• Tidak ada hasil yang ditemukan

ESENSI DAN EKSISTENSI BAHASA INDONESIA D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ESENSI DAN EKSISTENSI BAHASA INDONESIA D"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ESENSI DAN EKSISTENSI BAHASA INDONESIA DALAM BANGSA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

PAPER Dosen Pembimbing:

DRS. H. A. Hawari Hamim, M.pd

Oleh:

Noviyanty Indrasari Cardinata NIM. 084 132 085

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER FAKULTAS TARBIYAH

(2)

ESENSI DAN EKSISTENSI BAHASA INDONESIA DALAM BANGSA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

PAPER

Di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia Dosen Pembimbing:

DRS. H. A. Hawari Hamim, M.pd

Oleh:

Noviyanty Indrasari Cardinata NIM. 084 132 085

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER FAKULTAS TARBIYAH

(3)

MOTTO

(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Paper ini saya persembahkan kepada:

Kedua orang tua saya Ir. Sugeng Prasiswo dan Siti Mariyam yang telah memberikan kasih sayangnya dan selalu terus mendoakan saya dalam menyelesaikan karya ilmiah berupa paper ini.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan dan pemilik kerajaan langit dan bumi, yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai Rahmat dan Hidayah-Nya kepada manusia. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulisan karya ilmiah berupa paper ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., hamba dan Rasulnya yang mulia, yang diperintahkan untuk

menyampaikan Al-Qur’an sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan bagi seluruh umat manusia, juga kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta semua

pengikutnya yang setia dulu, kini dan yang akan datang. Yang mana berkat beliaulah kita bisa berada di alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Karya Ilmiah berupa paper yang berjudul “Esensi Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Negara dalam Perkembangan Budaya di Kalangan Masyarakat Indonesia Saat ini” disusun dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Bahasa Indonesia. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE, MM. Selaku ketua IAIN Jember

2. Bapak DRS. H. A. Hawari Hamim, M.pd selaku dosen pengampu matakuliah Bahasa Indonesia yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini.

Penulis juga berharap semoga paper ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi sahabat-sahabat mahasiswa/i khususnya di IAIN Jember dan mudah–mudahan dapat

dijadikan sarana untuk meningkatkan keberhasilan belajar di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan maupun bahasan materi pada paper ini terdapat banyak kekurangan,dengan senang hati penulis menanti kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga Rahmat Allah SWT dan berkahnya senantiasa tercurahkan kepada kita.

(6)

Judul : Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia dalam Bangsa Indonesia di Era Globalisasi

Kata Kunci : Bahasa Indonesia, Era Globalisasi

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa

Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Kata globalisasi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris globalization. Kata globalization sendiri sebenarnya berasal dari kata global yang berarti universal yang mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai proses. Jadi dari asal mula katanya, globalisasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran unsur-unsur baru baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun teknologi secara mendunia.

Fokus masalah yang dibahas dalam paper ini adalah 1. Apa pengertian bahasa Indonesia? 2. Apa pengertian esensi dan eksistensi? 3. Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dalam bangsa Indonesia? Dan 4. Bagaimana bahasa Indonesia di era globalisasi dalam bangsa Indonesia.

Tujuan penulisan paper ini adalah mendeskripsikan bagaimana esensi dan eksistensi bahasa Indonesia dalam bangsa Indonesia di era globalisasi saat ini.

(7)

internet. Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan paper ini adalah metode deduktif, induktif, dan komperatif.

Penulisan paper ini memperoleh kesimpulan yaitu, Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu.

Berdasarkan pembahasan dalam paper ini dapat ditarik simpulan bahwa era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa Indonesia. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul...i

Halaman Pengesahan...ii

Halaman Motto ...iii

Halaman Persembahan...iv

Kata Pengantar...v

Abstrak...vi

Daftar Isi...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Rumusan Masalah ...2

1.3. Tujuan Penulisan...2

1.4. Manfaat Penulisan ...2

1.5. Metode Penulisan...3

BAB II PEMBAHASAN...4

2.1 Bahasa Indonesia...4

2.1.1 Pengertian Bahasa Indonesia...4

2.1.2 Sejarah Bahasa Indonesia...5

2.1.3 Bahasa Indonesia dan Pemakainya...10

2.2 Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia...24

2.2.1 Pengertian Esensi...24

2.2.2 Pengertian Eksistensi...24

2.2.3 Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia...25

(9)

2.3.1 Pengertian Bangsa Indonesia...29

2.3.2 Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Bangsa Indonesia. 32 2.3.3 Hubungan Bahasa dengan Masyarakat...34

2.4 Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi...36

2.4.1 Pengertian Globalisasi...37

2.4.2 Pengaruh Globalisasi terhadap Bahasa Indonesia...38

2.4.3 Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia dalam Bangsa...52

BAB III PENUTUP...65

3.1 Kesimpulan...65

3.2 Saran...67

DAFTAR RUJUKAN...68

(10)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan keberagaman suku, adat, ras, golongan dan agama. Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa. Dengan keberagaman tersebut, Indonesia memerlukan satu bahasa yang bisa dimengerti semua Warga Negara dan menjadi pemersatu bangsa. Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia di atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Adapun bahasa dapat digunakan apabila saling memahami atau saling mengerti erat hubungannya dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami maksud dan tujuan orang lain berbahasa atau berbicara apabila kita mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan. Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat mengekspresikan dirinya. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkunga atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh.

(11)

Dengan adanya proses globalisasi akan berdampak pula terhadap bangsa Indonesia ini, terutama berdampak terhadap bahasa negara kita yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat sarat, selain itu bahasa Indonesia sudah menjadi “identitas” dan “simbol” dari negara dan bangsa Indonesia. Sebagai identitas dan simbol bangsa, bahasa Indonesia mesti tetap eksis di tengah-tengah pergaulan dunia pada era globalisasi ini, walaupun tidak sedikit tantangannya. Rasa setia terhadap bahasa Indonesia dan rasa kebangsaan harus tetap terpatri di setiap sanubari bangsa Indonesia, jika tidak ingin tenggelam di lautan globalisasi. Sebab, pengaruh apapun akan mental jika kedua benteng tersebut masih tetap tertanam di dalam sebagian besar bangsa pemilik bahasa Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Bahasa Indonesia?

2. Bagaimana Esensi dan Eksistensi dari Bahasa Indonesia? 3. Bagaimana Bahasa Indonesia dalam bangsa Indonesia? 4. Bagaimana Bahasa Indonesia di Era Globalisasi? 1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian bahasa Indonesia.

2. Mengetahui esensi dan juga eksistensi bahasa Indonesia dalam bangsa Indonesia. 3. Mengetahui kedudukan bahasa Indonesia dalam bangsa Indonesia.

4. Mengetahui bagaimana bahasa Indonesia di era globalisasi. 1.4. Manfaat Penulisan

a. Masyarakat

Hasil penulisan paper ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat. Karena dengan adanya paper ini diharapkan agar masyarakat dapat menyadari akan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di era globalisasi ini.

b. Penulis

Hasil penulisan paper ini, dapat memotivasi diri penulis untuk tetap bisa

menggunakan dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia secara baik dan benar dan juga supaya lebih bisa menanamkan rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia di era globalisasi.

c. Lembaga

Hasil paper ini, di harapkan dapat memberikan wawasan teoretis kepada lembaga supaya lembaga juga ikut serta dalam upaya peningkatan kualitas penggunaan bahasa yang baik dan benar di era globalisasi.

1.5. Metode Penulisan

(12)

1. Sumber Data

Penulis memperoleh data yang ada dengan cara banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan paper ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data dari:

a. Pencatatan data

b. Analisa data

c. Informasi dari internet

3. Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan paper ini adalah metode deduktif, induktif, dan komperatif.

a. Metode deduktif adalah pembahasan yang dimulai dari bersifat umum menuju pembahasan yang bersifat khusus.

b. Metode induktif adalah pembahasan yang dimulai dari bersifat khusus menuju pembahaasan yang bersifat umum.

(13)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi antar masyarakat Indonesia yang digunakan agar bisa berinteraksi dengan orang lain. Bahasa Indonesia merupakan bagian dari

kebudayaan Indonesia, yaitu hasil cita rasa dan karsa masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional seperti yang tercantum pada Undang-Undang 1945 pasal 36 yang berbunyi, “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Sehingga menjadikan bahasa asing lain, selain bahasa daerah, sebagai bahasa utama telah menunjukkan sikap belum nasionalis. Masuknya budaya daerah dan budaya asing yang membawa pengaruh terhadap pengguna bahasa Indonesia juga telah menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu didukung dengan dicantumkannya beberapa kata serapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

2.1.1 Pengertian Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja.

(14)

digunakan.Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

2.1.2 Sejarah Bahasa Indonesia

Sejarah telah memberikan kepada kita, bangsa Indonesia, satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia , karena terpilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan kita dengan nama baru Bahasa Indonesia. Peristiwa itu terjadi menurut putaran roda sejarah. Sampai pada hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, saat diikrarkannya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang semuanya dengan nama Indonesia, sejarah perkembangan bahasa Melayu berjalan mulus.

Bahasa Indoensia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak awal abad-abad penanggalan modern.

Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini di ketahui dari berbagai prasasti berusia yang di temukan di beberapa daerah. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para pedagangnya menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum, oleh para peneliti dinamakan bahasa Melayu Pasar. Berbagai batu bertulis (prasasti) kuno yang ditemukan, seperti:

(15)

2. Prasasti Talang Tuo, Palembang (tahun 684) 3. Prasasti Kota Kapur, Bangka Barat (tahun 686)

4. Prasasti Karang bertulis Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk kepada bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya (Halim, 1979: 6-7)

5. Prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (tahun 832) 6. Prasasti Bogor, Bogor (tahun 942)

Kedua prasati di Pulau Jawa tersebut memperkuat pula dugaan kita bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu tidak saja dipakai diPulau Sumatra saja, akan tetapi juga telah dipergunakan di Pulau Jawa juga.

Berikut ini dikutipkan sebagian bunyi batu bertulis (prasasti) Kedukan Bukit. “ Swastie syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyaakha

dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan Jyestha dapunta hyang merlapas dari Minanga taamwan...”

“ (Selamat! Pada tahun syaka 605 hari kesebelas pada masa terang bulan waisyaakha, tuan kita yang mulia anak di perahu menjemput Siddhayaatra. Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan...)”.

Kalau kita perhatikan dengan saksama, ternyata prasasti itu memilki kata-kata (dicetak dengan huruf miring) yang masih kita kenal sekarang walaupun waktu sudah berlalu lebih dari 1.400 tahun.

Berdasarkan petunjuk-petunjuk lainnya, dapatlah kita kemukakan bahwa pada zaman Sriwijaya bahasa Melayu berfungsi sebagai berikut.

1. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.

2. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antarsuku di Indonesia.

3. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan, terutama di sepanjang pantai, baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang-pedagang yang datang dari luar Indonesia.

4. Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahas resmi kerajaan.

(16)

Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.

Sesudah pertengahan abad ke-19, Gubernur Jenderal Rochussen melihat bahwa bahasa Melayu digunakan orang dimana-mana sebagai bahasa penghubung. Pada akhir abad ke-19 pemerintah Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Pada periode ini mulai terbentuklah “bahasa Indonesia” yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu. Oleh karena itu, kemudian pemerintah Belanda menetapkan bahwa bahasa Melayu hendaklah dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Melayu untuk memeperoleh tenaga-tenaga administrasi yang murah dalam pemerintahan. Tindakan yang diambil oleh pemerintah Belanda itu tanpa mereka sadari telah menguntungkan bagi perkembangan bahasa Melayu kelak, cikal-bakal bahasa indonesia, yang akan menjadi bahasa Nasional dan bahasa pemersatu bagi seluruh penduduk yang mendiami wilayah Hindia Belanda, wilayah yang kemudian dituntut oleh bangsa Indonesia menjadi wilayah Republik Indonesia.

Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Opuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.

Bahasa Indonesia diakui secara resmi sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa:

Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesuastraannya, hanya ada dua bahasa yang diharapkan bisa menjadi bahasa persatun yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa tersebut, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesuastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

(17)

Kedudukan bahasa Melayu sama dengan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang lain. Sebagai bahasa asal bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah jauh tertinggal dari bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan lagi hanya penghubung dan bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi telah berubah menjadi bahasa yang lebih kaya, yang dapat digunakan sebagai bahasa ilmiah. Kita tidak dapat menulis karangan ilmiah dengan bahasa Melayu, karena bahasa Melayu masih tetap miskin, namun kita tetap bisa melakukannya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai bahasa yang mampu untuk dipergunakan sebagai bahasa ilmiah karena baik buku pelajaran, buku ajar (text-book), dan karangan ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, dan disertasi untuk semua disiplin ilmu, sekarang ini dapat ditulis dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah benar jika ada yang masih menyangsikan kemampuan bahasa Indonesia.

Semua tulisan dalam bahasa asing pasti kita bisa alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Jika tidak dapat, maka bukan bahasa Indonesia yang tidak mampu, melainkan orang yang menggunakan bahasa itulah yang kurang penguasaannya atas bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu yang miskin itu terus kita bina, kita tingkatkan kemampuannya, kita tumbuhkan swadayanya, sehingga semua pengertian yang dinyatakan dalam bahasa asing serta pengertian-pengertian baru yang kita butuhkan yang belum ada kata Indonesianya, kita buat, kita ciptakan, sehingga pengertian baru itu dapat kita alihkan ke dalam bahasa Indonesia.

A. Macam- Macam Ejaan A.1 Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyususn ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui

pemerintahan kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

a) Huruf ї untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulai dengan ramai. Juga

digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaїa. b) Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb. c) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.

(18)

A.2 Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

a) Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.

b) Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.

c) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.

d) Awalan di- dan kata depan di kedua-keduanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

A.3 Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama bertahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

B. Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Indonesia

Mengapa bahasa Melayu yang diajadiakan sebagai bahasa Nasional? Ada empat faktor yang menjadi peneyebab bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut.

a. Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan

b. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa ini tidak dikenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo) atau

perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes). c. Suku Jawa, suku Sunda, dan suku-suku yang lain dengan sukarela menerima

bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. d. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa

kebudayaan dalam arti yang luas. C. Peresmian Nama Bahasa Indonesia

(19)

Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda. Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia. Tahun 1928 itu berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut.

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pernyataan yang pertama adalah penagkuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah Republik Indonesia sekarang adalah satu ksatuan tumpah darah (tempat kelahiran) yang disebut Tanah Air Indonesia. Pernyataan yang kedua adalah pengakuan bahwa manusia-manusia yang

menempati bumi Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia. Pernyataan yang ketiga tidak merupakan pengakuan “ berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. (Halim, 1983: 2-3)

Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah dipakai sejak pertengahan Abad VII itu, menjadi bahasa Indonesia.

2.1.3 Bahasa Indonesia dan Pemakaiannya

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36 dan penjelasannya, dinyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara, dan bahasa daerah yang dipakai sebagai alat perhubungan dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, dipelihara juga oleh negara

sebagai bagian kebudayaan nasional yang hidup. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.4/MPR/1978 menggariskan bahwa pembinaan bahasa daerah dilakukan dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia sebagai salah satu sarana identitas nasional.

(20)

Indonesia ragam resmi misalnya dalam berpidato, berdiskusi, memberikan pelajaran di depan kelas, memberikan kuliah, memimpin rapat-rapat dinas; dalam penggunaan bahasa tulisan, misalnya bila kita menulis surat resmi, membuat laporan dinas, membuat kertas kerja untuk seminar, konferensi, kongres, dsb., menulis skripsi dan disertasi.

Jika kita teliti, maka akan tampak bahwa bahasa Indonesia itu multifungsi; menjadi bahasa negara dan bahasa resmi. Tetapi juga menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah dari taman kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, menjadi bahasa pergaulan, bahasa

perhubungan, dan bahasa persatuan. Tanpa adanya bahasa Indnesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia yang terdiri atas beratus-ratus suku bangsa dan masing-masing memilki bahasa daerahnya sendiri-sendiri itu akan sukar sekali berhubungan. Komunikasi

antarindividu akan menjadi kurang lancar karena kesulitan bahasa. Tanpa adanya bahasa persatuan dan bahasa kesatuan bahasa Indonesia, mungkin persatuan bangsa Indonesia belum akan terwujud seperti sekarang ini.

Bersyukurlah kita bangsa Indonesia yang begitu memasuki pintu gerbang kemerdekaan, telah memiliki bahasa kesatuan sekaligus menjadi bahasa nasional. Bahasa indonesia telah mempermudah kita memperkembang kebudayaan kita, mempercepat majunya proses

pendidikan, dan yang tepenting adalah mempermudah kita bersatu sebagai bangsa Indonesia. Dengan bahasa Indonesia, kita merasa sebagai satu bangsa, dan karena itu kita merasa senasib karena terikat di dalam satu ikatan bangsa.

Kita tidak mengingkari kenyataan bahwa kita ini terdiri atas berastus-ratus suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa daerahnya sendiri-sendiri, tetapi kenyataan itu tidaklah mengurangi penghargaan kita terhadap bahasa nasional kita., bahasa Indonesia. Kita

mengakui bahwa bahasa daerah bagi sebagian besar kita adalah bahasa pertama yakni bahasa yang pertama kali kita kenal dalam hidup kita. Bahasa daerah itu kita gunakan di lingkungan keluarga, bahkan di lingkungan kita yang terdekat yaitu di desa atau di kampung. Kemudian setelah kita masuk sekolah, kita berkenalan dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia itu adalah bahasa kedua bagi kita.

(21)

Bagi kita bahasa Indonesia umumnya, bahasa Indonesia itu sukar-sukar mudah. Kita katakan bahasa Indonesia itu mudah sebenarnya sukar. Namun, bila kita katakan sukar, dalam kehidupan kita setia hari kita menggunakan bahasa Indonesia.

Kita pada umumnya menganggap bahasa Indoneia itu mudah karena setiap hari kita mendengar orang-orang menggunakannya, setiap hari pula kita membaca karangan-karangan dalam surat kabar, majalah, buku, dsb., yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Jadi, telinga kita telah terlalu biasa mendengarnya, dan mata kita sudah terlalu kerap melihatnya dalam bentuk tulisan. Oleh karena itulah, kebanyakan diantara kita menganggap bahasa Indonesia itu mudah.

Tetapi, janganlah kita lupa- sebagai yang telah saya katakan di atas- bagi sebagian besar di antara kita rakyat Indonesia ini, bahasa Indonesia itu adalah bahasa kedua. Bahasa pertama kita, atau bahasa-ibu kita, ialah bahasa daerah : bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis,

Makasar, Gorontalo, Tontemboan, Tombulu, Sangir, Talaut, Aceh, Batak, Minangkabau, Palembang, Banjar, Bali, Bima, dan masih banyak lagi yang lain yang tidak disebutkan di sini satu per satu. Kadang-kadang di samping bahasa daerah kita dan bahasa Indonesia, kita juga menguasai stu dua bahasa daerah yang lain dan bahasa asing. Karena itu, kita bukan hanya dwibahasawan, melainkan juga multibahasawan yaitu orang yang menguasai banyak bahasa sekaligus. Karena itu pula, janganlah heran apabila bahasa daerah yang kita kuasai itu memainkan peranan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia yang kita gunakan.

Penguasaan kita terhadap bahasa Indonesia, bahasa nasional kita, seakan-akan

terganggu oleh bahasa daerah. Mengapa dikatakn demikian? Pertumbuhan bahasa Indonesia itu banyak dipengaruhi oleh bahasa daerah. Sering sekali tanpa kita sadari, kita berbahasa dengan struktur bahasa daerah. Artinya, kata-kata yang kita gunakan dalam bertutur ialah kata-kata bahasa Indonesia, tetapi struktur kata atau kalimat yang kita gunakan adalah struktur bahasa daerah. Struktur bahasa daerah itu telah mendarah daging dalam tubuh kita sehingga sering secara tidak kita sadari muncul dalam percakapan kita ketika kita

menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang kita gunakan menjadi terjemahan secara harfiah bahasa daerah.

(22)

Opo kuwe wis mangan? (Jawa)

Kalimat dengan struktur seperti di atas apa kamu sudah makan, bukan kalimat Indonesia menurut struktur asli. Kalimat tanya seperti itu dalam bahasa Indonesia tidak didahului oleh kata tanya apa. Kata tanya apa dalam bahasa Indonesia umumnya digunakan bila yang ditanyakan itu ialah benda.

Contohnya :

“Apa yang dimakan anak itu? ” jawabnya, “kue.”

“Apa yang tersimpan dalam lemari itu?” jawabnya, ”buku.”

Dalam bahasa Jawa, umunya kalimat tanya dimulai dengan kata tanya apa (=opo. Kalimat tanya di atas jika disusun sesuai dengan struktru asli, bentuknya seperti berikut.

Kamu sudah makan? (dibentuk dengan lagu tanya) Sudahkah kamu makan?

Sudah makankah kamu? Dibentuk dengan lagu tanya dan akhiran tanya- kah Kamu sudah makankah?

Namun, dalam kenyataan berbahasa dewasa ini, kita lihat bahwa struktur kalimat-tanya bahsa Jawa itu mendesak kedalam bahasa Indonesia sehingga besar kemungkinan kalimat tanya seperti itu kelak akan dianggap sebagai bentuk kalimattanya baku bahasa Indonesia. Biasanya kata tanya apa diberi akhiran –kah menjadi apakah sehingga tidak terasa lagi sifat “Jawa”-nya.

Apakah dia sakit?

Apakah paman akan datang hari ini?

Dalam anak-kalimat berita, apakah dipakai sebagai berikut. Saya tak tahu apakah dia akan datang hari ini atau tidak.

(23)

Dalam struktur asli bahasa Indonesia:

Saya tak tahu akan datangkah dia hari ini atau tidak.

Akan datangkah dia hari ini atau tidak, tak tahu saya.

Ada ahli bahasa yang menganggap bahwa kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya apa seperti contoh di atas justru menghaluskan bahasa. Bagaimanapun, kalimat tanya seperti itu sampai sekarang masih dianggap kalimat tidak baku (=nonbaku).

Kita lihat kalimat lain yang dipengaruhi oleh struktur bahasa Sunda. Surat itu ditulis oleh saya.

Serat eta diserat ku abdi (Sunda)

Perhatikan struktur bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh struktur bahasa Sunda di atas. Kalimat bahasa Indonesia itu betul-betul merupakan terjemahan kata demi kata dari bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia, kalimat pasif dengan pelakuorang pertama kata kerjanya tidak diberi awalan di- seperti itu. Awalan di- hanya digunakan bila pelaku pekerjaan itu orang ketiga : diambilnya, dibuatya, diselesaikan oleh Amin, dibeli oleh ibu, dsb. Bila pelaku pekerjaan orang pertama, maka kata ganti orang (=pelaku) diletakkan di depan kat kerja. Kalimat di atas menjadi Surat itu saya tulis. Dalam bentuk enklitis, Surat itu kutulis.

Demikaian juga bila pelaku pekerjaan ornag kedua, susunannya sama dengan bila pelaku pekerjaan orang pertama. Surat itu engkau tulis, atau Surat itu kau tulis. Dalam bahas Sunda, struktur kalimat pasif sama, baik pelaku pekerjaan orang pertama, orang kedua, maupun orang ketiga. Perhatikan contoh di bawah ini.

... dibantun ku abdi. ‘saya ambil’ ... dicandak ku anjeun. ‘Anda ambil’ ... dicandak ku anjeunna. ‘diambilnya’

(24)

Pekerjaan itu sudah diselesaikan oleh saya.

Perkara itu haruslah dirundingkan oleh kita lebih dahulu.

Surat itu sudah dikirim oleh saya kemarin.

Dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh putera-puteri Sunda, banyak kita jumpai pengaruh bahasa daerahnya. Bentuk-bentuk seperti dipajukan, dipundurkan, ditaikkan, ditikahkan, dikebapakkan, dikesayakan, di kita, di kami, banyak kita dengar digunakan alih-alih memakai bentuk aslinya dimajukan, dimundurkan (diundurkan), dinaikkan, dinikahkan, diserahkan kepada bapak, diberikan kepada saya, pda kita, pada kami, penggunaan seperti itu tentu saja dapat diterima, tetapi bukan dalam urusan resmi. Bahasa seperti itu kita sebut dengan bahasa Indonesia dengan dialek Sunda.

Di daerah Gorontalo sering kita dengar kalimat seperti berikut. Marah ke sana si Yunus itu !

Larang kemari dia !

Tutup ke sana pintu itu !

Dalam bahasa Indonesia dengan struktur baku, kalimat itu harus disusun sebagai berikut.

Marahi si Yunus itu !

Atau: Cobalah marahi si Yunus itu ! Cobalah larang dia.

Tutupkan pintu itu !

Tolonglah tutup pintu itu.

(25)

dan mola (ke sana, tetapi jauh). Kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang diberikan sebagai contoh di atas terjemahan secara harfiah bahasa Gorontalo.

Endeli mota tei Yunusi boito !

Dinia mai tio !

He’uti mot pindu boito !

Kalimat seperti Saya punya rumah besar, atau Saya punya bapak sakit, sering kita dengar diucapka oleh orang-orang yang berasal dari Indonesia bagian timur sebagai engaruh dialek Melayu Manado atau Melayu Ambon. Orang Manado berkata, Kita pe ruma besar; kita pe papa sakit. Kata orang Ambon, Beta ung rumah besar, beta pung papi saki.

Dalam bahasa Indonesia, hubungan kepunyaan (posesif) tidak dinyatakan oleh kata tertentu, melainkan dinyatakan oleh hubungan dua patah kata yang diurutkan: misalnya, kaki meja, ata rumah, paman saya, rumah kami. Bukan meja punya kami, riumah punya atap; bukan juga dengan akhiran-nya di belakang kata pertama : kakinya meja, pamannya saya, rumahnya kami. Bentuk seperti itu mamang kita jumpai juga dalam bahasa Melayu Kuno, tetapi dalam bahasa Indonesia sejak tahun 20-an- terutama dalam bahasa tulisan- sudah jarang digunakan orang. Struktur seerti itu kita jumpai pada bahasa-bahasa daerah Indonesia.

Misalnya, rumah ayah dikatakan sebgai berikut : Banua i papa (bahasa Poso)

Bele li paapa (bahasa Gorontalo) Balla na ua (bahasa Makasar) Omah e bapak (bahasa Jawa)

I, li, na, dan e sama dengan nya dalam bahasa Indonesia. Diterjemahkan secara harfiah, frase itu menjadi rumahnya ayah.

(26)

Bahasa Sunda, Jawa, Bali mengenal bahasa yang halus dan bahsa kasar. Bahasa yanghalus dipakai oleh orang yang tingkat sosialnya rendah terhadap orang yang tinggi tingkat sosialnya, atau diucapkan terhadap orang yang harus dihormati. Engaruh kebiasaan ini terbawa ke dalam pergaulan bahasa Indonesia.

Contohnya, sering seorang suku Sunda takut menggunakan kata anak karena

dianggapnya kurang halus. Kata itu digantinya dengan kata putera. Misalnya, seseorang yang menegur orang yang dihormatinya dan kebetulan ketika itu membawa seorang anak,

mengucapkan kalimat seperti ini, Ini putera bapak? Atau ia bertanya kepada orang itu, Berapa orang putera bapak? Kalimat yang seharusnya diucapkan orang tersebut ialah Ini anak bapak? Berapa orang anak bapak? Dalam bahasa Indonesia, kalimat-kalimat itu tidak dapat dianggap kasar.

Dalam bahasa Indonesia lama, kata putera hanya digunakan dalam bahasa raja-raja. Misalnya dikatakan, Baginda berputera lima orang, tiga orang puteri dan dua orang putera, artinya, ‘baginda’ beranak lima orang, tiga orang wanita dan dua orang pria. Dewasa ini kata-kata itu dipakai umum untuk menyatakan laki-laki dan perempuan, misalnya putera dan puteri Indonesia, asrama puteri, regu voli puteri.

Sering kita lihat orang mengakhiri suratnya dengan kalimat Atas perhaian Bapak kami haturkan terima kasih. Yang menulis surat itu menggunakan kata kami haturkan yang berasal dari bahasa Sunda karena takut menggunakan kata kami ucapkan atau kami sampaikan, yang mungkin dianggapnya kurang halus.

Atau orang yang mengakhiri suratnya dengan kalimat harap menjadi periksa. Kata periksa dalam kalimat itu bukan kata periksa Indonesia sebab periksa dalam bahasa Indonesia bersinonim dengan ‘teliti’ atau ‘selidiki’, sedangkan dalam kalimat tadi sama artinya dengan ‘maklum’ atau ‘tahu’. Kataitu adalah kata priksa bahasa Jawa yang diucapkan prikso.

Biasanya ditulis orang Harap menjadi maklum yaitu semacam kalimat klise yang sebenarnya tidak berisi informasi apa-apa dan oleh karennya dapat ditinggalkan saja.

(27)

Jangan menganggap bahasa Indonesia itu mudah. Yang mudah adalah bahasa ragam santai, bahasa tutur yang kita gunakan sehri-hari, karena bahasa itu tidak terikat kepada kaidah-kaidah yang berlaku. Bahasa Indonesia ragam resmi tidak mudah. Itu sebabnya bila kita diletakkan pada suatu situasi resmi dimana kita harus menggunakan bahasa Indonesia ragam resmiyang terjaga, kita akan merasakan bahwa pekerjaan tersebut tidaklah mudah. Misalnya, kita tiba-tiba harus mengucapkan pidato di depan khalayak ramai, atau harus membuat kertas kerja, skripsi, atau bentuk tulisan yang lain seperti itu, barulah akan tersa kepada kita bahwa mwnggunakan bahasa Indonesia yang baik dan teratur, dengan

penggunaan kata-kata yang tepat maknanya, tidaklah semudah yang disangkakan orang. Supaya kita dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, kita harus memperdalam pengetahuan kita tentang bahasa itu. Kita harus banyak membaca buku-buku yang baik isi dan bahasanya, dan harus banyak pula mendengarkan tuturan orang yang bahasanya teratur. Tanpa usaha dengan sengaja ke arah itu, penguasaan bahasa Indonesia kita tetap tidak akan baik.

A. Penting Atau Tidaknya Bahasa Indonesia

Sebuah bahasa penting atau tidak penting dapat dilihat dari tiga kriteria, yaitu: a. Di pandang dari Jumlah Penutur

Ada dua bahasa di indonesia, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa kedua bagai sebagian besar warga bangsa Indonesia. Yang pertama kali muncul atas diri seseorang adalah bahasa daerah (“bahasa ibu”). Bahasa Indonesia baru dikenal anak-anak setelah mereka sampai pada usia sekolah (taman kanak-kanak).

Berdasarkan keterangan di atas, penutur bahasa Indonesia yang

mempergunakan bahasa Indonesia sebagai “bahasa ibu” tidak besar jumlahnya. Mereka hanya terbatas pada orang-orang yang lahir dari orang tua yang

(28)

orang (2008) ditambah dengan penutur-penutur yang berada di luar Indonesia. Halai ini menunjukkan bahwa sahnya bahasa Indoneia amat penting

kedudukannya di kalangan masyarakat. b. Di pandang dari Luas Penyebarannya

Penyebaran suatu bahasa tentu ada hubungannya dengan penutur bahasa tersebut. Oleh sebab itu, tersebarnya suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari segi penutur.

Penutur bahasa Indonesia yang berjumlah 240 juta lebih itu tersebar dalam daerah yang luas, yaitu dari Merauke samai Sabang. Daerah ini masih harus ditambah dengan (di samping Malaysia dan Brunei) daerah-daerah lain, seperti Australia, Belanda, Rusia dan Jepang. Luas penyebaran ini dapat dilihat pula pada beberaa Universitas di luar negeri yang membuka jurusan bahasa indonesia sebagai slaah satu jurusan. Keadaan daerah penyebarannya ini akan membuktikan bahwa bahasa Indonesia amat penting kedudukannya di antara bahasa-bahasa dunia.

c. Dipandang dari Dipakainya sebagai Sarana Ilmu, Budaya dan Suastra Sejalan dengan jumlah penutur dan luas penyebarannya, pemakaian suatu bahasa sebagai sarana Ilmu, budaya dan suastra dapat dijadikan pula ukuran penting atau tidaknya bahasa itu. Kalau kita mencoba memandang bahasa daerah, seperti bahasa Kerinci, kita dapat menelusuri seberapa jauh bahasa itu dapat dipakai sebagai sarana suastra, budaya dan ilmu.

Tentang suastra, bahasa Kerinci kaya dengan macam dan jenis suastranya walaupun hanya suastra lisan. Suastra Kerinci telah memasyarakat ke segenap pelosok daerah Kerinci. Dengan demikian, bahasa Kerinci telah dipaki sebagai saran dalam suastra.

Tentang budaya, bahasa Kerinci telah dipakai pula walaupun hanya dalam berkomunikasi, bertutur adat, bernyanyi, berpantun dan sebagainya.

(29)

B. Ragam Lisan dan Ragam Tulis

Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya ini dan bermacam-macam pula latar belakang penuturnya, mau tidak mau akan melahirkan sejumlah ragam bahasa. Adanya macam-macam ragam bahasa ini sesuai dengan fungsi, kedudukan serta lingkungan yang berbeda-beda. Ragam bahasa ini pada pokoknya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu ragam lisan dan ragam tulis.

Tidak dapat kita mungkiri, bahasa Indonesia ragam lisan sangat berbeda dengan bhasa Indonesia ragam tulis. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ragam tulis adalah pengalihan ragam lisan ke dalam ragam tulis (huruf). Pendapat ini tidak dapat dibenarkan seratus persen karena tidak semua ragam lisan dapat dituliskan; sebaliknya, tidak semua ragam tulis

dapatdilisankan. Kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam tulis. Kedua ragam itu berbeda. Perbedaanya adalah sebagai berikut.

1. Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berbeda di depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara berada di depan.

2. Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur tersebut kadang-kadang dapat

ditinggalkan. Hal ini dsebabkan oleh bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi.

Contoh:

Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Apa yang dibicarakan secara lisan di dalam sebuah ruang uliah, hanya akan berarti dan berlaku untuk waktu itu saja. Apa yang diperbincangkan dalam suatu ruang diskusi suastra belum dapat dimengerti oleh orang yang berada di luar ruangan itu. Sebaliknya, ragam tulis tidak terikat oleh situasi, kondisi, ruang dan waktu. Suatu tulisan dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis di Indonesia dapat dipahami oleh orang yang berada di Amerika atau Inggris. Sebuah buku yang di tulis pada tahun 1985 akan dapat dipahami dan dibaca oleh orang yang hidup di tahun 2014 dan seterusnya. Hal itu dimungkinkan oleh kelengkapan unsur-unsur dalam ragam tulis.

(30)

Seorang direktur berkata kepada sekretarisnya. “Kenapa dia, san.” “Tahu, tuan, miring kali.”

Kalau kita tidak berada dalam suasana itu, jelas kita tidak mengerti apa yang diperbincangkannya itu.

3. Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar, dan huruf miring.

Berikut ini dapat kita bandingkan wujud bahasa Indonesia ragam lisan dan raga tulis. Perbandingan ini didasarkan atas perbedaan penggunaan bentuk kata, kosakata dan struktur kalimat.

a. Ragam Lisan

a) Penggunaan Bentuk Kata

1) Kendaraan yang ditumpanginya nabrak pohon mahoni. 2) Bila tak sanggup, tak perlu lanjutkan pekerjaan itu.

3) Fotokopi ijazah harus dilegalisir dulu oleh pimpinan akademi. b) Pengunaan Kosakata

1) Saya sudah kasih tahu mereka tentang hal itu. 2) Mereka lagi bikin denah buat pameran entar.

3) Pekerjaan itu agak macet disebabkan karena keterlambatan dana yang diterima. c) Penggunaan Struktur Kalimat

1) Rencana ini saya sudah sampaikan keda Direktur.

2) Dalam “Asah Terampil” ini dihadiri juga oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh. 3) Karena terlalu banyak saran berbeda-beda sehingga ia makin bingung untuk

menyelesaikan pekerjaan itu. b. Ragam Tulis

a) Penggunaan Bentuk Kata

1) Kendaraan yang ditumpanginya menabrak pohon mahoni

2) Apabila tidak sanggup, engkau tidak perlu melanjutkan pekerjaan itu. 3) Fotokopi ijazah harus dilegalisasi dahulu oleh pimpinan akademi b) Penggunaan Kosakata

1) Saya sudah memberi tahu mereka tentang hal itu. 2) Mereka sedang membuat denah untuk pameran nanti.

(31)

c) Penggunaan Struktur Kalimat

1) Rencana ini sudah saya sampaikan kepada Direktur.

2) “Asah Terampil” ini dihadiri juga oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh. 3) Karena terlalu banyak saran yang berbeda-beda, ia makin bingung untuk

menyelesaikan pekerjaan itu. C. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku

Pada dasarnya, ragam tulis dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam tidak baku.

Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemekainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dikembangkan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.

Ragam baku itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut. a. Mantap

Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasaa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-, akan terbentuk kata perasa. Kata raba dibubuhi pe- akan terbentuk kata peraba. Oleh karena itu, menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi pe- akan menjadi perajin, bukan pengerajin. Kalau kita berpegang pada sifat mantap, kata pengerajin tidak dapat kita terima. Bentuk-bentuk lepas tangan, lepas pantai, dan lepas landas merupakan contoh kemantaan kaidah bahasa baku.

b. Dinamis

Dinamis artinya tidak statis, tidak baku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya bentuk mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan toko tempat berlangganan. Dalam hal ini, tokonya disebut langganan dan orang yang berlangganan itu disebut pelanggan.

c. Cendikia

(32)

Disaming itu, ragam baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Selanjutnya, ragam baku dapat

memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca. Contoh kalimat yang tidak cendikia adalah sebagai berikut

Rumah sang jutawan yang aneh akan dijual.

Frasa rumah sang jutawan yang aneh mengandung konse yang aneh, yaitu rumahnya yang aneh atau sang jutawan yang aneh. Dengan demikian, kalimat itu tidak memberikan informasi yang jelas. Agar menjadi cendikia kalimat tersebut harus diperbaiki sebagai berikut.

1) Rumah aneh milik sang jutawan akan dijual. 2) Rumah milik sang jutawan aneh akan dijual. d. Seragam

Ragam baku bersifat seragam. Ada hakikatnya, proses pembakuan bahasa adalah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian titik-titik keseragaman. Pelayan kapal terbang dianjurkan untuk menggunakan istilah pramugara atau ramugari. Andaikata ada orang yang mengusulkan bahwa pelayan kapal terbang disebut steward atau stewardes dan penyerapan itu seragam, kata itu menjadi ragam buku. Akan tetapi, kata steward dan stewardes sampai dengan saat ini tidak disepakati untuk dipakai. Yang timbul dalam masyarakat ialah pramugara atau ramugari.

D. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan

(33)

Sedangkan dengan ragam baku lisan, ukuran dan nilai ragam baku lisan ini bergantung pada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan. Seseorang daat

dikatakan berbahasa lisan yang baku kalau dalam pembicaraannya tidak terlalu menonjol pengaruh logat atau dialek daerahnya.

2.2 Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia 2.2.1 Pengertian Esensi

Jika kita lihat dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonseia), esensi disana adalah hakikat; inti; hal yg pokok. Esensi adalah arti dari hidup manusia, maka termasuk juga didalamnya tujuan dan proses hidupnya. Esensi bersifat kekal. Esensi adalah dasar dari mengada, maka Esensi adalah dasar atau sumber dari keberadaan. Contoh esensi: Cantik juga bukanlah “cantik” akibat fisik, tingkah laku dan budaya. Karena semua itu adalah

kesepakatan. Memiliki kecantikan adalah esensi. Semua cantik, namun tidak semua mempunyai eksistensi. Dari contoh tersebut aku mengambil kesimpulan bahwa esensi itu “mutlak” dan sudah kita miliki sejak lahir.

2.2.2 Pengertian Eksistensi

Eksistensi adalah hal berada; keberadaan. Dilihat dari segi ilmu bahasa (etimologi) kata “eksistensi atau eksitensialisme” berasal dari bahasa Latin “ex” yang berarti keluar dan “sistere” yang berarti berdiri. Jadi secara bahasa, kata “exsistensi” dapat diartikan sebagai “berdiri dengan keluar dari diri sendiri”. Eksistensi adalah keberadaan manusia, maka termasuk dirinya sendiri dan lingkungan hidup serta norma sekitar. Jika dilihat dari sifatnya Eksitensi itu bersifat fana. Eksistensi itu adalah keberadaan sementara. Contoh eksistensi: “Cantik bukanlah molek, ayu, gemulai, manis dan sebagainya. Karena semua itu adalah eksistensi dari kecantikan. Dapat di simpulkan bahwa eksistensi itu hanya “kesepakatan” yang mana telah “diakui” oleh lingkungan hidup kita agar tetap “eksis” sebagai “pribadi dan sosial“.Ada juga contoh lain yang mungkin bisa “menguatkan” esensi dan eksistensi tersebut, sebagai contoh bila kita melihat seorang teman kita yang “berbeda (aneh)” atau “tidak enak dilihat dan enak untuk diejek” maka dari itu pahamilah terlebih dahulu

(34)

seperti dia, maka kita tidak akan peduli, baik dia itu tua atau muda, bagus atau jelek, ada atau tiada, kita akan menganggap dia setara dengan kita dan menghargai “keberadaannya”.

2.2.3 Esensi dan Eksistensi Bahasa Indonesia a. Esensi/hakikat Bahasa

Sejak zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak zaman manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. Oleh karena itulah, bahasa sampai saat ini merupakan salah satu persoalan yang sering dimunculkan dan cari jawabannya. mulai dari pertanyaan “apa itu bahasa?” sampai dengan “dari mana asal bahasa itu?”

Banyak jawaban dan teori yang telah disodorkan. Akan tetapi, semuanya belum memuaskan. Mengapa demikian? Karena bahasa senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia hadir karena karunia Tuhan Sang Penguasa alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan memalui Zat-nya, tapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci (ayat kauniyah dan wahyu)

Karena bahasa merupakan karunia Tuhan untuk manusia, maka upaya mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus merupakan amal saleh. Jika sesorang mampu mengetahui berbagai bahasa, maka ia sudah pasti termasuk orang yang banyak

pengetahuannya. Jika dia banyak penegtahuannya, maka dia termasuk orang yang beriman. Dialah orang yang derajatnya diangkat oleh Tuhannya. “Allah akan mengangkat derajat orng-ornag yang beriman dan orang-orang yang berilmu” (Q.S. Al-Mujadilah, 58: 11).

Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai apa bahasa itu, di sisni akan diturunkan beberapa batasan mengenai bahasa yang telah diajukan oleh para ilmuan bahasa.

Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai sistem lambang arbriter yang

(35)

Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu:

a. Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat berwenang-wenang (arbriter,pen) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi utnuk melahirkan perasaan dan pikiran.

b. Perkataan-perkataan yan dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb.)

c. Percakapan (pekataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik. Dua ilmuan Barat, Bloch dan Trager, mendefinisikan bahasa sebagai suatu “sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakanoleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi (language is a system of arbitray vocal symbols by means of which a social group cooperates)”.

Senada denagn Bloch dan Trager, Joseph Bram mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain (a language is a structured system of arbitrary vocal simbols by means of which members of a social group interact).

Ronald Wardhaugh, seorang Linguis Barat, dalam Introduction to Linguistics

memberikan definisi sebagai berikut: “bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for human communication).

Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan didapatkan kata kunci yang mengandung pengertian khusus dan sekaligus mengandung pengertian umum, yaitu kata “simbol”. Artinya bahwa bahasa pada dasarnya merupakan sistem simbol yang ada di alam ini. Seluruh

fenomena simbolis yang ada di alam semesta ini pada dasarnya adalah bahasa.

(36)

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat memberi arti tentang “simbol” yaitu sebagai sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain (things that stand for other things). Pengertian ini berarti bahwa disekililing kita terdapat banyak simbol dan kita akan senantiasa dihadapkan pada berbagai simbol. Simbol itu (atau sifr kata Jasfer) ada pada alam, dalam pikiran, pada manusia, pada wahyu, pada kehidupan margasatwa, dan lain-lain.

Menurut Henry Guntur Taringan, dalam bahasa manusia, hubungan antara simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya itu tidaklah meruakan suatu yang terjadi dengan sendirinya atau yang bersifat alamiah, seperti yang terdapat antra awan hitam dan turunnya hujan, ataupun antara tingginya panas badan dan kemungkinan terjadinya infeksi. Awan hitam adalah tanda (atau sign) turunnya hujan, panas tinggi tanda sesuatu penyakit. Simbol atau lambang memperoleh fungsi khususnya dari konsensus ataumufakat kelompok atau konvensi sosial, dan tidak mempunyai efek apapun bagi setiap orang yang tidak mengenal konsensus tersebut.

Kalau kita mengatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol”, lanjut Taringan, adalah mengandung makna bahwa ucapan si pembicara dihubungkan secara

simbolis dengan objek-objek ataupun kejadian-kejadian dalam dunia praktis; dengan kata lain ucapan itu “berarti” atau “terdiri atas” aneka ragam ciri pengalaman atau singkatnya:

mengandung arti atau makna. Sedangkan makna atau arti dalam bentuk linguistik seperti kata, bagian kata atau gabungan berbagai kata (kata kerja, kata sifat, kata benda, dll) adalah ciri yang umum bagi semua situasi tempatnya dipakai. Dengankata lain “makna” pada dasarnya merupakan masalah yang senantiasa hadir dalam lingkungan kita. Jelasnya merupakan masalah dunia praktis di sekeliling kita. Oleh karena itu, persoalan makna atau arti akan senatiasa berkembang sesuai dengan berkembangnya peristiwa yang ada dalam lingkungan manusia. Dalam dunia filsafat, persoalan makna ini telah menjadi perhatian utama para tokoh filsafat dari aliran analisa atau yang lebih terkenal dengan sebutan aliran filsafat bahasa.

Kemudian apabila dikaitkan dengan aspek makna (semantika), ciri-ciri bahasa manusia yang membedakan dengan bahasa binatang, menurut Aminuddin ada delapan belas ciri. Yaitu:

1. Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertenru. 2. Organisme yang digunakan memilki hubungan timbal balik.

(37)

5. Memiliki kriteria sintaksis, kata-kat yang digunakan untuk menjadi suatu kalimat harus disusun sesuai dengan pola kalimat yang telah disepakati.

6. Melibatkan unsur bunyi ataupun unsur audiovisual. 7. Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produksi. 8. Bersifat arbitrer, mana suka atau sewenang-wenang. 9. Memiliki ciri prevarikasi.

10. Terbatas dan relatif tetap.

11. Mengandung kontinuitas dan mengandung diskontinuitas.

12. Bersifat herarkis, yaitu pemakaian keberadaannya memiliki tataran yang berbeda dalam tata tingkat tertentu.

13. Bersifat sistemis dan simultan.

14. Saling melengkapi dan mengisi, baik secara paradigmatis maupun sintagmatis. 15. Informasi kebahasaan dapat disegmentasi, dihubungkan, disatukan dan diabadikan. 16. Transmisi budaya.

17. Bahasa itu dapat dipelajari.

18. Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensional. Artinya, bahwa eksistensi atau keberadaan bahasa, selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan antarlambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarbelakanginya.

b. Eksitensi Bahasa

Untuk mendapatkan gambaran mengenai pemikiran filosofis para penganut filsafat eksitensi dalam bidang bahasa, berikut ini akan ditengahkan pemikiran filosofis Karl Jaspers mengenai bahasa sebagai chifer-chifer. Pemikiran Karl Jaspers ini sangat perlu diangkat, mengingat pemikirannya yang sangat unik. Keunukan pemikirannya, selain berbau mitis tapi juga bersifat metafisis. Sudah tentu pemikiran sperti ini menjadi aneh dan sekaligus unik jika kita memperhatikan kecenderungan umum para filosof abad ke-20 yang jarang menyentuh atau sama sekali tidak untuk membicarakan persoalan-persoalan metafisis di zaman teknologi canggih ini.

Apa yang dimaksud Karl Jaspers dengan bahasa chifer-chifer itu? Kata “chifer” dalam bahasa Jerman, merupakan kata serapan yang berasal dari kata Arab “sifr” yang

diterjemahkan dari bahasa Sanskerta “Sunya”, artinya “kekosongan” atau “nol”. Kata “Sifr” masuk ke Eropa melalui Italia bersama ilmu Al-Jabar Arab (ilmu pasti, matematika) pada permulaan abad ke-16 M. Dari Italia masuk ke Jerman dan telah mendapat arti “angka”, “kode” dan “tanda rahasia”. Pengertian “chifer” sebagai “tanda rahasia” inilah yang dipakai Karl Jaspers. Secara sederhana arti chifer ini dapat disamakan dengan kata simbol dalam bahasa Indonesia.

(38)

Jaspers, bahasa pertama (yaitu chifer-chifer yang ditulis oleh Allah) harus diterjemahkan dalam bahasa kedua dan ketiga. Bahasa kedua dan ketiga ini adalah chifer-chifer yang dibuat oleh manusia.

Mengapa bahasa pertama, yaitu chifer yang ditulis oleh Allah itu dalam chifer-chifer yang dibuat manusia? Karena chifer-chifer-chifer-chifer yang dibuat oleh Allah hampir tidak dibicarakan manusia. Mendengarkan bahasa ini adalah seperti pengalaman mistik.

Pengalaman ini betul-betul ada, tetapi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Akan tetapi, manusia perlu membahasakan pengalaman ini. Untuk itu perlu diciptakan bahasa yang kedua, yang memungkinkan untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa yang pertama. Bahasa kedua ini terdiri dari simbol-smbol, chifer-chifer, mite-mite, konsep-konsep dan cerita-cerita, yang membantu untuk mengerti dan mendengar bahasa kedua. Bahasa kedua ini ada pada teks-teks kitab suci dan mitologi.

Semua orang bisa mnggunakan bahasa kedua ini. Seseorang anak, misalnya, bisa hidup, percaya dan berdoa dengan spontan atas taraf bahasa kedua. Namun, dalam perjalanannya kearah kedewasaan, setiap orang mengalami krisis. Krisis itu oleh Jaspers disebutnya sebagai “krisis refleksi”. Manusia dewasa mengambil jarak terhadap bahasa kedua. Tradisi, mitos, dan wahyu diselidiki dan dia mulai membedakan antara “cerita tentang transendensi” dan “transendensi sendiri”. Sesudah krisis refleksi, keimanan mungkin bertambah atau

sebaliknya.

2.3 Bangsa Indonesia

2.3.1 Pengertian Bangsa Indonesia

Indonesia merupakan salah satu contoh bangsa yang dapat dikatakan cukup besar. Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya. Walaupun berbeda-beda suku tetap saja disebut bangsa karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama. Jika

diartikan, pengertian bangsa adalah sekelompok manusia yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang mana mereka terikat di dalam satu tanah air. Dengan memiliki keinginan atau hasrat untuk bersatu dengan didorong oleh kesamaan sejarah dan cita-cita maka terbentuklah bangsa dari rakyat. Setidaknya ada beberapa pengertian yang dapat kita gunakan untuk mempermudah pemahaman kita tentang pengertian bangsa yang disampaikan oleh para ahli. Beberapa diantaranya seperti Suryono Sukanto, F. Ratzel, Hans Kohn, dan Otto Bauer.

(39)

Seiring perkembangan zaman, maka pengertian bangsa juga mengalami perkembangan. Pada awalnya bangsa hanya diartikan sekelompok orang yang dilahirkan pada tempat yang sama.

Nation dalam bahasa Indonesia, diistilahkan bangsa, yaitu orang-orang yang bersatu karena kesamaan keturunan. Sebaliknya, dalam arti bahasa Inggris dapat dicontohkan

seperti wangsa, trah(Jawa), dan marga (Batak), misalnya wangsa Syailendra, trah Mangkunegara, marga Sembiring. Mereka menjadi satu bangsa karena berasal dari keturunan yang sama.

Istilah natie (nation) mulai populer sekitar tahun 1835. Namun, istilah ini sering diperdebatkan dan dipertanyakan sehingga menghasilkan bebagai teori tentang bangsa sebagian berikut.

1. Ernest Renant

Dalam bukunya yang berjudul "La Reforme Intellectuelle et Morale" (1929), Ernest Renanat berpendapat bahwa bangs adalah kesatuan jiwa. Jiwa yang mengandung kehendak untuk bersatu, orang-orang merasa diri satu dan mau bersatu. Dalam istilah Prancis, bangsa adalah Ledesir d'etre ensemble. Bangsa dapat terdiri atas ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia, tetapi sebenarnya merupakan kesatuan jiwa. Apabila semua manusia yang hidup di dalamnya mempunyai kehendak untuk bersatu maka sudah merupakan satu bangsa.

2. Hans Kohn

Menurut Hans Kohn dalam bukunya "Nationalism and Liberty: The Swiss Example" (1966), bangsa diartikan sebagai hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah dan karena itu selalu bergelombang dan tak pernah membeku. Suatu bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki beberbagai faktor obyek tertentu yang membedakannya dengan bangsa lain. Faktor-faktor itu berupa persamaan keturunan, wilayah, bangsa, adat istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan agama.

3. Jalobsen dan Lipman

Menurut Jalobsen dan Lipman dalam buku "Politics: Individual and State" karya Robert Wesson (1998), bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan satu kesatuan politik (political unity). Dari beberapa pengertian bangsa oleh beberapa orang ahli yang satu dengan lainnya berbeda. Hal ini disebabkan Selain pengertian dari beberapa ahli dan tokoh bangsa di atas, pengertian bangsa juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bangsa dalam arti politis dan bangsa dalam arti

sosiologisantropologis.

1. Bangsa dalam Arti Politis

(40)

ikatan lain yang sifatnya nasional. Ikatan baru tersebut menjadi identitas nasional bangsa yang bersangkutan. Identitas nasional sekaligus berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa.

Selain itu, bangsa dalam arti politis dapat dikatakan bahwa bangsa sebagai sekelompok masyarakat dalam satu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai satu kekuasaan tertinggi, baik ke dalam maupun ke luar. Jadi, bangsa dalam arti politis adalah bangsa yang sudah bernegara dan mengakui serta patuh dan taat pada kekuasaan dari negara yang bersangkutan. Bangsa dalam arti ini diikuti oleh suatu kesatuan wilayah nasional, hukum, aturan yang berlaku, dasar, dan ideologi negara.

2. Bangsa dalam Arti Sosiologis-Antropologis

Bangsa dalam pengertian ini dibedakan menjadi dua, yaitu bangsa dalam arti etnis dan bangsa dalam arti kultural. Bangsa dalam arti etnis merupakan sekelompok manusia yang memiliki satu keturunan atau ras yang tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan ciri-ciri jasmani yang sama, seperti

kesamaan warna kulit dan bentuk tubuh. Bangsa dalam arti kultural adalah sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri khas kebudayaan yang sama, seperti adat istiadat, mata pencaharian, bahasa, dan unsur-unsur kesamaan budaya.

Jadi, bangsa dalam arti sosiologis-antropologis merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama dan diikat oleh ikatan seperti kesatuan ras, tradisi, sejarah, adat istiadat, bahasa, agama dan

kepercayaan, serta daerah.

2.3.2 Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Bangsa Indonesia A. Kedudukan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia dengan ini menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia

berkedudukan sebagai bahasa Nasional; kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum psal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Nasional sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928; Kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

B. Fungsi Bahasa Indonesia

(41)

a. Lambang kebanggan kebangsaan, bangsa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar hubungan ini, bahasa indonesia kita pelihara dan kita kembangkan serta rasa kebanggaan pemakainya senantiasa kita bina.

b. Lambang identitas nasional, bahasa indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang negara kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memilki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang

kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memilki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakaiannya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain.

c. Alat perhubungan antarwarga, antardaerah dan antarbudaya. Fungsi bahasa

indonesia yang ketiga yaitu sebagai alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku bangsa. Berkat adanya bahasa nasional kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat

perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di Tanah Air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.

d. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, denagn bahasa nasiaonal itu kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas

kepentingan daerah atau golongan.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memilki fungsi yaitu: a. Bahasa resmi kenegaraan, bahasa indonesia dipakai di dalam segala upacara,

(42)

dokumen-dokumen dan putusan-putusan serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-baadan kenegaraan lainnya, serta pidato-pidato kenegaraan.

b. Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia, kecuali di daerah-daerah, seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali dan Makassar yang menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar. c. Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan

pelaksaan pembangunan. Di dalam hubungan denagn fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan

antarsuku, melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya bahasanya.

d. Alat penegembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita. (Halim, 1979:4—56; Moeliono, 1980:15--31).

Di samping itu, sekarang ini fungsi bahasa Indoneia telah pula betambah besar. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa media massa. Media massa cetak dan elektronik, baik visual, audio maupun audio-visual harus memakai bahasa Indonesia. Media massa menjadi tumpuan kita dalam menyebarluaskan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Di dalam kedudukannya sebagai sumber pemerkaya bahasa daerah, bahasa Indonesia berperan sangat penting. Beberapa kosakata bahasa Indonesia ternyata dapat memperkaya khasanah bahasa daerah, dalam hal bahasa daerah tidak memilki kata untuk sebuah konsep.

Bahasa indonesia sebagai alat menyebarluaskan sastra Indonesia dapat dipakai. Sastra Indonesia merupakan wahana pemakaian bahasa Indonesia dari segi estetis bahasa bahasa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa yang penting dalam dunia internasional.

2.3.3 Hubungan Bahasa dengan Masyarakat

(43)

mungkin ada bahasa tanpa masyarakat. Masyarakat ilah kumpulan individu yang saling berhubungan sehingga terbentuk kerja sama antara individu-individu itu. Hubungan itu hanya mungkin terjadi apabila ada alat penghubungnya, dalam hal ini adalah bahasa. Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat yaitu individu-individu tadi sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan berkeinginan. Pikiran, perasaan, dan keinginan baru terwujud itu adalah bahasa.

Apa yang kita pikirkan tidaklah berarti sebelum itu dinyatakan dengan bahasa, dan diketahui, ditanggapi, atau diberi reaksi oleh individu yang lain. Demikian juga perasaan dan keinginan kita. Setelah perasaan, pikiran dan keinginan itu diwujudkan dengan bahasa dan beroleh tanggapan oleh individu yang lain sebagai anggota masyarakat, barulah ia berarti.

Makin rendah peradaban suatu masyarakat, makin sederhana bahasanya karena anggota-anggota masyarakat itu hanya membutuhkan simbol-simbol sederhana untuk menyatakan keinginan, kemauan, perasaan, serta pikirannya. Yang dinyatakannya dengan bahasanya hanyalah hal-hal yang sederhana yang ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Kebudayaan belum berkembang. Makin berkembang suatu bangsa dan makin tinggi peradabannya, makin luas pula jangkauan pemikirannya, dankarena itu, ia membutuhkan bahasa yang berkemampuan tinggi untuk menyatakan semua yang dipikirkannya.

Dalam masyarakat yang sudah maju, makin bertambah banyak fungsi bahasa itu. Bila dalam masyarakat primitif bahasa lebih berfungsi sebagai alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari saja agar seorang individu dapat berhubungan dengan individu yang lain, sehingga mereka dapat bekerja sama, maka dalam masyarakat yang sudah maju dan berkembang, fungsi bahasa lebih banyak, antara lain: bahasa dapat berfungsi untuk keperluan pendidikan, untuk administrasi pemerintahan, bagi perdagangan antarnegara dan antarbangsa, politik, ilmu, dan teknologi.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment, parsial terhadap dua variabel penelitian yakni

[r]

Dengan demikian ia dapat menghidupi diri dan keluarganya tanpa memberatkan pemerintah (masyarakat umum), disamping itu dengan karyanya juga dapat menambah secara langsung

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran kepala ruangan dalam pelaksanaan fungsi manajemen keperawatan; persepsi perawat pelaksana di ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum

Lampiran 10 Hasil sidik ragam dan uji lanjut BNT bilangan peroksida sosis sapi selama penyimpanan pada suhu 4 o C.. Lampiran 11 Hasil sidik ragam dan uji lanjut

Pengawasan (controlling) merupakan bagian akhir dari fungsi pengelolaan/manajemen. Fungsi manajemen yang dikendalikan adalah perencanaan, pengorganisasian, penggerakan

Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna.. Kematian makna atas teks hukum

Langkah-langkah penelitian atau proses pengembangan ini terdiri atas kajian tentang temuan penelitian produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan