BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dipaparkan teori-teori serta pustaka yang dipakai
sebagai dasar penelitian yakni teori tentang ronde keperawatan, Watson’s theory
of human care dan teori penelitian action research.
2.1. Konsep Ronde Keperawatan
Pelayanan keperawatan memiliki peran yang sangat strategis dalam
mewujudkan kualitas pelayanan sebuah rumah sakit yang excellent. Salah satu
strategi yang disarankan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
adalah dengan pelaksanaan program ronde keperawatan secara berkala dan
sistematis (Studer Group, 2007). Berikut akan dijelaskan konsep terkait ronde
keperawatan
2.1.1. Defenisi Ronde Keperawatan
Secara bahasa ronde keperawatan terdiri dari 2 kata yaitu ronde dan
keperawatan. Ronde berasal dari Bahasa Inggris yaitu “round” yang memiliki
makna sama dengan around. Sebagai kata keterangan, jika round digunakan untuk
menjelaskan objek atau tempat, memiliki makna bahwa tempat dan objek tersebut
dikelilingi atau berada disemua sisi. Sebagai preposisi, round memiliki makna
Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap
masalah kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2003). Dari pengertian diatas
terdapat 2 komponen kunci dalam defenisi keperawatan yakni diagnosis dan
respon manusia. Diagnosis yang dimaksud adalah diagnosa yang menyangkut
aspek yang berada dalam lingkungan keperawatan, sedangkan respon manusia
dilihat dari responnya terhadap gangguan atau penyakit.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa defenisi ronde
keperawatan secara bahasa adalah suatu kegiatan mengelilingi orang demi orang
dalam suatu grup dengan tujuan untuk mendiagnosis dan menangani respon
manusia terhadap masalah kesehatan aktual maupun potensial.
Beberapa ahli mengungkapkan pengertian tentang ronde keperawatan.
Meade et al. (2006) menyatakan ronde keperawatan sebagai kesempatan untuk
melibatkan pasien dalam proses keperawatan, dan menunjukkan kepedulian
perawatan terhadap kesehatan dan kesembuhan pasien. Swansburg (2001)
menyatakan bahwa ronde keperawatan merupakan prosedur dimana dua atau lebih
perawat mengunjungi pasien untuk mendapatkan informasi yang akan membantu
dalam merencanakan pelayanan keperawatan dan memberikan kesempatan kepada
pasien untuk mendiskusikan masalah keperawatannya serta mengevaluasi
pelayanan keperawatan yang telah diterima pasien.
Ford (2010), mendefenisikan ronde keperawatan sebagai salah satu tehnik
untuk mengorganisasikan pelayanan keperawatan secara proaktif yang berfokus
sebagai proses yang dilakukan perawat secara proaktif untuk memenuhi
kebutuhan pasien dengan mengunjungi pasien secara rutin keruangannya dan
memeriksa hal-hal yang spesifik dan melakukan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan dasar pasien secara konsisten.
Dari beberapa defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ronde
keperawatan merupakan suatu proses proaktif dimana perawat melakukan
kunjungan kepada pasien secara rutin untuk memenuhi kebutuhan pasien baik
kebutuhan dasar maupun kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang
penyakitnya dan melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan terkait proses
perawatannya.
2.1.2. Tujuan Ronde Keperawatan
Ronde keperawatan merupakan hal yang penting dalam memberikan
pasien pelayanan yang berkualitas, ronde keperawatan yang bertujuan agar pasien
mendapatkan informasi mengenai penyakitnya, pemeriksaan lanjutan dan proses
keperawatan yang akan dijalaninya (Benniskova, 2007). Ronde keperawatan juga
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pasien secara rutin dan memastikan
2.1.3. Perkembangan Ronde Keperawatan
2.1.3.1.Ronde Keperawatan Tradisional (tahun 1950-1970 M)
Ronde keperawatan tradisional merupakan proses dimana 2 orang perawat
mengunjungi masing-masing pasien untuk memastikan tempat tidur pasien dalam
kondisi rapi, melakukan dan melakukan pijatan pada area yang mengalami
tekanan (Bates, 2011). Ronde keperawatan ini dilakukan secara rutin setiap hari
oleh perawat senior pada awal shift dan pada saat jam kunjungan dokter. Perawat
berjalan mengelilingi bangsal untuk memeriksa standar pelayanan dan kemajuan
tindakan perawatan. Perawat juga menjelaskan informasi terkait pemeriksaan dan
tindakan medis serta memberi kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk
bertanya tentang masalah kesehatannya.
Sebelum melakukan ronde, perawat menyiapkan menyiapkan trooley yang
berisi baskom air panas, sabun, handuk, sprei, bedak, zinc dan minyak jarak.
Kemudian dua orang perawat ditugaskan untuk mengunjungi masing-masing
pasien untuk memeriksa dan melakukan massage pada area tekan, merubah posisi
dan memberikan tindakan yang dapat meningkatkan kenyamanan pasien seperti
mengganti sarung bantal dan sprei pasien. Pada “Back Rounds” juga terjadi proses
pembelajaran antara perawat senior dengan perawat junior dan mahasiswa
2.1.3.2. Ronde Keperawatan Modren (setelah tahun 1970 M)
Menurut Close dan Castledine (2005) ada 4 tipe ronde keperawatan
modern yaitu matrons’ rounds, nurse management rounds, patient comfort rounds
dan teaching rounds.
Matrons’ rounds adalah proses dimana seorang perawat berkeliling ke
ruangan-ruangan, menanyakan kondisi pasien sesuai dengan jam rondenya.
Memeriksa standar pelayanan, kebersihan dan kerapihan serta menilai penampilan
dan kemajuan perawat dalam memberikan pelayanan pada pasien.
Nurse management rounds adalah ronde manajerial yang melihat pada
rencana pengobatan dan implementasi pada sekelompok pasien. Untuk melihat
prioritas tindakan yang dilakukan serta melibatkan pasien dan keluarga pada
proses interaksi. Pada ronde ini tidak terjadi proses pembelajaran antara perawat
dan head nurse.
Patients comfort rounds adalah ronde yang berfokus pada kebutuhan
utama yang diperlukan pasien dirumah sakit. Fungsi perawat dalam ronde ini
adalah memenuhi semua kebutuhan pasien. Misalnya ketika ronde dilakukan pada
malam hari, perawat menyiapkan tempat tidur yang nyaman untuk pasien.
Teaching rounds dilakukan antara teacher nurse dengan perawat atau
siswa perawat, dimana terjadi proses pembelajaran. Teknik ronde ini biasa
dilakukan untuk perawat atau siswa perawat. Dengan pembelajaran langsung,
perawat atau siswa dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang didapat langsung
2.1.4. Komponen Ronde Keperawatan
Ronde keperawatan merupakan satu set tindakan yang diatur secara
spesifik untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien. Umumnya tindakan ini dibagi
kedalam 4 komponen dasar yaitu Pain, Personal needs, Positioning dan
Placement (Meade et al., 2006).
Pain. Perawat menanyakan “bagaimana nyeri anda?”. Setelah nyeri
terindentifikasi kemudian dilakukan beberapa tindakan untuk mengatasi nyeri
seperti perubahan posisi, guided imagery, latihan nafas dalam, pengalihan
perhatian dan obat-obatan. Hal lain terkait rasa nyaman juga dinilai seperti
kebersihan oral dan pemenuhan cairan.
Personal needs. Perawat menanya pasien “apakah anda ingin ke kamar
mandi?” waktu toileting diatur oleh perawat bersama dengan pasien dengan
bantuan selama dibutuhkan.
Positioning. Perawat mengecek posisi pasien dan bertanya “bagaimana
caranya agara anda lebih merasa nyaman?”. Jadwal reposisi diobservasi terumata
terhadap pasien yang tidak dapat melakukannya secara mandiri.
Placement. Perawat memverifikasi ketersediaan dan keterjangkauan dan
bertanya “apakah anda ingin kami memindahkan call light, telepon, meja dan
2.1.5. Protokol Ronde Keperawatan
Berdasarkan komponen dasar dari ronde keperawatan diatas maka
beberapa penelitian telah berhasil menyusun protokol dalam pelaksanaan ronde
keperawatan. Meade et al. (2006) mengembangkan “The 4 Ps Rounding
Protokol”. Protokol tersebut terdiri dari 12 tindakan yang dimulai sejak perawat
memasuki ruangan dan menjelaskan kepada pasien bahwa perawat akan
melakukan ronde keperawatan. kemudian perawat akan melakukan pengkajian
nyeri dan melakukan tindakan untuk mengatasi nyeri baik tindakan keperawatan
maupun tindakan medikasi. Setelah nyeri teratasi perawat akan mengontrol
obat-obatan pasien apakah sudah diberikan sesuai jadwal. Lalu kemudian perawat
menawarkan bantuan ke toilet dan membantunya jika pasien membutuhkannya.
Setelah itu perawat memberikan posisi yang nyaman bagi pasien serta
memastikan bahwa posisi pasien dapat menjangkau lampu panggil, telepon,
remote TV, switch lampu, meja, kotak tisu, air minum dan tong sampah. Sebelum
meninggalkan ruangan, perawat kembali menanyakan apakah ada hal lain yang
diinginkan oleh pasien dan memberitahu pasien bahwa akan ada ronde selanjutnya
akan dilaksanakan oleh perawat.
Penelitian Meade et al. (2006) kemudian diulangi kembali oleh beberapa
peneliti lainnya seperti Blakley, Kroth dan Gregson (2011); Olrich, Kalman dan
Nigolian (2012); Berg, Sailors, Reimer, O’Brien dan Ward-Smith (2011); Kessler,
Claude-Gutekunst, Donchez, Dries dan Snyder (2012) dengan menggunakan “The
Karla et al. tidak menyertakan kebutuhan “Placement” berdasarkan asumsi bahwa
perlengkapan yang berada diluar jangkauan bukanlah merupakan fokus perawatan
Comfort Round Protokol dikembangkan oleh Gardner et al. (2009) yang
distandarisasi untuk semua pasien pada bangsal yang dilakukan penelitian. Pada
protokol ini ronde keperawatan dilaksanakan oleh asisten perawat yang sudah
menerima pelatihan dengan sertifikat 3 in Aged Care. Asisten perawat
mengunjungi pasien dan menanyakan apakah pasien membutuhkan bantuan ke
toilet, control nyeri, reposisi dan selimut. Kemudian asisten perawat akan
meletakkan telefon, kotak tissue, meja dan remote TV di tempat yang mudah
dijangkau oleh pasien. Setelah itu asisten perawat akan melakukan perawatan
mulut jika dibutuhkan serta memenuhi kebutuhan cairan pasien dengan
memberinya minum. Sebelum meninggalkan pasien, asisten perawat menanyakan
apakah pasien membutuhkan hal lain yang dapat membuatnya merasa nyaman.
2.1.6. Implikasi ronde keperawatan terhadap praktek keperawatan
Penerapan ronde keperawatan berimplikasi terhadap penurunan
penggunaan call light, penurunan angka pasienjatuh, penurunan angka luka tekan
(decubitus), peningkatan tingkat kepuasan pasien dan peningkatan tingkat
kepuasan perawat.
Penggunaan call light. Penerapan ronde keperawatan berimplikasi
terhadap penurunan pada penggunaan call light memungkinkan perawat memiliki
kamar ke kamar memenuhi panggilan yang diberikan oleh pasien. Hasil penelitian
Meade et al. (2006), menemukan bahwa penggunaan lampu panggil yang paling
tinggi adalah dengan alasan yang dibuat-buat. Dengan pelaksaan ronde
keperawatan maka ditemukan penurunan penggunaan lampu panggil terutama
penggunaan lampu panggil tanpa alasan yang jelas dari pasien.
Pasien jatuh. mengalami penurunan pada institusi yang melaksanakan
ronde keperawatan. Saat perawat melakukan ronde terhadap pasien setiap jam dan
memenuhi kebutuhan dasarnya seperti toileting dan penempatan barang-barang
pribadi maka resiko jatuh akan berkurang. Meade et al. (2006), menemukan
penurunan angka pasien jatuh secara signifikan selama dilakukan ronde
keperawatan. Saleh et al. (2011), menemukan penurunan angka pasien jatuh
secara drastis setelah dilaksakan ronde keperawatan dari 25 kasus menjadi 4
kasus.
Luka tekan (decubitus). Ronde keperawatan memungkinkan reposisi
secara regular terhadap pasien sehingga angka decubitus pada pasien dapat
diturunkan. Pada pasien dengan kasus luka, reposisi secara regular juga
berkonstribusi terhadap proses healing. Saleh et al. (2011), menemukan
penurunan angka luka decubitus setelah dilaksanakan ronde keperawatan dari 2
insiden menjadi 1 insiden.
Kepuasan pasien. Kehadiran perawat secara rutin dan penggunaan
protokol yang spesifik dalam ronde keperawatan memungkinkan kebutuhan dasar
(2006), menemukan peningkatan kepuasan pasien selama pelaksanaan ronde
keperawatan hingga mencapai 91,9 dari 100 skala yang diberikan. Saleh et al.
(2011), juga menemukan peningkatan pasien setelah dilaksanakan ronde
keperawatan mencapai 7,5 %.
Kepuasan perawat. Dengan ronde keperawatan pelayanan keperawatan
menjadi lebih efisien dan berkurangnya stress kerja perawat sehingga akan
meningkatkan kepuasan kerja dari perawat (Meade et al., 2006). Survey kepuasan
kerja dilakukan di Lehigh Valley Health Network yang berlokasi di Kota
Betlehem Negara Bagian Pennsylvania Amerika Serikat. Survey ini dilakukan
pada tahun 2007, 2009 (sebelum implementasi ronde keperawatan) dan tahun
2011 (setelah implementasi ronde keperawatan). Hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan kepuasan kerja perawat dari 3.78 pada tahun 2007 dan 3.77
pada tahun 2009 menjadi 3.83 pada tahun 2011. Selain itu angka kepuasan pasien
ini lebih tinggi 0.18 poin dari angka kepuasan perawat secara nasional. (Kessler et
al., 2012).
2.2. Watson’s Theory of Transpersonal Caring
Teori ini dikembangkan oleh Jean Watson pada tahun 1979, dikenal juga
dengan istilah Theory of Human Caring. Teori ini terus dikembangkan dari tahun
ke tahun, namun pemikiran dasar dari teori ini tidak berubah yakni menekankan
Menurut Watson (1999), Transpersonal caring relationship
berkarakteristikkan hubungan khusus manusia yang tergantung pada moral
perawat yang berkomitmen, melindungi, dan meningkatkan martabat manusia
seperti dirinya atau lebih tinggi dari dirinya. Perawat merawat dengan kesadaran
yang dikomunikasikan untuk melestarikan dan menghargai spiritual, tidak
memperlakukan seseorang sebagai sebuah objek.
Teori utama yang dikembangkan mencakup Carative Factor,
Transpersonal Caring Relationship dan Caring Occation Moment. Terkait
konteks penelitian maka peneliti hanya akan membahas teori tentang Carative
Factor yang mempunyai kaitan dengan pelaksanaan ronde klinis keperawatan
yakni carative factor yang ke 4 (membangun helping-trust relationship), yang ke
8 (menciptakan lingkungan mental, fisik, sosial budaya dan spiritual yang
mendukung) dan yang ke 9 (membantu pemenuhan kebutuhan pasien)
2.2.1. Membangun helping-trust relationship
Keperawatan sebagai ilmu yang didasari konsep caring harus
mempertimbangkan konsep pembangunan helping-trust relationship antara
perawat dan pasien. Pasien akan merasa bahwa perawat peduli terhadapnya jika
perawat tersebut memperhatikan kebutuhan dasarnya sebagai individu sehingga
menumbuhkan rasa percaya, keyakinan dan harapan terhadap pelayanan
keperawatan. Perawat yang mempunyai kompetensi dalam bersikap caring akan
mampu menghasilkan outcomes yang bernilai dalam pelayanan keperawatan.
dengan perawat akan mengindikasikan tingginya kualitas pelayanan keperawatan.
Agar dapat membangun helping-trust relationship, perawat terlebih harus
menanamkan sikap tertentu yaitu congruence, empathy dan non-possesive Warmth
(Watson, 1979).
Congruence, didasarkan pada keinginan perawat ingin menjadi apa dan
terlihat seperti apa. Congruence melibatkan keterbukaan dalam perasaan dan
sikap yang diberikan saat interaksi. Congruence dapat juga disamakan dengan
genuineness yang berarti terasa nyata, jujur dan otentik. Dengan kata lain
pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat akan terasa nyata, jujur dan
otentik bagi pasien.
Emphaty, merupakan konsep yang penting dalam pembangunan
helping-trust relationship. Empathy mengacu pada kemampuan perawat untuk ikut
mengalami dunia dan perasaan orang lain, sehingga mampu berkomunikasi
berdasarkan pemahamannya tentang dunia atau perasaan orang lain tersebut.
Kemampuan perawat untuk berespon terhadap perasaan orang lain adalah dasar
dalam emphaty. Jika perawat mampu merasakan perasaan pasien maka pasien dan
perawat akan akan mempunyai hubungan emosional yang baik. Perawat yang
emphaty akan mampu mengenali dan menerima perasaan orang lain tanpa merasa
tidak nyaman, takut, marah atau konflik dalam dirinya sehingga perawat akan
mampu untuk berkomunikasi tentang perasaan pasien tanpa menganalisa atau
menghakimi.
Non-possessive Warmth, merupakan kondisi interpersonal dalam
efektif akan memberikan pelayanan yang tidak mengancam, aman, terpercaya
dengan menunjukkan penerimaan, penghargaan positif dan keramahan yang tidak
posesif. Beberapa sikap non verbal yang dapat ditunjukkan perawat dalam
mewujudkan non-possesive warmth antara lain adalah dengan mempertahankan
kontak mata selama interaksi, menggunakan volume suara yang sesuai, terlihat
nyaman dan santai, bertatap muka dengan orang lain, menunjukkan sikap fostur
tubuh yang terbuka, mencondongkan tubuh ke arah lawan bicara dan memberikan
ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi emosionalnya.
2.2.2. Menciptakan lingkungan mental, fisik, social budaya dan spiritual yang
mendukung.
Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal
pasien terhadap kesehatan kondisi penyakit pasien. Adanya hubungan yang saling
terkait antara lingkungan internal dan eksternal sangat berpengaruh terhadap
kondisi sehat dan sakit dari manusia. Lingkungan internal berupa biologis dan
fisiologis akan mempengaruhi pola atau gaya hidup seseorang, selain itu gaya
hidup eksternal seseorang juga akan mempengaruhi keseimbangan (homeostatis)
internalnya. Lingkungan eksternal yang perlu diperhatikan perawat yang
berhubungan dengan stress antara lain : kenyamanan, privasi, keamanan dan
lingkungan yang bersih dan indah.
Comfort (Kenyamanan), merupakan variabel eksternal yang dapat
dikendalikan oleh perawat. Adanya stress pada pasien yang diakibatkan proses
berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental pasien. Perawat dapat
melakukan berbagai cara atau prosedur untuk memberikan dan meningkatkan
kenyamanan pasien seperti perawatan personal hygiene, kebersihan tempat tidur
dan penempatan obat-obatan yang rapi. Cara lain yang dapat dilakukan perawat
untuk mendukung dan meningkatkan kenyaman pasien antara lain: memindahkan
peralatan yang berbahaya bagi pasien; melakukan perubahan posisi; membuat
tempat tidur yang nyaman; menurunkan ketegangan otot dengan massage,
memberikan prosedur teraupetik seperti obat-obatan pengurang nyeri;
mengidentifikasi implikasi dari penyakit pasien dan meminimalkan implikasi dari
penyakit tersebut; dan memodifikasi pelayanan keperawatan kepada pasien.
Privacy (Privasi) adalah faktor utama yang perlu dipertimbangkan untuk
dapat meningkatkan lingkungan fisik, sosiokultural dan spiritual pasien. Privasi
dapat dinterpretasikan kedalam beberapa pengertian yaitu : hak pasien untuk tidak
mengikutsertakan orang lain terkait informasi tentang penyakitnya; kesadaran dan
penghargaan dari perawat bahwa setiap pasien memiliki hak yang sama untuk
mengambil keputusan bagi dirinya; faktor yang berpengaruh terhadap waktu,
tempat, masalah dan sejumlah informasi; dan upaya untuk menjauhkan pasien dari
hal-hal yang mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya.
Safety (Keselamatan). Budaya keselamatan adalah fitur utama dari seorang
perawat. Safety merupakan tindakan yang dilakukan perawat untuk mendukung,
melindungi dan memperbaiki lingkungan yang dapat menyebabkan bahaya.
Perawat harus mampu mengkaji variabel yang berpengaruh terhadap keselamatan
disorientasi, restrain, kaki palsu dan peralatan pendukung lainnya. Pengawasan
mendasar terhadap keselamatan antara lain control infeksi dengan mencuci
tangan, perawatan kulit, teknik isolasi dan teksik sterilisasi. Beberapa bahaya yang
dapat terjadi selama proses hospitalisasi pada anak antara lain pasien jatuh, luka
bakar, terhirup benda asing, mainan yang berbahaya, keracunan, dan kurangnya
imunisasi.
Clean-esthetic surroundings (lingkungan yang bersih dan indah). Perawat
harus mempertimbangkan bahwa makna keindahan berbeda pada masing-masing
orang, namun keindahan dan kebersihan lingkungan selalu memberikan efek
positif terhadap peningkatan kesehatan seseorang, namun upaya untuk memenuhi
kebersihan dan keindahan lingkungan tersebut tetap memperhatikan privasi,
kenyamanan dan gaya hidup pasien.
2.2.3. Membantu pemenuhan kebutuhan pasien
Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif yaitu kebutuhan
biofisik, psikososial, psikofisikal dan interpersonal klien. Pemenuhan kebutuhan
yang paling mendasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat yang selanjutnya.
Nutrisi, eliminasi, dan ventilasi adalah contoh dari kebutuhan biofisik yang paling
rendah. Pencapaian dan hubungan merupakan kebutuhan psikososial yang tinggi,
2.3. Konsep Action Research 2.3.1. Pengertian Action Research
Action research merupakan suatu bentuk kegiatan penelitian yang
didasarkan pada prinsip kolektif dan reflektif yang dilakukan oleh partisipan
dalam situasi sosial untuk meningkatkan praktek sosial atau kependidikan
(Kemmis & McTaggart, 1988).
Action research juga memungkinkan adanya keterlibatan antara peneliti
dengan partisipan dalam bentuk kolaborasi dan menitikberatkan terhadap
pendekatan naturalistic dan humanistic (Holter & Schwartz-Barcott, 1993),
Action research menuntut seorang peneliti untuk tidak hanya mengumpulkan
informasi atau pengetahuan tentang situasi tertentu, namun juga diharapkan untuk
mampu membantu memperbaiki situasi yang ditemui pada saat penelitian (Polit &
Beck, 2008).
Metode penelitian action research berlangsung bersama kolaborasi dan
dialog yang dapat memotivasi, meningkatkan harga diri dan menghasilkan
solidaritas yang kuat antara partisipan dan peneliti. Strategi pengumpulan data
yang digunakan tidak hanya metode tradisional seperti wawancara dan observasi,
tetapi bisa juga dilakukan bercerita, drama komedi, menggambar dan melukis,
bermain peran dan kegiatan lain yang mendorong partisipan mengenali kekuatan
sendiri dan menemukan cara-cara kreatif untuk mengeksplorasi kehidupan mereka
2.3.2. Proses Action Research
Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan
AR memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance, planning,
acting and observing dan reflection.
Langkah pertama Reconnaisance.merupakan tahap awal dalam mencari
permasalahan yang ada. Tahap ini dapat di sebut juga tahap preliminary studi,
yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap
ini menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan
sekarang. Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan
pada tahap ini. Selain menentukan masalah yang akan diteliti, tahap ini juga
menentukan group action berupa kumpulan orang-orang yang terlibat dalam
penelitian dan memastikan bahwa orang-orang tersebut sudah mendapatkan
informasi tentang penelitian dan mempunyai komitmen untuk bekerjasama dalam
proyek penelitian.
Langkah kedua: planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk
perbaikan. Tahap ini beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi
dengan partisipan. Pada tahap ini peneliti harus memutuskan bersama dengan
group action kemungkinan tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dan
hambatan dalam penelitian. Peneliti merumuskan apa yang dapat dilakukan pada
situasi atau kondisi tempat penelitian. Perencanaan meliputi rencana untuk
merubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara
menjawab pertanyaan : Apa yang akan dilakukan, oleh siapa, kapan dan
bagaimana?
Langkah ketiga: acting dan observing adalah mengimplementasikan
rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah
melaksanakan rencana yang sudah di tetapkan, meliputi melaksanakan rencana
untuk berubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan
antara manusia dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang
telah di lakukan. Hal yang harus diperhatikan oleh peneliti pada tahap ini adalah,
setelah peneliti melakukan kegiatan maka peneliti harus segera memonitor apa
yang terjadi setelah dilakukan tindakan.
Langkah keempat: reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa,
sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi
berfokus pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan
pada cycle berikutnya.
Berikut akan digambarkan proses action research menurut Kemmis dan
McTaggart (1988) :
2.4. Kerangka Konseptual
Penyusunan kerangka konseptual dilakukan berdasarkan landasan teori
keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal Caring yang dikaitkan dengan
program ronde keperawatan klinis di rumah sakit. Dalam penyusunan prosedur
ronde klinis keperawatan peneliti mengacu kepada kegiatan yang dapat
meningkatkan perilaku caring pada perawat, untuk peneliti mengembangkan
program ronde klinis keperawatan berdasarkan carative faktor yang ke 4
(membangun helping-trust relationship terdiri dari congruence, empathy,
non-possesive warmth), carative factor yang ke 8 (menciptakan lingkungan yang
mendukung terdiri dari comfort, privacy, safety dan clean-esthetics surrounding)
dan carative factor yang ke 9 (bantuan pemenenuhan kebutuhan dasar terdiri dari
survival, functional, integrative dan growth-seeking).
Selain menggunakan teori Watson Transpersonal Caring peneliti juga
menggunakan 4P’s Rounding protokol yang terdiri dari Pain, Personal Needs,
Position, dan Placemet (Meade et al., 2006). Agar dapat mengembangkan
program ronde klinis keperawatan di RSUD Kota Padangsidimpuan maka peneliti
menggunakan penelitian action research yang terdiri dari tahap planning, acting
& observing dan reflecting (Kemmis & Taggart, 1988). Pelaksanaan program
ronde klinis keperawatan ini diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pasien
terhadap pelayanan keperawatan dan kepuasan kerja perawat. Kesimpulan tentang
Diagram 2.2. Kerangka Konsep Penelitian