PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN
BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
Ester Nurani Keraru NIM: 131434045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN
BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh:
Ester Nurani Keraru NIM: 131434045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Laut tenang tidak akan pernah membuat pelaut menjadi mahir.
~Anonim
Karya ini saya persembahkan untuk:
vii
ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN
BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA
Ester Nurani Keraru NIM: 131434045 Universitas Sanata Dharma
Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai mengandung kafein tinggi yaitu 0.4% b/b yang dapat menstimulasi pergerakan usus untuk mengobati konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina dan dosis yang paling optimum untuk efek laksatif.
Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus berjumlah 20 ekor, umur 2-3 bulan, dan bobot badan 100-200 gram yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok 1, 2, dan 3 diberi seduhan bubuk kopi dengan dosis peroral 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB; kontrol positif Dulcolax 0.252 mg/200gBB; dan kontrol negatif air hangat 5 ml/200gBB. Semua tikus diinduksi ekstrak daun gambir dua hari dan dipuasakan air minum 18 jam sebelum perlakuan untuk memberikan efek sembelit. Efek laksatif bahan uji diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi selama 6 jam dan mengkategorikan konsistensi feses.
Variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai memiliki efek laksatif pada tikus putih betina yang ditunjukkan oleh nilai rerata frekuensi defekasi lebih tinggi daripada kontrol negatif dan konsistensi feses termasuk kategori normal. Seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai pada dosis 0.3 g/200gBB memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih. Efek laksatif kopi terutama berasal dari metabolit kafein yaitu senyawa theophylline yang merelaksasi otot polos pada saluran pencernaan.
Kata kunci: frekuensi defekasi, kafein, konsistensi feses, kopi Robusta
viii
ABSTRACT
THE EFFECT OF GIVING VARIANCE DOSES OF STEEPED MANGGARAIAN ROBUSTA COFFEE (Coffea canephora) GROUNDS
TOWARD LAXATIVE EFFECT ON FEMALE RAT
Ester Nurani Keraru Student Number: 131434045
Sanata Dharma University
Robusta coffee (Coffea canephora) from Manggarai contains 0.4 wt % of caffeine which can stimulate bowel movement to cure constipation. This
research’s aims were to know the effect of giving variance doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds toward laxative effect on female laboratory rats and the optimum dose for laxative effect.
This research was a pure experimental with Completely Randomized Design; 20 rats, age 2-3 months, and 100-200 grams body weight (BW) were used for experiment and divided into 5 treatment groups. Group 1, 2, and 3 were given steeped Manggaraian Robusta coffee grounds with oral doses of 0.15 g, 0.3 g, and 0.6 g/200gBW; positive control was treated with Dulcolax 0.252 mg/200gBW; and negative control was treated with warm water 5 ml/200gBW. Rats were induced by gambier’s leaf extract for 2 days and fasted for drink of water 18 hours before treatment for giving constipation effect. Laxative effect of the experiment substance was known by observing the defecation frequency during 6 hours and feces consistency grouping.
Variance of doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds have laxative effect on female laboratory rats that was showed by the average value of defecation frequency higher than negative control and the feces consistency grouped into normal category. Dose 0.3 g/200gBW of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds was the optimum dose for laxative effect on female laboratory rats. Laxative effect of coffee was primary originated from a caffeine’s metabolism namely theophylline compound which was relaxing smooth muscle at
laboratory rat’s digestive system.
Keywords: caffeine, defecation frequency, feces consistency, laxative,
Manggaraian Robusta coffee
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea
canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada Tikus Putih Betina”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada program studi Pendidikan Biologi.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan
baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan
rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Retno Herrani, M.Biotech. selaku dosen pembimbing, yang telah memberi
semangat dan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan
saya dalam penyusunan skripsi ini.
2. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
3. Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Kaprodi Program Studi
Pendidikan Biologi.
4. Dra. Maslicah Asy’ari, M.Pd. dan Yoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si.
selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan
x
5. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt.danYoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran, masukan, dan
saran yang sangat bermanfaat.
6. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium
Pendidikan Biologi.
7. Pak Pardjiman selaku laboran dan Pak Sarmin selaku petugas cleaning service
di Laboratorium Hayati Imono, Farmasi.
8. Bu Agnes Sri Suharti selaku pengurus bagian Ethical Clearance di
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT), UGM.
9. Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM), Universitas Sanata Dharma, yang
telah memberikan dukungan finansial pada penelitian ini.
10.Kakak-kakak tersayang, Selin, Agnes, Yusi, dan Pegi Keraru serta Mama Sisi
dan Tanta Mina yang selalu mendukung dan memberi semangat.
11.Sahabat dan teman-teman terkasih yang telah ikut terlibat dan membantu
kelancaran penelitian ini khususnya Icha Ratu, Rista Barut, Yolan dan Yoan
Peri, Toto Pagu, Tanto Didimus, Merry Cristi, Widhi (terima kasih untuk
sepedanya), Tia Ariana, Anna Maria, Br. Dieng, Ananta Kurniawan, Felis
Alegore, Margareta Via, Putri Patty, dan Asa.
12.Seluruh teman Pendidikan Biologi 2013 yang telah memberikan dukungan
dan membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh.
13.Semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing-masing yang tidak
xi
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik demi melengkapi tulisan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... .i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... .iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... .xv
DAFTAR GRAFIK ... xvi
DAFTAR DIAGRAM ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Teori Terkait ... 7
1. Defekasi ... 7
2. Konstipasi ... 11
3. Laksatif ... 19
4. Kopi Robusta Manggarai ... 21
5. Gambir ... 30
6. Tikus ... 31
B. Penelitian yang Relevan ... 33
C. Kerangka Berpikir ... 35
D. Hipotesa ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Batasan Penelitian ... 38
C. Alat dan Bahan ... 41
D. Cara Kerja ... 42
E. Metode Analisa Data ... 50
F. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Hasil ... 53
1. Frekuensi Defekasi ... 53
2. Konsistensi Feses ... 56
3. Mula Kerja Bahan Uji ... 57
xiii
1. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Frekuensi Defekasi
pada Tikus Putih Betina ... 58
2. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Konsistensi Feses pada Tikus Putih Betina ... 66
C. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
BAB VI IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN UNTUK PEMBELAJARAN ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata ... .10
Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis ... 20
Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG), onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis konstipasi ... 20
Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang ... 25
Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering ... 26
Tabel 2.6 Data biologi normal tikus ... 32
Tabel 3.1 Lembar pengambilan data frekuensi defekasi tikus putih ... 49
Tabel 3.2 Lembar pengambilan data konsistensi feses tikus putih ... 50
Tabel 4.1 Data konsistensi feses tikus putih betina setelah perlakuan ... 56
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora) ... 23
Gambar 2.2.a Struktur buah kopi Robusta ... 24
Gambar 2.2.b Morfologi biji kopi Robusta ... 24
Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai ... 28
Gambar 2.4 Tiga senyawa turunan dari kafein ... 29
Gambar 2.5 Bagan literature map ... 35
Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir ... 37
Gambar 4.1 Kondisi feses tikus putih betina sebelum diinduksi gambir ... 53
Gambar 4.2 Kondisi feses tikus putih betina setelah diinduksi gambir selama 2 hari dan puasa minum 18 jam sebelum perlakuan ... 53
Gambar 4.3 Feses basah tikus putih betina setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 57
Gambar 4.4 Tingkatan gilingan bubuk kopi ... 61
Gambar 4.5 Tingkatan gilingan bubuk kopi Robusta Manggarai ... 61
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Data rerata frekuensi defekasi tikus putih betina selama 6 jam
Setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 54
DAFTAR DIAGRAM
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Data Penelitian ... 78
A Berat feses tikus putih betina sebelum dan sesudah diinduksi gambir ... 78
B Frekuensi dan waktu defekasi tikus putih betina ... 80
C Konsistensi feses tikus putih betina ... 84
Lampiran II Hasil Uji Statistika terhadap Data Frekuensi Defekasi ... 85
A Uji Normalitas ... 85
B Uji Homogenitas ... 85
C Uji ANOVA Satu Faktor ... 86
Lampiran III Perangkat Pembelajaran ... 87
A Silabus ... 87
B Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 93
C Materi Pembelajaran dan Artikel Penelitian ... 100
D Worksheet Analisis Artikel Penelitian ... 115
E Lembar Penilaian Afektif ... 119
F Lembar Penilaian Psikomotorik ... 121
G Lembar Penilaian Kognitif ... 123
Lampiran IV Dokumentasi Penelitian ... 133
Lampiran V Ethical Clearance ... 136
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konstipasi atau sembelit merupakan masalah kesehatan yang biasanya
diremehkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit yang ringan.
Namun, bila dibiarkan hingga waktu yang lama, yaitu 12 minggu maka akan
menimbulkan penyakit kronis. Menurut Ketua Pengurus Besar Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia (PGI), dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH,
konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna,
yaitu berkurangnya frekuensi buang air besar dari biasanya yaitu kurang dari
tiga kali dalam seminggu dan konsistensi tinja yang lebih keras. Gejala lainnya
adalah mengejan, perasaan tertahan saat BAB, perasaan adanya hambatan pada
dubur, dan evakuasi feses secara manual (Susilawati, 2010).
Wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada pria. Menurut
data dari RSCM dalam Susilawati (2010) selama kurun waktu 1998-2005, dari
2.397 pemeriksaan kolonoskopi, 216 diantaranya atau sekitar 9% terindikasi
mengalami konstipasi dan lebih banyak dialami oleh wanita dengan angka
perbandingan 4:1. Konstipasi terjadi karena aktivitas fisik kurang, asupan
makanan dan minuman yang kurang, sedang dalam diet rendah serat, serta
Menurut Susilawati (2010), terdapat dua cara untuk mengobati
konstipasi yaitu terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi
nonfarmakologi dilakukan melalui meningkatkan aktivitas fisik, menghindari
obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi, meningkatkan konsumsi serat
dan minum yang cukup, serta mengatur kebiasaan BAB, seperti menghindari
mengejan dan membiasakan BAB setelah makan atau waktu yang dianggap
sesuai. Terapi farmakologis dilakukan dengan mengkonsumsi pencahar
osmotik (laktulosa) dan pencahar stimulant (bisacodyl dan sodiumpicosuphate)
untuk melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik atau gerakan usus.
Kopi merupakan salah satu minuman yang bersifat laksatif sehingga
dapat digunakan sebagai pencahar. Dalam Kristina (2014) dijelaskan bahwa
kandungan kafein dalam kopi berperan sebagai stimulan peristaltik dan
bermanfaat dalam mencegah konstipasi. Menurut Yusianto (1999) dalam
Panggabean (2011), buah kopi yang sudah matang penuh (fully ripe)
mengandung serat dengan jumlah 27,44%. Kandungan serat dalam kopi juga
merupakan komponen penting yang berperan sebagai laksatif serat. Laksatif
serat meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga
mempercepat propulsi massa (gerakan mendorong tinja/feses).
Menurut program Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi,
kopi adalah salah satu komoditi dalam target Kementrian Pertanian 2016.
Berdasarkan Renstra Kementrian Pertananian 2015-2019, rata-rata
pertumbuhan dalam RPJMN 2015-2019 untuk komoditi kopi yaitu 2,6 %.
ekspor di Indonesia. Ada empat jenis kopi yaitu kopi Liberika, kopi Ekselsa,
kopi Arabika, dan kopi Robusta. Kopi Liberika dan kopi Ekselsa dikenal
kurang ekonomis dan komersial karena memiliki banyak variasi bentuk dan
ukuran biji serta kualitas cita rasanya (Rahardjo, 2012).
Kopi Arabika dan kopi Robusta memasok sebagian besar perdagangan
kopi dunia. Kualitas cita rasa kopi Robusta di bawah kopi Arabika, tetapi kopi
Robusta tahan terhadap penyakit karat daun. Oleh karena itu, luas areal tanam
kopi Robusta di Indonesia lebih besar daripada luas areal tanam kopi Arabika
sehingga produksi kopi Robusta lebih banyak. Kopi Robusta (Coffea
canephora) dari Manggarai Timur dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia
tahun 2015 dengan perolehan nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam
kecamatan yang ada di Manggarai Timur, semuanya memiliki lahan kopi dan
areal terluas ada di Kecamatan Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar jenis kopi
Robusta (Oktora dan Dewanto, 2011).
Dewasa ini, tujuan utama masyarakat mengonsumsi kopi adalah agar
terhindar dari rasa kantuk dan terjaga. Namun, ternyata ada efek lain yang
dirasakan setelah minum kopi yaitu perut mulas dan rasa ingin BAB. Efek
tersebut dikenal sebagai efek laksatif atau pencahar. Khasiat kopi sebagai
pencahar dapat dioptimalkan jika memperhatikan tiga hal berikut, yaitu waktu,
diimbangi dengan konsumsi air putih, dan dosis. Waktu minum kopi yang
terbaik adalah pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00 dimana kadar hormon
kostisol tinggi akan mengganggu jam biologis tubuh. Efek kafein pada tubuh
dapat dihilangkan atau dinetralkan dengan konsumsi air yang cukup, yaitu
minimal dua gelas air putih untuk mengganti segelas kopi. Tujuannya adalah
agar dicapainya keseimbangan cairan dalam tubuh (Masdakaty, 2015).
Pada tahun 2015, European Food Safety Authority (EFSA)
mempublikasikan Scientific Opinion on the Safety of Caffeine yang
menganjurkan bahwa asupan kafein dari berbagai sumber maksimal 400 mg
per hari dan aman untuk mengonsumsi kafein dengan dosis tunggal sebanyak
200 mg (ISIC, 2016). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah
mengkonsumsi kopi maka akan terjadi gerakan peristaltik pada usus besar
sehingga perut terasa mulas lalu berdefekasi. Hal ini terjadi karena kopi
memiliki efek laksatif atau pencahar. Namun, belum diketahui secara ilmiah
berapa dosis kopi yang dibutuhkan agar defekasi bersifat normal dan aman bagi
metabolisme tubuh. Normalnya defekasi ditentukan oleh frekuensi defekasi dan
konsistensi feses,
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk
mengetahui dosis kopi yang tepat agar manfaat laksatif kopi dapat memberikan
pengaruh defekasi yang normal bagi tubuh. Dengan demikian, kopi diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi obat untuk konstipasi. Penelitian ini berjudul
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi
Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus
putih betina?
2. Manakah dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora)
Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih
betina?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta
(Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih
betina
2. Mengetahui dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora)
Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih
betina
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang manfaat sifat
laksatif kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk mengobati
2. Bagi Dunia Pendidikan
a. Sebagai sumber pembelajaran pada materi gangguan sistem
pencernaan makanan manusia untuk SMA kelas XI
b. Sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat
kopi bagi tubuh
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat
kopi khususnya kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Terkait
1. Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari tubuh melalui anus. Anus
memiliki dua otot lingkar (sfingter), yaitu sfingter ani internus yang bekerja
secara tidak sadar/involunter (otot polos) dan sfingter ani eksternus yang
bekerja secara sadar/volunter (otot rangka/lurik). Rektum biasanya kosong
sampai menjelang defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke
dalam rektum maka akan merangsang reseptor regang di dinding rektum
sehingga memicu refleks defekasi pada tekanan sekitar 18 mmHg. Bila tekanan
ini mencapai 55 mmHg, refleks ini menyebabkan sfingter ani internus melemas
sedangkan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani
eksternus juga melemas maka terjadi defekasi (Pearce, 2013; Ganong, 1995).
Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan
sfingter ani eksternus secara sengaja (sadar) dapat mencegah defekasi
meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding
rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk
buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih
banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregangkan rektum serta memicu
untuk menjamin kontinensia tinja. Inilah alasan defekasi disebut juga sebagai
refleks spinalis karena dapat dihambat secara sengaja (sadar) dengan menjaga
sfingter eksterna berkontraksi atau difasilitasi dengan merelaksasi sfingter ani
dan mengkontraksi otot abdomen (Sherwood, 2011).
Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan
volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen (mengejan) dan dorongan
ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup (Manuver Valsava) secara
bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang
membantu mendorong tinja. Peningkatan tekanan intra-abdominal diperantarai
oleh kontraksi otot pada dinding abdominal (perut) dan diafragma (Sherwood,
2011; Pearce, 2013; dan Silverthorn, 2013). Defekasi dikontrol oleh sistem
saraf pusat yang melalui daerah pinggang dan belakang pelvis (sacrum) pada
jaringan saraf tulang belakang (Capasso and Gaginella, 1997).
Menurut Parker and Parker (2002), tidak ada jumlah yang pasti untuk
frekuensi defekasi per hari atau per minggu. Frekuensi defekasi normal bisa
jadi adalah tiga kali sehari atau tiga kali seminggu bergantung pada setiap
individu. Sheerwood (2011) dan Ganong (1995) menjelaskan bahwa variasi
normal frekuensi defekasi di antara individu berkisar dari setiap setelah makan,
3 kali sehari, sekali sehari, setiap 2-3 hari hingga sekali seminggu. Ada pula
individu yang mempunyai kebiasaan teratur membuang air besar pada kira-kira
waktu yang sama setiap hari. Ada yang melakukan defekasi di pagi hari, karena
refleks gastrokolik, yang biasanya bekerja sesudah makan pagi (sarapan). Ada
karena ada waktu tenang untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu atau frekuensi
defekasi setiap orang berbeda-beda (Pearce, 2013).
1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Defekasi
Defekasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi psikologi;
kebiasaan atau kebudayaan; dan kandungan serat dalam makanan yang
dikonsumsi. Emosi dan stress dapat meningkatkan motilitas usus dan
menyebabkan diare psikosomatis pada beberapa individu tetapi dapat juga
menurunkan motilitas dan menyebabkan konstipasi pada individu lainnya.
Ketika feses tertahan di dalam kolon, baik karena mengabaikan refleks
defekasi secara sadar maupun karena penurunan motilitas, penyerapan air
terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras yang sulit untuk
dikeluarkan. Kerja defekasi ialah soal kebiasaan. Pada orang dewasa,
kebiasaan dan faktor kebudayaan memainkan peranan besar dalam
menentukan kapan timbul defekasi (Pearce, 2013; Silverthorn, 2013; dan
Ganong, 1995).
Selulosa, hemiselulosa, dan lignin merupakan komponen penting
serat makanan/serat diet. Serat mencapai usus besar dalam keadaan yang
pada hakekatnya tidak berubah karena tidak mudah dicerna. Berbagai
permen karet, polisakrida alga, dan senyawa peptik juga menyokong serat
diet. Jika rendah jumlah serat diet, maka diet dikatakan kekurangan massa
(Ganong, 1995). Dua jenis serat yaitu mudah larut (soluble) dan susah larut
(insoluble) terdapat pada buah-buahan segar, sayuran seperti kol dan
dan bertekstur lembut seperti jel di dalam usus halus. Serat yang susah larut
terus melewati usus dengan tekstur yang hampir tidak berubah, konstan.
Struktur massa dan tekstur lembut pada serat membantu mencegah
terbentuknya feses yang keras dan kering yang susah dikeluarkan. The
American Dietetic Association merekomendasikan untuk mengonsumsi 20
sampai 35 gram serat per hari sehingga terbentuk feses yang bermassa dan
bertekstur semi padat (soft) (Parker and Parker, 2002).
1.2 Feses
Feses mengandung materi inorganik, jumlah kecil zat nitrogen,
terutama musin; juga garam, terutama kalsium fosfat, sedikit zat besi,
serabut tumbuh-tumbuhan tidak dicerna (selulosa), sangat banyak bakteri
(kebanyakan bakteri mati), lepasan epitelium dari usus, sisa zat makanan
lain yang tidak tercerna, dan air. Komposisinya relatif tak dipengaruhi oleh
variasi dalam diet (komposisi makanan), karena fraksi besar massa feses
tidak berasal dari diet (Ganong, 1995 dan Pearce, 2013).
Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata (Ganong, 1995)
Persentase Berat Badan Total
Air 75
Padat 25
Persentase Padat Total
Selulosa dan serabut lain yang tak dapat dicerna Bervariasi
Bakteri 30
2. Konstipasi
2.1 Definisi Penyakit dan Gejalanya
Istilah konstipasi berasal dari kata Latin ‘constipare’ yang berarti
„mengumpul‟. Pengertian konstipasi mencakup banyak gejala berbeda-beda
yang berhubungan dengan kesulitan mengeluarkan feses (Catto-Smith,
2012).
The Rome criteria II diakui sebagai definisi terstandar yang
komprehensif untuk konstipasi (Wexner and Duthie, 2006), yaitu:
a. Terdapat setidaknya dua dari keluhan-keluhan berikut, tanpa penggunaan
laksatif selama ± 12 bulan:
1. Melakukan tekanan yang kuat pada ≥25% defekasi
2. Perasaan bahwa evakuasi feses tidak sempurna (tidak semuanya
keluar) pada ≥25% defekasi
3. Feses keras atau menyerupai bentuk pelet pada ≥25% defekasi
4. Kurang dari tiga defekasi dalam seminggu
b. Defekasi kurang dari dua kali dalam seminggu berdasarkan pada rutinitas
setiap individu.
Kriteria-kriteria di atas memenuhi definisi dari konstipasi, bahkan
dengan tidak adanya gejala lainnya. Konstipasi terdiri atas dua macam,
yaitu primer dan sekunder. Konstipasi primer/fungsional/idiopatik biasanya
tidak diketahui penyebabnya atau disebabkan oleh penyakit khusus yang
tidak dapat dijelaskan. Konstipasi sekunder/konstipasi organik disebabkan
pada usus, obat-obatan, Multiple Sclerosis (MS), diabetes melitus,
hipotiroid, ansietas, depresi, dan penyakit lainnya (Susilawati, 2010).
2.2 Siapa yang beresiko konstipasi ?
Semua orang beresiko mengalami konstipasi. Bila ditinjau
berdasarkan gender, wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada
pria. Dalam Wexner and Duthie (2006) dilaporkan bahwa prevalensi
tertinggi untuk konstipasi adalah wanita, dengan perbandingan antara
wanita dan pria mencapai nilai 1.01 : 1 sampai 3.77 : 1. Wanita lebih sering
dilaporkan mengalami konstipasi daripada pria, dengan rasio 20.8% vs.
8.0%, p < 0.05 dan rendahnya frekuensi defekasi, dengan rasio 9.1% vs.
3.2%, p < 0.05. Hal ini dipengaruhi oleh steroid progesteron, kehamilan,
dan sarapan. Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa konstipasi
yang umumnya terjadi pada wanita dipengaruhi oleh menurunnya kadar
steroid progesteron secara konstan yang kemungkinan menurunkan tingkat
sekresi polipeptida motilin sehingga mempengaruhi pergerakan makanan di
usus. Hormon motilin disekresi oleh sel enterokromatin usus yang
membantu meningkatkan motilitas usus yaitu pemendekan waktu transit
makanan di usus sehingga meningkatkan pula frekuensi defekasi. Pada
orang dewasa, motilin diproduksi oleh sistem endokrin (Rochsitasari,
2011).
Wanita selama masa kehamilan mengalami konstipasi karena
perubahan hormon atau uterus yang menjadi semakin berat sehingga
timbulnya konstipasi berkorelasi kuat pada wanita karir di Jepang dan
gejala-gejalanya sudah tampak pada usia remaja (Kunimoto et al., 1998
dalam Catto-Smith, 2012). Selain itu, hasil observasi dari Fujiwara dan
Nakata (2010) dalam Catto-Smith (2012) menunjukkan korelasi positif
antara mengabaikan sarapan dan konstipasi pada pelajar-pelajar perempuan
di Jepang.
2.3 Penyebab Konstipasi
Faktor-faktor penyebab konstipasi (etiologi) (Parker and Parker,
2002; Sherwood, 2011), antara lain adalah:
a) Kurang serat dalam makanan
Makanan yang rendah serat menghasilkan feses yang kurang
bermassa, konsistensi feses rendah, dan feses lebih susah dikeluarkan
(Wexner and Duthie, 2006).
b) Kurang cairan yang masuk ke dalam tubuh
Cairan seperti air dan jus menambah efek cahar (cair) di kolon
dan memberi massa pada feses, sehingga pergerakan feses di dalam usus
menjadi lebih lembut dan feses mudah dikeluarkan. Orang-orang yang
mengalami konstipasi sebaiknya minum air atau jus secukupnya, sekitar
8 gelas per hari (Parker and Parker, 2002).
c) Kurang beraktivitas atau kurang berolahraga
Konstipasi sering terjadi setelah seseorang mengalami
tidak dapat beraktivitas. Namun, para dokter belum mengetahui
hubungannya dengan tepat (Parker and Parker, 2002).
d) Pengaruh obat-obatan
Obat-obatan penghilang rasa sakit (khususnya narkotik-obat
penenang syaraf) dan antasida untuk penderita epilepsi dapat
memperlambat perjalanan dan pergerakan feses (Parker and Parker,
2002). Selain itu, obat-obatan seperti anticholinergics juga dapat
menyebabkan konstipasi dengan cara menghambat sinyal atau isyarat
dari saraf, sehingga melemahkan koordinasi otot pada kolon (Wexner
and Duthie, 2006).
e) Perubahan dalam kehidupan seperti kehamilan, penuaan, dan perjalanan
Selama kehamilan, wanita mengalami konstipasi karena 1)
terjadi perubahan hormon, 2) terjadi gangguan pada kelenjar endokrin,
atau 3) rahim menjadi berat sehingga menekan usus. Penuaan juga
mengakibatkan ketidakaturan pada usus karena metabolisme yang
melambat sehingga menurunkan aktivitas usus dan kekuatan otot. Selain
itu, berkurangnya jumlah gigi pada lansia menyebabkan lansia
cenderung mengonsumsi makanan yang lembut dan rendah serat (Parker
and Parker, 2002).
Perjalanan juga merupakan penyebab konstipasi. Hal ini
dikarenakan adanya perubahan pada pola makan normal dan rutinitas
sehari-hari. Sebuah studi telah dilakukan tentang pengaruh perjalanan
orang; 40 di antaranya wanita. Studi tersebut menyimpulkan bahwa
perjalanan dapat menyebabkan perubahan pada defekasi karena terdapat
perbedaan yang signifikan di antara subyek penelitian. Menurut para
peneliti, pengaruh perjalanan terhadap penurunan frekuensi defekasi
berkorelasi dengan jetlag, perubahan aktivitas fisik dan makanan, serta
efek normal dari sebuah perjalanan (dengan pesawat) (Parker and Parker,
2002; Wexner and Duthie, 2006).
f) Perubahan motilitas kolon karena emosi
Pada beberapa individu, stres dapat menurunkan motilitas dan
menyebabkan konstipasi (Silverthorn, 2013).
g) Penyalahgunaan laksatif
Penyalahgunaan laksatif menyebabkan kolon mulai
mengandalkan laksatif untuk merangsang defekasi dimana isi perut tidak
bergerak jika tanpa bantuan laksatif. Semakin lama, laksatif dapat
merusak sel-sel saraf pada kolon sehingga menghambat kemampuan
alami kolon untuk berkontraksi. Namun, peran laksatif yang diklaim
merusak saraf pada usus masih diragukan (Parker and Parker, 2002;
Wexner and Duthie, 2006).
h) Mengabaikan keinginan untuk berdefekasi
Orang-orang yang biasa mengabaikan dorongan untuk
berdefekasi, pada akhirnya dapat berhenti merasakan dorongan tersebut
sehingga kemudian menyebabkan konstipasi. Alasan orang-orang
karena: mereka lebih suka (nyaman) menggunakan toilet rumah untuk
berdefekasi, stres atau emosi dengan kesibukannya (memiliki pekerjaan
lebih dari satu), dan khusus untuk anak-anak, mereka stres dengan
aturan-aturan penggunaan toilet atau mereka tidak ingin menyela
permainannya. Ketika feses tertahan di dalam kolon, penyerapan air
terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras sehingga sulit
untuk dikeluarkan (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006;
Silverthorn, 2013).
i) Penyakit/kelainan/gangguan tertentu
Penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf pusat seperti
Multiple Sclerosis (MS) dan cedera jalur-jalur saraf yang terlibat dapat
menyebabkan konstipasi karena terjadi gangguan transmisi informasi
untuk refleks berdefekasi. Selain itu, gangguan pada kolon, rektum, dan
anus juga dapat mengakibatkan konstipasi (Parker and Parker, 2002;
Wexner and Duthie, 2006; Sherwood, 2011).
2.4 Pengobatan Konstipasi
Pengobatan dan/atau pencegahan konstipasi dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a) Asupan serat dalam makanan
Makanan yang mengandung serat dengan ketentuan 20-35
gram/hari membantu memberi bentuk dan massa pada feses. Makanan
yang mengandung serat tinggi antara lain: kacang-kacangan, gandum
suplemen serat (bran, psyllium, metilselulosa atau polikarbofil) (Lembo
et al., 2003 and Locke et al., 2000 dalam Catto-Smith, 2012). Menurut
Greenberger and Weisman (2009), kopi merupakan salah satu minuman
tinggi serat yang disarankan untuk dikonsumsi ketika mengalami
konstipasi selama masa kehamilan.
b) Perubahan gaya hidup
Gaya hidup seperti minum cukup air, olahraga teratur, dan
berusaha untuk tidak mengabaikan dorongan untuk berdefekasi dapat
mengobati konstipasi (Parker and Parker, 2002).
c) Penggunaan laksatif
Bagi kebanyakan orang yang jarang mengalami konstipasi tidak
membutuhkan laksatif. Namun, bagi mereka yang telah membuat
perubahan gaya hidup dan tetap mengalami konstipasi, para dokter
merekomendasikan laksatif atau enema dengan batas waktu tertentu.
Pengobatan tersebut dapat membantu melatih kembali gerakan pada usus
yang kronis dan lamban. Dokter perlu menetapkan kapan pasien
membutuhkan laksatif dan jenis yang terbaik. Laksatif dikonsumsi
melalui mulut dan tersedia dalam bentuk cair, tablet, permen karet,
bubuk, dan granula. Dalam Parker and Parker (2002) dijelaskan bahwa
laksatif tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda, yaitu:
1)Laksatif yang bekerja untuk memberi bentuk massa pada feses
beberapa obat. Nama dagang laksatif ini yaitu Metamucil®,
Citrucel®, Konsyl®, dan Serutan®.
2)Beberapa stimulan menyebabkan konstraksi otot pada usus menjadi
lebih beritme. Nama dagang laksatif ini yaitu Correctol®,
Dulcolax®/Bisacodyl, Purge®, Feen-A-Mint®, dan Senokot®.
3)Pelunak feses memberikan kelembapan pada feses dan mencegah
dehidrasi. Penggunaan laksatif jenis ini sering direkomendasikan
setelah kelahiran atau pembedahan. Nama dagang laksatif ini yaitu
Colace®, Dialose®, dan Surfak®.
4)Minyak pelumas feses memungkinkan feses untuk bergerak lebih
mudah di sepanjang usus halus, seperti minyak mineral.
5)Laksatif asin bekerja seperti spons yaitu menarik air ke dalam kolon
sehingga feses lebih mudah dikeluarkan. Nama dagang laksatif ini
yaitu Milk of Magnesia®, Citrate of Magnesia®, dan Haley‟s M-O®.
d) Bulking agents
Jenis-jenis bulking agents adalah psilium, metilselulosa, dan
polikarbofil. Bulking agents ini bekerja melalui penambahan serat pada
tinja (Wexner and Duthie, 2006).
Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa salah satu langkah
pengobatan disarankan oleh dokter terhadap pasien konstipasi adalah
menggunakan buku harian tentang kebiasaan berdefekasi yang
3. Laksatif
Laksatif adalah obat-obatan yang dapat menyembuhkan konstipasi
yaitu dengan memfasilitasi defekasi. Laksatif meningkatkan kadar cairan dalam
usus dan secara langsung maupun tidak langsung (oleh karena akumulasi
cairan) merangsang pergerakan dalam usus. Berikut adalah beberapa
pengelompokkan laksatif. Pengelompokkan berdasarkan unsur kimia (gula dan
gula alkohol, polisakarida yang tidak terserap, asam empedu, asam lemak
hidroksida, garam inorganik, molekul dengan struktur anthranoid, turunan
dipenilmetana), tempat kerjanya (usus halus, usus besar, seluruh bagian usus),
cara kerjanya (pembentuk massa, pelumas, osmotik, stimulan, kombinasi
beberapa cara kerja), intensitas efek (laksatif/pencahar, pembersih usus), atau
asalnya (alamiah, sintetis). Tempat kerja laksatif merupakan kriteria penting,
karena konstipasi umumnya adalah masalah pada usus besar sehingga laksatif
seharusnya bekerja lebih dominan pada usus besar. Namun, sesungguhnya
laksatif bekerja pada beberapa bagian usus dan dapat memberikan efek pada
sekresi cairan pada satu tempat dan merangsang pergerakan pada bagian
lainnya. Laksatif sangat efektif untuk meningkatkan massa feses dengan
mempertahankan kadar air pada feses. Berikut adalah tabel 2.2 tentang dosis
Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis
Jenis laksatif Rerata dosis
dewasa (oral)
Laksatif umumnya dipelajari dengan menggunaan hewan coba (in
vivo) seperti tikus, mencit, marmut dan kelinci. Uji in vivo secara sederhana
dilakukan dengan cara mengisolasi hewan coba pada kandang individu dan
mengobservasi konsistensi feses (cair atau padat) (Capasso and Gaginella,
1997).
Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG),
onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis
konstipasi (Vasanwala, 2009 dalam Sianipar, 2015)
Golongan/Obat Mula
Kerja Dosis Efek Samping
Laksatif stimulan
Derivat
diphenylmethane
(seperti Dulcolax)
6-12 jam 5-10 mg/hari sampai 3 kali seminggu; 10
4. Kopi Robusta Manggarai
4.1 Sejarah
Pada zaman tanam paksa (1830-1880), jenis kopi yang ditanam di
Indonesia hanya Arabika. Kopi Arabika ditanam dari gunung hingga pantai.
Pada tahun 1880, muncul wabah karat daun (Hemileia vastatrix) yang
merusak kondisi kopi Arabika di dataran rendah. Dari wabah ini diketahui
bahwa kopi Arabika rentan terhadap penyakit terutama jika ditanam di
dataran rendah. Lalu didatangkan jenis kopi baru yaitu kopi Liberika
namun kurang produktif. Kemudian didatangkan lagi jenis kopi baru yaitu
kopi Robusta. Robusta mampu tumbuh di dataran rendah, bahkan hingga
400 m dpl serta tahan terhadap penyakit. Sejak itu, kebanyakan kopi yang
dibudidayakan di Indonesia adalah kopi Robusta dengan dominasi sekitar
80% (Dityo, 2015). Kopi Robusta sebagian besar diproduksi di Vietnam,
Indonesia, dan Cote d‟Ivoire (Preedy, 2015).
Kopi dari Manggarai dikenal dengan bahasa lokalnya yaitu kopi
tuang (kopi tuan). Kopi Robusta (Coffea canephora) dari Manggarai Timur
dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia tahun 2015 dengan perolehan
nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam kecamatan yang ada di Manggarai
Timur, semuanya memiliki lahan kopi. Areal terluas ada di Kecamatan
Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar, ditanami kopi jenis Robusta (Oktora
4.2Taksonomi Kopi Robusta
Klasifikasi botani Kopi Robusta (Preedy, 2015), sebagai berikut:
Kingdom :Plantae
Class :Dicotyledoneae
Order :Rubiales
Family :Rubiaceae
Genus :Coffea
Species :Coffea canephora
4.3Morfologi Kopi Robusta
Tanaman kopi Robusta dapat tumbuh hingga tinggi 10 m dan
memiliki akar tunggang serta terdapat beberapa akar lebar. Akar kopi
Robusta lebih dekat ke permukaan tanah. Pada akar lebar tersebut tumbuh
rambut akar, bulu-bulu akar, dan tudung akar. Pada batang kopi terdapat
lima jenis cabang yaitu cabang primer (plagiotrop), cabang sekunder,
cabang reproduksi (orthotrop), cabang balik, dan cabang kipas (Preedy,
2015 dan Panggaean, 2011).
Daun kopi tersusun secara berdampingan di ketiak batang, cabang,
dan ranting. Setiap pasangan daun tersusun saling menyilang terhadap
pasangan daun berikutnya. Permukaan daun mengkilap, berombak, dan
tulang daun menonjol. Daun kopi Robusta berwarna hijau agak terang dan
bertekstur lebih tebal dibandingkan dengan daun kopi Arabika. Bunga kopi
terbentuk pada akhir musim hujan dan akan menjadi buah hingga siap petik
menghasilkan 2-4 kelompok bunga, yang masing-masing kelompok
menghasilkan 4-6 kuntum bunga, sehingga pada setiap ketiak daun terdapat
8-24 kuntum bunga. Kuntum bunga berukuran kecil dan tersusun dari
kelopak, mahkota, benang sari, tangkai putik, dan bakal buah (Preedy, 2015
dan Panggaean, 2011).
Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora). Sumber: http://prgdb.crg.eu
Buah kopi membutuhkan waktu setahun agar dapat dipanen. Buah
kopi mentah berwarna hijau muda lalu berubah menjadi hijau tua, kuning,
dan berwarna merah atau merah tua ketika sudah matang (ripe). Panjang
buah kopi Robusta sekitar 8-16 mm. Buah kopi terdiri atas dua bagian yaitu
exocarp), lapisan monoseluler berlapiskan substansi menyerupai lilin yang
melindungi buah; biasanya merah, pink gelap, atau kuning; (2)
pulpa/daging buah (mesocarp); berdaging, berlendir, dan mengandung
senyawa gula yang rasanya manis; dan (3) kulit tanduk endocarp, lapisan
tipis dan keras. Lalu biji kopi tersusun atas (1) kulit biji atau perisperm atau
spemoderm (dikenal juga sebagai silverskin), yaitu mantel biji dengan
kandungan utamanya adalah polisakarida, khususnya selulosa dan
hemiselulosa, serta monosakarida, protein, polifenol, mineral dan senyawa
mikro lainnya, selain itu, di sini juga terdapat asam klorogenik, lemak, dan
kafein yang memberikan karakteristik rasa dan aroma pada kopi ; (2) dua
biji yang berbentuk elips atau seperti telur yang mengandung endosperm;
dan (3) embrio (Preedy, 2015; Kingston, 2015, dan Panggabean, 2011).
(a) (b)
Karakteristik biji kopi Robusta menurut Panggabean (2011) adalah
sebagai berikut: biji kopi agak bulat, lengkungan biji lebih tebal
dibandingkan dengan jenis Arabika, dan garis tengah (parit) dari atas ke
bawah hampir rata.
4.4Kandungan Senyawa Kopi
Kopi Robusta memiliki rasa yang kuat dan asam atau pahit. Kopi
Robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi daripada kopi
Arabika. Selain itu, juga terdapat antioksidan alami berupa asam klorogenik
dalam kadar yang tinggi. Asam klorogenik dihasilkan sendiri oleh kopi
sebagai bentuk mekanisme proteksi terhadap hama dan penyakit. Mineral
yang terkandung dalam daging buah kopi antara lain abu, Ca, P, Fe, Na, K,
Mg, Zn, Cu, Mn, dan B. Buah kopi yang telah matang mengandung
komponen zat seperti disajikan pada tabel 2.4 di bawah ini (Panggabean,
2011):
Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang
No. Komponen Jumlah (%)
Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering (Preedy, 2015)
Komponen Sebelum
disangrai
Sesudah disangrai
Polisakarida 46.9-48.3 42.0 Sukrosa 0.9-4.8 0 Mineral (terutama potasium) 3-5.4 4.7 Senyawa volatile sedikit 0.1
Air 8-12 0-5
Melanoid - 23
Proses kopi pascapanen akan memberikan efek terhadap
komponen-komponen dalam kopi. Setelah proses pascapanen, komposisi
dan konsentrasi asam klorogenik berubah. Selain itu, total polisakarida
menjadi lebih baik terekstraksi dan kandungan lipid meningkat setelah
proses pengolahan kopi basah (wet process). Namun, proses kopi
pascapanen tidak memberikan efek perubahan terhadap kandungan kafein
(Preedy, 2015).
4.5Pengolahan Kopi Manggarai
Kopi Manggarai diproses dengan metode yang sangat umum
ditemukan di Indonesia yaitu metode giling basah (semi wet/semi washed
method). Setelah dipetik, biji kopi ditumbuk sambil dicampur air untuk
memisakan kulit dan biji kopi. Setelah itu, biji kopi dijemur selama 4 hari.
menghilangkan kulit tanduknya. Biji kopi disangrai dengan metode dark
roasting, yaitu disangrai dengan api sedang pada kompor atau tungku
hingga biji kopi berwarna hitam serta mudah dikunyah. Biji kopi
didinginkan hingga suhu ruangan lalu digiling dengan alat giling atau
ditumbuk dengan lumpang dan alu berukuran besar hingga diperoleh
tekstur bubuk kopi yang diinginkan (Masdakaty, 2015).
4.6Penyeduhan Kopi
Air yang digunakan untuk menyeduh kopi adalah air bersih dan
segar yang dididihkan hingga suhu 93-950C, lalu diseduhkan ke dalam
bubuk kopi selama 3-5 menit. Bubuk kopi akan muncul ke permukaan
membentuk kerak. Ketika waktu penyeduhan telah selesai, digunakan
sendok bersih untuk memecahkan kerak tersebut (Kingston, 2015).
Masyarakat Manggarai biasanya menyeduh kopi dengan air
mendidih. Air mendidih dituangkan ke dalam gelas yang telah berisi 1
hingga 1 ½ sdm (tergantung selera) bubuk kopi lalu diaduk-aduk. Kopi
dapat diminum ketika masih panas atau ketika sudah hangat. Selesai
menikmati kopi, gelasnya (umumnya gelas kaca bening) ditelungkupkan
sehingga ampas kopi yang mengendap di dasar gelas akan meninggalkan
jejak seperti garis-garis kopi pada dinding gelas. Jejak tersebut dipercaya
mengandung pesan atau informasi di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tradisi ini dikenal dengan nama toto kopi (meramal dengan kopi) (Anggo,
Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai (Anggo, 2016)
4.7Konsumsi Kopi
Komponen yang paling dikenal dan berpengaruh dari kopi adalah
kafein. Kafein dapat membahayakan jika dikonsumsi berlebihan. Menurut
SNI 01-7152-2006 batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman
adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian (Arwangga dkk 2016). Selain
memperhatikan kandungan kafeinnya, konsumsi kopi sebaiknya dilakukan
pada waktu yang tepat.
Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal.
Salah satu fungsinya adalah menaikkan tekanan darah sehingga secara
alami kesiagaan tubuh (alertness) mencapai level maksimalnya.
Konsentrasi hormon ini meningkat pada pukul 08:00-09:00, 12:00-13:00,
dan 17:30-18:30. Konsumsi kopi (kafein) tidak dianjurkan pada waktu
tersebut karena kesiagaan tubuh telah disuntikkan secara alamiah,
Waktu yang paling tepat untuk mengonsumsi kopi adalah ketika
konsentrasi kortisol turun yaitu pada pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00
(Miller, 2013).
4.8Hubungan antara Konsumsi Kopi (Kafein) dan Defekasi
Ketika mengonsumsi kopi, kafein diabsorpsi melalui saluran
pencernaan dan dapat tinggal di dalam sistem tubuh selama empat hingga
enam jam. Sesampainya di hati, kafein dipecah menjadi 3 senyawa.
Paraxanthine adalah senyawa dengan jumlah paling banyak, berfungsi
untuk meningkatkan pemecahan lemak dalam aliran darah. Theobromine
adalah senyawa dengan jumlah sedang, berfungsi memperluas pembuluh
darah dan meningkatkan produksi urin. Theophylline adalah senyawa
dengan jumlah sedikit, berfungsi untuk merelaksasi otot halus pada saluran
pencernaan dan pernapasan (Kingston, 2015).
Kopi adalah minuman stimulan (perangsang). Konsumsi kopi
berkafein dapat menstimulasi atau mengaktifkan pergerakan usus dan
melunakkan feses, dimana efeknya 60% lebih kuat daripada air dan 23%
lebih kuat daripada kopi decaf (kopi tak berkafein) pada manusia normal.
Penelitian Müller et al. (2012) melaporkan bahwa konsumsi kopi espresso
pascaoperasi adalah cara murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan
usus setelah pembedahan kolon. Müller et al. mengijinkan pasien untuk
melakukan treatment yaitu meminum 3 gelas kopi setiap hari (100 ml pada
pukul 08:00, 12:00, dan 16:00), yang dimulai pada pagi hari setelah
pembedahan dengan memperhatikan standar kualitas dan kuantitas kopi
espresso (Preedy, 2015).
Diagram 2.1 Manfaat kopi bagi kesehatan dan pengobatan penyakit (Preedy, 2015)
5. Gambir
Gambir (Unicaria gambir (Hunter) Roxb) merupakan tanaman yang
banyak dibudidayakan di Sumatera dan Kalimantan (Jastra dan Atman, 2016).
Elective colonic surgery
Activation of bowel motility
Decreace of the frequency of postoperative headache
Shortening of
recovevry time postoperative Decrease of urinary retention Coffee
5.1Kandungan Senyawa Kimia Gambir
Ekstrak atau getah daun gambir yang telah dikeringkan merupakan
produk yang dikenal sebagai gambir. Senyawa utama yang dikandung oleh
gambir adalah catechin dan asam catechutannat yang merupakan sumber
asam tanin alami dengan persentase masing-masing 7-33% dan 20-55%.
Catechin (C15H14O6)bersifat dapat larut dalam air panas (Jastra dan Atman,
2016).
5.2Manfaat Gambir
Rebusan daun muda dan tunas gambir dapat digunakan sebagai
obat diare. Gambir diketahui dapat merangsang keluarnya getah empedu
sehingga dapat membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Jastra
dan Atman, 2016). Namun, jika pemanfaatan gambir berlebihan maka
mengakibatkan sembelit karena tingginya kandungan tanin (20-55%) dapat
menyebabkan terabsorpsinya cairan dalam lumen usus (Ghan, 2002 dalam
Sundari dan Winarno, 2010).
6. Tikus
6.1Ciri Biologis Tikus
Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan nokturnal, sehingga
pencahayaan di dalam ruangannya perlu diatur yaitu 12 jam gelap dan 12
jam terang. Tikus memiliki sifat coprophagous, yaitu memakan fesesnya
sendiri. Tikus lebih mudah beradaptasi dalam kandang individu
Tabel 2.6 Data biologi normal tikus (Syamsudin dan Darmono, 2011)
No. Perihal Nilai
1. Konsumsi pakan per hari 5 g/100 gBB 2. Konsumsi air minum per hari 8-11 ml/100 gBB 3. Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
300-400 g 250-300 g
4. Siklus etrus (menstruasi) 5 hari (polyetrus) 5. Suhu rektal 37,50C
6. Waktu transit GI 12-24 jam
7. Volume urin 5.5 ml/100 gBB/hari
6.2Sistem Pencernaan
Penelitian tentang pencernaan dan nutrisi pada umumnya
menggunakan tikus laboratorium karena menyerupai sistem pencernaan
pada manusia. Sistem pencernaan pada tikus terdiri atas oropharynx,
kelenjar ludah, esophagus, lambung, hati, pankreas, usus halus, usus besar,
dan anus (Sharp and Villano, 2012).
6.3Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada tikus bervariasi tergantung pada siklus
hidup omnivore, tujuan penelitian, lingkungan, status mikrobiologi, dan
genetik. Nutrisi tikus terdiri atas karbohidrat, protein, mineral, vitamin,
serat, lemak, dan air. Nutrisi tersebut disediakan dalam bentuk pakan
standar yang biasa disebut BR2. Tikus lebih menyukai rasa manis dan asin
daripada rasa pahit dan asam. Air minum diberikan secara ad libitum. Tikus
dapat meminum air 1/4 hingga 1/3 bobot badan setiap hari tergantung pada
kondisi suhu lingkungan tempat tinggalnya. Contohnya, pada suhu 220C
300C tikus dapat mengonsumsi air dua kali lebih banyak dari konsumsi
pakan per bobot badan (Sharp and Villano, 2012).
6.4Feses
Feses tikus dapat dikumpulkan dalam pengujian yang bertujuan
untuk mengetahui apakah senyawa tertentu diekskresikan melalui saluran
pencernaan. Feses dapat langsung dikumpulkan dari bagian penampung
feses pada kandang metabolik. Namun, feses tersebut dapat tercampur oleh
urin, rambut, dan air minum. Selain itu, tikus merupakan hewan
coprophagic dan akan memakan feses langsung dari anusnya baik di
kandang yang beralaskan kawat maupun sekam. Sifat ini diketahui
berdampak signifikan terhadap keberadaan mikrobia usus dan nutrisi serta
dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan pertambahan bobot badan tikus.
Waktu paling tepat untuk mengumpulkan feses adalah di pagi hari, karena
feses lebih berat atau paling banyak ketika kondisi gelap (Sukow et al.,
2005).
B. Penelitian yang Relevan
Berikut adalah penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini:
1. “Randomized Clinical Trial on the Effect of Coffee on Postoperative Ileus
Following Elective Colectomy” oleh Müller, et al. (2012). Penelitian ini
menunjukkan bahwa konsumsi kopi espresso pascaoperasi adalah cara
murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan usus setelah pembedahan
2. “Efek Laksatif Jus Daun Asam Jawa (Tamarindus indica Linn.) pada
Tikus Putih yang Diinduksi dengan Gambir” oleh Sundari dan Winarno
(2010). Pada penelitian ini, gambir digunakan untuk memberikan efek
sembelit pada tikus putih. Gambir dengan dosis 600 mg/200gBB diberikan
selama 2 hari yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Gambir
mengandung banyak tanin yang berkhasiat sebagai antidiare. Pemberian
gambir dalam jumlah berlebihan pada tikus normal menyebabkan
terabsorpsinya cairan dalam lumen usus sehingga menyebabkan sembelit.
Kontrol positif yang digunakan adalah Dulcolax dengan dosis 0.26
mg/200gBB. Efek laksatif diketahui dengan menggunakan metode transit
intestinal yaitu mengevaluasi apakah suatu bahan uji bersifat laksatif
dengan melihat rasio jarak usus yang ditempuh oleh suatu marker dalam
waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan pada hewan coba.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jus daun asam Jawa bersifat laksatif
pada tikus putih jantan galur Wistar.
3. “Uji Khasiat Rimpang Bengle (Zingiber purpureum Roxb.) sebagai
Laksansia pada Tikus Putih” oleh Nuratmi, Sundari, dan Widowati (2005).
Pada penelitian di atas, efek laksatif diketahui dengan mengamati
frekuensi defekasi dan konsistensi feses selama 6 jam. Tikus yang
digunakan mempunyai karakterisasi feses normal. Kontrol positif adalah
minyak jarak dengan dosis 1 ml/100gBB. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah rimpang bengle mempunyai khasiat sebagai laksatif pada tikus
Berikut adalah gambar 2.5 yang menunjukkan kebaruan penelitian
ini terhadap penelitian-penelitan relevan yang telah dilakukan.
Gambar 2.5 Bagan literature map
C. Kerangka Berpikir
Konstipasi merupakan gangguan pada sistem pencernaan manusia
yang sering diremehkan namun bila tidak segera diatasi dapat menjadi kronis.
Konstipasi lebih banyak dialami oleh wanita. Untuk mengobati konstipasi
dapat ditempuh melalui terapi farmakologis dengan pencahar atau laksatif.
Berdasarkan asalnya, terdapat dua jenis laksatif yaitu laksatif sintetis dan alami.
Kopi adalah jenis laksatif alami karena mengandung kafein yang dapat
menstimulasi pergerakan usus dan serat kasar yang dapat memberi massa pada
digemari oleh masyarakat, mudah diperoleh karena dibudidayakan di berbagai
tempat, dan praktis dalam penyajiannya. Kopi Robusta Manggarai merupakan
kopi berkualitas dengan kandungan kafein yang tinggi sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai terapi pengobatan konstipasi. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk
Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada
Tikus Putih Betina”. Penelitian ini menggunakan 3 variasi dosis kopi yang
dicobakan ke tikus putih betina. Efek laksatif kopi pada tikus putih diketahui
dengan mengamati frekuensi defekasi dan konsistensi feses.
Berikut adalah gambar 2.6 yang menunjukkan kerangka berpikir dalam
Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir
D. Hipotesa
1. Pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora)
Manggarai berpengaruh terhadap efek laksatif pada tikus putih betina.
2. Seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora) Manggarai pada dosis 0.6
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni.
Rancangan penelitian ini tergolong Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
satu faktor. Penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu variabel bebas,
variabel terikat, dan variabel kontrol.
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis seduhan bubuk
kopi Robusta Manggarai (0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200 gBB). Variabel terikat
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu frekuensi defekasi dan konsistensi
feses. Variabel kontrol/kendali yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis
kopi, kondisi hewan uji (tikus putih) yang mencakup bobot badan, jenis
kelamin, galur, umur, kandang, serta jenis dan volume pakan dan minuman.
B. Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Kopi
Jenis kopi yang digunakan adalah kopi Robusta (Coffea
canephora). Kopi Robusta diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT dalam
sebagai berikut: biji kopi diproses dengan metode semi-giling basah (semi
wet/semi washed method), disangrai dengan metode dark roasting lalu
ditumbuk atau digiling hingga diperoleh bubuk kopi dengan tekstur yang
diinginkan.
2. Seduhan bubuk kopi
Seduhan bubuk kopi dibuat dengan menambahkan air mendidih
suhu 93-950C ke dalam bubuk kopi selama 3-5 menit.
3. Dosis kopi
Dasar penetapan variasi dosis kopi adalah SNI 01-7152-2006
tentang batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman yaitu 150
mg/hari dan 50 mg/sajian. Variasi dosis kopi dibuat dengan tidak melebihi
batas maksimum kafein dalam minuman per hari pada manusia yaitu 25 g,
12.5 g, dan 6.25 g. Dosis tersebut lalu dikonversikan ke dosis untuk tikus
putih sehingga diperoleh variasi dosis sebagai berikut: 0.6 g, 0.3 g, dan
0.15 g/200gBB.
4. Efek laksatif
Efek laksatif diketahui dengan cara menghitung frekuensi defekasi
selama 6 jam setelah diberi perlakuan dan mengamati konsistensi feses.
Konsistensi feses ditentukan oleh kandungan air dalam feses dengan
menghitung selisih berat feses basah dengan berat feses kering (dalam %),
normal (n) dengan kadar air 45-56 %,
agak lembek (al) dengan kadar air 57-68 %, lembek (l) dengan kadar air 69-80 %, dan
cair (c) dengan kadar air > 80 % (Nuratmi dkk, 2005).
5. Tikus putih
Tikus putih yang digunakan adalah tikus berjenis kelamin betina,
galur Wistar dengan bobot badan 100-200 g, umur 2-3 bulan. Setiap
kelompok perlakuan terdiri atas 4 ekor tikus maka jumlah tikus yang
digunakan adalah 20 ekor.
6. Efek sembelit
Efek sembelit terhadap tikus diinduksi dengan pemberian seduhan
ekstrak gambir sebanyak 600 mg/200gBB selama dua hari dan puasa
minum 18 jam sebelum perlakuan.
7. Perlakuan kontrol
Penelitian ini menggunakan dua kelompok kontrol yaitu kontrol
positif dan negatif. Kontrol positif merupakan obat yang umumnya
digunakan untuk mengobati sembelit yaitu Dulcolax dengan dosis 0.252
mg/200 gBB. Kontrol negatif yang digunakan adalah air hangat dengan
C. Alat dan Bahan 1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain set
kandang metabolik, timbangan analitik, gelas beker, tabung ukur, gelas
arloji, corong kaca, sendok tanduk, termometer, panci, kompor, spoit, dan
sonde oral.
2. Bahan
a. Hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur
Wistar, umur 2-3 bulan dengan bobot badan 100-200 gram yang
diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)
Unit IV, UGM, Yogyakarta.
b. Bahan induksi sembelit
Ekstrak gambir adalah getah daun gambir yang telah
dikeringkan. Ekstrak gambir diperoleh dari industri rumah tangga
milik Candra Alfamedya di Karangsari, Gang Kenanga, No.267, RT
46/RW 05, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta.
c. Bahan uji
Bahan uji yang digunakan adalah bubuk kopi Robusta yang
diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT. Bubuk kopi Robusta tersebut
secara khusus telah diolah oleh masyarakat Manggarai sendiri untuk
mempertahankan kekhasannya. Peneliti tidak terlibat dalam
d. Bahan kontrol
Kontrol positif adalah Dulcolax yang diperoleh dari Apotek
Farmasi, Universitas Sanata Dharma. Kontrol negatif berupa air hangat
suhu 400C.
D. Cara Kerja
Penelitian dimulai pada tanggal 24 Maret-12 April 2017 di
Laboratorium Hayati Imuno, Fakultas Farmasi, Kampus III Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
1. Tahap Persiapan
a. Pengajuan Ethical Clearance
Ethical clearance (keterangan kelayakan etika) merupakan
surat yang menyatakan bahwa penelitian telah memenuhi
prinsip-prinsip dasar kesejahteraan hewan coba. Penelitian ini telah
mendapatkan persetujuan dari Komisi Ethical Clearance,
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta pada tanggal 22 Maret 2017 (Lampiran V).
b. Penentuan Dosis Kopi dan Konversi Dosis
Variasi dosis kopi yang diberikan kepada manusia adalah 25
g, 12.5 g, dan 6.25 g/50 kgBB/hari. Penentuan dosis yang diberikan ke
Rumus 4.1 Konversi dosis manusia 70 kg ke dosis tikus 200 g
Keterangan:
Berat badan manusia standar Internasional = 70 kg
Berat badan manusia standar Indonesia = 50 kg
Berat badan tikus = 200 g
Faktor konversi dari manusia ke tikus g = 0.018
Jadi, variasi dosis bubuk kopi Robusta Manggarai yang
diberikan ke tikus putih adalah 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB dengan
konsentrasi kafein secara berurutan adalah 0.6 mg, 1.2 mg, dan 2.4
mg.
c. Penetapan Konsentrasi Seduhan Peroral
Dasar penetapan konsentrasi seduhan untuk gambir, kopi
Robusta, dan Dulcolax, diperoleh melalui rumus sebagai berikut:
Rumus 4.2 Konsentrasi seduhan
D x BB = C X V
C = (D x BB)/V
Dosis manusia 50 kg = 12.5 g/hari (dosis perlakuan kelompok 2)
Untuk manusia 70 kg = x 12.5 g = 17.5 g/hari
Untuk tikus 200 g = 17.5 g/hari x 0.018