• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paksalah Orang-orang Membeli Secara Sukarela

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 63-70)

50

P

akar manajemen dan kewirausahaan akan sulit menemukan nama selain Bambang Mustari “Bob” Sadino di urutan teratas orang sukses yang memulai usaha dari nol di negeri ini. Bob—panggilannya—juga adalah orang kaya yang langka dalam mengumpulkan pundi­pundi uangnya. Dia menyandang dua status yang banyak dimiliki orang di negeri ini; pengusaha dan petani. Benar bahwa ada banyak pengusaha dan petani di sini, tetapi Bob mungkin pionir pengusaha yang sukses dari berjualan produk pertanian dan peternakan.

Kunci sukses Bob sebetulnya adalah ide­ide brilian­ nya soal menciptakan pasar, atau dalam bahasa teori ekonominya supply creates its own demand . Bob yang mengaku bodoh sudah terbukti sukses menerapkan Hukum Say ini. Dimulai ketika dia menemukan cara paling jitu menjual sekilo kangkung lebih mahal dari harga daging yang ada di pasar tradisional. Bob memasarkan sayur­sayuran, berkualitas terbaik kepada para tetangga­tetangganya langsung dari pintu ke pintu. Bersama istrinya, berkeliling dengan gerobak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan yang banyak didiami ekspatriat, pada 1970­an. Bob memanfaatkan kesulitan

Kem Chicks

Paksalah Orang-orang Membeli

Secara Sukarela

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 51

orang­orang bule yang tidak mudah mencari bahan pangan berkualitas di pasar­pasar Jakarta.

Tetapi, produk fenomenal Bob yang pertama bu­ kanlah sayur­mayur, melainkan telur ayam. Mula­mula adalah ayam telur dalam negeri dan ayam impor. Ide itu mengalir begitu saja, karena Bob yang pernah melihat ukuran telur lebih besar dari telur ayam lokal, ketika tinggal di Amsterdam, merasa telah menemukan ide yang lebih baik. Tidak ada satu pun telur ayam Indonesia yang bisa berukuran lebih besar dari telur ayam bule. Dia berkirim surat kepada temannya di negeri Belanda untuk dikirimi anak­anak ayam petelor dan beberapa pekan kemudian anak­anak ayam pedaging. Jadilah Bob yang tidak pernah memiliki pengetahuan soal ternak itu menjadi peternak ayam petelur dan pedaging, atau yang sekarang tenar dengan nama broiler. “Sayalah orang pertama yang mengenalkan telur kepada bangsa ini,” kata Bob bangga.

Telur­telur berukuran setengah lebih besar dari telur lokal itu ada yang berwarna cokelat dan putih sehingga sudah mengundang selera. Mula­mula memang tidak laku untuk konsumen lokal, tetapi sangat diminati untuk keluarga ekspatriat. Apalagi, dia membungkusnya dalam kemasan plastik disertai setangkai bunga anggrek.

Ketekunan Bob menjaga hubungan baik dengan kritik­kritik pedas pelanggan yang dijawab perbaikan kualitas, membuat penjualan telur yang semula hanya satu­dua kilogram, terus melonjak. Dagangannya kemu­ dian semakin beragam, tidak hanya telur tetapi sayur­ mayur, merica, garam, dan belakangan berkembang ke bisnis daging olahan seperti sosis. Pada fase ini, Bob menganggap dirinya telah menemukan pekerjaan sebagaimana dia harapkan, dari pada bekerja untuk orang lain atau menghambur­hamburkan uang warisan.

Bob muda adalah seperti impian banyak pe muda,

M . M A ’R U F 52

karang, Lampung, Maret 1933. Sejak kecil dia hidup berkecukupan dari keluarga pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ayahnya, Sadino, yang menjadi kepala sekolah SMA di Tanjungkarang meninggal saat dia berusia berusia 19 tahun. Sebenarnya Bob adalah anak yang cerdas, tetapi dia tampak mendewakan kebebasan. Setelah lulus SMA di Jakarta, sekitar 1953, Bob bekerja di Unilever selama beberapa bulan. Terpengaruh ajakan teman, dia memutuskan berhenti dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Status mahasiswa jaket kuning hanya disandangnya beberapa bulan, dia keluar lagi dan kembali bekerja di Unilever.

Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan asal Inggris itu, Bob menemukan kabar baik untuk menya­ lurkan jiwa petualangannya. Dia mendengar sebuah perusahaan pelat merah bidang pelayaran, Djakarta Lloyd, membutuhkan pegawai baru. Bob diterima dan dengan kapal uap, SS Jakarta Raya dan SS Djatinegara milik perusahan itulah, Bob merasakan dinginnya salju Eropa. Selama sembilan tahun dia tinggal di Hamburg, Jerman dan Amsterdam, Belanda. “Tahun 1964 di Eropa, saya masih banyak main, ngabisin uang, karena saya dapat uang warisan. Jadi, bukan untuk keperluan bisnis,” kenang Bob.

Bob mendirikan toko Kem Chick pertamanya di Kemang pada 1969—nama ini menampakkan jelas per­ paduan antara lokasi dan ayam. Produk sayur­mayur menyusul sekitar 1982 dengan jenis yang sama sekali belum dikenal konsumen lokal. Dia mengenalkan sayur­ mayur yang ditanam dalam sebuah pot berisi air, tanpa tanah atau sekarang dikenal dengan nama hidroponik. Ketika gaya cocok tanam yang tidak lazim itu sudah ramai dibicarakan dan menjadi demam baru petani berteknologi tinggi, dia memilih meninggalkannya. Bob kemudian memilih menanam sayur­mayur yang benar­ benar bersih dari pestisida atau organik—murni dari alam. Bob pula yang mula­mula membanjiri tokonya

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 53

dengan impor berton­ton ragam sayur­mayur segar langsung dari Eropa dan Jepang. Sayur­mayur yang berukuran rata­rata jumbo, berbentuk tidak lazim di mata para ibu­ibu domestik itu didatangkan untuk memenuhi kekangenan para pelanggan ekspatriat.

Dia memasarkan jagung manis, di saat orang ti­ dak tahu ada jagung muda yang rasanya seperti gula. Memasarkan buah yang masih famili cucurbitaceae,

genus cucumis, atau kita kenal sebagai melon yang

kabarnya berasal dari daerah tropis Afrika. Dari Jepang didatangkan pula terong berukuran jumbo yang berwarna­warni, putih, hitam, dan jingga. Orang­orang lokal juga terheran­heran dengan cabe berbentuk cebol­ gendut, yang ragamnya seperti lampu lalu lintas; Paprika. Selain impor, Bob berangsur­angsur menanam sendiri buah segar dan sayur­mayur di lahan ratusan hektare di Jawa. Dia juga memproduksi sendiri aneka ragam daging beku berbentuk sosis, burger, bakso. Tidak kurang dari 1.300 karyawan menggantungkan hidupnya dari usaha milik Tuan Sadino ini—belakangan dia lebih memilih pola kemitraan dengan petani dan peternak dan lebih berkonsentrasi pada pemasaran.

Sayur buah, telur, dan daging beraneka jenis itu dipajang begitu saja di gerai Kem Chick, tanpa perlu merancang promosi yang aneh­aneh. “Saya suruh orang mencoba jagung manis saya, kemudian ada permintaan saya lanjutkan. Begitu juga orang saya suruh coba melon saya, terus dibeli. Dari permintaan ke permintaan begitu terus­menerus. Begitu pasar yang saya ciptakan ....” kata Bob.

Tidak ada biaya promosi gila-gilaan di media yang menghabiskan dana besar, semuanya berjalan lambat tetapi menanjak. Catatan penjualan Kem Chick di awal 1985 menunjukkan, rata­rata per bulan antara 40­50 ton daging segar, 60­70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar ludes dibeli pelanggan.

M . M A ’R U F 54

Supermarket spesialis sayur­mayur, buah, dan da­ ging itu melenggang sendirian puluhan tahun tanpa saingan berarti. Bob yang tampak tidak memiliki am­ bisi besar, hanya membuka satu gerai dia beralasan, “Rumah biasanya cuma ada satu. Kalau banyak, nanti jadi vila dan apartemen.” Sifat ini di luar kelaziman para pengusaha besar yang begitu sukses, punya penyakit kesetanan berekspansi dengan mempertaruhkan diri ke bank, untuk membangun gerai­gerai baru, atau di­ waralabakan biar cepat menjamur.

Toh, keyakinan Bob berubah setelah bertemu Suzy Dharmawan yang anak pendiri jaringan ritel Matahari— ikon peritel Indonesia, Hari Dharmawan. Keduanya menjadi mitra mengembangkan gerai Kem Chicks di Pacific Place Sudirman. Ini pun setelah satu­satunya gerai di Kemang itu mendapat saingan dari pemain baru, Ranch Market, yang muncul pada 1998.

Bob kini adalah pemilik tunggal Kems Grup (KG), perusahaan yang dibangunnya lebih dari 30 tahun silam. Dari berjualan telur, dia kini menguasai agrobisnis dari hulu ke hilir melalui Boga Caturrata (ritel/Kem Chicks), Kemang Foods Industries (produksi pengolahan ma­ kanan) dan Kems Farm Indonesia (perkebunan). Boga Caturrata bahkan sudah berekspansi ke luar jalur per­ tanian, lewat beberapa anak usaha, yaitu Lambung Andal (katering, restoran, kafe), Andal Citra Promotion (percetakan dan majalah), serta Kemang Nusantara Travel (agen perjalanan).

Dalam berbagai kesempatan, Bob selalu mengatakan, tidak ada ilmu manajemen canggih yang digunakannya saat merintis bisnis. Dia lebih sering menyebutnya se­ bagai tindakan nekat dan bodoh, tetapi berhasil begitu saja. “Hal­hal bodoh itu” diajarkan dalam banyak ke­ sempatan seminar­seminar kewirausahaan, yang men­ jadikannya ikon sukses tanpa gelar. “Saya hidup dari fantasi,” kata Bob melukiskan keberhasilan usahanya.

Ba gian 2 – Or ang-Or ang Spesial; P ar a Pionir 55

Perjalanan bisnisnya sudah banyak ditulis dan dikutip dalam teori­teori manajemen kontemporer. Sjamsoe’oed Sadjad menulis buku berjudul Agribisnis yang Membumi

- Kisah Sukses Bob Sadino yang diterbitkan Grasindo,

tahun 2001. Sementara Edy Zaqeus menulis buku Bob

Sadino: Mereka Bilang Saya Gila! yang diterbitkan

Kintamani Publishing, 2009.

Sosok di balik Bob yang keras kepala dan mem­ buatnya tidak cengeng atas duka lara pada saat me­ mulai usaha itu adalah perempuan muda cantik, Soelami Soejoed yang bekerja sebagai sekretaris di Bank Indonesia cabang New York. Mereka berpacaran beberapa tahun setelah pertemuan mengesankan di Amsterdam, dan memutuskan pulang ke Jakarta untuk menikah pada 31 Juli 1967. Saat itu Bob dan Soelami— yang kemudian dikaruniai dua anak perempuan Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih—masih terikat kerja di Jakarta Lyod dan Bank Indonesia. Entah mengapa, Bob memutuskan segala macam kemewahan itu dan memilih menetap di Jakarta dan berhenti bekerja untuk memulai segalanya dari nol—istrinya hanya menjawab dengan diam keputusan gila ini. Bob menjual satu dari dua sedan Mercedes buatan 1960­an, hasil bekerja di Belanda untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Satu lagi dipakai untuk taksi gelap. Bob sendiri sopirnya.

Masa­masa pahit adalah ketika sedan mobil satu­ satunya sumber penghasilan itu disewakan dan mengalami kecelakaan. Meski kehilangan sumber penghasilan satu­ satunya, Bob masih berkeras tidak mengizinkan istrinya kembali bekerja, dan memilih menjadi kuli bangunan dengan bayaran Rp 100.000 per bulan sampai tahun 1970. Dia memang mengaku tidak pernah menyesali keputusan berhenti bekerja setelah menikah, tetapi Bob yang keras kepala mengalami depresi hebat setelah kehilangan mobil itu. Sampai suatu saat dia berkenalan

M . M A ’R U F 56

dengan Sri Mulyono Herlambang yang memberinya 50 ekor ayam untuk dipelihara, sebagai obat depresi katanya. Mulyono sendiri bukan sembarang orang, tetapi bekas Panglima Angkatan Udara TNI yang pensiun. Hadiah obat depresi dari Mulyono itulah yang memberi jalan sukses bagi pria yang tidak bisa melepaskan celana pendeknya ini.[]

57

W

alapun Bapak Televisi dinisbatkan kepada Paul Nipkow, seorang mahasiswa di Berlin yang menemukan gagasan mengenai televisi sebagai transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan pada 1884, tetapi semua orang Indonesia yang menikmati layar televisi harus berterima kasih kepada Thayeb Mohammad Gobel. Gobel yang lahir di Gorontalo, 12 September 1930, menciptakan radio transistor per­ tamanya pada usia 24 tahun dan 8 tahun kemudian membuat “kotak ajaib” agar masyarakat Indonesia bisa menyaksikan tayangan spektakuler Asian Games IV di Jakarta dari rumahnya. Pada waktu itu, televisi adalah barang yang sangat langka dan benda mewah. Orang­ orang tua bercerita bagaimana di pelosok daerah, orang harus berkerumun di halaman kantor kecamatan atau kabupaten untuk menyaksikan siaran televisi.

Gobel semula adalah tengkulak pisang di kampung halamannya. Setelah lulus Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, dia meniti karier dari tenaga admi­ nistrasi di Makassar, menjadi salesman di Dasaad Musin Concern, dan tercatat pernah menjadi kepala cabang di Fasco Surabaya. Tidak banyak diketahui, bagaimana

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 63-70)