• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina."

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Laut tenang tidak akan pernah membuat pelaut menjadi mahir.

~Anonim

Karya ini saya persembahkan untuk:

(6)
(7)
(8)

vii

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045 Universitas Sanata Dharma

Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai mengandung kafein tinggi yaitu 0.4% b/b yang dapat menstimulasi pergerakan usus untuk mengobati konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina dan dosis yang paling optimum untuk efek laksatif.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus berjumlah 20 ekor, umur 2-3 bulan, dan bobot badan 100-200 gram yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok 1, 2, dan 3 diberi seduhan bubuk kopi dengan dosis peroral 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB; kontrol positif Dulcolax 0.252 mg/200gBB; dan kontrol negatif air hangat 5 ml/200gBB. Semua tikus diinduksi ekstrak daun gambir dua hari dan dipuasakan air minum 18 jam sebelum perlakuan untuk memberikan efek sembelit. Efek laksatif bahan uji diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi selama 6 jam dan mengkategorikan konsistensi feses.

Variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai memiliki efek laksatif pada tikus putih betina yang ditunjukkan oleh nilai rerata frekuensi defekasi lebih tinggi daripada kontrol negatif dan konsistensi feses termasuk kategori normal. Seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai pada dosis 0.3 g/200gBB memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih. Efek laksatif kopi terutama berasal dari metabolit kafein yaitu senyawa theophylline yang merelaksasi otot polos pada saluran pencernaan.

Kata kunci: frekuensi defekasi, kafein, konsistensi feses, kopi Robusta

(9)

viii

ABSTRACT

THE EFFECT OF GIVING VARIANCE DOSES OF STEEPED MANGGARAIAN ROBUSTA COFFEE (Coffea canephora) GROUNDS

TOWARD LAXATIVE EFFECT ON FEMALE RAT

Ester Nurani Keraru Student Number: 131434045

Sanata Dharma University

Robusta coffee (Coffea canephora) from Manggarai contains 0.4 wt % of caffeine which can stimulate bowel movement to cure constipation. This

research’s aims were to know the effect of giving variance doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds toward laxative effect on female laboratory rats and the optimum dose for laxative effect.

This research was a pure experimental with Completely Randomized Design; 20 rats, age 2-3 months, and 100-200 grams body weight (BW) were used for experiment and divided into 5 treatment groups. Group 1, 2, and 3 were given steeped Manggaraian Robusta coffee grounds with oral doses of 0.15 g, 0.3 g, and 0.6 g/200gBW; positive control was treated with Dulcolax 0.252 mg/200gBW; and negative control was treated with warm water 5 ml/200gBW. Rats were induced by gambier’s leaf extract for 2 days and fasted for drink of water 18 hours before treatment for giving constipation effect. Laxative effect of the experiment substance was known by observing the defecation frequency during 6 hours and feces consistency grouping.

Variance of doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds have laxative effect on female laboratory rats that was showed by the average value of defecation frequency higher than negative control and the feces consistency grouped into normal category. Dose 0.3 g/200gBW of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds was the optimum dose for laxative effect on female laboratory rats. Laxative effect of coffee was primary originated from a caffeine’s metabolism namely theophylline compound which was relaxing smooth muscle at

laboratory rat’s digestive system.

Keywords: caffeine, defecation frequency, feces consistency, laxative,

Manggaraian Robusta coffee

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan

rahmat dan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea

canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada Tikus Putih Betina”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

pada program studi Pendidikan Biologi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan

baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan

rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Retno Herrani, M.Biotech. selaku dosen pembimbing, yang telah memberi

semangat dan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan

saya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

3. Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Kaprodi Program Studi

Pendidikan Biologi.

4. Dra. Maslicah Asy’ari, M.Pd. dan Yoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si.

selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan

(11)

x

5. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt.danYoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran, masukan, dan

saran yang sangat bermanfaat.

6. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium

Pendidikan Biologi.

7. Pak Pardjiman selaku laboran dan Pak Sarmin selaku petugas cleaning service

di Laboratorium Hayati Imono, Farmasi.

8. Bu Agnes Sri Suharti selaku pengurus bagian Ethical Clearance di

Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT), UGM.

9. Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM), Universitas Sanata Dharma, yang

telah memberikan dukungan finansial pada penelitian ini.

10.Kakak-kakak tersayang, Selin, Agnes, Yusi, dan Pegi Keraru serta Mama Sisi

dan Tanta Mina yang selalu mendukung dan memberi semangat.

11.Sahabat dan teman-teman terkasih yang telah ikut terlibat dan membantu

kelancaran penelitian ini khususnya Icha Ratu, Rista Barut, Yolan dan Yoan

Peri, Toto Pagu, Tanto Didimus, Merry Cristi, Widhi (terima kasih untuk

sepedanya), Tia Ariana, Anna Maria, Br. Dieng, Ananta Kurniawan, Felis

Alegore, Margareta Via, Putri Patty, dan Asa.

12.Seluruh teman Pendidikan Biologi 2013 yang telah memberikan dukungan

dan membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh.

13.Semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing-masing yang tidak

(12)

xi

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran

dan kritik demi melengkapi tulisan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga

tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... .iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... .xv

DAFTAR GRAFIK ... xvi

DAFTAR DIAGRAM ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Teori Terkait ... 7

1. Defekasi ... 7

2. Konstipasi ... 11

3. Laksatif ... 19

4. Kopi Robusta Manggarai ... 21

5. Gambir ... 30

6. Tikus ... 31

B. Penelitian yang Relevan ... 33

C. Kerangka Berpikir ... 35

D. Hipotesa ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Batasan Penelitian ... 38

C. Alat dan Bahan ... 41

D. Cara Kerja ... 42

E. Metode Analisa Data ... 50

F. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil ... 53

1. Frekuensi Defekasi ... 53

2. Konsistensi Feses ... 56

3. Mula Kerja Bahan Uji ... 57

(14)

xiii

1. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Frekuensi Defekasi

pada Tikus Putih Betina ... 58

2. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Konsistensi Feses pada Tikus Putih Betina ... 66

C. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

BAB VI IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN UNTUK PEMBELAJARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata ... .10

Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis ... 20

Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG), onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis konstipasi ... 20

Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang ... 25

Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering ... 26

Tabel 2.6 Data biologi normal tikus ... 32

Tabel 3.1 Lembar pengambilan data frekuensi defekasi tikus putih ... 49

Tabel 3.2 Lembar pengambilan data konsistensi feses tikus putih ... 50

Tabel 4.1 Data konsistensi feses tikus putih betina setelah perlakuan ... 56

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora) ... 23

Gambar 2.2.a Struktur buah kopi Robusta ... 24

Gambar 2.2.b Morfologi biji kopi Robusta ... 24

Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai ... 28

Gambar 2.4 Tiga senyawa turunan dari kafein ... 29

Gambar 2.5 Bagan literature map ... 35

Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir ... 37

Gambar 4.1 Kondisi feses tikus putih betina sebelum diinduksi gambir ... 53

Gambar 4.2 Kondisi feses tikus putih betina setelah diinduksi gambir selama 2 hari dan puasa minum 18 jam sebelum perlakuan ... 53

Gambar 4.3 Feses basah tikus putih betina setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 57

Gambar 4.4 Tingkatan gilingan bubuk kopi ... 61

Gambar 4.5 Tingkatan gilingan bubuk kopi Robusta Manggarai ... 61

(17)

xvi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Data rerata frekuensi defekasi tikus putih betina selama 6 jam

Setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 54

DAFTAR DIAGRAM

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Data Penelitian ... 78

A Berat feses tikus putih betina sebelum dan sesudah diinduksi gambir ... 78

B Frekuensi dan waktu defekasi tikus putih betina ... 80

C Konsistensi feses tikus putih betina ... 84

Lampiran II Hasil Uji Statistika terhadap Data Frekuensi Defekasi ... 85

A Uji Normalitas ... 85

B Uji Homogenitas ... 85

C Uji ANOVA Satu Faktor ... 86

Lampiran III Perangkat Pembelajaran ... 87

A Silabus ... 87

B Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 93

C Materi Pembelajaran dan Artikel Penelitian ... 100

D Worksheet Analisis Artikel Penelitian ... 115

E Lembar Penilaian Afektif ... 119

F Lembar Penilaian Psikomotorik ... 121

G Lembar Penilaian Kognitif ... 123

Lampiran IV Dokumentasi Penelitian ... 133

Lampiran V Ethical Clearance ... 136

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstipasi atau sembelit merupakan masalah kesehatan yang biasanya

diremehkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit yang ringan.

Namun, bila dibiarkan hingga waktu yang lama, yaitu 12 minggu maka akan

menimbulkan penyakit kronis. Menurut Ketua Pengurus Besar Perkumpulan

Gastroenterologi Indonesia (PGI), dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH,

konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna,

yaitu berkurangnya frekuensi buang air besar dari biasanya yaitu kurang dari

tiga kali dalam seminggu dan konsistensi tinja yang lebih keras. Gejala lainnya

adalah mengejan, perasaan tertahan saat BAB, perasaan adanya hambatan pada

dubur, dan evakuasi feses secara manual (Susilawati, 2010).

Wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada pria. Menurut

data dari RSCM dalam Susilawati (2010) selama kurun waktu 1998-2005, dari

2.397 pemeriksaan kolonoskopi, 216 diantaranya atau sekitar 9% terindikasi

mengalami konstipasi dan lebih banyak dialami oleh wanita dengan angka

perbandingan 4:1. Konstipasi terjadi karena aktivitas fisik kurang, asupan

makanan dan minuman yang kurang, sedang dalam diet rendah serat, serta

(20)

Menurut Susilawati (2010), terdapat dua cara untuk mengobati

konstipasi yaitu terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi

nonfarmakologi dilakukan melalui meningkatkan aktivitas fisik, menghindari

obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi, meningkatkan konsumsi serat

dan minum yang cukup, serta mengatur kebiasaan BAB, seperti menghindari

mengejan dan membiasakan BAB setelah makan atau waktu yang dianggap

sesuai. Terapi farmakologis dilakukan dengan mengkonsumsi pencahar

osmotik (laktulosa) dan pencahar stimulant (bisacodyl dan sodiumpicosuphate)

untuk melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik atau gerakan usus.

Kopi merupakan salah satu minuman yang bersifat laksatif sehingga

dapat digunakan sebagai pencahar. Dalam Kristina (2014) dijelaskan bahwa

kandungan kafein dalam kopi berperan sebagai stimulan peristaltik dan

bermanfaat dalam mencegah konstipasi. Menurut Yusianto (1999) dalam

Panggabean (2011), buah kopi yang sudah matang penuh (fully ripe)

mengandung serat dengan jumlah 27,44%. Kandungan serat dalam kopi juga

merupakan komponen penting yang berperan sebagai laksatif serat. Laksatif

serat meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga

mempercepat propulsi massa (gerakan mendorong tinja/feses).

Menurut program Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi,

kopi adalah salah satu komoditi dalam target Kementrian Pertanian 2016.

Berdasarkan Renstra Kementrian Pertananian 2015-2019, rata-rata

pertumbuhan dalam RPJMN 2015-2019 untuk komoditi kopi yaitu 2,6 %.

(21)

ekspor di Indonesia. Ada empat jenis kopi yaitu kopi Liberika, kopi Ekselsa,

kopi Arabika, dan kopi Robusta. Kopi Liberika dan kopi Ekselsa dikenal

kurang ekonomis dan komersial karena memiliki banyak variasi bentuk dan

ukuran biji serta kualitas cita rasanya (Rahardjo, 2012).

Kopi Arabika dan kopi Robusta memasok sebagian besar perdagangan

kopi dunia. Kualitas cita rasa kopi Robusta di bawah kopi Arabika, tetapi kopi

Robusta tahan terhadap penyakit karat daun. Oleh karena itu, luas areal tanam

kopi Robusta di Indonesia lebih besar daripada luas areal tanam kopi Arabika

sehingga produksi kopi Robusta lebih banyak. Kopi Robusta (Coffea

canephora) dari Manggarai Timur dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia

tahun 2015 dengan perolehan nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam

kecamatan yang ada di Manggarai Timur, semuanya memiliki lahan kopi dan

areal terluas ada di Kecamatan Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar jenis kopi

Robusta (Oktora dan Dewanto, 2011).

Dewasa ini, tujuan utama masyarakat mengonsumsi kopi adalah agar

terhindar dari rasa kantuk dan terjaga. Namun, ternyata ada efek lain yang

dirasakan setelah minum kopi yaitu perut mulas dan rasa ingin BAB. Efek

tersebut dikenal sebagai efek laksatif atau pencahar. Khasiat kopi sebagai

pencahar dapat dioptimalkan jika memperhatikan tiga hal berikut, yaitu waktu,

diimbangi dengan konsumsi air putih, dan dosis. Waktu minum kopi yang

terbaik adalah pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00 dimana kadar hormon

(22)

kostisol tinggi akan mengganggu jam biologis tubuh. Efek kafein pada tubuh

dapat dihilangkan atau dinetralkan dengan konsumsi air yang cukup, yaitu

minimal dua gelas air putih untuk mengganti segelas kopi. Tujuannya adalah

agar dicapainya keseimbangan cairan dalam tubuh (Masdakaty, 2015).

Pada tahun 2015, European Food Safety Authority (EFSA)

mempublikasikan Scientific Opinion on the Safety of Caffeine yang

menganjurkan bahwa asupan kafein dari berbagai sumber maksimal 400 mg

per hari dan aman untuk mengonsumsi kafein dengan dosis tunggal sebanyak

200 mg (ISIC, 2016). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah

mengkonsumsi kopi maka akan terjadi gerakan peristaltik pada usus besar

sehingga perut terasa mulas lalu berdefekasi. Hal ini terjadi karena kopi

memiliki efek laksatif atau pencahar. Namun, belum diketahui secara ilmiah

berapa dosis kopi yang dibutuhkan agar defekasi bersifat normal dan aman bagi

metabolisme tubuh. Normalnya defekasi ditentukan oleh frekuensi defekasi dan

konsistensi feses,

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk

mengetahui dosis kopi yang tepat agar manfaat laksatif kopi dapat memberikan

pengaruh defekasi yang normal bagi tubuh. Dengan demikian, kopi diharapkan

dapat menjadi salah satu referensi obat untuk konstipasi. Penelitian ini berjudul

(23)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi

Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus

putih betina?

2. Manakah dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora)

Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih

betina?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta

(Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih

betina

2. Mengetahui dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora)

Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih

betina

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang manfaat sifat

laksatif kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk mengobati

(24)

2. Bagi Dunia Pendidikan

a. Sebagai sumber pembelajaran pada materi gangguan sistem

pencernaan makanan manusia untuk SMA kelas XI

b. Sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat

kopi bagi tubuh

3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat

kopi khususnya kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk

(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Terkait

1. Defekasi

Defekasi adalah pengeluaran feses dari tubuh melalui anus. Anus

memiliki dua otot lingkar (sfingter), yaitu sfingter ani internus yang bekerja

secara tidak sadar/involunter (otot polos) dan sfingter ani eksternus yang

bekerja secara sadar/volunter (otot rangka/lurik). Rektum biasanya kosong

sampai menjelang defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke

dalam rektum maka akan merangsang reseptor regang di dinding rektum

sehingga memicu refleks defekasi pada tekanan sekitar 18 mmHg. Bila tekanan

ini mencapai 55 mmHg, refleks ini menyebabkan sfingter ani internus melemas

sedangkan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani

eksternus juga melemas maka terjadi defekasi (Pearce, 2013; Ganong, 1995).

Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan

sfingter ani eksternus secara sengaja (sadar) dapat mencegah defekasi

meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding

rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk

buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih

banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregangkan rektum serta memicu

(26)

untuk menjamin kontinensia tinja. Inilah alasan defekasi disebut juga sebagai

refleks spinalis karena dapat dihambat secara sengaja (sadar) dengan menjaga

sfingter eksterna berkontraksi atau difasilitasi dengan merelaksasi sfingter ani

dan mengkontraksi otot abdomen (Sherwood, 2011).

Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan

volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen (mengejan) dan dorongan

ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup (Manuver Valsava) secara

bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang

membantu mendorong tinja. Peningkatan tekanan intra-abdominal diperantarai

oleh kontraksi otot pada dinding abdominal (perut) dan diafragma (Sherwood,

2011; Pearce, 2013; dan Silverthorn, 2013). Defekasi dikontrol oleh sistem

saraf pusat yang melalui daerah pinggang dan belakang pelvis (sacrum) pada

jaringan saraf tulang belakang (Capasso and Gaginella, 1997).

Menurut Parker and Parker (2002), tidak ada jumlah yang pasti untuk

frekuensi defekasi per hari atau per minggu. Frekuensi defekasi normal bisa

jadi adalah tiga kali sehari atau tiga kali seminggu bergantung pada setiap

individu. Sheerwood (2011) dan Ganong (1995) menjelaskan bahwa variasi

normal frekuensi defekasi di antara individu berkisar dari setiap setelah makan,

3 kali sehari, sekali sehari, setiap 2-3 hari hingga sekali seminggu. Ada pula

individu yang mempunyai kebiasaan teratur membuang air besar pada kira-kira

waktu yang sama setiap hari. Ada yang melakukan defekasi di pagi hari, karena

refleks gastrokolik, yang biasanya bekerja sesudah makan pagi (sarapan). Ada

(27)

karena ada waktu tenang untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu atau frekuensi

defekasi setiap orang berbeda-beda (Pearce, 2013).

1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Defekasi

Defekasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi psikologi;

kebiasaan atau kebudayaan; dan kandungan serat dalam makanan yang

dikonsumsi. Emosi dan stress dapat meningkatkan motilitas usus dan

menyebabkan diare psikosomatis pada beberapa individu tetapi dapat juga

menurunkan motilitas dan menyebabkan konstipasi pada individu lainnya.

Ketika feses tertahan di dalam kolon, baik karena mengabaikan refleks

defekasi secara sadar maupun karena penurunan motilitas, penyerapan air

terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras yang sulit untuk

dikeluarkan. Kerja defekasi ialah soal kebiasaan. Pada orang dewasa,

kebiasaan dan faktor kebudayaan memainkan peranan besar dalam

menentukan kapan timbul defekasi (Pearce, 2013; Silverthorn, 2013; dan

Ganong, 1995).

Selulosa, hemiselulosa, dan lignin merupakan komponen penting

serat makanan/serat diet. Serat mencapai usus besar dalam keadaan yang

pada hakekatnya tidak berubah karena tidak mudah dicerna. Berbagai

permen karet, polisakrida alga, dan senyawa peptik juga menyokong serat

diet. Jika rendah jumlah serat diet, maka diet dikatakan kekurangan massa

(Ganong, 1995). Dua jenis serat yaitu mudah larut (soluble) dan susah larut

(insoluble) terdapat pada buah-buahan segar, sayuran seperti kol dan

(28)

dan bertekstur lembut seperti jel di dalam usus halus. Serat yang susah larut

terus melewati usus dengan tekstur yang hampir tidak berubah, konstan.

Struktur massa dan tekstur lembut pada serat membantu mencegah

terbentuknya feses yang keras dan kering yang susah dikeluarkan. The

American Dietetic Association merekomendasikan untuk mengonsumsi 20

sampai 35 gram serat per hari sehingga terbentuk feses yang bermassa dan

bertekstur semi padat (soft) (Parker and Parker, 2002).

1.2 Feses

Feses mengandung materi inorganik, jumlah kecil zat nitrogen,

terutama musin; juga garam, terutama kalsium fosfat, sedikit zat besi,

serabut tumbuh-tumbuhan tidak dicerna (selulosa), sangat banyak bakteri

(kebanyakan bakteri mati), lepasan epitelium dari usus, sisa zat makanan

lain yang tidak tercerna, dan air. Komposisinya relatif tak dipengaruhi oleh

variasi dalam diet (komposisi makanan), karena fraksi besar massa feses

tidak berasal dari diet (Ganong, 1995 dan Pearce, 2013).

Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata (Ganong, 1995)

Persentase Berat Badan Total

Air 75

Padat 25

Persentase Padat Total

Selulosa dan serabut lain yang tak dapat dicerna Bervariasi

Bakteri 30

(29)

2. Konstipasi

2.1 Definisi Penyakit dan Gejalanya

Istilah konstipasi berasal dari kata Latin ‘constipare’ yang berarti

„mengumpul‟. Pengertian konstipasi mencakup banyak gejala berbeda-beda

yang berhubungan dengan kesulitan mengeluarkan feses (Catto-Smith,

2012).

The Rome criteria II diakui sebagai definisi terstandar yang

komprehensif untuk konstipasi (Wexner and Duthie, 2006), yaitu:

a. Terdapat setidaknya dua dari keluhan-keluhan berikut, tanpa penggunaan

laksatif selama ± 12 bulan:

1. Melakukan tekanan yang kuat pada ≥25% defekasi

2. Perasaan bahwa evakuasi feses tidak sempurna (tidak semuanya

keluar) pada ≥25% defekasi

3. Feses keras atau menyerupai bentuk pelet pada ≥25% defekasi

4. Kurang dari tiga defekasi dalam seminggu

b. Defekasi kurang dari dua kali dalam seminggu berdasarkan pada rutinitas

setiap individu.

Kriteria-kriteria di atas memenuhi definisi dari konstipasi, bahkan

dengan tidak adanya gejala lainnya. Konstipasi terdiri atas dua macam,

yaitu primer dan sekunder. Konstipasi primer/fungsional/idiopatik biasanya

tidak diketahui penyebabnya atau disebabkan oleh penyakit khusus yang

tidak dapat dijelaskan. Konstipasi sekunder/konstipasi organik disebabkan

(30)

pada usus, obat-obatan, Multiple Sclerosis (MS), diabetes melitus,

hipotiroid, ansietas, depresi, dan penyakit lainnya (Susilawati, 2010).

2.2 Siapa yang beresiko konstipasi ?

Semua orang beresiko mengalami konstipasi. Bila ditinjau

berdasarkan gender, wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada

pria. Dalam Wexner and Duthie (2006) dilaporkan bahwa prevalensi

tertinggi untuk konstipasi adalah wanita, dengan perbandingan antara

wanita dan pria mencapai nilai 1.01 : 1 sampai 3.77 : 1. Wanita lebih sering

dilaporkan mengalami konstipasi daripada pria, dengan rasio 20.8% vs.

8.0%, p < 0.05 dan rendahnya frekuensi defekasi, dengan rasio 9.1% vs.

3.2%, p < 0.05. Hal ini dipengaruhi oleh steroid progesteron, kehamilan,

dan sarapan. Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa konstipasi

yang umumnya terjadi pada wanita dipengaruhi oleh menurunnya kadar

steroid progesteron secara konstan yang kemungkinan menurunkan tingkat

sekresi polipeptida motilin sehingga mempengaruhi pergerakan makanan di

usus. Hormon motilin disekresi oleh sel enterokromatin usus yang

membantu meningkatkan motilitas usus yaitu pemendekan waktu transit

makanan di usus sehingga meningkatkan pula frekuensi defekasi. Pada

orang dewasa, motilin diproduksi oleh sistem endokrin (Rochsitasari,

2011).

Wanita selama masa kehamilan mengalami konstipasi karena

perubahan hormon atau uterus yang menjadi semakin berat sehingga

(31)

timbulnya konstipasi berkorelasi kuat pada wanita karir di Jepang dan

gejala-gejalanya sudah tampak pada usia remaja (Kunimoto et al., 1998

dalam Catto-Smith, 2012). Selain itu, hasil observasi dari Fujiwara dan

Nakata (2010) dalam Catto-Smith (2012) menunjukkan korelasi positif

antara mengabaikan sarapan dan konstipasi pada pelajar-pelajar perempuan

di Jepang.

2.3 Penyebab Konstipasi

Faktor-faktor penyebab konstipasi (etiologi) (Parker and Parker,

2002; Sherwood, 2011), antara lain adalah:

a) Kurang serat dalam makanan

Makanan yang rendah serat menghasilkan feses yang kurang

bermassa, konsistensi feses rendah, dan feses lebih susah dikeluarkan

(Wexner and Duthie, 2006).

b) Kurang cairan yang masuk ke dalam tubuh

Cairan seperti air dan jus menambah efek cahar (cair) di kolon

dan memberi massa pada feses, sehingga pergerakan feses di dalam usus

menjadi lebih lembut dan feses mudah dikeluarkan. Orang-orang yang

mengalami konstipasi sebaiknya minum air atau jus secukupnya, sekitar

8 gelas per hari (Parker and Parker, 2002).

c) Kurang beraktivitas atau kurang berolahraga

Konstipasi sering terjadi setelah seseorang mengalami

(32)

tidak dapat beraktivitas. Namun, para dokter belum mengetahui

hubungannya dengan tepat (Parker and Parker, 2002).

d) Pengaruh obat-obatan

Obat-obatan penghilang rasa sakit (khususnya narkotik-obat

penenang syaraf) dan antasida untuk penderita epilepsi dapat

memperlambat perjalanan dan pergerakan feses (Parker and Parker,

2002). Selain itu, obat-obatan seperti anticholinergics juga dapat

menyebabkan konstipasi dengan cara menghambat sinyal atau isyarat

dari saraf, sehingga melemahkan koordinasi otot pada kolon (Wexner

and Duthie, 2006).

e) Perubahan dalam kehidupan seperti kehamilan, penuaan, dan perjalanan

Selama kehamilan, wanita mengalami konstipasi karena 1)

terjadi perubahan hormon, 2) terjadi gangguan pada kelenjar endokrin,

atau 3) rahim menjadi berat sehingga menekan usus. Penuaan juga

mengakibatkan ketidakaturan pada usus karena metabolisme yang

melambat sehingga menurunkan aktivitas usus dan kekuatan otot. Selain

itu, berkurangnya jumlah gigi pada lansia menyebabkan lansia

cenderung mengonsumsi makanan yang lembut dan rendah serat (Parker

and Parker, 2002).

Perjalanan juga merupakan penyebab konstipasi. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan pada pola makan normal dan rutinitas

sehari-hari. Sebuah studi telah dilakukan tentang pengaruh perjalanan

(33)

orang; 40 di antaranya wanita. Studi tersebut menyimpulkan bahwa

perjalanan dapat menyebabkan perubahan pada defekasi karena terdapat

perbedaan yang signifikan di antara subyek penelitian. Menurut para

peneliti, pengaruh perjalanan terhadap penurunan frekuensi defekasi

berkorelasi dengan jetlag, perubahan aktivitas fisik dan makanan, serta

efek normal dari sebuah perjalanan (dengan pesawat) (Parker and Parker,

2002; Wexner and Duthie, 2006).

f) Perubahan motilitas kolon karena emosi

Pada beberapa individu, stres dapat menurunkan motilitas dan

menyebabkan konstipasi (Silverthorn, 2013).

g) Penyalahgunaan laksatif

Penyalahgunaan laksatif menyebabkan kolon mulai

mengandalkan laksatif untuk merangsang defekasi dimana isi perut tidak

bergerak jika tanpa bantuan laksatif. Semakin lama, laksatif dapat

merusak sel-sel saraf pada kolon sehingga menghambat kemampuan

alami kolon untuk berkontraksi. Namun, peran laksatif yang diklaim

merusak saraf pada usus masih diragukan (Parker and Parker, 2002;

Wexner and Duthie, 2006).

h) Mengabaikan keinginan untuk berdefekasi

Orang-orang yang biasa mengabaikan dorongan untuk

berdefekasi, pada akhirnya dapat berhenti merasakan dorongan tersebut

sehingga kemudian menyebabkan konstipasi. Alasan orang-orang

(34)

karena: mereka lebih suka (nyaman) menggunakan toilet rumah untuk

berdefekasi, stres atau emosi dengan kesibukannya (memiliki pekerjaan

lebih dari satu), dan khusus untuk anak-anak, mereka stres dengan

aturan-aturan penggunaan toilet atau mereka tidak ingin menyela

permainannya. Ketika feses tertahan di dalam kolon, penyerapan air

terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras sehingga sulit

untuk dikeluarkan (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006;

Silverthorn, 2013).

i) Penyakit/kelainan/gangguan tertentu

Penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf pusat seperti

Multiple Sclerosis (MS) dan cedera jalur-jalur saraf yang terlibat dapat

menyebabkan konstipasi karena terjadi gangguan transmisi informasi

untuk refleks berdefekasi. Selain itu, gangguan pada kolon, rektum, dan

anus juga dapat mengakibatkan konstipasi (Parker and Parker, 2002;

Wexner and Duthie, 2006; Sherwood, 2011).

2.4 Pengobatan Konstipasi

Pengobatan dan/atau pencegahan konstipasi dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

a) Asupan serat dalam makanan

Makanan yang mengandung serat dengan ketentuan 20-35

gram/hari membantu memberi bentuk dan massa pada feses. Makanan

yang mengandung serat tinggi antara lain: kacang-kacangan, gandum

(35)

suplemen serat (bran, psyllium, metilselulosa atau polikarbofil) (Lembo

et al., 2003 and Locke et al., 2000 dalam Catto-Smith, 2012). Menurut

Greenberger and Weisman (2009), kopi merupakan salah satu minuman

tinggi serat yang disarankan untuk dikonsumsi ketika mengalami

konstipasi selama masa kehamilan.

b) Perubahan gaya hidup

Gaya hidup seperti minum cukup air, olahraga teratur, dan

berusaha untuk tidak mengabaikan dorongan untuk berdefekasi dapat

mengobati konstipasi (Parker and Parker, 2002).

c) Penggunaan laksatif

Bagi kebanyakan orang yang jarang mengalami konstipasi tidak

membutuhkan laksatif. Namun, bagi mereka yang telah membuat

perubahan gaya hidup dan tetap mengalami konstipasi, para dokter

merekomendasikan laksatif atau enema dengan batas waktu tertentu.

Pengobatan tersebut dapat membantu melatih kembali gerakan pada usus

yang kronis dan lamban. Dokter perlu menetapkan kapan pasien

membutuhkan laksatif dan jenis yang terbaik. Laksatif dikonsumsi

melalui mulut dan tersedia dalam bentuk cair, tablet, permen karet,

bubuk, dan granula. Dalam Parker and Parker (2002) dijelaskan bahwa

laksatif tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda, yaitu:

1)Laksatif yang bekerja untuk memberi bentuk massa pada feses

(36)

beberapa obat. Nama dagang laksatif ini yaitu Metamucil®,

Citrucel®, Konsyl®, dan Serutan®.

2)Beberapa stimulan menyebabkan konstraksi otot pada usus menjadi

lebih beritme. Nama dagang laksatif ini yaitu Correctol®,

Dulcolax®/Bisacodyl, Purge®, Feen-A-Mint®, dan Senokot®.

3)Pelunak feses memberikan kelembapan pada feses dan mencegah

dehidrasi. Penggunaan laksatif jenis ini sering direkomendasikan

setelah kelahiran atau pembedahan. Nama dagang laksatif ini yaitu

Colace®, Dialose®, dan Surfak®.

4)Minyak pelumas feses memungkinkan feses untuk bergerak lebih

mudah di sepanjang usus halus, seperti minyak mineral.

5)Laksatif asin bekerja seperti spons yaitu menarik air ke dalam kolon

sehingga feses lebih mudah dikeluarkan. Nama dagang laksatif ini

yaitu Milk of Magnesia®, Citrate of Magnesia®, dan Haley‟s M-O®.

d) Bulking agents

Jenis-jenis bulking agents adalah psilium, metilselulosa, dan

polikarbofil. Bulking agents ini bekerja melalui penambahan serat pada

tinja (Wexner and Duthie, 2006).

Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa salah satu langkah

pengobatan disarankan oleh dokter terhadap pasien konstipasi adalah

menggunakan buku harian tentang kebiasaan berdefekasi yang

(37)

3. Laksatif

Laksatif adalah obat-obatan yang dapat menyembuhkan konstipasi

yaitu dengan memfasilitasi defekasi. Laksatif meningkatkan kadar cairan dalam

usus dan secara langsung maupun tidak langsung (oleh karena akumulasi

cairan) merangsang pergerakan dalam usus. Berikut adalah beberapa

pengelompokkan laksatif. Pengelompokkan berdasarkan unsur kimia (gula dan

gula alkohol, polisakarida yang tidak terserap, asam empedu, asam lemak

hidroksida, garam inorganik, molekul dengan struktur anthranoid, turunan

dipenilmetana), tempat kerjanya (usus halus, usus besar, seluruh bagian usus),

cara kerjanya (pembentuk massa, pelumas, osmotik, stimulan, kombinasi

beberapa cara kerja), intensitas efek (laksatif/pencahar, pembersih usus), atau

asalnya (alamiah, sintetis). Tempat kerja laksatif merupakan kriteria penting,

karena konstipasi umumnya adalah masalah pada usus besar sehingga laksatif

seharusnya bekerja lebih dominan pada usus besar. Namun, sesungguhnya

laksatif bekerja pada beberapa bagian usus dan dapat memberikan efek pada

sekresi cairan pada satu tempat dan merangsang pergerakan pada bagian

lainnya. Laksatif sangat efektif untuk meningkatkan massa feses dengan

mempertahankan kadar air pada feses. Berikut adalah tabel 2.2 tentang dosis

(38)

Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis

Jenis laksatif Rerata dosis

dewasa (oral)

Laksatif umumnya dipelajari dengan menggunaan hewan coba (in

vivo) seperti tikus, mencit, marmut dan kelinci. Uji in vivo secara sederhana

dilakukan dengan cara mengisolasi hewan coba pada kandang individu dan

mengobservasi konsistensi feses (cair atau padat) (Capasso and Gaginella,

1997).

Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG),

onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis

konstipasi (Vasanwala, 2009 dalam Sianipar, 2015)

Golongan/Obat Mula

Kerja Dosis Efek Samping

Laksatif stimulan

Derivat

diphenylmethane

(seperti Dulcolax)

6-12 jam 5-10 mg/hari sampai 3 kali seminggu; 10

(39)

4. Kopi Robusta Manggarai

4.1 Sejarah

Pada zaman tanam paksa (1830-1880), jenis kopi yang ditanam di

Indonesia hanya Arabika. Kopi Arabika ditanam dari gunung hingga pantai.

Pada tahun 1880, muncul wabah karat daun (Hemileia vastatrix) yang

merusak kondisi kopi Arabika di dataran rendah. Dari wabah ini diketahui

bahwa kopi Arabika rentan terhadap penyakit terutama jika ditanam di

dataran rendah. Lalu didatangkan jenis kopi baru yaitu kopi Liberika

namun kurang produktif. Kemudian didatangkan lagi jenis kopi baru yaitu

kopi Robusta. Robusta mampu tumbuh di dataran rendah, bahkan hingga

400 m dpl serta tahan terhadap penyakit. Sejak itu, kebanyakan kopi yang

dibudidayakan di Indonesia adalah kopi Robusta dengan dominasi sekitar

80% (Dityo, 2015). Kopi Robusta sebagian besar diproduksi di Vietnam,

Indonesia, dan Cote d‟Ivoire (Preedy, 2015).

Kopi dari Manggarai dikenal dengan bahasa lokalnya yaitu kopi

tuang (kopi tuan). Kopi Robusta (Coffea canephora) dari Manggarai Timur

dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia tahun 2015 dengan perolehan

nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam kecamatan yang ada di Manggarai

Timur, semuanya memiliki lahan kopi. Areal terluas ada di Kecamatan

Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar, ditanami kopi jenis Robusta (Oktora

(40)

4.2Taksonomi Kopi Robusta

Klasifikasi botani Kopi Robusta (Preedy, 2015), sebagai berikut:

Kingdom :Plantae

Class :Dicotyledoneae

Order :Rubiales

Family :Rubiaceae

Genus :Coffea

Species :Coffea canephora

4.3Morfologi Kopi Robusta

Tanaman kopi Robusta dapat tumbuh hingga tinggi 10 m dan

memiliki akar tunggang serta terdapat beberapa akar lebar. Akar kopi

Robusta lebih dekat ke permukaan tanah. Pada akar lebar tersebut tumbuh

rambut akar, bulu-bulu akar, dan tudung akar. Pada batang kopi terdapat

lima jenis cabang yaitu cabang primer (plagiotrop), cabang sekunder,

cabang reproduksi (orthotrop), cabang balik, dan cabang kipas (Preedy,

2015 dan Panggaean, 2011).

Daun kopi tersusun secara berdampingan di ketiak batang, cabang,

dan ranting. Setiap pasangan daun tersusun saling menyilang terhadap

pasangan daun berikutnya. Permukaan daun mengkilap, berombak, dan

tulang daun menonjol. Daun kopi Robusta berwarna hijau agak terang dan

bertekstur lebih tebal dibandingkan dengan daun kopi Arabika. Bunga kopi

terbentuk pada akhir musim hujan dan akan menjadi buah hingga siap petik

(41)

menghasilkan 2-4 kelompok bunga, yang masing-masing kelompok

menghasilkan 4-6 kuntum bunga, sehingga pada setiap ketiak daun terdapat

8-24 kuntum bunga. Kuntum bunga berukuran kecil dan tersusun dari

kelopak, mahkota, benang sari, tangkai putik, dan bakal buah (Preedy, 2015

dan Panggaean, 2011).

Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora). Sumber: http://prgdb.crg.eu

Buah kopi membutuhkan waktu setahun agar dapat dipanen. Buah

kopi mentah berwarna hijau muda lalu berubah menjadi hijau tua, kuning,

dan berwarna merah atau merah tua ketika sudah matang (ripe). Panjang

buah kopi Robusta sekitar 8-16 mm. Buah kopi terdiri atas dua bagian yaitu

(42)

exocarp), lapisan monoseluler berlapiskan substansi menyerupai lilin yang

melindungi buah; biasanya merah, pink gelap, atau kuning; (2)

pulpa/daging buah (mesocarp); berdaging, berlendir, dan mengandung

senyawa gula yang rasanya manis; dan (3) kulit tanduk endocarp, lapisan

tipis dan keras. Lalu biji kopi tersusun atas (1) kulit biji atau perisperm atau

spemoderm (dikenal juga sebagai silverskin), yaitu mantel biji dengan

kandungan utamanya adalah polisakarida, khususnya selulosa dan

hemiselulosa, serta monosakarida, protein, polifenol, mineral dan senyawa

mikro lainnya, selain itu, di sini juga terdapat asam klorogenik, lemak, dan

kafein yang memberikan karakteristik rasa dan aroma pada kopi ; (2) dua

biji yang berbentuk elips atau seperti telur yang mengandung endosperm;

dan (3) embrio (Preedy, 2015; Kingston, 2015, dan Panggabean, 2011).

(a) (b)

(43)

Karakteristik biji kopi Robusta menurut Panggabean (2011) adalah

sebagai berikut: biji kopi agak bulat, lengkungan biji lebih tebal

dibandingkan dengan jenis Arabika, dan garis tengah (parit) dari atas ke

bawah hampir rata.

4.4Kandungan Senyawa Kopi

Kopi Robusta memiliki rasa yang kuat dan asam atau pahit. Kopi

Robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi daripada kopi

Arabika. Selain itu, juga terdapat antioksidan alami berupa asam klorogenik

dalam kadar yang tinggi. Asam klorogenik dihasilkan sendiri oleh kopi

sebagai bentuk mekanisme proteksi terhadap hama dan penyakit. Mineral

yang terkandung dalam daging buah kopi antara lain abu, Ca, P, Fe, Na, K,

Mg, Zn, Cu, Mn, dan B. Buah kopi yang telah matang mengandung

komponen zat seperti disajikan pada tabel 2.4 di bawah ini (Panggabean,

2011):

Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang

No. Komponen Jumlah (%)

(44)

Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering (Preedy, 2015)

Komponen Sebelum

disangrai

Sesudah disangrai

Polisakarida 46.9-48.3 42.0 Sukrosa 0.9-4.8 0 Mineral (terutama potasium) 3-5.4 4.7 Senyawa volatile sedikit 0.1

Air 8-12 0-5

Melanoid - 23

Proses kopi pascapanen akan memberikan efek terhadap

komponen-komponen dalam kopi. Setelah proses pascapanen, komposisi

dan konsentrasi asam klorogenik berubah. Selain itu, total polisakarida

menjadi lebih baik terekstraksi dan kandungan lipid meningkat setelah

proses pengolahan kopi basah (wet process). Namun, proses kopi

pascapanen tidak memberikan efek perubahan terhadap kandungan kafein

(Preedy, 2015).

4.5Pengolahan Kopi Manggarai

Kopi Manggarai diproses dengan metode yang sangat umum

ditemukan di Indonesia yaitu metode giling basah (semi wet/semi washed

method). Setelah dipetik, biji kopi ditumbuk sambil dicampur air untuk

memisakan kulit dan biji kopi. Setelah itu, biji kopi dijemur selama 4 hari.

(45)

menghilangkan kulit tanduknya. Biji kopi disangrai dengan metode dark

roasting, yaitu disangrai dengan api sedang pada kompor atau tungku

hingga biji kopi berwarna hitam serta mudah dikunyah. Biji kopi

didinginkan hingga suhu ruangan lalu digiling dengan alat giling atau

ditumbuk dengan lumpang dan alu berukuran besar hingga diperoleh

tekstur bubuk kopi yang diinginkan (Masdakaty, 2015).

4.6Penyeduhan Kopi

Air yang digunakan untuk menyeduh kopi adalah air bersih dan

segar yang dididihkan hingga suhu 93-950C, lalu diseduhkan ke dalam

bubuk kopi selama 3-5 menit. Bubuk kopi akan muncul ke permukaan

membentuk kerak. Ketika waktu penyeduhan telah selesai, digunakan

sendok bersih untuk memecahkan kerak tersebut (Kingston, 2015).

Masyarakat Manggarai biasanya menyeduh kopi dengan air

mendidih. Air mendidih dituangkan ke dalam gelas yang telah berisi 1

hingga 1 ½ sdm (tergantung selera) bubuk kopi lalu diaduk-aduk. Kopi

dapat diminum ketika masih panas atau ketika sudah hangat. Selesai

menikmati kopi, gelasnya (umumnya gelas kaca bening) ditelungkupkan

sehingga ampas kopi yang mengendap di dasar gelas akan meninggalkan

jejak seperti garis-garis kopi pada dinding gelas. Jejak tersebut dipercaya

mengandung pesan atau informasi di masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Tradisi ini dikenal dengan nama toto kopi (meramal dengan kopi) (Anggo,

(46)

Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai (Anggo, 2016)

4.7Konsumsi Kopi

Komponen yang paling dikenal dan berpengaruh dari kopi adalah

kafein. Kafein dapat membahayakan jika dikonsumsi berlebihan. Menurut

SNI 01-7152-2006 batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman

adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian (Arwangga dkk 2016). Selain

memperhatikan kandungan kafeinnya, konsumsi kopi sebaiknya dilakukan

pada waktu yang tepat.

Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal.

Salah satu fungsinya adalah menaikkan tekanan darah sehingga secara

alami kesiagaan tubuh (alertness) mencapai level maksimalnya.

Konsentrasi hormon ini meningkat pada pukul 08:00-09:00, 12:00-13:00,

dan 17:30-18:30. Konsumsi kopi (kafein) tidak dianjurkan pada waktu

tersebut karena kesiagaan tubuh telah disuntikkan secara alamiah,

(47)

Waktu yang paling tepat untuk mengonsumsi kopi adalah ketika

konsentrasi kortisol turun yaitu pada pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00

(Miller, 2013).

4.8Hubungan antara Konsumsi Kopi (Kafein) dan Defekasi

Ketika mengonsumsi kopi, kafein diabsorpsi melalui saluran

pencernaan dan dapat tinggal di dalam sistem tubuh selama empat hingga

enam jam. Sesampainya di hati, kafein dipecah menjadi 3 senyawa.

Paraxanthine adalah senyawa dengan jumlah paling banyak, berfungsi

untuk meningkatkan pemecahan lemak dalam aliran darah. Theobromine

adalah senyawa dengan jumlah sedang, berfungsi memperluas pembuluh

darah dan meningkatkan produksi urin. Theophylline adalah senyawa

dengan jumlah sedikit, berfungsi untuk merelaksasi otot halus pada saluran

pencernaan dan pernapasan (Kingston, 2015).

(48)

Kopi adalah minuman stimulan (perangsang). Konsumsi kopi

berkafein dapat menstimulasi atau mengaktifkan pergerakan usus dan

melunakkan feses, dimana efeknya 60% lebih kuat daripada air dan 23%

lebih kuat daripada kopi decaf (kopi tak berkafein) pada manusia normal.

Penelitian Müller et al. (2012) melaporkan bahwa konsumsi kopi espresso

pascaoperasi adalah cara murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan

usus setelah pembedahan kolon. Müller et al. mengijinkan pasien untuk

melakukan treatment yaitu meminum 3 gelas kopi setiap hari (100 ml pada

pukul 08:00, 12:00, dan 16:00), yang dimulai pada pagi hari setelah

pembedahan dengan memperhatikan standar kualitas dan kuantitas kopi

espresso (Preedy, 2015).

Diagram 2.1 Manfaat kopi bagi kesehatan dan pengobatan penyakit (Preedy, 2015)

5. Gambir

Gambir (Unicaria gambir (Hunter) Roxb) merupakan tanaman yang

banyak dibudidayakan di Sumatera dan Kalimantan (Jastra dan Atman, 2016).

Elective colonic surgery

Activation of bowel motility

Decreace of the frequency of postoperative headache

Shortening of

recovevry time postoperative Decrease of urinary retention Coffee

(49)

5.1Kandungan Senyawa Kimia Gambir

Ekstrak atau getah daun gambir yang telah dikeringkan merupakan

produk yang dikenal sebagai gambir. Senyawa utama yang dikandung oleh

gambir adalah catechin dan asam catechutannat yang merupakan sumber

asam tanin alami dengan persentase masing-masing 7-33% dan 20-55%.

Catechin (C15H14O6)bersifat dapat larut dalam air panas (Jastra dan Atman,

2016).

5.2Manfaat Gambir

Rebusan daun muda dan tunas gambir dapat digunakan sebagai

obat diare. Gambir diketahui dapat merangsang keluarnya getah empedu

sehingga dapat membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Jastra

dan Atman, 2016). Namun, jika pemanfaatan gambir berlebihan maka

mengakibatkan sembelit karena tingginya kandungan tanin (20-55%) dapat

menyebabkan terabsorpsinya cairan dalam lumen usus (Ghan, 2002 dalam

Sundari dan Winarno, 2010).

6. Tikus

6.1Ciri Biologis Tikus

Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan nokturnal, sehingga

pencahayaan di dalam ruangannya perlu diatur yaitu 12 jam gelap dan 12

jam terang. Tikus memiliki sifat coprophagous, yaitu memakan fesesnya

sendiri. Tikus lebih mudah beradaptasi dalam kandang individu

(50)

Tabel 2.6 Data biologi normal tikus (Syamsudin dan Darmono, 2011)

No. Perihal Nilai

1. Konsumsi pakan per hari 5 g/100 gBB 2. Konsumsi air minum per hari 8-11 ml/100 gBB 3. Bobot badan dewasa

- Jantan

- Betina

300-400 g 250-300 g

4. Siklus etrus (menstruasi) 5 hari (polyetrus) 5. Suhu rektal 37,50C

6. Waktu transit GI 12-24 jam

7. Volume urin 5.5 ml/100 gBB/hari

6.2Sistem Pencernaan

Penelitian tentang pencernaan dan nutrisi pada umumnya

menggunakan tikus laboratorium karena menyerupai sistem pencernaan

pada manusia. Sistem pencernaan pada tikus terdiri atas oropharynx,

kelenjar ludah, esophagus, lambung, hati, pankreas, usus halus, usus besar,

dan anus (Sharp and Villano, 2012).

6.3Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pada tikus bervariasi tergantung pada siklus

hidup omnivore, tujuan penelitian, lingkungan, status mikrobiologi, dan

genetik. Nutrisi tikus terdiri atas karbohidrat, protein, mineral, vitamin,

serat, lemak, dan air. Nutrisi tersebut disediakan dalam bentuk pakan

standar yang biasa disebut BR2. Tikus lebih menyukai rasa manis dan asin

daripada rasa pahit dan asam. Air minum diberikan secara ad libitum. Tikus

dapat meminum air 1/4 hingga 1/3 bobot badan setiap hari tergantung pada

kondisi suhu lingkungan tempat tinggalnya. Contohnya, pada suhu 220C

(51)

300C tikus dapat mengonsumsi air dua kali lebih banyak dari konsumsi

pakan per bobot badan (Sharp and Villano, 2012).

6.4Feses

Feses tikus dapat dikumpulkan dalam pengujian yang bertujuan

untuk mengetahui apakah senyawa tertentu diekskresikan melalui saluran

pencernaan. Feses dapat langsung dikumpulkan dari bagian penampung

feses pada kandang metabolik. Namun, feses tersebut dapat tercampur oleh

urin, rambut, dan air minum. Selain itu, tikus merupakan hewan

coprophagic dan akan memakan feses langsung dari anusnya baik di

kandang yang beralaskan kawat maupun sekam. Sifat ini diketahui

berdampak signifikan terhadap keberadaan mikrobia usus dan nutrisi serta

dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan pertambahan bobot badan tikus.

Waktu paling tepat untuk mengumpulkan feses adalah di pagi hari, karena

feses lebih berat atau paling banyak ketika kondisi gelap (Sukow et al.,

2005).

B. Penelitian yang Relevan

Berikut adalah penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini:

1. “Randomized Clinical Trial on the Effect of Coffee on Postoperative Ileus

Following Elective Colectomy” oleh Müller, et al. (2012). Penelitian ini

menunjukkan bahwa konsumsi kopi espresso pascaoperasi adalah cara

murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan usus setelah pembedahan

(52)

2. “Efek Laksatif Jus Daun Asam Jawa (Tamarindus indica Linn.) pada

Tikus Putih yang Diinduksi dengan Gambir” oleh Sundari dan Winarno

(2010). Pada penelitian ini, gambir digunakan untuk memberikan efek

sembelit pada tikus putih. Gambir dengan dosis 600 mg/200gBB diberikan

selama 2 hari yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Gambir

mengandung banyak tanin yang berkhasiat sebagai antidiare. Pemberian

gambir dalam jumlah berlebihan pada tikus normal menyebabkan

terabsorpsinya cairan dalam lumen usus sehingga menyebabkan sembelit.

Kontrol positif yang digunakan adalah Dulcolax dengan dosis 0.26

mg/200gBB. Efek laksatif diketahui dengan menggunakan metode transit

intestinal yaitu mengevaluasi apakah suatu bahan uji bersifat laksatif

dengan melihat rasio jarak usus yang ditempuh oleh suatu marker dalam

waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan pada hewan coba.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah jus daun asam Jawa bersifat laksatif

pada tikus putih jantan galur Wistar.

3. “Uji Khasiat Rimpang Bengle (Zingiber purpureum Roxb.) sebagai

Laksansia pada Tikus Putih” oleh Nuratmi, Sundari, dan Widowati (2005).

Pada penelitian di atas, efek laksatif diketahui dengan mengamati

frekuensi defekasi dan konsistensi feses selama 6 jam. Tikus yang

digunakan mempunyai karakterisasi feses normal. Kontrol positif adalah

minyak jarak dengan dosis 1 ml/100gBB. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah rimpang bengle mempunyai khasiat sebagai laksatif pada tikus

(53)

Berikut adalah gambar 2.5 yang menunjukkan kebaruan penelitian

ini terhadap penelitian-penelitan relevan yang telah dilakukan.

Gambar 2.5 Bagan literature map

C. Kerangka Berpikir

Konstipasi merupakan gangguan pada sistem pencernaan manusia

yang sering diremehkan namun bila tidak segera diatasi dapat menjadi kronis.

Konstipasi lebih banyak dialami oleh wanita. Untuk mengobati konstipasi

dapat ditempuh melalui terapi farmakologis dengan pencahar atau laksatif.

Berdasarkan asalnya, terdapat dua jenis laksatif yaitu laksatif sintetis dan alami.

Kopi adalah jenis laksatif alami karena mengandung kafein yang dapat

menstimulasi pergerakan usus dan serat kasar yang dapat memberi massa pada

(54)

digemari oleh masyarakat, mudah diperoleh karena dibudidayakan di berbagai

tempat, dan praktis dalam penyajiannya. Kopi Robusta Manggarai merupakan

kopi berkualitas dengan kandungan kafein yang tinggi sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai terapi pengobatan konstipasi. Oleh karena itu, dilakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk

Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada

Tikus Putih Betina”. Penelitian ini menggunakan 3 variasi dosis kopi yang

dicobakan ke tikus putih betina. Efek laksatif kopi pada tikus putih diketahui

dengan mengamati frekuensi defekasi dan konsistensi feses.

Berikut adalah gambar 2.6 yang menunjukkan kerangka berpikir dalam

(55)

Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir

D. Hipotesa

1. Pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora)

Manggarai berpengaruh terhadap efek laksatif pada tikus putih betina.

2. Seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora) Manggarai pada dosis 0.6

(56)

38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni.

Rancangan penelitian ini tergolong Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

satu faktor. Penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu variabel bebas,

variabel terikat, dan variabel kontrol.

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis seduhan bubuk

kopi Robusta Manggarai (0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200 gBB). Variabel terikat

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu frekuensi defekasi dan konsistensi

feses. Variabel kontrol/kendali yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis

kopi, kondisi hewan uji (tikus putih) yang mencakup bobot badan, jenis

kelamin, galur, umur, kandang, serta jenis dan volume pakan dan minuman.

B. Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Kopi

Jenis kopi yang digunakan adalah kopi Robusta (Coffea

canephora). Kopi Robusta diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT dalam

(57)

sebagai berikut: biji kopi diproses dengan metode semi-giling basah (semi

wet/semi washed method), disangrai dengan metode dark roasting lalu

ditumbuk atau digiling hingga diperoleh bubuk kopi dengan tekstur yang

diinginkan.

2. Seduhan bubuk kopi

Seduhan bubuk kopi dibuat dengan menambahkan air mendidih

suhu 93-950C ke dalam bubuk kopi selama 3-5 menit.

3. Dosis kopi

Dasar penetapan variasi dosis kopi adalah SNI 01-7152-2006

tentang batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman yaitu 150

mg/hari dan 50 mg/sajian. Variasi dosis kopi dibuat dengan tidak melebihi

batas maksimum kafein dalam minuman per hari pada manusia yaitu 25 g,

12.5 g, dan 6.25 g. Dosis tersebut lalu dikonversikan ke dosis untuk tikus

putih sehingga diperoleh variasi dosis sebagai berikut: 0.6 g, 0.3 g, dan

0.15 g/200gBB.

4. Efek laksatif

Efek laksatif diketahui dengan cara menghitung frekuensi defekasi

selama 6 jam setelah diberi perlakuan dan mengamati konsistensi feses.

Konsistensi feses ditentukan oleh kandungan air dalam feses dengan

menghitung selisih berat feses basah dengan berat feses kering (dalam %),

(58)

 normal (n) dengan kadar air 45-56 %,

 agak lembek (al) dengan kadar air 57-68 %,  lembek (l) dengan kadar air 69-80 %, dan

 cair (c) dengan kadar air > 80 % (Nuratmi dkk, 2005).

5. Tikus putih

Tikus putih yang digunakan adalah tikus berjenis kelamin betina,

galur Wistar dengan bobot badan 100-200 g, umur 2-3 bulan. Setiap

kelompok perlakuan terdiri atas 4 ekor tikus maka jumlah tikus yang

digunakan adalah 20 ekor.

6. Efek sembelit

Efek sembelit terhadap tikus diinduksi dengan pemberian seduhan

ekstrak gambir sebanyak 600 mg/200gBB selama dua hari dan puasa

minum 18 jam sebelum perlakuan.

7. Perlakuan kontrol

Penelitian ini menggunakan dua kelompok kontrol yaitu kontrol

positif dan negatif. Kontrol positif merupakan obat yang umumnya

digunakan untuk mengobati sembelit yaitu Dulcolax dengan dosis 0.252

mg/200 gBB. Kontrol negatif yang digunakan adalah air hangat dengan

(59)

C. Alat dan Bahan 1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain set

kandang metabolik, timbangan analitik, gelas beker, tabung ukur, gelas

arloji, corong kaca, sendok tanduk, termometer, panci, kompor, spoit, dan

sonde oral.

2. Bahan

a. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur

Wistar, umur 2-3 bulan dengan bobot badan 100-200 gram yang

diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)

Unit IV, UGM, Yogyakarta.

b. Bahan induksi sembelit

Ekstrak gambir adalah getah daun gambir yang telah

dikeringkan. Ekstrak gambir diperoleh dari industri rumah tangga

milik Candra Alfamedya di Karangsari, Gang Kenanga, No.267, RT

46/RW 05, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta.

c. Bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah bubuk kopi Robusta yang

diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT. Bubuk kopi Robusta tersebut

secara khusus telah diolah oleh masyarakat Manggarai sendiri untuk

mempertahankan kekhasannya. Peneliti tidak terlibat dalam

(60)

d. Bahan kontrol

Kontrol positif adalah Dulcolax yang diperoleh dari Apotek

Farmasi, Universitas Sanata Dharma. Kontrol negatif berupa air hangat

suhu 400C.

D. Cara Kerja

Penelitian dimulai pada tanggal 24 Maret-12 April 2017 di

Laboratorium Hayati Imuno, Fakultas Farmasi, Kampus III Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

1. Tahap Persiapan

a. Pengajuan Ethical Clearance

Ethical clearance (keterangan kelayakan etika) merupakan

surat yang menyatakan bahwa penelitian telah memenuhi

prinsip-prinsip dasar kesejahteraan hewan coba. Penelitian ini telah

mendapatkan persetujuan dari Komisi Ethical Clearance,

Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta pada tanggal 22 Maret 2017 (Lampiran V).

b. Penentuan Dosis Kopi dan Konversi Dosis

Variasi dosis kopi yang diberikan kepada manusia adalah 25

g, 12.5 g, dan 6.25 g/50 kgBB/hari. Penentuan dosis yang diberikan ke

(61)

Rumus 4.1 Konversi dosis manusia 70 kg ke dosis tikus 200 g

Keterangan:

Berat badan manusia standar Internasional = 70 kg

Berat badan manusia standar Indonesia = 50 kg

Berat badan tikus = 200 g

Faktor konversi dari manusia ke tikus g = 0.018

Jadi, variasi dosis bubuk kopi Robusta Manggarai yang

diberikan ke tikus putih adalah 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB dengan

konsentrasi kafein secara berurutan adalah 0.6 mg, 1.2 mg, dan 2.4

mg.

c. Penetapan Konsentrasi Seduhan Peroral

Dasar penetapan konsentrasi seduhan untuk gambir, kopi

Robusta, dan Dulcolax, diperoleh melalui rumus sebagai berikut:

Rumus 4.2 Konsentrasi seduhan

D x BB = C X V

C = (D x BB)/V

Dosis manusia 50 kg = 12.5 g/hari (dosis perlakuan kelompok 2)

Untuk manusia 70 kg = x 12.5 g = 17.5 g/hari

Untuk tikus 200 g = 17.5 g/hari x 0.018

Gambar

Grafik 4.1 Data rerata frekuensi defekasi tikus putih betina selama 6 jam Setelah diberikan perlakuan bahan uji ...............................................
Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata (Ganong, 1995)
Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG), onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis
Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora).  Sumber: http://prgdb.crg.eu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pekerj aan : Pembangunan Jalan Pert anian Desa Sit io II. Lokasi : Kecamat an Lint

رورض ههیمم ااهیسا تبتن شایسا رب هب ااهیسا ود را رد تبتن نیا هک هش یشیشم روریض ریغ ههیمم کی ا رتلااب لیییصف یم هیییشاب لااب ناسیم ا نایییشن هک .دراد ییلاط شیگ یاام هلیف رد رورض

هب روظن وم ی دوسر حارط ی بآ هب ساسح یرهش مأوت یحارط اب ژولوکا ی ک هک رب هدافتسا هب ی هن زا عبانم دوجوم و هدافتسا بسانم زا آ اه راد دن وم ی دوناوت ءوس تارثا یدعت یارب

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan oleh PDAM Kota Semarang sangat berguna bagi masyarakat setempat dan sangat memudahkan bagi

Penulis membatasi penelitian ini pada pengaruh Risiko Sistematis dan Likuiditas Saham Terhadap Return Saham pada industri pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

In this project, Visual Basic 6 will be use as the interface to display the temperature data For this project, it will use two circuit that is Temperature Control System

dari kepailitan dan likuidasi terhadap harta bendanya.Sedangkan menurut Sutan “Akan tetapi, ada kalanya juga sebenarnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

[r]

Sektor swasta (termasuk swasta asing) akan lebih berperan dalam penyelenggaraan rumah sakit untuk tujuan pelayanan dan rujukan. Fungsi layanan rumah sakit akan

Would you please advise what grant, program, project and operational funding provided by the Department of Regional Development and Indigenous Advancement to non-government and external

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika antara siswa yang diajarkan dengan model Learning Cycle dan model