• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERMOHONAN KEPAILITAN ATAS LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK PASCA BERDIRINYA OTORITAS

JASA KEUANGAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PIR MARULI TUA SILABAN NIM : 110200277

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 8

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadiran Tuhan YME karena dengan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul :

"Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank Pasca Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan”. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan 3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan II FH. USU

Medan.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan III FH. USU Medan

(4)

5. Bapak Prof. Bismar Nasution, SH.M.H selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH.M.Hum sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

7. Ibu Tri Murti Lubis, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terimah kasih buat ayah dan Ibu penulis yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis dengan do’a dan cinta kasih yang tiada henti.

10. Seluruh Almamater Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Pebruari 2018 Penulis

PIR MARULI TUA SILABAN

(5)

PERMOHONAN KEPAILITAN ATAS LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK PASCA BERDIRINYA OTORITAS

JASA KEUANGAN ABSTRAK Pir Maruli Tua Silaban*

Sunarmi **

Tri Murti Lubis ***

Pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia telah dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan. Dalam penjelasan Undang- Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana hubungan Otoritas Jasa Keuangan terhadap prosedur kepailitan lembaga keuangan Bank dan Non Bank, bagaimana kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi Bank dan Non Bank, bagaimana akibat hukum pergeseran tugas dan wewenang Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan dalam prosedur kepailitan lembaga keuangan Bank dan non Bank.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dan spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Pengumpulan data melalui data primer dan data skunder.

Metode analisis yang dipakai adalah kualitatif, dan penyajian datanya dalam bentuk laporan tertulis secara ilmiah.

Berdasarkan pembahasan diperoleh kesimpulan hubungan Otoritas Jasa Keuangan terhadap prosedur kepailitan lembaga keuangan Bank dan Non Bank dapat dilihat dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK menginformasikan kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan likuiditas atau memburuknya kesehatan pada bank. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi Bank dan Non Bank adalah pangajuan permohonan pailit bank setelah diundangkannya Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap berada pada Bank Indonesia, dimana pertimbanganya adalah Undang- Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih berlaku khususnya Pasal 2 ayat (3). Akibat hukum pergeseran tugas dan wewenang Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan dalam prosedur kepailitan lembaga keuangan Bank dan non Bank adalah permohonan pernyataan pailit terhadap bank tetap berada pada Bank Indonesia. OJK hanya memberi pertimbangkan status bank apakah memiliki dampak sistemik ketika bank tersebut dimohonkan pernyataan pailit.

Kata Kunci : Pailit, Lembaga Keuangan, OJK.

.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Metode Penelitian... 14

H. Sistematika Penulisan... 16

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG KEPAILITAN ... 18

A. Pengertian Kepailitan ... 18

B. Kepailitan dan Syarat Pengajuan Permohonan Pailit ... 20

C. Pengaturan Kepailitan ... 25

D. Sejarah Hukum Kepailitan ... 27

E. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 30

F. Pernyataan Pailit dan Akibat Hukumnya ... 36

BAB III : PERMOHONAN KEPAILITAN ATAS LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK SEBELUM ADANYA OTORITAS JASA KEUANGAN ... 52

A. Prosedur Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank ... 52

1. Penyebab Kepailitan ... 52

2. Prosedur Permohonan Kepailitan ... 54

3. Pengurusan dan Pemberasan dalam Pailitnya Lembaga Keuangan Bank. ... 65

(7)

B. Prosedur Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan

Non Bank ... 70

1. Syarat Permohonan Pailit ... 70

2. Permohonan Kepailitan Lembaga Keuangan Non Bank 72 3. Kepailitan Lembaga Keuangan Non Bank Sebelum Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan ... 76

BAB IV : PERMOHONAN KEPAILITAN ATAS LEMBAGA KEUANGAN BANK DAN NON BANK PASCA BERDIRINYA OTORITAS JASA KEUANGAN... 78

A. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Prosedur Kepailitan Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank ... 78

B. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit Bagi Bank dan Non Bank ... 84

C. Akibat Hukum Pergeseran Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan dalam Prosedur Kepailitan Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank ... 92

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pailit merupakan suatu keadaan debitor yang tidak mampu untuk melakukan pembayaran terhadap utang-utang kepada para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan oleh suatu kondisi kesulitan keuangan (financial distress) dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran.1 Dalam kenyataan yang ada, keadaan tidak dapat lagi melunasi utang-utangnya salah satu penyebabnya adalah kondisi keuangan pihak berutang (debitor) yang mengalami kesulitan. Dengan banyaknya permasalahan tersebut di masyarakat, maka dibentuklah suatu aturan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU). 2

Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU KPKPU adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan. Pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan pada Pengadilan Niaga, ini berarti bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah adanya suatu keputusan pailit di Pengadilan Niaga. Dengan adanya suatu pengumuman putusan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atas seluruh harta kekayaan debitor pailit yang berlaku umum bagi

1Titik Tejaningsih, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis dalam Pengurusan dan Pemberasan Harta Pailit, Program Doktor (S-3) Ilmu HukumProgram Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2015, hlm.1

2 Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.1

(9)

semua kreditor konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkuran mereka.3

Konsekuensi hukum dari pernyataan pailit, maka dilakukan penyitaan terhadap semua kekayaan debitor yang ada pada saat pailit dan kekayaan yang diperoleh selama berada dalam kepailitan. Inilah yang dinamakan sita umum public attacment).4 Pengurusan dan pemberesan harta pailit selanjutnya dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) yang berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang diangkat secara bersamaan oleh Pengadilan Niaga pada saat putusan pernyataan pailit terhadap debitor.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing.

Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.

3. Untuk melindungi kepentingan kreditor, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.

3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Press, 2004), hlm.12

4 Man HS. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2006), hlm.78

(10)

b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, menerima pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur (Pasal 10)

4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4).5

Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah kurator. Menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).6

Kedudukan para kreditor dalam kepailitan pada dasarnya adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte).7 Asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan (kreditor separatis) berdasarkan undang-undang kepailitan dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun golongan kreditor dalam kepailitan adalah :

1. Kreditor separatis yaitu kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan. Artnya para kreditor separatis ini dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya telah dinyatakan pailit. Tergolong sebagai kreditor separatis adalah kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditor akan mengambil pelunasan atas piutangnya

5Abdul R. Saliman dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta : Renada Media Grup, 2005), hlm.153

6 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press, 2009), hlm. 16

7 Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, Hukum Kepailitan Kedudukan dan Hak Kreditor Separatis atas Benda Jaminan Deitor Pailit, (Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2016), hlm.97.

(11)

dan sisanya akan dikembalikan pada boedel pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka kreditor ini akan menggabungkan diri dengan kreditor lain sebagai kreditor konkuren.

2. Kreditor preferen/istimewa yaitu golongan kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditor ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan boedel pailit. Kreditor preferen ini oleh undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi dari kreditor lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang seperti yang diatur dalam Pasal 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUHPerdata.

3. Kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak termasuk golongan kreditor separatis atau golongan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan golongan preferen. Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata).8

Hak-hak yang melekat pada kreditor istimewa dan separatis atas harta debitor dalam kepailitan ditentukan sebagai berikut :

1. Kreditor dengan hak istimewa menurut Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata, tanpa kehilangan hak yang diberikan kepada mereka untuk menahan kebendaan milik debitor yang diberikan oleh undang- undang.

2. Kreditor dengan jaminan kebendaan berepa gadai hipotek, hak atas panenan, hak tanggungan dan jaminan fidusia, tanpa kehilangan hak untuk menjual dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari harta kebendaan debitor yang dijaminkan secara kebendaan dan dijual tersebut.9

Selain itu, bagi kedua kreditor tersebut, berhak untuk setiap saat :

1. Memajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor yang tidak membayar utang atau kewajibannya dalam bentuk penyerahan sejumlah uang tertentu pada waktu yang telah ditentukan.

2. Dapat disertakan sebagai kreditor kedua dalam setiap permohonan pernyataan paolit yang ditujukan kepada debitor yang tidak memenuhi utang atau kewajibannya dalam bentuk penyerahan sejumlah uang tertentu pada waktu yang ditentukan tersebut.10

Berdasarkan UU KPKPU, debitor yang dapat diajukan pailit meliputi:

a. Orang, badan usaha bukan badan hukum, dan badan hukum.

8 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : Sofmedia, 2010), hlm.170.

9 Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hlm.174-175.

10 Ibid.

(12)

b. Bank

c. Perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

d. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Bank dan lembaga keuangan non bank memiliki peranan yang sangat strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945. Perbankan dan dan lembaga keuangan non bank merupakan suatu lembaga keuangan yang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Hal tersebut disebabkan oleh peranan perbankan sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional. Dalam mendukung pembangunan perekonomian suatu negara perlu adanya suatu kelancaran aliran dana.

Dengan peranan dari perbankan lembaga keuangan non bank yang sangat penting bagi perkembangan pembangunan perekonomian nasional tersebut, sangat dibutuhkannya suatu peranan dari pemerintah dalam pengawasan terhadap jalannya suatu aktivitas dari perbankan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan melalui membentuk suatu lembaga yang memiliki otoritas di bidang perbankan dan bertanggung jawab terhadap semua aktivitas perbankan.

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah membawa kesengsaraan bagi perekonomian nasional, khusunya bagi dunia usaha. Krisis ekonomi itu pula merupakan awal dari populernya hukum kepailitan. Dampak dari

(13)

krisis ekonomi tersebut yang sekaligus menjadi krisis perbankan menyebabkan 16 bank dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya, sehingga dicabut izin usahanya. Berdasarkan UU Perbankan yang mengatur saat itu, yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan (Menkeu) berdasarkan rekomendasi dari Bank Indonesia.

Selain itu telah disebutkan pula pada Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU bahwa

"Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia". Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU BI), pengertian Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang.

Selain itu sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 7 ayat (1) UU BI yang merupakan "Tujuan dari Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah". Kemudian pada ayat (2) dinyatakan, dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.11

11 Maqdir Ismail, Bank Indonesia: Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, (Jakarta : Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007), hlm. 194

(14)

Bank Indonesia mempunyai beberapa kewenangan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank, yaitu:

1. Kewenangan memberikan izin 2. Kewenangan mengatur

3. Kewenangan untuk mengawasi

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi

Dalam rangka mencapai suatu tujuan dari Bank Indonesia, maka Pemerintah membentuk suatu lembaga otoritas yang mengambil alih tugas dari Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap sistem perbankan di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan atau biasa disingkat dengan OJK adalah lembaga yang didirikan oleh Pemerintah dalam mengemban tugas tersebut.

OJK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah lembaga independen yang bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan. OJK ini didirikan untuk menggantikan peran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta melindungi konsumen industri jasa keuangan.

Dengan adanya UU OJK dengan terbentuknya suatu lembaga independen dalam melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, maka

(15)

tugas atau wewenang Bank Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan tersebut digantikan oleh OJK.

Berdasarkan Pasal 7 UU OJK, untuk melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan Otoritas Jasa Keuangan memiliki wewenang sebagai berikut:

1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

a. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;

b. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa,

2. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

a. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

b. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

c. Sistem informasi debitur

d. Pengujian kredit (credit testing);

e. Standar akuntansi bank;

3. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

a. Manajemen risiko;

b. Tata kelola bank;

c. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;

(16)

d. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan e. Pemeriksaan bank.

Berdasarkan keterangan tersebut, tidak terlihat adanya ketentuan yang mengatur mengenai wewenang OJK untuk mengajukan permohonan pailit kepada bank dan lembaga non bank. Sehingga perlu adanya kajian mengenai hal tersebut.

Pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan pada perbankan dan lembaga non perbankan sangat diperlukan agar terciptanya suatu stabilitas keuangan nasional. Sebab bank dan lembaga non perbankan yang terlihat kokoh dalam sistematis keuangannya masih rawan akan masalah keuangan seperti kredit macet dan bahkan bisa berdampak pada likuidasi bahkan sampai menyebabkan kepailitan.

Dengan lahirnya sebuah aturan baru sehingga terbentuklah suatu lembaga otoritas yang baru pula, maka tugas Bank Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap suatu perusahaan bank dan lembaga non perbankan beralih kepada OJK, dan wewenang dari Bank Indonesia dengan lembaga OJK menjadi berbenturan.

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan penelitihan dengan judul "Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank Pasca Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang kepailitan ?

(17)

2. Bagaimana permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan ?.

3. Bagaimana permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya Otoritas Jasa Keuangan ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang kepailitan.

2. Untuk mengetahui permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan.

3. Untuk mengetahui permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya Otoritas Jasa Keuangan.

D. Manfaat Penulisan

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu sebagai berikut :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoritis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya otoritas jasa keuangan.

2. Secara praktis diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menyelesaikan permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya otoritas jasa keuangan.

(18)

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank Pasca Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan". Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya Otoritas Jasa Keuangan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

F. Tinjauan Pustaka

Pailit merupakan suatu keadaan debitor yang tidak mampu untuk melakukan pembayaran terhadap utang-utang kepada para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan oleh suatu kondisi kesulitan keuangan (financial distress) dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sementara itu kepailitan adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga terhadap debitur yang memiliki sedikitnya dua kreditur dan tidak (tidak mampun ataupun tidak mau) membayar paling sedikit atau utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Terhitung sejak tanggal putusan

(19)

pernyataan pailit diucapkan, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurusi kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Dalam kondisi ini, selain mengalami kesulitan mengembalikan utang pada kreditur, perseroan juga mengalami kesulitan dalam memenuhi hak-hak tenaga kerja.12

Konsekuensi hukum dari pernyataan pailit, maka dilakukan penyitaan terhadap semua kekayaan debitor yang ada pada saat pailit dan kekayaan yang diperoleh selama berada dalam kepailitan. Inilah yang dinamakan sita umum public attacment).13 Pengurusan dan pemberesan harta pailit selanjutnya dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) yang berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang diangkat secara bersamaan oleh Pengadilan Niaga pada saat putusan pernyataan pailit terhadap debitor.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.

12 Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Djambatan, 2009), hlm.17

13 Man HS. Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm.78

(20)

2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur- krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.14

Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.

3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.

b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur (Pasal 10)

c. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4).15

Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).16 Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah

14 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta Raja Grafindo, 2009”), hlm. 9.

15Abdul R. Saliman dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta : Renada Media Grup, 2005), hlm.153

16 Sunarmi, Op.Cit, hlm. 16

(21)

Kurator. Untuk mencegah dan mengawasi tugas seorang Kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum.17

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian yuridis empiris yaitu penelitian yang bertitik tolak dari pemasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap yaitu tentang permohonan kepailitan atas lembaga keuangan bank dan non bank pasca berdirinya otoritas jasa keuangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Studi

17 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, 2005, hal. 147.

(22)

kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, teori-teori literatur- literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, dan bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi studi dokumen untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah.

4. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui:

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini dipergunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Tahun 1999 Nomor 23 tentang Bank Indonesia, serta Undang Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan..

(23)

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

5. Analisis data

Data yang terkumpul tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan menggunakan analisis kualitatif atau dijabarkan dengan kalimat. Analisis kualitatif adalah analisa yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

F. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Sistematika Penulisan.

Bab II : Pengaturan Hukum Tentang Kepailitan meliputi : Pengertian Kepailitan, Kepailitan dan Syarat Pengajuan Permohonan Pailit, Pengaturan Kepailitan, Sejarah Hukum Kepailitan, Asas-Asas Hukum Kepailitan, Pernyataan Pailit dan Akibat Hukumnya

Bab III : Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank Sebelum Adanya Otoritas Jasa Keuangan meliputi : Prosedur Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank, Penyebab

(24)

Kepailitan, Prosedur Permohonan Kepailitan, Pengurusan dan Pemberasan dalam Pailitnya Lembaga Keuangan Bank, Prosedur Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Non Bank, Syarat Permohonan Pailit, Permohonan Kepailitan Lembaga Keuangan Non Bank, Kepailitan Lembaga Keuangan Non Bank Sebelum Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan

BAB IV : Permohonan Kepailitan Atas Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank Pasca Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan meliputi : Hubungan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Prosedur Kepailitan Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit Bagi Bank dan Non Bank, Akibat Hukum Pergeseran Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Ke Otoritas Jasa Keuangan dalam Prosedur Kepailitan Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank

BAB V : Kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.

(25)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG KEPAILITAN

G. Pengertian Kepailitan

Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.18 Sedangkan dalam bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.19

Dilihat dari segi tata bahasanya kata pailit merupakan kata sifat yang ditambah imbuhan ke-an, sehingga mempunyai fungsi membedakan. Kata dasar pailit ditambah imbuhan ke-an menjadi kepailitan. Jadi secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Di samping itu istilah pailit sudah acap atau terbiasa dipergunakan dalam masyarakat, sehingga istilah tersebut tidak asing lagi bagi masyarakat.

Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan seorang debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan

18 Victor Situmorang dan Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta :Rineka Cipta, 2008), hlm. 18

19 Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 225

(26)

bersama dari para kreditornya.20 Siti Soemarti Hartono mengartikan dengan lebih sederhana yaitu pailit berarti mogok melakukan pembayaran.21

Kartono mengartikan kepailitan sebagai suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.22 Sedangkan pengertian kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya disingkat UUK-PKPU, adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan/atau pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.

Berdasarkan definisi atau pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan merupakan suatu keadaan dimana seorang debitor berhenti membayar utang-utangnya kepada kreditor. Debitor itu dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor itu sendiri atau kreditor. Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut, pengadilan niaga dapat menunjuk kurator untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta debitor pailit. Kurator kemudian membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan piutangnya masing-masing.

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepailitan mempunyai unsur-unsur :

20 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2003), hlm. 153

21 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang FH UGM, 2001), hlm. 26.

22 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004) hlm. 20.

(27)

1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.

2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.

3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya secara bersama- sama

Istilah pailit berbeda dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). PKPU adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

H. Kepailitan dan Syarat Pengajuan Permohonan Pailit

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan niaga merupakan hal yang sangat penting karena apabila permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam UUK-PKPU maka Pengadilan Niaga tidak akan mengabulkan permohonan pernyataan pailit tersebut. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU di atas maka syarat- syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor adalah sebagai berikut:

1. Debitor memiliki dua kreditor atau lebih

Hal ini merupakan persyaratan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 UUK-PKPU, yang merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-

(28)

Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang berbunyi : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga apabila mempunyai dua kreditor atau lebih (concursus creditorum). Syarat ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.23 Dari ketentuan Pasal 1132 tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupaka harta kekayaan seseorang harus di bagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan nama kreditor. Adil yang dimaksud disini adalah bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara :24

a. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditornya tersebut.

b. Prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara keseluruhan.

Ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu:25 a. Kreditor konkuren adalah para kreditor yang memperoleh pelunasan

berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing. Para kreditor

23 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 107

24 M.Hadi Shubhan, Op.Cit, hlm. 21.

25 Munir Fuadi, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 70.

(29)

konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.

b. Kreditor preferen adalah kreditor yang oleh undang-undang diberikan hak istimewa untuk mendapatkan pelunasan piutang terlebih dahulu dibandingkan kreditor lainnya. Hak istimewa ini diberikan berdasarkan sifat piutangnya yang harus didahulukan.

c. Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu hipotek, gadai, hak tanggungan dan fidusia. Kreditor separatis ini dipisahkan dan tidak termasuk dalam pembagian harta debitor pailit.

Kreditor ini dapat mengeksekusi sendiri haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi, hak eksekusi jaminan utang tersebut tidak dapat dilakukan oleh kreditor separatis setiap waktu, kreditor harus menunggu dengan jangka waktu penangguhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

2. Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan bahwa syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yaitu kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

(30)

Permohonan pernyataan pailit haruslah dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi. Oleh karena itu, apabila dalam sidang pengadilan terbukti bahwa ada satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta tidak dapat dibayar oleh debitor maka pengadilan menyatakan bahwa debitor dalam keadaan pailit.26

a. Pegertian utang

Salah satu revisi yang dilakukan UUK-PKPU adalah dicantumkannya definisi dari utang, dimana dalam UUK-PKPU sebelumnya tidak ada dicantumkan pengertian utang sehingga terdapat dua pandangan dalam penafsiran terhadap utang oleh Majelis Hakim, baik ditingkat Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung. Perbedaan penafsiran ini terlihat sekali terutama pada masa awal diberlakukannya UUK-PKPU. Sebagian Majelis Hakim berpendapat dan menafsirkkan pengertian utang dalam kerangka hubunga perikatan pada umunya.

Namun, disisi lain ada pendapat yang keliru dari Majelis Hakim yang menganggap pengertian utang dalam UUK-PKPU sebatas utang yang muncul dari perjanjian pinjam-meminjam saja.

Pasal 1 butir 6 UUK-PKPU menyebutkan secara jelas definisi mengenai utang : Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi. Debitor

26 Rudi A. Lontoh, et al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hlm. 27

(31)

dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

b. Pengertian jatuh tempo dan dapat di tagih

Prasyarat jatuh waktu yang dapat ditagih merupakan satu kesatuan.

Maksudnya, utang yang telah jatuh waktu atau lebih dikenal jatuh tempo secara otomatis telah menimbulkan hak tagih pada kreditor.27

Debitor pada dasarnya dianggap lalai apabila ia tidak atau gagal memenuhi kewajibannya dengan melampaui batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sehingga, untuk melihat apakah suatu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, harus menunjuk pada perjanjian yang mendasari utang tersebut.

Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan bahwa debitor dianggap lalai apabila dengan suatu surat perintah atau dengan sebuah akta telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, jika ia menetapkan bahwa debitor dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Dari rumusan Pasal tersebut dapat dilihat bahwa, dalam perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, undangundang membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketepatan waktu dalam perikatan, dimana:28

a. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka saaat jatuh tempo adalah saat atau waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya tersebut, yang juga merupakan saat atau waktu pemenuhan kewajiban bagi debitor;

b. Dalam hal ini tidak ditentukan terlebih dahulu saat mana debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut dalam perikatannya, maka saat

27 Aria Suyudi,dkk, Kepailitan Di Negeri Pailit, (Jakarta : Dimensi, 2004), hlm. 135

28 Sylvia Janisriwati, Kepailitan Bank (Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia dalam Kepailitan Suatu Bank), (Bandung : Logoz Publishing, 2011), hlm.52

(32)

jatuh tempo adalah saat dimana debitor telah ditegur oleh kreditor untuk memenuhi atau menunaikan kewajibannya. Tanpa adanya teguran tersebut maka kewajiban atau utang debitor kepada kreditor belum dianggap jatuh tempo. Dalam hal yang demikian maka bukti tertulis dalam bentuk teguran yang disampaikan oleh kreditor kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu-satunya bukti debitor lalai.

Penentuan jatuh temponya suatu utang yang berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1138 KUHPerdata, kesepakatan tersebut mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang- undang. Sehingga yang menjadi pegangan dalam penentuan apakah utang tersebut sudah jatuh tempo atau belum adalah perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri.

I. Pengaturan Kepailitan

Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan Pedagang yang hanya berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo. 1849-63) Buku III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak Mampu yang berlaku bagi orang-orang bukan pedagang. Dua aturan kepailitan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements Verordening Staatblads 1905 Nomor 217 jo.

Staatblads 1906 Nomor 348) yang berlaku bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum.

(33)

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang-piutang untuk meneruskan kegiatannya. Faillissements Verordening yang masih berlaku pada saat itu sebagian besar materinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dilakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan di dalamnya. Pada tanggal 22 April 1998 dibentuklah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 untuk menggantikan berlakunya Faillissements Verordening. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, namun perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga dibentuk UUK-PKPU.

UUK-PKPU ini mempunyai cakupan lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Beberapa pokok materi baru yang diatur dalam UUK- PKPU ini antara lain diatur secara tegas mengenai batasan dalam pengertian utang dan pengertian jatuh waktu, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU termasuk pemberian jangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan atas permohonan pernyataan pailit dan

(34)

PKPU, oleh karena itu undang-undang ini masih berlaku sampai sekarang karena sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.

Tujuan dikeluarkannya UUK-PKPU adalah untuk:29

1. Menghindari pertentangan apabila ada beberapa kreditor pada waktu yang sama meminta pembayaran piutangnya dari debitor;

2. Menghindari adanya kreditor yang ingin mendapatkan hak istimewa, yang menuntut haknya dengan cara menguasai sendiri barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau kreditor lainnya;

3. Menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh debitor sendiri seperti melarikan harta kekayaan debitor untuk melepaskan tanggung jawab terhadap kreditor;

4. Membagikan harta debitor secara adil dan seimbang menurut besar atau kecilnya piutang masing-masing kreditor

J. Sejarah Hukum Kepailitan

Sejarah hukum tentang kepailitan sudah ada sejak jaman Romawi. Kata pailit dalam bahasa Indonesia mempunyai persamaan kata dengan bangkrut, berasal dari bahasa Inggris yaitu bankrupt yang diadopsi dari undang–undang di Itali yang disebut banca rupta. Situasi kebangkrutan terjadi di negara Eropa pada abad pertengahan dimana pada waktu itu para bangkir dan pedagang lari membawa kabur uang para kreditor dan sebagai pelampiasan kekecewaan para kreditor tersebut merusak bangku–bangku dari para banker dan para pedagang.

29 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, Jakarta, 2013), hlm. 3.

(35)

Negara–negara yang menganut hukum Common Law, dimana hukumnya berasal dari Inggris Raya, maka tahun 1852 merupakan tonggak sejarah, karena dalam tahun 1852 yaitu dimasa kekaisaran Raja Henry VIII tersebut, hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen sebuah undang-undang yang disebut dengan Act Against Such Persons As Do Make Bankrupt. Undang–undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang ngemplang untuk membayar hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor yang tidak dimiliki oleh kreditor secara individual.30

Peraturan dimasa-masa awal dikenalnya pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan pengalihan property tidak dengan itikad baik (Fraudulent conveyance statu) atau yang sekarang popular disebut dengan action paulina. Disamping itu, dalam undang–undang lama di inggris tersebut juga diatur antara lain tentang hal–hal sebagai berikut :31

1. Usaha menjangkau bagian harta debitor yang tidak diketahui (to parts uknown);

2. Usaha menjangkau debitor nakal yang mengurung diri dirumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika ia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle;

3. Usaha menjangkau debitor nakal yang berusaha untuk tinggal ditempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat dimana sering disebut dengan istilah

30 Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 2

31 Ibid, hlm.4

(36)

sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern.

4. Usaha untuk menjangkau debitor nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasanya untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para kreditornya mengambil asset-asset tersebut.

Sejarah hukum pailit di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan kongres memiliki kekuasaan unttuk membentuk suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Hal ini sudah diperdebatkan sejak diadakannya Consultative Convention di Philadelphia dalam tahun 1787. Undang–undang tentang kebangkrutan untuk pertama kalinya diundangkan di Amerika Serikat pada tahun 1800, isi dari undang–undang tersebut mirip dengan undang–undang kebangkrutan di Inggris. Selama abad abad ke 18 di beberapa negara bagian Amerika Serikat sudah ada yang memiliki undang-undang yang bertujuan untuk melindungi debitor (dari hukuman penjara karena tidak membayar hutang) yang disebut dengan Insolvensi Law.

Pengaturan kepailitan di Indonesia sudah lama ada yaitu dengan berlakunya Faillissements Verordening yang diundangkan dalam Staatsblat Tahun 1905 Nomor 217 junto Staatsblat Tahun 1906 Nomor 348. Semula peraturan kepailitan diatur didalam Buku III, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandled) dengan judul Van de Voorzieningenn in Geval Van Onvermogen Van Kooplieden (tentang peraturan–peraturan dalam hal

(37)

ketidakmampuan pedagang), ini termuat di dalam Pasall 749-910 Kitab Undang–

Undang Hukum Dagang, tetapi kemudian dicabut dengan pasal-pasal Verordeningter Invoering Van De Faillissements Verordening.32

Awalnya ketentuan tentang kepailitan tersebut berlaku di negeri Belanda, kemudian berdasarkan asas konkordansi Hukum Dagang Belanda tersebut diberlakukan pula di Indonesia sebagai jajahannya mulai tanggal 1 Mei 1848.

Diberlakukannya Pemerintah Belanda tanggal 30 April 1847, Lembaran Negara Staatsblat Tahun 1847 Nomor 23.

K. Asas-Asas Hukum Kepailitan

Ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh undang-undang kepailitan suatu negara agar undang-undang tersebut dapat memenuhi beberapa kebetuhan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Demikian pula seharusnya dengan undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia. Suatu undang- undang kepailitan, termasuk undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia, seyogianya memuat asas-asas baik dinyatakan secara tegas maupun secara tersirat.33

UUK-PKPU harus memberikan manfaat bukan saja bagi kreditor tetapi juga baik debitor. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Kepailitan juga harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. UUK-PKPU diadakan untuk memberikan manfaat dan perlindungan kepada para kreditor apabila debitor tidak membayar utang-utangnya. Dengan UUK-PKPU, diharapkan

32 Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Op. Cit, hlm. 29

33 Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Memahami Failissementsverordening Juncto Undang-Undang no. 4 Tahun 1998, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm. 32-50

(38)

para kreditor dapat memperoleh akses terhadap harta kekayaan dari debitor yang dinyatakan pailit karena tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Namun demikian, manfaat dan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepailitan bagi kepentingan debitor dan para stakeholder debitor yang bersangkutan.

Suatu undang-undang kepailitan yang baik haruslah dilandaskan pada asas pemberian manfaat dan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kepailitan orang atau suatu perusahaan.

Sehubungan dengan itu, undang-undang kepailitan yang baik seyogianya tidak hanya memberikan manfaat dan perlindungan bagi kreditor tetapi juga bagi debitor dan para stakeholdernya.

Perpu No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan, yang kemudian telah dikukuhkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 sebagaimana akhirnya undang-undang tersebut telah digantikan oleh UU No. 37 Tahun 2004 telah mengadopsi asas keseimbangan tersebut dengan menyebutkan sebagai asas “adil”. Dalam penjelasan umum dari undang-undang tersebut antara lain dikemukakakn “Pokok-pokok penyempurnaan undang-undang tentang kepailitan tersebut meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif”.

UU No. 37 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 4 Tahun 1998 dengan tegas mengemukakan diadopsinya asas keseimbangan tersebut. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, ada empat asas yang dianut yaitu asas

(39)

keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi.

Mengenai asas kesimbangan penjelasan umum undang-undang tersebut mengemukakan sebagai berikut: “Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di pihak lain, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.”

Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar negara RI, yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui kepentingan seseorang, tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak asasi, tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi seseorang. Berdasarkan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” harus dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap orang banyak.

Peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga kepentingan para stakeholders yang lain dari debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih apabila debitor itu adalah perusahaan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengakui bahwa yang terkait dengan kehidupan suatu perseroan ialah :34

1. Kepentingan Perseroan;

2. Kepentingan Pemegang Saham Minoritas;

34 Man. S. Sastrawidjaja,Op.Cit, hlm. 37

(40)

3. Kepentingan Karyawan Perseroan;

4. Kepentingan Masyarakat;

5. Kepentingan Persaingan Sehat dalam Melakukan Usaha.

Kepentingan masyarakat yang harus diperhatikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah kepentingan-kepentingan:35

1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh debitor 2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitor.

3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada debitor.

4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa debitor, baik itu selaku konsumen maupun selaku pedagang.

Dalam hal yang dinyatakan pailit adalah suatu bank, yang harus diperhatikan pula adalah kepentingan-kepentingan:36

1. Anggota masyarakat yang menyimpan dana pada bank yang dinyatakan pailit.

2. Anggota masyarakat yang memperoleh kredit dari bank yang akan terpaksa mengalami kesulitan menggunakan kreditnya apabila bank dinyatakan pailit.

Praktik perbankan, bank sebagai kreditor akan selalu mempertimbangkan dan oleh karena itu mengandalkan dua sumber pelunasan bagi kredit-kredit yang diberikan kepada debitornya. Sumber pertama, ialah pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh debitor dari hasil usahanya. Di dalam praktik perbankan sumber pelunasan ini disebut first way out (bagi penyelesaian kredit bank). Sumber kedua, ialah harta kekayaan debitor dan jaminan-jaminannya atau para penjaminnya.

Dalam istilah perbankan sumber pelunasan ini disebut second way out.

35 Sylvia Janisriwati, Op.Cit,, hlm. 75

36 Ibid, hlm. 77

(41)

Seorang debitor pada akhirnya tidak membayar utang-utangnya, baik karena mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh karena faktor-faktor internal dan eksternal yang objektif, atau debitor beritikad tidak baik, kreditor tidak dapat mengharapkan first way out sebagai sumber pelunasan kredit. Dalam hal yang demikian itu, undang-undang kepailitan memberikan keamanan dan jaminan bagi para kreditor berupa harta kekayaan debitor baik yang telah atau tidak dibebani hak-hak jaminan sebagai second way out dari debitor. Artinya, apabila debitor memang tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat melunasi utangya dari kegiatan usahanya (yaitu first way out dari pelunasan kredit itu), maka sumber pelunasan alternatif bagi para kreditor adalah harta kekayaan debitor dan atau harta kekayaan penjaminnya (second way out dari pelunasan kredit itu) dengan cara melikuidasi harta kekayaan itu.

Asas-asas kepailitan diatur dalam penjelasan UUK-PKPU yaitu sebagai berikut:37

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan. di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

37 Aria Suyudi, dkk,Op.Cit, hlm. 24

(42)

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berjalan.

3. Asas Keadilan

Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa mempedulikan kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan materiil peraturan kepailitan merupakan suatu kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Menurut Sutan Remi Sjahdeni, bahwa UU kepailitan harusnya memuat unsur-unsur berikut:38

1. UU kepailitan harus dapat mendorong kegairahan usaha investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan indonesia memperoleh kredit luar negeri.

2. UU kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.

3. Putusan kepailitan seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor.

4. Permohonan pernyataan pailit seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.

5. Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit, seyogyanya diberlakukan dalam keadaan diam.

38 Sutan Remi Sjahdeni, Op.Cit, hlm. 19

(43)

6. Permohonan pernyataan pailit seyogyanya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar hutangnya kepada kreditor mayoritas.

7. Permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut.

8. Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.

9. Pengurusan perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggungjawab secara pribadi.

10. UU kepailitan seyogyanya memungkinkan upaya retruktrusisasi utang debitor terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit.

11. UU kepailitan harus mekriminalisasikan kecurangan menyangkut kepailitan debitor.

L. Pernyataan Pailit dan Akibat Hukumnya

Putusan pernyataan pailit pengadilan niaga akan membawa akibat bagi debitor dan kreditor. Akibat hukum dari putusan pernyataan pailit itu diatur dalam Pasal 21 UUK-PKPU yaitu meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdatanya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit namun debitor yang dinyatakan pailit itu tetap dapat melakukan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya karena kepailitan hanya berakibat pada harta kekayaan debitor pailit, bukan mengenai diri pribadi debitor pailit.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

dibidang pasar modal, perusahaan penanaman modal berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sedang untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perintah

Permasalah dari Tesis ini adalah” Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)”, antara

Kepailitan merupakan Lembaga Hukum Perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa sebagaimana tercantum dalam pasal 1131 dan pasal 1132

Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa peralihan hak milik (penyerahan) dalam perjanjian beli sewa baru dapat beralih atau sudah diserahkannya oleh

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu: “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Penggunaan Dan Pertanggungjawaban

Kendala yang timbul dalam penanggulangan yakni kelemahan pemberantasan tindak pidana di bidang perpajakan criminal justice sytem untuk memita pertanggungjawaban pelaku

Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) dan didukung oleh