• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajarlah dari Kesalahan

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 32-38)

19

D

ua puluh tahun pertama, penjualan Teh Botol Sosro tidak langsung laris manis se perti sekarang. Penemunya, Sosrodjojo pertama kali menjualnya pa­ da 1940, dalam bentuk kemasan teh kering siap saji bermerek dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Slawi, ke sejumlah pasar di sana. Ini mulanya adalah strategi menghadapi penjualan hasil panen daun teh perkebunan milik sendiri yang terus merosot harganya, sehingga Sosrodjojo berupaya menjualnya secara eceran. Teh siap seduh merek Teh Cap Botol, yang merupakan jenis jasmine tea—campuran teh hijau dan bunga me­ lati—itu sebetulnya terasa enak dan segar, hanya saja cara­cara meracik minuman yang buruk kerap kali menenggelamkan cita rasanya.

Ini mendorong anak­anak Sosrodjojo berkampanye mengenai takaran pas meracik teh yang enak. Hasilnya adalah sebuah kegagalan—karena pembeli rupanya tidak terlalu menganggap itu penting—tetapi dari situ keluarga ini justru menemukan ide penjualan yang lebih brilian, membotolkan teh! Kisah pembotolan Teh

Sosro yang sukses ini sendiri tampak seperti dejavu

Sosro

M . M A ’R U F 20

legenda pembotolan Coca-Cola oleh dua pengacara asal Chattanooga, Tennessee, Amerika Serikat, Benjamin Thomas dan Josephe Witehead pada 1899. Bedanya,

Coca Cola pada awalnya sudah dijual dalam gelas plastik

siap minum, dan dua pengacara itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan John Stith Pemberton— penemu ramuan Coca Cola.

Satu versi bercerita bila gagasan pembotolan itu diilhami oleh kebiasaan anak sekolah di Slawi yang kerap membawa minuman teh dalam botol. Namun, versi yang lebih resmi seperti dipasang dalam situs resmi Sosro menyebutkan ide pembotolan lahir dari beberapa kali kegagalan dalam mempromosikan teh itu ketika melakukan ekspansi penjualan ke Jakarta oleh anak­ anak Sosrodjojo pada 1953. Sosrodjojo mewariskan perkebunan dan pabrik teh itu kepada empat anaknya; Soetjipto, Soegiharto, Soemarsono (meninggal dalam usia muda), dan Surjanto.

Surjanto yang baru pulang dari sekolah di Jerman, diserahi tugas membantu memasarkan ke pasar­pasar dan pusat keramaian dengan program Cicip Rasa. Program itu adalah semacam demo menyeduh teh yang benar sekaligus memberikan bukti teh wangi adalah minuman yang enak. Secara rutin tim promosi yang dipimpin Soetjipto mendatangi tempat­tempat keramaian membagi­bagikan teh siap minum. Mereka mengendarai mobil dan memutar lagu­lagu, mengundang dengan pengeras suara bahwa ada pembagian teh gratis. Setelah banyak orang terkumpul, para staf mulai mendemokan cara menyeduh Teh Cap Botol dengan benar. Para penonton menyukai teh itu, tetapi menunggu segelas teh untuk 30 menit tampak bukan promosi yang bagus. Lagi pula, membuat teh tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga promosi itu menjadi tidak efektif. Orang­orang menjadi bosan dan tanpa apresiasi.

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 21

Beberapa waktu kemudian, masalah itu diakali dengan memperpendek durasi demonstrasi menyeduh teh. Tidak ada jadwal merebus air dan menyeduh teh di lokasi. Air teh terlebih dahulu disiapkan di kantor, dan kemudian diangkut dengan panci­panci ke lokasi. Cara ini pada mulanya lebih efektif, tetapi masih menimbul­ kan masalah karena jalanan Jakarta yang berlubang membuat teh­teh dalam panci berceceran di kendaraan saat perjalanan. Baru pada cara ketiga ditemukan meto­ de paling jitu, dengan masukkan teh siap minum itu dalam botol­botol bekas limun yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Cara ini cukup sukses dan promosi dijalankan beberapa tahun tanpa menyadari ada potensi besar di balik pembotolan itu.

Lama­kelamaan konsumen justru ketagihan dengan teh siap minum yang ditawarkan dalam Cicip Rasa. Sopir dan orang­orang yang lalu lalang di sekitar Jalan Gajah Mada, Bandar Kemayoran, dan Pasar Senen, Jakarta Pusat yang tadinya malas mencicip lama­lama bergerombol ketika mobil promosi yang khas dengan lagu­lagu datang. “Lama­lama terasa lebih efisien kalau teh diseduh di rumah untuk kemudian disuguhkan kepada calon konsumen di pasar. Kebetulan, disajikan dalam botol­botol,’’ kata Soetjipto.

Pada 1969, keluarga Sosrodjojo memulai penjualan teh siap minum dalam kemasan botol. Botol­botol limun yang awalnya dipakai untuk promosi diberi label tulisan Teh Cap Botol Soft Drink Sosrodjojo, mendompleng merek teh seduh Cap Botol. Di masa masa awal, pem­ botolan dilakukan secara manual. Teh dimasukkan memakai gayung, memakai corong plastik dan desain botol yang dipakai masih sangat sederhana. Pada 1972, masih dengan botol yang sama, label Teh Cap

Botol diubah dengan penulisan “Cap” yang lebih kecil,

sepintas orang hanya akan membaca Teh Botol—seperti yang kerap dibicarakan orang. Tulisan Soft Drink juga

M . M A ’R U F 22

dihilangkan dan kata Sosrodjojo dipangkas menjadi Sosro dalam logo bulat merah.

Ketika pengiriman mencapai 100 krat per hari (satu krat berisi 24 botol) pada 1974, keluarga sepakat men­ dirikan Sinar Sosro, untuk mengelola pabrik pembotolan di kawasan Ujung Menteng (waktu itu masuk wilayah Bekasi, tetapi sekarang masuk wilayah Jakarta). Setiap jam, pabrik mampu mengemas 6.000 botol per jam. Desain botol diubah seperti yang ada sekarang. Usaha ini sekaligus memisahkan dari induk usaha Perkebunan Teh Gunung Slamet yang memiliki ribuan hektar ladang di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Soetjipto memiliki cara unik memberi harga yang pas untuk setiap botol di tingkat agen dan eceran. Sebotol teh dihargai tidak melebihi harga parkir, Rp 25 ditingkat pengecer, dan pedagang kaki lima boleh menjual hingga dua kali lipatnya. Tetapi terobosan besar baru dimulai pada 1981 ketika mereka membagi­bagikan kotak pen dingin (cooler

box) di atas roda dorong

kepada para pengecer, mulai dari perempatan Coca­ Cola (sekarang ITC Cempaka Mas), sampai kawasan Pasar Senen. Teh yang dingin semakin menonjolkan kesegaran Teh Botol Sosro di tengah udara Jakarta yang panas. Hubungan manis antara penjual yang diberi margin keuntungan tinggi itu pada mulanya sebagai kompensasi setelah toko­toko besar masih menganggap aneh minuman teh dalam botol. Kedekatan dengan para pedagang kaki lima justru amat menentukan kesuksesan

Ba gian 1 – Liha tlah Ba gaimana Mer eka Melakukann ya 23

Sosro membangun rantai distribusi yang sedemikian tertata dan terukur tanpa preseden kehabisan stok. Di titik ini, jalur distribusi Sosro memiliki tiga jenjang; agen, sub agen, dan pengecer. Sejak awal, inventaris botol­botol perusahaan telah ditetapkan minimal dua kali lipat dari jumlah teh botol yang berada di tangan distributor, sehingga terdapat proporsi seimbang antara botol di pabrik dengan botol di pasaran. Demikian pula, tenaga­tenaga penjual ditempatkan secara proposional disesuaikan dengan jumlah truk pengangkut krat­krat yang menyalurkannya ke 400 pos distribusi di Tanah Air. Sistem distribusi yang dikelola oleh tujuh perusahaan pribadi milik sendiri itu hampir menyentuh seluruh level kabupaten dan kota di Nusantara sehingga akan sulit disabotase oleh pesaing. Dengan sistem itu, kecua­ li ditilep oleh pesaing, Teh Botol Sosro selalu ada keti­ ka diminta konsumen. Pada 1984, Sosro bisa menjual 40.000 krat teh botol dan kardus setiap bulannya. Mereka menguasai 80% pasaran minuman sejenis dan menyisakan 20% lainnya bagi 11 merek saingan.

Pangsa pasar Sosro nyaris tidak berubah, meski dikepung oleh merek­merek teh yang disokong per­ usahaan global legendaris, terutama Coca Cola dan

Pepsi. Keperkasaan Sosro menghajar soft drink merek

impor itu lebih tampak pada perebutan pengaruh di gerai­gerai makanan cepat saji (fast food). Kesan ini muncul setelah Rekso Nasional Food milik keluarga Sosrodjojo mengakuisisi Mc Donald. Ini pukulan telak bagi Coca Cola karena selama 18 tahun keberadaannya di Indonesia, restoran bermenu utama ayam itu hanya menyuguhkan minuman produksi Coca Cola. Di tahun lalu, Sosro telah mengalahkan Coca Cola Indonesia, yang di­back up penuh oleh Coca Cola Company. “Kami berada di atasnya,” kata Presiden Direktur Sinar Sosro Yoseph Sosrodjojo yang menyebut keuntungannya pada 2008 mencapai Rp 1,8 triliun.

M . M A ’R U F 24

Kekaisaran bisnis Sosrodjojo, yang kini masuk gene­ rasi ketiga, kuat, dengan taksiran aset lebih dari Rp 10 triliun. Hanya perpecahan di tubuh keluarga yang bisa menghancurkan bisnis tersebut. Sejak berdiri, kepemilikan perusahan tidak pernah keluar dari ling karan empat putra Sosrodjojo. Bahkan ketika ahli waris Soemarsono dan keluarga Surjanto melepas saham pada 1989 dan 1992, mereka hanya menjual kepada Soegiharto yang di masa tuanya menikmati 11,7% saham Sinar Sosro. Kini hanya dua putra Sosrodjojo yang menguasai Sosro, yakni Soegiharto bersama istri serta lima putranya dan Soetjipto bersama dua putranya.[]

25

O

rang seperti Raam Jethmal Punjabi akan sangat rentan terhadap tudingan di balik moral masyarakat yang cenderung turun. Sinetron dan film­filmnya kerap dianggap telah menyebabkan keluarga Indonesia kehi­ langan rasionalitas dan menjadi naif akan kehidupan yang sebetulnya abu­abu, bukan hitam dan putih. Para kritikus akan sepakat bahwa sinetron­sinetron yang ditayangkan hampir 24 jam di layar kaca itu secara berlebihan telah mengeksploitasi cerita­cerita mistis, percintaan, dan religi. Tetapi, kritikus­kritikus tidak akan bisa mengelak bahwa Raam­lah orang terdepan yang menghidupkan industri film lokal dan menciptakan tren baru untuk tayangan hiburan di televisi.

Lahir di Surabaya 6 Oktober 1943, Raam mulai bekerja di sebuah perusahaan tekstil pada 1964 hingga akhirnya meninggalkan sama sekali bisnis kain itu pada 1969. Kisah hidupnya mengingatkan kita pada jalan cerita film Nuovo Cinema Paradiso (1988) karya Giuseppe Tornatore, yang menggambarkan kedekatan seorang anak dengan dunia film di negeri pizza, Italia. Salvatore, si anak kecil, menjalin hubungan pertemanan dengan

Dalam dokumen 50 Great Business Ideas From Indonesia (Halaman 32-38)