• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah Kejadian Tidak Menyenangkan adalah Ide

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 49-56)

36

P

ada 1972, tidak ada yang sanggup mem bayangkan bisa menjual sebotol air dengan banderol lebih mahal dari harga seliter bensin. Bagaimana mungkin menjual air, padahal setiap orang memiliki sumur di rumah? Adalah Tirto Utomo yang menemukan visi bahwa orang­orang masa depan akan lebih memilih mengeluarkan beberapa lembar pecahan ribuan untuk membeli sebotol air di jalan, daripada membawa air matang rebusan dari rumah. Tentu saja, ada kisah di balik visi itu.

Awal 1970­an, Tirto adalah pegawai Pertamina yang sedang berpikir keras mengenai cara terbaik meng­ hilangkan kesan buruk tamu­tamu penting sehabis berkunjung ke perusahaan pelat merah itu. Dia bekerja serabutan di bawah tekanan Jenderal Pattiasina, meng ­ urusi hubungan masyarakat, masalah legal, meng­ koordinir keamanan, menghitung gaji karyawan, hingga urusan pertunjukan orkes untuk sebuah pesta. Walaupun bukan pejabat penting, perannya banyak menentukan keberhasilan kontrak bagi hasil minyak dan gas yang di rintis Pertamina dengan perusahaan­

Aqua

Sebuah Kejadian Tidak

Menyenangkan adalah Ide

Bisnis yang Menggiurkan

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 37

perusahaan asing. Pekerjaan itu kerap membuatnya tidak bisa tidur nyenyak, harap­harap cemas karena sebuah kontrak penting rupanya ditentukan oleh hal­ hal kecil.

Pada 1971, sebuah negosiasi kontak bagi hasil minyak Pertamina dengan sebuah perusahaan Amerika Serikat berantakan gara­gara insiden istri ketua dele­ gasinya sakit perut. Kemungkinan diare, karena dokter yang memeriksanya menemukan istri Reimond Todd itu mengonsumsi air yang tidak bersih. Negosiasi itu gagal total, lantaran Tood lebih memilih pulang ke negaranya untuk mencari pengobatan. Meski beberapa tahun kemudian kontrak itu berhasil diperoleh Pertamina, kejadian sangat memalukan itu membuat Tirto semakin berpikir keras. Ini bukan kali pertama dia mengantarkan para tamu pergi ke dokter.

Solusi baru muncul setelah diketahui orang­orang bule itu tidak biasa meminum air sumur yang direbus, tetapi air yang telah disterilkan. “Saya lalu berpikir, bagaimana menyediakan air bersih dalam botol yang praktis,” kata dia.

Dia mengumpulkan saudara­saudaranya untuk mempelajari bagaimana cara memproses air mineral dalam kemasan (AMDK) yang belum ada di Indonesia waktu itu. Sebetulnya ilmu itu tidak sulit diperoleh karena pekerjaannya yang berhubungan dengan orang­ orang asing banyak memberikannya kontak orang­ orang penting dari pelbagai bidang. Mulanya, Tirto yang tidak mengerti sama sekali akan proses pemurnian air mengutus adiknya, Slamet Utomo, untuk magang di Polaris, perusahaan AMDK yang sudah beroperasi 16 tahun di Thailand. Tidak mengherankan bila pada mulanya semua hal mengenai Aqua menjiplak Polaris. Mulai dari bentuk botol kaca ukuran 500 mililiter sampai merek mesin pengolahan air dan mesin pencuci botol serta pengisi air.

M . M A ’R U F 38

Tirto dan Slamet memulai proyek ambisius dengan membeli sebidang tanah bekas sawah di Pondok Ungu, Bekasi. Mereka menamai pabrik itu Golden Mississippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun dan jam kerja maksimal tiga jam sehari. Dua tahun berselang, Tirto berhasil menjual Aqua perdananya. Air­air itu dikemas dalam botol kaca ukuran 950 mililiter dan dijual seharga Rp 75—saat itu seliter (1.000 mililiter) bensin cuma dihargai Rp 46. Sasaran konsumen pertama adalah ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Jakarta. Keputusan ini tepat karena mereka relatif sudah paham pentingnya membeli produk Tirto. Di negeri asalnya, mereka sudah terbiasa membeli AMDK yang dikenal sebagai bottled water atau mineral water. Beda dengan penerimaan warga Jakarta yang justru menertawakan. “Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak orang yang menolak” kenang Willy Sidharta—menantu penunggu rumah Tirto yang diangkat sebagai sales dan perakit mesin pabrik pertama Aqua.

Soal nama, Tirto sempat ragu memberi nama perusahaannya dengan Golden Mississippi yang akan terdengar asing. Tetapi itu jelas lebih keren dan cocok dengan promosi kualitas air yang dijualnya sebagai pure

artesia water. Sementara untuk nama produk, awalnya

dipakai Puritas (asal katanya “purity”) dengan alasan bakal menunjukkan secara langsung makna kemurnian. Tetapi, konsultan asal Indonesia yang bermukim di Singapura, Eulindra Lim, berpikir lain. Menurut dia, nama Aqua mengandung asosiasi yang lebih tinggi terhadap imej air dalam kemasan botol. Lagi pula, lidah konsumen tidak mudah keselo mengucapkannya. Tirto setuju memakai nama temuan konsultannya itu.

Baru pada 1982, Tirto memutuskan mengganti bahan baku yang semula dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri, self flowing spring. Para konsumen diperkenalkan sebuah positioning baru,

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 39

tak perlu susah­susah mendaki gunung hanya untuk menengguk air yang murni dari sumbernya. Apalagi berbagai temuan klinis juga mendukung bahwa mata air pegunungan mengandung komposisi mineral alami yang sangat kaya nutrisi, seperti kalsium, magnesium, pota­ sium, zat besi, dan sodium. Tirto menganggap masalah bahan baku ini penting, meski sampai sekarang Aqua tidak pernah menggunakan mata air yang menyembur alami. Yang dilakukan adalah melakukan penelitian di sekitar mata air asli tersebut, baru ditentukan titik bor untuk sumur yang kemudian menjadi mata air buatan.

Olahraga dan Aqua tidak terpisahkan, seperti halnya Tirto dengan bulu tangkis, golf, dan renang. Promosi ini pas dan cocok dengan kampanye hidup sehat yang diusungnya. Iklan­iklan di layar kaca, cetak, hingga

sponsorship itu begitu efektif. Saking populernya, wa­

jar bila kemudian sampai sekarang orang menyebut air mineral sebagai Aqua. Nyaris tiada kegiatan olahraga level nasional dan internasional yang tidak digarap Aqua sebagai ajang promosi. Mulai dari Pekan Olahraga Nasional, Sea Games, Thomas & Uber Cup, World Cup, hingga World Golf Competition. Promosi paling spektakuler adalah mendatangkan pemain sepak bola legendaris asal Prancis, Zinedine Zidane.

Sejarah Aqua mungkin akan mencatat Tirto se­ bagai legenda. Tetapi di tangan orang cekatan di balik pengiriman­pengiriman Aqua yang tepat waktu, seperti Willy­lah Aqua bisa menjadi raksasa. Si perakit mesin pada masa­masa awal pabrik beroperasi itu menemukan sistem pengiriman kemasan galon yang diproduksi khusus untuk rumah tangga modern dan kantor­kantor. Sampai dengan diangkat menjadi Presiden Direktur pada 1977 (sampai 2004) tidak banyak yang tahu peran­ peran penting Willy dibalik kesuksesan membangun jaringan distribusi Aqua. Bekas pedagang roti dan buruh pabrik biskuit Nissin inilah yang membangun sistem

M . M A ’R U F 40

awal delivery door to door dan menjadi cikal bakal sistem pengiriman langsung Aqua. Konsep pengiriman kardus­kardus serta galon­galon Aqua memakai truk yang didesain khusus, kuat, dan disiplin itu membuat penjualan Aqua secara konsisten terus menanjak.

Willy mulai membangun armada pengiriman de­ ngan memisahkan bagian pengiriman pertama yang di­ tugasi membagi­bagikan dispenser gratis. Petugas bagi­ an pengiriman pertama ini dibekali pengalaman untuk bisa menjelaskan apa itu manfaat air mineral yang akan membuat peminumnya hidup lebih lama daripada air rebusan. Bagian ini lalu memberikan laporan dan data kepada bagian pengiriman rutin, apabila konsumen ber­ sangkutan sudah ketagihan. Prestasi ini membuatnya menjadi orang kepercayaan Tirto dan sudah dianggapnya sebagai saudara. Toh, walaupun Willy adalah manajer terbaik yang pernah dimiliki Tirto, hubungan keduanya tidak pernah semesra yang bisa dibayangkan orang. Sangat amat formal, berbeda dengan orang dekat lain yang bisa ikutan bermain golf atau ngobrol sambil ngopi atau berkunjung ke rumah Tirto.

Ketegangan keduanya berangsur­angsur mencair dan Willy dipercaya melakukan pelbagai ekspansi yang meroketkan angka penjualan menyentuh empat miliar per tahun. Ini setelah pendirian pabrik kedua di Pandaan, Jawa Timur, pada 1984 hingga mampu mendekati dua triliun rupiah. Efisiensi biaya lewat cara cerdas mendekatkan konsumen dengan sumber bahan baku membuat Aqua dengan cepat memiliki modal untuk mengembangkan konsep lisensi dalam ekspansi baru dengan masif. Lisensi itu dalam rangka ekspansi ke luar negeri tanpa ekspor, tetapi langsung mendirikan pabrik di Filipina dan Brunei Darussalam. Sementara ekspor air Aqua memakai kapal laut sudah dirintis medio 1987 dimulai dari Singapura, Malaysia, Maldives, Fiji, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Tahun itu pula

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 41

Tirto setuju untuk segera menghambat sejumlah pesaing baru yang mulai muncul dengan mengakuisisi Varia Industri Tirta yang mempoduksi AMDK merek VIT.

Hingga Willy mundur setelah 22 tahun menjadi Presi den Direktur Aqua pada Juni 2008, ia masih meng gunakan meja kerja yang dipakai Tirto pada 1973. Salah satu kegagalannya adalah mengembalikan status kepemilikan Aqua Golden Mississippi kembali sepenuhnya pada keluarga, setelah terlanjur melepas beberapa persen saham Aqua di bursa saham pada 1990 seharga Rp 7.500 saham per lembar. Usaha merayu para pemilik saham tak pernah berhasil, karena manajemen hanya mau membeli balik saham­saham itu tiga belas kali dari harga pertama. Namun, itu tidak aneh, karena para pemilik saham publik Aqua yang hanya berjumlah 350 orang dengan kepemilikan setara 7,4% total saham, tentunya tidak mau dianggap gila. Siapa yang rela me­ lepas hak milik atas produsen AMDK dengan volume penjualan terbesar di dunia? Mereka baru bersedia melepas saham itu seharga satu juta rupiah per lembar!

M . M A ’R U F 42

Pada Maret 1994, Tirto yang lahir dengan nama Kwa Sin Biauw pada 9 Maret 1930 di Wonosobo, Jawa Tengah, mengembuskan napas terakhir setelah menyerahkan kendali kepemilikan Aqua kepada putrinya, Lisa Tirto Utomo. Berkat jasa­jasanya mengembangkan industri AMDK di Asia, namanya diabadikan dalam “Hall of

Fame” industri air kemasan dunia, pada Oktober 1992,

di Cincinnati, AS.

Tirto mewariskan dua usaha yang berstatus non­ publik, Tirta Sebayakindo dan Tirta Investama sebagai induk perusahaan Sepeninggalan Tirto, Lisa menjual Aqua kepada grup Danone, produsen makanan raksasa asal Prancis melalui proses­proses negosiasi alot yang berakhir pada 2001 dan hanya menyisakan beberapa persen kepemilikan. Menurut Willy akuisisi itu adalah pilihan yang perlu, setelah beberapa cara pengembangan tidak cukup kuat membesarkan Aqua dari ancaman­ ancaman pesaing baru. Dia yakin Aqua tidak sebesar sekarang kalau masih 100% dimiliki keluarga. Setelah akuisisi, kepemilikan keluarga Tirto memang tinggal 26% tapi produksi Aqua melonjak tajam, dari 1 miliar liter setahun menjadi 3,5 miliar liter. Pada 2005, Aqua memproduksi Mizone yang segera menjadi fenomena baru di semua lapisan masyarakat.[]

43

A

da cerita menggelikan yang senantiasa membang­ gakan Budiono Darsono bila mengenang awal­awal merintis Detikcom. Adalah seorang komandan militer di Jakarta yang sangat membutuhkan berita terbaru di saat kegentingan melanda Ibu Kota setelah Soeharto lengser. “Coba tolong carikan detikcom, ada berita penting di situ!” perintahnya kepada bawahan.

“Siap. Laksanakan Komandan,” jawab prajurit de­ ngan sigap lalu lari terbirit­birit mencari detikcom. Di setiap perempatan jalan, dia berhenti dan menanyakan kepada loper koran. “Ada Detikcom nggak?”

Prajurit itu memperoleh jawaban yang sama pada semua loper koran yang dijumpainya. “Tidak ada,” dan tidak tahu, apa itu Detikcom. Mungkin dipikirnya media yang diinginkan komandannya itu sangat laris, prajurit itu menuju agen koran, tetapi kemudian tetap mendapatkan jawaban yang sama.

Setelah putus asa, prajurit itu kembali dengan tangan hampa dan melapor pada komandannya, “Lapor komandan, Detikcom habis!”

Detikcom

Jangan Latah dan

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 49-56)