didirikan 1989. Kata kunci yang menyegel kemenangan itu dibuat sangat simpel, dan efektif justru karena kesederhanaannya. Memoles kembali—istilah Subiakto adalah

rebrand-ing—pejabat publik yang sudah dikenal menjadi orang

yang benar­benar lebih baik di mata pemilih adalah pekerjaannya. “Semakin sederhana justru semakin sulit pengerjaannya,” katanya.

Pada 21 April 2004 dia diundang tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla—Kemudian

Hotline Advertising

M . M A ’R U F 122

dua nama ini dia permak menjadi lebih singkat; SBY­JK yang masih dikenal publik sampai keduanya pisah pada Pilpres 2009. Subiakto disodori daftar tim kampanye dan setelah riset diketahui, keduanya kurang piawai dalam hal politik, namun memiliki keahlian di bidang masing­masing. Kekurangan itu rupanya bisa ditutupi dengan slogan yang dia ciptakan, Bersama Kita Bisa. Rumus serupa dipakai saat disewa Fauzi Bowo dan Prijanto memenangi Pilkada DKI Jakarta.

Untuk menggarap segmen politic marketing, Subiakto membentuk divisi khusus, Brand In Action (BIA). Pilpres 2004 adalah pengalaman pertama Subiakto me nangani klien untuk urusan “memasarkan orang”, dan meskipun sudah berpengalaman 25 tahun di dunia kreatif, dia banyak menemukan kesulitan. Ada pameo di dunia periklanan bahwa iklan tak bisa membuat produk jelek menjadi baik, sebaliknya produk baik bisa jadi jelek karena iklan yang salah strategi. Dia bekerja siang malam untuk itu. Setelah mengamati spesifikasi kliennya dan mendapati bahwa Foke sudah bertahun­ tahun bekerja di pemerintah daerah dengan jabatan terakhir wakil Sutiyoso, sebuah hadis Nabi memberinya ide besar. “Apabila engkau menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” Maka jadilah slogan Serahkan Pada Ahlinya untuk men­ dampingi slogan resmi Jakarta untuk Semua. Iklan ini cukup telak menohok saingannya, Adang Daradjatun. Sehari menjelang hari pencoblosan, Subiakto mengatur Foke makan siang di warung makan Soto Pak Kumis di Jalan Blora, Jakarta. Kliennya ini akhirnya menang.

Dua klien kampanye politik ini cukup untuk membuat nama Hotline Advertising harum, setelah menghabiskan waktu puluhan tahun di belakang layar. Sebelum SBY dan Foke, sudah ratusan produk terjual untuk memberikan keuntungan luar biasa bagi para klien­kliennya. Hotlinetama Sarana yang menaungi

Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 123

Hotline Advertising didirikan pada 1989 sebagi sebuah konsultan agensi periklanan dengan seorang sekretaris dan satu pesuruh kantor. Anda tentunya masih ingat bunyi iklan, Sakura lebih indah dari warna aslinya. Orang dewasa sekarang juga masih ingat kapan pertama kali model cantik yang kemudian tenar Elma Theana mengucapkan Xon-Ce-nya maaannna? untuk memopulerkan tablet isap vitamin C keluaran Kalbe pada awal 1990­an. Atau, jingle Digitec memang mooi” untuk produk televisi dan kalimat “Extra Joss, ini

biangnya buat apa beli botolnya”, dari Bintang Toedjoe

untuk memasarkan minuman energi di tengah kepungan kemasan botol seperti Kratingdaeng.

Di situs resmi perusahaan terpampang, klien­klien besar seperti Bank Mandiri, Telkomsel, dan Gubernur Sumatera Selatan Syamsul Arifin—yang didukung PKS—dan kemudian memenangi Pilkada 2008 dengan slogan Ayo Besarkan Sumatera Utara!

Subiakto mengibaratkan perjalanan kariernya se­ bagai tumpeng, dan ingin selalu menjadi katak besar di kolam yang besar. Pria kelahiran Probolinggo, 24 Agustus 1949 ini jago membuat komik, dan masih mengerjakan hobinya itu sebagai kerja paruh waktu. Gambar komiknya memikat pemilik Guru Indonesia— perusahaan milik investor Eropa yang memproduksi pembungkus—yang kemudian menawari kerja penuh waktu. “Dia tanya berapa saya harus dibayar kalau bekerja fokus? Saya bilang, ya harus dibayar juga dengan penghasilan saya kalau bikin komik,” kata Subiakto. Perusahaan itu setuju, dan di usia yang masih belia, sekitar 1970­an, Subiakto mengantongi gaji USD 2.000 per bulan sebagai art director. Salah satu buah pikirnya di situ adalah kemasan deterjen Rinso, susu merek Ultra, dan Teh Botol Sosro, yang sampai sekarang botolnya belum diubah. Tetapi, klien Sinar Sosro itu sebetulnya adalah proyek pribadi, karena dia berperan bukan saja

M . M A ’R U F 124

pada kemasan tetapi mengubah huruf Teh Botol yang meliuk seperti huruf merek Coca Cola.

Ide­ide cerdas Subiakto itu membuat Menteri Per­ industrian mengirimnya untuk belajar desain produk di JK Design Centre, Tokyo, Jepang. Setelah Guru, dia pernah bekerja dalam posisi yang sama di PT Nirwana Ohoto dan akhirnya keluar berwiraswasta dengan ko­ leganya membuat konsultan agensi periklanan bernama B & B Advertising. Sepuluh tahun kemudian, pria yang masih memelihara rambut panjang dan bekas anak band ini mendirikan Hotlinetama Sarana, setelah melihat peluang besar di balik pendirian televisi swasta pertama, RCTI, yang mengudara pertama kalinya de­ ngan memasang sekitar 70.000 buah dekoder dengan waktu tayang selama 18 jam per hari pada 1989.

Momen ini dimanfaatkan untuk mengembangkan jasa, dari sekadar agen periklanan hingga membangun rumah produksi sendiri. Subiakto menggarap ide­ide kreatif untuk produksi iklan sendiri, atau program di televisi­televisi swasta. “Saya tak cukup puas untuk men­ jual ide, tetapi bagaimana menjual story board yang hanya dua halaman bisa bernilai miliaran rupiah, itulah sebuah tantangan sebenarnya,” kata dia.

Saat krisis ekonomi 1997, Hotline masih bisa bertahan dengan beberapa iklan­iklan layanan masyarakat, seperti “Yaa Nabi Yaa Salam”, “Indonesia Bersatu”, “Pemberantasan Nyamuk Berdarah” dan “Aku Anak Sekolah” yang kerap menghiasi layar kaca. Pada 1998, omzet Hotline masih bisa mencapai Rp 40 miliar. Tetapi memasuki era milenium, Subiakto yang sakit parah, dan perusahaan yang sangat tergantung kepada sosoknya itu nyaris bangkrut dengan utang hingga Rp 4 miliar, serta ditinggalkan oleh banyak tenaga profesionalnya. “Wah, aset kami habis satu per satu untuk melunasi utang” kenang Subiakto mengenai masa­masa sulit itu.

Ba gian 4 – Ga gasan-Ga gasan Cer das 125

Subiakto kini melibatkan seluruh anggota keluarga­ nya. Istrinya, Aan Anggraeni kini menjabat sebagai komisaris, produser eksekutif, dan manajer operasio­ nal. Sementara dia sendiri memangku jabatan Presiden Direktur. Ketiga anaknya kini juga bekerja sebagai profesional. Tya bertanggung jawab dalam pembuatan

jingle iklan. Adapun Dion dan Sati dilibatkan pada

pengelolaan keuangan, produksi, dan pascaproduksi. Selain pemasaran politik, Hotline Advertising tetap menawarkan jasa rumah produksi musik untuk jingle iklan, juga mencakup bisnis rumah produksi TVC dan program on air, coorporate positioning dan riset merek,

public relation, dan lainnya dengan jumlah pegawai

126

P

endiri dan pemilik Blessed and Blessing Incorpora­ tion mungkin tidak seterkenal tas­tas punggung buatannya. Ya, siapa yang tidak kenal dengan merek­ merek Eiger, Exsport, Neosack, dan Bodypack? Tetapi amat jarang orang mengenal pribadi low profile Ronny Lukito, seorang yang justru sukses membalas dendam kegagalannya melanjutkan kuliah, dengan mengawali sebagai pembuat tas yang disukai anak sekolahan pada 1980­an di Bandung, Jawa Barat.

Kisah Ronny adalah satu dari puluhan kisah peng usaha yang merintis perusahaannya dari nol— kini dia memiliki klub kuda, bisnis properti, resor, karaoke, hingga kelab malam di Bali. Anak ketiga pasangan Lukman­Kurniasih, ini ketika masih sekolah sudah memiliki bakat berusaha. Berjualan susu yang dibungkus dengan plastik­plastik kecil, diikat dengan karet untuk dijual kepada teman sebayanya. Selepas lulus Sekolah Teknik Mesin pada 1979, entah dari mana ide itu berasal—tetapi Bandung adalah pusatnya produksi jeans dan dia adalah anak penjual tas di Jalan ABC, Bandung—Ronny memulai impiannya dengan

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 134-139)