• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebagai Prediktor Subjective Well-Being Siswa SMA Negeri 1 Ambon T2 832010003 BAB II"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan kehidupan seseorang secara keseluruhan. Ada aspek-aspek serta faktor-faktor yang menjadi prediktor bagi subjective well-being seseorang, khususnya di kalangan siswa. Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai SWB dan teori-teori yang mendasari perkembangan SWB itu sendiri, serta bagaimana hubungan SWB dengan faktor school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya yang menjadi prediktornya.

2.1.SUBJECTIVE WELL-BEING 2.1.1. DefinisiSubjective Well-Being

Sepanjang sejarah, filsuf yang berbeda-beda telah memberikan

perhatian yang bervariasi pada definisi subjektif mengenai hidup yang baik. Beberapa berpendapat bahwa hidup yang paling diinginkan (desirable) bisa

didefinisikan melalui karakteristik-karakteristik seperti virtue (kebaikan/kebajikan), dan hal-hal lainnya yang menunjukkan perasaan menyenangkan sebagai esensi dari hidup yang baik (Diener, 2009). Walaupun banyak peneliti kadang-kadang mendiskusikan kebahagiaan dan well-being seolah-olah direfleksikan sebagai satu konstruk, namun sebenarnya tidak ada satupun penilaian atau pendapat (single judgement) yang bisa mencakup keseluruhan subjective well-being (Diener & Ryan, 2008).

(2)

kepercayaan. Kepuasan hidup merupakan level di mana individu menilai kualitas hidupnya secara menyeluruh sebagai kesatuan yang menyenangkan.

SWB didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap kehidupan, yang dijelaskan dalam terminologi mengenai bagaimana dan mengapa individu mengalami kehidupan dalam cara yang positif, sehingga pengalaman pribadi mereka berkaitan dengan kualitas hidup yang dirasakan (Diener & Diener; Diener, Biswas-Diener & Tamir, dalam Yang dkk., 2008). Keyes dan Waterman (2003) mereview literatur dengan judul, “A brief history of the study of well-being in children and adults” (Sejarah singkat studi well-being pada anak dan orang dewasa) dan menyimpulkan bahwa individu mengevaluasi dirinya dalam ungkapan apakah mereka merasa baik atau

senang dengan dirinya dan apakah dirinya berfungsi dengan baik secara pribadi dan secara sosial. Para ahli juga telah menganalisis bahwa evaluasi mengenai kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan periode lampau (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Evaluasi ini meliputi reaksi emosi individu atas suatu peristiwa, suasana hati mereka, dan bentuk penilaian mereka mengenai kepuasan dalam hidup, pemenuhan kebutuhan, dan kepuasan dalam domain tertentu, seperti dalam pernikahan dan pekerjaan.

(3)

global untuk mengalami hidup dalam cara yang menyenangkan (Quevedo & Abella, 2011).

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB merupakan evaluasi subjektif individu yang meliputi tingginya kepuasan hidup, pengalaman akan emosi yang menyenangkan (positive affect) dan level rendah dari emosi yang negatif (negative affect).

2.1.2. Teori-teoriSubjective Well-Being

Ada banyak pandangan teoritis mengenai bagaimana well-being diuji, yang berasal dari perspektif biologi yang menaruh perhatian pada predisposisi genetik dari kebahagiaan, sampai pada teori standar relatif, yang menguji bagaimana membandingkan pengaruh seseorang terhadap

orang lain dalam merasakan SWB. Berikut adalah gambaran singkat mengenai beberapa teori SWB seperti yang dijelaskan oleh Diener & Ryan (2008).

1) TeoriTelic

(4)

pemenuhan daripada mencapai objek keinginan itu sendiri atau tidak? Teori kebutuhan (need theory) seperti konsep psikologi well-being dari Ryff dan Singer (dalam Diener & Ryan, 2008) dan teori determinasi diri (self-determination) dari Ryan dan Deci (dalam Diener dan Ryan, 2008) menemukan bahwa ada kebutuhan tertentu yang ada sejak lahir, yang dicari individu untuk dipenuhi dalam rangka mencapai well-being. Sehubungan dengan ini, teori tujuan menunjukkan bahwa individu yang secara sadar mencari tujuan tertentu, akan menghasilkanwell-beingyang tinggi ketika tujuan itu terpenuhi. Akan tetapi, dalam teori tujuan, tujuan-tujuan bisa muncul dari sumber-sumber tambahan selain kebutuhan yang didapatkan sejak lahir.

2) TeoriTop-Down Versus Bottom-Up

(5)

Dalam pendekatan top-down, fitur-fitur global dari kepribadian diperkirakan memberi pengaruh pada cara seseorang beraksi terhadap suatu kejadian. Contohnya, orang dengan temperamen sanguinis mungkin mengniterpretasikan sejumlah peristiwa sebagai hal yang positif. Dalam pendekatan bottom-up, seseorang harus mengembangkan disposisi yang jelas dan penampilan sanguinis sebagai pengalaman positif yang diakumulasikan dalam kehidupan seseorang. Sebagai contoh, para penganut hedonis mengemukakan bahwa seseorang bisa disebut berbahagia jika peristiwa-peristiwa yang menyenangkan benar-benar dipilih dan terus diakumulasikan. Sehingga akumulasi dari setiap peristiwa tertentu yang menyenangkan itu akan terus membuat orang merasa bahagia.

(6)

Argumen dasar bagi pendekatan bottom-up adalah bahwa pemenuhan kebutuhan tertentu akan meningkatkan kepuasan pada domain tertentu dan memberikan dampak pada kepuasan hidup secara keseluruhan. Teori bottom-up mengungkapkan bahwa kepuasan hidup merupakan jumlah keseluruhan dari kepuasan dan perasaan positif dalam domain-domain tertentu (Schimmack, dkk. 2002; Campbell dkk.; Diener; Andrews dan Whitney dalam Voicu dan Pop, 2011). Merasa puas dan bahagia dengan hubungan sosial, hubungan rumah tangga, kesehatan, atau keluarga, bisa menjadi penentu kepuasan hidup secara keseluruhan (Voicu dan Pop, 2011). Selain itu, ditambahkan pula bahwa penilaian tersebut dilakukan berdasarkan standar kriteria individu yang bersangkutan. Dilain pihak, pendekatan top-down memandang bahwa kepuasan hidup semata-mata disebabkan oleh kestabilan faktor kepribadian. Namun demikian menurut Diener (2008), keduastruktur teori ini yang membentuk SWB sebagai satu variabel yang utuh.

3) Teori Kognitif

(7)

diri sendiri merupakan prediktor yang signifikan bagi well-being. Studi menunjukkan bahwa walaupun kebanyakan orang yang sering merenung cenderung untuk lebih khawatir dan mengalami subjective well-being yang lebih rendah pada umumnya, namun mengarahkan atensi pada diri sendiri bisa menyebabkan orang yang secara normal mengalami well-being yang tinggi mengalami well-being yang lebih rendah secara signifikan. Lebih jauh lagi, orang dengan subjective well-being yang tinggi secara natural menginterpretasi peristiwa-peristiwa netral dan ambigu dalam cara yang positif. Dengan demikian, interpretasi positif bertindak sebagai penahan pelindung atau tenaga pelindung (protective buffer). Akhirnya, ketika orang yang bahagia secara disposisi telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam jumlah peristiwa-peristiwa

positif dan negatif yang mereka alami, mereka cenderung untuk mengingat peristiwa dengan lebih baik daripada yang sebenarnya, menggunakan interpretasi positif yang bias.

4) Teori Evolusioner

(8)

sumber-sumber intelektual, psikologi, sosial dan fisik. Oleh karena itu, Frederickson berpendapat bahwa subjective well-being yang tinggi dan pengaruh positif menghasilkan keadaan dimana individu dengan percaya diri dapat mengeksplor lingkungannya, melakukan pendekatan terhadap tujuan baru, dan dengan demikian mendapatkan sumber daya pribadi yang penting. Dibandingkan emosi yang negatif, emosi positif memiliki manfaat adaptifnya sendiri yang berkontribusi pada kesuksesan evolusioner spesies dan berlanjut untuk menolong manusia dalam mempertahankan hidup.

5) Relative Standards

Teorirelative standards berpendapat bahwawell-beingberasal dari perbandingan antara beberapa standar, seperti masa lalu seseorang, masa lalu orang lain, tujuan-tujuan, atau cita-cita, dan kondisi aktual. Menurut

teori perbandingan sosial, seseorang menggunakan orang lain sebagai standar, yang berarti bahwa individu akan mengalami well-being yang lebih tinggi jika mereka lebih baik dari orang lain (Carp & Carp; Michalos dalam Diener, 2009). Misalnya, Easterlin (dalam Diener, 2009) berpendapat bahwa, jumlah pendapatan yang akan memuaskan orang tergantung pada pendapatan orang lain dalam masyarakatnya. Sebagai tambahan, Emmons, Larson, Levine, dan Diener (dalam Diener, 2008) menemukan bahwa perbedaan sosial merupakan prediktor kepuasan yang paling kuat dalam banyak sektor.

(9)

untuk menimbulkan emosi, berkurang seiring berjalannya waktu. Misalnya, jika seseorang mengalami peristiwa positif seperti promosi, teori adaptasi berpendapat bahwa orang ini akan mengalami well-being yang tinggi karena promosi menjadi diatas standar mereka sebelumnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, teori adaptasi mendalilkan bahwa promosi menjadi standar baru, dengan demikian kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan perasaanwell-beingbagi individu. Dalam hal seperti ini, individu didesak oleh apa yang disebut “hedonic treadmill”, yang menggambarkan proses di mana perubahan baru yang terjadi dalam kehidupan meningkatkansubjective well-beingindividu secara sementara sebelum individu akhirnya menyesuaikan diri pada standar kondisi yang baru. Jadi, menurut teori adaptasi, peristiwa dan keadaan hanya menjadi

penting dalam jangka waktu yang pendek, sedangkan temperamen menjadi pengaruh jangka panjang utama padawell-being.

Dari penjelasan beberapa teori di atas, peneliti memilih teori top-down versus bottom-up sebagai landasan untuk penelitian ini, karena menurut penulis asumsi dasar dari pendekatantop-down versus bottom-up sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu bahwa pemenuhan kebutuhan dan perasaan positif yang didapatkan dari pemenuhan keebutuhan atau kepuasan pada domain tertentu bisa memberikan pengaruh pada kepuasan hidup seseorang secara keseluruhan dan juga memberikan rasa nyaman dan bahagia yang mana secara langsung berdampak pada SWB-nya. Teori ini secara bersamaan mendukung SWB dari dua komponen yang membentuk SWB itu sendiri, top-down mendukung komponen emosi, sedangkan bottom-up mendukung komponen kognitifnya.

(10)

SWB memiliki dua komponen umum : komponen kognitif dan komponen emosional (Diener, & Larsen, 1993; Diener, & Suh, 1997; Pavot, Diener, Colvin, & Sandvik, 1991; Schimmack, Radhakrishnan, Oishi, Dzokoto, & Ahadi, 2002; Ayyash-Abdo & Alamuddin, 2007).

1) Komponen kognitif berkaitan dengan indikator kepuasan hidup individu, yang digambarkan sebagai penilaian kognitif individu mengenai hidupnya secara keseluruhan maupun kepuasan dalam bidang-bidang tertentu, yang meliputi pekerjaan, sekolah, kesehatan, kehidupan keluarga, tujuan hidup, prestasi, keamanan, dan hubungan sosial. Dalam hal ini, kepuasaan bisa meliputi penilaian kepuasan akan keseluruhan hidup individu, namun juga bisa meliputi kepuasan pada domain-domain tertentu dari hidup individu. Huebner (2001)

secara rinci membagi domain kepuasan hidup individu dalam lima domain, antara lain kepuasan pada keluarga, kepuasan pada teman, kepuasan pada sekolah, kepuasan pada lingkungan tempat tinggal, dan kepuasan pada diri sendiri.

(11)

Dalam penelitian ini akan digunakan komponen kognitif dari Huebner (2001) dan komponen emosi dari Watson, Clark & Tellegan (dalam Ayyash-Abdo & Alammudin, 2007)

2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhisubjective well-being

Sebagai salah satu studi yang menjadi populer saat ini, penelitian mengenai subjective well-being kemudian diteliti dari berbagai sudut pandang dengan bermacam-macam variabel yang mewakili bermacam isu. Diener (2009) mengungkapkan bahwa tidak ada faktor tunggal yang menjadi penentu subjective well-being. Beberapa kondisi kelihatannya dibutuhkan bagi subjective well-being (mis, kesehatan mental, hubungan sosial yang positif), namun hal-hal tersebut tidak cukup dalam menyebabkan kebahagiaan. Para filsuf dan peneliti telah menemukan sejumlah hal yang menyebabkan kebahagiaan. Menurut Diener, dari hasil

penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kondisi demografis yang sangat berperan padasubjective well-beingseseorang, antara lain :

A. Faktor Demografis

1) Agama, religiusitas dan praktek-praktek spiritualitas

(12)

agama merupakan faktor yang penting dalam hubungan positif (Ardelt; Ardelt & Koenig dalam Diener & Ryan, 2008), dan kekuatan hubungan ini kelihatannya lebih kuat untuk kelompok masyarakat tertentu, khususnya perempuan African-americans dan orang-orang tua Eropa (Argyle dalam Diener & Ryan, 2008). Beberapa studi empirik yang berkembang belakangan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor substantif yang berhubungan dengan tujuan hidup, makna, keterlibatan dalam hal keagamaan, religious coping, dukungan komunitas jemaat (congregational support), dan praktek-praktek spiritual ditemukan sebagai prediktor utama well-being (Koenig, McCullough, & Larson, 2001; Ellison; Harker; Maton; Seybold & Hill dalam Morris dkk., 2010).

2) Pendapatan (income)

Ada begitu banyak penelitian yang menemukan bahwa pendapatan dan SWB memiliki hubungan yang positif. Selain itu keadaan sosioekonomi seseorang juga berpengaruh. Namun demikian, penelitian mengenai hal ini masih belum konklusif (Diener, 2009; Frey & Stutzer, 2002).

3) Pernikahan, perceraian, dan hubungan sosial

(13)

Orang yang menikah biasanya mengalami level SWB yang lebih tinggi daripada orang yang tidak menikah menurut studi longitudinal (Lucas, Clark, Georgellis, & Diener, 2003) dan sampel representatif yang besar (Glenn; Lee, Seccombe, & Shehan dalam Diener & Ryan, 2008) ; akan tetapi, data juga menunjukkan bahwa orang cenderung beradaptasi dengan cepat pada pernikahan dan kembali pada level dasar well-beingmereka (Lucas, Clark, Georgellis, & Diener, 2003). Berbeda dengan orang yang menikah, orang yang bercerai menunjukkan level well-being yang lebih rendah secara rata-rata (Lucas, 2005). Lebih lanjut menurutnya, perceraian pada umumnya menyebabkan kemunduran dalam SWB disebabkan perceraian, dan mereka yang bercerai tidak mudah kembali pada level dasar well-being sepanjang waktu (Lucas, 2005). Dengan demikian, peristiwa perceraian kelihatannya lebih memengaruhi level SWB dibandingkan peristiwa pernikahan.

4) Jender

(14)

personal well-being indexpada para supir taksi tersebut. Satu-satunya perbedaan statistik secara signifikan berhubungan dengan kepuasan dan hubungan pribadi, di mana skor laki-laki lebih tinggi.

B. Faktor-faktor lain yang memengaruhi SWB

Selain kondisi demografis, studi genetik yang dilakukan di Universitas Minnesota dan direview oleh Lykken (dalam Diener & Ryan, 2008) menemukan bahwa kembar monozygotic yang dibesarkan secara terpisah memiliki kemiripan dalam level kebahagiaan daripada kembar dizygotic yang tinggal terpisah. Studi kembar menunjukkan bahwa beberapa bagian variabel dalam kebahagiaan mungkin disebabkan kontribusi genetik. Namun demikian, ada juga penelitian yang menemukan bahwa levelsubjective well-being seseorang tidak ditentukan oleh faktor genetiknya. Diener dan kolega (Diener dkk., 2002; Lucas dkk., 2004 dalam Diener, 2009) melakukan studi longitudinal di Jerman dan menemukan bahwa faktor genetik tidak memberi pengaruh pada SWB seseorang. Mereka secara berulang-ulang menemukan bahwa orang yang menjadi pengangguran (unemployed) merasa kurang bahagia, dan berlanjut demikian untuk waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan mereka yang memiliki pekerjaan mapan. Hal ini menentukan bahwa genetik yang ada dalam diri individu tidak memengaruhi dirinya melainkan keadaan demografis dirinya yang membutuhkan pekerjaan.

(15)

neurotisime merupakan dua tipe kepribadian yang paling konsisten dan kuat berelasi denganwell-being(Diener, Oishi & Lucas,. 2003; Rusting & Larsen dalam Diener, 2009). Ekstraversi bisa memprediksi pengaruh positif (Lucas & Fujita, 2000), sementara pengaruh negatif dengan kuat diprediksi oleh neurotisisme (Fujita, 1991). Lebih lanjut, studi lintas negara menunjukkan bahwa orang yang ekstrovert cenderung untuk mengalami sejumlah besar perasaan positif dan terjadi secara intens jika dibandingkan dengan yang introvert (Diener & Biswas-Diener, 2008). Oleh karena itu, sementara lingkungan memainkan peranan dalam ekspresi genetik, jelas bahwa sifat-sifat warisan genetik memiliki pengaruh subtansi pada levelwell-beingindividu.

Selain itu, penentuan tujuan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi well-being. Hasil penelitian Eryilmaz (2011) menunjukkan bahwa penentuan tujuan hidup remaja berkorelasi dengan SWB mereka. Jika individu percaya bahwa tujuan mereka penting dan mereka bisa mencapai tujuan ini maka mereka memiliki level SWB yang lebih tinggi. Dari sudut pandang remaja, penemuan ini menemukan bahwa penentuan tujuan karir memberikan SWB yang lebih baik pada remaja.Tujuan meningkatkan level SWB individu dengan memfokuskan mereka pada masa depan dan menambahkan arti dalam hidup mereka.

(16)

Vaillant & Seligman, 2003) dan remaja akhir (Heo & Lee, 2010; Isaacowitz dalam Isaacowitz, dkk., 2003), remaja perdesaan (Alder, 2008), mahasiswa (Harju & Bolen, 1998), dan siswa SMA (Wong, 2009).

Persepsi dukungan sosial merupakan hal yang krusial dalam menilai seberapa baik remaja berjuang dalam kondisi lingkungannya (Barnes, Katz, Korbin, & O’Brien; Brennan dkk.; Brennan, Barnett, & Lesmeister; Bowes & Hayes; McGrath dalam McGrath, Brennan, Dolan & Barnett, 2009). Orang tua dan teman sebaya merupakan pendukung yang penting dalam aktivitas fisik siswa SMA. Orang tua dilihat sebagai teladan dan penyedia dukungan emosional, yang meliputi mendorong anak untuk menjadi aktif atau memerhatikan anak-anaknya (Duncan dkk; McGuire,

Hannan, Neumark-Sztainer, Crossrow, & Story dalam Robbins, Stommel & Hamel, 2008). Walaupun demikian, teman sebaya merupakan prediktor yang kuat dalam konteks remaja (Prochaska dkk. dalam McGrath dkk., 2009). Namun demikian, dalam konteks sekolah, hasil penelitian Richman, Rosenfeld & Bowen (1998) menemukan bahwa guru bersama dengan orang tua bisa dilihat oleh siswa “bermasalah” sebagai sumber dukungan sosial utama, dalam hubungan dengan hubungan emosional, bantuan praktis, dan untuk apresiasi yang diterima atas usaha yang dilakukan. Selain orang tua, guru juga merupakan pendukung yang memberikan kontribusi pada prestasi akademik, keterikatan/komitmen dengan sekolah, dan well-being dalam kelas (Brewster & Bowen; Chen; Vedder, Boekaerts, & Seegers dalam Flaspohler dkk., 2009).

(17)

Welch-Murphy, 2010), rasa puas pada sekolah, tubuh (pada siswa perempuan), dan kesehatan diri, dan strategi interaktif siswa-guru (Katja, Paivi, Marja-Terttu, dan Pekka, 2002), peristiwa dalam hidup (McCullough, Huebner, dan Laughlin, 2000), dan konsep diri sosial (Chang, McBride-Chang, Stewart, dan Au, 2003), dan dukungan teman sebaya (Robbins dkk., 2008). Selain itu, konteks yang mendukung di mana remaja itu tinggal dan melakukan aktivitasnya juga memengaruhi SWB remaja. Studi yang dilakukan oleh McGrath dkk. (2009) pada remaja Florida dan Irlandia menemukan bahwa dukungan sosial informal dan kepuasan di sekolah (school satisfaction) merupakan prediktor terkuat dari remaja di kedua lokasi tersebut. Dari sumber-sumber informal, dukungan emosional dari teman dan dukungan nasehat/konkrit/penghargaan dari orang tua hadir

sebagai dimensi prediktif yang penting. Kesukaan terhadap sekolah, persepsi akan keberhasilan di sekolah merupakan prediktor utama kepuasan akan sekolah oleh siswa Irlandia, sementara di Florida, persahabatan siswa dan pengalaman mengalami bullying muncul sebagai faktor yang signifikan. Selain itu, prediktor global SWB remaja juga antara lain nilai-nilai tertentu seperti keseimbangan pribadi, hubungan keluarga yang nyaman dan aman, tipe keluarga itu sendiri (keluarga kandung, orang tua tunggal, dan step family) khususnya dalam beberapa aspek tertentu, seperti persepsi remaja akan tingginya level kebersamaan dan stabilitas dalam keluarga dan rendahnya masalah-masalah serius dalam keluarga tersebut (Rask, Asted-Kurki, dan Laippala, 2003).

(18)

Dalam konteks sekolah, ada beberapa faktor penting yang menjadi penentu SWB remaja, antara lain school connectedness. Siswa yang merasa memiliki ikatan atau hubungan yang baik dengan sekolahnya melaporkan level emosional well-being yang tinggi (Eccles, Early, Frasier, Belansky & McCarthy, 1997; Steinberg dalam McNeely dkk, 2002; Libbey, 2004), dukungan sosial teman sebaya dan guru (Flaspohler dkk., 2009), orang tua (del Valle dkk., 2010), school connectedness (Eccles dkk., 1997; Steinberg dalam McNeely dkk, 2002; Libbey, 2004), self-efficacy(Yang dkk., 2008).

Dari faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB dipengaruhi oleh faktor-faktor baik dari dalam diri individu (internal)

maupun faktor eksternal (kondisi, lingkungan) individu. Faktor internal meliputi, kepribadian, usia, jender, genetik, dan optimisme, sedangkan faktor eksternal meliputi, dukungan sosial dari teman sebaya, orang tua, guru, strategi interaktif siswa-guru, agama, pendapatan, status sosio-ekonomi orang tua, konsep diri sosial, peristiwa dalam hidup, penentuan tujuan, konteks tempat tinggal remaja, school connectedness, hubungan sosial sosial, SES, dan kesehatan diri. Dari semua faktor-faktor di atas, dua variabel yang akan digunakan sebagai variabel prediktor SWB remaja yaituschool connectednessdan dukungan sosial teman sebaya.

2.2. PERKEMBANGAN REMAJA

(19)

akan membahas secara singkat mengenai remaja dan tugas perkembangannya.

2.2.1. Defenisi Remaja

Istilahadolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2003).

Santrock (2010) menyebut remaja (adolescence) sebagai periode pertumbuhan antara anak ke dewasa atau masa transisi dari anak-anak menuju ke masa dewasa. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk golongan anak, tetapi mereka tidak juga masuk golongan dewasa

(20)

Masa transisi remaja dimulai kira-kira pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir di usia antara 18 sampai 22 tahun (Santrock, 2003). Mönks dkk., (2002) membagi perkembangan dalam masa remaja ke dalam tiga bagian besar yang secara global berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun; masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal umumnya adalah mereka yang memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama, remaja tengah memasuki pendidikan sekolah menengah atas dan remaja akhir adalah mereka yang lulus SMA atau masuk perguruan tinggi dan mungkin mereka yang sudah bekerja (Dariyo, 2004). Menurut Hurlock (2003) secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa remaja dan akhir masa

remaja. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13-16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun-18 tahun, yaitu masa usia matang secara hukum. Sebagai patokan dalam penelitian ini, penulis menggunakan batasan usia remaja seperti yang ditetapkan Mönks, dkk., (2002) yaitu usia 12 sampai 21 tahun.

2.2.2. Tugas Perkembangan Remaja

(21)

menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya (Havighurst dalam Hurlock, 2003).

Havighurst mengemukakan delapan tugas perkembangan remaja yang meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung

jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karier ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

Disadari atau tidak, setiap remaja pasti menghadapi tugas-tugas perkembangan tersebut. Untuk menjalankan semua tugas tersebut setiap remaja memiliki tantangan dan kesulitannya sendiri. Kesulitan itu semakin bertambah bila remaja itu sendiri tidak menyadari akan tugas-tugas perkembangannya atau juga lingkungan hidup yang tidak mendukungnya secara optimal.

2.3.SCHOOL CONNECTEDNESS 2.3.1. DefinisiSchool Connectedness

(22)

“school belonging” (Osterman, 2000; Willms dalam Frydenberg, Care, Freeman & Chan, 2009), “student engagement” (Taylor & Nelms, 2006), “school bonding” (Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming & Hawkins, 2004), dan “teacher support” (Klem & Connell, 2004; Reddy, Rhodes, & Mulhall, 2003).

Konstruk mengenai school connectedness sendiri didefinisikan oleh Goodenow (1993) sebagai tingkat di mana siswa secara personal merasa diterima, dihormati, merasa menjadi bagian, dan didukung oleh orang lain dalam lingkungan sosial sekolah.School connectednesstelah muncul sebagai prediktor potensial yang utama dari masalah psikososial remaja dan kesehatan mental mereka, khususnya depresi (Shochet, Dadds, Ham &

Montague, 2006). School connectedness didefinisikan meliputi indikator-indikator umum seperti: kesukaan terhadap sekolah, perasaan memiliki, hubungan positif dengan guru dan teman, dan keterlibatan aktif dalam kegiatan sekolah (Thompson, McGrath dkk., 2009).

Rasa terhubung dengan sekolah secara sederhana bisa didefinisikan sebagai tingkat di mana siswa merasa sebagai bagian dari sekolah. Lebih kompleks lagi, meliputi persepsi bahwa sekolah memberikan dukungan terhadap cita-cita akademik siswa, memiliki iklim disiplin, dan budaya yang mendukung. Selain itu, school connectedness juga merupakan konsep yang muncul dari interaksi individu dengan lingkungan sekolahnya (Hawkins dkk.; McBride dkk. dalam Resnick dkk., 1997).

(23)

konstruk definisi tersebut meliputi sikap dan motivasi siswa terhadap sekolah dan belajar, level di mana siswa merasa mereka disukai oleh orang lain di sekolah dan komitmen siswa, keterlibatan, dan keyakinan dalam aturan-aturan sekolah (Libey, 2004). Selain itu, school connectedness juga didefinisikan sebagai perasaan dipedulikan, diterima, dihargai, dan didukung oleh orang lain baik oleh keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas (Lee & Robbins, 1995; Resnick dkk., 1993; Rutter dalam McGraw, Moore, Fuller & Bates, 2008).

Dari definisi-definisi di atas, maka untuk tujuan penelitian ini, definisi school connectedness yang akan digunakan yaitu persepsi siswa mengenai penerimaan dirinya di sekolah oleh guru dan pengidentifikasian serta

keterlibatan aktif dirinya sebagai bagian dari sekolah.

2.3.2. Aspek-aspekSchool Connectedness

Menurut Langille, dkk. (2010) School connectedness memiliki dua aspek, yaitu :

1) Social connectedness, perasaan berintegrasi atau menyatu secara sosial dan bahagia di sekolah.

2) School stewardship, sekolah dirasakan memberikan lingkungan yang nyaman dan mendukung.

Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi dan Mills, 2010) menyatakan bahwaschool connectednessterdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:

(24)

dengan guru, seberapa sering guru memuji mereka (Resnick dkk., 1997)

2) Belonging, didefinisikan sebagai rasa yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya sebagai bagian dari sekolah. Mengukur belongingnessini sering meliputi tingkat di mana siswa merasa dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya, merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, dan memiliki teman di sekolah (Voelkl, 1996).

3) Engagement, merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya (Karcher 2003).

Dalam penelitian ini akan digunakan tiga dimensi school connectedness dari Connell dan Wellborn (1991), antara lain social support (teacher support),belongingdanengagement. Ketiga dimensi ini digunakan dengan alasan bahwa pada dasarnya keterikatan atau hubungan yang terjalin di antara siswa dengan sekolahnya, tidak hanya melibatkan satu pihak saja, dalam hal ini para guru, namun juga melibatkan keterlibatan aktif siswa. Jadi ada hubungan timbal balik yang tercipta. Oleh karena itu, penggunaan tiga dimensi ini dalam mengukurschool connectednesssiswa dianggap sesuai.

2.3.3. EfekSchool ConnectednesspadaSubjective Well-being

(25)

Literatur penelitian-penelitian yang dilakukan di sekolah menemukan bahwa kalangan anak muda yang merasa terhubung dengan sekolah melaporkan kesehatan yang lebih baik dan emosional wellbeing yang lebih baik begitupun juga dengan berkurangnya penyalahgunaan minuman keras, keinginan bunuh diri, gejala-gejala depresi, dan resiko kekerasan atau perilaku kriminal, dan kehamilan di luar pernikahan (Blum, McNeely, & Rinehart, 2002; Bonny, Britto, Klosterman, Hornunq, & Slap, 2000; Eccles dkk., 1997; Jacobson & Rowe, 1999; Resnick, Bearman, & Blum dalam McGrath dkk., 2009).

Walaupun konstruk school connectedness secara empiris dikembangkan sebagai indikator umum akan perasaan ikatan siswa dan

kualitas hubungan dengan teman sebaya dan guru, Whitlock (2006) kemudian mengusulkan model teoritikal untuk menjelaskan bagaimana hal ini beroperasi sebagai kekuatan pelindung bagi anak muda. Dia menemukan dukungan untuk konseptual model yang didasarkan pada hubungan connectedness dengan peningkatan siswa dalam (a) keterlibatan dalam peran-peran yang berarti di sekolah, (b) keamanan di sekolah, (c) kesempatan untuk keterlibatan yang kreatif, dan (d) kesempatan keterlibatan akademik.

(26)

Ketika remaja merasa diperhatikan oleh orang lain di sekolah dan menjadi bagian dari sekolah mereka, maka mereka memiliki levelwell-being yang lebih tinggi (Resnick dkk., 1997; Eccles dkk., 1997; Steinberg dalam McNeely dkk., 2002).

Dengan demikian, ketika remaja memiliki hubungan yang baik dengan sekolah secara keseluruhan, pada umumnya remaja terhindar dari perilaku-perilaku bermasalah dan lebih terikat dengan perkembangan yang sehat. Dalam hal inischool connectednessmenjadi faktor protektif bagi remaja dan meningkatkan level SWB-nya.

2.4. DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA 2.4.1. Definisi Dukungan Sosial

Dukungan sosial penting dalam mengatur berfungsinya diri secara optimal setiap hari dan juga sebagai pelindung untuk mengurangi

(27)

Dalam konteks sekolah, guru dan teman sebaya cenderung merupakan bagian yang penting dari jaringan sosial anak yang menyediakan bentuk dukungan yang bermacam-macam, termasuk dukungan emosi, motivasi, instrumental, dan informasi (Tardy dalam Flaspohler dkk., 2009). Cutrona (dalam McGrath dkk., 2009) mengusulkan definisi ringkas dari dukungan sosial sebagai “semua aksi atau tindakan yang menunjukkan responsivitas bagi kebutuhan orang lain.”

Teori dukungan sosial mengusulkan dua model utama, yaitu the main effect dan the buffering effect untuk menjelaskan asosiasi atau hubungan antara dukungan sosial danwell-being. The main effect mengusulkan bahwa dukungan sosial didefinisikan sebagai integrasi sosial atau kelekatan sosial yang memiliki efek menguntungkan pada well-being bilamana seseorang berada atau tidak dibawah stres. The buffering model berhipotesa bahwa dukungan sosial melindungi/menjaga individu dari potensi efek berbahaya dari peristiwa yang penuh tekanan (Armstrong dkk., 2005).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial memberikan efek yang positif bagi well-being individu dalam melakukan fungsinya sebagai makhluk individu dan sosial dengan baik.

2.4.2. Dukungan Sosial Teman Sebaya

(28)

keluarga selain itu menjalin persahabatan yang kuat bisa menjadi penghalang perilakubullying(Cowie; Naylor & Cowie dalam McGrath, Brennan, Dolan, dan Barnett, 2009).

Mead, Hilton dan Curtis (dalam Solomon, 2004) telah jauh meneliti dukungan teman sebaya dan menyatakan bahwa dukungan teman sebaya merupakan sistem memberi dan menerima bantuan yang dibangun berdasar prinsip-prinsip kunci yang meliputi rasa hormat, berbagi tanggung jawab, dan persetujuan yang sama mengenai apa itu menolong.

Sejumlah kelompok teman sebaya menyediakan fungsi-fungsi penting selama masa remaja, misalnya melalui pengidentifikasian diri dengan teman sebaya, remaja mulai membangun penilaian dan pandangan moral mereka

(Bishop & Inderbitzen dalam Gentry & Campbell, 2002) dan pada saat yang sama juga menyediakan sumber-sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga dan juga mengenai diri mereka sendiri (Santrock dalam Gentry & Campbell, 2002), serta sebagai penguatan yang positif, memberikan status, penghargaan dan penerimaan diri.

Dengan demikian, dukungan sosial teman sebaya merupakan persepsi remaja terhadap tingkat dukungan yang diterima dari teman sebayanya, yang meliputi dukungan emosional, instrumental,penilaian, dan informasi.

2.4.3. Dimensi-dimensi Dukungan Sosial

Tardy (dalam del Valle dkk., 2010) menekankan kompleksitas konsep dukungan sosial dari sudut pandang pengukuran (measurement), mengidentifikasi lima dimensi dukungan sosial, antara lain :

1) Arahan, dukungan yang diberikan atau diterima 2) Disposisi, ketersediaan (ada) atau dibuat-buat

(29)

4) Isi, meliputi dukungan emosional, instrumental, informasional, atau penilaian

5) Jaringan, orang tua, guru, teman sebaya, dsb.

House (dalam Glanz dkk., 2008) mendefinisikan dukungan sosial sebagai konten fungsional dari suatu hubungan yang melibatkan perhatian, bantuan dan informasi mengenai seseorang (diri sendiri) dan lingkungan. Dimensi dukungan sosial mencakup:

1) Dukungan emosi, keberadaan seseorang atau lebih yang bisa mendengarkan dengan simpati ketika seorang individu mengalami masalah dan bisa menyediakan indikasi

kepedulian dan penerimaan.

2) Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang berguna dalam rangka evaluasi diri – dengan kata lain, memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan. 3) Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang

berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas atau menyediakan nasehat dan tuntunan mengenai suatu aksi atau hal-hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.

4) Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis yang secara langsung dapat membantu seseorang yang membutuhkan.

(30)

melibatkan availabilitas seseorang yang mana seseorang bisa berpartisipasi dalam aktivitas luang dan aktivitas sosial, seperti perjalanan bersama atau pesta, aktivitas-aktivitas kebudayaan, misalnya pergi nonton atau ke museum, aktivitas rekreasi, seperti berolahraga atau hiking), dan instrumental support (merupakan dukungan yang berfokus pada masalah, dalam hal ini bukan hanya informasi yang diberikan, namun juga tindakan nyata dalam menyelesaikan suatu masalah atau peristiwa).

Dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan, maka dimensi-dimensi dukungan sosial yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek dukungan sosial dari House (dalam Glanz dkk., 2008) yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan informasi, dan

dukungan instrumental. Dimensi-dimensi dukungan sosial dari House digunakan dengan alasan bahwa dimensi-dimensi tersebut bisa mencakup keseluruhan dukungan yang dibutuhkan oleh siswa.

2.4.4. Efek Dukungan Sosial Teman Sebaya pada SWB

(31)

bersama keluarga. Selain itu memiliki ikatan persahabatan yang kuat juga bisa menjaga dari perilaku bullying (Cowie; Naylor & Cowie dalam McGrath, 2009).

Dengan demikian, teman sebaya memiliki peran yang penting dan juga sentral dalam menyediakan bentuk-bentuk dukungan biasa/umum yang langsung dan bisa diakses dan menunjukkan konsistensi signifikansi dalam mempromosikan well-being remaja. Hasil penelitian yang dilakukan McGrath dkk. (2009) pada remaja di Amerika dan Irlandia menemukan bahwa penerimaan dan penguatan dari teman dekat merupakan hal yang krusial bagi stabilitas dan keamananwell-beingremaja. Hasil penelitian juga mengkonfirmasikan bahwa teman merupakan sumber penting yang

menyediakan dukungan emosional. Dukungan emosional merupakan bentuk dukungan yang lebih sensitif dan berhubungan dengan perasaan dan biasanya melibatkan hubungan yang dekat (hubungan karib). Biasanya hal ini menyangkut hal-hal seperti, selalu ada untuk orang yang dekat, mendengarkan mereka ketika mereka sedang sedih, dan memberikan dukungan yang tanpa syarat.

2.5. HASIL PENELITIAN TERDAHULU

(32)

2.5.1. School ConnectednessdanSubjective Well-being

Fydenberg dkk., dengan analisis path dalam penelitiannya menemukan bahwa school connectedness memiliki hubungan yang positif dengan well-being, secara khusus emotional well-being, namun hubungannya lemah (.29). Semua bobot regresi yang ditemukan dalam penelitian ini secara statistik signifikan ( < .05). Dilakukan juga Multivariate analysis of varian (MANOVA) untuk menguji perbedaan gender darischool connectednessdanwell-being,produktifcopingdan non-produktif coping. Hasilnya, ditemukan bahwa ada perbedaan jender (1.531) = 5.90, < .001, = .04.Dari hasilunivariate test dibuktikan bahwa perbedaan ini terutama pada school connectedness. Dalam pengukuran school connectedness, perempuan = 20.60, = 2.92) memiliki skor lebih tinggi daripada laki-laki

= 19.41, 3.26), (1.534) = 19.96, < .001, =

.40.

Oberle, Schonert-Reichl dan Zumbo (2010) melakukan penelitian mengenai perkembangan positif remaja, khususnya

komponen kognitif SWB yang dipengaruhi oleh optimisme dan konteks sosial (school connectedness, dukungan sosial yang dirasakan

dari lingkungan, dukungan keluarga, dan hubungan dengan teman sebaya), menemukan bahwa optimisme dan semua konteks sosial (ecological asset) secara signifikan dan positif merupakan prediktor kepuasan hidup remaja awal. Penelitian ini dilakukan dengan analisis multi level dan conditional model, dengan hasil prediktor signifikan pada model yang dibuat mengindikasikan hubungan dukungan orang tua/keluarga, 10= .19, 1,339.23 = 4.80, < .001, hubungan positif

(33)

optimisme 30 =. 61, (1,339.66) = 20.85, < .001 pada kepuasan

hidup remaja awal. Lebih daripada signifikansi dan efek positif dari school connectedness 40 = .18, (1,339.33) = 6.11, < .001, dan

dukungan dari lingkungan 50 = .05, (1,339.25) = 2.33, < .001

pada level siswa, ditemukan juga pengaruh yang signifikan dari rata-rata school connectedness dengan kepuasan hidup, 01

= .43, (18.59) = 2.76, = .01.

Penelitian untuk menguji hubungan siswa dengan sekolahnya juga dilakukan oleh Lau & Li (2011). School connectedness yang dalam penelitian ini dikelompokkan dalam variabe school capital merupakan salah satu variabel yang memberikan pengaruh terhadap SWB anak ( = .337, < .001) disamping hubungan dengan orang

tua ( = .245, < .001) dan teman ( = .342, < .001). Studi ini merupakan cross-sectional survey design dengan pengambilan sampel stratifikasi random sampling. Total sampel dari penelitian ini 1306 siswa kelas 6 SD dan juga orang tua mereka yang berasal dari 16 sekolah di Shenzen, Cina.

2.5.2. Dukungan Sosial Teman Sebaya danSubjective Well-being Penelitian Gülaçt yang dilakukan pada mahasiswa calon guru di

Turki ditemukan bahwa dukungan teman tidak menjadi prediktor bagi SWB, sebaliknya dukungan keluarga menjadi penting. Hasil analisis regresi berganda menemukan bahwa 18% (R2 = 0.18) dukungan sosial yang diterima dari keluarga berpengaruh pada SWB siswa. Sebaliknya dukungan sosial teman dan orang terdekat (kekasih, pacar) tidak berpengaruh terhadap SWB (t=1857, > 0.05; = 0.341, > 0.05). Gülaçt mengindikasikan bahwa hubungan positif yang terjalin dengan

(34)

kognitif anak dan hal ini secara positif berdampak pada kehidupan yang dijalani oleh anak; anak mengalami kepuasan dan lebih bahagia.

Chou (1999) dalam penelitiannya mengenai dukungan sosial dan SWB yang dilakukan pada dewasa awal (young adult) dengan jumlah sampel 475 orang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara emosi positif (positive affect) dan semua dimensi dukungan sosial, kecuali jaringan komposisi teman dan keluarga dekat dan frekeunsi pertemuan secara teratur. Kuatnya nilai asosiasi antara afektif (skor positif afek dan negatif afek) dan dukungan sosial atau jaringan

sosial antara . 23 | | .10. Dengan model regresi berganda ditemukan bahwa kepuasan dengan anggota keluarga dan teman secara konsisten berasosiasi dengan semua ukuran SWB, dan jumlah teman dekat yang dimiliki secara positif berhubungan dengan emosi positif (positive affect). Secara spesifik, semakin tinggi level kepuasan dalam hubungan dengan keluarga dan teman maka semakin rendah level gejala depresi. Model analisis regresi untuk dukungan sosial atau

jaringan sosial terhitung 10% dari setiap varian, (15,459) = 3.41, < .0001, = .10. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 12

sekolah yang secara random diikutsertakan untuk berpartisipasi.

Kef dan Dekovic (2004) dalam penelitian yang dilakukan mengenai dukungan sosial teman sebaya dan dukungan orang tua pada well-being remaja; dalam penelitiaannya digunakan dua kelompok, kelompok pertama adalah remaja dengan masalah penglihatan/tidak bisa melihat dan kelompok kedua remaja yang tidak mengalami masalah penglihatan, menemukan bahwa dukungan teman sebaya dan dukungan orang tua terbukti penting bagi kedua kelompok tersebut; untuk remaja dengan masalah penglihatan ( = 0.47, < 0.05);

(35)

besarannya lebih rendah. Di mana pada kelompok dengan masalah penglihatan terdapat hubungan positif yang linear antara dukungan sosial teman sebaya dan well-being, sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami masalah penglihatan, well-being kelihatannya tidak dipengaruhi oleh dukungan sosial teman sebaya. Dukungan orang tua yang lebih memberikan pengaruh pada kelompok ini. Dalam penelitian ini juga digunakan multivariate analysis of variance (MANOVA) untuk menguji efek kelompok, jenis kelamin dan usia pada dukungan sosial. Hasilnya, ditemukan perbedaan antara dua kelompok dalam

semua variabel dukungan sosial (dukungan emosional, (1.513) = 23.94, < 0.001; dukungan praktis, (1.513) = 21.93, < 0.001;

dansocial companionship, (1.513) = 53.46, < 0.001).Dari ketiga variabel dukungan sosial, yang menghasilkan perbedaan yang sangat

signifikan yaitu social companionship, (1.513) = 9.37, < 0.05. Dari pengujian ini juga ditemukan bahwa untuk skor dukungan sosial teman sebaya, perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (social companionship (1,513) = 4.95, <

0.05; emosi (1,513) = 19.21, < 0.001; praktis (1,513) = 12.29, < 0.001). Sedangkan untuk dukungan sosial dari orang tua

tidak ditemukan perbedaan. Pengujia ANOVA untuk well-being tidak menemukan adanya perbedaan dalam kelompok (1,513) = 2.42, >

0.05, namun laki-laki merasa lebih bahagia dibandingkan perempuan

(1,513) = 6.30, < 0.05.

(36)

adalah 256 mahasiswa (191 perempuan, 65 laki-laki) yang memiliki pasangan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa dukungan yang diterima dari ketiga sumber ini dapat memprediksikan level yang lebih tinggi pada SWB. Korelasi yang paling kuat terutama dari teman ( = .42) dan orang tua ( = .43), diikuti oleh pacar/kekasih ( =

.17). Dengan pengujian model yang menggunakan hybrid SEM, yang mana meliputi alat ukur dan struktur komponen, ditemukan bahwa semua variabel eksogen berkorelasi satu dengan yang lainnya. Nilai

untuk model ini adalah 268.25 ( = 165) dan secara statistik signifikan ( < .01). Rasio / dibawah 3 (1.63), dan indeks fit

memuaskan (NNFI=.95; CFI=.96; RMSEA=.05). SWB dapat diprediksikan melalui dukungan yang diperoleh dari keluarga ( = .27, < .05), teman( = .35, < .05)dan kekasih/pacar ( = .22,

< .05).

Dari beberapa penelitian di atas, ada penelitian yang menemukan hubungan yang signifikan, namun ada pula yang hubungannya rendah atau sama sekali tidak ada hubungan yang signifikan.

2.6. Landasan Teori

2.6.1. School Connectedness dan Dukungan Sosial Teman Sebaya sebagai prediktorSubjective Well-Being

Remaja dalam perkembangannya membutuhkan lingkungan yang juga mendukung dirinya untuk berkembang secara optimal ke arah yang positif. Selain lingkungan keluarga, teman dan lingkungan sekolah menjadi lingkungan pendukung utama bagi dunia remaja. Sekolah sebagai tempat di mana remaja bersosialisasi, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam upaya pengembangan dirinya. Keterhubungan yang dimiliki dengan sekolah,

(37)

Sampai saat ini, school connectedness menjadi salah satu faktor penting yang berpartisipasi secara potensial dalam mengurangi tingkat perilaku bermasalah yang terjadi di kalangan remaja (Goodenow, 1993). Penelitian yang dilakukan sesudahnya juga menemukan bahwa school connectednessmemainkan peran yang krusial dan luas dalam perkembangan kesehatan remaja (Catalano, Haggerty, Oesterle, Fleming & Hawkins, 2004). Keterhubungan atau keterikatan dengan sekolah membantu remaja mengembangkan tujuan dan memberi arah, serta melindungi dari perasaan-perasaan tertekan secara psikologi (Roeser, Eccles & Sameroff, 1998), increases self-esteem (Hagborg, 1994; Osterman, 2000) dan mengurangi kemungkinan remaja memulai pola perilaku yang bermasalah (Dornbusch, Erikson, Laird & Wong, 2001).

School connectedness juga ditemukan berasosiasi dengan kesehatan mental pada orang muda. Jacobson dan Rowe (1999) menemukan bahwa suasana hati yang depresi secara signifikan berkorelasi dengan family connectedness danschool connectedness. Dalam studi lintas budaya dengan menggunakan model hierarki linear, Anderman (2002) menemukan bahwa level school connectedness individu yang tinggi berkaitan dengan tingginya optimisme dan rendahnya level depresi dan perilaku bermasalah begitu juga dengan peningkatan performa akademik.

Dalam studi baru-baru ini pada lebih dari 2000 sampel, Shochet, Dadds, Ham, dan Montague (2006) menemukan school connectedness memprediksikan gejala-gejala kesehatan mental dari depresi, kecemasan, dan fungsi-fungsi umum lainnya, setelah terlebih dahulu melakukan kontrol untuk gejala-gejalanya setahun sebelumnya.

(38)

interaksi antara setiap orang dalam lingkungan partikular dan lingkungan secara umum, yang mana school connectedness kelihatannya dipromosikan oleh ekologi sekolah yang positif (Connel & Wellborn dalam Waters dkk., 2009). Adanya ikatan antara siswa dengan sekolah, berkaitan dengan rentang kesehatan yang luas, sosial, dan hasil akademik dari anak dan remaja. Selain itu, memiliki koneksi yang kuat dengan sekolah juga berasosiasi dengan pencapaian prestasi akademik yang lebih tinggi (Anderman, 2002; Klem & Connell, 2004; Goodenow, 1993), peningkatan motivasi akademik, dan rasa memiliki atau menjadi bagian sekolah yang lebih besar (Resnick dkk., 1993; Wingspread Converence, 2004; Bond dkk., 2007; Klem & Connell, 2004), serta partisipasi dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (Whitlock dalam Waters dkk., 2009; Thompson, Iachan, Overpeck, Ross & Gross, 2006;

Fullarton, 2003).

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa school connectedness kelihatannya menjadi prediktor bagi masalah kesehatan mental, yang mana membawa pada perkembangan yang lebih sehat dan meningkatkanwell-beingremaja (Waters dkk., 2009).

(39)

emosi positif yang lebih, emosi negatif yang kurang, dan lebih mengalami kepuasan dalam hidup.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ronen dan Seeman (2007) menemukan bahwa dukungan sosial menjadi variabel yang kuat dalam memprediksi SWB remaja, khususnya dukungan teman sebaya.

Teman sebaya memainkan peranan yang sangat penting dan menjadi salah satu sumber dukungan sosial bagi remaja dalam konteks sekolahnya. Dukungan sosial teman sebaya berhubungan secara positif dengan prestasi akademik dan harga diri (self-esteem), dan secara negatif dengan depresi dan komplain-komplain somatik, seperti sakit kepala dan pusing (Colarossi &

Eccles, 2003; Domagala-Zysk, 2006; Torsheim &Wold, 2001). Hasil penelitian Rigby (2000) menemukan bahwa untuk siswa perempuan, dukungan sosial dari teman dekat dan teman sekelas berasosiasi dengan

laporan mengenai mentalwell-beingmereka,sementara untuk siswa laki-laki tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan well-being.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penelitian-penelitian terdahulu secara terpisah telah menemukan school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor SWB siswa. Tentunya penelitian-penelitian terdahulu memiliki perbedaan lingkungan dan situasi dengan sampel penelitian yang akan dilakukan saat ini, ditambah penelitian ini juga akan melihat school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara simultan menjadi prediktor terhadap SWB siswa karena sejauh penelusuran penulis, sampai saat ini belum ada penelitian mengenai school connectedness dan dukungan sosial teman sebaya secara simultan sebagai prediktor SWB.

(40)

2.8. HIPOTESIS

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis penelitian ini adalah,school connectednessdan dukungan sosial teman sebaya menjadi prediktor SWB siswa.

Subjective well-being siswa

(Y) School

Connectedness (X1)

Dukungan sosial teman sebaya

Referensi

Dokumen terkait

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa dalam lingkungan sosial remaja tidak lepas dari teman sebaya dan hubungan orangtua-remaja sehingga dalam masa pencarian identitas diri

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh penelitian (Faber, dkk: 2003) menunjukkan bahwa hubungan orangtua-remaja (kelekatan) pada ibu memiliki korelasi

Berdasarkan pemaparan diskusi, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial teman sebaya secara parsial dapat dijadikan prediktor identitas diri remaja, hubungan

kontrol diri, dan jenis kelamin dengan prestasi belajar siswa di. SMA Kristen

Sumbangan efektif dukungan sosial teman sebaya dengan komitmen terhadap tugas (task commitment) adalah 28,2%, sehingga masih ada 71,8% variabel lain yang tidak

Sedangkan pada Gambar 2 terlihat jelas bahwa tidak terdapat hubungan interaksi antara dukungan sosial teman sebaya dan kontrol diri pada siswa dengan jenis kelamin perempuan,

prestasi belajar siswa, misalnya self regulated learning , dukungan sosial guru dan orang tua, konsep diri, motivasi berprestasi, self eficaci , serta menjadikan