• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tetesan Danum Tawar di Dusun Seribu Akar; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 KAPUAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tetesan Danum Tawar di Dusun Seribu Akar; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 KAPUAS"

Copied!
289
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Tetesan Danum Tawar

di Dusun Seribu Akar

Septa Agung Kurniawan

Fransisca Sri Hartatik

Isabella Jeniva

Gurendro Putro

(3)

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis

Septa Agung Kurniawan Fransisca Sri Hartatik

Isabella Jeniva Gurendro Putro

Editor Gurendro Putro

Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN

DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya

Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta

Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-20-9

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah

mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu

dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

(7)

dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

1.2. Status Kesehatan Kabupaten Kapuas 1.3. Permasalahan Penelitian

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1.Tujuan Umum 1.4.2. Tujuan Khusus 1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Penentuan Lokasi Penelitian 1.5.2. Cara Pengumpulan Data 1.5.3. Cara Analisis Data

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN PANTAR KABALI DAN TAPIAN KARAHAU: JENDELA POTRET ETNIK DAYAK NGAJU DI MUROI RAYA

2.1. Sejarah Kalimantan yang Berdampak di Kehidupan Keseharian Warga Muroi Raya

2.1.1. Kabupaten Kapuas dan Budaya Sungai

2.1.2. Puskesmas Danau Rawah: Puskesmas Terpencil dan Terisolir

2.1.3. Gambaran Sekilas Masyarakat Desa Danau Rawah yang Tinggal di Dekat Puskesmas

2.1.4. Sejarah Dusun Pantar Kabali

v vii xii xiii 1 1 5 12 13 13 13 13 13 15 15 17 17 22 25 30 35

(9)

2.1.7. Sejarah Masuknya Tenaga Kesehatan 2.2. Geografi dan Kependudukan

2.2.1.Air Sungai dan Sumber Air Minum 2.2.2. Kondisi Geografis Dusun Pantar Kabali 2.2.3. Kondisi Geografis Dusun Karahau 2.2.4. Kependudukan

2.2.5. Pola Tempat Tinggal Etnik Dayak, Etnik Banjar, dan Pendatang Dari Luar Kalimantan

2.2.6. Pola Pemukiman Yang Menunjang Kesehatan 2.3. Sitem Religi

2.3.1. Kosmologi

2.3.2. Praktek Keagamaan dan Kepercayaan Tradisional 2.3.3. Pengobatan Sangiang

2.3.4. Besumuk

2.3.5. Pengobatan Danum Tawar

2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti

2.4.2. Sistem Kekerabatan

2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5. Pengetahuan Tentang Kesehatan

2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Pengetahuan Tentang Obat Tradisional 2.5.3. Pengetahuan Tentang Biomedikal

2.5.4. Pengetahuan Tentang Makanan dan Minuman 2.5.5. Pengetahuan Tentang Pelayanan Kesehatan

2.5.6. Persepsi Masyarakat Tentang Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa

2.6.1. Bahasa Dayak Ngaju 2.6.2. Bahasa Banjar 2.6.3. Bahasa Indonesia 51 52 52 54 61 63 65 70 71 71 73 84 88 88 89 89 90 91 95 95 100 100 101 102 102 103 103 104 104

(10)

2.7.1. Tarian Manasai

2.7.2. Organ Tunggal dan Dangdut 2.7.3. Musik Tradisional Kecapi 2.8. Mata Pencaharian

2.8.1. Kebun Karet Rakyat

2.8.2. Para Penambang Emas dan Puya 2.9. Teknologi dan Peralatan

BAB 3 POTRET KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA MUROI RAYA

3.1. Kondisi Pra Hamil di Desa Muroi Raya 3.1.1. Pengetahuan Remaja tentang Reproduksi

3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil

3.2. Kondisi Kehamilan di Desa Muroi Raya 3.2.1. Pendapat Masyarakat Terhadap Kehamilan 3.2.2. Tradisi Masyarakat dalam Perawatan Kehamilan 3.2.3. Peran Suami dalam Perawatan Kehamilan 3.2.4. Pola Pemeriksaan Kehamilan

3.2.5. Permasalahan Kesehatan Pada ibu Hamil

3.2.6. Permasalahan Ibu Hamil yang Terlacak oleh Petugas Kesehatan

3.2.7. Perilaku Ibu Hamil Ketika Sakit

3.3. Kondisi Menjelang Persalinan di Desa Muroi Raya 3.3.1. Pendapat Masyarakat Menjelang Persalinan 3.3.2. Tradisi Ibu Hamil Menjelang Persalinan 3.3.3. Cara Tradisional Memperlancar Persalinan 3.3.4. Perilaku Keseharian Keluarga dan Ibu Hamil 3.4. Proses Persalinan di Desa Muroi Raya

3.4.1. Alat yang digunakan dalam Proses Persalinan

105 107 108 109 109 110 113 117 117 117 126 131 131 134 143 145 147 148 149 150 151 152 154 158 162 164

(11)

3.5. Kondisi Setelah Persalinan Ibu Hamil 3.5.1. Tradisi yang Dilakukan Pasca Persalinan 3.5.2. Cara Perawatan Bayi

3.5.3. Tradisi Masyarakat terhadap Ari-Ari Bayi Baru Lahir 3.6. Kondisi Masa Nifas Ibu Setelah Melahirkan

3.6.1. Pantangan Makanan Pada Masa Nifas 3.6.2 Obat Tradisional Pada Masa Nifas 3.7. Kondisi Ibu Menyusui di Desa Muroi Raya 3.8. Kondisi Neonatus dan Bayi di Desa Muroi Raya 3.8.1. Cara Perawatan Neonatus

3.8.2. Cara Memandikan Bayi 3.8.3. Pola Asuh Bayi

3.8.4. Jimat yang Digunakan oleh Bayi

3.9. Kondisi Anak dan Balita di Desa Muroi Raya 3.9.1. Pengobatan Tradisional Pada Anak 3.9.2. Ritual Manyadingen/Saki Mandai Anak 3.9.3. Pola Asuh Anak di Desa Muroi Raya 3.9.4 Kondisi Malnutrisi Pada Anak

BAB 4 BUDAYA PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT MASYARAKAT DI DESA MUROI RAYA

4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan 4.2. Penimbangan Bayi dan Balita 4.3. Pemberian ASI Eksklusif

4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 4.5. Pemakaian Jamban Sehat

4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat Desa Muroi Raya 4.7. Konsumsi Buah dan Sayur

4.8. Kegiatan Merokok Masyarakat 4.9. Penggunaan Air Bersih

170 170 172 174 174 174 175 177 178 178 179 181 181 184 184 186 191 194 197 197 200 201 201 202 203 204 206 207

(12)

BAB 5 PENYAKIT YANG DOMINAN DIDERITA MASYARAKAT DI DESA MUROI RAYA

5.1. Malaria dan Demam Berdarah 5.2. Diare

5.3. ISPA 5.4. Hipertensi

BAB 6 TETESAN DANUM TAWAR DI DUSUN SERIBU AKAR 6.1. Letak Desa dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan

6.2. Kepercayaan Masyarakat Mengenai Penyakit Akibat

Pulih

6.2.1. Danum Tawar Sebagai Pengobatan Tradisional Etnik Dayak Ngaju di Muroi Raya

6.2.2. Pengobatan Tradisonal Melalui Media Danum Tawar 6.3. Khasiat Danum Tawar Menurut Masyarakat

6.4. Penyakit yang Disembuhkan Melalui Media Pengobatan

Danum Tawar

6.5. Gambaran Perspektif Masyarakat Mengenai Kematian Ibu di Desa Muroi Raya

6.5.1. Gambaran Perspektif Tenaga Kesehatan Mengenai Kematian Ibu di Desa Muroi Raya

6.5.2. Gambaran Perspektif Perangkat Desa Mengenai Kematian Ibu di Desa Muroi Raya

6.6. Gambaran Perspektif dalam Ilmu Kesehatan Mengenai Kematian Ibu dan Balita di Desa Muroi Raya

6.6.1. Definisi Pre Eklamsia 6.6.2. Tanda-tanda Pre Eklamsia 6.6.3. Golongan Pre Eklampsia 6.6.4. Faktor Risiko Pre Eklampsia

6.6.5. Pencegahan Pre Eklampsia dan Eklampsia

209 209 213 215 216 219 219 222 227 230 235 236 238 241 247 249 250 251 253 254 254

(13)

7.1. Kesimpulan 7.2. Rekomendasi INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA 257 258 261 268 270

(14)

Tabel 2.1. Data Penduduk di Kapuas Tahun 2013

(15)

Gambar 2.1. Puskesmas Danau Rawah

Gambar 2.2. Jalan Darat Menuju Puskesmas Danau Rawah Gambar 2.3. Hasil Karet yang Disimpan di Bawah Kolong

Rumah

Gambar 2.4. Denah Kebun Karet Milik Rakyat di Dusun Pantar Kabali

Gambar 2.5. Pahelat

Gambar 2.6. Rumah Etnik Banjar Gambar 2.7. Manyadingen Anak Gambar 2.8. Tarian Manasai Gambar 2.9. Dangdutan

Gambar 2.10. Pohon Karet Yang Diambil Getahnya Gambar 2.11. Mendulang Puya

Gambar 2.12. Lanting Gambar 2.13. Sambang

Gambar 3.1. Daun pohon nangka yang telah kering dibakar untuk mempercepat proses penyembuhan luka setelah sunat

Gambar 3.2. Prosesi Tampung Tawar Pada Pernikahan Salah Seorang Remaja di Desa Muroi Raya

Gambar 3.3 Lanting Tempat Penambang Emas dan Puya Gambar 3.4. Ramuan akar-akaran untuk mendapatkan

kehamilan

Gambar 3.5. Seorang Nenek yang Sedang Menganyam sebuah Lontong

Gambar 3.6. Seorang Anak Menggunakan Lontong untuk Mengambil Air Minum di Sungai

26 29 31 57 66 68 76 106 107 109 111 113 114 120 122 124 128 130 130

(16)

Gambar 3.8. Seorang Ibu Hamil sedang Mengambil Air di Sungai dengan Menggunakan Jerigen

Gambar 3.9. Sayur Kelakai yang Dikonsumsi Ibu Hamil di Desa Muroi Raya

Gambar 3.10. Tanaman Kelakai (Stenochlaena palustris Bedd)

Gambar 3.11. Palis yang Dipasang Pada Kedua Ibu Jari Kaki Gambar 3.12. Kedua Ibu Jari Kaki Ibu Hamil Menggunakan

Palis

Gambar 3.13. Mangkok Putih Polos yang Digunakan untuk Ritual

Gambar 3.14. Sebuah Balayung yang Digunakan untuk Ritual

Gambar 3.15. Daun Pawah sebagai Tanaman Palusur Ibu Hamil

Gambar 3.16. Daun Uru Hapit sebagai Tanaman Palusur Ibu Hamil

Gambar 3.17. Seorang Ibu yang Sedang Mencuci Bahan Makananyang Akan Diolah Menjadi Sayur

Gambar 3.18. Kondisi Sampah yang Dibuang Langsung di Bawah Kolong Rumah Tempat Tinggal Warga Gambar 3.19. Penggunaan Alat Memasak Di Desa Muroi

Raya yang Sudah Menggunakan Kompor Sumbu Gambar 3.20. Akar Kayu yang digunakan Ibu Pasca

Melahirkan Sebagai Obat Tradisional

Gambar 3.21. Cara Memandikan Bayi di Desa Muroi Raya Gambar 3.22. Ibu Meletakkan Bayi di dalam Pangkuannya

yang Telah Dilapisi Sebuah Kain Bahalai

Gambar 3.23. Palis yang Digunakan oleh Seorang Bayi pada Lengan Kirinya

133 138 139 142 142 153 154 157 157 159 160 161 176 179 180 182

(17)

Gambar 3.25. Persyaratan dan Perlengkapan dalam Ritual

Manyadingen

Gambar 3.26. Seorang Ibu Menyiapkan Kain Bahalai Pada Acara Ritual Manyadingen

Gambar 3.27. Tampung Tawar dalam Ritual Manyadingen Gambar 3.28. Seorang Ayah Sedang Memandikan Anak

Perempuannya di Sungai Pantar

Gambar 3.29. Kegiatan Bernyanyi dan Berjoged oleh Anak-anak di Desa Muroi Raya

Gambar 4.1. Sayur Hasil Ladang

Gambar 4.2. Ibu Sedang Menumbuk Daun Singkong Gambar 5.1. 10 Besar Penyakit di Puskesmas Danau

Rawah

Gambar 6.1. Salah Satu Contoh Buku KIA Pada Lembar Pencatatan Pemberian Imunisasi Milik Salah Seorang Ibu di Desa Muroi Raya

Gambar 6.2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang

TidakDimanfaatkan Lagi di Desa Muroi Raya (Dusun Pantar Kabali)

Gambar 6.3. Masyarakat Desa Muroi Raya Meminta

Danum Tawar dari Beberapa Ulama yang Dapat

Melakukan Pengobatan Menawar

188 189 190 192 194 205 205 216 220 221 231

(18)

BAB 1

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang Penelitian

Setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Seseorang dikatakan sehatdalam komunitas tertentu jika dia sehat secara fisik, jiwa, dan rohaninya. Ada lagi komunitas yang mengatakan bahwa tidak cukup orang itu dikatakan sehat jika mementingkan diri sendiri tanpa mementingkan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Menurut filosofi bahwa manusia itu harus menjaga hubungan dengan dunia bawah (tanaman, hewan, air, lingkungan fisik), dengan dunia tengah (dengan sesama manusia) dan dunia atas (hubungan manusia dengan roh dan Tuhan).

Setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dideritanya. Upaya pencarian kesehatan ini bisa dilakukan sendiri maupun minta pertolongan ke orang lain. Usahatersebut merupakan upaya manusia mengatasi permasalahan kesehatan.

Masyarakat memiliki budaya yang menyesuaikan lingkungan dimana dia tinggal, tradisi turun temurun, memiliki potensi yang besar mempengaruhi kesehatan baik dari sisi

(19)

negatif maupun positif. Tradisi-tradisi yang negatif ini bisa menjadi permasalahankesehatan. Hal itu tidak terlepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan menjadi penentu derajat kesehatan.

Survei Demografidan Kesehatan Indonesia (SDKI) pernah melakukan penelitian antara tahun 2007 sampai 2010. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa angka Kematian Ibu (AKI) ada peningkata dari 228 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) mengalami penurunan dari 34 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Dari data ini menunjukkan ada peningkatan pada Angka Kematian Ibu dan ada penurunan pada Angka Kematian Bayi. Sementara Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia tertinggi di ASEAN.

Kementerian kesehatan mempunyai harapan berdasar kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goals), diharapkan tahun 2015 AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Harapan pencapaian ini di Indonesia juga tidak bisa disamakan per kabupaten sebab beragamnya angka kepadatan penduduk di Indonesia dengan luas wilayah per kabupaten juga berbeda. Hal ini menjadikan hal yang spesifik di masing-masing daerah menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini juga dikatakan oleh Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas bahwa Kapuas atau wilayah Kalimantan pada umumnya tidak bisa disamakan dengan Jawa yang jumlah penduduknya perkilometer perseginya sangat berbeda jauh kepadatannya.

Masalah kesehatan terkait sosial budaya masyarakat menjadi permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih

(20)

mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan etnis tertentu. Masalah kesehatan yang spesifiklokal terkait dengan sosial budaya setempat perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga bisa dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan sesuai dengan permasalahan spesifik lokal. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.1

Salah satu contoh bagaimana pembangunan di sektor kesehatan telah memarginalkan atau bahkan membunuh berbagai bentuk kreasi dan pengetahuan lokal adalah buku yang ditulis Gutomo Priyatmono yang berjudul Bermain dengan

Kematian: Potret Kegagalan Pembangunan Kesehatan

Monokultur di Negeri 1001 Penyakit. Pembangunan nasional

yang seharusnya bersifat multikultur dalam praktek menjadi tereduksi ke dalam kebijakan yang bersifat monokultur yang berakibat membatasi ruang gerak masyarakat. Kongkretnya, menurut penulis buku ini, pembangunan kesehatan di bidang malaria telah membunuh pengetahuan lokal tentang kesehatan masyarakat dalam kaitannya dengan pengetahuan penyakit malaria itu sendiri. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan pengobatan malaria yang secara kultur telah ada sebelum kebijakan pemerintah masuk menjadi termarginalkan dan justru mendatangkan kebingungan masyarakat yang bersangkutan.2

1

Protokol Riset Etnografi Kesehatan 2014

2

Heru Nugroho (Mewaspadai Pembangunan yang Menggusur Lokalitas) sebuah Pengantar dalam buku “Bermain dengan Kematian: Potret Kegagalan

(21)

Budaya ini terkait dengan ide gagasan, pola perilaku, dan tindakan yang dilakukan seseorang dalam upaya pencarian untuk mewujudkan kesehatan dirinya. Tindakan dan perilaku keseharian dipengaruhi oleh pemahaman budaya yang tertanam dalam dirinya. Sehingga apa yang dipahaminya sangat subyektif, karena menurut orang tersebut itulah hal terbaik dari apa yang diketahuinya. Terlepas hal itu salah atau benar menurut orang di sekitarnya.

Sehingga dalam pendekatan budaya ini ada istilah emik dan etik.Emik itu adalah pandangan menurut pelaku budaya sedangkan etik adalah penilaian orang luar terhadap pelaku budaya tersebut. Penulisan secara emik dan etik ini akan menghasilkan suatu tulisan yang utuh dalam istilah lain disebut holistik atau menyeluruh. Tulisan tentang suatu etnis tertentu itu disebut dengan etnografi.

Dalam perkembangannya etnografi juga tidak lepas dari perdebatan para ahli yang saling mengkritik atas metodologi yang digunakan oleh mereka. Menurut Goodenough (1964 : 7-9) ada tiga masalah pokok. Pertama mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Misalnya, karena begitu tertarik pada sistem kekerabatan maka dalam etnografinya hal-hal yang bersangkutan dengan sistem kekerabatan itulah yang diuraikan dengan sangat mendalam, sedangkan masalah yang berkaitan dengan agama, ekologi dan teknologi tidak begitu diperhatikan. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat dibandingkan, atau seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, mengingat para ahli antropologi menggunakan metode yang berbeda dalam mendapatkan data tersebut, disamping tujuan mereka yang berlainan pula. Ketiga menyangkut soal klasifikasi. Agar data dapat dibandingkan

(22)

biasanya diadakan pengklasifikasian terlebih dahulu, dan di sini diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara ahli antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Sebagai contoh bisa kita ambil misalnya penggolongan suatu Etnik bangsa dalam kelompok dengan sistem patrilineal, double descent, atau matrilineal.

Beberapa masalah diatas menimbulkan kesadaran di kalangan ahli antropologi akan kelemahan cara pelukisan kebudayaan yang selama ini ditempuh, dan ini mendorong mereka untuk mencari model yang lebih tepat. Salah satu model yang kemudian dipakai adalah linguistik (Goodenogh, 1964a; 1964b), yakni dari fonologi. Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya, yakni memakai simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet fonetia. Cara pelukisan seperti itu dalam antropologi kemudian dikenal sebagai pelukisan etik dan emik (diambil dari fonetik dan fonemik). Mengingat penggunaan model tersebut menuntut peneliti berangkat dari “dalam”- yaitu dari sudut pandangan orang yang diteliti. (Ahimsa Putra, Jurnal Masyarakat Indonesia: 105-106). Sudut pandang orang yang diteliti ini disebut etnosains. Etnosains ini menjadi penting untuk memahami cara pandang masyarakat lokal terhadap kesehatannya. Pemerintah khususnya Dinas Kesehatan tentu akan lebih pas dalam melakukan kebijakannya jika memahami cara pandang masyarakat lokal ini.

1.2. Status Kesehatan Kabupaten Kapuas

Kabupaten Kapuas merupakan kabupaten yang dilewati Sungai Kapuas yang membujur dari Utara ke Selatan. Sungai Kapuas ini menurut cerita penduduk awalnya merupakan jalur utama transportasi air. Sehingga bangunan utama dan kantor

(23)

pemerintahan yang dibangun jaman dahulu mendekati tepi sungai dan dibangun rumah panggung untuk menyesuaikan pasang surut air sungai. Pada perkembangan selanjutnya dibangun jalan darat yang sekarang menjadi jalur transportasi utama di Kapuas.

Pertambahan jalur transportasi darat membuat dampak pada perkembangan pemukiman yang sebelumnya mendekati wilayah jalur sungai sekarang menjadi bertambah dan mendekati perkembangan jalur darat. Hal ini tampak pada pembangunan jalan darat dari Palangkaraya ke Kabupaten Kapuas yang di beberapa titik untuk mengatasi rawa, pemerintah membuat jalan yang mengambang di atas rawa.

Perkembangan kabupatenKapuas mengalami pemekaran dan perkembangan kepadatan penduduknya tidak merata. Pada tahun 2002 terjadi pemekaran wilayah kabupaten yang dibagi menjadi 3 kabupaten: Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Gunung Mas. Kepadatan penduduk tetap mendekati pusat kota dan kabupaten Kapuas yang menempati wilayah yang lebih padat dari daerah lain. Dalam buku Kapuas dalam Angka (2013) disebutkan jumlah penduduk Kabupaten Kapuas tahun 2012 adalah 339.262 orang dengan kepadatan penduduk paling jarang ada di Kecamatan Mandau Talawang yaitu rata-rata 4,16 orang per kilometer persegi dan yang paling padat ada di Kecamatan Selat yakni 523.91 orang per kilometer persegi. Rata-rata kepadatan penduduk di Kapupaten Kapuas ini antara jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayahnya adalah 22,62 per kilometer persegi.

Kabupaten Kapuas merupakan salah satu dari 14 Kabupaten atau Kota yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayah Kabupaten Kapuas adalah 14.999 Km2 atau 14.999.000 Ha (9,77 persen dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) yang terbagi dalam dua kawasan besar yaitu kawasan

(24)

pasang surut (umumnya di bagian Selatan) yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan dan daerah non pasang surut (umumnya di bagian Utara) yang merupakan potensi lahan perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta. Di bagian Utara beberapa wilayah hutan mulai dibuka untuk perkebunan sawit.

Bagian Utara merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100-500 meter dari permukaan air laut dan mempunyai tingkat kemiringan antara 8-15 derajat dan merupakan daerah pegunungan atau perbukitan dengan kemiringan kurang lebih 15-25 derajat.Bagian Selatan terdiri dari pantai dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-5 meter dari permukaan laut dan mempunyai elevasi 0-8% serta dipengaruhi oleh pasang surut dan merupakan daerah yang mempunyai potensi banjir yang besar (air laut pasang atau naik).3

Pada akhir tahun 2012 terjadi pemekaran di tingkat desa dan kelurahan di Kabupaten Kapuas sehingga Kabupaten Kapuas membawahi 17 Kecamatan, 231 Desa atau kelurahan yang terdiri dari 214 desa dan 17 kelurahan. Bila dilihat dari jumlah desa atau kelurahan berdasarkan kategori desa atau kelurahan, jumlah desa swadaya sebanyak 33 desa atau kelurahan, desa swakarya sebanyak 62 desa atau kelurahan dan desa swasembada sebanyak 58 desa atau kelurahan. Dari jumlah 204 desa atau kelurahan, yang masih berstatus sebagai desa tertinggal sebanyak 29 desa atau kelurahan atau 14,21%.

Pemekaran atau pemecahan desa ini tidak juga berjalan dengan baik sesuai konsep yang direncanakan. Hubungan dalam masyarakat di desa yang tidak mudah begitu saja dipisah berdasarkan luas wilayah teritorial. Seperti cerita di Dusun

3

(25)

Karahau yang secara administratif, pemerintah menginginkan Dusun Karahau masuk wilayah Desa Baru Sei Gita (Sungai Gita) namun warga sendiri menginginkan mereka tetap bergabung ke wilayah Muroi Raya karena merasa jasa mereka atau kapital mereka disumbangkan ke Pantar Kabali dan mereka merasa punya hak akses atas bangunan yang mereka kerjakan bersama seperti Posyandu.

Berdasarkan data tahun 2012 seluruh desa dan kelurahan aparat atau perangkat desa dan kelurahan sudah terisi semuanya, yaitu jumlah kepala desa sebanyak 153 orang, sekretaris desa sebanyak 118 orang, staf desa sebanyak 764, sedangkan jumlah lurah sebanyak 14 orang dan sekretaris kelurahan sebanyak 13 orang dan staf kelurahan sebanyak 56 orang. Ada 3 kelurahan dan 61 desa pemekaran di akhir tahun2012 belum beroperasional dikarenakan perangkat desa atau kelurahan belum ada baik perangkat aparatur maupun sarana dan prasarana kelurahan atau desa.

Dalam Profil Kesehatan Kabupaten Kapuas 2012 disebutkan bahwa Dinas Kesehatan mempunyai visi dalam “Menuju Kapuas Sehat Tahun 2013” di sini disebutkan bahwa derajat kesehatan di wilayah Kabupaten Kapuas adalah suatu kondisi yang merupakan gambaran masyarakatKabupaten Kapuas di masa depan, yakni masyarakat yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, terlindung dari kemungkinan buruk akibat penyakit menular, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optima.4

4

(26)

Untuk mewujudkan visi itu perlu kerja keras yang sudah dirumuskan dalam misi dan sasaran strategis yang sudah dirancang agar tujuan tersebut tercapai. Disamping itu masih adanya beberapa desa yang tertinggal dan jauh dari jangkauanpelayanan kesehatan membuat mimpi untuk mewujudkan derajat kesehatan yang bermutu secara adil dan merata menjadi terhambat. Hal ini kiranya yang menjadi prioritas sasaran untuk mewujudkan “Kapuas Sehat” tersebut.Visi ini dirasa masih jauh dari capaian karena pada kenyataannya Kabupaten Kapuas berdasarkan IPKM tahun 2007 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menempati urutan 382. Data IPKM ini juga yang dijadikan acuan mengapa Kapuas dipilih sebagai lokasi penelitian. Data IPKM 2007 menunjukkan bahwa persalinan oleh tenaga kesehatan 48,75%, kunjungan neonatus pertama 50,0%, imunisasi 14,50% dan penimbangan balita 12,22%.

Melihat kondisi geografis yang berawa khususnya di bagian Selatan namun tidak terhindarkan di bagian Utara juga merupakan jalur sungai dan anak sungai yang membuat genangan air di permukaan tanah tinggi khususnya di musim penghujan membuat Kapuas ini termasuk rentan terhadap banjir. Setelah melihat data bahwa penyakit, hampir tersebar di seluruh desa di Kabupaten Kapuas adalah Malaria. Ada 66 desa di Kapuas yang menjadi daerah endemis malaria berkategori merah atau tinggi. Data Kematian Maternal dan Neonatal Kabupaten Kapuastahun 2013 dari 25 Puskesmas yang ada di Kabupaten Kapuas ada beberapa Puskesmas cakupan desanya dihuni penduduk yang mayoritas adalah Etnis Dayak Ngaju diantaranya Mandomai, Mantangai, Danau Rawah, Lamunti Timpah, Pujon, Sei Hanyo, Jangkang dan Sei Pinang.Dari data tersebut ada 2 Puskesmas yang mencatat ada kasus kematian Ibu yaitu Puskesmas Danau Rawah dan Lamunti.Berdasarkan fokus group

(27)

diskusi dengan Kabid Bina Pengendalian Masalah lingkungan, beberapa staf dan bidan Puskesmas Danau Rawah maka kami memutuskan bahwa Desa Muroi Raya sebagai lokasi penelitian Riset Etnografi Kesehatan.

Pada survei awal ketika peneliti mengurus ijin penelitian di lokasi penelitian, Muroi Raya menurut keterangan Sekretaris Desa terdiri dari 4 dusun yaitu: Pantar Kabali, Karahau, Tanjung Jaya dan Bukit Keramat. Ada informasi tentang penyembuhan tradisional masyarakat banyak yang menyebut untuk pengusiran roh yang merasuki seseorang beberapa masih menggunakan ritual Badewa. Yang bisa melakukan ritual Badewa ini hanya satu dan tinggal di Dusun Karahau yang menurut pandangan Sekertaris desa masuk wilayah Desa Sungai Gita.

Penduduk di Dusun Karahau menginginkan bahwa Dusun Karahau ini tetap masuk wilayah Muroi Raya dan mereka tidak mau dimasukkan ke bagian Desa Sungai Gita karena dulunya mereka memang menjadi bagian dari Desa Muroi Raya termasuk Dusun Sungai Gita dulu juga masuk bagian dari Muroi Raya, namun sejak pemekaran desa tahun 2012, Sungai Gita masuk menjadi Desa tersendiri dan Karahau secara administratif kewilayahan dimasukkan dalam wilayah Desa Sungai Gita. Oleh karena itu dalam penelitian ini secara emik, Dusun Karahau kami masukkan dalam wilayah Desa Muroi Raya karena permasalahan tersebut.

Selain permasalahanstatus Dusun Karahau, menurut staf Dinas Kesehatan dan Puskesmas Danau Rawah tercatat ada satu kasus kematian ibu dan bayi selama tahun 2013. Namun ketika berkunjung ke dusun, berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa warga yang menjadi informan di lokasi penelitian, peneliti mendapat informasi bahwa pada tahun 2013 di Desa Muroi Raya terdapat sebanyak 11 orang untuk kasus kematian ibu dan anak, tetapi data yang peneliti peroleh di Dinas

(28)

Kesehatan Kabupaten hanya terdapat 1 kasus saja untuk kematian ibu dan anak. Berdasarkan hasil telusuran peneliti di lokasi penelitian, lokasi yang menjadi tempat kasus kematian ibu dan anak tersebut meliputi Dusun Pantar Kabali sebanyak 7 orang yang meninggal (4 orang ibu dan 3 orang anak), Dusun Tanjung Jaya 1 orang anak dan di Dusun Karahau 3 orang (1 orang ibu dan 2 orang bayi). Keterangan dari beberapa informan penyebab kematian ibu dan anak tersebut disebabkan oleh adanya kasus keguguran, usia ibu yang terlalu muda, serta pengetahuan ibu hamil yang kurang mengenai kehamilan, serta penyakit DBD. Banyaknya kasus kematian tersebut disebabkan karena pada saat ibu tersebut sedang hamil, mereka mengalami keluhan pusing, sakit kepala, flu, batuk, dan sebagainya. Sehingga tanpa pikir panjang ibu tersebut langsung membeli obat di warung dan meminum obat tersebut secara bersamaan.

Selama ini di Dusun Pantar Kabali ada Posyandu yang beberapa waktu lalu ada Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang membantu di sini. Namun ketika peneliti berkunjung ke Dusun Pantar Kabali sudah beberapa minggu tenaga TKS tersebut tidak berada di Posyandu karena anaknya sakit. Masyarakat hanya bilang petugas TKS tersebut turun. Selain itu jarak yang jauh ke Puskesmas sekitar 37 km dari dusun dan sarana jalan yang buruk membuat warga tidak mau ke Puskesmas dan lebih memilih berobat ke Penyembuh Tradisional seperti Pengobat Danum

Tawar, Sangiang, atau Bidan Kampung. Ketika jarak yang jauh

dari Puskesmas dan masyarakat tidak mendekati Puskesmas maka Puskesmas yang proaktif mendekati masyarakat dengan mengirim tenaga Puskesmas Keliling (Pusling) setiap 2 Minggu sekali ke Muroi Raya. Di saat TKS dan tenaga Pusling tidak ada di tempat maka ketika warga mengalami sakit mereka akan menggunakan obat warung.

(29)

Kunjungan ke Puskesmas dan bertemu dengan Dokter Puskesmas kemudian dokter bercerita bahwa masyarakat di Danau Rawah maupun Muroi Raya jarang yang merebus air sungai untuk diminum, sehingga kasus diare termasuk tinggi di Puskesmas Danau Rawah. Alasan masyarakat kalau diminum airnya tidak enak dan kurang segar. Sudah seringkali diingatkan, namun sampai sekarang masih saja masyarakat meminum air mentah.

Peneliti sebulan tinggal di Dusun Pantar Kabali dan hidup berbaur dengan masyarakat, peneliti sering mendengar cerita ada yang memelihara pulih(semacam racun yang berwujud minyak)di desa ini. Beberapa informan cerita bahwa orang yang memelihara pulih itu untuk kesugihan, namun menurut cerita warga mereka yang terkena memakan minyak pulih itu bisa muntah darah dan jika tidak mendapat pertolongan yang tepat bisa meninggal dunia. Beberapa informan cerita bahwa pulih itu bisa ditanggulangi dengan danum tawar.

1.3. Permasalahan Penelitian

1) Bagaimana mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan di masyarakat?

2) Bagaimana gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial budaya terkait kesehatan Ibu dan Anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih dan sehat pada Etnis Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas?

3) Bagaimana pola kehidupan Etnis Dayak Ngaju di Desa Muroi Raya yang memungkinkan adanya celah untuk meningkatkan taraf kesehatan yang lebih baik dan upaya mengurangi adanya risiko kematian ibu dan anak?

(30)

1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1.Tujuan Umum

Mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Muroi Raya. 1.4.2.Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan di masyarakat.

2. Mendapat gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial budaya terkait kesehatan Ibu dan Anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih dan sehat pada Etnis Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas.

3. Memahami polakehidupan Etnis Dayak Ngaju di Desa Muroi Raya yang memungkinkan adanya celah untuk meningkatkan taraf kesehatan yang lebih baik dan upaya mengurangi adanya risiko kematian ibu dan anak.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Berdasarkan diskusiyang dilakukan peneliti dengan Bidang Pelayanan Kesehatan dan Bidang Bina Pengendalian Masalah Kesehatan di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas. Pada diskusi ini yang menjadi tujuan lokasi penelitian adalah desa dengan mayoritas penduduknya adalah Etnis Dayak Ngaju. Kemudian desa tersebut mempunyai permasalahan yang berat khususnya menyangkut Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Menular, Penyakit Tidak Menular, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

(31)

Peneliti datang untuk yang kedua kalinya di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas untuk menjelaskan maksud dan menyampaikan surat ijin penelitian yang akan dilaksanakan selama dua bulan mulai tanggal 5 Mei 2014. Hasil penjajagan awal waktu mengurus ijin daerah yang sudah masuk sampai Muroi Raya. Temuan kami di sana juga menemukan bahwa ketika kami mengikuti petugas Puskesmas Keliling dari Puskesmas Danau Rawah melakukan pemeriksaan, ada satu pasien positif penderita Malaria dan daerah itu merupakan daerah merah Malaria. Ada kasus ibu meninggal dan bayi meninggal. Mayoritas etnisnya adalah Dayak Ngaju.

Karena harus berdasarkan data maka Kepala Bidangmemanggil stafnya yakni Bagian Yankes Kesehatan Dasar salah satunya menangani Kesehatan Ibu dan Anak. Dari data di daerah Muroi Raya pernah terjadi kasus demam berdarah dan pernah dilakukan penyemprotan.

Menurut Bagian Yankes, kantung daerah Filariasis atau kaki gajah ada di derah Mandomai. Mandomai sendiri juga kantung Etnik Dayak Ngaju yang beragama muslim namun masih juga percaya dengan tradisi yang dahulu. Penganut Kaharingan hanya sebagian kecil. Kalau masalah KIA yang masih menjadi masalah di sini adalah persalinan itu karena banyak yang melahirkan di rumah. Kemudian staf yankes menambahkan bahwa daerah Danau Rawah itu memang pelayanan kesehatan masih kurang sehingga ada kemungkinan banyak ibu hamil yang tidak terpantau pelayanannya oleh Puskesmas dan juga jarak yang jauh dari akses kesehatan.

Dengan pertimbangan dan masukan dari Dinas serta masukan dari Koordinator Wilayah, bahwa Mandomai adalah wilayah yang sangat dekat dengan kota dan akses jalan yang lebih baik dibandingkan Muroi Raya ada kemungkinan tingkat

(32)

kesehatan masyarakat lebih baik daripada Muroi Raya yang teritorialnya jauh dari akses jalan darat dan hanya bisa ditempuh melalui jalan sungai maka tim peneliti akhirnya memutuskan untuk memilih lokasi penelitian di Desa Muroi Raya.

1.5.2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data untuk penelitian ini lebih banyak dengan metode wawancara mendalam dengan informan kemudian observasi partisipasi. Peneliti tinggal selama kurang lebih 2 bulan di Desa Lokasi Penelitian dan mengikuti kegiatan masyarakatsetiap hari sambil mengamati dan wawancara. Pada waktu tertentu peneliti mengikuti informan seperti bekerja di lanting atau ladang dan aktivitas mereka setiap hari seperti mandi di sungai serta menghadiri upacaraadat yang ada di dusun tempat informan berada.

Buku Kapuas dalam Angka, Profil Kesehatan, dan data lain seperti Angka Kematian Maternal dan Neonatal, Data Daerah Endemis Malaria juga data tentang 10 penyakit terbesar di Puskesmas kami gunakan untuk menentukan lokasi penelitian dan informan yang perlu di wawancarai dan gambaran menyeluruh tentang tingkat kesehatan di masyarakat tersebut. Selain penelusuran data sekunder dan dokumen, kami juga melakukan tinjauan pustaka khususnya menyangkut data sejarah dan kejadian sebelumnya melalui buku di perpustakaan maupun buku yang kami dapatkan di lokasi penelitian serta mencari informasi di internet tentang topik yang kami butuhkan.

1.5.3. Cara Analisis Data

Riset Khusus Budaya Kesehatan ini menggunakan metode penelitiannya James Spradley maka untuk analisis datanya peneliti menggunakan analisis data cara Spradley.Dalam

(33)

penulisan alur penelitian maju bertahap ada beberapa langkah analis yang disarankan oleh Spradley sebelum sampai ke penulisan etnografi.5 Analisis etnografis merupakan penyelidikan berbagai bagian itu sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Sering kali di luar kesadaran mereka, etnografer harus mempunyai cara untuk menemukan pengetahuan yang masih terpendam ini.

Untuk mengalisis tentang masalah kesehatan menggunakan modifikasi teorinya H.L. Blum (1974) dan Koentjaraningrat (1979). Derajat Kesehatan Masyarakat tidak saja ditentukan oleh adanya atau baiknya Pelayanan Kesehatan saja tapi juga faktor lingkungan dan budaya masyarakat sangat mempengaruhi termasuk teknologi dan 6 unsur budaya (mata pencaharian, religi, bahasa, pengetahuan, organisasi sosial dan kesenian).

(34)

BAB 2

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

PANTAR KABALI DAN TAPIAN KARAHAU:

JENDELA POTRET ETNIK DAYAK NGAJU DI

MUROI RAYA

2.1. Sejarah Kalimantan yang Berdampak di Kehidupan Keseharian Warga Muroi Raya

Kalimantan atau Borneo merupakan simpang empat bagi kebudayaan di jaman prasejarah dan jaman sejarah awal. Di jaman Neolit, pendatang dari Cina membawa barang kesenian dan teknologi Dinasti Chou dan kebudayaan Cina Vietnam Dongson yang telah mempengaruhi seluruh bagian Barat Indonesia. Di beberapa rumah masih tampak peninggalan guci tua dan keramik yang dikoleksi dari jaman ini. Salah satu informan bercerita bahwa dia menunjukkan sebuah keramik cina yang digunakan untuk menyimpan minyak kuyang. Minyak ini jika dioleskan pada lembaran uang dan jika uang itu digunakan untuk membelanjakan barang selang beberapa minggu uang itu bisa kembali di samping keramik kecil buatan cina tersebut. Hanya keramik cina ini yang bisa digunakan untuk menyimpan minyak kuyang, keramik yang lain kuyangnya tidak mau tinggal di situ menurut cerita salah seorang informan.

Inskripsi Sansekerta dari sekitar tahun 400 M membuktikan pengaruh Hindu di Kalimantan Timur. Besar

(35)

kemungkinan daerah ini dahulu menjadi pusat perdagangan pada jalur yang banyak dilalui antara Cina, Filipina, dan kerajaan Majapahit di Jawa. Banyak barang perunggu dan porselen gaya Dinasti Chou diketemukan di Kalimantan, dan di daerah pedalaman gong perunggu gaya Cina menjadi alat pembayaran, terutama untuk mahar pada perkawinan.

Di Kalimantan terdapat tiga kelompok etnik utama kelompok keturunan Melayu di pesisir, ialah kelompok pendatang baru yang beragama Islam dan tinggal di kota-kota dan tempat-tempat kecil di muara sungai; kelompok etnik Cina, yang menguasai perdagangan di Kalimantan sejak berabad-abad; dan Etnik Dayak, penduduk asli Kalimantan. Kata “Dayak” dipakai untuk menyebut lebih dari dua ratus Etnik sakat di pedalaman. Semula mereka tinggal di pantai, tetapi kemudian terdesak semakin jauh ke pedalaman oleh pendatang Melayu. Mereka tinggal di tepi sungai dan dataran tinggi, jauh di dalam rimba dan hidup dengan cara yang tak jauh berbeda dari nenek moyang mereka di Jaman Neolit.5

Beberapa waktu yang lalu pengayauan merupakan kegiatan penting diantara beberapa Etnik Dayak. Kepala orang diperlukan agar desa tetap jaya dan untuk keperluan upacara, misalnya pada pembuatan lamin6 baru. Juga diperlukan untuk

menghalau wabah penyakit dan kelaparan serta mengusir roh jahat. Ancaman serangan pengayauan secara terus menerus dari desa tetangga telah merubah rumah panjang menjadi benteng pertahanan yang dipersenjatai dengan kuat. Di beberapa tempat, serambi dibuat dari potongan bambu yang tidak diikat erat,

5

Ian Charles Stewart dan Judith Shaw, 1987:111 “ Indonesia Manusia dan Masyarakatnya”

6

(36)

sehingga berbunyi jika diinjak dan memberi isyarat, bila ada pengayau hendak menyerang di malam hari7.

Pengayauan ini bagi komunitas Dayak waktu itu dianggap hal biasa karena perebutan sumber daya alam dan untuk eksistensi masing-masing Etnik atas penguasaan suatu sumber daya yang mereka klaim milik mereka. Perebutan dan persaingan antar Etnik inilah yang membuat mengayau menjadi bukti mereka telah menaklukkan musuh. Hal ini bagi orang luar terlihat tidak manusiawi dan upaya untuk menghentikan kebiasaan mengayaupun dilakukan. Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung adalah ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Adat Etnik Kahayan) mengumpulkan subEtnik Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak mencapai kesepakatan untuk menghindari tradisi mengayau.8 Tradisi memburu kepala untuk kepentingan upacara tiwah ini dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara Etnik Dayak yang tak kunjung henti. Akhirnya, dalam Musyawarah Damai Tumbang Anoi segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.

Kalimantan waktu itu masih dikuasai penguasa kolonial. Penguasa kolonial yang memandang adat Dayak tidak beradab mencoba menumpangi Musyawarah Damai Tumbang Anoi

7

Charles Stewart, 1987:112

8

Pada masa itu mengayau adalah tradisi memburu kepala orang yang dianggap musuh untuk keperluan tiwah. Tiwah adalah upacara sakral terbesar Etnik Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh. (Riwut, 2003:203).

(37)

dengan mengajukan tuntutan agar perdamaian yang sudah disepakati bersama itu terjamin. Tak hanya itu, Belanda juga menghendaki agar sistem rumah betang yang menampung banyak orang tersebut dianggap tidak sehat sehingga digantikan dengan rumah tunggal dikitari halaman dan kebun. Dengan semakin lunturnya sistem rumah betang, maka perlahan-lahan sistem adat Dayak pun terkikis9.

Membicarakan sejarah Kalimantan Tengah tidak bisa melupakan peran pahlawan pejuang Indonesia yang bernama Tjilik Riwut. Seorang pejuang pada jamannya yang berasal dari Etnis Dayak Ngaju10. Dengan konteks kehidupan masyarakat Dayak pada masa itu, Tjilik Riwut menyadari betul betapa orang Dayak terpuruk oleh berbagai tekanan penguasa kolonial. Kondisi itu membuat Tjilik Riwut sebagai putra Dayak lahir menjadi sosok yang selalu gelisah, terutama gelisah akan nasib Etniknya. Oleh karena itu, ia berjuang untuk perbaikan kehidupan Etniknya.

Perjalanan panjang ditempuh Tjilik Riwut mulai dari melanjutkan sekolah di Jawa sampai akhirnya bergabung dengan pasukan MN 1001 untuk mengusir penjajah Belanda dan perjuangan itu membuahkan hasil. Selain itu peran dan perjuangan Tjilik Riwut juga besar dalam mendirikan Propinsi Kalimantan Tengah dan akhirnya menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama yang memimpin dan mendirikan serta membangun hutan menjadi Kota Palangkaraya

9 Usop, 1993 dalam buku “Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia Belajar

dari Tjilik Riwut” yang ditulis oleh P.M. Laksono, dkk.

(38)

(1959-1967). Diplomasi dan kepemimpinan Tjilik Riwut membuahkan hasil dengan diterbitkannya UU Darurat No.10 tahun 1957 tertanggal 23 Mei Udang Undang tentang pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah dan Bapak RTA Milono ditunjuk sebagai Pejabat Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri.

Setelah Kalimantan Tengah terbentuk, Tjilik Riwut menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah yang pertama (1957-1967). Ibukotanya di Palangkaraya (dulunya adalah Desa Pahandut). Nama Pahandut menurut salah seorang informan adalah nama seorang ayah. Nama anaknya Handut, Orang Dayak kalau menyebut nama seorang bapak biasanya mengambil nama anak pertama karena anak pertamanya namanya Handut makanya dia dipanggil Pak Handut. Karena yang menempati desa ini pertama kali adalah Pak Handut maka diberi nama Desa Pahandut.

Tjilik Riwut di Mata Warga Muroi Raya mempunyai kesan tersendiri. Menurut Bapak Rina salah seorang warga di Muroi Raya bercerita bahwa menurut mereka Tjilik Riwut itu tidak meninggal tetapi muksa.11 Mereka percaya jika dalam keadaan tertentu jika dimintai tolong Tjilik Riwut ini masih bisa membantu warga Dayak yang mengalami kesulitan. Kegemaran Tjilik Riwut di masa mudanya yang senang balampah, sering menjadi tauladan bagi beberapa warga untuk mengikuti langkahnya. Salah satu contohnya adalah informan di Karahau yang berinisial At. Dia cerita ada satu lokasi di hulu sana di sebuah bukit yang merupakan tempat pertemuan tiga anak sungai yang menjadi tempat dimana dulunya Tjilik Riwut sering bertapa atau

11

Muksa adalah orang yang sempurna hidupnya sehingga menurut diangkat ke surga oleh Tuhan. Sehingga di bumi tidak akan ditemui kerangkanya.

(39)

balampah di sana. Tempat ini sangat angker banyak hantunya jika orang bertapa di tempat ini harus mengajak teman. Pernah At mencari buluh perindu12 di situ ketika dia mengambil ada temannya yang menarik pakai tali sehingga dia selamat. Sebab ketika mengambil buluh perindu itu rasanya seperti tinggal disurga, tempat yang damai dan tak mau pergi kemanapun sehingga banyak orang meninggal kelaparan di sana. Banyak tengkorak manusia di tempat itu. Jika dulu Tjilik Riwut sendirian bisa lepas dari tempat itu berarti dia bukan orang sembarangan.

Tjilik riwut juga dianggap berhasil membangun Kota Palangkaraya dan membangun jalan utama sehingga jalan itu sekarang dinamai Jalan Tjilik Riwut, jalan tersebut menghubungkan Sampit dan Palangkaraya. Karena di bagian Selatan Kalimantan Tengah merupakan daerah rawa sehingga jalan yang dibangun di atas rawa merupakan jalan layang yang menyerupai jembatan yang sangat panjang.

2.1.1. Kabupaten Kapuas dan Budaya Sungai

Kabupaten Kapuas memiliki 17 kecamatan. Untuk Unit Pelayanan Kesehatan Kabupaten Kapuas memiliki: 1 buah Rumah Sakit Umum, 6 Klinik Bersalin Swasta, 21 Balai Pengobatan Swasta, 25 Puskesmas Pemerintah, 123 Puskesmas Pembantu, 68 Pondok Bersalin Desa, 50 Pos Kesehatan Desa. Karena Kapuas juga menjadi lokasi tujuan Program Transmigrasi maka ada Unit Kesehatan di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Di beberapa UPT yang ada unit kesehatannya antara lain : UPT Lamunti, Dadahup, Palingkau, Palangkau, Talekung Punai, Mantangai. Di

12

Buluh perindu itu semacam rumput yang ukuran sebesar benang dan jika dimasukkan air bisa bergerak sendiri. Bagi pemiliknya dipercaya untuk keberuntungan ketika mencari emas dan menakhlukkan lawan jenis.

(40)

UPT ini ada Puskesmas Pembantu, Puskesmas, Polindes, Dokter Umum dan Dokter Gigi, dan Tenaga Paramedis. Di Kecamatan Mantangai ada 1 Unit Puskesmas yaitu Puskesmas Danau Rawah, ada 4 Dokter Umum, 1 Dokter Gigi, 36 Perawat, dan 27 Bidan.13 Puskesmas Danau Rawah yang dibangun mendekati sungai merupakan konsep Puskesmas yang melayani masyarakat yang waktu itu memang mayoritas menggunakan transportasi sungai, jika pada akhirnya ada jalan darat yang bisa dilewati walaupun dengan jalan berat dan berpasir itu merupakan perkembangan lain. Konsep Puskesmas Danau Rawah dibangun memang untuk melayani masyarakat yang dekat dengan jalur sungai.

Di Kabupaten Kapuas mengalir satu sungai besar yang mengalir dari hulu sampai ke hilir dan bermuara ke Laut Jawa. Sungai Kapuas ini masih memiliki beberapa anak sungai salah satunya adalah Sungai Muroi. Karena jalur utama transportasi adalah sungai maka pada awalnya segala sarana penting seperti Puskesmas dibangun di mendekati sungai supaya mudah bagi masyarakat untuk mengaksesnya dan mendatangi lokasi tersebut jika sakit. Namun pada perkembangan selanjutnya transportasi darat mulai dibangun dengan menutup areal rawa dengan timbunan tanah dan pasir baru kemudian dibangun jalan dan bangunan di atasnya. Jika lokasi tersebut sulit untuk ditimbun tanah dan pasir maka dibuatlah jalan yang mengapung seperti jalan layang di atas rawa seperti jalan lingkar yang menghubungkan antara Kapuas dan Palangkaraya di beberapa titik dibuat jalan layang di atas rawa-rawa.

13

(41)

Sungai Muroi merupakan anak Sungai Kapuas, menurut cerita salah seorang warga Dusun Pantar Kabali, di hulu sungai Muroi ini ada percabangan yang mengalir ke kiri adalah dihuni oleh orang-orang Kahayan dan yang mengalir ke kanan dihuni oleh orang-orang Dayak Kapuas. Menurut cerita warga yang lain bahasa Orang Kahayan lebih sulit dibandingkan Orang Kapuas. Orang Kahayan bisa berbahasa Kapuas namun orang Kapuas jarang yang bisa berbahasa seperti Orang Kahayan.

Sungai Muroi merupakan anak Sungai Kapuas, meskipun begitu kapal atau perahu yang melintas di sungai ini ada beberapa jenis. Masyarakat menyebut kapal besar yang biasa untuk mengangkut minyak dan barang dagangan merupakan kapal barang. Kapal ini cukup besar dan bisa menampung banyak barang, kapal lain yang digunakan untuk mengangkut penumpang ada beberapa jenis. Kapal yang berukuran sedang dan bisa menampung 25 penumpang oleh warga masyarakat disebut taksi air. Di pelabuhan teluk batu ada beberapa taksi air yang berlabuh di situ. Mereka melayani jalur dari Pelabuhan Teluk Batu menuju ke daerah hulu seperti dusun di atas mulai dari Sungai Gita sampai Tanjung Jaya.

Jenis perahu yang digunakan juga berbeda-beda ada jenis ketinting yaitu perahu kecil dengan ukuran yang lebih pendek namun bisa menempuh perjalanan air di permukaan sungai yang surut karena baling-baling mesin kapal bisa diatur naik dan turun. Jenis yang lain adalah perahu cess, masyarakat menggolongkan perahu cess adalah perahu yang memiliki mesin berkapasitas kecil dan daya tampung bahan bakar juga kecil, perahu cess ini sering dimanfaatkan untuk pergi ke lanting atau memancing ikan serta menuju tempat memantat karet. Perahu lain yang biasa digunakan untuk mengangkut barang yang lebih berat atau mengangkut orang yang lebih banyak adalah perahu donpeng.

(42)

Perahu ini menggunakan mesin donfeng yang berbahan bakar solar dan bisa menampung bahan bakar lebih banyak dan kapasitas mesin lebih besar. Perahu ini bisa digunakan untuk mengangkut penumpang, hasil tambang seperti karet dan puya, atau juga digunakan oleh tukang sayur untuk mengangkut sayur. Ada perahu yang tidak menggunakan mesin dan hanya menggunakan dayung sebagai alat penggerak disebut oleh warga dengan jukung.

Solar dan bensin menjadi bahan bakar utama untuk menjalankan kapal ini. Harga bahan bakar ini semakin ke hulu harganya semakin mahal dan semakin mendekati hilir dan mendekati depot pom pertamina harganya lebih murah. Sehingga harga bahan bakar di hilir dan hulu akan terpaut jauh. 2.1.2. Puskesmas Danau Rawah: Puskesmas Terpencil dan

Terisolir

Puskesmas Danau Rawah adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang terletak di Desa Danau Rawah Kecamatan Mantangai, wilayah kerja Puskesmas Danau Rawah terdiri dari dua desa yaitu Desa Danau Rawah dan Desa Tumbang Muroi. Luas wilayah kerjanya sekitar 1.000 km2 dengan jumlah penduduk 5.890 jiwa, 1.080 jiwa diantaranya tercatat sebagai masyarakat miskin (BPS, 2009).

Ketika peneliti tinggal Dusun Karahau pada waktu itu air Sungai Muroi sedang surut namun ketika tinggal beberapa hari di sana dan turun hujan baru tampak naiknya permukaan air Sungai Muroi yang naik sampai 4 meter dari permukaan ketika surut. Di Daerah agak hilir seperti Tumbang Muroi merupakan salah satu desa di wilayah kerja Puskesmas Danau Rawah yang lebih sering terendam air bila musim hujan, karena pemukiman yang

(43)

memanjang di pertemuan arus Sungai Kapuas dan Sungai Muroi. Banjir selalu terjadi tiap tahun di saat gelontoran air hujan datang dari hulu Sungai Kapuas, tapi masyarakat selalu mengangapnya biasa aja.

Desa Muroi Raya juga menjadi wilayah jangkauandari Puskesmas Danau Rawah karena sejarahnya dulu Pantar Kabali dan dusun di sekitarnya masuk wilayah Desa Danau Rawah. Baru ketika ada pemekaran desa Muroi Raya menjadi desa tersendiri namun masuk wilayah Puskesmas Danau Rawah. Untuk melengakapi fasilitas kesehatan di desa baru ini pada tahun 2012 pemerintah desa mengusulkan pembangunanPosyandu yang dananya menggunakan dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) .

Gambar 2.1. Puskesmas Danau Rawah Sumber: Dokumentasi Peneliti

(44)

Sungai Muroi merupakan sarana transportasi utama bagi dusun yang terletak di tepian sungai. Keberadaan Puskesmas Danau Rawah juga didesain menggunakan jalan sungai ini untuk mempermudah akses pelayanan bagi dusun yang menjadi jangkauan wilayahnya.

Selain jalan sungai ada juga jalan darat yang bisa ditempuh dari Jalan yang tembus ke Jembatan Muroi arah ke Buntok atau Palangkaraya. Namun jalan darat menuju ke Puskesmas Danau Rawah ini tidak direkomendasikan karena jalan yang begitu berat. Walaupun mobil tertentu bisa masuk seperti mobil double gardan Ford Ranger namun untuk mobil lain akan kesulitan masuk dan bisa terperosok ke dalam kubangan lumpur yang dalam. Jalan masuk ke Puskesmas ini masih berupa jalan tanah dan jauhnya kurang lebih 37 km dengan kondisi jalan yang berlumpur, berpasir, dan kubangan yang berair. Jika dari Palangkaraya menuju Puskesmas Danau Rawah melalui jalan darat bisa menggunakan rute sebagai berikut:

A. Palangkaraya Sampai Pelabuhan Teluk Batu

Jarak antara Palangkaraya ke Teluk Batu sekitar 120 km. Jalan ini sudah beraspal dan halus sehingga mobil dapat melaju dengan lancar. Hanya di beberapa titik saja ada jalan berlubang dan satu area yang rawan karena banjir dan berkubang tanah. Namun masih dapat dilewati dengan pelan. Selama dalam perjalanan tampak di kanan kiri jalan ada area hutan yang sudah ditebang gundul dan berganti dengan tanaman sawit. Ketika mendekati Teluk Batu akan banyak berdiri warung di tepi jalan. Penumpang taksi bisa berhenti di salah satu warung, jika merasa haus atau lapar. Di bawah Jembatan Muroi inilah terdapat Pelabuhan Teluk Batu.

(45)

B. Teluk Batu ke Puskesmas Danau Rawah

Jarak dari Teluk Batu ke Puskesmas Danau Rawah hanya 37 km namun jalannya belum beraspal masih berupa jalan tanah yang masih dilewati sungai kecil dan ada jembatan kayu darurat di atasnya. Ada beberapa kubangan yang cukup dalam dan jika pengemudi tidak memahami karakter jalan dan tidak tepat mengarahkan roda dan cara mengatur gas maka mobil bisa terperosok dalam kubangan lumpur yang lumayan dalam. Di tengah jalan antara Teluk Batu dan Puskesmas Danau Rawah, sering sekali taksi liar terperosok kubangan sehingga macet atau mobilnya rusak sehingga berhenti di tengah hutan. Seperti pengalaman peneliti, kami melihat ada sebuah mobil yang berhenti dan tampak sedang melepas roda belakangnya. Ternyata pengait per roda belakang patah sehingga untuk sementara mereka bergantung pada kuatnya tali tampar untuk menggantikan pengait per tersebut. Kami menduga mobil ini yang dimaksud penduduk Danau Rawah sebagai taksi dan kebetulan di salah satu penumpang itu ada Dokter Puskesmas yakni Dokter Hasrul dan Pak Kades Danau Rawah. Kami mengikuti mobil ini di belakangnya, namun karena sang sopir taksi sudah menguasai medan sehingga dia dengan cepat meninggalkan kami dan kami kehilangan jejak.

Puskesmas Danau Rawah terdapat di Desa Danau Rawah dan bisa dikunjungi melalui dua jalur yaitu jalur sungai dan jalur darat. Jalur darat lebih berat dan biasanya memakan waktu lebih lama dan lebih mahal dibandingkan menggunakan transportasi air.

Sulit dan beratnya akses jalan darat menuju Puskesmas Danau Rawah ini membuat warga masyarakat khususnya di wilayah Muroi Raya lebih memilih berobat ke tempat yang lebih dekat dari dusun mereka seperti ke Timpah atau ke Rumah Sakit

(46)

di Palangkaraya. Puskesmas untuk memberikan pelayanan yang lebih baik mereka mengadakan program Puskesmas Keliling. Program ini bertujuan untuk mendekatkan warga ke sarana fasilitas kesehatan juga sebagai sarana promosi kesehatan.

Gambar 2.2.

Jalan Darat Menuju Puskesmas Danau Rawah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Melihat kenyataan bahwa banyak warga yang berobat ke Timpah atau Palangkaraya selain Puskesmas Keliling untuk lebih memperbaiki pelayanan khususnya untuk mendekatkan warga kepada sarana fasilitas kesehatan dokter Puskesmas membuka tempat praktek di Bukit Batu. Menurut Staf Puskesmas Dokter Richard yang membuka praktek di lokasi tersebut. Namun sangat disayangkan usaha yang sudah dirintis dokter Richard ini tidak bertahan lama karena dokter harus pindah tugas ke lokasi lain sehingga lokasi praktek ini akhirnya kosong kembali dan pola provider kesehatan kembali seperti sedia kala.

(47)

2.1.3. Gambaran Sekilas Masyarakat Desa Danau Rawah yang Tinggal di Dekat Puskesmas

Dusun Danau Rawah sendiri kondisi lingkungan dan masyarakatnya juga tidak begitu jauh kondisinya dengan dusun di hulu seperti Pantar Kabali sampai Tanjung Jaya. Beberapa penduduk di Danau Rawah juga mengandalkan karet dan penambangan emas sebagai mata pencaharian utama mereka. Setiap pagi para pemantat karet sudah berjalan ke hutan. Masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai pemantat karet ini sudah bangun dan masuk kebun karet jam 5 pagi. Di tepi jalan menuju hutan banyak tanaman Tabat Barito dan Pasak Bumi. Tabat barito berguna agar tubuh itu kokoh. Pasak Bumi juga banyak manfaatnya khususnya untuk menguatkan stamina tubuh. Selain itu ada tanaman di sekitar tepi jalan sejenis

“mesisin” yang bisa untuk obat kencing manis menurut

keterangan salah seorang pegawai Puskesmas yang bertugas sebagai analis.

Perjalanan menyusuri jalan desa menuju jembatan yang biasa digunakan untuk lalu lintas sungai dari Puskesmas bisa ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 15 menit dan jika air sungai sedang surut, akan tampak kapal-kapal yang seolah tertambat di bawah rumah. Masing-masing kapal ada plat nomornya, plat hitam untuk milik pribadi sedangkan plat kuning untuk taksi air. Karet hasil sadapan biasanya diletakkan di bawah rumah berupa kotak-kotak yang masih baru biasanya berwarna kuning dan yang sudah lama biasanya berwarna hitam. Jalan yang terbuat dari kayu tampak memanjang menuju tepian sungai yang terbuat dari kayu Ulin atau Kayu Besi. Biaya carter kapal dari Teluk Batu ke Puskesmas Danau Rawah bisa mencapai Rp. 1.000.000,- sampai Rp. 2.000.000,- , namun kalau menggunakan

(48)

taksi air hanya Rp. 60.000,- per orang. Akses jalan air ke Kapuas juga bisa melalui jalur sungai ini.

Di Danau Rawah ada 1 Masjid Besar di tengah dusun dekat Puskesmas dan ada 1 Gereja Kristen Evangelis yang dilengkapi 1 Pastory tempat tinggal pendeta. Kedua tempat ibadah ini menandakan bahwa di tempat ini ada dua penganut Agama Kristen dan Islam. Kehidupan keberagamaan mereka damai dan tidak pernah ada perselisihan di antara dua penganut yang berbeda.

Gambar 2.3.

Hasil Karet yang Disimpan di Bawah Kolong Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menangkap ikan dengan jaring dan pancing juga masih dilakukan warga Danau Rawah. Ikan yang didapatkan antara lain

Ikan Sapat dan sebagian kecil ada Ikan Gabus dan Ikan Lele.

Dalam memancing ikan selain membawa alat penangkap ikan warga juga membawa mandau yang melingkar di pinggangnya untuk keperluan menebas kayu dan perlindungan diri jika ada binatang buas.

(49)

Jamban dan Kamar Mandi

Beberapa penduduk di Danau Rawah kebanyakan sudah memiliki kamar mandi seadanya namun belum tentu punya jamban. Jamban di tepi sungai kebanyakan dibuat terapung dan jika surut jamban tersebut mengikuti permukaan air. Untuk jamban yang ada di perkampungan yang tidak berada di tepi sungai namun berada di sekitar Puskesmas beberapa jamban sudah tertutup dan diberi septic tank. Meskipun ada juga rumah yang belum memiliki jamban.

Aktivitas Puskesmas Danau Rawah

Sebelum Puskesmas buka sudah ada pasien yang berobat dan langsung masuk di ruang Mes Dokter Puskesmas dan Staf Analisis. Waktu itu peneliti sedang menginap di Mes ini. Kali ini yang sakit adalah anak-anak dan tetap dilayani oleh Dokter. Setelah diperiksa dan dinasehati jangan dulu jajan sembarangan dan minum es juga jangan minum air yang tidak dimasak. Kemudian diberi resep oleh Dokter. Setelah itu Dokter Hasrul menuju Puskesmas dan di sana juga sudah ada pasien ibu yang kakinya sakit. Dokter, Bidan, dan beberapa staf Puskesmas langsung menolong. Aktivitas Puskesmas ini paling banyak dikunjungi pasien pagi hari sebelum aktivitas mereka bekerja. Antara jam 8 pagi sampai jam 11 siang setelah itu pasien sepi dan pasien yang berobat ke Puskesmas ini juga tidak banyak.

Karena kebiasaan masyarakat yang tidak pernah meminum air yang direbus maka banyak yang terkena diare, selain itu menurut keterangan petugas Puskesmas memang kendala utama di sini adalah akses jalan darat desa. Dokter dan Bidan pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Ketika mau pergi ke Teluk Batu selama perjalanan mengalami terperosok kubangan lumpur sebanyak 5 kali dan pecah ban satu

(50)

kali. Selain itu Bu Bidan dan Dokter menceritakan bahwa di sini anak perempuan yang menikah antara usia 12-14 tahun juga banyak. Banyak juga yang baru menstruasi pertama kali terus menikah. Rata-rata pernikahan dengan suaminya tidak terpaut jauh. Para laki-laki di sini banyak yang kerja menambang emas. Dampak dari pernikahan muda ini banyak kasus di kehamilan pertama mengalami keguguran. Karena kandungan yang belum kuat. Di Danau Rawah dan Muroi Raya masih banyak Bidan Kampung yang beroperasi namun mereka sekarang menjadi binaan dan patner dari Bidan Mantri sehingga dalam praktek melayani selalu didampingi Bidan Mantri dan diberi pengarahan hal-hal mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam hal kesehatan. Banyaknya kasus pernikahan dini di Danau Rawah maupun Muroi Raya banyak sekali kasus keguguran pada kehamilan pertama dan harus dikiret (dibersihkan janin yang meninggal di dalam). Di Danau Rawah juga ada kasus anak muda bunuh diri. Tapi kurang ada yang tahu apa penyebabnya. Pemicu pernikahan dini juga disebabkan karena kebiasaan generasi yang terdahulu juga menikah dini, jika ada wanita yang menikah di atas 20 tahun sudah dikatakan “perawan lapuk” (gadis yang tidak laku). Contohnya Bu Bidan dulu waktu pertama kali bertugas di sini usianya lebih dari 20 tahun dan belum menikah, sempat juga dikatakan perawan lapuk oleh ibu-ibu di sini. Namun Bu Bidan sempat jadi rebutan antar pemuda yang sudah matang bahkan termasuk para petugas di Danau Rawah. Jika mereka tidak disetujui orang tua mereka akan kawin lari.

Bidan Mantri dan Bidan Kampung

Ada beberapa daerah di hulu sana yang masih menolak menjadi patner Bidan Mantri. Bidan Kampung ini masih beroperasi dan juga dukun pengobat masih banyak. Kebanyakan

(51)

setelah diobati oleh Si Dukun ini banyak pasien disuruh puasa dulu sehari semalam atau 3 hari 3 malam. Untuk beberapa kasus seperti disentri atau diare jika kekurangan cairan sementara pasien disuruh berpuasa akan bisa berakibat fatal dan bisa terjadi kematian. Pernah ada kasus bayi yang sungsang mendekati kelahiran, pada awalnya ditangani oleh Bu Bidan namun Si Ibu juga memeriksakan diri ke Bidan Kampung dan menurut Bidan Kampung hal tersebut bisa diatasi dengan dipijit maka dipijitlah ibu itu. Ketika terjadi pendarahan hebat barulah Bidan Mantri dipanggil. Tadinya Bidan Mantri sudah curiga dengan perubahan letak bayi di kandungan ditambah pendarahan ini pasti sudah ditangani Bidan Kampung dan akhirnya ibu tersebut meninggal.

Hal lain yang kurang menguntungkan bagi Bidan Mantri adalah hal-hal ketika dikaitkan dengan roh yang menemani pasien. Ada roh baik dan jahat. Ketika selesai periksa di Bidan Mantri dan diberi obat saat itu juga efek obatnya belum bekerja dan pasien merasa tidak ada dampaknya lalu pindah ke Bidan Kampung atau Dukun dan disana diberi mantra dan dikirim roh baik maka ketika pulang dan efek obat dari Bidan Mantri bekerja dan pasien merasa lebih enak atau sembuh yang menyembuhkan menurut pasien adalah Bidan Kampung tersebut namun kalau terjadi kesakitan atau hal yang semakin buruk yang disalahkan kebanyakan Bidan Mantri.

Akses yang Sulit dan Jarak yang Jauh ke Lokasi Rujukan

Pasien di Danau Rawah jarang ada yang mau dirujuk. Permasalahan utama karena jarak dan biaya. Lebih utamanya adalah biaya transportasi. Jika menggunakan transport darat jalannya juga sangat susah jika menggunakan kapal menuju ke pelabuhan juga jauh dan susah jika air sedang surut. Maka upaya apapun sebisa mungkin dilakukan di sini termasuk operasi ringan.

Gambar

Gambar 3.7   Ibu Hamil yang Melakukan
Gambar seorang ibu yang sedang mencuci bahan makanan yang  akan diolah menjadi sayur dapat dilihat pada Gambar 3.17

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan estimasi kuat tekan rata-rata mortar menurut Atkins (1997) untuk kuat tekan mortar berumur 7 dan 14 hari adalah sebesar 60 % dan 75 % dari kuat tekan mortar berumur

investment opportunity set (IOS) terhadap kualitas laba, (2) mencari bukti empiris pengaruh kinerja perusahaan terhadap kualitas laba, (3) mencari bukti empiris pengaruh

UJI SPSS DATA PENGUJIAN KANDUNGAN SENYAWA FUNGSIONAL PADA CAISIM SELAMA

Bila dakwah dilakukan dengan cara terbaik yang mendahuluhan nasehat yang bijak sebelum hikmah, maka sesungguhnya tidak akan efektif dan tidak methodis, disamping kurang dalam

Sebaliknya jika menggunakan metode saldo menurun, jumlah angka tahun dan saldo menurun ganda, maka beban penyusutan tidak akan sama tiap tahunnya, sehingga

Disetujui oleh, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam..

Segenap Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama kuliah.i. Kedua orang tua,

Sistem juga dapat mengenali citra dengan prosentase keberhasilan terbaik 98,24 % dengan resolusi gambar 200dpi dan ukuran huruf 18 Sistem ini juga bisa mengenali